BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Repeat Purchase Menurut Swasta dan Irawan (2001), menyatakan “repeat purchase merupakan pembelian yang pernah dilakukan oleh pembeli terhadap suatu produk yang sama dan akan membeli lagi untuk kedua atau ketiga kalinya”. Menurut Hawkins (2010) mengartikan repeat purchase sebagai suatu kegiatan membeli kembali yang dilakukan oleh konsumen terhadap suatu produk dengan merek yang sama tanpa diikuti oleh perasaan yang berarti terhadap produk tersebut. Sedangkan Bilson, (2003) menyatakan “Konsumen mendapatkan informasi tentang preferensi atau keinginan mereka untuk membuat keputusan terakhir apakah membeli atau tidak dan apakah akan membeli secara berulang-ulang (repeat purcahase) atau tidak”. Konsumen mempunyai kebutuhan akan mencari manfaat tertentu dari suatu produk dengan mengevaluasi atribut produk dan diferensiasi produk. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa keputusan pembelian ulang (repeat purchase) konsumen merupakan suatu keputusan konsumen untuk membeli produk lebih dari satu kali. Keputusan repeat purchase konsumen juga diringi oleh faktor-faktor yang mempengaruhinya, terutama tentang informasi mengenai manfaat produk yang akan mereka dapatkan. Menurut Cleland dan Bruno dalam Bilson (2003), bahwa yang dipertimbangkan konsumen dalam melakukan repeat purchase hanya dua bagian yaitu: faktor harga dan bukan harga. Faktor bukan 8
9
harga terdiri dari faktor produk dan faktor non produk. Faktor produk adalah atributatribut yang terkait langsung pada produk, yang terkait produk adalah: merek, tahan lama, desain yang menarik, produk yang bergengsi, pilihan produk yang sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan faktor non produk adalah ketersediaan pasokan produk, produk yang mudah didapatkan. Menurut Fishbein & Asjen (dalam Baron & Byrne, 2003) keputusan untuk menampilkan tingkah laku tertentu yang merupakan hasil dari proses rasional yang diarahkan pada suatu tujuan tertentu dan mengikuti urut-urutan berpikir. Pilihan tingkah laku dipertimbangkan, konsekuensi dari hasil dari setiap tingkah laku dievaluasi dan hasil dari tingkah laku kemudian dibuat sebuah keputusan apakah akan bertindak atau tidak. Kemudian keputusan itu direfleksikan dalam tujuan tingkah laku. Dalam hal ini seorang konsumen menampilkan tingkah laku yaitu proses pembelian kemudian konsumen melakukan evaluasi terhadap perilaku konsumsinya. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut kemudian konsumen menetapkan tujuannya, apakah akan melakukan pembelian ulang atau tidak melakukan pembelian ulang.Konsumen membentuk intensi pembelian atas dasar-dasar faktor-faktor seperti harga yang diharapkan, manfaat pelayanan yang diharapkan, pendapatan keluarga (Kotler, 2008). Oliver (2000) menganggap intensi pembelian (purchase intentions) sebagai suatu fungsi perilaku individual terhadap suatu produk atau jasa, sehingga konsumen membentuk suatu perilaku tentang pemberi jasa berdasarkan pengharapan mereka
sebelumnya
mengenai
performansi
perusahaan
dan
mempengaruhi keinginan mereka untuk membeli (purchase intentions).
perilaku
ini
10
Pengertian pembelian ulang adalah individu melakukan pembelian produk atau jasa dan menentukan untuk membeli lagi, maka pembelian kedua dan selanjutnya disebut
pembelian ulang.
