BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bahan Tambahan Pangan Pengertian bahan tambahan pangan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 772/Menkes/Per//IX/88 No. 1168/Menkes/PER/X/1999 secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, pelakuan, pengepakan, pengemasan dan penyimpanan (Cahyadi, 2008). Menurut (Cahyadi, 2008) Bahan tambahan pangan yang digunakan hanya dapat dibenarkan apabila : 1. Dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan dalam pengolahan; 2. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyaratan; 3. Tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk pangan; 4. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan. Penggunaan bahan tambahan pangan sebaiknya dengan dosis dibawah ambang batas yang telah ditentukan. Jenis BTP ada 2 yaitu GRAS (Generally Recognized as Safe), zat ini aman dan tidak berefek toksik misalnya gula
(glukosa). Sedangkan jenis lainnya, yaitu ADI (Acceptable Daily Intake), jenis ini selalu
ditetapkan
batas
penggunaan
hariannya
(daily
intake)
demi
menjaga/melindungi kesehatan konsumen (Cahyadi, 2008). Secara umum bahan tambahan/aditif ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu: (1) aditif sengaja yaitu aditif yang secara sengaja ditambahkan untuk meningkatkan konsistensi, citarasa, mengendalikan keasaman/kebasaan, dan memantapkan bentuk dan rupa; (2) aditif tidak sengaja yaitu aditif yang memang telah ada dalam makanan (walaupun sedikit) sebagai akibat dari proses pengolahan (Siaka, 2009). Pada umumnya telah dapat diterima bahwa kadar yang diizinkan tidak melebihi kadar yang dibutuhkan untuk menghasilkan sifat teknologi atau perubahan yang diinginkan dalam penggunaan bahan tambahan itu. Di Indonesia telah disusun peraturan Bahan Tambahan Pangan yang diizinkan ditambahkan dan yang dilarang (disebut bahan tambahan kimia) oleh Departemen Kesehatan diatur dengan
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
RI
Nomor
772/Menkes/Per//IX/88, terdiri dari golongan BTP yang diizinkan diantaranya sebagai berikut : 1.
Antioksidan (antioxidant)
2.
Antikempal (anticaking agent)
3.
Pengatur keasaman (acidity regulator)
4.
Pemanis buatan (artificial sweeterner)
5.
Pemutih dan pematang telur (flour treatment agent)
6.
Pengemulsi, pemantap, dan pengenta (emulsifier, stabilizier, thickener)
7.
Pengawet (preservative)
8.
Pengeras (firming agent)
9.
Pewarna (colour)
10. Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa (flavour, flavour enhancer) 11. Sekuestran (sequestrant) Selain BTP yang tercantum dalam peraturan menteri tersebut masih ada beberapa BTP lainnya yang biasa digunakan dalam pangan, misalnya : 1.
Enzim, yaitu BTP yang berasal dari hewan, tanaman atau mikroba, yang dapat menguraikan zat secara enzimatis, misalnya membuat pangan menjadi lebih empuk, lebih larut dan lain-lain.
2.
Penambah gizi, yaitu bahan tambahan berupa asam amino, mineral, atau vitamin, baik tunggal maupun campuran, yang dapat meningkatkan nilai gizi pangan.
3.
Humektan, yaitu BTP yang dapat menyerap lembab (uap air) sehingga mempertahankan kadar air pangan (Cahyadi, 2008). Unsur-unsur gizi yang perlu ada dalam makanan, tercermin pada
komposisi tubuh yaitu air, zat putih telur (protein), lemak, zat hidrat arang (karbohidrat), mineral dan berbagai komponen-komponen minor lainnya. Kecukupan pangan manusia dapat didefinisikan secara sedehana sebagai kebutuhan harian yang paling sedikit memenuhi kebutuhan gizi, yaitu sumber kalori atau energi yang dapat berasal dari semua bahan pangan tetapi biasanya sebagian besar diperoleh dari karbohidrat dan lemak ; sumber protein untuk pertumbuhan, pemeliharaan dan penggantian jaringan ; dan sumber vitamin dan
mineral. Dimana bahan pangan berlimpah dan banyak pilihan, manusia akan makan pertama untuk kelezatan dan baru yang kedua untuk keperluan gizi (Buckle dkk, 1987).
