BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Tinjauan Teori
2.1.1
Kemiskinan Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak
mampu
memenuhi
hak-hak
dasarnya
untuk
mempertahankan
dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat (Bappenas, 2004). Hak-hak dasar antara lain (a) terpenuhinya kebutuhan pangan, (b) kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, (c) rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, (d) hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik (BPS, 2009).
2.1.2
Jenis-jenis Kemiskinan
2.1.2.1 Kemiskinan Relatif Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya 20 persen atau 40 persen lapisan
terendah
dari
total
penduduk
yang
telah
diurutkan
menurut
pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin.
7
Dengan menggunakan definisi ini berarti “orang miskin selalu hadir bersama kita” (BPS, 2009). Negara
yang
lebih
kaya
(sejahtera),
cenderung
merevisi
garis
kemiskinannya menjadi lebih tinggi, dengan pengecualian Amerika Serikat, dimana garis kemiskinan pada dasarnya tidak berubah selama hampir empat dekade. Misalnya, Uni Eropa umumnya mendefinisikan penduduk miskin adalah mereka yang mempunyai pendapatan per kapita di bawah 50 persen dari median (rata-rata) pendapatan. Ketika median/rata-rata pendapatan meningkat, garis kemiskinan relatif juga meningkat (BPS, 2009). Jadi, garis kemiskinan relatif tidak dapat digunakan untuk membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara, karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama.
2.1.2.2 Kemiskinan Absolut Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin (BPS, 2009). Garis kemiskinan absolut tidak berubah dalam hal standar hidup. Sehingga dengan garis kemiskinan absolut dapat membandingkan tingkat kemiskinan antarwilayah dan antarwaktu.
8
Bank dunia menghitung garis kemiskinan absolut dengan menggunakan pengeluaran konsumsi yang dikonversi ke dalam US$ PPP (Purchasing Power Parity/Paritas Daya Beli), bukan nilai tukar US$ resmi. Tujuannya untuk membandingkan
tingkat
kemiskinan
antarnegara.
Angka
konversi
PPP
menunjukkan banyaknya rupiah yang harus dikeluarkan untuk membeli sejumlah kebutuhan barang dan jasa dimana jumlah yang sama tersebut dapat dibeli seharga US$1 di Amerika. Angka konversi ini dihitung berdasarkan harga dan kuantitas di masing-masing negara yang dikumpulkan dalam suatu survey yang biasanya dilakukan setiap lima tahun sekali. Pada umumnya ada dua ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu: a) US$ 1 PPP per kapita per hari; b) US$ 2 PPP per kapita per hari. Ukuran tersebut sekarang direvisi menjadi US$ 1,25 PPP dan US$ 2 PPP per kapita per hari (BPS, 2009). Pendapatan per kapita yang tinggi tidak menunjukkan rendahnya kemiskinan absolut. Hal ini disebabkan bagian pendapatan yang diterima oleh kelompok penduduk paling miskin tidak sama antarwilayah.
2.1.3
Pendekatan dalam Pengukuran Kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam mengukur kemiskinan menggunakan
konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Kebutuhan dasar ini merupakan kebutuhan minimum seseorang dapat hidup dengan layak. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan
9
yang diukur dari sisi pengeluaran. Jika rata-rata pengeluaran per kapita suatu penduduk di bawah garis kemiskinan maka disebut penduduk miskin. Penentuan indikator yang dapat dijadikan acuan kebutuhan dasar bersifat subyektif karena dipengaruhi oleh adat, budaya, daerah dan kelompok sosial. Pengukuran kemiskinan dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) tidak hanya digunakan oleh BPS, tetapi juga oleh negaranegara lain seperti Armenia, Senegal, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Sierra Leone dan Gambia (BPS, 2007). Menurut BPS (2009), komponen kebutuhan dasar terdiri dari pangan dan bukan pangan yang disusun menurut daerah perkotaan dan perdesaan berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Indikator kebutuhan minimum untuk masing-masing komponen tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Pangan, dinyatakan dengan kebutuhan gizi minimum yaitu perkiraan kalori dan protein. b. Sandang, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan pakaian, alas kaki, dan tutup kepala. c. Perumahan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk sewa rumah, listrik, minyak tanah, kayu bakar, arang, dan air. d. Pendidikan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan biaya sekolah (uang sekolah, iuran sekolah, alat tulis, dan buku). e. Kesehatan, dinyatakan dengan Indikator pegeluaran rata-rata untuk penyediaan obat-obatan di rumah, ongkos dokter, perawatan, termasuk obat-obatan.