Repeat
purchase
didefinisikan oleh
Dharmmesta dan Handoko (2000) adalah pembelian yang pernah dilakukan terhadap produk atau jasa yang sama dan akan membeli lagi untuk kedua atau ketiga kalinya. Sedangkan definisi repeat purchase menurut Sunarto (2003) adalah konsumen hanya membeli produk atau jasa secara berulang tanpa mempunyai perasaan khusus terhadap apa yang dibelinya. Menurut Tsiotsou (2006), pembelian ulang adalah suatu perilaku di mana konsumen membeli kembali produknya yang sebelumnya dibeli. Suatu ritel dikatakan berhasil apabila mampu mempertahankan konsumennya untuk menjadi loyal terhadap ritel tersebut. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kecenderungan repeat purchase adalah suatu wujud perilaku individual pada suatu toko dimana konsumen melakukan pembelian secara berulang di suatu toko sebagai hasil evaluasi konsumen terhadap pengalaman konsumsi sebelumnya. 2.1.1.1 Aspek-Aspek Kecenderungan Repeat Purchase Ada beberapa aspek yang dapat dijadikan indikator kecenderungan repeat purchase menurut Zulganef (2002) yaitu : 1. Kepuasan Konsumen 2. Kepercayaan 3. Komitmen
11
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan aspek-aspek yang dapat dijadikan indikator pembelian ulang yaitu kepuasan konsumen, kepercayaan dan komitmen. 2.1.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecenderungan Pembelian Ulang Ada beberapa faktor yang dianggap mempengaruhi perilaku repeat purchase oleh Kotler (1997) yang dikutip oleh marissa (2007) yaitu : a. Faktor Budaya b. Faktor Sosial c. Faktor Pribadi d. Faktor Psikologis Menurut Basu & Irawan (1985), dalam Sumaryono (2007) ada beberapa faktor yang mempengaruhi repeat purchase yang dilakukan konsumen yaitu : 1. Lokasi penjual yang strategis, pelayanan yang baik, tempat persediaan yang mudah dicapai dan tidak ramai 2. Harga barang 3. Penggolongan barang 4. Servis yang ditawarkan 5. Toko yang menarik 6. Kemampuan tenaga penjualnya Dari keterangan diatas dapat ditarik kesimpulan faktor-faktor yang dianggap dapat mempengaruhi kecenderungan repeat purchase yaitu faktor budaya, faktor sosial, faktor pribadi, faktor psikologis, harga barang yang diharapkan, manfaat pelayanan yang didapat baik dan desain toko yang menarik.
12
2.1.1.3 Mekanisme Repeat Purchase Ada beberapa tahap yang dilalui konsumen untuk melakukan repeat purchase oleh Griffin (2005) yaitu : 1. Kesadaran 2. Pembelian awal 3. Evaluasi Pasca-Pembelian 4. Keputusan Membeli Kembali / Membeli Ulang 5. Pembelian Kembali / Pembelian Ulang 2.1.2 Perceived Quality Aaker (2010), mendefinisikan perceived quality sebagai persepsi konsumen terhadap kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa sehubungan dengan tujuan yang diinginkannya, dibandingkan dengan alternatif-alternatif lain. Aaker mengukur persepsi kualitas dengan teknik kuantitatif dengan memberikan pertanyaanpertanyaan seputar kualitas produk dan jasa. 1. Kualitas produk a. Performance (kinerja): seberapa baik suatu produk melakukan fungsinya. b. Features (karakteristik produk). c. Conformance with specifications (kesesuaian dengan spesifikasi) d. Reliability (keterandalan). e. Serviceability (pelayanan). f. Fit and finish (hasil akhir).
