BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Human Immunodeficiency Virus (HIV)
2.1.1 Definisi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan lentivirus yaitu golongan dari retrovirus yang menyebabkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Infeksi HIV didefinisikan sebagai individu dengan infeksi HIV sesuai dengan fase klinik (termasuk 4 fase klinik 4 yang dikenal sebagai AIDS). Adapun 4 fase klinik yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Fase Klinik 1 Tanpa gejala, limfadenopati (gangguan kelenjar/pembuluh limfe) menetap dan menyeluruh. b. Fase Klinik 2 Penurunan berat badan (<10%) tanpa sebab. Infeksi saluran pernafasan atas (sinusitis, tonsilitis, otitis media, faringitis) berulang. c. Fase Klinik 3 Penurunan berat badan (>10%) tanpa sebab. Diare kronik tanpa sebab sampai >1 bulan. Demam menetap (intermitten atau tetap >1 bulan). d. Fase Klinik 4 Gejala menjadi kurus (HIV wasting syndrome), pneumonia bakteri berulang, infeksi herpes simpleks kronik (orolabial, genital atau anorektal >1 bulan). Infeksi cytomegalovirus, toksoplasma di SSP, HIV
5
6
ensefalopati, extrapulmonary cryptococcosis termasuk meningitis. (Sukandar,dkk., 2009).
2.1.2 Epidemiologi Kasus AIDS pertama kali teridentifikasi pada tahun 1981. Akibat dari infeksi HIV, sebanyak 25 juta orang meninggal. Saat ini, terdapat 40 juta orang diseluruh dunia yang terinfeksi HIV. Kira-kira, 65% kasus ini terjadi di subSaharan Afrika, dengan prevalensi kira-kira 7%. Pada Asia Timur, Asia Tengah dan Eropa timur juga menunjukkan peningkatan kecepatan infeksi. HIV/AIDS menjadi penyebab kematian ketiga pada pria yang berumur 25 sampai 54 tahun di Afrika-Amerika, dan merupakan penyebab kematian ke-empat pada wanita yang berumur 20 sampai 54 tahun di Afrika-Amerika (Burns et al., 2008 ). Kasus AIDS pertama di Indonesia dilaporkan dari Bali pada Bulan April tahun 1987. Penderitanya adalah seorang wisatawan Belanda yang meninggal di RSUP Sanglah akibat infeksi sekunder pada paru-parunya. Sampai dengan akhir 1996, kasus HIV/AIDS tercatat di Depkes Pusat berjumlah 501 orang, terdiri dari 119 kasus AIDS dan 382 HIV positif, yang dilaporkan dari 19 provinsi (Muninjaya, 1999). Di dunia, terdapat lebih dari 3,2 juta anak hidup dengan HIV dan 1700 bayi terlahir setiap hari dengan infeksi HIV. Transmisi dari ibu ke anak umumnya menjadikan anak terinfeksi HIV (Zeichner and Read, 2006). Di Amerika Serikat, kasus AIDS yang terjadi pada anak yang berumur < 13 tahun pada Desember 2000 adalah sebanyak 8908 dari 774,467 kasus dan yang
7
lainnya sebanyak 4061 kasus terjadi pada remaja umur 15 sampai 19 tahun yang dilaporkan kepada Centers for Desease Control and Prevention (CDC) (Wormser, 2004). Pada Juni tahun 2001 di Amerika Serikat, sebanyak 8994 kasus anak dengan AIDS yang dilaporkan kepada CDC dimana kasus ini berasal dari 50 serikat di Amerika Serikat termasuk didalamnya Puerto Rico, The Districk of Columbia dan US Virgin Island. Sejumlah 56% dari kasus tersebut dilaporkan berasal dari empat serikat yaitu, New York sebanyak 25%, Florida sebanyak 16%, New Jersey sebanyak 8% dan California sebanyak 7% (Zeichner and Read, 2006). Anak - anak di Amerika Serikat memperoleh infeksi HIV melalui dua rute yaitu secara perinatal (transmisi dari ibu ke anak) dan melalui tranfusi darah atau produk darah
(Wormser, 2004). Mayoritas kasus AIDS (91%) berasal dari
transmisi dari ibu ke anak. 7% anak dengan AIDS memperoleh infeksi HIV oleh karena menerima produk darah yang terkontaminasi (Zeichner and Read, 2006).
