BAB II REWARD DAN PUNISHMENT DALAM PENDIDIKAN AKHLAK
A. Reward dan Punishment dalam Pendidikan Islam 1. Pengertian Reward dan Punishment Secara etimologi reward berasal dari bahasa Inggris, kata ini diambil dari istilah psikologi yang diembriokan oleh Thorndike.1 Dalam memenuhi
kebutuhan
anak,
orang
tua
memiliki
kemampuan
“menghadiahi” anak. Ahli psikologi menggunakan istilah “hadiah” atau “ganjaran” untuk segala sesuatu yang dimiliki oleh orang tua yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak (memperoleh hadiah daripadanya). Sebaliknya orang tua pun memiliki cara untuk membuat perasaan anaknya sakit ataupun tidak senang, baik dengan tidak memberi si anak apa yang dibutuhkan, ataupun melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan rasa sakit atau tidak senang. Ahli psikologi menggunakan istilah hukuman sebagai lawan dari hadiah atau ganjaran. Setiap orang tahu dari pengalaman sendiri bahwa manusia (dan binatang) cenderung untuk mengulangi tingkah laku yang dapat menghasilkan hadiah dan menjauhi dan menjauhi tingkah laku yang tak menghasilkan hadiah bahkan mendatangkan hukuman. Dengan demikian orang tua dapat memperkuat suatu tingkah laku tertentu dari anak dengan memberikan hadiah, dan menghilangkan tingkah laku lain dengan pemberian hukuman.2 Reward adalah sesuatu yang diberikan atau dilakukan dalam hasil penerimaan yang baik, ini bisa kembali kepada sesuatu yang abstrak ataupun kongkrit. Reward dapat berupa situasi, atau daftar verbal yang
1
Sumardi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), hlm.
248-249.
2 Thomas Gordon, Menjadi Orang Tua Efektif Petunjuk Terbaru Mendidik Anak yang Bertanggung Jawab, terj. Farida Lestira Subardja, et. al., (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm. 141.
20
21
menghasilkan kepuasan atau meningkatkan kemungkinan mempelajari tindakan.3 Dari sini, dapatlah dikatakan bahwa ada sinyalemen reward tidak selamanya berupa materi. Sebagaimana pemahaman umum, reward identik dengan hadiah yang dijumpai hanyalah berupa benda atau barang yang diberikan dengan tujuan tertentu. Agaknya hadiah semacam kado, parsel, dan bingkisan semacamnya, atau mungkin berupa barang-barang berharga lainnya. Elizabeth B. Hurlock memposisikan reward sebagai salah satu pilar dari disiplin, menurutnya reward berarti tiap bentuk penghargaan untuk suatu hasil yang baik, penghargaan tidak perlu berbentuk materi, tetapi berupa kata-kata pujian, senyuman atau tepukan di punggung.4 Pendapat ini diamini oleh Thomson, menurutnya penguatan positif, reward, dapat diberikan dengan dua model. Pertama pemberian hadiah kasih, berupa memuji, menepuk punggung, memeluk atau menyentuh dengan penuh kasih. Kedua pemberian hadiah materi, semisal pergi ke restoran untuk makan es krim, memberi permen atau coklat, menambah waktu untuk menonton teve, mengizinkan menonton acara khusus atau membawanya berpiknik.5 Menurut Durkheim, reward secara eksklusif berupa ucapan penghargaan dan pujian secara terbuka, sehingga ungkapan rasa hormat dan kepercayaan bagi seseorang yang telah berbuat sesuatu yang baik secara istimewa sekali. Namun, Durkheim mengingatkan bahwa sangat 3
Webster Noah, Dictionary of English Language, (New York: Portland, 1989), hlm. 1228. Pada umumnya, ahli psikologi memilih istilah reinforcement, karena reward mengandung kesan mentalistik dan dihubungkan dengan kepuasan dalam batin, keadaan yang tidak dapat dikontrol. Sebagian ahli psikologi ketika menunjukkan pada anak-anak terutama dalam situasi pendidikan menggunakan istilah reward. Lihat H. M. Hafi Anshari, Kamus Psikologi, (Surabaya: Usaha Nasional, 1996), hlm. 582. 4 Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan anak, terj. Med. Meitasari Tjandrasa, (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm. 90. Abdurrahman Mas’ud lebih senang menggunakan kata prestasi, yang harus diberikan penghargaan dalam arti luas dan fleksibel tanpa terfokus pada materi. Lihat Abdurrahman Mas’ud, Reward dan Punishment dalam Pendidikan Islam, Media, Edisi 28/th. VI /Nov. /1997, hlm. 23. 5 Mary Go Setiawani, Menembus Dunia Anak, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), Cet. 1, hlm. 57.