13
2. Kualitas jasa a. Reliability (keterandalan). b. Responsiveness (ketanggapan). c. Assurance (jaminan). d. Emphaty (empati). e. Tangibles (bentuk fisik). Simamora (2003), menyatakan bahwa perceived quality adalah persepsi konsumen terhadap kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan ditinjau dari fungsinya secara relatif dengan produk-produk lain. Sedangkan menurut Durianto (2004), perceived quality dapat didefinisikan sebagai persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk jasa layanan berkaitan dengan apa yang diharapkan oleh pelanggan. Karena perceived quality merupakan persepsi dari pelanggan maka perceived quality tidak bisa ditentukan secara obyektif. Persepsi pelanggan akan melibatkan apa yang penting bagi pelanggan karena setiap pelanggan memiliki kepentingan (yang diukur secara relatif) yang berbeda-beda terhadap suatu produk atau jasa. Menurut
Arnould
(2005),
perceived
quality
didefinisikan
sebagai
pertimbangan evaluatif konsumen tentang keseluruhan mutu yang terbaik atau superioritas yang sungguh-sungguh ada didalam ketersediaan manfaat-manfaat yang dikehendaki sehingga perceived quality dapat mengurangi biaya-biaya, memperluas market share, meningkatkan profitabilitas, dan dapat mengurangi elastisitas harga. Oleh karena itu, marketers mempercayai bahwa ketersediaan bukti terhadap
14
meningkatnya kualitas adalah suatu kunci bagi keunggulan bersaing (competitive advantage). The American Society for Quality Control mendefinisikan kualitas sebagai suatu totalitas dari ciri-ciri dan karakteristik-karakteristik dari suatu produk yang berhubungan dengan kemampuan memuaskan kebutuhan pelanggan. Berdasarkan definisi ini, maka suatu produk dikatakan bermutu apabila produk tersebut telah memenuhi harapan dan keinginan konsumen. Jadi suatu produk diawali dengan pemenuhan kebutuhan konsumen dan diakhiri dengan kepuasan konsumen. Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa perceived quality berorientasi pada konsumen (Keller, 2006). Kemudian, perceived quality adalah sebuah penilaian global berdasarkan persepsi pelanggan atas apa inti dari kualitas produk dan seberapa baiknya penilaian terhadap merek. Akan lebih sulit untuk mencapai pada level satisfaction dari perceived quality bila perusahaan melakukan perbaikan dan penambahan fitur-fitur baru pada produk secara terus menerus karena hal itu membuat ekspektasi pelanggan akan naik terhadap kualitas produk (keller, 2003). Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa perceived quality merupakan persepsi dari konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkaitan dengan harapan konsumennya. perceived quality mencerminkan perasaan konsumen secara menyeluruh mengenai suatu merek. Untuk memahami persepsi kualitas suatu merek diperlukan pengukuran terhadap
15
dimensi yang terkait dengan karakteristik produk. Mengacu kepada pendapat Garvin dalam Durianto (2004), dimensi persepsi kualitas dibagi menjadi tujuh, yaitu: 1. Kinerja Melibatkan berbagai karakteristik operasional utama. 2. Pelayanan Mencerminkan kemampuan memberikan pelayanan pada produk tersebut. 3. Ketahanan Mencerminkan umur ekonomis dari produk tersebut. 4. Keandalan Konsistensi dari kinerja yang dihasilkan suatu produk dari satu pembelian ke pembelian berikutnya. 5. Karakteristik produk Bagian-bagian tambahan dari produk (feature). Penambahan ini biasanya digunakan sebagai pembeda yang penting ketika dua merek produk terlihat hampir sama. 6. Kesesuaian dengan spesifikasi Merupakan pandangan mengenai kualitas proses manufaktur (tidak ada cacat produk) sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan dan diuji. 7. Hasil Mengarah kepada kualitas yang dirasakan yang melibatkan enam dimensi sebelumnya. Jika perusahaan tidak dapat menghasilkan hasil akhir produk yang
16
baik maka kemungkinan produk tersebut tidak akan mempunyai atribut kualitas yang penting. Perceived quality dapat dieksploitasi dengan cara mengenalkan berbagi perluasan merek, yaitu dengan menggunakan merek tertentu dengan masuk ke dalam kategori produk baru. Sebuah merek dengan perceived quality yang kuat akan sanggup meluaskan diri lebih besar dibandingkan merek yang lemah (AB Susanto 2004). Menurut Susanto (2007), perceived quality adalah persepsi pelanggan terhadap kualitas berbeda dengan berbagai konsep yang hampir sama, seperti: 1. Kualitas aktual atau obyektif (actual or obyektive quality), perluasan ke suatu bagian dari produk atau jasa yang memberikan pelayanan dengan baik. 2. Kualitas isi produk (product based quality), karakteristik dan kualitas unsur, bagian-bagian, atau pelayanan yang disertakan. 3. Kualitas proses manufaktur (manufacturing Quality), kesesuaian dengan spesifikasi dan hasil akhir tanpa cacat (zero defect). Menurut Zinkhan (2005), ada beberapa pemikiran mengenai perceived quality, yaitu: 1. Pertimbangan konsumen mengenai excellence atau superiority suatu produk secara keseluruhan. 2. Totalitas dari ciri-ciri dan karakteristik-karakteristik suatu produk yang berhubungan konsumen.
