BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bahan Ajar Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru atau instruktor dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas. Bahan ajar memiliki posisi amat penting dalam pembelajaran, yakni sebagai representasi (wakil) dari penjelasan guru di depan kelas. Keterangan-keterangan guru, uraian-uraian yang harus disampaikan guru, dan informasi yang harus disajikan guru dihimpun di dalam bahan ajar. Dengan demikian, guru juga akan dapat mengurangi kegiatannya menjelaskan pelajaran, memiliki banyak waktu untuk membimbing siswa dalam belajar atau membelajarkan siswa (Zulkarnaini, 2009:1). Bahan ajar juga merupakan wujud pelayanan satuan pendidikan terhadap peserta didik. Pelayanan individual dapat terjadi dengan bahan ajar. Peserta didik berhadapan dengan bahan yang terdokumentasi. Peserta didik berurusan dengan informasi yang konsisten. Peserta yang cepat belajar, akan dapat mengoptimalkan kemampuannya dengan mempelajari bahan ajar. Peserta didik yang lambat belajar, akan dapat mempelajari bahan ajarnya berulang-ulang. Dengan demikian, optimalisasi pelayanan belajar terhadap peserta didik dapat terjadi dengan bahan ajar. Keberadaan bahan ajar sekurang-kurangnya menepati tiga posisi penting. 2.1.1. Pengertian dan Jenis Bahan Ajar Bahan ajar adalah bahan-bahan atau materi pelajaran yang disusun secara sistematis, yang digunakan guru dan siswa dalam proses pembelajaran (Pannen dalam Belawati, 2003:1.12). Materi pembelajaran (instructional materials) adalah
9
10
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus diajarkan oleh guru dan harus dipelajari oleh siswa untuk mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar. Ada beberapa jenis materi pelajaran. Jenis-jenis itu adalah fakta, konsep, prinsip, prosedur, dan sikap atau nilai. Materi pembelajaran yang termasuk fakta misalnya nama-nama objek, peristiwa sejarah, lambang, nama tempat, nama orang, dan sebagainya. Materi pembelajaran yang termasuk konsep misalnya pengertian, definisi, ciri khusus, komponen, dan sebagainya. Materi pembelajaran yang temasuk prinsip umpamanya dalil, rumus, adigium, postulat, teorema, atau hubungan antar konsep yang menggambarkan ”jika …, maka …”, seperti ”Jika logam dipanasi maka akan memuai”, dan sebagainya. Materi pembelajaran yang berupa prosedur adalah langkah-langkah secara sistematis atau berurutan dalam mengerjakan tugas. Termasuk ke dalamnya cara-cara yang digunakan untuk melakukan atau menghasilkan sesuatu. Sikap atau nilai merupakan materi pembelajaran afektif seperti kejujuran, kasih sayang, semangat, minat belajar, dan sebagainya. Pengelompokan bahan ajar berdasarkan jenisnya dilakukan dengan berbagai cara oleh beberapa ahli dan masing-masing ahli mempunyai kriteria sendirisendiri pada saat mengelompokannya. Menurut Belawati (2003:1.13) bahan ajar dikelompokan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu jenis bahan ajar cetak, noncetak, dan bahan ajar display. A.
Bahan Ajar Cetak Bahan ajar cetak adalah sejumlah bahan yang digunakan dalam kertas, yang
dapat berfungsi untuk keperluan pembelajaran atau penyampaian informasi (Kemp dan Dayton, 1985 dalam Belawati, 2003:1.14).