22
kecil peran yang ada dalam reward terhadap kesadaran moral, karena reward adalah instrumen budaya intelektual bukan budaya moral. Di samping itu ketika anak sering mendapatkan reward (khususnya dalam lingkungan sekolah) kemudian ia hidup dalam suatu lingkungan masyarakat yang tidak mengenal mengganjar perilaku yang terpuji secepat dan secermat masa sekolah. Maka akibat yang ditimbulkan ia harus berusaha membangun bagian hidup moralnya sendiri dan mengalami adanya ketidak pedulian yang tidak dipelajarinya di sekolah dulu.6 Hal ini bukan berarti tidak ada nilai manfaat sekalipun yang dibawa oleh reward, cuma seringkali si penerima menghitung-hitung dan menumpuknumpuknya secara membabi buta, sehingga sekilas reward identik dengan suap. Jika reward lebih terkait dengan budaya intelektual yang lebih menekankan ilmu pengetahuan, berarti masih terkait dengan moral itu sendiri. Karena ilmu pengetahuan harus menyesuaikan diri dengan tatanan kemanusiaan, tidak menyalahinya. Dengan kata lain reward memiliki andil dalam pembentukkan moral itu sendiri. Reward yang benar akan kebajikan ditemukan dalam ketentraman batin, rasa penghargaan dan simpati yang dibawanya kepada si penerima, dana dalam kesenangan yang ditimbulkannya. Akan tetapi, cukup banyak alasan untuk percaya bahwa prestise dalam kehidupan sekolah mungkin terlalu berkaitan secara eksklusif pada manfaaat intelektual dan bagian yang lebih besar sesungguhnya harus disediakan bagi nilai moral. Oleh karena itu, tidak perlu untuk menambah tes dan kertas baru pada apa yang telah ada, atau menambah berbagai hadiah baru dalam daftar penghargaan. Cukuplah bagi pendidik untuk lebih banyak perhatian pada sifat-sifat yang telah ada sekarang ini, sesuatu yang sering dianggap sebagai suatu hal yang sekunder. Kasih sayang dan persahabatan yang ditunjukkan kepada siswa yang kerja keras, tetapi upaya-upayanya tidak membawa keberhasilan yang sama seperti teman-teman lainya yang lebih beruntung, 6
Emile Durkheim, Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi pendidikan, terj. Lukas Ginting, (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm. 148.
23
dengan sendirinya akan merupakan ganjaran yang terbaik dan akan memulihkan suatu keseimbangan.7 Dengan demikian pada dasarnya reward digunakan dalam arti luas dan fleksibel, tidak terbatas pada sesuatu pemberian yang bersifat materi semata, akan tetapi inti darinya menimbulkan efek rasa senang, kepuasan batin, dan simpatik atas apa yang telah diperbuat. Sehingga timbul karenanya sesuatu yang bersifat positif, reward jauh dari nilai suap. Di sisi lain punishment dipahami sebagai suatu gambaran dari tindakan menghukum terhadap suatu kesalahan,8 yang menurut Hanafi Anshari mengkategorikan ke dalam tiga batasan. Pertama perubahan rasa sakit atau tidak suka terhadap subjek karena kegagalan perbuatan untuk menyesuaikan diri terhadap batasan dalam eksperimen, kedua suatu rangsangan dengan valensi negatif atau rangsangan yang sanggup untuk