8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Wilayah dan Pembangunan wilayah Budiharsono (2001) menyebutkan bahwa ruang atau kawasan sangat penting dalam pembangunan wilayah. Konsep ruang mempunyai beberapa unsur, yaitu: (1) jarak, (2) lokasi, (3) bentuk, dan (4) ukuran. Unsur-unsur tersebut di atas secara bersama-sama menyusun unit tata ruang yang disebut wilayah . Definisi wilayah sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal, dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu: 1. Wilayah
homogen,
adalah
wilayah
yang
dipandang
dari
satu
aspek/kriteria/kriteria mempunyai sifat-sifat atau ciri-ciri yang relatif sama, misalnya homogen dalam hal ekonomi, geografi, agama, suku dan sebagainya. 2. Wilayah
Nodal,
adalah
wilayah
yang
secara
fungsional
memiliki
ketergantungan antara pusat (inti) dan daerah belakangnya (hinterland). Tingkat ketergantungan ini dapat dilihat dari arus penduduk, faktor produksi, barang dan jasa, ataupun komunikasi dan transportasi. Biasanya daerah belakang akan menjual barang-barang mentah (raw material) dan jasa tenaga kerja ke daerah inti, sedangkan daerah inti akan menjual ke daerah belakangnya dalam bentuk barang jadi.
9
3. Wilayah Administratif, adalah wilayah yang batas-batasnya ditentukan berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan atau politik seperti provinsi, kabupaten/kota, desa/ kelurahan dan RT/RW. 4. Wilayah Perencanaan, merupakan wilayah yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi. Wilayah perencanaan harus cukup besar untuk pengambilan keputusan investasi berskala ekonomi, mampu mengubah indutrinya sendiri dengan tenaga kerja yang ada, mempunyai kesamaan struktur ekonomi, mempunyai minimal satu titik pertumbuhan (growth point), menggunakan perencanaan
pembangunan
dan
masyarakat
suatu dalam
cara
pendekatan
wilayah
tersebut
mempunyai kesadaran terhadap persoalan wilayahnya.
2.1.2 Teori Pusat Pelayanan Teori pusat-pusat pelayanan merupakan suatu teori struktur tata ruang yang menjadi kerangka acuan bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dalam rangka penyebaran fasilitas pelayanan. Masalah fasilitas pelayanan, baik yang menyangkut aspek tata ruang maupun kualitas dan jumlah, berkaitan erat dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Tiga konsep dasar yang tercakup dalam pusat pelayanan adalah pemusatan dan fungsi pemusatan, batas ambang serta hierarki. Adanya pemusatan prasarana dan sarana pelayanan di daerah inti dapat diperoleh sedikitnya tiga keuntungan, yaitu penggunaan berbagai fasilitas pelayanan akan menjadi lebih intensif daripada tidak dipusatkan, fasilitas pelayanan akan berfungsi lebih efisisen dan
10
berbagai kelembagaan seperti koperasi dan perbankan dapat berfungsi dengan baik (Dusseldorf, 1971). Fungsi utama pusat pelayanan adalah sebagai tempat pemusatan barang dan jasa bagi penduduk. Tiga fungsi pusat pelayanan yaitu fungsi pelayanan, fungsi pemukiman dan fungsi ekonomi. Suatu pusat pelayanan akan memiliki sejumlah sarana dan prasarana sosial ekonomi untuk memenuhi kebutuhan penduduk baik yang bermukim di daerah inti maupun di daerah belakangnya (Dusseldorf, 1971).
2.1.3 Teori Pusat Pertumbuhan Pusat Pertumbuhan (growth poles) dapat diartikan secara fungsional dan secara geografis. Secara fungsional, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang karena sifat hubungannya memiliki unsur kedinamisan sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik ke dalam maupun ke luar (daerah belakangnya). Secara geografis, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi daya tarik (pole of attraction). Sementara menurut Richardson dalam Sjafrizal (2008), empat karakteristik pusat pertumbuhan adalah: 1. Adanya sekelompok kegiatan ekonomi yang terkonsentrasi pada lokasi tertentu; 2. Konsentrasi kegiatan ekonomi tersebut mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang dinamis dalam perekonomian;
11
3. Terdapat keterkaitan input dan output
yang kuat antara sesama kegiatan
ekonomi pada pusat tersebut; dan 4. Dalam kelompok kegiatan tersebut terdapat sebuah indutri induk yang mendorong pengembangan kegiatan ekonomi pada pusat tersebut.