dengan
kemampuannya
untuk
memuaskan
kebutuhan
17
3. Perceived ability dari suatu produk untuk menyediakan kepuasan yang berkaitan dengan alternatif-alternatif yang tersedia. 4. Keseluruhan atribut dari suatu produk yang memenuhi kepuasan konsumen. 5. Perceived quality menurut masing-masing konsumen adalah berbeda-beda dan subyektif. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membangun perceived quality menurut Aaker (2005), yaitu: 1. Komitmen terhadap kualitas Perusahaan harus mempunyai komitmen terhadap kualitas serta memelihara kualitas secara terus menerus. Upaya, memelihara kualitas bukan hanya basa basi tetapi tetapi tercermin dalam tindakan tanpa kompromi. 2. Budaya Kualitas Komitmen kualitas harus terefleksi dalam budaya perusahaan, norma perilakunya, dan nilai-nilainya. Jika perusahaan dihadapkan kepada pilihan kualitas dan biaya maka kualitas yang harus dimenangkan. 3. Informasi masukan dari pelanggan Pada akhirnya dalam membangun perceived quality pelangganlah yang mendefinisikan kualitas. Sering kali para pimpinan perusahaan keliru dalam memperkirakan apa yang dianggap penting oleh pelanggannya. Untuk kartu kredit,
misalnya
para
manajer
memperkirakan
bahwa
kemudahan
memperoleh kartu kredit adalah yang paling penting bagi pelanggan, padahal bagi pelanggan keamanan dan jaminan terhadap kartu yang hilang adalah
18
yang terpenting. Sebaliknya pencucian dan tambahan-tambahan aksesoris adalah yang dipedulikan oleh pelanggan, padahal mereka lebih peduli pada aspek kemudahan membersihkan dan penampilan mesin. Untuk itulah perusahaan
perlu
secara
kesinambungan
melakukan
riset
terhadap
pelanggannya sehingga memperoleh informasi yang akurat, relevan, dan up to date. 4. Sasaran atau standar yang jelas Sasaran kualitas harus jelas dan tidak terlalu umum karena sasaran kualitas yang terlalu umum cenderung tidak bermanfaat. Kualitas juga harus harus memiliki standard yang jelas, dapat dipahami, dan diprioritaskan. Terlalu banyak sasaran tanpa prioritas sama saja dengan tidak mempunyai sasaran yang fokus pada akhirnya akan membahayakan kelangsungan perusahaan itu sendiri. 5. Kembangkan karyawan yang berinisiatif Karyawan harus dimotivasi dan diizinkan untuk berinisiatif serta dilibatkan dalam mencari solusi masalah yang dihadapi dengan pemikiran dengan pemikiran yang kreatif dan inovatif. Karyawan juga secara aktif dilibatkan dalam pengendalian kualitas pelayanan. Perceived quality yang dilakukan oleh konsumen terhadap sebuah produk umumnya baru bisa dilakukan setelah konsumen melakukan pembelian terhadap produk, namun terkadang juga bisa dilakukan setelah konsumen benarbenar telah melihat secara langsung bukti konkret dari hal yang ditawarkan oleh
19
produk tersebut seperti kinerjanya dan sebagainya. Manfaat perceived quality yang baik diantaranya: 1. Kualitas memegang peranan yang sangat penting sebagai salah satu syarat seorang konsumen dalam membeli sebuah produk. Kesan kualitas yang baik terhadap sebuah merek produk akan memperbesar kemungkinan pembalian terhadap merek tersebut. 2. Perceived quality juga membantu proses pembedaan merek dimata konsumen. 3. Kesan akan kualitas yang baik memberikan kesempatan bagi produsen untuk memberikan harga optimum terhadap produk sehingga dapat meningkatkan laba perusahaan. 