mengubah rasa sakit atau ketidak senangan, dan ketiga gangguan terhadap periode pengurangan pada orang yang resmi bersalah, lawannya reward.9 Setidaknya ada tiga hal yang dapat diambil dari tiga batasan punishment yang dikemukakan oleh Hanafi, pertama adanya rasa sakit atau tidak suka terhadap pelaku pelanggar, kedua valensi negatif, dan ketiga punishment dijatuhkan kepada si bersalah. Lebih jelasnya Elizabeth mensejajarkan punishment dengan konsep disiplin, di samping punishment juga merupakan salah satu pilar dari disiplin sendiri. Menurut konsep ini, disiplin digunakan hanya bila terjadi suatu
pelanggaran
peraturan
dan
perintah.10
Karena
punishment
pengaruhnya lebih bersifat tegas dan ada unsur pencegahan terhadap perilaku yang melanggar. Durkheim berpendapat setiap punishment identik dengan resiko kesusahan yang harus bisa diperhitungkan oleh si pelanggar, sehingga ia
7
Ibid., hlm. 149. Webster Noah, op. cit., hlm. 1165. 9 H.M. Hanafi Anshari, op. cit., hlm. 537. 10 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., hlm. 82. 8
24
dapat dapat mengelakkan kesukaran tersebut dengan mempertimbangkan masih banyaknya kombinasi lingkungan.11 Dengan adanya kemampuan memperhitungkan setiap resiko yang akan dihadapi jika melakukan perbuatan yang melanggar, seseorang dapat memilih perbuatan lain yang lebih baik dan tidak melanggar. Sehingga hal ini menimbulkan kesadaran dalam diri atas bantuan dari resiko yang ditimbulkan oleh punishment. 2. Bentuk-bentuk Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ada kecenderungan reward selalu berkonotasi pada suatu pemberian yang bersifat materi, padahal sebenarnya reward bisa berarti luas dan fleksibel. Apapun bentuk penghargaan yang digunakan harus sesuai dengan perkembangan anak. Bila tidak, akan kehilangan efektivitasnya. Contoh sederhana, sebelum anak mengerti kata-kata, pujian hanya memiliki sedikit arti, kecuali bila disertai senyuman, pelukan atau bentuk komunikasi non-verbal lainnya. Sebaliknya bila bentuk komunikasi non-verbal ini digunakan bagi anak yang lebih besar, bentuk ini kurang efektiv dibandingkan kata-kata pujian. Hadiah kadang-kadang diberikan sebagai penghargaan untuk suatu perilaku yang baik. Suatu hadiah dapat merupakan suatu tanda kasih sayang, penghargaan atas kemampuan dan prestasi seorang anak, bentuk dorongan atau tanda kepercayaan. Apapun situasinya hadiah menambah rasa harga diri anak, atau mungkin suatu perlakuan istimewa, semisal izin menonton dan yang lainnya. Intinya bernilai sebagai sumber motivasi untuk melanjutkan perilaku yang baik lebih besar.12 Dengan mengaitkannya kepada perkembangan anak dan tentu saja kondisi sekiranya bentuk reward apa yang harus diberikan, kiranya kesulitan untuk membatasi apa saja bentuk dari reward. Akan tetapi, reward sebagai penghargaan terhadap pembenaran atas perilaku yang telah dilakukan untuk memotivasi agar terjadi penguatan dan pengulangan yang 11 12
Emile Durkheim, op. cit., hlm. 117. Ibid., hlm. 90-91.