11
Dari sudut pandang teknologi pendidikan, bahan ajar dalam beragam bentuknya dikategorikan sebagai bagian dari media pembelajaran. Sebagai bagian dari media pembelajaran, bahan ajar cetak mempunyai kontribusi yang tidak sedikit dalam proses pembelajaran. Salah satu alasan mengapa bahan ajar cetak masih merupakan media utama dalam paket bahan ajar di sekolah-sekolah, karena sampai saat ini bahan ajar cetak masih merupakan media yang paling mudah diperoleh dan lebih standar dibanding program komputer (Bates dalam Belawati, 2002:1.14), disamping memiliki kelebihan, bahan ajar cetak juga memiliki kelemahan diantaranya yaitu tidak mampu mempresentasikan gerakan. Kategori bahan ajar cetak diantaranya yaitu: Tabel 2.1 Kategori dan Karakteristik Bahan Ajar Cetak Jenis Bahan Ajar Cetak Modul
Handout
Lembar kerja siswa
Karakteristik Terdiri dari bermacam-macam bahan tertulis yang digunakan untuk belajar mandiri. Merupakan bermacam-macam bahan cetak yang dapat memberikan informasi kepada siswa. Handout ini terdiri dari catatan (baik lengkap maupun kerangkanya saja), tabel, diagram, peta, dan materi-materi tambahan lain. Termasuk di dalamnya lembar kasus, daftar bacaan, lembar praktikum, lembar pengarahan tentang proyek dan seminar, lembar kerja, dll.
Sumber: Belawati (2003:1.15) B.
Bahan Ajar Non Cetak American Hospital Association (1978) mencatat kelebihan dan kekurangan
dari masing-masing jenis bahan ajar noncetak sebagai berikut.
12
Tabel 2.2 Kelebihan dan Kekurangan Jenis Bahan Ajar Noncetak Jenis Bahan Ajar
Kelebihan
Kekurangan
- Penggunaan proyektor yang dapat dioperasikan dapat di kontrol langsung oleh pengajar. - Hanya membutuhkan sedkit persiapan. - Persiapan mudah dan murah. - Khususnya bermanfaat untuk kelas besar - Mudah dipersiapkan dengan menggunkan tape biasa. - Dapat diaplikasikan dihampir semua mata pelajaran - alat yang digunakan kompak, mudah dibawa, dan mudah dioperasikan. - Fleksibel dan mudah diadaptasi, baik secara sendiri atau terkait dengan bahan-bahan lainnya. - Mudah diperbanyak dan murah. - Bermanfaat untuk menggambarkan gerakan, keterkaitan, dan memberikan dampak terhadap topik yang dibahas. - Dapat diputar ulang. - Dapat dimasukan teknik film lain, seperti animasi. - Dapat dikombinasikan antara gambar diam dengan gerakan. - Berwarna dan subjeknya asli. - Mudah direvisi dan diperbaharui. - Dapat dikombinasikan dengan audio. - Dapat dimanfaatkan untuk kelompok atau individu. - Interaktif dengan siswa. - Dapat diadaptasi sesuai kebutuhan siswa. - Dapat mengontrol hardware media lain.
- Membutuhkan alat yang khusus untuk mengoperasikannya. - Proyektornya terlalu besar jika dibandingkan dengan proyektor lainya.
Non Cetak OHT (Overhead Transparancies)
Audio
Video
Slide
Computer Based Material
- Ada kecendrungan penggunaannya berlebihan - Aliran informasi yang disampaikan sangat fixed.
- Ongkos produksinya mahal. - Tidak kompatibel untuk beragam format video.
- Membutuhkan alat khusus untuk mengoperasikannya. - Sekuen dapat terganggu jika dioperasikan secara individual. - Memerlukan computer dan pengetahuan programmer. - Membutuhkan hardware khusus untuk proses pengembangan dan penggunaannya. - Hanya efektiv bila digunakan untuk penggunaan seseorang atau beberapa orang dalam kurun waktu tertentu.
Sumber: Belawati (2003:1.17)
13
C.