2.1.3 Patofisiologi HIV merupakan retrovirus yang termasuk ke dalam kelompok genus Lentivirus. Virus ini memiliki karakteristik periode laten yang panjang. Menurut bukti-bukti yang ada, HIV pada manusia merupakan hasil dari transmisi silang antar spesies dari primata yang terinfeksi virus SIV (Simian Immunodeficiency Virus). Transmisi virus ini dapat terjadi oleh karena manusia menjadikan primata ini sebagai peliharaan mereka. Morbiditas transmisi virus ini secara cepat meluas di seluruh dunia oleh karena transportasi modern, perilaku seksual dan penyalahgunaan obat-obatan (Burns et al., 2008 ).
8
Infeksi HIV terjadi melalui tiga cara utama yaitu seksual, parenteral dan perinatal. Parenteral transmisi terjadi karena sharing penggunaan obat-obat injeksi dengan menggunakan needle yang sudah terkontaminasi. Perinatal transmisi yang juga dikenal dengan transmisi secara vertikal (transmisi dari ibu - anak) dapat terjadi selama kehamilan, pada saat terjadinya partum dan selama menyusui (Burns et al., 2008 ). Kemungkinan penularan infeksi HIV melalui hubungan seksual anal adalah 0,1-3% kontak dan 0,1-0,2% melalui vagina. Penggunaan jarum adalah penyebab utama transmisi parenteral. Infeksi perinatal atau penularan vertikal penyebab utama (>90%) pada infeksi HIV anak. Resiko penularan antara ibu ke anak adalah sekitar 25% dan terjadi pada kasus ibu tidak menyusui dan dengan penggunaan terapi ARV (Sukandar,dkk., 2009). Sistem imun terdiri dari organ limfoid, termasuk di dalamnya sumsum tulang, timus, nodus limfa, limfa, tonsil, adenoid, appendiks, darah dan pembuluh limfa. Seluruh komponen ini berperan penting dalam pembentukan dan perkembangan limfosit atau sel darah putih. Limfosit B dan T diproduksi oleh sel utama sumsum tulang. Sel B tetap berada di sumsum tulang untuk melengkapi proses maturasi, dan sel T berjalan ke kelenjar Timus untuk melengkapi proses maturasi. Di sel timus, limfosit T menjadi imunokompeten, multipel, dan berdiferensiasi. Masing-masing sel T mempunyai penanda permukaan seperti CD4, CD8, dan CD3 yang membedakannya dengan sel lain. Sel CD4 merupakan sel yang mampu mengaktivasi sel B, killer cell dan makrofag saat terdapat antigen khusus. Secara imunologis, sel T yang terdiri atas T-helper atau yang disebut CD4
9
limfosit akan mengalami perubahan kualitas dan kuantitas (Nursalam dan Kurniawati, 2007). HIV
menyebabkan
beberapa
kerusakan
sistem
imun
dan
menghancurkannya. Hal tersebut terjadi dengan menggunakan DNA CD4 dan limfosit untuk mereplikasi diri. Dalam proses ini, HIV mampu menghancurkan CD4 dan limfosit. HIV menyerang CD4, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, bagian toksik HIV (bagian sampul) akan menghambat fungsi sel T. Secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut gp 120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4 yang kemudian menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen (APC). Setelah HIV melekat pada reseptor CD4 dan co-reseptor bagian sampul tersebut akan melakukan fusi dengan membran sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel membran. Di bagian inti terdapat enzim reverse transcriptase yang terdiri dari DNA polimerase dan ribonuklease. Pada inti yang mengandung RNA, enzim DNA polimerase akan menyusun copy DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuklease memusnahkan RNA asli. Enzim polimerase kemudian membentuk copy DNA kedua dari DNA yang tersusun sebagai cetakan. Setelah terbentuk, kode genetik DNA berupa untai ganda akan masuk ke inti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copy dari virus disisipkan dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4 kemudian bereplikasi menyebabkan sel limfosit CD4 mengalami sitolisis (Nursalam dan Kurniawati, 2007). Virus HIV yang telah berhasil masuk ke dalam tubuh pasien menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, sel-sel
10
bobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfa, sel-sel epitel di usus dan sel Langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak adalah ensefalopati (Nursalam dan Kurniawati, 2007).