25
lebih besar dapat dijadikan batasan untuk mendasari bentuk reward itu sendiri. Dengan kata lain, bentuk reward meliputi segala sesuatu yang bersifat positif dan dapat menimbulkan kesan baik terhadap perilaku yang telah dilakukan. Secara umum reward dapat berupa materi dan nonmateri. Adapun mengenai perincian dari dua bentuk ini banyak sekali jumlahnya, asalkan itu mengandung muatan penguatan positif terhadap perilaku anak didik. Mengenai bentuk punishment, yang sering tergambarkan sebagai bentuk perlakuan fisik, dahulu hukuman oleh kebanyakan orang diartikan sebagai hukuman badan,13 yaitu menimbulkan rasa sakit dengan menempeleng, memukul, dan memecut. Anggapan ini sebagai satusatunya cara yang efektif untuk mencegah terulangnya perilaku anak yang salah. Keyakinan ini diperkuat oleh pepatah lama, “simpanlah tongkat dan anak menjadi rusak”. Bahkan banyak orang tua dan guru merasa bahwa hukuman badan merupakan tugas dan tanggung jawab, terlihat dari kenyataan bahwa sebelum memberi hukuman mereka sering berkata pada anaknya, “ini lebih menyakitkan saya daripada menyakitkan kamu”. Meskipun demikian, mereka yakin bahwa tiap bentuk lain hukuman tidak bermanfaat dan menjadi tanda bahwa mereka yang berkuasa terlalu “lunak” dan “lemah” untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka.14
13
Hukuman badan muncul pada awal peradaban, kemudian jika tidak ada sebab lain yang mempengaruhinya, orang akan mengira bahwa penerapan hukuman badan akan kehilangan dasarnya, bila ia menjadi hal yang biasa. Karena apabila kesadaran moral suatu bangsa menjadi semakin halus, apabila tingkah laku menjadi semakin lemah lembut, maka kekerasan seperti itu akan menjadi menjijikan. Tetapi sistem represif ini bukannya menurun, melainkan makin meluas selama berabad-abad justru tingkat peradaban manusia semakin meninggi, namun dengan bentuk yang lebih umum. Ibid., hlm. 137 14 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., hlm. 87. Hukuman dapat dilaksanakan secara verbal dan non verbal (pukulan, cubitan, pelototan) dan dilaksanakan segera sesudah tingkah laku yang tidak diharapkan dihentikan. Adapun yang bersifat verbal dapat berupa sindiran atau ancaman, dan tentu yang biasa orang lakukan marah yang bersifat verbal juga merupakan salah satu bentuk hukuman tetapi sifatnya tidak mendidik. Karena disertai emosi dua belah pihak dan cenderung subjektif. Akibat langsung yang muncul adalah terhenti dan terputusnya komunikasi karena saling mengikuti alur perasaan masing-masing. Jangankan pukulan, marah yang bersifat verbal pun berefek tidak baik untuk digunakan. Nur’aeni, Intervensi Dini Bagi Anak Bermasalah, Cet. 1, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 138.
26
Kesimpulan ini diambil dari sampel negara Amerika, akan tetapi zaman terus merangkak seiring dengan pemikiran manusia yang tidak jalan ditempat. Hukuman berubah bentuk menjadi lebih permisif dan lunak akan tetapi populer, semisal mengisolasi anak dari lingkungan sosial bila mereka berperilaku buruk, melarang anak menikmati kesenangan tertentu, manakut-nakuti, mempermalukan, mengancam, membandingkan dengan yang lain, mengomel, dan berulang-ulang mengungkit pelanggaran yang telah dilakukan.15 Hukuman fisik hanya bisa dibenarkan kalau si anak masih dianggap sama dengan hewan kecil. Kalau begitu, masalahnya bukan soal pendidikan, melainkan pelatihan. Pendek kata, cara menghukum seperti itu harus dilarang. Dalam keluarga, akibat-akibat buruk masih mudah diperhalus dan dinetralisasi dalam hubungan kelembutan dan cinta yang tidak henti-hentinya antara orang tua dan anak-anaknya, dan dengan keakraban hidup yang bisa mengurangi arti kekerasan semacam itu. Demikian juga di sekolah, tidak ada apapun yang dapat memperlunak kekerasan tersebut, hukuman dikenakan secara impersonal. Bagaimana pun juga menyakiti secara fisik, yang secara moral jelas sangat menjijikan, tidak mempunyai suatu cara apapun untuk memperluasnya, inilah sebabnya mengapa hal itu harus dihindarkan sama sekali.16 Hukuman fisik berupa pukulan, diasingkan, dan didamprat sebaiknya merupakan cara terakhir setelah cara lain tidak berdampak terhadap kelakuan anak. Ada empat alasan mengapa hukuman fisik tidak dapat diterima. Pertama, secara tidak sadar memberi pukulan mengajar anak untuk memukul. Kedua, bila orang tua kehabisan akal lalu dengan emosi dan kekerasan pukulan diberikan. Ketiga, dari hasil penyelidikan terhadap seekor tikus yang tidak tersesat lalu diberikan makanan hasilnya akan lebih baik dibandingkan bila tersesat lalu diberi aliran listrik. Keempat memukul dapat melukai harga diri anak, mengurangi 15 16
Ibid., hlm. 88… Emile Durkheim, op. cit., hlm. 132.
27
kepercayaannya
terhadap
pendidik,
bahkan
menghindari
dan
17
membencinya.