4. Kesan kualitas juga berpengaruh penting bagi saluran distribusi produk, pengecer, dan penjual produk akan yakin dalam mendistribusikan produk apabila memiliki kesan kualitas yang baik terhadap produk. 5. Kesan kualitas yang baik terhadap sebuah merek akan memberikan kesempatan bagi perusahaan, apabila ingin melakukan perluasan merek. Perusahaan bisa menciptakan sebuah produk baru dengan menggunakan merek yang sudah ada. Perceived quality mempunyai peranan yang penting dalam membangun suatu merek, dalam banyak konteks perceived quality sebuah merek dapat menjadi alasan yang penting pembelian serta merek mana yang akan dipertimbangkan konsumen yang pada gilirannya akan mempengaruhi konsumen dalam memutuskan merek mana
20
yang akan dibeli. Secara umum menurut Durianto (2004), persepsi kualitas dapat menghasilkan nilai-nilai berikut: 1. Alasan untuk membeli Keterbatasan informasi, uang dan waktu membuat keputusan pembelian konsumen sangat dipengaruhi oleh persepsi kualitas suatu merek yang ada di benak konsumen, sehingga seringkali alasan keputusan pembeliannya hanya didasarkan kepada persepsi kualitas dari merek yang akan dibelinya. 2. Diferensiasi atau posisi Suatu karakteristik penting dari merek adalah posisinya dalam dimensi persepsi kualitas, yaitu apakah merek tersebut super optimum, optimum, bernilai, atau ekonomis. Juga, berkenaan dengan perceived quality, apakah merek tersebut terbaik atau sekedar kompetitif terhadap merek-merek lain. 3. Harga optimum Keuntungan persepsi kualitas memberikan pilihan-pilihan dalam penetapan harga optimum (price premium). Harga optimum bisa meningkatkan laba dan atau memberi sumber daya untuk reinvestasi pada merek tersebut. Berbagai sumber daya ini digunakan untuk membangun merek, seperti menguatkan kesadaran atau asosiasi atau mutu produk. 4. Minat saluran distribusi Persepsi kualitas juga punya arti penting bagi para pengecer, distributor, dan berbagai pos saluran lainnya. Sebuah pengecer atau pos saluran lainnya dapat menawarkan suatu produk yang memiliki persepsi kualitas yang tinggi dengan
21
harga yang menarik dan menguasai lalu lintas distribusi tersebut. Pos saluran distribusi dimotivasi untuk menyalurkan merek-merek yang diminati oleh konsumen. 5. Perluasan merek Suatu merek dengan perceived quality yang kuat dapat dieksploitasi ke arah perluasan merek. Merek dengan perceived quality yang kuat dapat digunakan untuk memperkenalkan kategori produk baru, yang beraneka macam. Produk dengan persepsi kualitas yang kuat akan mempunyai kemungkinan sukses yang lebih besar dibandingkan dengan merek yang persepsi kualitasnya lemah, sehingga perluasan produk dari merek dengan perceived quality yang kuat memungkinkan perolehan pangsa pasar yang lebih besar lagi. Dalam hal ini perceived quality merupakan jaminan yang signifikan atas perluasanperluasan merek tersebut. 2.1.2.1 Indikator Perceived Quality Menurut Gasperz (2008), indikator perceived quality adalah: 1. Performance product (kinerja produk). 2. Features (karakteristik produk). 3. Conformance with specifications (kesesuaian dengan spesifikasi). 4. Reliability (keterandalan). 5. Durability (daya tahan) 6. Service ability (pelayanan). 7. Fit and finish (hasil akhir).