2.2 Bahan Pengawet Bahan pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat proses fermentasi, pengasaman dan penguraian terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme (Sibarani, 2010) Bahan pengawet digunakan untuk mengawetkan produk makanan kemasan. Penambahan bahan pengawet dimaksudkan agar makanan tidak cepat rusak ketika didistribusikan dan disimpan (Kurniawati, 2008) Penggunaan pengawet dalam pangan harus tepat, baik jenis maupun dosisnya. Suatu bahan mungkin efektif untuk mengawetkan pangan tertentu, tetapi tidak efektif untuk mengawetkan pangan lainnya karena pangan mempunyai sifat yang
berbeda-beda
sehingga
mikroba
perusak
yang
akan
dihambat
pertumbuhannya juga berbeda. Pada saat ini, masih banyak ditemukan penggunaan bahan-bahan pengawet yang dilarang untuk digunakan dalam pangan dan berbahaya bagi kesehatan seperti boraks dan formalin Pemakaian bahan pengawet dari satu sisi menguntungkan karena dengan bahan pengawet, bahan pangan dapat dibebaskan dari kehidupan mikroba, baik yang bersifat patogen yang dapat menyebabkan keracunan atau gangguan kesehatan lainnya maupun mikrobial yang nonpatogen yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan, misalnya pembusukan. Namun dari sisi lain, bahan
pengawet pada dasarnya adalah senyawa kimia yang merupakan bahan asing yang masuk bersama bahan pangan yang dikonsumsi. Apabila pemakaian bahan pangan dan dosisnya tidak diatur dan diawasi, kemungkinan besar akan menimbulkan kerugian bagi pemakainya baik yang bersifat langsung misalnya keracunan; maupun yang bersifat tidak langsung atau kumulatif, misalnya apabila bahan pengawet yang digunakan bersifat karsinogenik. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per//IX/1988 tentang bahan tambahan pangan yang mencegah tau menghambat fermentasi, pengasaman atau peruraian lain terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Zat pengawet terdiri dari senyawa organik dan anorganik dalam bentuk asam dan garamnya. Aktivitas-aktivitas bahan pengawet tidaklah sama, misalnya ada yang efektif terhadap bakteri, khamir ataupun kapang (Cahyadi, 2008). 2.2.1 Tujuan Penggunaan Pengawet Bahan pengawet adalah bahan yang ditambahkan ke dalam makan dengan tujuan untuk mencegah atau menghambat kerusakan mikrobiologis, yaitu kerusakan
makanan
yang
disebabkan
oleh
serangan
mikroorganisme
(bakteri/khamir/kapang). Dengan demikian proses fermentasi (pembusukan), pengasaman, atau penguraian akibat aktivitas jasad renik dapat dicegah (Kurniawati, 2008). Menurut (Cahyadi, 2008), pangan secara umum adalah :
tujuan penambahan bahan pengawet pada
1. Menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada pangan baik yang bersifat patogen maupun yang tidak patogen 2. Memperpanjang umur simpan pangan 3. Tidak menurunkan kualitas gizi, warna, cita rasa dan bau pangan yang diawetkan 4. Tidak menyembunyikan keadaan pangan yang berkualitas rendah 5. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau tidak memenuhi persyaratan 6. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan 2.2.2 Jenis bahan pengawet Bahan pengawet yang paling aman digunakan adalah pengawet alami seperti gula, garam dan asam jawa. Gula digunakan sebagai pengawet pada produk buah-buahan dan produk makanan olahan. Misalnya selai, sari buah, sirop dan manisan. Sedangkan garam digunakan untuk mengawetkan ikan, buah, dan daging. Pemberian garam dapat membunuh mikroorganisme yang menyebabkan menjadi busuk (Kurniawati, 2008). Bahan
pengawet
yang
digunakan
untuk
mencegah
kerusakan
mikrobiologis dapat berupa asam-asam organik atau garamnya. Bahan pengawet organik lebih banyak dipakai daripada zat anorganik, karena bahan ini lebih mudah dibuat (Kurniawati, 2008).. Berikut beberapa bahan pengawet buatan antara lain sebagai berikut :
1.
Zat pengawet Anorganik Zat pengawet anorganik yang masih sering kali dipakai adalah sulfit,
hidrogen peroksida, nitrat dan nitrit. Bentuk efektifnya sebagai pengawet adalah asam sulfit yang tidak terdisosiasi dan terutama terbentuk pH dibawah 3 (Cahyadi, 2008). 2.