Di samping itu, punishment yang bersifat fisik pada umumnya tidak membawa dampak positif, sebaliknya membawa kesan yang negatif terhadap si terhukum. Seringkali ketakutan dan kadang rasa ingin berontak menjadi sebab yang ditinggalkannya. Adapun inti dari punishment akan lebih baik jika apapun bentuknya (kecuali hukuman fisik sebagai cara terakhir) itu menimbulkan sense of guilty dengan mengembangkannya dan menggunakan cara-cara edukatif.18 Dengan demikian secara umum punishment bisa berbentuk fisik ataupun nonfisik. Adapun jenis-jenis bentuk lain yang merupakan penjabaran dari kedua jenis punishment ini sangatlah beragam. Hal ini menuntut daya kreativitas pendidik dalam rangka mewujudkan bentuk punishment yang efektif dalam rangka mendisiplikan perilaku anak. 3. Dasar dan Fungsi Reward dan Punishment Di zaman dahulu orang menjatuhkan hukuman adalah sebagai melepaskan dendam kepada si bersalah, sebab itu maka di abad-abad pertengahan terdapatlah alat-alat penghukum yang amat mengerikan semisal dicungkil, lidah dekerat, kedua kaki dipatahkan, kedua telapak tangan dipaku, atau dimasukkan seseorang ke dalam tong bulat yang telah diranjau besi paku beratus-ratus kedalamannya lalu digulingkan di jalan raya supaya mati.19 Demikian mengerikannya alat penghukum yang diberikan bagi seseorang yang melanggar, tentunya ini akan menimbulkan kerusakan, keluar dari inti dasar menjatuhkan hukuman yaitu memperbaiki perilaku yang melanggar itu sendiri. Merujuk pendapat Ahmad Ali Budaiwi, ada beberapa prinsip imbalan dan hukuman yang harus diperhatikan, diantaranya: 17
Mary Go Setiawani, op. cit., hlm. 60-61. Lihat Abdurrahman Mas’ud, op. cit., hlm. 30. 19 HAMKA, Lembaga Budi, Cet. VII, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), hlm. 103. 18
28
a. Imbalan berfungsi sebagai pengarah dan peneguh respons positif dan perilaku yang benar. Sedangkan hukuman atau sanksi adalah untuk melemahkan atau menghilangkan respons atau perilaku tertentu anak yang dipandang menyimpang. b. Imbalan dan hukuman bukanlah tujuan, keduanya adalah sarana untuk mengukuhkan dan menghilangkan perilaku tertentu. c. Imbalan dan hukuman harus dilaksanakan secara imbang dan proposional. d. Imbalan diberikan secara situasional, sewaktu-waktu agar tidak berubah menjadi pelicin atau suap. e. Pemberian sanksi dan imbalan harus sudah melalui kejelasan masalah sehingga sudah diperoleh suatu keyakinan yang mendalam. f. Diutamakan memberikan imbalan daripada menerapkan sanksi dan diutamakan menggunakan nonmateri agar anak tidak menjadi materialistis. g. Ketidaktepatan memberi imbalan dan hukuman dapat menimbulkan masalah pada diri anak.20 Prinsip-prinsip tersebut diterapkan sesuai dengan karakteristik anak, agar tidak salah dalam menerapkannya. Karena kalau salah, alih-alih mau mengembangkan kreativitas malah memupus potensi kreatifnya, serta menyisakan berbagai masalah psikologis dan sosial pada diri anak. Fungsi reward mempunyai peranan penting dalam mengajak anak berperilaku sesuai dengan cara yang disetujui masyarakat. Pertama mempunyai nilai didik, bila suatu tidakkan disetujui, anak merasa bahwa hal itu baik, reward mengisyaratkan pada mereka bahwa perilaku itu baik. Bila penghargaan bervariasi intensitasnya agar sesuai dengan usaha anak untuk berperilaku menurut standar yang disetujui secara sosial, nilai edukatif reward itu meningkat. Kedua berfungsi sebagai motivasi untuk mengulangi perilaku yang disetujui secara sosial, karena anak bereaksi
20
Wahyudin, Menuju Kreativitas, Cet. 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 22-23.