Bahan Ajar Display Pada umunya, bahan ajar display digunakan oleh guru pada saat
menyampaikan informasi kepada siswa di depan kelas. Jenis bahan ajar display diantaranya adalah flipchart, adhesive, chart, poster, peta, foto, dan realita. 2.1.2. Peranan Bahan Ajar dalam Pembelajaran Bahan ajar sangat penting artinya bagi guru maupun siswa dalam proses pembelajaran. Tanpa bahan ajar akan sulit bagi guru untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran. Demikian juga halnya dengan siswa, tanpa bahan ajar akan sulit untuk menyesuaikan diri dalam belajar, apalagi jika gurunya mengajarkan materi dengan cepat dan kurang jelas. Oleh sebab itu, bahan ajar dianggap sebagai bahan yang dapat dimanfaatkan, baik oleh guru maupun siswa, sebagai suatu upaya untuk memperbaiki mutu pembelajaran. Tabel 2.3 diterangkan peranan bahan ajar bagi guru dan siswa. Tabel 2.3 Peranan Bahan Ajar No 1
4
Peranan Bagi Guru Menghemat waktu guru dalam mengajar. Mengubah peranan guru dari seorang pengajar menjadi seorang fasilitator. Meningkatkan proses pembelajaran menjadi lebih efektiv dan interaktif. -
5
-
2 3
Peranan Bagi Siswa Siswa dapat belajar tanpa harus ada guru atau teman siswa yang lain. Siswa dapat belajar kapan saja dan di mana saja ia kehendaki. Siswa dapat belajar sesuai dengan kecepatan sendiri. Siswa dapat belajar menurut urutan yang dipilihnya sendiri. Membantu potensi siswa untuk menjadi pelajar madiri.
Sumber: Belawati (2003:1.17) Sumber belajar ditetapkan sebagai informasi yang disajikan dan disimpan dalam berbagai bentuk media, yang dapat membantu siswa dalam belajar sebagai perwujudan dari kurikulum. Bentuknya tidak terbatas apakah dalam bentuk cetakan, video, format perangkat lunak atau kombinasi dari berbagai format yang
14
dapat digunakan oleh siswa ataupun guru. Sadiman mendefinisikan sumber belajar sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk belajar, yakni dapat berupa orang, benda, pesan, bahan, teknik, dan latar (Sadiman, 2004:3) Menurut (Anonim, 1977:21), sumber belajar adalah segala sesuatu atau daya yang dapat dimanfaatkan oleh guru, baik secara terpisah maupun dalam bentuk gabungan, untuk kepentingan belajar mengajar dengan tujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi tujuan pembelajaran. Dengan demikian maka sumber belajar juga dapat diartikan sebagai segala tempat atau lingkungan sekitar, benda, dan orang yang mengandung informasi dapat digunakan sebagai wahana bagi peserta didik untuk melakukan proses perubahan tingkah laku. Dari pengertian tersebut maka sumber belajar dapat dikategorikan sebagai berikut: (1) Tempat atau lingkungan alam sekitar yaitu dimana saja seseorang dapat melakukan belajar atau proses perubahan tingkah laku maka tempat itu dapat dikategorikan sebagai tempat belajar yang berarti sumber belajar, misalnya perpustakaan, pasar, museum, sungai, gunung, tempat pembuangan sampah, kolam ikan dan lain sebagainya; (2) Benda yaitu segala benda yang memungkinkan terjadinya perubahan tingkah laku bagi peserta didik, maka benda itu dapat dikategorikan sebagai sumber belajar. Misalnya situs, candi, benda peninggalan lainnya; (3) Orang yaitu siapa saja yang memiliki keahlian tertentu dimana peserta didik dapat belajar sesuatu, maka yang bersangkutan dapat dikategorikan sebagai sumber belajar. Misalnya guru, ahli geologi, polisi, dan ahli-ahli lainnya; (4) Bahan yaitu segala sesuatu yang berupa teks tertulis, cetak, rekaman elektronik, web, dll yang dapat digunakan untuk belajar; (5) Buku yaitu segala macam buku yang dapat dibaca secara mandiri oleh peserta didik dapat
15
dikategorikan sebagai sumber belajar. Misalnya buku pelajaran, buku teks, kamus, ensiklopedi, fiksi dan lain sebagainya, dan (6) Peristiwa dan fakta yang sedang terjadi, misalnya peristiwa kerusuhan, peristiwa bencana, dan peristiwa lainnya yang guru dapat menjadikan peristiwa atau fakta sebagai sumber belajar. Sumber belajar akan menjadi bermakna bagi peserta didik maupun guru apabila sumber belajar diorganisir melalui satu rancangan yang memungkinkan seseorang dapat memanfaatkannya sebagai sumber belajar. Jika tidak maka tempat atau lingkungan alam sekitar, benda, orang, dan atau buku hanya sekedar tempat, benda, orang atau buku yang tidak ada artinya apa-apa. Kerucut pengalaman yang dikemukakan oleh Edgar Dale dalam Sadiman dkk (2004:7) memberikan gambaran bahwa pengalaman belajar yang diperoleh siswa dapat melalui proses perbuatan atau mengalami sendiri apa yang dipelajari, proses mengamati, dan mendengarkan melalui media tertentu dan proses mendengarkan melalui bahasa. Semakin konkret siswa mempelajari bahan pengajaran, contohnya melalui pengalaman langsung, maka semakin banyak pengalaman yang diperolehnya (Sanjaya, 2008:165).
