BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan Pustaka Penelitian ini memiliki tema utama yakni upaya yang dilakukan Australia
dalam pengurangan emisi gas karbon di Indonesia melalui kerjasama IAFCP terkait mekanisme REDD+. Berdasarkan tema tersebut penulis mendapatkan beberapa tulisan yang dapat menjadi tinjauan pustaka yakni Implementasi Reducing Emmisions from Deforestation and Forest Degradation+ (REDD+) di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (2013) karya Grace Renata dan Kerjasama konservasi hutan antara Indonesia – Norwegia dalam kerangka REDD+ (Reducing emissions from deforestation and degradation+) (2010) karya Said Alfrillian Noor. Tulisan-tulisan tersebut memiliki persamaan dalam garis besar tetapi juga memiliki perbedaan dalam fokus penelitian. Tinjauan pustaka pertama yang digunakan berjudul Implementasi Reducing Emmisions from Deforestation and Forest Degradation+ (REDD+) di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah oleh Grace Renata yang dimuat dalam ejournal ilmu hubungan internasional, Fisip Unmul, Vol 2 Nomor 1, 2013. Tulisan tersebut membahas mengenai implementasi proyek demostrasi di Kalimantan Tengah. Proyek demostrasi tersebut dikenal dengan nama Kalimatan Forest Climate Partnership (KFCP). KFCP tak lain merupakan salah satu bagian dari IAFCP. Kerjasama IAFCP memiliki dua program unggulan yakni INCAS yang merupakan sistem perhitungan karbon dan KFCP yang merupakan program di
7
8
lapangan dengan melibatkan serta masyarakat Indonesia. Dalam prosesnya kegiatan KFCP diliputi oleh kegiatan pemantauan terhadap vegetasi, pengelolaan kebakaran, dan hirologi, reforestasi berbasis masyarakat di rawa hutan gambut, pengembangan mata pencaharian alternative, seta terakhir pengelolaan penabatan tatas berbasis komunitas. Dalam program ini, sebagian besar pelaksanaan serta pengelolaan dilakukan oleh Pemerintah Indonesia bersama dengan masyarakat Indonesia. Tentunya penelitian ini dapat membantu penulis memahami proses implementasi serta dinamika selama proses kegiatan berlangsung yang mencakup hambatan-hambatan serta beberapa permasalahan yang terjadi. Tentunya terdapat perbedaan pada kedua penelitian yang dilakukan, penelitian Grace berfokus pada proses berlangsungnya kegiatan pada program KFCP dan penelitian ini berfokus pada upaya – upaya yang dilakukan Australia untuk mengurangi emisi gas karbon di Indonesia baik melalui pendanaan , pengupayaan daya dan bantuan teknis. Kajian pustaka kedua adalah penelitian dari Said Alfrillian Noor yang melakukan penelitian mengenai kerjasama konservasi hutan antara Indonesia – Norwegia dalam kerangka REDD+ (Reducing emissions from deforestation and degradation+) tahun 2010, yang termuat dalam jurnal hubungan internasional volume 1, nomor 2, tahun 2013. Tulisan tersebut membahas mengenai pelaksanaan kerjasama konservasi hutan antara Indonesia–Norwegia di Indonesia yang dilakukan di Kalimantan Tengah. Kerjasama tersebut dilakukan dalam rangka melakukan upaya dalam peningkatan nilai dari sumber daya energi yang ada, serta peningkatan pengetahuan untuk mengembangkan sistem energi baru serta ramah lingkungan melalui konservasi hutan. Sebagai hasilnya, terlihat bahwa
9
implementasi awal dalam kerjasama konservasi hutan berjalan dengan baik dan sesuai dengan rangka awal dibentuknya kerjasama. Selain kemajuan dalam hal regulasi kebijakan terdapat pula kemajuan dalam hal teknis operasional melalui sosialisasi, pelatihan dan lokakarya yang berbasis pada pelestarian hutan. Penelitian ini dapat membantu penulis untuk melihat gambaran dari upaya yang dilakukan oleh Norwegia bersama Indonesia terkait kerjasama berbasis REDD+. Kedua penelitian ini sama-sama menggunakan konsep kerjasama namun penelitian Said lebih menekankan pada konsep kerjasama internasional sementara penelitian ini lebih menekankan pada konsep kerjasama bilateral. Sebagai langkah dalam menangani permasalahan lingkungan, Norwegia lebih memfokuskan pada kerjasama konservasi hutan, sementara IAFCP selain menekankan pada kegiatan proyek uji coba di Kalimantan Tengah juga menekankan pada pengupayaan teknologi canggih berupa INCAS yakni sistem nasional guna mengidentifikasi emisi yang tersebar di udara.