29
dengan positif terhadap persetujuan yang dinyatakan dengan penghargaan, di masa mendatang mereka berusaha untuk berperilaku dengan cara yang akan lebih banyak memberikannya penghargaan. Dan ketiga berfungsi untuk memperkuat perilaku yang disetujui secara sosial, dan tindakannya penghargaan melemahkan keinginan untuk mengulangi perilaku ini. Bila anak harus belajar berperilaku dengan cara yang disetujui secara sosial, ia harus merasa bahwa berbuat demikian cukup menguntungkan baginya. Karenanya penghargaan harus digunakan untuk membentuk asosiasi yang menyenangkan dengan perilaku yang diinginkan.21 Selain itu, reward akan menjadi dukungan bagi apa yang telah diperbuat anak, reward sebagai ekspresi kasih sayang menumbuhkan kepercayaan diri pada anak bahwa ia akan mampu melakukan (bertindak).22 Di sisi lain asumsi kebanyakan orang, punishment merupakan suatu cara sederhana untuk mencegah berbagai pelanggaran terhadap peraturan. Asosiasi mental membuktikan, penderitaan dan rasa takut terhadap penderitaan akan mencegah terulangnya tindakan-tindakan yang dilarang. Dengan kata lain, fungsi hukuman pada dasarnya bersifat preventif, yang sepenuhnya berasal dari rasa takut terhadap ancaman hukuman. Memang, tidak dapat disangkal lagi secara a priori pun, rasa takut terhadap hukuman dapat mempunyai pengaruh yang bermanfaat atas keinginan-keinginan tertentu. Namun hal ini bukan merupakan alasan satusatunya dan terpenting dari hukuman. Karena, jika punishment tidak mempunyai tujuan lain, maka fungsi-fungsi yang dijalankannya akan menjadi kurang berarti, dan orang dapat mempertanyakan apakah 21
Elizabeth B. Hurlock, op. cit., hlm. 90. Maurice J. Elias, et. al., Cara-cara Efektif Mengasah EQ Remaja: Mengasuh dengan Cinta, Canda, dan Disiplin, terj. Ari Nilandari, (Bandung: Khaifa’, 2003), hlm. 58. Anak membutuhkan dukungan moral dalam dua tipe keadaan, ketika mengalami sesuatu atau seseorang untuk pertama kalinya, dan ketika merasa lebih takut daripada yakin. Belajar mengenali dan peka serta berada di sisi anak dalam kedua keadaan ini, akan menimbulkan ingatan pada anak terhadap keberadaan dan dukungan orang tua sebagai contoh nyata kasih sayang. Lihat Jan Dargatz, Cara Sederhana menyatakan Kasih Sayang Pada Anak Anda, terj. Esther S. Mandjani, (Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1993), hlm. 92. 22
30
hukuman memang cukup bernilai dibandingkan dengan kerugian yang diakibatkannya. Kenyataannya, karena hukuman itu datang dari luar dan berdasarkan hal-hal yang eksternal, maka ia tidak menyentuh sumber kehidupan moral. Sampai derajat tertentu, hukuman memang secara mekanis dapat membuat anak menjauhi perilaku tertentu, tetapi bila dikaitkan dengan sebab-sebab mengapa anak melakukan perbuatan yang terlarang, hukuman tidak dapat menimbulkan suatu kecenderungan untuk berbuat sesuatu yang baik. Walaupun ancaman mungkin efektif, namun dengan sendirinya tidak bisa membuat suatu perbaikan. Dengan demikian, apabila hukuman tidak mempunyai fungsi lain kecuali mengekang impulsimpuls yang tidak dapat diterima melalui ancaman, maka orang akan menganggapnya hanya sebagai cara untuk menjamin kesopanan lahiriah dan dangkal.23 Punishment mempunyai peranan penting dalam perkembangan moral anak, pertama menghalangi pengulangan tindakan yang tidak diinginkan oleh masyarakat. Bila anak menyadari bahwa tindakan tertentu akan dihukum, mereka biasanya urung melakukan tindakan tersebut karena teringat akan hukuman yang dirasakannya di waktu lampau akibat tindakan tersebut. Nilai penghalangannya juga penting bagi anak kecil yang belum belajar tentang apa yang benar dan yang salah. Seandainya mereka sedang berbuat sesuatu yang membahayakan mereka, orang lain atau harta milik, pukulan pada tangan biasanya akan menghentikan perbuatan itu. Kedua mendidik, sebelum anak mengerti peraturan mereka dapat belajar bahwa tindakan tertentu benar dan yang lain salah dengan mendapat hukuman karena melakukan tindakan yang salah dan tidak menerima hukuman bila mereka melakukan tindakan yang diperbolehkan. Dengan meningkatnya usia, mereka belajar peraturan terutama lewat pengajaran verbal. Tetapi mereka juga belajar dari pengalaman bahwa mereka gagal mematuhi peraturan sudah barang tentu mereka akan dihukum, dan ini memperkuat pengajaran verbal. Aspek edukatif lain dari 23
Emile Durkheim, op. cit., hlm. 116.
