BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pajak
2.1.1
Definisi Pajak Pengertian pajak secara umum menurut pendapat para ahli yang dikutip
dari buku Diana Sari (2013), adalah sebagai berikut. Menurut Prof. Dr. P.J.A Andiani, mengungkapkan bahwa: “Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (Undang Undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggaran pemerintahan.” Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro, SH, mengungkapkan bahwa: “Pajak adalah Peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.” Pajak menurut Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan: “Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
2.1.2
Dasar Hukum Pajak Negara kita telah menempatkan landasan pemungutan pajaknya dalam
pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi sebagai berikut, “Segala
pajak
untuk
keperluan
Negara
berdasarkan
Undang-Undang”.
Penjelasannya: Betapa cara rakyat sebagai bangsa akan hidup dan dari mana didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan oleh rakyat itu sendiri dengan perantaraan dewan perwakilannya. Oleh karena penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat, seperti pajak dan lain-lainnya, harus ditetapkan dengan undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 2.1.3
Sistem Pemungutan Pajak Menurut buku Ikatan Akuntansi Indonesia (2013:9), sistem perpajakan
suatu negara terdiri atas tiga unsur pokok pemungutan pajak yang harus saling terkait satu sama lainnya, yaitu : 1. Kebijakan Pajak (Tax Policies) Kebijakan pajak adalah kebijakan fiskal dalam arti sempit. Dalam arti luas kebijakan fiskal adalah kebijakan untuk mempengaruhi produksi masyarakat, kesempatan kerja, dan inflasi, dengan menggunakan instrumen pemungutan pajak dan pengeluaran belanja negara. 2. Undang-undang Pajak (Tax Laws) Hukum pajak merupakan keseluruhan peraturan, kewenangan pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui kas negara.
3. Administrasi Pajak (Tax Administration) Administrasi pajak dalam arti luas meliputi fungsi, sistem dan organisasi atau kelembagaan. Ada 2 sistem pemungutan pajak : 1. Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan (menghitung dan menetapkan) besarnya pajak yang terhutang yang harus di bayar oleh Wajib Pajak. 2. Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan (menghitung dan menetapkan) sendiri besarnya pajak yang teruang dan membayarnya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan yang berlaku. Self assessment ini dalam pelaksanaannya didukung oleh Holding System yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan (menghitung dan menetapkan) besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. 2.1.4
Asas –Asas Pemungutan Pajak Menurut Adam Smith dalam Waluyo (2008:13) menyatakan bahwa
pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada asas – asas berikut ini:
1. Asas Equality Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata yaitu pajak dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil yang dimaksud bahwa setiap wajib pajak menyumbangkan uang untuk mengeluarkan pemerintah sebanding dengan kepentingan dan manfaat yang diminta.
2. Asas Certainty Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang – wenang. Oleh karena itu, Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti pajak yang terutang, kapan harus Dibayar, serta batas waktu pembayaran .
3. Asas Convenience Kapan Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat –saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak .
4. Asas Economy Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul Wajib Pajak. Sedangkan asas pemungutan pajak yang dipaparkan oleh Mardiasmo (2011:7) adalah sebagai berikut :
1. Asas Domisili ( asas tempat tinggal) Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. 2. Asas Sumber Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. 3. Asas Kebangsaan Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. 2.1.5
Teori Pemungutan Pajak
1. Teori Asuransi Teori ini mengatakan bahwa pajak itu diibaratkan sebagai suatu premi asuransi yang harus dibayarkan oleh setiap warga negara, karena warga negara tersebut telah mendapatkan perlindungan atas hak – haknya dari pemerintah yaitu keselamatan jiwa dan raganya. Tapi sekarang teori ini sudah tidak dipakai lagi karena tidak tepat dan bertentangan dengan sifat pajak yang diartikan bahwa untuk pembayaran pajak tersebut rakyat tidak meminta imbalannya secara langsung sebagaimana layaknya yang dilakukan oleh perusahaan asuransi. 2. Teori Kepentingan Menurut teori ini, yang harus membayar pajak adalah orang yang berkepentingan dan besarnya pajak yang dibayar sesuai dengan besarnya kepentingan Wajib Pajak
yang dilindungi. Teori ini tidak sesuai lagi dan
ditinggalkan orang karena tidak sesuai dengan sifat pajak, dimana kadang –
kadang yang berkepentingan adalah orang yang tidak mampu yang justru dilindungi oleh negara, misalnya rakyat miskin yang memerlukan jaminan sosial, sehingga disini terdapat kepentingan yang saling bertentangan. 3. Teori Daya Pikul Menurut teori daya pikul semua warga negara harus membayar pajak, dimana besar kecilnya pajak harus sesuai dengan daya pikul seseorang. Yang termasuk dalam daya pikul ini adalah segala macam beban pengeluaran dan tanggungan keluarganya, dan ini baru dapat dipikul bila seseorang mempunya penghasilan. Daya pikul seseorang tergantung dari pendapatan yang diperolehnya, sususnan keluarga, dan jumlah kekayaan yang dimilikinya. 4. Teori Bakti Teori ini mengutamakan kepentingan negara yang merupakan suatu kesatuan dari individu – individu diana setiap warga negara terkait kepada pemerintahannya, sehingga negara mempunyai hak atas warganegaranya dan kemungkinan secara mutlak untuk memungut pajak dari rakyatnya. Sebaliknya rakyat secara sadar membayar pajak karena menyadarinya sebagai kewajiban asli untuk membuktikan tanda baktinya kepada negara. 5. Teori Asas Daya Beli Teori ini mengatakan bahwa setiap warga negara harus membayar pajak berdasrkan kemampuan membelinya, apabila daya belinya besar berarti pendapatannya cukup besar juga, kemudian dari daya beli tersebut oleh negara (dalam bentuk pajak) disalurka kembali kepada masyarakat. Jadi pajak ini berasal
dari rakyat sesuai dengan kemampuannya yang kemudian kembali kepada rakyat yang disalurkan negara melalui pembangunan dan sebagainya. 2.1.6 Pembagian Pajak Menurut Mardiasmo (2011:5) pajak dikelompokan menjadi beberapa bagian yaitu sebagai berikut: 1. Menurut golongan A. Pajak langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh: Pajak Penghasilan. B. Pajak tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat di limpahkan ke pihak lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai. 2. Menurut sifat A. Pajak subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjek yang selanjutnnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperlihatkan keadaan dari Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan B. Pajak Objektif, adalah yang berpangkal atau berdasarkan atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperlihatkan keadaan dari Wajib Pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 3. Menurut pemungut dan pengelolannya
A. Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai. B. Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan. Contoh: Pajak Reklame, Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan 2.2
Sumber Pendapatan Daerah Dalam era otonomi daerah saat ini, pemerintahan daerah diberikan
kewenangan untuk menggali lebih luas,mengelola dan menggunakan sumber daya alam serta potensi – potensi lain yang terdapat di daerahnya masing –masing, untuk mendukung pelaksanaan pemerintahan dan pembangunannya. Menurut Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 5, pendapatan daerah bersumber dari : A. Pendapatan Asli Daerah; B. Dana Perimbangan; dan C. Lain-lain Pendapatan. 2.2.1
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Menurut Undang – Undang Republik Indonesia nomor 33 Tahun 2004
pasal 1 angka 18, Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 6, pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari: A. Pajak Daerah; B. Retribusi Daerah; C. Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan D. Lain-lain PAD yang sah. 2.2.2
Dana Perimbangan Menurut Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1: “Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.” Menurut Undang –Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 10, dana
perimbangan terdiri dari: A. Dana Bagi Hasil; B. Dana Alokasi Umum; dan C. Dana Alokasi Khusus.