22
8. Customer perceived quality (persepsi kualitas pelanggan) 2.1.2.2 Perceived Quality Atas Produk Konsumen sering kali menilai kualitas dari suatu produk berdasarkan pada beragam isyarat informasi yang mereka asosiasikan dengan produk tersebut beberapa beberapa merupakan intrinsik (intrinsic cues) atas produk dan sisanya isyarat ekstrinsik (extrinsic cues). Isyarat-isyarat tersebut
memberikan dasar bagi
pembentukan persepsi antara kualitas produk bagi konsumen. Syarat intrinsik mencakup karakteristik fisik dari produk itu sendiri, seperti ukuran, warna, rasa atau aroma dalam beberapa kasus, konsumen menggunakan karakteristik fisik (misalnya rasa es krim atau kue) untuk menilai kualitas produk tersebut. Konsumen biasanya mendasarkan evaluasi merek akan perceived quality pada isyarat intrinsik, sebab isyarat intrinsik memungkinkan mereka untuk membenarkan keputusan produk mereka (baik positif atau negatif) sebagai suatu keputusan pemilihan produk yang “rasional” atau ”objektif”. Namun disamping itu, konsumen juga terkadang menggunakan karakteristik ekstrinsik untuk menilai kualitas ketika konsumen tidak memiliki actual experience dengan suatu produk mereka seringkali mengevaluasi kualitas berdasarkan isyarat eksternal dari produk itu sendiri, seperti harga, brand image, image, dari manufaktur yang memproduksi produk tersebut retail store image, atau bahkan country of origin (schiffman, 2007). 2.1.3 Switching Barrier Hambatan berpindah (switching barrier) menurut Fomell (2003) mengacu pada tingkat kesulitan untuk berpindah ke produk atau jasa lain yang dihadapi
23
pelanggan yang mengacu pada kendala fmansial, sosial, dan psikologis yang dirasakan pelanggan. Menurut Jones yang dikutip oleh Claes (2003): "switching barrier is any factor which makes it difficult or consumers to change providers". Atau dengan kata lain "biaya peralihan adalah segala faktor yang mempersulit atau memberikan biaya kepada pelanggan jika beralih penyedia jasa. Menurut Triton PB (2008) prinsip strategi switching barrier atau hambatan berpindah adalah upaya perusahaan menciptakan kondisi keengganan pada konsumen untuk berganti pemasok. Pemasok dalam pengertian ini dapat berupa toko, vendor, outlet, dan sebagainya. Hambatan-hambatan yang dikondisikan antara lain: a. Mengkondisikan keterikatan batin sehingga merasa tidak selayaknya untuk pindah ke pemasok lain. b. Mengkondisikan perasaan enggan pada pelanggan c. Mengkondisikan situasi rugi bila pindah pemasok d. Mengkondisikan biaya yang lebih besar bila pelanggan pindah pemasok Hambatan berpindah (switching barrier), yaitu menyangkut hambatan yang dirasakan konsumen bila ia pindah dari satu produk ke produk lain. Hambatan ini tidak hanya berdasarkan pertimbangan nilai-nilai ekonomis, melainkan juga berkaitan dengan faktor psikologis, sosial, fungsional dan ritual. Faktor-faktor inilah yang menyulitkan pelanggan untuk beralih produk atau jasa sehingga pelanggan tetap menggunakan produk atau jasa yang dipilihnya (Budi, 2003). Faktor-faktor tersebut terdiri dari:
24
a. Nilai-nilai ekonomi Ada dua komponen utama yang menentukan nilai dari suatu produk atau jasa yaitu manfaat dan pengorbanan. Manfaat produk dapat dilihat dari solusi alternatif, kualitas serta kustomisasi yang dimiliki produk tersebut, sedangkan manfaat jasa yang menyertai produk tersebut dapat dilihat dari dimensi kualitas jasa. Selain manfaat dari produk dan jasa masih terdapat lagi manfaat dari sisi relationship yang terdiri dari citra, kepercayaan, dan solidaritas. Sementara itu, pengorbanan terdiri dari harga (moneter) yang harus dibayar untuk mendapatkan produk (termasuk jasa yang menyertainya), dan pengorbanan dari sisi waktu, upaya dan energi yang diperlukan untuk
memperolehnya dan juga konflik
yang
ditimbulkannya (Lapierre, 2005) b. Psikologis Faktor psikologis adalah upaya mental, rasa tidak sanggup, atau ketakutan yang terjadi saat menilai berbagai alternatif jasa. Faktor psikologis timbul dari keadaan fisiologis tertentu seperti kebutuhan untuk diakui, harga diri, atau kebutuhan untuk diterima oleh lingkungannya (Simamora, 2003). c. Sosial Faktor sosial terdiri atas kelompok referensi yaitu seluruh kelompok yang mempunyai pengaruh langsung terhadap sikap atau perilaku seseorang, keluarga, ataupun peran dan status yaitu posisi seseorang dalam setiap kelompok.