2.1.4 Manifestasi Klinik pada Anak Pasien yang terinfeksi HIV akan menunjukkan dan gejala seperti demam, myalgia, limfadenopati, faringitis, atau rash (Burns et al., 2008 ). Selain dari gejala-gejala yang dialami pasien, manifestasi klinis orang dengan HIV/AIDS dapat diketahui melalui penghitungan jumlah CD4 (Sukandar,dkk., 2009). A.
CD4 Limfosit CD4 limfosit merupakan tipe sel mayor yang diinfeksi oleh HIV. Sel ini
berperan dalam sistem imun, termasuk produksi sitokin sebagai respon terhadap antigen spesifik, mendukung produksi antibodi dan membangkitkan respon imunologi. CD4 limfosit dapat diukur dalam tiga cara yang berbeda: jumlah sel CD4 absolut, persentase CD4 dari total limfosit, dan rasio CD4 dan CD8. Jumlah CD4 absolut dapat diukur secara langsung. Pada orang dengan HIV/AIDS, CD4 akan dihitung pertama kali setelah terdiagnosis. Kemudian CD4 dapat diukur kembali setiap 3 sampai 6 bulan ketika orang tersebut memulai terapi ARV untuk melihat seberapa baik respon tubuh terhadap ARV. Jumlah CD4 dapat bervariasi tergantung pada waktu darah diambil dan apakah terdapat infeksi atau penyakit seperti flu, atau infeksi menular seksual (IMS) (Spach and Hooton, 1999; Gomez et al., 2014). Pada anak terdapat klasifikasi CD4 yang dapat digunakan untuk menetapkan infeksi HIV yang disajikan pada tabel 2.1.
11
Tabel 2.1. Klasifikasi imunologi WHO untuk menetapkan infeksi HIV HIV terkait dengan imunologi
< 11 bulan (%CD4)
Tidak ada Ringan Lanjut Parah
>35 30-35 25-29 <25
Umur-nilai CD4 12-35 bulan 36-59 bulan (%CD4) (%CD4)
>30 25-30 20-24 <20
>5 tahun (jumlah absolut per mm3 atau %CD4) >25 >500 20-25 350-499 15-19 200-349 <15 <200 atau <15% (Sukandar,dkk., 2009).
Kriteria klinik untuk memprediksi keparahan infeksi HIV pada anak pada situasi tidak tersedia uji virologi (Sukandar,dkk., 2009). a.
Bayi dipastikan antibodi HIV positif umur < 18 bulan
b.
Diagnosa indikator lain dari AIDS dapat ditetapkan
c.
Bayi mengalami 2 atau lebih gejala seperti radang mulut, pneumonia berat dan sepsis berat Menurut Wormser (2004), penurunan CD4 pada orang penderita HIV/AIDS
dapat berasosiasi dengan onset infeksi opportunistik, AIDS dan hal ini merupakan indikator pemeriksaan laboratorium utama untuk memulai pemberian ARV pada orang dengan HIV/AIDS. Selain disebabkan oleh onset infeksi oportunistik, penurunan CD4 juga dapat dipengaruhi oleh keadaan defisiensi zink dan anemia (Wormser, 2004, Baum et al., 2010, Qazi et al., 2013).
12
2.1.5 Pengobatan Infeksi HIV Tujuan dari pengobatan HIV adalah untuk dapat menekan secara maksimal dan terus-menerus replikasi virus, mencegah terjadinya resistensi obat, mengembalikan fungsi imun, mencegah infeksi oportunistik dan meminimisasi ROTD (reaksi obat tidak diinginkan). Terapi ARV lini pertama yang direkomendasikan adalah kombinasi antara 2 Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) dengan 1 Non-nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI). Kombinasi yang umumnya digunakan yakni : Zidovudin, Lamivudin, Nepiravin atau kombinasi antara Zidovudin, Lamivudin, Nevirapin (Depkes RI,2007; Burns et al., 2008 ). Zidovudin (AZT) dan lamivudin (3TC) merupakan golongan NRTIs dimana zidovudin (AZT) merupakan analog thymidin, dan lamivudin (3TC) merupakan analog cytidin sedangkan nevirapin (NVP) merupakan golongan NNRTIs (WHO,2010).