2.2.3
Lain – Lain Pendapatan Daerah Yang Sah Menurut Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 43, lain-lain
Pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan Dana Darurat. Pendapatan Hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat. Menurut Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2004 pasal 1 angka 28: Hibah adalah Penerimaan Daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, Pemerintah,
badan/lembaga dalam negeri atau perseorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali. Sedangkan dana darurat menurut Undang –Undang Nomor 33 Tahun 2004 pasal 1 angka 29 adalah : Dana Darurat adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada Daerah yang mengalami bencana nasional, peristiwa luar biasa, dan/atau krisis solvabilitas. 2.2.4
Peranan Pendapatan Asli Daerah Desentralisasi pemerintahan mengakibatkan pemerintahan daerah harus
lebih mandiri dan berupaya untuk lebih menggali sumber daya berpotensi maupun yang sedang dikembangkan di daerahnya masing – masing, hal ini dilakukan untuk memperoleh pendapatan guna membiayai pengeluaran –pengeluaran umum rumah tangga daerah tersebut. Salah satu sumber pendapatan daerah berasal dari pendapatan asli daerah. Pendapatan asli daerah merupakan tulang punggung pembiayaan daerah, oleh karena itu kemampuan melaksanakan ekonomi diukue dari besarnya kontribusi yang diberikan oleh pendapayan asli daerah terhadap APBD. 2.3
Pajak Daerah Pajak daerah adalah salah satu sumber kontribusi pendapatan asli daerah
(PAD). Pajak daerah dipungut oleh pemerintah daerah tingkat I maupun pemerintah daerah tingkat II dan digunakan untuk membiayai rumah tangga masing masing daerah. Dasar hukum pengenaan pajak daerah adalah Undang – Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
2.3.1
Definisi Pajak Daerah Banyak definisi atau batasan pajak yang telah dikemukakan oleh para
pakar, yang satu sama lain pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu merumuskan pengertian pajak sehingga mudah dipahami. Perbedaannya hanya terletak pada sudut pandang yang digunakan oleh masing-masing pihak pada saat merumuskan pengertian pajak. Menurut P. J. A. Andriani dalam bukunya Waluyo (2011:12) : “Pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara (yang dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhubung tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.” Beberapa pengertian atau istilah yang terkait dengan Pajak Daerah antara lain dalam buku milik Waluyo (2011) yaitu: 1. Daerah Otonom Selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Pajak Daerah Yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangundangan
yang
berlaku,
yang
digunakan
untuk
membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
3. Badan Adalah sekumpulan orang dan/ atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseorangan terbatas, perseorangan komanditer, perseorangan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masal, organisasi politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk usaha lainnya. 4. Subjek Pajak Adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan Pajak Daerah. 5. Wajib Pajak Adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak yang terutang, termasuk pemungut atau pemotong pajak tertentu. Pajak daerah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Pajak Daerah Provinsi Berdasarkan UU No.28 Tahun 2009 disebutkan bahwa pajak daerah yang dapat dipungut oleh daerah tingkat I antara lain : a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. 2. Pajak Daerah Kabupaten/Kota Sedangkan menurut UU No.28 tahun 2009 disebutkan bahwa pajak daerah yang dapat dipungut oleh daerah tingkat II, antara lain : a. Pajak Hotel; b. Pajak Restoran; c. Pajak Hiburan; d. Pajak Reklame; e. Pajak Penerangan Jalan; f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C; g. Pajak Parkir; h. Pajak Sarang Burung Walet; i. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
2.3.2
Ciri – Ciri Pajak Daerah Menurut Azhari (2005:49), ciri-ciri Pajak Daerah adalah:
1. Pajak daerah dapat berasal dari pajak asli daerah maupun pajak Negara yang diserahkan kepada daerah sebagai pajak daerah 2. Pajak daerah dipungut oleh daerah terbatas di dalam wilayah administratif yang dikuasainya
3. Hasil pungutan pajak daerah dipergunakan untuk membiayai urusan rumah tangga daeerah atau untuk membiayai pengeluaran daerah sebagai badan hukum 4. Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan Peraturan Daerah (Perda), maka sifat pemungutan pajak daerah dapat dipaksakan kepada masyarakat
yang
wajib
membayar
dalam
lingkungan
kekuasaannya. 2.3.3
Sistem Pemungutan Pajak Daerah Undang – undang Nomor 28 Tahun 2009 menetapkan sistem
pemungutan pajak untuk setiap Pajak Daerah : 1
Sistem Pemungutan Pajak Daerah Pemungutan pajak daerah saat ini menggunakan tiga sistem pemungutan pajak. Sebagaimana yang tertera dibawah ini:
2
a.