Gambar 2.1 Kerucut Pengalaman Edgar Dale Sumber: http://eduocy.blogspot.com
16
2.1.3. Keterbacaan Bahan ajar Suatu aspek penting bagi siswa untuk meningkatkan prestasi belajarnya dengan pemahaman isi bahan bacaan dari mata pelajaran. Kesulitan memahami bahan bacaan dapat terjadi oleh siswa dan oleh faktor bahan bacaan. Faktor dari siswa berupa latar belakang pengetahuan siswa, motivasi siswa, dan kematangan mental siswa, sedangkan faktor bahan bacaan berupa kejelasan cetakan, perbendaharaan kata dan kalimat, struktur atau organisasi penulisan, dan konsep yang mempengaruhi kemudahan pemahaman bacaan (Widodo, 1993:30). Faktor penyebab kesukaran bacaan yaitu kalimat (panjang pendek, sederhana kompleks) dan perbendaharaan kata (kata tunggal majemuk, bersuku kata banyak, kata-kata abstrak, dan tata konseptual) (Auckerman dalam Widodo, 1993:30). Kata yang tepat serta dikenal oleh pembaca dapat membantu pemahaman pembaca, sedangkan kata kurang tepat akan menyebabkan pembaca menghentikan kegiatan membaca. Faktor cetakan, garis bawah, cetak miring, kepadatan kata, tata letak, dan masalah kekompakan serta bahasa dapat mempengaruhi pemahaman bacaan (Knutton dalam Widodo, 1993:32). Hal tersebut dapat memperjelas dan menegaskan isi buku yang dianggap penting. Dengan adanya faktor tersebut menimbulkan perbedaan penafsiran dan perbedaan persepsi dari masing-masing pembaca. Beberapa pendapat tentang tingkat keterbacaan tersebut semuanya saling mendukung dan melengkapi tercapainya kriteria bahan ajar yang memiliki tingkat keterbacaan yang baik. Aspek penting siswa dalam membaca bahan ajar yaitu untuk memahami isi buku. Pemahaman tersebut dapat diperoleh bila tingkat keterbacaan buku yang dibacanya sesuai.