10
2.1.4 Garis Kemiskinan Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan (GK). Metode yang digunakan untuk menghitung Garis Kemiskinan (GK) terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Nonmakanan (GKNM). Penghitungan garis kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari. Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan mewakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buahbuahan, minyak dan lemak, dan lain-lain). Ke-52 komoditi ini merupakan komoditi yang paling banyak dikonsumsi oleh orang miskin. Jumlah pengeluaran untuk 52 komoditi ini sekitar 70 persen dari total pengeluaran orang miskin. Garis Kemiskinan Nonmakanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar nonmakanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan.
11
Formula dasar dalam penghitungan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah : (2.1) Dimana : = Garis kemiskinan makanan daerah ke-j (sebelum disetarakan dengan 2100 kilokalori) provinsi p = Harga komoditi k di daerah j, provinsi p = Rata-rata kuantitas komoditi k yang dikonsumsi di daerah j, provinsi p = Nilai pengeluaran untuk konsumsi komoditi k di daerah j provinsi p j
= Daerah (perkotaan atau perdesaan)
p
= Provinsi ke-p Selanjutnya GKM tersebut disetarakan dengan 2100 kilokalori dengan
mengalikan 2100 terhadap harga implisit rata-rata kalori menurut daerah j dari penduduk referensi, sehingga: (2.2) Dimana : = Harga rata-rata komoditi k di daerah j, provinsi p = Kalori dari komoditi k di daerah j, provinsi p
= Kebutuhan minimum makanan di daerah j, propinsi p yang menghasilkan energi setara dengan 2100 kilokalori per kapita per hari (Garis Kemiskinan Makanan)
12
Formula dasar Garis Kemiskinan Nonmakanan (GKNM) adalah sebagai berikut : (2.3) Dimana : = Pengeluaran minimum nonmakanan atau garis kemiskinan nonmakanan daerah j (kota/desa) dan provinsi p = Rasio pengeluaran komoditi/subkelompok nonmakanan k menurut daerah (hasil SPKKD 2004) dan daerah j (kota+desa) = Nilai pengeluaran perkomoditi/subkelompok nonmakanan daerah j dan provinsi p (dari Susenas modul konsumsi) k
2.1.5
= Jenis komoditi nonmakanan terpilih
Indikator Kemiskinan Berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar, ada tiga indikator dasar
kemiskinan yang digunakan : 1.
Head Count Index (HCI-P0) yaitu persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
2.
Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Indeks Kedalaman Kemiskinan melihat seberapa miskin orang miskin itu. Semakin tinggi nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan.
13
3.
Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2) memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks keparahan kemiskinan menunjukkan semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin. Angka P1 dan P2 yang besar menunjukkan buruknya kondisi kemiskinan di
suatu wilayah. Foster-Greer-Thorbecke (1984) dalam BPS (2007) telah merumuskan suatu ukuran yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan, yaitu : (2.4) Dimana : = 0,1,2 = Garis Kemiskinan = Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (i=1,2,…,q) = Jumlah penduduk Jika α = 0, diperoleh Head Count Index (P0), jika α = 1 diperoleh Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) dan jika α = 2 diperoleh Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2).