Dibayar sendiri oleh wajib pajak
b.
Ditetapkan oleh kepala daerah
c.
Dipungut oleh pemungut pajak
Pemungutan Pajak Daerah Dimungkinkan kerjasama dengan pihak ketiga dalam proses pemungutan pajak, antara lain: a. Percetakan formulir perpajakan b. Pengiriman surat – surat kepada wajib pajak c. Penghimpunan data objek dan subjek pajak
Untuk wajib pajak, sesuai dengan ketetapan kepala daerah maupun yang dibayar sendiri oleh wajib pajak : a. Diterbitkan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD) b. Surat Keputusan Pembetulan c. Surat Keputusan Keberatan d. Putusan Banding sebagai dasar pemungutan dan penyetoran pajak. 2.3.4
Jenis – Jenis Pajak Daerah Menurut Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009
pajak daerah dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: 1. Pajak Provinsi, terdiri atas: a. Pajak Kendaraan Bermotor Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat –alat berat dan alat – alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen serta kendaraan bermotor yang dioperasikan di air. b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau
perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan atau pemasukan dalam badan usaha. c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor. Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk kendaraan bermotor. d. Pajak Air Permukaan Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, tidak termasuk air laut, baik yang berada di laut maupun di darat. e. Pajak Rokok Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah. 2. Pajak Kota/Kabupaten terdiri atas: a. Pajak Hotel Pajak hotel adalah pajak atas pelayana hotel. Hotel adalah bangunan yang khusus disediakan bagi orang untuk dapat menginap/ istirahat, memperoleh pelayanan, dan atau fasilitas lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh).
b. Pajak Restoran Pajak restoran adalah pajak atas pelayanan restoran. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan atau minuman dengan diungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetari, kantin,warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering. c.
Pajak Hiburan
Pajak hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut biaya. d.
Pajak Reklame
Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. Reklame adalah benda, alat, pembuatan atau media yang menurut bentuk dan corak ragamnya untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum kepada suatu barang, jasa, atau orang yang ditempatkan atau yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar dari suatu tempat oleh umum.
e.
Pajak Penerangan Jalan
Pajak penerangan jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain f.
Pajak Mineral Bukan Logam
Pajak Mineral Bukan Logam adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan. g.
Pajak Parkir
Pajak Parkir adalah pajak yang dikenakan atas tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor. h.
Pajak Air Tanah
Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/ atau pemanfaatan Air tanah. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. i.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah pebuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi ata badan. j.
Pajak Sarang Burung Walet Setiap kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung wallet
dipungut pajak dengan nama Pajak Sarang Burung Walet. k. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. 2.3.5
Tarif-tarif Pajak Daerah untuk Kabupaten/Kota Besarnya tarif yang berlaku untuk pajak Kabupaten/Kota ditetapkan
dengan peraturan daerah, namun tidak boleh lebih tinggi dari tarif maksimum yang telah ditentukan dalam Undang-Undang. Berdasarkan UU No.28 Tahun 2009 ditentukan besarnya tarif pajak diantaranya: 1. Pajak Hotel dengan tarif 10% 2. Pajak Restoran dengan tarif 10% 3. Pajak Hiburan dengan tarif 35% 4. Pajak Reklame dengan tarif 25% 5. Pajak Penerangan Jalan dengan tarif 10% 6. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C dengan tarif 20% 7. Pajak parkir dengan tarif 20% 8. Pajak Sarang Burung Walet dengan tarif 10% 9. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan 5% 2.4
Pengertian Pajak Reklame Sebelum mengetahui pengertian pajak reklame terlebih dahulu harus
diketahui pengertian reklame itu sendiri. Sesuai Buku Peraturan Daerah No. 08 tahun 2003 tentang pajak reklame, yang dimaksud dengan reklame adalah : “ Reklame adalah benda, alat, perbuatan atau media yang menurut bentuk susunan dan corak ragamnya untuk tujuan komersil, dipergunakan untuk
memperkenalkan, menganjurkan atau memujikan suatu barang, jasa atau orang, ataupun untuk menarik perhatian umum kepada suatu barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar dari suatu tempat oleh umum, kecuali yang dilakukan oleh pemerintah ”.
Sedangkan pengertian reklame menurut Buku Peraturan Daerah No. 08 tahun 2003 tentang pajak reklame adalah : “ Pajak Reklame yang selanjutnya disingkat pajak adalah pajak atas penyelenggaraan reklame “. 2.4.1
Objek dan Subjek Pajak Reklame
2.4.1.1 Objek Pajak Reklame Menurut Marihot P.Siahaan dalam buku Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyatakan bahwa : “ Yang menjadi objek pajak reklame adalah semua penyelenggara reklame, penyelenggaraan reklame dapat dilakukan oleh penyelenggara reklame atau perusahaan jasa periklanan yang terdaftar pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten/ Kota”(2005:11) Yang menjadi objek pajak reklame adalah semua penyelenggaraan reklame yang dilakukan oleh perusahaan jasa periklanan.Objek pajak reklame terdiri dari 10 macam yang berbeda-beda. “Sebagaimana yang dimaksud diatas objek pajak reklame menurut Marihot P.Siahaan (2005:384) dalam buku Pajak Daerah dan Retribusi Daerah meliputi: a. Reklame papan, yaitu reklame yang tebuat dari papan, kayu, termasuk seng atau bahan lain yang sejenis, dipasang atau digantungkan pada
bangunan, tembok, dinding dan sebagainya baik bersinar maupun yang disinari b. Reklame video, yaitu reklame yang menggunakan layar monitor besar berupa program reklame atau iklan bersinar dengan gambar dan atau tulisan berwarna yang dapat berubah-ubah, terprogram, dan difungsikan dengan tenaga listrik. c. Reklame kain, yaitu reklame yang diselenggarakan dengan menggunakan bahan kain, termasuk kertas, plastik, karet atau bahan lain yang sejenis dengan itu. d. Reklame melekat (stiker), yaitu reklame yang berbentuklembaran lepas, diselenggarakan dengan cara disebarkan, dipasang, digantungkan pada suatu benda dengan ketentuan luasnya tidak lebih dari 200 cm² per lembar. e. Reklame selebaran, yaitu reklame yang berbentuk lembaran lepas, diselenggarakan dengan cara disebarkan, diberikan atau dapat diminta dengan ketentuan tidak untuk ditempelkan, diletakkan, dipasang, atau digantungkan pada suatu benda lain. f. Reklame berjalan termasuk pada kendaraan, yaitu reklame yang ditempatkan atau ditempelkan pada kendaraan yang diselenggarakan dengan menggunakan kendaraan atau dengan cara dibawa oleh orabg. g. Reklame udara, yaitu reklame yang diselenggarakan di udara dengan menggunakan gas, laser, pesawat, atau alat lain yang sejenis.