31
hukuman yang sering kurang diperhatikan adalah mengajar anak membedakan besar kecilnya kesalahan yang diperbuat mereka. Kriteria yang diterapkan anak adalah frekuensi dan beratnya hukuman. Jika hukuman itu konsisten, mereka akan selalu dihukum untuk tindakan yang salah. Beratnya hukuman membuat mereka mampu membedakan kesalahan yang serius dari yang kurang serius.24 Namun, bukan berarti dengan mengajarkan demikian, anak akan tetap melakukan pelanggaran dengan mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukannya hanya menyentuh persoalan yang ringan, tidak terlalu serius. Tentunya masalah ini harus dicegah dengan tetap menanamkan bahwa sekecil apapun kesalahan, ia tetap kesalahan yang “haram” untuk dilakukan apalagi diulangi. Sakit yang ditemukan akibat hukuman membangun orang terhadap perasaannya dan meningkatkan kesadaran yang terbatas mengenai apa yang sebenarnya dan apa yang salah. Dengan cara ini, hukuman merupakan alat atau kemahiran untuk membangun rasa sakit dan dalam berbagai taraf hukuman itu memotivasi perubahan.25 Memberikan motivasi untuk menghindari perilaku yang tidak diterima masyarakat adalah fungsi hukuman yang ketiga. Pengetahuan tentang akibat-akibat tindakan yang salah perlu sebagai motivasi untuk menghindari kesalahan tersebut. Bila anak mampu mempertimbangkan tindakan alternatif dan akibatnya, mereka harus belajar memutuskan sendiri apakah suatu tindakan yang salah cukup menarik untuk dilakukan. Jika mereka memutuskan tidak, maka mereka akan mempunyai motivasi untuk menghindari tindakan tersebut.26 Suatu hukuman dianggap adil ketika setimpal dengan beratnya pelanggaran, maka tujuannya bukan semata-mata untuk melakukan intimidasi. Menurut kaum moralis, fungsi hukuman bukan terletak dalam 24
Elizabeth B. Hurlock, loc. cit. John Gray, Anak-anak Berasal dari Surga, terj. B. Dicky soetadi, (Jakarta: gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 112. 26 Elizabeth B. Hurlock, loc. cit. 25
32
cara bagaimana mencegah terulangnya pelanggaran, melainkan dalam cara bagaimana menghilangkannya. Di dalam hukuman harus mempunyai suatu nilai yang bisa mengimbangi tindakan yang terdapat dalam pelanggaran. Menurut M. Janet, hukuman tidak hanya sebagai ancaman untuk menjamin terlaksananya peraturan, tetapi sebagai penyilihan atas pelanggaran yang menempatkan akibat pelanggaran kembali pada tempatnya yang benar. Bila diartikan demikian, maka hukuman merupakan semacam “pelanggaran balasan”, counteroffense, yang mengimbangi pelanggaran dan mengembalikan segala sesuatu kepada keadaan semula. Hukuman pada hakikatnya menjadi suatu penyilihan, keseimbangan antara hukuman dan pelanggaran mudah dipahami, karena bila hukuman dimaksudkan untuk mengimbangi dan menghilangkan pelanggaran, maka ia harus ekuivalen dengan pelanggaran tersebut. Jika hukuman dimaksudkan untuk menetralisasi pelanggaran, maka akan meningkat bilaman kejahatan meningkat.27 Dengan demikian memperhatikan berat-ringannya hukuman sangat diperlukan agar hukuman itu sendiri mampu berfungsi sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penghukum. Maka ketika tidak ada kesetimpalan hukuman
terhadap
perbuatan
menyimpang,
akan
terjadi
kesan
menyepelekan, tidak berdampak, karena hukuman terlalu ringan, atau mungkin kekejaman karena hukuman terlalu berat. Tujuan dan fungsi yang diungkapkan di atas berkaitan internal dengan pelaku yang mendapatkan reward atau punishment. Sebenarnya secara eksternal, di luar pelaku, sebagian besar reward dan punishment mempunyai tujuan dan fungsi lain yang amat besar perannya. Fungsi hakiki dari hukuman bukan penyilihan melalui penderitaan atau untuk menakut-nakuti orang lain malalui ancaman hukuman tersebut, melainkan untuk tetap menegakan kesadaran.28 Bagi mereka diluar pelaku dapat
27 28
Emile Durkheim, op. cit., hlm. 118. Ibid., hlm. 120.