Gambar 2.1. Siklus hidup HIV dan target obat antiretroviral (Burns et al., 2008 )
13
Terapi ARV lini II yang direkomendasikan menurut WHO (2013) adalah kombinasi antara 2 Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) dengan 1 Protease Inhibitor (PI). Kombinasi yang umumnya digunakan yakni: Abacavir, Lamivudin, Lopinavir/Ritonavir. Abacavir (ABC) merupakan golongan NRTI analog guanin, Lamivudin (3TC) merupakan analog cytidin sedangkan Lopinavir/Ritonavir (LPV/RTV) merupakan golongan PI. Perubahan lini terapi ARV yang diterima bergantung pada indikasi kegagalan terapi yang pernah ditunjukkan pasien (WHO, 2013). Selain terapi antiretroviral, konseling nutrisi dan diet juga termasuk kedalam kepedulian terhadap pasien HIV karena semakin memburuknya nutrisi pasien, maka akan memicu terjadinya outcome yang buruk (Burns et al., 2008 ).
2.1.6 Indikator Kegagalan Terapi ARV pada Anak Kegagalan terapi sangat berguna digunakan untuk memantau respon pasien terhadap terapi antiretroviral yang diberikan. Terdapat tiga tipe kegagalan terapi yaitu: a. Clinical Failure : kejadian klinis baru atau berulang yang menunjukkan kemajuan atau keparahan imunodefisiensi (Stadium klinis WHO 3 dan 4 kondisi klinis dengan pengecualian TB) setelah 6 bulan pengobatan yang efektif (WHO, 2013). a.
Immunology failure : tingkat CD4 persistent dibawah 200 sel/mm3 atau < 10% untuk anak < 5 tahun. Untuk anak ≥ 5 tahun, tingkat CD4 persistent
14
dibawah 100 sel/mm3 yang diukur sekurang-kurangnya 24 minggu setelah terapi ARV (WHO, 2010). b. Virologi failure : viral load di atas 1.000/mL didasarkan pada dua berturutturut pengukuran viral load setelah 3 bulan yang didukung dengan kepatuhan (WHO, 2013).
2.2
Malnutrisi Penetapan status nutrisi terkait identifikasi masing-masing individu terhadap
resiko under dan overnutrition. Undernutrition merupakan suatu kondisi dimana intake nutrisi yang inadekuat atau ketidak tepatan dalam mencerna nutrien serta dapat menyebabkan perubahan subselular, selular, dan atau fungsi organ yang dapat menyebabkan peningkatan resiko morbiditas dan mortalitas (DiPiro, et al., 1999). Intake makanan yang inadekuat atau absorpsi buruk dari mineral pembentuk tulang misalnya Ca dan Zn juga berkontribusi secara linier terhadap retardasi pertumbuhan. Mikronutrien lain seperti vitamin, mineral dan trace element juga diperlukan untuk fungsi dan integritas organ dan jaringan, proses metabolik dan / atau untuk uptake dan metabolisme nutrien lain. Defisiensi single nutrient pada anak dapat berasosiasi dengan gangguan pertumbuhan karena mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tulang secara normal (Prentice, et al., 2006). Selain itu, defisiensi nutrien dan kelebihan intake nutrien dapat menyebabkan konsekuensi negatif terhadap respon imun dan suseptibilitas patogen-patogen asing (Pradeep et al., 2010).
15
Keberhasilan nutrisi diidentifikasi dari persentase atau resiko timbulnya undernutrition dan komplikasinya, penentuan kebutuhan nutrisi dan menetapkan parameter dasar untuk penaksiran hasil terapi. Penaksiran status nutrisi merupakan tahap awal dalam menentukan rencana pelayanan nutrisi termasuk di dalamnya evaluasi klinis dan pengukuran athropometri. Antrhopometri merupakan pengukuran terhadap berat badan dan proporsi tubuh. Z-scores dapat digunakan untuk evaluasi antrhopometri yang direkomendasikan oleh WHO untuk negara berkembang. Bentuk evaluasi ini dapat secara akurat digunakan untuk mengklasifikasikan individu dengan keadaan malnutrisi (Anonim, 2009). Kriteria malnutrisi dapat dievaluasi melalui Actual Body Weight (ABW) yang dibandingkan dengan Ideal Body Weight (IBW) yang dapat dilihat pada tabel 2.2. (DiPiro, et al., 1999).