h. Reklame Suara, yaitu reklame yang diselenggarakan dengan menggunakan kata-kata yang diucapkan atau dengan suara yang ditimbulkan dari atau oleh perantaraan alat. i. Reklame film / slade, yaitu reklame yang diselenggarakan dengan menggunakan klise berupa kaca atau film, ataupun bahan-bahan yang sejenis, sebagai alat untuk diproyeksikan dan atau dipancarkan pada layer atau benda lain yang ada diruangan. j. Reklame peragaan, yaitu reklame yang diselenggarakan dengan cara memperagakan suatu barang dengan atau tanpa disertai suara.” (2005). Ada beberapa objek pajak yang dikecualikan dalam pasal ini yaitu penyelenggaran Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian,warta mingguan, warta bulanan, dan Reklame yang diadakan khusus untuk kegiatan social, pendidikan keagamaan, dan politik tanpa sponsor. 2.4.1.2 Subjek Pajak Reklame Subjek Pajak Reklame tercantum pada Pasal 3 dalam Peraturan Daerah Nomor 08 Tahun 2003 yaitu : ”Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan atau melakukan pemesanan reklame” Jadi setiap orang pribadi atau badan yang akan menyelenggarakan atau melakukan pemesanan reklame disebut sebagai subjek pajak reklameBerdasarkan Buku Peraturan Daerah No. 08 tahun 2003 tentang pajak reklame, pasal 3 ayat 1 dan ayat 2 yang menjadi subjek pajak reklame adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan atau melakukan pemesanan reklame, dan yang menjadi
wajib pajak reklame adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan reklame. 2.4.2
Dasar Hukum Pajak Reklame Pemungutan pajak reklame di Indonesia saat ini didasarkan pada dasar
hokum yang jelas dan kuat sehingga harus dipatuhi oleh masyarakat dan pihak terkait. Dasar hukum pemungutan pajak reklame pada suatu kabupaten/kota menurut Marihot P.Siahaan (2005:383) dalam bukunya Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah : “Dasar pemungutan Pajak Reklame a. Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. b. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah c. Peraturan Daerah kabupaten/ kota yang mengatur tentang Pajak Reklame. d. Keputusan bupati/walikota yang mengatur tentang Pajak Reklame sebagai aturan pelaksanaan peraturan daerah tentang Pajak Reklame pada kabupaten/kota dimaksud.” (2005) 2.4.3
Dasar Pengenaan Pajak Reklame Berdasarkan Buku Peraturan Daerah No. 08 tahun 2003 tentang pajak
reklame, pasal 4 ayat 1. yang menjadi dasar penggenaan pajak reklame adalah nilai sewa reklame. Dalam pajak reklame ada hal-hal yang perlu diperhatikan diantaranya Dasar-dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan.
Dasar pengenaan pajak reklame adalah nilai sewa reklame (NSR), yaitu nilai yang ditetapkan sebagai dasar perhitungan penetapan besarnya Pajak Reklame.NSR diperhitungkan dengan memerhatikan lokasi penempatan, jenis, jangka waktu penyelenggaraan, dan ukuran media reklame. NSR dapat dihitung berdasarkan : a. Besarnya biaya pemasangan reklame b. Besarnya biaya pemeliharaan reklame c. Lama pemasangan reklame d. Jenis reklame Cara perhitungan NSR ditetapkan dengan peraturan daerah. Umumnya peraturan daerah akan menetapkan bahwa NSR ditetapkan oleh bupati/walikota dengan
persetujuan
DPRD
kabupaten/kota
yang
bersangkutan
dengan
berpedoman pada Keputusan Menteri Dalam Negeri. Hasil perhitungan NSR ditetapkan dengan keputusan bupati/walikota. Nilai Sewa Reklame dihitung dengan rumus :
Nilai Sewa Reklame =
Nilai Jual Objek Reklame (NJOR) + Nilai Strategis Pemasangan Reklame
Nilai Jual Objek Reklame (NJOR) adalah keseluruhan pembayaran / pengeluaran yang dikeluarkan oleh pemilik dan atau penyelenggara reklame, termasuk dalam hal ini adalah biaya / harga beli bahan reklame, konstruksi, instalasi
listrik,
pembayaran/ongkos
perakitan,
pemancaran,
peragaan,
penayangan, pengecatan, pemasangan dan transportasi pengangkutan dan lain
sebagainya sampai dengan bangunan reklame selesai dipancarkan, diperagakan, ditayangkan dan atau terpasang di tempat yang telah diizinkan. Perhitungan
NJOR
didasarkan
pada
besarnya
komponen
biaya
penyelenggaraan reklame, yang meliputi indikator : a. Biaya pembuatan/konstruksi b. Biaya pemeliharaan c. Lama pemasangan d. Jenis reklame e. Luas bidang reklame f. Ketinggian reklame Besarnya NJOR dihitung dengan rumus : NJOR = (Ukuran Reklame x Harga Dasar Ukuran Reklame) + (Ketinggian Reklame x Harga Dasar Ketinggian Reklame)
Nilai Strategis Pemasangan Reklame yang selanjutnya disingkat (NSPR) adalah ukuran nilai yang ditetapkan pada titik lokasi pemasangan reklame tersebut, berdasarkan criteria kepadatan pemanfaatan tata ruang kota untuk berbagai aspek kegiatan di bidang usaha. Perhitungan nilai strategis didasarkan pada besarnya ukuran reklame, dengan indicator : nilai fungsi ruang (NFR) lokasi pemasangan;nilai fungsi jalan (NFJ); dan nilai sudut pandang (NSP). Besarnya NSPR dihitung dengan rumus sebagai berikut: NSPR = (NFR + NSP + NFJ) x Harga Dasar Nilai Strategis
NSPR = [{Fungsi Ruang (=Bobot x skor)} + {Fungsi Jalan (=Bobot x skor )} {sudut pandang (=Bobot x skor)}] x Harga Dasar Nilai Strategis