2.1.6 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses peningkatan kapasitas produksi dalam suatu perekonomian secara terus-menerus atau berkesinambungan
14
sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar (Todaro dan Smith, 2006). Pertumbuhan ekonomi merupakan perubahan nilai PDB (Produk Domestik Bruto) riil antarwaktu. Sehingga laju pertumbuhan PDB riil (PDB atas dasar harga konstan) yang berikutnya dijadikan indikator pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. PDB menyatakan pendapatan total atau pengeluaran total nasional atas output barang dan jasa (Mankiw, 2006). Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menimbulkan efek meretas ke bawah (tricke down effect). Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan merangsang penciptaan lapangan pekerjaan sehingga mampu mengurangi pengangguran, kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Namun proses trickle down effect ini tidak akan terjadi dengan baik apabila pertumbuhan ekonomi tidak didorong oleh sektor-sektor yang padat karya atau sektor-sektor dimana orang miskin berada seperti sektor pertanian. Penelitian yang dilakukan Prasetyo (2010), menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan. Kenaikan pertumbuhan ekonomi akan menurunkan tingkat kemiskinan. Hubungan ini menunjukkan pentingnya mempercepat pertumbuhan ekonomi untuk menurunkan tingkat kemiskinan. Ravallion (2006) dalam penelitiannya tentang pengaruh pertumbuhan dan ketimpangan terhadap kemiskinan di China dan India tahun 1980-2000 menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan di India dan China, namun ketimpangan pendapatan akan
15
menghambat pengentasan kemiskinan. Penelitian yang dilakukan Siregar dan Wahyuniarti (2007) menyimpulkan bahwa pertumbuhan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penurunan kemiskinan, namun magnitude pengaruh tersebut relatif tidak besar.
2.1.7 Tingkat Pendidikan Pendidikan merupakan investasi bagi pembentukan modal manusia yang berkualitas. Pendidikan akan memudahkan seseorang untuk menyerap teknologi modern sehingga dapat meningkatkan produktivitas yang bermanfaat bagi pembangunan. Investasi pendidikan akan mampu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang diperlihatkan oleh meningkatnya pengetahuan dan keterampilan seseorang. Peningkatan pengetahuan dan keahlian akan mendorong peningkatan produktivitas kerja seseorang. Perusahaan akan memperoleh hasil yang lebih banyak dengan mempekerjakan tenaga kerja dengan produktivitas yang lebih tinggi, sehingga perusahaan akan bersedia memberikan upah/gaji yang lebih tinggi kepada yang bersangkutan. Pada akhirnya seseorang yang memiliki produktivitas yang tinggi akan memperoleh kesejahteraan yang lebih baik, yang dapat diperlihatkan melalui peningkatan pendapatan maupun konsumsinya. Rendahnya produktivitas tenaga kerja kaum miskin dapat disebabkan oleh karena rendahnya akses mereka untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan (Sitepu dan Sinaga, 2007).
16
Siregar dan Wahyuniarti (2007) dalam penelitiannya tenang kemiskinan di Indonesia menyimpulkan bahwa pendidikan merupakan variabel yang signifikan terhadap penurunan kemiskinan. Pengaruh tingkat pendidikan relatif besar terhadap penurunan kemiskinan.
2.1.8
Share PDRB sektor pertanian Siregar dan Wahyuniarti (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan kemiskinan. Adapun syarat kecukupannya (sufficient condition) ialah pertumbuhan tersebut hendaklah menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (growth in equity). Secara langsung, hal ini berarti pertumbuhan itu perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor dimana penduduk miskin bekerja (pertanian atau sektor padat karya). Secara tidak langsung, diperlukan pemerintah yang cukup efektif meredistribusi manfaat pertumbuhan yang boleh jadi didapatkan dari sektor modern seperti jasa dan manufaktur yang padat modal ke golongan penduduk miskin. Suselo dan Tarsidin (2008) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan tidak saja merupakan sektor usaha yang paling tinggi tingkat kemiskinannya, tapi juga mempunyai elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi paling tinggi. Di samping itu penurunan share sektor usaha tersebut juga turut memperburuk tingkat kemiskinan Indonesia. Dengan demikian langkah yang paling tepat untuk
17
mengurangi kemiskinan adalah dengan memberikan perhatian lebih pada sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan.
2.1.9
Pengangguran Pengangguran adalah mereka yang sedang mencari pekerjaan, yang
mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan (sebelumnya dikategorikan sebagai bukan angkatan kerja), dan yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja (sebelumnya dikategorikan sebagai bekerja), dan pada waktu bersamaan mereka tidak bekerja. Penganggur dengan konsep/definisi tersebut biasanya disebut sebagai pengangguran terbuka (BPS, 2007) . Selain pengangguran terbuka ada istilah setengah pengangguran, yaitu penduduk yang bekerja kurang dari jam normal (35 jam seminggu), tidak termasuk yang sementara tidak bekerja. BPS (2009) dalam publikasi analisis kemiskinan, ketenagakerjaan dan distribusi pendapatan menyebutkan bahwa pengangguran dilihat dari penyebabnya dikelompokkan menjadi beberapa jenis: a.
Pengangguran struktural yaitu pengangguran yang terjadi karena adanaya perubahan dalam struktur perekonomian. Penduduk tidak mempunyai keahlian yang cukup untuk memasuki sektor baru sehingga mereka menganggur. Contoh: para petani kehilangan pekerjaan karena daerahnya berubah dari daerah agraris ke daerah industri.
18
b.
Pengangguran siklus yaitu pengangguran yang terjadi karena menurunnya kegiatan perekonomian (misal terjadi resesi) sehingga menyebabkan berkurangnya permintaan masyarakat (agregat demand).
c.
Pengangguran musiman adalah pengangguran yang terjadi karena adanya pergantian musim misalnya pergantian musim tanam ke musim panen.
d.
Pengangguran friksional yaitu pengangguran yang muncul akibat adanya ketidaksesuaian antara pemberi kerja dan pencari kerja.
e.
Pengangguran teknologi yaitu pengangguran yang terjadi karena adanya penggunaan alat-alat teknologi yang semakin modern menggantikan tenaga kerja manusia. Indikator pengangguran terbuka yang digunakan oleh BPS adalah Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT). (2.5) Menurut Tambunan (2001), pengangguran dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan dengan berbagai cara, antara lain: 1.
Jika rumah tangga memiliki batasan likuiditas, yang berarti bahwa konsumsi saat ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan saat ini, maka bencana pengangguran akan secara langsung mempengaruhi income poverty rate dengan consumption poverty rate.
2.
Jika rumah tangga tidak menghadapi batasan likuiditas, yang berarti bahwa konsumsi saat ini tidak terlalu dipengaruhi oleh pendapatan saat ini, maka peningkatan pengangguran akan menyebabkan peningkatan kemiskinan
19
dalam jangka panjang, tetapi tidak terlalu berpengaruh dalam jangka pendek. Munandar, Kurniawan dan Santoso (2007) dalam BPS (2009) yang melakukan penelitian berdasarkan estimasi perilaku siklikal (cyclical behaviour) kemiskinan dan pengangguran, menyimpulkan bahwa tingkat kemiskinan turun jika pengangguran turun. Dalam jangka pendek (satu tahun) terdapat hubungan positif yang signifikan antara perubahan tingkat pengangguran dengan perubahan tingkat kemiskinan, yaitu one-to-one mapping antara penurunan pengangguran dengan membaiknya tingkat kemiskinan. Prasetyo (2010) dalam penelitiannya tentang kemiskinan di Propinsi Jawa Tengah tahun 2003-2007 menyimpulkan bahwa terhadap terdapat hubungan positif antara tingkat pengangguran dengan tingkat kemiskinan di Jawa Tengah. Penurunan pengangguran berpengaruh positif terhadap penurunan kemiskinan atau sebaliknya. Hudayana (2009) dalam penelitiannya tentang kemiskinan di Indonesia menemukan bahwa pengangguran memiliki pengaruh yang positif terhadap tingkat kemiskinan.