Tabel 2.2. Evaluasi malnutrisi berdasarkan perbandingan ABW dengan IBW atau Usual Body Weight (UBW) ABW yang dibandingkan dengan IBW Kekurangan nutrisi ABW < 69% Malnutrisi berat ABW 70-79% Malnutrisi sedang ABW 80-90% Malnutrisi ringan Normal ABW 90-120% Normal Kelebihan nutrisi ABW > 120% IBW Kelebihan berat badan ABW ≥ 150% IBW Obesitas ABW ≥ 200% IBW Obesitas morbidly ABW yang dibandingkan dengan Usual Body Weight (UBW) ABW 85-95% UBW Malnutrisi ringan ABW 75-84% UBW Malnutrisi sedang ABW <74% Malnutrisi berat
(DiPiro, et al., 1999)
16
Tabel 2.3 Kecepatan pertumbuhan yang diharapkan pada anak Umur 0-3 bulan 3-5 bulan 6-12 bulan 1-3 tahun 4-6 tahun 7-10 tahun
2.3
Berat Badan (g/hari) 24-35 15-21 10-13 5-9 5-6 7-11
Tinggi (cm/mo) 2,8-3,4 1,7-2,4 1,3-1,6 0,6-1,0 0,5-0,6 0,4-0,5 (DiPiro, et al., 1999).
Zink Zink diduga menghambat replikasi HIV dengan mengikat situs katalisis
protease HIV (Friis, 2005). Zink berperan dalam proses metabolisme. Di dalam plasma zink berikatan dan ditransportasi oleh albumin (60%) dengan afinitas rendah serta oleh transferin (10%) (Osredkar and Sustar, 2011). Keberadaan zink dalam serum pada penderita anemia sangat rendah. Absorpsi zink dan Fe terjadi secara antagonis dari jalur gastrointestinal, dimana peningkatan konsentrasi besi (Fe) pada lumen intestinal terjadi oleh karena penurunan uptake Zink (Hegazy et al., 2010). Zink diabsorpsi di usus melalui mekanisme Divalent Metal Transporter-1 (DMT-1) yang juga transporter besi dan mineral lain dalam usus. Adanya kesamaan transporter ini mempengaruhi absorpsi antara zink dengan besi (Fe) (Ridwan, 2012). Beberapa penelitian terkait
peranan zink
yang dikaitkan dengan
pembentukan sel darah merah menunjukkan bahwa rendahnya kadar zink dapat menganggu sintesis heme oleh karena zink berperran dalam penyediaan enzim δALA dehidrase yang memiliki peranan pnting dalam sintesis heme (Astuti, dkk., 2013).
17
Zink dapat mempengaruhi absorpsi mineral Copper (Cu) di dalam tubuh. Copper merupakan suatu mikronutrien yang memerankan fungsi penting pada metabolisme. Copper (Cu) secara esensial menjaga kekuatan kulit, pembuluh darah, dan jaringan epitel disekitar tubuh. Copper di absorpsi pada usus halus dan ditransportasi oleh albumin. Absorpsi dan metabolisme Copper (Cu) diimbangi dengan mineral zink. Apabila kadar zink rendah, maka absorpsi Copper di usus halus akan meningkat begitu juga sebaliknya (Osredkar and Sustar, 2011). Indikator kadar Copper (Cu) yang rendah ditunjukkan apabila kadar Cu di dalam rambut < 5µg/g (Weber, et al., 1990) Secara invitro zink dapat berinteraksi terhadap fungsi imun secara langsung, terhadap HIV secara langsung dan juga terhadap HIV yang menginfeksi sel host. a.
Efek zink terhadap sistem imun Defisiensi zink dapat menyebabkan ketidakseimbangan fungsi antara Th1 dan Th2 dengan penurunan secara proporsional cell mediated immunity (CMI). Selain itu, defisiensi zink juga dapat mencegah regenerasi CD4 baru pada T-limfosit. Pada infeksi HIV, dapat terjadi kerusakan kekebalan Tlimfosit CMI dan dapat terjadi disregulasi keseimbangan sitokin dengan pergeseran sitokin dari Th1 (IL-2, IFN-gamma) pada pertahanan selular sel host ke respon sitokin humoral Th2 (IL-4, IL-5, IL-6, IL-10) bahkan sebelum kehilangan CD4 limfosit. Dengan demikian, dalam memeriksa interaksi status zink dan gangguan imunologi terkait HIV mungkin sulit dilakukan oleh karena dapat disebabkan oleh peningkatan status zink atau
18
oleh efek pada imunosupresi HIV dengan asupan zink yang tinggi (Siberry, et al., 2002). b.