Zat pengawet Organik Zat pengawet organik lebih banyak dipakai daripada yang anorganik
karena bahan ini lebih mudah dibuat. Bahan organik digunakan baik dalam bentuk asam maupun dalam bentuk garamnya. Zat kimia yang sering dipakai sebagai bahan pengawet ialah asam asorbat, asam propionat, asam benzoat, asam asetat, dan epoksida (Cahyadi, 2008). Bahan-bahan pengawet kimia adalah salah satu kelompok dari sejumlah besar bahan-bahan kimia yang baik ditambahkan dengan sengaja ke dalam bahan pangan atau ada dalam bahan pangan sebagai akibat dari perlakuan prapengolahan, pengolahan atau penyimpanan. Untuk penyesuaian dengan penggunaannya dalam pengolahan secara baik, penggunaan bahan-bahan pengawet ini : 1. Seharusnya tidak menimbulkan penipuan 2. Seharusnya tidak menurunkan nilai gizi dari bahan pangan 3. Seharusnya tidak memungkinkan pertumbuhan organisme-organisme yang menimbulkan
keracunan
bahan
mikroorganisme-mikroorganisme
pangan
lainnya
sedangkan
tertekan
pembusukan menjadi nyata (Buckle dkk, 1987).
yang
pertumbuhan menyebabkan
2.2.3 Syarat Untuk Bahan Pengawet Menurut (Cahyadi, 2008) terdapat beberapa persyaratan untuk bahan pengawet kimiawi lainnya, selain persyaratan yang dituntun untuk semua bahan pangan, antara lain sebagai berikut : 1.
Memberi arti ekonomis dari pengawetan
2.
Digunakan hanya apabila cara-cara pengawetan yang lain tidak mencukupi atau tidak tersedia
3.
Memperpanjang umur simpan dalam pangan
4.
Tidak menurunkan kualitas warna, cita rasa dan bau bahan pangan yang diawetkan
5.
Mudah dilarutkan
6.
Menunjukkan sifat-sifat anti mikroba pada jenjang pH pangan yang diawetkan
7.
Aman dalam jumlah yang diperlukan
8.
Mudah ditentukan dengan analisis kimia
9.
Tidak menghambat enzim-enzim pencernaan
10. Tidak dekomposisi atau tidak bereaksi untuk membentuk suatu 11. Mudah dikontrol dan didistribusikan secara merata dalam bahan pangan 12. Mempunyai spektra antimikroba yang luas yang meliputi macam-macam pembusukan oleh mikroba yang berhubungan dengan bahan pangan yang diawetkan
2.2.4 Asam Benzoat dan Garamnya a.
Asam Benzoat Asam benzoat
(C6H5COOH)
merupakan bahan pengawet yang luas
penggunaannya pada makanan dan minuman. Garam natrium dari asam benzoat lebih sering digunakan karena bersifat lebih larut air dari pada bentuk asamnya. Bahan ini dapat mencegah pertumbuhan khamir dan bakteri (Sibarani, 2010). Asam benzoat juga disebut sebagai asam fenilformat atau asam benzenkarboksilat (Chipley 2005). Kelarutan asam benzoat dalam air sangat rendah (0.18, 0.27, dan 2.2 g larut dalam 100 ml air pada 4oC , 18oC , dan 75oC) (Chipley 2005). Asam benzoat termasuk asam lemah (konstanta disosiasi pada 25oC adalah 6.335 x 1025 dan pKa 4.19), sangat larut dalam etanol dan sangat sedikit larut dalam benzene dan aceton (Sioe, 2008). Penggunaan asam benzoat dibatasi dalam hampir semua produk buahbuahan dan sering digunakan bersama-sama dengan belerang dioksida. Asam benzoat lebih efektif terhadap khamir dan bakteri daripada kapang dan pada konsentrasi di atas 25mg/l asam yang tidak terurai akan menghambat pertumbuhan kapang. Aktivitas optimum terjadi antara pH 2,5 dan 4. Asam benzoat akan ditolak pada konsentrasi di atas 400mg/l dan tidak mempunyai pengaruh pada pencoklatan enzimatik dan nonenzimatik. Walaupun demikian, asam ini tidak bergabung
dengan
komponen-komponen
bahan
pangan
seperti
halnya
belerangdioksida dan tidak mempunyai pengaruh terhadap pengkaratan kaleng (Buckle dkk, 1987).