2.2 Penelitian-Penelitian Terdahulu Penelitian tentang kemiskinan telah banyak dilakukan, Wijayanto (2010) dengan judul Analisis Pengaruh PDRB, Pendidikan dan Pengangguran terhadap Kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah 2005-2008 dengan menggunakan alat analisis regresi data panel didapat hasil bahwa tingkat pendidikan masyarakat
20
dan pengangguran memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Penelitian yang dilakukan oleh Siregar dan Wahyuniarti (2007) dengan judul “Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin”. Tulisannya menganalisis tentang pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia dengan analisis deskriptif dan model regresi panel data yaitu time series 1995-2005 dan cross section 26 Provinsi (sebelum
pemekaran-pemekaran
dan
setelah
disintegrasi
Timur-Timur)
menghasilkan kesimpulan bahwa : 1.
Pertumbuhan berpengaruh signifikan dalam mengurangi kemiskinan, namun magnitude pengaruh tersebut relatif tidak besar.
2.
Inflasi maupun populasi penduduk juga berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan, namun besaran pengaruh masing-masingnya relatif kecil.
3.
Peningkatan share sektor pertanian dan share sektor industri juga signifikan mengurangi jumlah kemiskinan.
4.
Variabel yang signifikan dan relatif paling besar pengaruhnya terhadap penurunan kemiskinan ialah pendidikan. Penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo (2010) dengan judul Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan (Studi Kasus di 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2003-2007) menggunakan alat analisis regresi data panel menyimpulkan bahwa tingkat kemiskinan di Jawa Tengah dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, upah minimum, pendidikan dan pengangguran.
21
BPS (2009) dalam penelitiannya tentang kemiskinan di Indonesia tahun 2002-2007 dengan menggunakan alat regresi data panel, menghasilkan kesimpulan bahwa: 1.
PDRB dan Rasio Pengeluaran Nonmakanan mempunyai hubungan terbalik dengan kemiskinan.
2.
Gini Rasio, Tingkat Pengangguran Terbuka dan Indeks Harga Konsumen Makanan mempunyai hubungan searah dengan tingkat kemiskinan. Suselo dan Tarsidin (2008) dalam penelitiannya tentang pengaruh
pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi terhadap kemiskinan di Indonesia menyimpulkan bahwa sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan tidak saja merupakan sektor usaha yang paling tinggi tingkat kemiskinannya, tapi juga mempunyai elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi paling tinggi. Di samping itu, penurunan share sektor usaha tersebut juga turut memperburuk tingkat kemiskinan Indonesia. Dengan demikian, langkah yang paling tepat untuk mengurangi kemiskinan adalah dengan memberikan perhatian lebih pada sektor pertanian, perkebunan,dan perikanan. Hudayana (2009) dalam penelitiannya tentang faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Indonesia menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan adalah tingkat pengangguran, pendapatan, dan pendidikan.
22
2.3 Kerangka Pemikiran Kerangka penulisan dalam penelitian ini digambarkan dalam bentuk diagram alur sebagai berikut:
Kemiskinan di Maluku Utara
Analisis Deskriptif
Analisis Regresi Data Panel
Gambaran Pola Kemiskinan
Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Kemiskinan
Persentase Penduduk Miskin Jumlah Penduduk Miskin Tingkat Kedalaman Kemiskinan Tingkat keparahan Kemiskinan
Implikasi Kebijakan
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
Pertumbuhan Ekonomi Tingkat Pendidikan Share PDRB pertanian Pengangguran
23
2.4 Hipotesis
Dengan mengacu pada kerangka pemikiran dan berdasarkan studi empiris terdahulu yang berkaitan dengan kemiskinan, maka akan diajukan hipotesis sebagai berikut : 1.
Diduga pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Maluku Utara.
2.
Diduga tingkat pendidikan mempunyai pengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Maluku Utara.
3.
Diduga peningkatan share PDRB sektor pertanian mempunyai pengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Maluku Utara.
4.
Diduga pengangguran mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan di Maluku Utara.