2.2
Kerangka Konsep dan Teori Konsep dan teori menjadi hal yang penting dalam suatu penelitian. Dalam
penelitian ini digunakan dua konsep dan teori guna membahas mengenai upaya Australia dalam kerjasama IAFCP di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Adapun konsep dan teori tersebut yakni green theory dan kerjasama bilateral. 2.2.1 Green Theory Green theory muncul sebagai salah satu teori penting dalam ilmu hubungan internasional yang secara komprehensif dikembangkan oleh R. Ekcersley (Apriawan, 2011). Teori ini memfokuskan isu lingkungan menjadi
10
pokok bahasan dalam lingkup hubungan internasional. Menurutnya, green theory dipusatkan pada permasalahan ekologi yang dikelola oleh institusi-institusi sosial seperti negara dan pasar (Apriawan, 2011). Adanya campur tangan manusia pada alam tentu akan sangat berpengaruh dan akan mengancam keberadaan spesies lain seperti flora, fauna serta manusia itu sendiri (Stean dkk, 2005). Jika diulas balik, perhatian dunia terhadap lingkungan sudah terlihat sangat besar pada tahun 1960an. Hal ini disebabkan adanya kekhawatiran negaranegara akan dampak polusi yang tersebar di udara serta penggunaan bahan kimia berbahaya yang kemudian dapat berpengaruh pada kesehatan manusia itu sendiri (Baylis & Smith, 2002). Tentunya sebagai langkah dalam penanggulangan, berbagai usaha penyelamatan flora maupun fauna telah banyak dilakukan. Namun dari berbagai kasus yang ditangani, sebagian besar kasus yang erjadi sangat mengkhawatirkan. Hal tersebut disebabkan karena dampak yang ditimbulkan oleh rusaknnya lingkungan tidak lagi hanya berdampak pada satu negara saja melainkan juga pada negara lainnya. Munculnya isu lingkungan yang melintasi batas menjadikan bahasan terkait isu lingkungan menjadi semakin luas untuk ditangani. Studi kasus seperti bocornya kapal pengangkut minyak lintas samudera di beberapa bagian negara yang berdampak pada peningkatan polusi laut, serta kasus lain seperti penyebaran kabut asap oleh hasil pembakaran hutan- hutan di suatu negara yang mempengaruhi jalur penerbangan serta kualitas udara yang tidak sehat di negara lainnya mau tidak mau membuat sebagian besar negara di dunia untuk duduk bersama guna membahas penanggulangan dalam bentuk konferensi
internasional
(Baylis
& Smith, 2002). Berbagai
konferensi
11
internasional diselenggarakan guna mencegah berlanjutnya kerusakan lingkungan yang dapat berdampak pada keberlangsungan ekonomi, sosial, bahkan keamanan suatu negara. Green theory kemudian muncul sebagai dasar dalam melihat maupun memahami dinamika hubungan internasional untuk mencapai tujuan terkait isu lingkungan. Secara garis besar, green theory memiliki motto yakni “think globally and act locally”(Steans dkk, 2005). Hal tersebut dimaksudkan bahwa isu lingkungan merupakan isu yang memiliki dampak internasional sehingga dalam pemecahannya haruslah dipikirkan secara bersama-sama dan dilakukan di masingmasing negara sehingga hasil yang dicapai akan lebih efisien dan efektif (Apriawan, 2011). Green theory melihat bahwa negara bukanlah satu-satunya yang memiliki kekuatan untuk menangani permasalahan ini. Negara haruslah mengambil perannya dengan bekerjasama dengan negara lain untuk menangani isu lingkungan (Stean dkk, 2005). Hal tersebut dilakukan karena dampak yang dihasilkan bukan lagi berpengaruh pada satu negara saja namun dapat menyebar ke negara lainnya. Green theory sendiri memiliki tujuan yakni melalui kerjasama yang dijalin oleh negara-negara kemudian diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang seimbang dan kesejahteraan mahluk hidup (Stean dkk, 2005). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan green theory guna melihat kerjasama IAFCP antara Australia dan Indonesia. Green theory membantu penulis memandang bahwa isu lingkungan merupakan fokus bahasan global yang harus diselamatkan. Sehingga dalam penanganannya, kerjasama IAFCP menjadi salah
12
satu upaya negara yakni Indonesia dan Australia dalam mengurangi emisi gas karbon terkait isu lingkungan.