2.2 Penelitian Terdahulu Asri (2011) melakukan penelitian dengan judul Analisis Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kecamatan Ujan Mas. Metode analisa yang digunakan adalah Location Quotient (LQ), Metode Perbandingan Eksponensial (MPE), Metode Perbandingan Berpasangan (MPB) dan Metode Penentuan Hasil Akhir (PHA) yang kemudian digabung dalam analisa scalogram. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa berdasarkan hasil analisis scalogram terhadap semua kecamatan di Kabupaten Kepahiang, kecamatan dengan nilai scalogram tertinggi adalah Kecamatan Kepahiang, Kecamatan Ujan Mas dan Kecamatan Bermani Ilir. Dilihat dari segi sistem Agribisnis dan fasilitas yang ada, 3 kawasan yang mendapat prioritas pengembangan adalah Kecamatan Ujan Mas, Kecamatan Kepahiang dan Kecamatan Tebet Karai. Dianawati (2004) dalam penelitiannya yang berjudul Fungsi Ekonomi Kota Kecamatan dalam Pembangunan Wilayah (Studi Kasus Kabupaten Semarang Provinsi Jawa Tengah). Dalam penelitian ini hirarki potensi sumber daya alam dan hirarki ketersediaan fasilitas sosial ekonomi dikombinasikan dalam analisis limpitan sejajar, kemudian dicari hubungannya dengan menggunakan korelasi rank Spearman. Analisis skalogram juga digunakan untuk menganalisis
12
fungsi ekonomi kota kecamatan sebagai pusat pertumbuhan kecil pedesaan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan analisis scalogram, kecamatan pusat pengembangan pada peringkat atas memiliki ketersediaan fasilitas pelayanan yang lebih baik dibandingkan pusat pengembangan pada peringkat rendah. Triana (2009) melakukan penelitian dengan judul Analisis Dampak Pemekaran Wilayah terhadap Pengelompokan Kecamatan berdasarkan beberapa Peubah Sosial Ekonomi di Kabupaten Bogor. Dalam penelitiannya menggunakan analisis faktor dan analisis cluster dengan metode hirarki memperlihatkan bahwa dalam mengelompokkan wilayah Kabupaten Bogor berdasarkan beberapa peubah sosial ekonomi, telah terjadi keragaman antar kecamatan yang disebabkan oleh dua faktor yaitu: (1) faktor potensi penduduk dan sarana sosial ekonomi; (2) faktor produksi padi. Saran bagi pemerintah daerah berdasarkan penelitian ini adalah pembangunan ekonomi dan pembangunan sarana sosial ekonomi hendaknya diprioritaskan pada kecamatan yang termasuk pada Wilayah IV yang terdiri dari 17 kecamatan, wilayah paling tertinggal. Untuk wilayah yang berpotensi dalam produksi padi diharapkan dapat dikembangkan industri yang mengolah hasil pertanian baik itu industri besar, sedang maupun industri kecil dan kerajinan rumah tangga. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini menentukan kecamatan yang merupakan pusat pelayanan yang tidak diteliti di penelitian sebelumnya dan berdasarkan hasil penelitian bahwa kecamatan dengan peringkat tertinggi dalam potensi perdagangan, ketersediaan fasilitas dan
13
kepadatan penduduk tidak menempati peringkat tertinggi dalam potensi pertanian dan industri, hal ini menunjukkan telah terjadi pemisahan pusat industri, pusat pertdagangan dan pusat pertanian.
Sedangkan dalm penelitian sebelumnya
kecamatan dengan peringkat tertinggi memiliki potensi tertinggi di semua potensi wilayah. 2.3 Kerangka Pemikiran Dalam penyelenggaraan pemerintahan Indonesia menganut sistem desentralisasi, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerahnya. Hal ini tertuang dalam UU Nomor 22 tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Seiring berlakunya Undang-undang tersebut, maka setiap Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) dituntut untuk mampu mengidentifikasi keunggulan wilayahnya. Keunggulan wilayah tersebut untuk selanjutnya harus dapat diarahkan dan dipadukan, serta dikembangkan secara terencana, sehingga tercapai pengembangan wilayah yang optimal, yang tercermin dari luasnya kesempatan kerja dan berusaha, serta adanya insentif ekonomi
yang
menguntungkan bagi berbagai pelaku ekonomi. Namun perbedaan potensi setiap wilayah menimbulkan permasalahan dalam pemerataan pembangunan. Ketidakmerataan potensi awal diperkuat oleh kegiatan investasi yang cenderung terpusat pada wilayah dengan potensi tinggi dan wilayah yang sudah berkembang. Kecamatan merupakan pusat pertumbuhan dan pelayanan kecil karena pemerintahan di tingkat kecamatan paling dekat dengan masyarakat dan
14
merupakan suatu unit wilayah yang cukup memadai untuk satu unit pengembangan. Untuk menentukan kebijakan pembangunan yang tepat, diperlukan identifikasi potensi masing-masing kecamatan. Pengidentifikasian tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran umum potensi dan fasilitas umum setiap kecamatan yang dapat menjadi salah satu acuan kebijakan pembangunan pemerintah daerah. Kerangka pemikiran dinyatakan dalam bentuk diagram pada Gambar 2.1 berikut ini. Potensi Kecamatan di Kota Bogor - Pertanian - Industri - Penduduk - Perdagangan, Hotel&Restoran - Fasilitas Umum
Tidak Merata sehingga Terjadi Ketimpangan
Identifikasi Potensi Kecamatan
Identifikasi Kecamatan Pusat Pelayanan dan Kecamatan yang Berpotensi untuk dikembangkan
Analisis Scalogram
Hubungan Antarsumberdaya Wilayah Kecamatan
Korelasi Spearman
Acuan Kebijakan Pembangunan Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran