BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Perkembangan Beras Indonesia Berdasarkan data Susenas terlihat bahwa sebagian besar penduduk Indonesia lebih banyak menggunakan pengeluarannya untuk makanan. Pada tahun 2002, lebih dari 82 persen penduduk Indonesia menggunakan lebih dari enam puluh persen pengeluarannya untuk makanan. Untuk penduduk miskin, persentase pengeluaran rumah tangga yang digunakan untuk makanan jauh lebih besar. Untuk kelompok penduduk miskin, maka tidak kurang dari 69 – 72 persen dari total pengeluaran digunakan untuk makanan (Amang et al. 1999). Elastisitas pengeluaran makanan yang positif mengakibatkan adanya kenaikan pendapatan/pengeluaran perkapita akan meningkatkan pengeluaran atau permintaan untuk makanan lebih cepat dari pada pertumbuhan penduduk. Dengan demikian, semakin tinggi elastisitas pendapatan, maka kenaikan konsumsi atau permintaan bahan makanan akan semakin lebih besar daripada kenaikan penduduk. Kenyataan bahwa bagian terbesar dari penduduk Indonesia menggunakan sebagian besar pengeluarannya untuk makanan maka kebijakan harga makanan khusus harga pangan utama dijaga kestabilan harga. Kenaikan harga pangan akan berdampak pada pola pengeluaran sebagian besar penduduk Indonesia, hal ini dapat dilihat kenaikan harga beras diperkotaan perubahan pola konsumsi setelah kenaikan harga beras terlihat nyata pada rumah tangga berpenghasilan rendah, perubahan itu berbentuk penurunan kualitas beras. Hal ini membuktikan perubahan jenis beras sangat dipengaruhi oleh pendapatan rumah tangga,
24
sedangkan rumah tangga pendapatan tinggi peluang untuk mengubah jenis beras yang dikonsumsi cenderung kecil. Membandingkan kebijakan harga makanan di Indonesia dengan kebijakan di negara-negara yang pendapatan per kapitanya lebih tinggi, pangsa pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi makanan lebih rendah dari negara berpenghasilan rendah. Kenaikan harga bahan makanan di negara yang memiliki pendapatan perkapita yang relatif tidak akan berdampak besar terhadap anggaran sebagian besar rumah tangga. Komposisi permintaan beras, Permintaan terhadap beras meliputi konsumsi di dalam rumah; di luar rumah antara lain di rumah makan, hotel; konsumsi makanan hasil industri pengolahan; dan kebutuhan beras untuk cadangan rumah tangga, disamping itu produk padi juga dipergunakan untuk benih dan campuran pakan. Secara umum terdapat kecenderungan penurunan konsumsi beras per kapita di dalam rumah, yang diiringi peningkatan konsumsi diluar rumah dan konsumsi produk-produk industri pangan. Komposisi penggunaan beras pada tahun 2009 yaitu: 79,6 persen (di dalam rumah); 10,8 persen (di luar rumah); dan 9,6 persen (makanan hasil industri). Data konsumsi beras di dalam rumah diperoleh dari Susenas, selanjutnya kebutuhan beras untuk bahan baku industri pengolahan diperoleh dari rasio angka transaksi antara konsumsi industri dan konsumsi di dalam rumah. Dilihat dari segi produksi beras, daerah penghasil padi terbesar di pulau Jawa sebesar 56 persen dari produksi gabah nasional berada, selebihnya tersebar 22 persen terdapat di Sumatera, 10 pesen di Sulawesi, 5 persen di Kalimantan, dan 7 persen di Pulau – pulau lain (BPS 2008). Dengan pola sebaran produksi seperti
25
itu maka Pulau Jawa tetap berperan sebagai penyangga utama produksi beras nasional. Tabel 1 Luas panen padi di Pulau Jawa selama 2000 – 2008 menunjukan kecenderungan yang menurun. Data BPS (2008) 2000 bahwa luasan areal panen di Jawa telah turun dari 5.748 ribu ha pada tahun menjadi 5.700 ribu pada tahun 2001. Periode tahun 2000-2008 laju produksi padi pertahun sebesar 1.24 pertahun, penurunan laju disebabkan laju areal panen sebesar 0.15 pertahun sebagai akibat peningkatan konversi lahan pertania di jawa. berdasarkan tabel 1 di Jawa pada tahun laju produksi berada titik terendah dikarena laju luas areal panen turun sebesar 1.63 persen, sedangkan produktivitas naik sebesar 2.72. kenaikan laju produksi terjadi pada tahun 2001, sumbangan terbesar laju produktivitas lahan sebesar sebesar 2.10 persen. Tabel 1. Luas Areal Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Pulau Jawa Tahun 1998-2008 Tahun
Arel Panen Laju
Produksi
Laju
Produktivitas
Laju
(%)
(Ton/Ha)
(%)
(000 Ha)
(%)
2000
5748.247
-0.32
27923.27
0.49 5.073
4.76
2001
5700.82
-0.83
29160.29
4.76 4.966
2.10
2002
5608.03
-1.63
28312.4
-2.10 5.101
2.72
2003
5375.96
-4.14
28607.92
2.72 5.240
2.71
2004
5713.62
6.28
28167.48
2.71 5.187
-1.00
2005
5707.86
-0.10
29635.84
-1.00 5.215
0.53
2006
5703.589
-0.07
29763.92
0.53 5.253
0.74
2007
5670.947
-0.57
29960.64
0.74 5.372
2.27
2008
5825.941
2.73
30466.34
2.27 5.518
2.72
(000 Ton)
sumber www.bps.go.id
26
Menurut Surono(2001) Hambatan produksi terkait dengan luas areal panen di Jawa disebabkan: (1) Laju pertambahan penduduk meningkatkan permintaan akan lahan perumahan dan infrasktural lain yang menyebakan konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian; (2) Kenaikan harga input yang meningkat yang menyebabkan penurun produktivitas; dan (3) Faktor iklim misal efek el nino dan el nina yang menyebabkan kekeringan, dan banjir, untuk mengatasi hal tersebut diperlukan investasi untuk memperluas lahan beririgasi. Produksi pada periode tahun 2000-2008 mengalami laju peningkatan jumlah produksi meningkat dari tahun ke tahun, kecuali 2002 dan 2005. Penurunan produksi ini diakibatkan penurunan luas areal panen. Penurunan areal panen pada tahun 2005 disebabkan oleh beberapa hal, diantara kekeringan pada akhir tahun 2004 yang mengakibatkan pergeseran musim sehingga luas areal panen januari-april turun (Femina, 2006). selain itu, penurunan areal ini akibat meningkat areal puso pada bulam januari-agustus tahun 2005. Produktivitas lahan di Jawa megalami peningkatan, pada periode 2000-2008 setiap tahun laju produktivitas naik sebesar 1.38 persen. Permasalahan yang lain yaitu, sempit skala usaha yang dikelola oleh petani, setidaknya 4 ciri utama usahatani di Jawa terkait dengan sempit lahan khusus dipulau jawa: (1) Rata-rata pengusahan lahan di usahatani padi sekitar 0, 3 hektar; (2) 70 persen (khususnya buruh tani dan petani kecil) termasuk golongan miskin dan berpendapatan rendah; (3) Sekitar 60 persen petani petani padi adalah net consumer; dan (4) rata-rata pendapatan keluarga petani 30 persen berasal dari usaha tani. Menunjang kemandirian pangan diperlukan upaya peningkatan produksi gabah di Luar jawa dan mempertahankan produktivitas di Jawa.
27
Perkembangan produksi gabah di Indonesia dapat dilihat pada tabel 2. Produksi padi di dalam periode 1970-1974, produksi padi Indonesia menunjukan peningkatan dengan laju 2.55 persen pertahun, disebabkan peningkatan produktivitas yang sampai mencapai 3.54 persen pertahun merupakan periode prarevolusi hijau di Indonesia. Setelah itu pada periode 1975 -1979 meningkat dengan laju produksi meningkat 4.23 persen pertahun dan 6.54 persen pertahun pada periode 1980-1984. Laju peningkatan produksi ini sebagian besar merupakan kontribusi kenaikan laju produktivitas berupa terobosan teknologi dan revolusi hijau, hal ditandai dimulai program inmas/bimas dan program insentif lain indonesia meningkat dengan laju yang semakin besar hingga mencapai swasembada beras pada 1984. Periode 1985 -1989 produksi beras masih meningkat sebesar 3.49 persen pertahun. Pertumbuhan produksi padi pada era revolusi hijau yang dimulai pada 1970-1989 mampu mengalami pertumbuhan yang begitu cepat, hal ini terjadi karena didukung oleh beberapa faktor (Mulyana et all, 2006) yaitu (1) terobosan teknologi baru khususnya teknologi bibit unggul yang dapat meningkatkan luas areal intensitas panen, serta peningkatan responsif tanaman padi terhadap pengunaan pupuk kimia sehingga produktivitas padi meningkat; (2) pembangunan jaringan irigasi teknis berbasis bendungan, sehingga meningkatkan potensi intensifikasi dan ekstensifikasi lahan; (3) dukungan kebijakan pertanian (berupa kebijakan harga, insentif produksi dan kebijakan pendukung lain) komprehensif dan terpadu sehingga laju pertumbuhan produksi gabah meningkat; (4) sistem administrasi yang sentralistik memudahkan pengawasan kebijakan diterapkan; dan (5) dukungan politik yang kuat untuk pencapai kemandirian pangan.
28
Namun dalam periode berikut yaitu tahun 1990-1996 laju produksi gabah nasional turun 3.99 menjadi 1.29 pertahun. Penyebab penurunan ini sebagai akibat dari penurunan luas areal panen dan produktivitas lahan. Penurunan luas areal panen di Jawa disebabkan penurunan luas baku sawah akibat konversi lahan pertanian dimulai sejak pertengahan dekade tahun 1980-an, pada tersebut perkembangan industri meningkat di Jawa. Luas baku sawah di Luar jawa mengalami penurunan pertumbuhan sejak awal tahun 1990, pada periode ini indostri di Luar Jawa mulai berkembang. Sedangkan penurunan produktivitas lahan akibat terjadinya kejenuhan teknologi dan belum ada teknologi baru untuk meningkatkan laju produktivitas. hal terlihat pada pemakaian pupuk tidak lagi responsif terhadap produktivitas lahan sebagai akibat pemakai pupuk tak berimbang dan belum ada variates bibit unggul guna meningkat produktivitas. Selama masa dan pasca krisis ekonomi (1997-2003) di Indonesia laju pertumbuhan produksi beras mengalami sebesar 0,68 persen pertahun dan laju produktivitas turun 0.22 persen. penurunan ini sebagai akibat dari leberalisasi perdagan beras, penghapusan monopoli BULOG terhadap monopoli dan pendistribusi beras impor, serta penghapusan subsidi pupuk. Berikut ini merupakan perkembangan luas areal panen, produktivitas dan produksi padi Indonesia dari periode prarevolusi hijau sampai leberalisasi perdagangan beras dapat dilihat pada Tabel 2.
29
Tabel 2. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi Indonesia tahun
Produksi (ton)
Laju
Arel
Laju
Produktivita
Laju
(%)
panen (ha)
(%)
s (ton/ha)
(%)
1970-1974
24.193.277
2.55
8.275.129
1,21
2,93
3.54
1975-1979
24.206.590
4.23
8.531.231
0.95
2,82
3.25
1980-1984
33.889.862
6.54
9.260.282
2,12
3,66
4,39
1985-1989
41.047.931
3,49
10.94.540
1,54
4,06
1,19
1990-1996
47.682.181
1.29
10.928.244
1,28
4,36
0.44
1997-2003
50.460.785
0,68
11.793.475
0.51
4,46
0.22
2004-2008
55.945.825
2.48
12016260
0.98
4.65
1.58
Sumber : BPS diolah (2008)
Periode tahun 2004-2008 terjadi peningkatan produksi sebesar 2.486 persen dan luas areal panen meningkat sebesar 0.98 persen serta produktivitas meningkat sebesar 1.58 persen. Peningkatan ini terjadi pemerintah mulai serius meperbaiki kebijakan pertanian khusus tanama pangan, hal terbukti pemerintah mengeluarkan kebijakan harga dasar yang baru, peningkatan kredit usahatani, pemberlakuan kembali subsidi pupuk, dan kebijakan pendukung lainya.
30
Kemampuan Swasembada Beras Nasional Menunjukan Korelasi Negatif Terhadap Tingkat Ketergantungan Impor Hal Ini Dapat Dilihat Pada Gambar 1.
120
persen(%)
100 80 60 40 20 0 98 19
99 19
00 20
01 20
02 20
03 20
05 20
06 20
07 20
08 20
tahun tingkat swasembada
tingkat ketergantungan
Gambar 1. Perkembangan Swasembada dan Tingkat Ketergantungan Impor Hal tersebut juga dapat dilihat peningkatan tingkat swasembada dan penurunan tingkat kertergantungan impor (Gambar 1) pada periode 1998 tingkat swasembada sebesar 80 persen, kemudian pada tahun berikut tingkat swasembada meningkat sebesar 99 persen dan puncak indonesia mampu berswasembada pangan pada tahun 2007/2008. Untuk meningkatkan kemampuan produksi beras nasional, beberapa upaya dapat dilakukan seperti pemeliharaan kapasitas sumber daya lahan dan perairan, perluasan lahan baku untuk produksi, peningkatan intensitas tanam, peningkatan produktivitas tanaman serta penekanan kehilangan hasil. Upaya untuk meningkatkan produksi beras Nasional dengan cara membuka lahan pertanian baru pada lokasi-lokasi yang memungkinkan dengan tetap memperhatikan rencana tata ruang wilayah dan kaidah-kaidah kelestarian lingkungan; yang difasilitasi oleh Pemda.Upaya untuk memacu peningkatan
31
produktivitas usaha pangan mencakup: penciptaan varietas unggul baru, dan teknologi berproduksi yang lebih efisien, teknologi pasca panen untuk menekan kehilangan hasil, dan teknologi yang menunjang peningkatan intensitas tanam. Pada masa orde baru upaya menyediakan insentif untuk meningkatkan produksi pangan khusus beras sangat intensif dilaksanakan. 2.2. Kebijakan Perberasan di Indonesia. Kebijakan beras dindonesia berupa kebijakan harga dasar gabah, kredit usahatani, dan kebijakan subsisi pupuk. 2.2.1. Kebijakan Harga Kebijakan harga didukung dengan kebijakan monopoli Buloq terhadap beras guna menjamin kesediaan pangan stabilisasi harga beras yang menjamin kestabilan harga gabah. Penerapan harga dasar mulai diterapkan pada tahun 1969 dan merupakan kebijakan yang masing dipertahankan hingga kini. Formula yang dipakai untuk dijadikan dasar kebijakan berubah, pada mula mengaju
pada
perbandingan harga gabah kering giling dengan harga urea perkilo. Kemudian rumusan ini disempurnakan dengan harga gabah lumbung dengan harga pupuk dengan sistem C & F (cost and freitgh), nilai kurs serta ongkos dan konversi gabah keberas, namun masih tetap berstandarkan pada biaya produksi yang diwakili oleh harga pupuk urea. Pada tahun 1972 perhitungan harga gabah berdasarkan revenue cost rasio dengan cara menghitung perbandingan harga gabah terhadap biaya usahatani seperti harga pupuk, upah, bibit, pestisida dan lain-lain. Rasio tersebut ditetapkan diatas 2 hal tersebut sehingga harga dasar gabah yang ditetapkan akan mampu memberikan insentif kepada petani untuk berproduksi. Rumusan tersebut
32
disempurnakan dengan IBCR (incremental benefit cost ratio), peningkatan keuntungan dikaitkan dengan penambahan biaya usaha tani padi. Bila IBCR lebih besar dari nol maka petani akan memperoleh keuntungan dari usahatani padi, jika sebaliknya petani mendapatkan kerugian. Era liberaslisasi perdagangan beras tahun 1999 perintah mencabut beberapa kebijakan yang berpengaruh terhadap keefektifan kebijakan harga dasar gabah seperti; penghapusan monopoli BULOG terhadap distribusi beras impor dan penghapusan subsidi pupuk. Kebijakan tersebut berdampak terhadap rendah nilai tukar petani terhadap biaya produksi. Untuk membantu petani dibuatlah Paket Kebijakan Harga Dasar Gabah/Beras Pembelian Pemerintah(HDPP) yang berlaku saat ini ditetapkan melalui Inpres No.9, 31 Desember 2002, efektif berlaku pada 1 Januari 2003. 2.2.2. Kebijakan Subsidi Pupuk dan Kredit Usahatani Kebijakan subsidi pupuk dan kredit usahatani dari tahun ke tahun dapat dilihat perkembangan melalui 4 periode waktu yaitu (1) tahun 1960 -1979, (2) periode1979 – 1998, (3) Periode 1998 – 2002, dan (4) periode 2003 hingga sekarang. Periode 1960-1979. Pada masa ini semua kebutuhan pupuk masih diimpor. Untuk membantu petani, pemerintah memberikan kredit dan melakukan pengaturan distribusi pupuk (Program Padi Sentra), akan tetapi akibat besarnya tunggakan kredit petani, maka tahun 1963 Program Padi Sentra ditutup. Pendistribusian pupuk diganti dengan kebijakan berupa pemberian hak monopoli penyaluran pupuk dan impor pupuk pada PN Pertani dan PT Pusri berdasar Surat Mentan/ Ketua Bimas No. 380/1970 tanggal 7 Juli 1970. pola pendistribusian
33
pupuk diatur oleh pemerintah dalam upaya penyediaan pupuk yang memadai di tingkat petani. Penyaluran pupuk secara konsinyasi dari Produsen ke Petani melalui perantara penyalur/pengecer. Pada periode ini pengadaan dan penyaluran pupuk program Bimas dan Inmas berada di bawah satu tangan, walaupun selanjutnya dilakukan oleh banyak pelaku. Petani peserta Bimas mendapat keringanan berupa subsidi harga pupuk. Kebijakan ini sesungguhnya merupakan peluang bisnis bagi setiap badan usaha untuk terlibat dalam pendistribusian pupuk. Namun demikian, kelemahannya adalah tidak adanya batasan ketentuan stok, sehingga tidak ada jaminan ketersediaan setiap waktu. Kurangnya stok juga dipicu karena adanya pengembalian kredit yang macet dari petani, dan di sisi lain pemerintah tidak mempunyai cukup dana untuk mengimpor pupuk (Darwis dan Nurmanaf, 2004). Periode 1979-1998, pada awal periode ini sampai tahun 1993, seluruh pupuk
untuk
sektor
pertanian
disubsidi
dan
ditataniagakan
dengan
penanggungjawab pengadaan dan penyaluran pupuk pada satu tangan yaitu PT. Pusri. Perkembangan berikutnya, sejak tahun 1993/1994 hanya pupuk Urea untuk sektor pertanian yang disubsidi dan ditataniagakan. Pengadaan dan penyaluran pupuk Urea bersubsidi dibawah tanggung jawab untuk jenis lainnya tidak diatur, namun tidak ada jaminan kemantapan ketersediaan pupuk akibat adanya disparitas harga antara pasar pupuk urea bersubsidi dan non subsidi. Dalam tahun 1998, pupuk SP36, ZA dan KCl kembali disubsidi, walaupun hanya untuk beberapa waktu saja, dimana pada tanggal 1 Desember 1998 subsidi pupuk dan tataniaganya dicabut.
34
Periode 1998-2002. Terhitung mulai tanggal 1 Desember 1998 sampai tanggal 13 Maret 2001 pupuk tidak disubsidi dan pupuk menjadi komoditi bebas, dimana berlaku mekanisme supply and demand. Kebijakan yang dilaksanakan pada dasarnya dimaksudkan untuk lebih meningkatkan efisiensi distribusi pupuk agar terjamin ketersediaannya. Liberalisasi sistem distribusi pupuk pada awalnya diharapkan posistif bagi ketersediaan dan harga pupuk di tingkat petani, hal ini disebabkan (Sudaryanto 2001) karena terjadinya persaingan yang sehat antar pelaku bisnis pupuk sehingga penetapan harga ditentukan oleh mekanisme pasar. Ketersediaan pupuk yang cukup di tingkat petani dan jarang terjadi kelangkaan, serta harga pupuk relatif stabil dikarenakan persaingan yang sehat antar penyalur/agen pupuk. Kebijakan liberalisasi distribusi pupuk namun kenyataannya dilapangan menghasilkan dampak negatif hal ini dapat dilihat pada kondisi pasar pupuk dalam negeri. Menurut Kariyasa (2007) efek negatif liberalisasi pupuk yaitu: (1) harga pupuk KCl dan ZA yang berfluktuasi mengikuti harga dipasar Internasional dan pergerakan nilai tukar rupiah yang diikuti turunnya penggunaan kedua jenis pupuk tersebut, hal mendorong petani mencari pupuk alternatif yang diragukan kualitas dan efektivitasnya. (2) Ada indikasi struktur pasar oligopolistik, dimana distributor dengan modal yang kuat akses ke Lini I dan II serta bebas menyalurkan pupuk ke luar wilayah kerjanya dan penyaluran pupuk ke sektor non pangan, hal ini menyebabakan kelangkaan secara nasional, khususnya pupuk Urea. Periode 2003- Sekarang. Pada periode pasar bebas, dimana tidak adanya subsidi untuk jenis pupuk apapun dan harga ditentukan oleh mekanisme pasar, yaitu berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran pasar ternyata juga tidak
35
menjamin tersedianya pupuk di tingkat petani sesuai dengan jumlah dan waktu yang dibutuhkan, dan harganya pun selalu di atas daya beli petani. Dampak kenaikan harga pupuk menyebabkan banyak petani yang tidak melakukan pemupukan secara berimbang. Pemerintah kembali menerapkan kebijakan subsidi pupuk untuk subsektor Tanaman Pangan, dan Perkebunan Rakyat serta sistem pendistribusiannya diatur berdasarkan SK Menperindang No.70/MPP/Kep/2003 yang ditetapkan tanggal 11 Februari 2003 yang efektif mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Sistem pendistribusian
pupuk
berdasarkan
rayonisasi,
dimana
setiap
produsen
bertanggung jawab penuh untuk memenuhi permintaan di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya. Jika produsen tidak mampu memenuhi permintaan pupuk bersubsidi di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya dari hasil produksi sendiri, wajib melakukan kerjasama dengan produsen lainnya dalam bentuk kerja sama operasional (KSO). Selama ini program kredit usahatani, khususnya padi dan palawija, telah mengalami beberapa kali perubahan kebijakan. Setelah terjadinya tunggakan yang tinggi pada kredit Bimas/Inmas akibat puso pada tahun 1970-an dan awal 1980an, pada tahun1985 pemerintah mengeluarkan program KUT yang menggunakan pendekatan kelompok. Seperti halnya kredit Bimas/Inmas, KUT pun mengalami kemacetan dengan total tunggakan sekitar 23 persen dari realisasi kredit Rp1,184 triliun yang disalurkan hingga musim tanam 1997/1998. Meskipun demikian, sejak tahun 1998 pemerintah mengubah KUT dengan sistem baru dan plafon ditingkatkan secara drastis, yaitu lebih dari 13 kali lipat menjadi Rp8,4 triliun. September 2000, tingkat tunggakan KUT mencapai Rp 6,169 triliun atau 73,69
36
persen dari realisasi. Pada akhirnya petani menerima akibat dari penyalahgunaan kredit, meskipun menurut beberapa informasi di lapangan, justru bukan petani yang paling banyak menunggak. Guna mengatasi persoalan di atas, pada bulan Oktober 2000 pemerintah mengeluarkan kredit baru pengganti KUT, yaitu Kredit Ketahanan Pangan (KKP) dengan mengembalikan fungsi bank menjadi executing agent. KKP merupakan penyempurnaan program KUT, KKPA unggas, tebu, dan nelayan, serta Kkop Pangan, tiga diantara 17 skema kredit program untuk koperasi, pengusaha kecil dan menengah. Program ini berlaku efektif sejak MT 2000/2001 dan pelaksanaannya dimulai pada periode Oktober 2000 sampai Maret 2001. Namun ternyata realisasi kreditnya berjalan lambat, dan sampai 23 Maret 2001 baru mencapai Rp38,5 milyar atau sekitar 1,57 persen dari plafon sebesar Rp2,3 triliun (Sudaryanto, 2001). 2.3. Peneltiaan Terdahulu. 2.3.1. Penelitiaan Terdahulu Beras dan Gabah. Peneltiaan tentang peramalan dan prospek swasembada dilakukan oleh Mulyana (1998). Tujuan penelitian melihat dan meramalakan masa depan swasembada beras dengan hubungkan dengan kebijakan unilateral, multilateral dan
mengkaji dampak
terhadap penawaran dan permintaan beras serta
kesejahtreaan pelaku ekonomi beras domestik yang berada diwilayah produksi Sumatera, Jawa, Bali, Kalimatan, Sulawesi dan pulau lain di Indonesia. Kenaikan kesejahteran petani seiring dengan meningkat harga dasar dan kenaikan pupuk. Penghapusan tarif secara unilateral tidak berpengaruh nyata terhadap pencapai suasembada pangan, kenaikan harga pupuk dan harga dasar gabah, penghapusan
37
intervensi harga secara unilateral dan penghapusan interversi harga secara multilatral (liberalisasai perdagangan ) akan menghambat peningkatan produksi beras dan menurunkan kesejahteraan petani dan konsumen. Peramalan produksi dengan mengunakan ARIMA (farihah, 2005) dengan mengunakan 3 skenario untuk mencapai kemandiriaan pangan ; 1) Pemerintah melakukan peningkatan produktivitas dalam upaya pencapaian swasembada; 2) pemerintah melakukan perluasan lahan sawah; dan 3) pemerintah melakukan peningkatan luas panen dan produktifitas dalam upaya swasembada. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan skenario pertama meningkat produktivitas dengan laju peningkatannya harus mencapai setiap tahun adalah 0,1678 ton/Ha/tahun. Agar peningkatan produktivitas mencapai 5,38 lebih selama sepuluh tahun. Skenario kedua untuk mencapi swasembada maka luas panen meningkat setiap tahun 492.854,5 ha, hal ini sulit dicapai karean selama sepuluh tahun terakhir peningakat luas areal panen hanya sebesar 4.806,33 ha/ tahun. Pada skenario ketiga diperoleh nilai rata–rata luas panen 0,081 ton /ha/tahun dan rata luas panen mengalami sebesar 201.503,67 ha/tahun. Selain dengan ketiga skenario tersebut, untuk dapat meningkatkan kemampuan produksi beras nasional, beberapa upaya dapat dilakukan seperti pemeliharaan kapasitas sumberdaya lahan dan irigasi, peningkatan intensitas tanam serta penekanan kehilangan hasil. Dari segi permintaan, masih tingginya konsumsi beras sebagai bahan pangan utama diperlukan divertikasi pangan dengan cara pemanfaatan sumber pangan lain seperti jagung, ketala dan sagu. Cahyono (2001) melakukan penelitian penawaran dan permintaan beras di Propinsi lampung dan kaitan pasar beras domestik dan internasional dengan
38
memakai metode 2SLS. Kenaikan permintaan beras dilampung dan indonesia sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan pendapatan, sedangkan urbanisasi akan mengurangi konsumsi beras dampak kecil, kajian dampak tarif tidak efektif terhadap penurunan impor. Hasil
simulasi penghapusan subsidi pupuk berakibat turun produksi,
penghapusan peran pengadaan dan penyaluran Buloq akan merugi petani dan konsumen, sedang dampak krisis ekonomi lebih besar pengaruh bandingkan pengaruh perubahan iklim (El nino) terhadap keragaan pasar beras. Kenaikan harga pupuk disertai harga dasar gabah dampaknya lebih besar dari pada peningkatan HET pupuk dan KUT akan meningkat kesejahteran petani dan konsumen. Kebijakan penghapusan harga dasar gabah dan monopoli Bulog akan menurunkan produksi beras indonesia serta meningkat impor beras, meningkatkan marjin pemasaran dan menurunkan harga gabah ditingkat petani artinya kebijakan yang tidak disertai dukungan penunjang tidak akan efektif, karena pada saat peran Buloq didukung oleh tarif impor, Bulog mampu mengurangi impor beras dan meredam gejolak harga. Peran Bulog dihapus dan diganti dengan peningkatan harga dasar gabah dan tarif mengakibatkan kesejahteraan petani menurun. Kebijakan peningkatan harga dasar gabah, tarif impor, penghapusan peran Bulog, krisis ekonomi, elnino, peningkatan KUT, dan penghapusan subsidi pupuk akan menigkatkan produksi sebagai akibat dari peningkatan KUT dan penghapusan subsidi pupuk akan meningkatkan
harga beras saat krisis ekonomi yang
mendorong peningkatan produksi. Stok beras turun karena Bulog dihapus dan impor dihambat dengan tarif impor, pendapatan petani meningkat kecuali di
39
lampung. Konsumen dan produsen secara nasional diuntungkan dengan kebijakan tersebut. Penelitian serupa
pada daerah Nusa Tenggara
Timur (Benu, 1996)
terhadap struktur produksi, konsumsi dan perdagangan beras dengan memakai 3SLS. Hasil analisis struktural menunjukan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi luas panen di NTT adalah; harga jagung, curah hujan dan harga dasar gabah, sedangkan faktor – faktor yang mempengaruhi produktivitas lahan : harga gabah, luas areal intensifikasi, luas areal sawah beririgasi, perkembangan teknologi, dan program instensifikasi (Inmun, Insus dan Suprainsus) Faktor–faktor yang mempengaruhi konsumsi beras masyarakat NTT adalah: perkembangan preferensi masyarakat dari tahun ketahun yang lebih mempertimbangkan beras sebagai bahan pangan, serta jagung dan ubi – ubian sebagai komoditi subtitusi bahan pangan utama. Tingkat harga jual beras di NTT dipengaruhi oleh faktor faktor jumlah impor beras, harga gabah, harga jual jagung dan harga dasar gabah. Jumlah impor beras dipengaruhi harga beras impor, total permintaan beras, stok awal tahunan produksi beras NTT. Hasil simulasi tiga alternatif kebijakan menunjukan bahwa (1) kebijakan kenaikan harga dasar gabah, (2)harga pupuk, serta (3) kenaikan harga dasar gabah dan harga pupuk mampu meningkatkan produksi gabah di NTT. Sedangkan Kebijakan peningkatan luas areal beririgasi lebih bermanfaat bagi ekonomi perberasan di NTT dibandingkan dengan tiga kebijakan diatas Berdasar penelitian yang dilakukan oleh Situmorang (2006) faktor yang mempengaruhi produksi dan impor beras indonesia dengan mengunakan metode 2SLS. Produktivitas padi dipengaruhi secra nyata oleh jumlah pengunaan urea dan
40
lag produksivitas sedangkan, luas areal panen dipengaruhi oleh harga dasar gabah ditingkat petani, harga urea, curah hujan, dan lag luas areal panen, Semua variabel diatas berpengaruh nyata terhadap luas areal panen. Harga gabah ditingkat petani di pengaruhi oleh: harga dasar gabah, harga impor beras, produksi padi dan lag harga. Jumlah yang di impor dipengaruhi oleh harga beras impor, produksi beras, Jumlah penduduk, nilai tukar rupiah, dan lag impor beras. Harga beras impor dipengaruhi oleh harga beras dunia , tarif dan lag harga impor hanya. variabel tarif tidak berpengaruh nyata terhadap harga beras impor. Penelitian mengenai liberasisai perdagangan yang dilakukan oleh Sitepu (2002) dengan mengunakan metode 2SLS terhadap permintaan dan penawaran. Permintaan beras domestik dan dunia dipengaruhi oleh harga beras dunia tetapi responnya inelastis, sedangkan terhadap jumlah penduduk dan jumlah produksi beras, respon elastis. Hal ini menunjukan komoditi beras masih merupakan kebutuhan pokok sebagaian besar negara pengimpor beras dunia. Kebijakan harga dasar gabah akan menyebabkan net surplus produsen akan bertambah sedangkan kebijakan penghapusan subsidi harga input berdampak pada penurun produksi dan pendapat petani, namun demikian total net surplus konsumen akan meningkat. Analisis integrasi pasar internasional dan pasar dalam negeri dilakukan oleh Burhan (2006) melihat kenaikan harga beras, harga gabah kering panen dan harga BBM yang di pengaruhi oleh harga beras dunia. Metode penelitian yang dipakai mengunakan Model Vector Autoregression (VAR). Data yang digunakan adalah data deret waktu (time series) yang berjumlah 132 bulan, harga beras domestik (kualitas medium), harga gabah kering giling, harga beras dunia (Thai Broken 25 persen), dan harga premium. Hasil analisis menunjukan bahwa harga
41
beras dan gabah terintegrasi dengan harga beras dunia. Harga beras dunia berpengaruh positif terhadap beras domestik dan berpengaruh negatif terhadap harga gabah domestik, sedangkan volume impor sangat kecil pengaruhnya terhadap harga gabah dan beras, sedangkan harga BBM memberikan pengaruh yang besar terhadap harga gabah dan beras domestik. Simbolon (2005) melakukan penelitian yang sama mengenai analisis intergarsi pasar dan dampak tarif dengan memakai metode VAR intergarsi pasar beras domestik dengan pasar dunia. Harga domestik tidak mempengaruhi pasar dunia, sebaliknya harga beras dunia berpengaruh terhadap keragaan pasar domestik Dampak tarif
impor yang ditetapkan pemerintah tidak mampun
menekan volume impor. Lonjakan volume beras impor yang terjadi pada tahun 1998 hanya berpengaruh nyata terhadap harga beras domestik. Aziz ( 2006) meramalkan dan menganalisa pengaruh impor terhadap harga beras dalam negeri. Faktor yang mempengaruhi secara negatif produksi beras nasional, nilai tukar, harga beras impor dan harga beras dalam negeri. faktor yang mempengaruhi impor secara positif adalah harga beras dalam negeri dan kebijakan tarif, dari hasil yang didapat tarif untuk impor beras sudah efektif dalam upaya mengurangi volume beras impor yang masuk ke Indonesia. Penelitian ini mengunakan peramalan time series berupa model peramalan naive, tren, single dan doublee exponential smoothing terhadap pola impor beras pada periode 1999 hingga 2005 menunjukan pola yang stasioner. Model peramalan time series yang terbaik dalam meramal impor beras berdasarkan kriteria RMSE adalah analisa tren kuadratik yaitu RMSE terkecil tren kuadratik dengan dummy musim ( RMSE = 124.3873), model tren tanpa dummy
42
(134.109) dan model ARIMA (1,0,0)(0,0,1)4(134.3137). hasil peramalan tersebut memperlihatkan tren yang menurun dan volume impor beras yang menunjukan besaran yang negatif, hal ini berarti bahwa indonesia dalam periode ke depan tidak mengimpor beras lagi. Hutauruk (1996) meneliti pengaruh kebijikan harga dasar dan subsidi pupuk terhadap permintaan dan penawaran beras serta terhadap kebijakan impor, harga beras dan tingkat kesejahteraan produsen dan konsumen. Kajian membagi dua wilayah yaitu Jawa dan Luar Jawa dengan memakai metode 3SLS. Dalam jangka pendek harga dasar responsif di Jawa sedang diluar jawa tidak responsif. Dari segi permintaan beras laju pertumbuhan penduduk sangat responsif, sedang harga jagung tidak responsif, hal berarti beras tidak bisa disubtitusikan dengan jagung. Hasil simulasi dampak harga dasar, harga pupuk, luas lahan beririgasi, kredit usahatani dan suku bunga. Hasil menunjukan bahwa kenaikan harga dasar dan pupuk berdampak pada kenaikan produksi, penurunan konsumsi dan impor, serta peningkatan stok yang dilepaskan. Pada simulasi kenaikan luas areal lahan beririgasi dan kenaikan kredit usahatani berdampak meningkatan produksi beras, penurunan impor dan peningkatan stok yang dilepaskan ke pasar. Dilihat dari tingkat kesejahteraan petani, jika harga dasar dan pupuk naik 15 persen maka akan meningkatkan produksi dan surpuls produsen. Kenaikan harga dasar sebesar 20 persen dan harga pupuk naik sebesar 25 persen mengakibatkan menaikan surplus konsumen Adriana (2007) meneliti penawaran impor beras dunia dan permintaan impor beras Indonesia serta menganalisis implementasi kebijakan perberasan
43
Indonesia. Penelitian ini lebih menekan pada penelusuran literatur dan deskripsi tabulasi data. Melalui peneluran literatur dan perhitungan tabulasi data diketahui bahwa, penawaran impor beras dunia bagi indonesia semakin meningkat karena beras yang diperdagangkan dipasar dunia cenderung mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan produksi beras dunia. Peningkatan tersebut karena didukung kebijakan perberasan negara – negara eksportir utama dalam memberikan insentif kepada petani untuk meningkatkan produksi yang berkelanjutan. Permintaan impor beras indonesia cenderung mengalami penurunan karena perkembangan produksi padi yang semakin membaik dan menurunnya laju konsumsi beras masyarakat indonesia. Krisis
ekonomi
memberikan
pengaruh
besar terhadap
kebijakan
perberasan nasional. Kebijakan perberasan Indonesia yang bertujuan melindungi produsen dalam perkembangannya saat ini telah berjalan cukup efektif, sedangkan kebijakan perberasan yang ditujukan untuk melindungi konsumen dalam perkembangan belum berjalan secara efektif. Untuk kebijakan impor beras saat ini sudah baik dibandingkan dengan kebijakkan impor sebelumnya, berupa penerapan tarif, pengaturan ijin dan tata laksana impor, bertujuan untuk perlindungi produsen dan konsumen harga beras yang tak wajar. Penelitian menilai efektifan dan perumusan strategi kebijakan beras nasioanl yang dilakukan oleh Pratiwi (2008). Kebijakan dimaksud adalah kebijakan insentif produksi, kebijakan harga dan impor. Metode yang gunakan semantic differential scale, Matriks SWOT, dan QSPM
44
Hasil analisis diagram ular (semantic differential scale) kemampuan Bulog menyalurkan beras dinilai efektif sebesar 2.4, kebijakan harga dengan total rataan indikator sebesar 2.4 dinilai oleh responden tidak efektif dikarenakan HPP tidak mampu menutupi biaya produksi sehingga pendaptan petani tetap rendah. Penerapan OPM dan raskin sebagai bentuk transfer pendapatan justru mendistosi harga domestik karena kondisi pasar yang asimetris, menyebakan turun harga gabah ditingkat petani. Kebijakan impor juga dianggap tidak efektif dengan skor rataan 2.35, hal dapat dilihat penerapan tarif impor justur memicu penyeludupan akibat tingginya paritas antara harga beras domestik dan luar negeri. Kebijakan insentif produksi dinilai tidak paling efektif sebesar 2.25 karena pemerintah tidak mampu menahan laju konversi lahan, rusaknya saran, dan prasarana irigasi, hal ini yang membuat produktivitas stagnan, ditambah dengan kegagalan diversifikasi pangan sehingga suasembada pangan tak terwujud. Hasil hal ini tercermin dari fluktuasi nilai tukar petani sebagai indikator pengukur kesejahteran petani dan keberhasilan kebijakan pertanian. Berdasarkan analisis SWOT diperoleh delapan strategi pengembang perberasan. Analisis matriks QSP diperoleh bahwa strategi prioritas adalah mengkombinasikan kebijakan proteksi dengan kebijakan promotif melalui peningkatan padi dengan total score 5.57, sedang prioritas terakhir dengan skor terendah diberikan pada strategi reformasi agraria Analisis faktor internal diperoleh bahwa total bobot kekuatan sebesar 0.523 dan bobot kelemahan sebesar 0.477 maksud dalam pelaksanaan strategi perberasan, kekuatan memberikan pengaruh lebih besar terhadap kesuksesan dari
45
kelemahan. Analisis faktor eksternal diperoleh bobot rataan peluang adalah 0.527 dan bobot rataan ancaman 0.475, hasil pembobotan tertinggi terdapat pada kebijakan pengembang IPTEK dan kesepakatan negara kelompok G 33. Untuk elemen ancaman perubahan iklim dan bencana alam merupakan faktor bobot tertinggi dan terendah untuk elemen ancaman terendah faktor subsidi pupuk. Analisis proses Hierarki analisis dalam rangka meningkat produksi padi yaitu jumlah luas lahan, tingkat produktivitas, indek Pertanaman dan lembaga penunjang analisis horizontal dari peningkatan produksi adalah luas lahan (0.419), produktifitas (0.323), indek pertanaman (0.163) dan lembaga penunjang (0.094) dengan rasio inkonsistensi 0.02. Analisis vertikal terdapat membangun irigasi oleh pemda (0.387): mengadopsi teknologi baru sesuai dengan kondisi wilayah dan sumber daya lokal (0.351) dan memperketat aturan alih fungsi lahan insentif bagi pemilik (0.262) dengan rasio inkonsistensi 0,002. Memakai model politik regulasi beras dengan cara mengintergasikan blok ekonomi beras, ekonomi makro, dan politik mampu menjelaskan dengan baik perilaku berbagai peubah dalam blok ekonomi beras, ekonomi makro dan politik, serta efektif digunakan untuk mengevalusi simulasi dampak regulasi terhadap kinerja ekonomi beras, ekonomi makro dan politik. Faktor – faktor dalam ekonomi beras berupa variabel –variabel yang mempengaruhi penawaran dan permintaan beras termasuk didalamnya kebijakan pertanian. Sedangkan yang termasuk faktor ekonmi makro yaitu nilai tukar, inflasi serta kebijakan moneter dan fiskal lain Menurut Sugiyono(2005), hubungan ketiga blok tersebut sebagai berikut: faktor - faktor ekonomi beras dan ekonomi makro saling mempengaruhi, tapi faktor – faktor ekonomi beras dan makro tidak saling mempengaruhi faktor
46
politik namun sebaliknya faktor –faktor politiklah memberi pengaruh terhadap keduanya. Saran alternatif pilihan regulasi beras yang memberi dampak terbaik terhadap konsumen dan produsen beras, stabilitas ekonomi, dan politik pada periode sebelum dan sesudah demokratisasi adalah kombinasi kebijakan harga dasar gabah dan subsidi pupuk yang disertai penurunan tarif impor. Analisis keefektifan kebijakan harga dasar gabah (Ritongan, 2004), dengan mengunakan metode analisis yang digunakan 2SLS didapat hasil faktor – faktor dalam ekonomi beras dan faktor ekonomi beras saling mempengaruhi, tetapi faktor ekonomi beras dan faktor ekonomi makro tidak saling mempengaruhi politik. Dari hasil evaluasi kebijakan harga dasar yang membanding antara karawang dan bekasi pengaruh kebijakan harga dasar terhadap pendapatan petani menunujkan pendapat petani di Bekasi lebih tinggi dari Karawang, tetapi juga dilihat dari tingkat kemiskinan pada sektor pertanian khusus usahatani padi. Untuk meningkat keefektifan kebijakan harus didukung dengan implemetasi kelembagan pasar, penerapan teknologi, perbaikan infrastruktur pemasaran dan kemudahan akses dalam rangka meningkat kesejahteraan petani Dari segi usahatani padi sawah penelitian didaerah kecamatan Cilamaya, kabupaten karawang, Jawa Barat pada musim tanam 1996/1997 pada 3 kali panen (Aryanti, 1997) dengan cara menilai kinerja usahatani, dan pengalokasikan sumberdaya serta pengaruh kebijakan pertanian pada usahatani padi sawah. Dari tiga panen panen return to scale sebesar 0.9722; 0.927; 0,9856. Efesiensi pemakai tenaga kerja, obat-obatan, pupuk, dan input lain belum optimal. Peningkatan produksi padi perhektar cenderung meningkat, namun diikuti oleh peningkatan biaya produksi. Pendapatan petani perhektar pada panen MT 1996 dan
47
MT1996/1997 meningkat sebesar 9.40 persen untuk petani pengarap /pemilik dan petani pengarap turun 3.58 persen pendapatan. Pelaksanaan kebijakan harga dasar gabah dan subsidi pupuk belum mampu meningkatkan nilai R/C petani, untuk Petani pengarap/pemilik lahan R/C pada 3 kali panen sebesar 2.33, 2.32, dan 2.21. dan petani pengarap adalah 1.51, 148 dan 1.51. Relatif lebih rendahnya nilai R/C ketidakseimbang antara proporsi bagi hasil dan biaya produksi yang harus ditanggung serta rendahnya nilai produksi yang diterima oleh sebagian besar petani penggarap karena tidak menahan penjualan hasil panen. Nilai B/C pada ketiga musim panen tersebut untuk petani pemilikpenggarap sebesar 1.49 dan petani penggarap sebesar 1.30 nilai B/C secara usahatani antara kedua musim tanam tersebut adalah 1.60 pada petani pemilikpenggarap dan 1.54 pada petani pengggarap. Pelaksanan kebijakan harga dasar gabah dan harga sarana produksi lebih dirasakan oleh petani pemilik – penggarap dibandingkan petani penggarap. Rasio nilai produk marjinal dan biaya korbanan marjinal (NPM/BKM) terhadap faktor lahan, benih dan pupuk urea pada tiga kali musim tanam adalah lebih besar dari satu. Nilai NPM/BKM pupuk pada musim tanam 1996 dan 1996/1997 bernilai negatif dan musim tanam 1997 lebih besar satu. Dengan demikian alokasi faktor produksi tenaga kerja, pupuk dan benih tidak efisien. Memakai metode yang sama Hendriany (2008) meneliti keterkaitan antara pasar beras dalam negeri dengan pasar luar negeri. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga beras dalam negeri, harga beras luar negeri, tarif impor beras, nilaitukar dan volume impor. Hasil impulse response function (IRF)
48
dengannya adalah harga beras domestik dan harga beras dunia mengindikasikan bahwa ketika terjadi perubahan pada variabel – variabel eksogen maka harga beras domestik dan harga beras sebagai variabel endogen dengan nilai relatif kecil dibawah satu persen. Hal ini menunjukan bahwa ada intergrasi dikedua pasar tersebut namun sangat lemah. Hasil Variance decomposition (VD) menunjukan bahwa pembentukan harga dikedua pasar ditentu oleh harga beras itu sendiri pada periode sebelumnya. Harga domestik domestik dipengaruhi perubahan harga beras dunia. Secara tak langsung pemberlakukaan tarif tidak efektif, karena secara teori dengan adanya tarif impor keterkaitan antara harga beras domestik dan harga beras dunia berkurang. Namun Harga beras domestik tidak memiliki pengaruh sebaliknya terhadap harga beras. Harga beras dunia lebih dipengaruhi oleh harga beras itu sendiri pada periode sebelumnya, namun variabel lain yang berpengaruh terhadap transformasi harga beras dunia adalah variabel nilai tukar. Besarnya volume impor yang dilakukan indonesia berpengaruh secara signifikan terhadap transformasi harga beras dunia. Peneltian terhadap faktor – faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan INTRA-ASEAN dengan memakai metode gravity (Napitupulu 2007). Penelitian ini berupaya mengetahui keragaan produksi, konsumsi, dan kebijakan perberasan negara – negara ASEAN dengan metode kualitatif dan faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi aliran perdagangan beras intra-ASEAN dengan memakai metode kuantitatif. Penelitian digunakan model gravity yang menganalisis faktor – faktor dependen yaitu impor beras, sedangkan faktor indepen adalah GDP, populasi, jarak, nilai tukar, produksi dan konsumsi beras negara asal dan tujuan
49
impor beras. Hasil Chow test, analisis gravity mengunakan metode fixed effect dengan estimasi GLS, R2 yang diperoleh 49.57 persen. Faktor – faktor berpengaruh nyata sebesar lima persen terhadap aliran perdagangan antra negara ASEAN yaitu GDP negara asal impor, populasi negara tujuan impor, dan nilai tukar negara tujuan impor. Winniasi (2007) menganalisa distribusi spasial dan aliran perdagangan beras dari dan ke DKI Jakarta dengan mengunakan dua bentuk gravity model. Model pertama menganalisa aliran perdagangan beras ke DKI Jakarta yang melibatkan enam variabel pendugaan melibatkan enam variabel penduga yaitu PDRB daerah pemasok (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur) dan daerah tujuan pemasaran (DKI Jakarta) sebagai proksi ukuran ekonomi suatu wilayah, biaya transportasi antara daerah menjadi proksi jarak, tingkat produksi padi daerah pemasok, populasi penduduk daerah pemasok, dan daerah tujuan. Model kedua faktor faktor yang diduga mempengaruhi aliran perdagangan beras di DKI Jakarta ke daerah tujuan antara lain PDRB daerah pemasok (DKI Jakarta) dan daerah tujuan pasokan (Banten. Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur), populasi daerah pemasok dan daerah tujuan, biaya transportasi antara daerah, dan harga beras yang dituju. Hasil chow test model pertama mka analisis regresi gravity model mengunakan metode fixed effeck dengan estimasi GLS. Nilai R2 yang menunjukan goodness of fit model adalah sebesar 99 persen. Faktor – faktor yang berpengaruh signifikan pada taraf lima persen terhadap aliran perdagangan beras ke DKI Jakarta yaitu PDRB dan populasi DKI Jakarta serta tingkat produksi didaerah sentra beras. Pada model kedua berdasarkan hasil chow test metode yang sesuai