Dalam praktek, yang banyak digunakan adalah garam benzoat, karena kelarutannya dalam air lebih besar. Kekhususan asam benzoat adalah bahwa dalam tubuh dapat bereaksi denga glisin (suatu asam amino) dan dihasilkan asam hipurat (benzoilglisina) yang dikeluarkan tubuh bersama-sama dengan urin, sehingga tidak terjadi akumulasi asam benzoat dalam tubuh (Kurniawati, 2008). Asam benzoat secara alami terdapat rempah-rempah seperti cengkih dan kayu manis (Kurniawati, 2008). b. Natrium Benzoat Rumus Struktur :
Nama kimia
: Natrium benzoat
Rumus molekul : NaC6H5CO2 Berat molekul
: 144,11 g/mol
Kelarutan
: Mudah larut dalam air dan sukar larut dalam etanol
Penyimpanan
: Dalam wadah tertutup baik
Khasiat
: Zat pengawet (Anonim, 1979)
Sifat-sifat dari Natrium benzoat yaitu : 1. Berupa granul atau serbuk hablur berwarna putih 2. Tidak berbau dan stabil di udara 3. Mudah larut dalam air 4. Sukar larut di dalam etanol dan lebih larut dalam etanol 90% 5. Kelarutan dalam air pada suhu 25°C sebesar 660 gr/L dengan bentuk yang aktif sebagai pengawet sebesar 84,7% pada range pH 4,8 (Sibarani, 2010)
Tabel 1. Daftar Bahan Pengawet Organik yang diizinkan Pemakaiannya dan Dosis Maksimum yang Diperkenankan Oleh Dirjen POM(Cahyadi,2008) No 1.
2.
Nama BTP Asam Benzoat
Jenis Bahan Pangan Kecap
Batas Penggunaan Maksimum 600 mg/kg
Minuman ringan
600 mg/kg
Acar Ketimun Botol
1g/kg, tunggal atau campuran dengan kalium dan natrium benzoate atau dengan kalium bat
Margarin
1g/kg, tunggal atau campuran dengan garamnya atau dengan asam sorbat dan garamnya
Pekatan sari nanas
1g/kg, tunggal atau campuran dengan garamnya atau dengan asam sorbat dan garamnya
Saus tomat
1 g/kg
Pangan lain
1 g/kg
Natrium Benzoat Jem dan Jeli
1g/kg, tunggal atau campuran dengan asam sorbat dan garam kaliumnya atau dengan ester dari asam para hidroksi benzoat
Kecap
600 mg/kg
Minuman ringan
600 mg/kg
Saus tomat
1 g/kg
Pangan lain
1 g/kg
2.2.5 Efek Beberapa Bahan Pengawet Terhadap Kesehatan a. Asam benzoat dan garamnya (Ca, K dan Na) Penderita asma dan urticaria sangat sensitif terhadap asam benzoat, jika dikonsumsi dalam jumlah besar akan mengiritasi lambung. b. Asam sorbat dan garamnya Kondisi yang ekstrim (suhu dan konsentrasi sorbat tinggi) asam sorbat dapat bereaksi dengan nitrit membentuk produk mutagen yang tidak terdeteksi di bawah kondisi normal penggunaan, bahkan dalam curing asinan. Asam sorbat kemungkinan juga memberikan efek iritasi kulit apabila langsung dipakai pada kulit, sedangkan untuk garam sorbat belum diketahui efeknya terhadap tubuh. c. Asam propionat dan garamnya Natrium propionat apabila diberikan dalam dosis per oral sehari 6 gram untuk laki-laki tidak menimbulkan toksik, namun pada laporan lain dinyatakan bahwa asam propionat dan garamnya mempunyai aktifitas antihistamin lokal. Natrium dan kalium propionat dilaporkan ada hubungan antara pemakaian proponat dengan migrain, sedangkan untuk kalsium propionat tidak diketahui efek pemakaiannya terhadap kesehatan (Cahyadi, 2008).
2.3 Saus Cabai/ Saus Sambal 2.3.1 Definisi Saus Secara Umum Saus
merupakan
sejenis
kuah
untuk
menyedapkan masakan atau
pemberi aroma pada makanan. Bahan dasar yang digunakan untuk membuatnya dapat
dari
sayuran, kacang-kacangan, kerang
atau
buah-buahan.