17
2.1.4. Tata Bahasa Bahan Ajar Beberapa faktor yang menjadi masalah kebahasaan dalam pengembangan bahan ajar meliputi: (1) kalimat bermasalah yang mencolok dalam aspek keefektivan yang berupa kalimat baku, pemakaian kata dan kata penghubung yang mubazir, (2) kalimat bermasalah dalam aspek keilmiahan, yaitu kalimat yang tidak efektiv dan tidak hemat dalam pemakaian kelompok kata, (3) kalimat bermasalah pada penerapan EYD berupa: kekurangan tanda baca, ketidaktepatan pemakaian tanda baca, serta penulisan kata yang tidak tepat, dan (4) aspek kebakuan berupa tidak adanya subjek dan predikat, pemakaian kata yang tidak tepat dan pemakaian ungkapan yang tidak tepat (Supriadi, 2000:79). Beberapa pendapat tersebut merupakan hal penting dalam penggunaan dan pengembangan bahan ajar untuk mendapatkan kualitas bahasa buku yang baik dan mudah dipahami oleh pembaca. 2.1.5. Prinsip dan Prosedur Pengembangan Bahan Ajar Ada tiga prinsip yang diperlukan dalam pengembangan bahan ajar. Ketiga prinsip itu adalah relevansi, konsitensi, dan kecukupan. Relevansi artinya keterkaitan atau berhubungan erat. Konsistensi maksudnya keajegan – tetap. Kecukupan maksudnya secara kuantitatif materi tersebut memadai untuk dipelajari. Prinsip relevansi atau keterkaitan atau berhubungan erat, maksudnya adalah materi pembelajaran hendaknya relevan dengan pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar. Jika kemampuan yang diharapkan oleh menghafalkan fakta, materi yang disajikan adalah fakta. Kalau kompetensi dasar meminta
18
kemampuan melakukan sesuatu, materi pelajarannya adalah prosedur atau cara melakukan sesuatu. Prinsip konsistensi adalah ketatabahasan dalam pengembangan bahan ajar. Misalnya kompetensi dasar meminta kemampuan siswa untuk menguasai tiga macam konsep, materi yang disajikan juga tiga macam. Umpamanya kemampuan yang diharapkan dikuasai oleh siswa adalah menyusun paragraf deduktif, materinya sekurang-kurangnya pengertian paragraf deduktif, cara menyusun paragraf deduktif, dan cara merevisi paragraf deduktif. Artinya, apa yang diminta itulah yang diberikan. Prinsip kecukupan, artinya materi yang disajikan hendaknya cukup memadai untuk mencapai kompetensi dasar. Materi tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu banyak. Jika materi terlalu sedikit, kemungkinan siswa tidak akan dapat mencapai kompetensi dasar dengan memanfaatkan materi itu. Kalau materi terlalu banyak akan banyak pula menyita waktu untuk mempelajarinya. Ada beberapa prosedur yang harus diikuti dalam pengembangan bahan ajar. Prosedur itu meliputi: (1) memahami standar isi dan standar kompetensi lulusan, silabus,
program
semeter, dan
rencana
pelaksanaan pembelajaran;
(2)
mengidentifikasi jenis materi pembelajaran berdasarkan pemahaman terhadap poin pertama; (3) melakuan pemetaan materi; (4) menetapkan bentuk penyajian; (5) menyusun struktur (kerangka) penyajian; (6) membaca buku sumber; (7) mendraf (memburam) bahan ajar; (8) merevisi (menyunting) bahan ajar; (9) mengujicobakan bahan ajar; dan (10) merevisi dan menulis akhir (finalisasi). Memahami standar isi (Permen 22/2006) berarti memahmai standar kompetensi dan kompetensi dasar. Hal ini telah dilakukan guru ketika menyusun silabus,
19
program semester, dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Memahami standar kompetensi lulusan (Permen 23/2006) juga telah dilakukan ketika menyusun silabus. Walaupun demikian, ketika pengembangan bahan ajar dilakukan, dokumendokumen tersebut perlu dihadirkan dan dibaca kembali. Hal itu akan membantu penyusun bahan ajar dalam mengaplikasikan prinsip relevansi, konsistensi, dan kecukupan. Selain itu, pengembangan bahan ajar akan terpandu ke arah yang jelas, sehingga bahan ajar yang dihasilkan benar-benar berfungsi. Identifikasi jenis materi perlu dilakukan agar penyusun bahan ajar mengenal tepat jenis-jenis materi yang akan disajikan. Hasil identifikasi itu kemudian dipetakan dan diorganisasikan sesuai dengan pendekatan yang dipilih (prosedural atau hierarkis). Pemetaan materi dilakukan berdasarkan SK, KD, dan SKL. Tentu saja di dalamnya terdapat indikator pencapaian yang telah dirumuskan pada saat menyusun silabus. Jika ketika menyusun silabus telah terpeta dengan baik, pemetaan tidak diperlukan lagi. Penyusun bahan ajar hanya berpedoman pada silabus yang ada. Akan tetapi jika belum terpetakan dengan baik, perlu pemetaan ulang setelah pengembangan silabus. Langkah berikutnya ialah menetapkan bentuk penyajian. Bentuk penyajian dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan. Bentuk-bentuk tersebut adalah seperti buku teks, modul, diktat, lembar informasi, atau bahan ajar sederhana. Masingmasing bentuk penyajian ini dapat dilihat dari berbagai sisi. Di antaranya dapat dilihat dari sisi kekompleksan struktur dan pekerjaannya. Bentuk buku teks tentu lebih kompleks dibandingkan dengan yang lain. Begitu pula halnya modul dengan yang lain. Yang paling kurang kompleksitasnya adalah bahan ajar sederhana.