2.2.2 Kerjasama Bilateral Konsep kerjasama bilateral yang dilakukan antar negara menjadi hal yang sangat penting dalam studi hubungan internasional. Kerjasama bilateral merupakan hubungan kerjasama yang dilakukan oleh dua negara dalam berbagai aspek kehidupan guna tercapainya tujuan bersama. Kerjasama bilateral dapat berbentuk kerjasama diplomatik yang ditandai dengan hubungan erat antara lembaga-lembaga antar negara (Kruse & Kaya, 2013). Menurut Ellis S. Krauss dan T.J Pempel, kerjasama bilateral yang merupakan suatu hubungan kerjasama yang dilakukan oleh dua negara mengacu pada hubungan dalam beberapa aspek salah satunya pada bidang lingkungan (Mckeown, 2004). Kompleksnya permasalahan yang terjadi di berbagai belahan dunia dan tidak dapat diselesaikan sendiri dapat menjadi salah satu faktor yang melatar belakangi terbentuknya kerjasama bilateral. Tentunya hal ini ditujukan untuk mencapai solusi dari permasalahan yang terjadi di negara tersebut. Seperti yang dijelasakan sebelumnya, salah satu aspek yang dapat memicu terjadinya kerjasama bilateral adalah aspek lingkungan. Hal ini dikarenakan permasalahan lingkungan telah menjadi sorotan dunia internasional dan diperlukan upaya dari berbagai pihak untuk menanganinya. Permasalahan lingkungan awalnya mungkin hanya beranjak dari regional namun dampak yang dihasilkan kadang mampu merambah hingga level internasional. hal inilah yang kemudian akan
13
mempengaruhi kesadaran negara–negara lain untuk mengatasi masalah ini dengan menjalin kerjasama antar negara atau kerjasama bilateral. Kerjasama bilateral dari segi lingkungan sudah banyak dilakukan oleh negara-negara di dunia. Kerjasama lingkungan untuk menanggulangi perubahan iklim melalui pengurangan emisi gas karbon juga telah dilakukan seiring dengan respon dari United Nations Framework Convention on Climate Change (Setiawan, 2014). UNFCCC dalam hal ini menjadi dasar dibangunnya kerangka kerjasama bagi Australia untuk Indonesia terkait penanganan perubahan iklim melalui pengurangan emisi gas karbon. UNFCCC merupakan salah satu hasil dari konferensi tingkat dunia terkait perubahan iklim dengan menekankan keharusan negara maju maupun negara berkembang untuk menanggulangi permasalahan lingkungan dengan tanggung jawabnya masing-masing. Kebijakan ini kemudian berkembang menjadi mekanisme REDD+ sebagai solusi program insentif dalam kerangka kebijakan UNFCCC. REDD+ menjelaskan adanya pengalihan tanggung jawab melalui pengkompensasian pengurangan emisi gas di negara berkembang yang memiliki potensi hutan untuk dibenahi. Skema pengalihan tanggung jawab dalam mekanisme REDD lebih dikenal sebagai carbon offset yaitu program atau proyek
untuk menyelamatkan
terlepasnya emisi ke atmosfer yang berasal dari sektor kehutanan (Setiawan, 2014). Carbon offset merupakan program untuk mengkompensasikan emisi yang dikeluarkan oleh suatu pihak. Hal tersebut dilakukan dengan membayar pihak lain untuk melakukan usaha penyerapan emisi gas karbon atau menghindari emisi gas karbon. Konsep carbon offset bermaksud sebagai pengganti (meng “offset”) emisi
14
karbon yang telah dikeluarkan (Setiawan, 2014). Hal ini bertujuan untuk membangun komitmen kuat atas kerjasama terkait dengan pengurangan emisi gas karbon. Selanjutnya konsep dari kerjasama bilateral ini penting untuk digunakan. Konsep tersebut dapat membantu penulis dalam mengkaji kerjasama bilateral antara Australia dan Indonesia untuk mengurangi emisi gas karbon di Indonesia.