Pada
pembuatannya ditambahkan gula, garam, cuka dan rempah untuk penambah aroma. (Anonim, 2010) Kata “saus” berasal dari bahasa Perancis (sauce) yang diambil dari bahasa latin salsus yang berarti “digarami”. Sedangkan saus dalam istilah masakmemasak berarti cairan
kental
yang digunakan sewaktu memasak atau
dihidangkan bersama-sama makanan sebagai penyedap atau agar makanan kelihatan bagus. Saus juga dapat diartikan sebagai cairan kental (pasta) yang terbuat dari bubur buah berwarna menarik (biasanya merah), mempunyai aroma dan rasa yang merangsang/dengan atau tanpa rasa pedas (Lubis, 2009). 2.3.2 Saus Cabai/Saus Sambal Pecinta makanan berasa pedas, tentu sangat merindukan kehadiran cabai pada setiap jenis makanan yang dikonsumsi. Namun menghadirkan cabai utuh setiap saat tentu bukan perkara yang mudah. Tidak jarang, hal tersebut justru sangat merepotkan. Dengan kemajuan teknologi pengolahan pangan, cabai dapat dihadirkan setiap saat dimana pun dibutuhkan. Cabai dapat diolah menjadi cabai kering, cabai bubuk, sambal atau saus cabai. Kehadiran produk olahan cabai tersebut sangat menguntungkan karena selain dapat memperpanjang daya awet, juga menambah daya guna, keragaman dan kepaktrisan. Bentuk olahan mana yang dikehendaki sangat tergantung kepada jenis makanan yang akan disantap. Makan ayam goreng, burger, spagesti, atau pizza di restoran cepat saji akan terasa hambar tanpa kehadiran saus cabai (chilli sauce). Makan mie bakso, tahu dan sioma di warung-warung, juga akan terasa kurang nikmat tanpa kehadiran saus cabai (Sigit, 2007).
Saus cabai merupakan salah satu jenis pangan pelengkap yang populer. Saus cabai didefinisikan sebagai saus yang diperoleh dari pengolahan cabai (Capsicum annum) yang matang dan baik dengan tambahan bahan lain yang digunakan sebagai penyedap makanan. Bahan lain yang ditambahkan pada pembuatan saus cabai adalah asam asetat, gula, air, garam, tepung dan pengawet natrium benzoat dan asam sorbat (Syarifudin, 2003). Sedangkan menurut (Prajnanta, 2006) bahwa saus atau sambal cabai merupakan produk olahan cabai yang sangat memasyarakat. Di pasaran, telah banyak beredar produk saus cabai dengan berbagai mutu. 2.3.3 Syarat Mutu Saus Cabai Menurut (Prajnanta, 2006) syarat mutu saus cabai yang baik seperti berikut ini : 1) Jumlah bahan padat 20-40% 2) Tidak mengandung logam berbahaya (Pb, Hg, Cu, dan Zn) 3) Kotoran maksimum 1% 4) Apabila menggunakan pengawet dan pewarna, harus yang sudah diizinkan 5) Bau dan rasa normal 6) Secara mikroskopis tidak mengandung cendawan 2.3.4 Pembuatan Saus Cabai Untuk membuat saus cabai, ada dua jenis cabai yang dapat dipilih sebagai bahan, yaitu cabai merah padang atau cabai tampar dan cabai merah brebes. Cabai merah padang dapat menghasilkan saus dengan warna menarik dan kadar air
sebesar 58,5 % sedangkan cabai merah brebes dapat menghasilkan saus dengan rasa dan aroma cukup baik serta kadar air sebesar 61,53%. Untuk membuat saus, cabai yang sudah dikumpulkan langsung dikukus hingga matang. Kemudian, cabai tersebut didinginkan. Dan dapat langsung digiling. Dalam penggilingan sekaligus dimasukkan bawang putih yang telah dikukus selama 10 menit, gula pasir, garam, vitsin, kecap inggris, minyak wijen, dan cuka secukupnya. Sebagai bahan pengawet, ke dalam bahan-bahan diatas ditambahkan natrium benzoat sekitar 0,5 g/kg saus. Setelah lumat, semua bahan tersebut perlu dipanaskan hingga mendidih selama 5 menit. Pemanasan ini bertujuan agar nantinya akan diperoleh saus yang cukup baik. Setelah dipanaskan, lumatan tersebut diangkat dan didinginkan selama 20 jam. Bila sudah dingin, lumatan bahan dipanaskan kembali hingga mendidih selama 3 menit. Sampai disini sebenarnya saus sudah selesai dibuat. Namun biasanya saus ini dikemas atau dimasukkan ke dalam botol yang sudah distrelisasi. Lumatan saus ini dimasukkan dalam botol dalam keadaan masih panas. Mensterilisasi botol cukup hanya dengan mengukus botol bersih tersebut ke dalam air selama 30menit terhitung sejak air mulai mendidih. Setelah proses diatas, botol berisi lumatan saus dipanaskan lagi sebagai proses pasteurisasi. Caranya ialah setelah botol ditutup rapat segera dilakukan pengukusan selama 30 menit yang dihitung sejak air mendidih. Setelah selesai, selesai pula pembuatan saus cabai tersebut dan siap dihidangkan. Perlu dicatat bahwa untuk keperluan penyimpanan yang agak lama atau untuk diperdagangkan maka tutup botolnya tidak hanya rapat, tetapi juga harus
tidak dapat dimasuki udara. Untuk mengetes hal ini, setelah pasteurisasi, bagian leher botol yang bertutup dimasukkan ke dalam air. Bila tidak ada gelembung udara, berarti tidak ada udara yang masuk. Untuk amannya, tutup botol dapat langsung diberi segel atau diberi lak. Bila masih terlihat gelembung udara, sebaiknya tutup botol harus dirapatkan lagi dan proses pasteurisasi harus diulang lagi (Setiadi, 2006).