20
Sesuai dengan namanya ”sederhana”, tentu bentuknya juga sederhana. Jika bentuk penyajian sudah ditetapkan, penyusun bahan ajar menyusun struktur atau kerangka penyajian. Kerangka-kerangka itu diisi dengan materi yang telah diatetapkan. Kegiatan ini sudah termasuk mendraf (membahasakan, membuat ilustrasi, gambar) bahan ajar. Draf itu kemudian direvisi. Hasil revisi diujicobakan, kemudian direvisi lagi, dan selanjutnya ditulis akhir (finalisasi). Selanjutnya, guru telah dapat menggunakan bahan ajar tersebut untuk membelajarkan siswanya. Dalam menyusun bahan ajar perlu memperhatikan kecocokan bahan, kesesuaian metode serta media yang relevan, dan dapat menunjang proses pembelajaran. Menurut Tarigan dan Tarigan (1986:20) kriteria telaah bahan ajar meliputi: (1) kurikulum yang berlaku; (2) karakteristik mata pelajaran (ilmu yang relevan); (3) hubungan antara kurikulum, mata pelajaran, dan bahan ajar; (4) dasar-dasar pengembangan bahan ajar; (5) kualitas bahan ajar; (6) prinsip-prinsip pengembangan buku kerja; dan (7) penyeleksian buku kerja. Penilaian bahan ajar menurut Supriadi (2001:9) meliputi: mutu isi buku, kesesuaian dengan kurikulum, bahasa yang digunakan termasuk penyajian dan keterbacaannya, grafika, dan keamanan buku. 2.2.
Pembelajaran Biologi Berbasis Masalah Mata pelajaran biologi termasuk dalam natural sains. Akan tetapi biologi
memiliki karakteristik khusus dari sains lainnya. Karakteristik khususnya berupa adanya objek, persoalan, serta metode yang memiliki struktur keilmuan yang jelas (Mayer dalam Anonim, 2003: 2). Dengan adanya karakteristik khusus yang unik, memungkinkan biologi mudah dipahami dan dipelajari. Oleh sebab itu, buku ajar
21
biologi sering menampilkan contoh-contoh, gambar-gambar, diagram, dan kalimat yang sesuai dan selaras dengan lingkungan sekitar. Hal itu untuk memperjelas kajian mengenai objek biologi. Objek biologi tersebut meliputi seluruh makhluk hidup beserta lingkungannya. Tujuan ilmu Biologi secara umum adalah agar siswa memahami konsep biologi dan keterkaitannya dengan kehidupan sehari-hari, memiliki keterampilan tentang alam sekitar untuk mengembangkan pengetahuan tentang proses alam sekitar, mampu menerapkan berbagai konsep biologi untuk menjelaskan gejala alam dan mampu menggunakan teknologi sederhana untuk memecahkan masalah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari (Anonim: 1994:42). Sudarman (2005: 68) menjelaskan bahwa salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, siswa kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran di kelas diarahkan kepada kemampuan anak untuk menghafal informasi. Otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut memahami informasi yang diingatnya itu untuk menghubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya, ketika anak didik lulus dari sekolah, mereka pintar teoretis tetapi mereka miskin aplikasi. Dengan kata lain, proses pendidikan kita tidak diarahkan membentuk manusia cerdas, memiliki kemampuan memecahkan masalah hidup, serta tidak diarahkan untuk membentuk manusia kreatif dan inovatif. Pendekatan yang dianggap sesuai dengan perkembangan ilmu biologi adalah pendekatan pembelajaran berbasis masalah atau Problem Based Learning (PBL), karena dalam belajar berdasarkan masalah, pembelajaran didesain dalam