25
d. Fungsional Fungsional sangat erat kaitannya dengan kualitas, yaitu kemampuan suatu penyedia jasa untuk menjalankan fungsi-fungsinya apakah nantinya memuaskan atau tidak memuaskan bagi pelanggan. e. Ritual Ritual adalah upacara tentang kebenaran religius yang berarti. Dalam membangun kesetiaan pelanggan, hal ini adalah aktivitas rutin untuk menaikkan perusahaan kepada tujuan-tujuan serta nilai-nilai yang diinginkan. Tindakan setiap hari seperti misalnya penampilan pribadi dan tempat kerja, kebiasaan berterima kasih, memuji pelanggan, sambutan yang tepat dan hangat, cepat tanggap kepada pelanggan dan secara keseluruhan semua tingkah laku rutin yang diperlukan untuk membangun kesetiaan pelanggan. Menurut Klemperer (2003) membedakan tiga jenis biaya peralihan, yaitu: a. Transaction Cost Merupakan sejumlah uang yang dikeluarkan oleh pelanggan ketika berganti penyedia jasa sebagai balas jasa. Contohnya : bila menabung di bank, dan ingin menutup rekening karena ingin pendah ke bank lainnya maka sejumlah uang dari tabungan harus dipotong sebagai biaya administrasi. b. Learning Cost Merupakan pembelajaran yang dapat dipandang sebagai proses dimana pengalaman menyebabkan perubahan dalam pengetahuan, sikap dan atau perilaku. Sehingga jika pelanggan beralih dari penyedia jasa tempat ia berlangganan,
26
pelanggan harus menyesuaikan diri kembali dengan tempat ia berlangganan sekarang. c. Artificial Cost Merupakan biaya yang berasal dari dalam perusahaan itu sendiri untuk mempertahankan pelanggannya. Perusahaan memberikan pelayanan pelengkap yang disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan. Sudarmadi (2005), menjelaskan bahwa loyalitas adalah antusiasme. Dan antusiasme pelanggan dapat dimanfaatkan oleh perusahaan sebagai switching barrier. Yang pasti, tiap-tiap pemasar harus bisa membuat program yang bersifat customer feed-back yang secara tak langsung bisa menciptakan emosional pelanggan yang lebih loyal. Caranya: a. Create a cause: menciptakan emosional pelanggan untuk lebih loyal. Contoh: Nokia dengan tagline nya: "Nokia, connecting people" b. Bit rate of change: seperti memberikan sampel produk sehingga diharapkan pelanggan akan mencobanya. c. Community System, yang bisa dilakukan dengan dua hal: neutralize knowledge (publikasi produk melalui situs web, jurnal atau majalah internal) untuk menjelaskan keunggulan produk dan create community, dengan membuat klub sebagai imbalan yang telah diberikan konsumen kepada perusahaan. Definisi hambatan berpindah adalah hambatan-hambatan atau beban atau biaya yang muncul ketika konsumen akan berpindah dari satu merek ke merek
27
lainnya. Hambatan ini tidak selalu berupa hambatan ekonomis, tetapi bisa juga dapat berkaitan dengan hambatan fungsi, psikologis, sosial bahkan ritual. Menurut Bansal dan Taylor (2003) definisi hambatan berpindah atau swicthing barriers adalah pembebanan konsumen terhadap sumber daya dan kesempatan yang diperlukan bila ia pindah atau pembatas terhadap tindakan untuk pindah. Keaveney (2005) menyatakan bahwa hambatan pindah sebagai faktor yang menentukan ada dan tidaknya perilaku berpindah pelanggan. Adapun hambatan berpindah yang dialami pelanggan jika risiko berpindah merek adalah hambatan waktu, hambatan biaya dan hambatan usaha. 2.1.3.1 Indikator Switching Barrier Menurut Hartatik (2010), indikator switching barrier meliputi: 1. Nilai-nilai ekonomis 2. Psikologis 3. Sosial 4. Fungsional 5. Ritual 2.2 Penelitian Terdahulu Hasil penelitian yang dilakukan Grienda Agustin (2011) dengan judul “pengaruh persepsi kualitas pelayanan dan kepuasan konsumen terhadap repeat purchase” (study pada konsumen TOSERBA Luwes Palur) menunjukkan bahwa persepsi kualitas jasa tidak berpengaruh signifikan secara langsung pada kepuasan
28
konsumen, sedangkan kepuasan konsumen berpengsruh signifikan secara langsung terhadap repeat purchase. Penelitian yang dilakukan oleh Stefanny Ratna Sari (2014) dengan judul “pengaruh kepuasan, switching barrier, dan kepercayaan pelanggan, terhadap repeat purchase pelanggan Hartono Elektronik Surabaya, menunjukkan bahwa kepuasan, switching barrier, dan kepercayaan pelanggan berpengaruh signifikan terhadap repeat purchase. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yohanna Silvi yang berjudul “pengaruh
perceived
quality,
perceived
value,brand
preference,
consumer
satisfaction, dan consumer loyalty terhadap repeat purchase” menunjukkan bahwa perceived quality, perceived value, brand preference, consumer satisfaction, dan consumer loyalty berpengaruh signifikan terhadap repeat purchase. Tabel 2.1 Penelitian terdahulu No.