50
adalah pooled ols dengan faktor – faktor yang berpengaruh pada taraf nyata lima persen terhadap pengeluaran beras di DKI Jakarta yaitu biaya transportasi, harga beras daerah yang dituju, PDRB dan populasi daerah tujuan. Nilai Nilai R2 yang menunjukan goodness of fit model adalah sebesar 98 persen. Penelitian hubungan harga beras terhadap pola konsumsi beras rumah tangga dilakukan Sari (2007) di daerah perumahan Jakarta timur dengan metode uji chi-square dan model regrisi logistik terhadap keluarga berpenghasilan rendah dan tinggi. Hasil penelitian uji chi-squ terhadap 100 responden perubahan pola konsumsi setelah kenaikan harga beras terlihat nyata hanya pada keluarga berpenghasilan rendah dan menengah, perubahan itu berbentuk penurunan kualitas beras. Hal ini membuktikan perubahan jenis beras sangat dipengaruhi oleh pendapatan rumah tangga. Hasil uji model regresi logit diperoleh bahwa semakin tinggi pendapatan yang diperoleh rumah tangga maka peluang rumah tangga untuk mengubah jenis beras yang dikonsumsi cenderung kecil. Perubahan frekuensi pembelian beras per bulan setelah harga naik, untuk rumah kelas bawah lebih cenderung lebih sering melakukan pembelian karenan ada keterbatasan sumberdaya. Rumah tangga kelas menengah cenderung mengurangi frekuensi pembelian, pola pembelian rumah tangga tersebut dalam jumlah besar setiap membeli beras karena khawatir harga beras bertambah naik. Zacky (2007) meramalkan dan menganalisa faktor faktor yang mempengaruhi fluktusi harga beras dilima kota di Pulau Jawa (Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya Dan Denpasar) dengan memakai teknik time seris yang digunakan yaitu teknik rata-ratan sederhana (simple average), teknk rata – rata bergerak sederhana (simple exsponential smoothing), trend, teknik Brown, Winter,
51
teknik dekomposisi, dan teknik ARIMA atau Sarima. Teknik Box-jenkins menunjukan nilai MSE terkecil bagi kota Jakarta, Yogyakarta dan Denpasar, sedangkan teknik pemulusan eksponesial ganda menunjukan nilai MSE terkecil bagi Bandung dan Surabaya Hasil pengujian model regresi berganda dilima kota menunjukan bahwa variabel harga kering giling tidak berpengaruh harga beras IR II tingkat konsumen di lima kota. Faktor –faktor yang mempengaruhi harga beras di Jakarta adalah harga beras IR II digrosir, jumlah pasokan, dan lag harga. Bandung dan Denpasar, faktor –faktor yang mempengaruhi harga beras ditingkat grosir, stok bulog dan lag harga mempengaruhi harga beras IR II tingkat konsumen di kota Yogyakarta dan kota Surabaya. Ambarinanti (2007) menganalisa faktor yang mempengaruhi produksi dan ekspor beras di Indonesia dengan mengunakan teknik Ordinary Lest Square (OLS) hasil analisis regresi pada model produksi menunjukan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi produksi beras terdiri luas areal panen padi indonesia, harga dasar gabh, pupuk urea, dan curah hujan. Hasil analisis terhadap produksi padi faktor luas areal panen, harga dasar gabh dan pupuk berpengaruh nyata pada taraf satu persen, sedang curah hujan tidak berpengaruh nyata. Hasil analisis regresi pada model ekspor menunjukan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi volume ekspor beras terdiri produksi beras indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dolar, harga beras eceran, dan konsumsi beras perkapita. Hasil analisis regresi menyatakan produksi beras dan konsumsi perkapita berpengaruh nyata sebesar satu persen, sedang variabel nilai tukar dan harga beras eceran tidak berpengaruh nyata terhadap ekspor beras indonesia.
52
2.31.Penelitiaan Two Stage Least Square (2SLS). Wardani (2008) meneliti kebijakan perdagangan di sektor industri CPO terhadap pasar minyak goreng dalam. Variabel yang diteliti ekspor CPO, produksi CPO, luas areal kebun sawit, dan harga ekspor CPO indonesia dari model keterkaitan ekspor CPO menghasilkan persamaan struktural dan tiga persamaan indentitas. Penawaran ekspor variabel harga CPO, nilai tukar, pjak ekspor dan populasi berpengaruh nyata, sedangkan lag ekspor tidak berpengaruh nyata. Penawaran minyak goreng berasal dari produksi dalam negeri dan impor. Impor minyak goreng sangat di pengaruhi oleh harga impor minyak goreng . Permintaan minyak goreng sawait indonesia merupakan agregasi dari jumlah konsumsi minyak goreng sawit secara langsung dan konsumsi minyak goreng oleh industri penguna minyak goreng. Permintaan minyak goreng indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga minyak goreng harga minyak kelapa pendapatan perkapita, dan lag permintaan minyak goreng. Variabel yang mempengaruhi harga minyak goreng secara nyata adalah harga CPO dan harga minyak goreng kelapa dan dummy krisis. Simulasi kenaikan pajak ekspor akan menurunkan permintaan minyak goreng 0.0017 persen, impor minyak goreng sebesar 0.0013 persen dan menurunkan volumen impor sebesar 0.9226 persen, seta diduga akan meningkat harga minyak goreng sawit sebesar 2.1470 persen, dan peningkatan produksi minyak goreng sebesar 0.1433. Jamaludin (2005) melakukan penelitian dengan mengunakan metode Two Stage Least Square (2SLS) untuk menganalisa kebijakan perdagangan gadum tepung terigu terhadap keseimbangan terigu di Indonesia. Model yang dirumuskan
53
dalam penelitian ini terdiri atas model persamaan indetitas sebanyak 7 buah dan satu model persamaan struktur. Untuk membangun model tersebut jamaludin mengunakan 24 variabel dependen. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa produksi terigu secara nyata dipengaruhi oleh harga terigu domestik, jumlah impor gadum, upah tenaga kerja disektor industri dan beda kala produksi tepung terigu indonesia. Permintaan tepung terigu ditentukan dari respon terhadap harga tepung terigu domestik pendapatan nasional, jumlah penduduk dan dummy kebijakan impor. Sedangkan harga terigu ditentukan oleh penawaran tepung indonesia dan trend waktu.
54