2.4 Penetapan Kadar Natrium Benzoat Dengan Metode Titrasi Asam-Basa Analisis kuantitatif mengenai penentuan berapa zat tertentu ada di dalam suatu contoh. Zat yang ditentukan sering ditunjuk sebagai zat yang diinginkan atau analit, dapat terdiri dari sebagian kecil atau besar dari contoh yang dianalisa. Jika analit terdiri dari lebih dari sekitar 1% dari contoh, ia dianggap sebagai konstituen utama. Ia dianggap sebagai kurang penting apabila berjumlah sekitar 0,01 sampai 1% dari contoh. Akhirnya suatu zat yang ada dengan jumlah kurang dari 0,01% dianggap sebagai konstituen jejak dan runut (Day dan Underwood, 1980). 2.4.1 Titrasi Asam-Basa Secara umum, titran (larutan yang konsentrasinya diketahui) ditambahkan dari buret terhadap sejumlah tertentu analit (larutan yang tidak diketahui) sampai reaksi berlangsung secara sempurna. Dari banyaknya volume titran yang ditambahkan, maka dimungkinkan untuk menentukan konsentrasi sampel larutan yang tidak diketahui. Sering kali, suatu indikator digunakan untuk mendeteksi titik akhir titrasi, yang dikenal dengan titik akhir titrasi.
Titrasi asam-basa merupakan suatu metode yang memungkinkan dilakukan analisis kuantitatif untuk menentukan konsentrasi larutan asam atau basa yang tidak diketahui (Sarker dan Nahar, 2009). Titrasi yang menyangkut asam dan basa secara luas digunakan dalam pengendalian analitik dari banyak barang dagangan, dan disosiasi asam dan basa menggunakan pengaruhnya yang penting terhadap proses metabolik di dalam sel hidup (Day dan Underwood, 1980). Dalam titrasi asam-basa, basa akan bereaksi dengan asam lemah dan membentuk suatu larutan yang mengandung asam lemah dan basa konjugatnya sampai semua asam ternetralkan semuanya (Sarker dan Nahar, 2009). Titrasi asam-basa bertujuan menetapkan kadar suatu sampel asam dengan mentitrasinya dengan larutan baku basa (alkalimetri) atau sampel basa dengan larutan baku asam (asidimetri) (Hamdani dkk, 2012). 2.4.2 Prinsip Titrasi Pada suatu titrasi, salah satu larutan yang mengandung suatu pereaksi dimasukkan ke dalam buret, suatu lempeng gelas yang salah satu ujungnya mempunyai kran dan diberi tanda tera dalam mililiter dan sepersepuluh mililiter. Larutan dalam buret disebut pentitrasi dan selama titrasi, larutan ini diteteskan secara perlahan melalui kran ke dalam labu erlenmeyer yang mengandung larutan pereaksi lain. Larutan pentitrasi ditambahkan sampai seluruh reaksi selesai yang dinyatakan dengan berubahnya warna indikator, suatu zat yang umumnya ditambahkan ke dalam larutan dalam bejana penerima dan yang mengalami suatu macam perubahan warna. Perubahan warna ini menandakan telah tercapainya
akhir titrasi, diberi nama demikian karena pada titik ini, penetesan larutan pentitrasi dihentikan dan volumenya dicatat. Salah satu reaksi yang digunakan dalam titrasi adalah netralisasi asambasa. Biasanya, sebagai larutan asam diletakkan pada Erlenmeyer atau gelas kimia. Indikator adalah suatu zat yang mempunyai warna dalam keadaan asam dan basa berlainan. Misalnya lakmus dalam suasana asam akan berwarna merah sedangkan dalam keadaan basa warnanya biru. Indikator lain yang biasa digunakan di laboratorium adalah fenolftalein. Fenolftalein dalam suasana asam tak berwarna sedangkan dalam suasana basa berwarna merah muda/pink (Brady, 1999). 2.4.3 Jenis Titrasi Asam-Basa 1.