Nama Peneliti, Tahun
1.
Grienda Agustin, 2011
Judul Penelitian Pengaruh persepsi kualitas pelayanan dan kepuasan konsumen terhadap repeat purchase
Jenis Variabel
Alat Uji Statistik
Bebas : Persepsi kualitas pelayanan, dan kepuasan konsumen
SPSS 20
Terikat : Repeat
Hasil Penelitian Berdasarkan hasil analisis data maka diperoleh bahwa kualitas jasa tidak berpengaruh signifikan secara langsung pada kepuasan konsumen, dan sedangkan
29
purchase
kepuasan konsumen berpengaruh signifikan secara langsung pada repeat purchase
2.
Stefanny Ratna Sari, 2014
Pegaruh kepuasan, switching barrier, dan kepercayaan pelanggan terhadap repeat purchase pelanggan Hartono Elektronik Surabaya
SPSS 20 Bebas : kepuasan, switching barrier, dan kepercayaan pelanggan Terikat : Repeat purchase
Analisis data menunjukkan bahwa kepuasan, switching barrier, dan kepercayaan pelanggan berpengaruh secara signifikan terhadap repeat purchase.
3
Yohanna Silvi, 2009
pengaruh perceived quality, perceived value, brand preference, consumer satisfaction, dan consumer loyalty terhadap repeat purchase
SPSS 20 Bebas: perceived quality, perceived value, brand preference, consumer satisfaction, dan consumer loyalty
Berdasarkan analisis data diperoleh bahwa perceived quality, perceived value, brand preference, consumer satisfaction, dan consumer loyalty berpengaruh signifikan terhadap repeat purchase.
Terikat: repeat purchase
30
2.3 Kerangka Konseptual Kerangka konseptual merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah di identifikasi sebagai masalah penting. Kerangka konseptual merupakan sintesa tentang hubungan antar variable yang disusun dari berbagai teori yang telah di deskripsikan. Selanjutnya, berdasarkan teori – teori yang telah di deskripsikan tersebut, dianalisis secara kritis dan sistematis, sehingga menghasilkan sintesa tentang hubungan antar variable yang diteliti. Sintesa tentang hubungan variabel ini selanjutnya digunakan untuk merumuskan hipotesis, Sugiyono (2011). Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau di ukur melalui penelitian yang akan dilakukan Notoatmodjo (2002).Berikut kerangka konsep penelitian yang dapat dijelaskan : Perceived quality (X1)
Repeat purchase (Y)
Switching barrier (X2)
Gambar 2.1
31
2.4 Hipotesis penelitian Berdasarkan uraian diatas, peneliti dapat menemukan hipotesis sebagai berikut : H1 : Ada pengaruh perceived quality dan switching barrier secara simultan terhadap repeat purchase pada pelanggan tahu merek “W” Jombang di pasar Balong Sari H2
:
Ada pengaruh perceived quality dan switching barrier secara parsial terhadap repeat purchase pada pelanggan tahu merek “W” Jombang di pasar Balong Sari