22
bentuk pembelajaran yang diawali dengan struktur masalah real yang berkaitan dengan konsep-konsep biologi yang akan dibelajarkan. Pembelajaran dimulai setelah siswa dihadapkan dengan struktur masalah real, dengan cara ini siswa mengetahui mengapa mereka belajar. Semua informasi akan mereka kumpulkan melalui penelaahan materi ajar, kerja praktik lab ataupun melalui diskusi dengan teman
sebayanya,
untuk
dapat
digunakan
memecahkan
masalah
yang
dihadapinya. Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) dimaksudkan untuk meningkatkan hasil belajar dan motivasi siswa, karena melalui pembelajaran berbasis masalah siswa belajar bagaimana menggunakan sebuah proses interaktif untuk menilai apa yang mereka ketahui, mengidentifikasi apa yang mereka ingin ketahui, mengumpulkan informasi-informasi dan secara kolaborasi mengevaluasi hipotesisnya berdasarkan data yang mereka telah kumpulkan. William & Shelagh (dalam Yasa, 2002: 4). Dengan menggunakan pendekatan PBL dalam pembelajaran biologi, siswa tidak hanya sekadar menerima informasi dari guru saja, karena dalam hal ini guru sebagai motivator dan fasilitator yang mengarahkan siswa agar dapat terlibat secara aktif dalam seluruh proses pembelajaran dengan diawali pada masalah yang berkaitan dengan konsep yang dibelajarkan 2.3. Pendidikan Reproduksi Bagi Remaja Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis, seperti berpacaran. Pada masa remaja informasi tentang masalah seksual sudah seharusnya mulai diberikan agar remaja tidak mencari informasi dari orang lain atau dari sumber-sumber yang tidak jelas atau bahkan keliru sama sekali.
23
Remaja dengan sifat keingintahuannya akan masalah seksual sebetulnya memiliki hak atas akses informasi yang benar, akurat, dan bertanggungjawab berkaitan dengan kesehatan reproduksinya sendiri. Sesuai dengan kesepakatan dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo tahun 1994, diantaranya meliputi: hak mendapat informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi dan mendapat pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi serta hak atas kebebasan dari segala bentuk diskriminasi dalam kesehatan reproduksi. Pendidikan reproduksi adalah istilah luas yang digunakan untuk menjelaskan pendidikan tentang anatomi seksual manusia, seksual reproduksi, hubungan seksual, kesehatan reproduksi, hubungan emosional, dan tanggung jawab, pantangan atau larangan, kontrasepsi dan lain-lain dari aspek perilaku seksual manusia. Pendidikan reproduksi juga dapat digambarkan sebagai seksualitas pendidikan yang berarti bahwa, hal itu meliputi pendidikan tentang semua aspek seksualitas termasuk informasi tentang keluarga berencana, reproduksi, citra tubuh, orientasi seksual, kenikmatan seksual, nilai, pengambilan keputusan, komunikasi, kencan, penyakit menular hubungan seksual dan bagaimana untuk menghindarinya, dan metode kontrol kelahiran (Collins, 2008:82). Pendidikan Seksualitas mungkin diajarkan secara informal dan formal. Informal berarti termasuk informasi penerima melalui percakapan dengan orang tua, teman, pemimpin agama atau media. Pendidikan formal seks terjadi ketika sekolah atau penyedia perawatan kesehatan menawarkan pendidikan seks. Ini bisa menjadi program penuh kurikulum di sekolah SMP atau SMA. Lainnya, dalam kelas Biologi.