Untuk menghitung luas reklame sebagai dasar pengenaan pajak dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Reklame yang mempunyai bingkai atau batas, dihitung dari bingkai atau batas paling luar dimana seluruh gambar, kalimat atau huruf-huruf tersebut berada didalamnya b. Reklame yang tidak berbentuk persegi dan tidak berbingkai, dihitung dari gambar, kalimat atau huruf-huruf yang paling luar dengan jalan menarik garis lurus vertical dan horizontal, sehingga merupakan empat persegi c. Reklame yang berbentuk pola, dihitung dengan rumus berdasarkan bentuk benda masing-masing reklame 2.4.4
Tarif Pajak Reklame Pajak Reklame memiliki tarif yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 08 Tahun 2003 Pasal 7 bahwa : “ Tarif pajak reklame telah ditetapkan sebesar 25%” Untuk semua objek pajak yang mempromosikan rokok, minuman beralkohol sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, dikenakan tambahan sebesar 25% dari Nilai Sewa Reklame.
Tabel 2.1 Nilai Sewa Reklame Kota Bandung
No .
-
Jenis
1 2 1 Megatron/Videotr on/LED - a. Megatron
Masa Pajak
3 -
Nilai Jual Obyek Pajak Reklame (NJOR) Harga Dasar Ukuran Reklame (Rp/ m2) Harga Dasar Ketinggian (Rp) < 10 10 - 50 > 50 Satu an 4 5 6 7 8 - -
PerTahun
1.500.000
2.000.000
2.500.000
/m2
-
b. Video Tron Video Wall
PerTahun
2.000.000
2.500.000
3.000.000
/m2
-
200.000.00 /m 200.000.00 /m 200.000.00 /m 100.000.00 /m 100.000.00 /m
Dinamics Board 2 Billboard/papan - a. Bando Jalan
PerTahun
1.000.000
1.500.000
2.000.000
/m2
Per Tahun
1.500.000
2.000.000
2.500.000
/m2
-
Per Tahun
750.000
1.000.000
1.250.000
/m2
5.000 3.000
5.000 3.000
-
/m2 /m2
-
Per Penyeleng gara
-
-
3.000
-
5 Berjalan 6 Melekat - a. Poster/ Melekat/ Stiker - b. Timplet
Per Tahun Per Bulan
-
-
/Le mbar Foli o 3.500.000 /m2 25 /cm2
Per Bulan
20.000
-
-
7 Udara/Balon
-
-
-
3.000.000
8 Suara - a. Permanen
Per Tahun
-
-
20.000
-
Per Penyeleng gara -
-
-
10.000
-
-
1.000
-
-
-
-
b. Papan/Neon Sign/Neon Box - c. Baligo 3 Kain/Spanduk/ Umbulumbul/Banner 4 Selebaran/Brosur/ Leafleat
b. tidak permanen
9 Film/Slide 10 Peragaan
Per Hari Per Hari
/Bua h /Lok asi /Lok asi /10 dtk -
100.000.00 /m 100.000.00 /m --
-
-
a. permanen
-
-
-
50.000
b. tidak permanen
-
-
-
30.000
/Lok asi /Lok asi
-
Nilai Strategi Pemasangan Reklame (NSPR) Fungsi Ruang Fungsi Jalan Sudut Pandang Bobot = Bobot = 60% Skor Bobot = 15% Skor Skor 25% 9 10 11 12 13 14 Arteri Primer/ Kawasan Khusus 10 4 arah 10 Jalan Nasional Kawasan Selektif Arteri Sekunder/ Kawasan Umum 10 8 3 arah 8 Jalan Propins a. Pusat Kawasan Perdagangan b. Kawasan Perdagangan Kawasan Umum 6 Kolektor6 2 arah 4 a. Perkantoran b. Campuran Kawasan Umum 2 Lokasi/Lingkungan 4 1 arah 2 a. Perumahan b. Industri -
Keterangan : 1. Nilai satu satuan Nilai Strategis adalah sebagai berikut : Luas Reklame ≥ 50 M2 = Rp. 2.500.000 Luas Reklame diantara 10-50 M2 = Rp. 1.000.000 Luas Reklame diantara 39,99 M2 = Rp. 500.000 Luas Reklame ≤ 2,99 M2 = Rp. 200.000 Khusus Kain/Spanduk/Umbul-umbul/Banner = Rp. 25.000 2. Sudut Pandang dibedakan berdasarkan lokasi titik reklame terhadap jumlah arah arus lalu lintas disekitar penempatannya yang dapat ditentukan dari persimpangan lima , persimpangan empat, jalan dua arah dan jalan satu arah. 3. Untuk Reklame dalam ruangan ( Indoor); jumlah sudut pandang = 1 2.4.5 Perhitungan Pajak Reklame Besarnya pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak denagn dasar pengenaan pajak. Secara umum perhitungan Pajak Reklame adalah sesuai dengan rumus berikut :
Pajak Terutang
= Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak = Tarif Pajak x Nilai Sewa Reklame
2.4.6
Penetapan pajak Reklame Setelah menjelaskan dasar penggenaan dan menentukan tarif pajak
reklame maka langkah selanjutnya adalah menetapkan pajak reklame tersebut. Adapun penetapan yang berdasarkan peraturan daerah No. 08 tahun 2003 tentang pajak reklame adalah sebagai berikut : 1. Berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) yang telah ditetapkan, maka Walikota atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan Pajak terutang dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD). 2. Bentuk, isi, kualitas dan ukuran Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) lebih lanjut oleh Walikota. 3. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, Pajak yang terutang tidak atau kurang bayar. 4. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDBT) apabila ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
5. Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPD apabila jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Dengan adanya penetapan pajak maka akan meningkatkan kesadaran bagi wajib pajak untuk membayar kewajiban pajaknya. 2.4.7
Tata Cara Pembayaran dan Pemungutan Pajak Reklame Tata cara pembayaran dan pemungutan pajak reklame berdasarkan
peraturan daerah No. 08 tahun 2003 tentang pajak reklame, adapun tata cara pembayaran pajak reklame ditetapkan sebagi berikut : 1. Pembayaran pajak harus dilakukan sekaligus atau lunas dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD). 2. Pemungutan pajak tidak dapat diborongkan. 3. Pajak yang terutang dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD), Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB), Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambah (SKPDKBT), 4. Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD), Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding (SKKPB) yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. 5. Walikota atau pejabat yang ditunjuk atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan
yang telah ditentukan dapat memberikan
persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda
pembayaran pajak dengan dikenekan bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan. 6. Tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran dan penundaan pembayaran pajak ditur lebih lanjut oleh walikota. Tatacara Pemungutan Pajak Reklame : 1. Surat Peringatan atau Surat lain yang sejenis sebagai awal tindakan pelaksanaan penagihan pajak dikeluarkan 7 (tujuh) hari kerja sejak saat jatuh tempo pembayaran. 2. Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal Surat Peringatan atau Surat lain yang sejenis. Wajib Pajak harus melunasi pajak yang terutang. 3. Surat Peringatan atau Surat lain yang sejenis dikeluarkan oleh Walikota atau Pejabat yang ditunjuk. 4. Apabila jumlah pajak yang harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka sebagai mana ditentukan dalam Surat lain yang sejenis, ditagih dengan Surat Paksa. 5. Walikota atau pejabat yang ditunjuk menerbitkan surat paksa setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak Surat Peringatan atau Surat lain diterima oleh Wajib Pajak. 6. Apabila pajak yang harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal pemberitahuan Surat Paksa, Walikota atau Pejabat
yang ditunjuk segera menerbitkan Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan.
7. Setelah dilakukan penyitaan dan Wajib Pajak belum juga melunasi hutang pajaknya, maka lewat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Walikota atau Pejabat yang ditunjuk mengajukan permintaan penetapan tanggal pelelangan kepada Kantor Lelang Negara. 8. Setelah Kantor Lelang Negara menetapkan hari, tanggal, jam dan tempat pelaksanaan lelang, juru sita memberitahukan dengan segera secara tertulis kepada wajib pajak. 9. Penunjukan Juru Sita ditetapkan oleh Walikota. 10. Pajak yang terutang berdasarkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding yang kurang bayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan surat paksa. 11. Bentuk, jenis dan formulir yang dipergunakan untuk melaksanakan penagihan Pajak ditetapkan lebih lanjut oleh Walikota. Selain penetapan pajak reklame, tata cara pembayaran dan pemungutan pajak reklame tesebut harus diperhatikan agar tidak terjadi kesalah pahaman antara petugas pemungut pajak dengan wajib pajak. 2.4.8
Sanksi Perpajakan Menurut Undang-Undang Sanksi pajak berdasarkan pasal 7 UU KUP No.28 Tahun 2007 dikenakan
apabila wajib pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) tepat waktu sesuai dengan jangka waktu pemyampaian SPT atau batas waktu perpanjangan surat pemberitahuan dimana jangka waktutersebut adalah sesuai dengan pasal 3
ayat 3 dan pasal 3 ayat 4 Undang – Undang Ketentuan Umum Perpajakan No. 28 tahun 2007 masing – masing yang berbunyi : 1. Untuk surat pemberitahuan Masa , paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa pajak. 2. Untuk Surat Pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan wajib pajak orang pribadi, paling lama 3 bulan setelahakhir tahun pajak. 3. Untuk surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan Wajib pajak Badan, paling lama 4 bulan setelah akhir tahun pajak. Sanksi perpajakan merupakan jaminan ketentuan peraturanperundangundangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/ditaati/dipatuhi, dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan Mardiasmo (2011:59). 2.4.8.1 Jenis – jenis Sanksi Perpajakan Ada dua macam sanksi perpajakan Sari (2013:270) : Sanksi Administrasi yang terdiri dari : a. Sanksi Administrasi Berupa Denda Sanksi denda adalah jenis sanksi yang paling banyak ditemukan dalam UU Perpajakan. Terkait besarannya denda dapat ditetapkan sebesar jumlah tertentu, persentase dari jumlah tertentu, atau suatu angka perkalian dari jumlah tertentu. b. Sanksi Administrasi Berupa Bunga Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan atas pelanggaran 19 yang menyebabkan utang pajak menjadi lebih besar. Jumlah bunga dihitunga
berdasarkan persenase tertentu dari suatu jumlah, mulai dari saat bunga itu menjadi hak/kewajiban ssampai dengan saat diterima dibayarkan. c. Sanksi Administrasi Berupa Kenaikan Jika melihat bentuknya, bisa jadi sanksi administrasi berupa kenaikan adalah sanksi yang paling ditakuti oleh wajib pajak. Hal ini karena bila dikenakan sanksi tersebut, jumlah pajak yang harus dibayar bisa menjadi berlipat ganda. Sanksi berupa kenaikan pada dasarnya dihitung dengan angka persentase tertentu dari jumlah pajak yang tidak kurang bayar. Sanksi Pidana UU KUP menyatakan bahwa pada dasarnya, pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan Kepatuhan WajibPajak. Hukum pidana diterapkan karena adanya tindak pelanggaran dantindak kejahatan. Sehubungan dengan itu, di bidang perpajakan, tindak pelanggaran disebut dengan kealpaan, yaitu tidak sengaja, lalai, tidak hatihati, atau kurang mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Sedangkan tindak kejahatan adalah tindakan dengan sengaja tidak mengindahkan kewajibanpajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.Dalam UU Perpajakan Indonesia, ketentuan mengenai sanksi pidana pada intinya diatur dalam Bab VIII UU KUP sebagai hukum pajak format. Namun, dalam UU Perpajakan lainnya, dapat juga diatur sanksi pidana. Sanksi pidana biasanya disertai dengan sanksi administrasi berupa denda, walaupun tidak selalu ada. a.