Titrasi Asam Kuat – Basa Kuat Asam dan basa kuat, secara lengkap terdisosiasi dalam larutan dalam air.
Jadi konsentrasi ion hidrogen atau hidroksida dapat secara langsung dihitung dari jumlah stoikiometri asam dan basa yang telah dicampurkan. Pada titik ekivalen pH ditentukan dari besarnya air terdisosiasi, pada 25°C pH air murni adalah 7,00 (Day dan Underwood, 1980). Pada awal titrasi perubahan nilai pH berlangsung lambat sampai menjelang titik ekivalen. Pada saat titik ekivalen, nilai pH meningkat secara drastis. Untuk mengamati titik akhir titrasi dapat digunakan indicator atau menggunakan metode elektrokimia. Suatu indikator merupakan asam atau basa lemah yang berubah warna dintara bentuk terionisasinya dan bentuk tidak terionisasinya. Kisaran penggunaan
indikator adalah 1 unit pH disekitar nilai pKa-nya. Sebagai contoh fenolftalein (pp), mempunyai pKa 9,4 (perubahan warna antara pH 8,4 – 10,4). Struktur fenolftalein akan mengalamin penataan ulang pada kisaran pH ini karena proton dipindahkan dari struktur fenol dari pp sehingga pH-nya meningkat akibatnya akan terjadi perubahan warna (Gandjar dan Rohman, 2007). Dianggap bahwa asam kuat seperti HCl dan HclO4 dalam air mempunyai harga Ka yang sangat besar dan bahwa asam-asam tersebut terurai sempurna menjadi ion-ionnya. Basa kuat seperti KOH, NaOH, dan (C2H5)4NOH juga terdisosiasi secara sempurna dalam larutan air. Kurva titrasi asam kuat seperti HCl lawan basa kuat seperti NaOH dapat dihitung dengan persamaan neraca massa dan muatan yang diberikan di bawah ini. Jika Va ml HCl dengan molaritas CA dititrasi dengan larutan CB molar NaOH, dan VB adalah volume NaOH dalam mililiter yang ditambahkan pada titik mana saja selama titrasi berlangsung.
Gambar 1. Kurva titrasi (pH lawan X, fraksi yang tertitrasi) dari asam kuat HCl lawan basa kuat NaOH untuk dua konsentrasi HCl dan NaOH yang berbeda (Fernando dan Ryan, 1997).
Titik ekivalen dalam kurva titrasi asam kuat dengan basa kuat dapat ditentukan lokasinya dengan membuat plot kurva derivatif dpH/DVB dimana VB adalah volume NaOH yang ditambahkan. Maksimum dari kurva derivatif ini berimpit dengan titik ekivalen. Dalam praktek, kurva derivatif hanya berguna jika larutan sangat encer dari asam kuat dan basa kuat dititrasi, atau jika larutan encer asam lemah atau basa lemah dititrasi dengan basa kuat atau asam kuat (Fernando dan Ryan, 1997). 2.
Titrasi Asam Lemah – Basa Kuat Jika sejumlah kecil volume asam kuat atau basa kuat ditambahkan pada
basa lemah atau asam lemah maka nilai pH akan meningkat secara drastis di sekitar unit pH, dibawah atau di atas nilai pKa. Sering kali pelarut organik yang dapat campur dengan air, seperti etanol ditambahkan untuk melarutkan analit sebelum dilakukan titrasi (Gandjar dan Rohman, 2007). Adalah sangat bermanfaat untuk mempelajari berbagai sistem kimia yang ada dalam proses titrasi asam lemah dengan basa kuat. Sebagai contoh, apabila asam asetat dititrasi dengan NaOH, titik awal pada kurva titrasi (yaitu ketika penambahan 0 ml NaOH) dapat dihitung jika kita mengenali bahwa pada saat itu larutan terdiri dari asam lemah sehingga salah satu bentuk persamaan dapat dipergunakan.