Efek langsung zink pada HIV Berdasarkan percobaan secara in-vitro, konsentrasi zink 100 mg/mL mampu menghambat transkripsi RNA HIV tanpa menyebabkan toksisitas pada sel host. Zink dapat menghambat protease HIV dengan mengikat di situs aktif aspartat katalistik (Siberry, et al., 2002).
c.
Efek zink pada sel host yang terinfeksi HIV Zink merupakan elemen yang tersedia dalam jumlah kecil yang memiliki fungsi sebagai antioksidan. Defisiensi zink dikaitkan dengan penurunan jumlah CD4, progresitivitas menjadi AIDS dan menyebabkan kematian. Secara in-vitro, replikasi HIV pada kultur sel dirangsang oleh oksigen radikal bebas. Zink mampu menurunkan oksidan dan radikal bebas, sehingga membatasi replikasi HIV (Bunupuradah, et al., 2013; Siberry, et al., 2002).
Biomarker yang sering digunakan dalam penetapan kadar zink adalah sampel darah atau rambut. Menurut Watts dalam The Nutritional Relationship of Zinc pada tahun 1988, metode penetapan status zink yang baik adalah dengan menggunakan rambut. Meskipun tingkat mineral jaringan rambut tidak sensitif terhadap penurunan zink akut, namun itu dianggap sebagai salah satu metode terbaik untuk menentukan status zink jangka panjang. Kadar zink yang rendah pada serum atau plasma mungkin mengindikasikan defisiensi, tetapi hal ini juga
19
memungkinkan terjadinya redistribusi jaringan. Zink adalah unsur intraseluler dan telah disepakati oleh sebagian pihak berwenang bahwa plasma, serum dan tingkat eritrosit bukan merupakan indikator yang sensitif terhadap penentuan status zink. (Watts, 1988). Menurut Beinner et al., 2010 dalam Plasma Zinc and Hair Zinc Levels, Anthropometric Status and Food Intake Of Children in A Rural Area Of Brazil, diketahui bahwa defisiensi zink ditemukan 11,2% pada anak dengan menggunakan sampel plasma dan 16,8% dengan menggunakan rambut anak. Defisiensi dapat disebabkan oleh absorpsi yang tidak adekuat, peningkatan ekskresi zink, atau peningkatan kebutuhan tubuh terhadap zink. Gejala pada defisiensi zink yaitu penurunan berat badan, perubahan indera perasa, dan kemunduran mental. Zink dapat diukur melalui plasma, sel darah merah, sel darah putih, dan rambut (Beinner et al., 2010). Defisiensi zink pada rambut dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti kerusakan folikel rambut oleh karena reaksi obat yang tidak diinginkan (adverse event) dari kemoterapi pada pengobatan tumor dan kerusakan oleh karena terapi radiasi. Dalam keadaan ini, akan berpengaruh terhadap tingkat keseluruhan pertumbuhan rambut penyatuan elemen ke dalam batang rambut. Anak dikatakan defisiensi zink apabila kadar zink pada sampel rambut anak adalah < 70 µg/g (Beinner et al., 2010). Asupan zink dapat diperoleh dari makanan dan suplemen. Dosis zink dalam suplemen pada penatalaksanaan HIV/AIDS pada anak umur < 18 tahun adalah 10 mg/hari yang diberikan selama enam sampai 14,9 bulan (Mayo
20
Foundation for Medical Education and Research, 2013). Menurut Anderson (2002), diketahui dosis zink sebagai trace element yang dibagi berdasarkan umur anak adalah sebagai berikut: 400 µg/kg sebagai preterm, 250 µg/kg untuk bayi < 3 bulan), 100 µg/kg untuk bayi > 3 bulan sampai 1 tahun, dan 500 µg/kg untuk anak > 1 tahun (Anderson, 2002). Selain dosis berdasarkan umur, adapun dosis pemberian zink berdasarkan jenis kelamin dibedakan menjadi anak laki-laki (8-12 tahun) 10,1 mg/hari dan anak perempuan (8-12 tahun) 8,9 mg/hari (WHO, 2001).