Pidana Kurungan
Pidana kurungan hanya diancamkan kepada tindak pidana yang bersifat pelanggaran. Dapat ditujukan kepada wajib pajak dan pihak ketiga. Karena pidana kurungan yang diancam kepada si pelanggar norma itu ketentuannya sama dengan yang diancam dengan denda pidana, maka masalahnya hanya ketentuan mengenai denda pidana sekian itu diganti dengan pidana kurungan selama-lamanya sekian. b. Pidana Penjara Pidana penjara sama seperti halnya pidana kurungan, merupakan hukuman perampasan kemerdekaan. Pidana penjara diancamkan terhadap kejahatan. Ancaman pidana penjara tidak ada yang ditujukan kepada pihak ketiga, adanya kepada pejabat atau kepada wajib pajak. 2.4.9
Ketentuan Sanksi Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandung Adapun hal yang lebih penting yang harus diperhatikan oleh wajib pajak
adalah ketentuan sanksi yang akan menjerat para waji pajak yang kurang memperhatikan / bertanggungjawab atas pajak yang harus ditanggungnya. Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung Nomor 08 Tahun 2003 tentang ketentuan sanksi bagi Wajib Pajak Reklame, yaitu terdiri 2 (dua) ketentuan umum adalah sebagai berikut : Sanksi Administrasi a. Setiap Wajib Pajak yang tidak atau kurang membayar setelah lewat waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya SKPD, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan. b. Pengenaan denda administrasi ini ditagih dengan menerbitkan STPD.
c. Setiap Wajib Pajak dikenekan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari pajak yang tidak, kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu selama-lamanya 24 (duapuluh empat) bulan terhitung sejak saat terutangnya pajak apabila melakukan pelanggaran. 1. Tidak atau kurang bayar pajak setelah dilakukan pemeriksaan atau adanya keterangan lain. 2. Tidak menyampaiakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) dalam jangka waktu yang ditentukan dan telah ditegur secara tertulis. d. Setiap Wajib Pajak yang tidak melakukan pengisian SPTPD, pajak terutangnya dihitung secara jabatan, dan dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak, dan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari pajak yang tidak, kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu selama-lamanya 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak saat terutangnya pajak. e. Untuk pengenaan denda administrasi diterbitkan SKPDKB. f. Setiap WP yang karena ditemukannya data baru atatu data yang semula belum terungkap sehingga menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang, dikenakan sanksi administrasi sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut. g. Kenaikan tidak dikenakan apabila WP melapor sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
h. Setiap WP karena tidak melaksanakan kewajiban membayar pajak terutang dalam SKPDKB dan SKPDKBT tidak sepenuhnya membayar dalam jangka waktu yang ditentukan dalam keputusan termaksud, ditagih dengan menerbitkan STPD ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan. i. Tidak dikenakan sanksi administrasi, apabila WP melaporkan sendiri adanya kekurangan pajak terutang sebelum dilakukan tindak pemeriksaan. Sanksi Pidana a. Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahu dan/atau denda paling banyak 2 (dua) kali jmlah pajak yang terutang. b. Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak lengkap atau tidak benar atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang. c. Sanksi pidana ini dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan 2 (dua) ketentuan sanksi tersebut maka itu akan menyadarkan para Wajib Pajak untuk tepat waktu membayar pajak pada umumnya, pajak reklame pada khususnya.
2.5
Penelitian Terdahulu 1. Penelitian terdahulu dilakukan oleh Muliari dan Setiawan (2010). Mereka melakukan penelitian mengenai pengaruh persepsi tentang sanksi perpajakan dan kesadaran wajib pajak pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Timur. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik analisis regresi linear berganda. Variabel bebas yang digunakan adalah persepsi tentang sanksi perpajakan dan kesadaran wajib pajak. Variabel terikat yang digunakan adalah kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi. Hasil penelitian Muliari dan Setiawan (2010) adalah bahwa persepsi wajib pajak tentang sanksi perpajakan secara parsial berpengaruh positif dan signifikan pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi. Begitu juga dengan kesadaran wajib pajak secara parsial berpengaruh positif dan signifikan pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi. 2. Sri Watini (2010) meneliti mengenai pengaruh pemungutan pajak reklame terhadap penerimaan pajak daerah kota Bandung (Studi Empirik Pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Bandung). Variabel terkait menganalisa menggunakan data realisasi pajak reklame dan kontribuinya, serta pendapatan asli daerah kota Bandung. Hasil dari penelitian Sri Watini (2010) adalah pemungutan pajak reklame tidak berpengaruh terhadap penerimaan pajak daerah Kota Bandung dan antara pemungutan pajak reklame dengan penerimaan pajak daerah Kota Bandung memiliki hubungan yang sangat lemah dan positif atau searah.