Gambar 2. Kurva titrasi (pH lawan X) dari sederetan asam lemah monoprotik (pKa = 5,0, 7,0, 9,0, dan 10,5) semuanya pada konsentrasi awal CA yang sama = 0,10 M, lawan basa kuat NaOH 0,10 M (Fernando dan Ryan, 1997). Dengan penambahan tetes NaOH yang pertama, sistem berubah menjadi larutan penyangga (buffer), sehingga persamaan asam-basa umum atau salah satu bentuknya yang telah disederhanakan dapat digunakan untuk menghitung pH. Pada titik ekivalen, sistem berubah menjadi asam lemah yang ternetralkan secara sempurna, yaitu konjugat basa dari asam lemah. Dengan begitu persamaan atau versinya yang lebih sederhana dapat digunakan untuk menghitung pH pada titik ekivalen. Setelah titik ekivalen terlampaui, sistem berubah menjadi campuran basa lemah dan basa kuat, yaitu kelebihan NaOH yang ditambahkan. Pada umumnya pH larutan semacam ini dapat dianggap sama dengan pH yang berasal dari kelebihan NaOH, kecuali pada daerah yang sangat dekat dengan titik ekivalen (Fernando dan Ryan, 1997).
3.
Titrasi Asam Kuat – Basa Lemah
Gambar 3. Kurva titrasi (pH lawan X) dari sederetan basa lemah B (pKa BH+ = 9,0) pada berbagai konsentrasi awal dengan larutan asam kuat HCl 0,10 M (Fernando dan Ryan, 1997). 4.
Titrasi Asam Kuat – Garam dari Asam Lemah
Contoh : HCl + NH4BO2 → HBO2 + NHCl Reaksi ionnya H+ + BO2 → HBO2 (Anonim, 2009) Kelompok-kelompok garam : a. Garam-garam yang ion-ionnya aprotik : ion-ionnya mempunyai kecenderungan untuk mengikat atau melepaskan proton. Contoh : NaCl, NaNo3, dan K2SO4 b. Garam yang anionnya adalah akseptor proton (garam yang kationnya dari basa kuat dan anionnya dari basa lemah). Contoh : KCN, Na2SO4, dan K2S. Reaksinya: CN- + H2O → HCN + OHCH3COO- + H2O → CH3COOH- + OHLarutan garamnya akan bereaksi basa.
c. Garam yang kationnya adalah donor proton (garam yang kationnya dari basa lemah dan anionnya dari asam kuat). Contoh : NH4NO3, Al(NO3), dan FeCl3 NH4+ + H2O → NH4OH + H+ Larutan garamnya akan bereaksi asam. d. Garam yang kation-kationnya adalah asam dan anion- anionnya adalah basa lemah. Contoh : CH3COONH4, Al(CN)3. Larutan garam jenis ini dapat bereaksi asam atau basa bergantung dari kekuatan asam atau basa yang membentuknya. CH3COO- + H2O → CH3COOH + OHNH4+ + H2O → NH4OH + H+ (Anonim, 2009) 5.
Titrasi Basa Kuat – Garam dari Basa Lemah
Contoh : NaOH + CH3COONH4 → CH3COONa + H4OH Reaksi ionnya : OH- + NH4- → NH4OH (Anonim, 2009) 2.4.4 Indikator Menurut (Sarker dan Nahar, 2009) dalam titrasi asam-basa, indikator asam-basa yang sesuai digunakan untuk mendeteksi titik akhir dari adanya perubahan warna indikator yang digunakan. Suatu indikator asam-basa adalah asam lemah atau basa lemah. Tabel berikut mengandung nama-nama dan kisaran pH yang sering digunakan sebagai indikator asam-basa.
Tabel 2. Indikator yang biasa digunakan dalam asidi-alkalimetri (Sarker dan Nahar, 2009).
Indikator Bromfenol biru Metil jingga Fenolftalein
Kisaran pH 3,0-4,6 3,1-4,4 8,0-10,0
Banyaknya indikator yang digunakan per 10 ml 1 tetes larutan air 0,1% 1 tetes larutan air 0,1% 1-5 tetes larutan 0,1% dalam alkohol 70%
Warna Asam Kuning Merah Tdk berwarna
Basa Biru-violet Oranye Merah
Timol biru 1,2-2,8 1-2 tetes larutan air 0,1% Merah Kuning Selain indikator tunggal, dalam asidi alkalimetri juga digunakan indikator campuran dengan tujuan untuk memberikan perubahan warna yang tajam pada titik akhir titrasi (Gandjar dan Rohman, 2007). Beberapa contoh indikator campuran adalah : 1. Campuran yang sama banyak antara merah netral (0,1% dalam etanol) dan biru metilen (0,1% dalam etanol). 2. Campuran antara 3 bagian fenolftalein (0,1% larutan dalam etanol) dengan 1 bagian alfa naftoftalein (0,1% dalam etanol). 3. Campuran dari 3 bagian biru timol (0,1% larutan dari garam natriumnya) dengan 1 bagian kresol merah (0,1% larutan dari garam natriumnya).