3. Mohammad Riduansyah meneliti mengenai kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah terhadap pendapatan asli daerah (PAD) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) guna mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Variabel X dalam penelitian ini yaitu : Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan Variabel Y dalam penelitian ini adalah : Pendapatan Asli Daerah dan Anggaran. Hasil dari penelitian tersebut adalah Pendapatan dan Belanja Daerah Kontribusi Pajak dan Retribusi Daerah berpengaruh signifikan terhadap PAD. Kontribusi Pajak dan Retribusi Daerah terhadap APBD dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah hasilnya dinyatakan cukup baik. 4. Binar Adhityo Dwitya (2012) meneliti analisis potensi atas penerimaan Pajak Hotel dan kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah, dengan objek penelitian Dinas Pendapatan, pengelolaan keuangan, dan aset daerah Kabupaten 43 Jepara. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa Pajak Hotel memiliki potensi yang besar, namun kontribusi yang dihasilkan dari realisasi penerimaan Pajak Hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah sangat kurang atau rendah. Hal ini membuktikan bahwa penerimaan Pajak Hotel dan kontribusinya tidak berpengaruh signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah.
Tabel 2.1 Studi Empiris dengan Penelitian Terdahulu
No Peneliti
Judul
Variabel Penelitian
Penelitian
Hasil Penelitian
1
Muliari dan Setiawan (2010).
Pengaruh Persepsi Tentang Sanksi Perpajakan dan Kesadaran Wajib Pajak pada Kepatuhan Pelaporan Wajib Pajak Orang Pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Timur
sanksi perpajakan dan kesadaran wajib pajak. Variabel terikat yang digunakan adalah kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi.
2.
Sri Watini (2010)
Pengaruh Pemungutan Pajak Reklame Terhadap Penerimaan Pajak Daerah Kota Bandung (Studi Empirik Pada Dinas Pendapatan Daerah Kota
Realisasi Pajak Reklame dan kontribuinya, Pendapatan Asli Daerah Kota Bandung
Persepsi wajib pajak tentang sanksi perpajakan secara parsial berpengaruh positif dan signifikan pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi. Begitu juga dengan kesadaran wajib pajak secara parsial berpengaruh positif dan signifikan pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi. pemungutan pajak reklame tidak berpengaruh terhadap penerimaan pajak daerah Kota Bandung dan antara pemungutan
Bandung)
3
Mohammad Riduansyah (2003)
Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Guna Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Kasus Pemerintah Daerah Kota Bogor)
4
Binar Adhityo Dwitya (2012)
Analisis Potensi atas Penerimaan Pajak Hotel dan Kontribusinya Terhadap
pajak reklame dengan penerimaan pajak daerah Kota Bandung memiliki hubungan yang sangat lemah dan positif atau searah. Var X: Pajak Daerah Kontribusi dan Retribusi Daerah Pajak Var Y: Pendapatan dan Retribusi Asli Daerah dan Daerah AnggaranPendapatan berpengaruh dan Belanja Daerah signifikan terhadap PAD. Kontribusi Pajak dan Retribusi Daerah terhadap APBD dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah hasilnya dinyatakan cukup baik.
Penerimaan Pajak Hotel dan kontribusinya , Pendapatan Asli Daerah
penerimaan Pajak Hotel dan kontribusinya tidak berpengaruh signifikan
Pendapatan Asli Daerah
2.6
terhadap Pendapatan Asli Daerah
Kerangka Penelitian Pajak Reklame yaitu masih banyaknya wajib pajak yang tidak melakukan
pembayaran secara rutin, masih adanya beberapa papan reklame yang masa berlakunya sudah habis namun masih terpasang, serta kurang tegasnya pihak dispenda itu sendiri dalam pemberian sanksi kepada wajib pajak yang melanggar. Hambatan-hambatan tersebut yang menyebabakan kurangnya kontribusi pajak terhadap pendapatan asli daerah namun seharusnya dengan adanya hambatan tersebut makan harus menjadi tantangan Dinas Pendapatan Daerah untuk terus mencari solusi yang tepat dan efektif agar Pendapatan Daerah dari sektor pajak daerah khususnya Pajak Reklame dapat ditingkatkan (Nurfadillah, 2013). Sanksi Pajak Reklame
Penerimaan Asli Daerah
2.7
Hipotesis Penelitian
2.7.1
Pengaruh Penerapan Sanksi Pajak Reklame Terhadap Pendapatan Asli Daerah Pajak menurut Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum
dan Tata cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UndangUndang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak juga
meruapakan salah satu sumber pendapatan asli daerah yang diperoleh dari pajak daerah. Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daeran tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang
berlaku
yang
digunakan
untuk
membiayai
penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Salah satu pajak yang menyumbang pemasukan terhadap pajak daerah yaitu pajak reklame. Peraturan Daerah No.8 Tahun 2003 tentang pajak reklame adalah pajak reklame yang selanjutnya disingkat pajak adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. Setiap wajib pajak dalam hal ini harus mematuhi peraturan mengenai perpajakan. Namun pada faktanya masih terdapat wajib pajak yang tidak memnuhi kewajiban perpajakannya. Untuk mengatasi hal ini sanksi perpajakan sangatlah pentingsebagai bentuk hukuman bagi wajib pajak yang tidak mematuhi peraturan perpajakan. Pada dasarnya sanksi perpajakan merupakan jaminan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/ditaati/dipatuhi, dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan (Mardiasmo, 2011:59). Menurut Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung Nomor 08 Tahun 2003 tentang Ketentuan Sanksi Bagi Wajib Pajak itu sendiri terdiri dari sanki administrasi dan sanksi pidana. Dengan adanya sanski peerpajakan yang diterapkan maka diharapkan dapat memberikan efek jera untuk wajib pajak yang
melanggar perturan perpajakan. Semakin efektif penerapan sanksi perpajakan maka dapat meningkatkan pendapatan pajak daerah yang akan berimbas meningkatnya pendapatan asli daerah. Jadi semakin tinggi penerapan sanksi perpajakan salah satunya penerapan sanski pajak reklame, maka akan semakin tinggi pula pendapatan asli daerah. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang terbentuk adalah sebagai berikut : Ho : Sanksi pajak reklame tidak berpengaruh terhadap penerimaan asli daerah. Ha : Sanksi pajak reklame berpengaruh terhadap penerimaan asli daerah.