33
menjadikan sebagai cermin untuk tidak melakukan sesuatu yang salah atau melanggar dan mengikuti perilaku yang baik. Dari firman Allah cukuplah dijadikan sebuah bukti akan tujuan dari punisment, yaitu:
(١٧٩:ﺘﻘﹸﻮ ﹶﻥ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓﺗ ﻢ ﻌ ﱠﻠﻜﹸ ﺏ ﹶﻟ ِ ﺎﺎﺃﹸﻭﻟِﻲ ﺍﹾﻟﹶﺄﹾﻟﺒﺎﺓﹲ ﻳﺣﻴ ﺹ ِ ﺎﻢ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟ ِﻘﺼ ﻭﹶﻟﻜﹸ Berdasarkan teks ayat di atas, hukuman ditujukan untuk kelangsungan hidup, sebagai tindakan yang diambil ketika terjadi perbuatan jahat, pelanggaran. Dari ayat ini tidak mencerminkan akan objek pelaku saja, tetapi juga bagi mereka di luar pelaku. Penderitaan yang diakibatkan hukuman bukan unsur hakiki, hanya suatu indeks eksternal dari perasaan yang harus menyatakan diri terhadap pelanggaran. Perasaan itulah yang diekspresikan, bukan dengan mana ia diekspresikan.29
Dengan
demikian
dominasi
dari
perasaan
yang
mengekspresikan penderitaan dari hukuman bukan menjadi “opini konstan”, tidak menutup kemungkinan suatu hukuman diekspresikan dengan kesadaran bahwa perbuatan tersebut dilarang dan tidak pantas untuk dilakukan. Jika kesadaran itu terjadi secara kolektif, dalam arti bukan hanya si terhukum, tetapi juga dimiliki oleh orang-orang diluarnya, maka kehidupan yang dicita-citakan oleh ayat di atas amat jelas dan nyata. 4. Efektifitas Reward dan Punishment Kadang reward menyebabkan efek kurang baik, tatkala seorang anak bertindak baik kemudian mendapatkan pujian ia menjadi sombong, tentunya ini akan berputar 180 derajat dari fungsi reward yang diinginkan.30 Haruslah dilakukan cara-cara positif, sehingga tidak menimbulkan kesan atau respon yang negatif dari si anak. Pujian, dorongan atau kritikan yang seimbang sesuai dengan tindakan anak akan menimbulkan respon positif darinya. 29 30
Ibid., hlm. 121. Lihat Elizabeth B. Hurlock, op. cit., hlm. 91.
34
Reward berada eksternal sebagai sumber motivasi bersama punishment haruslah disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan anak. Kadang anak belum mampu melakukan penilaian yang lebih matang terhadap tindakan yang telah dilakukan.31 Non-verbal, seperti kecupan, pelukan, dan semisalnya akan lebih efektif diberikan ketika anak belum fasih atau perhatian mereka belum fokus kepada bahasa ucapan yang terkesan rumit dan membingungkan. Berbeda kasus ketika anak sudah terbiasa dan tidak asing dengan bahasa verbal, maka pujian dengan kadar dan intensitasnya yang tepat dan seimbang akan lebih mengena untuk diberikan. Sebaliknya ketika anak memasuki masa remaja, bentuk-bentuk reward seperti ini tidak akan berguna lebih banyak. Karena sudah mulai mengenal diri dan menganggap mampu untuk mandiri, perhatian yang berlebih hanya akan membuat mereka merasa terkekang, tidak bebas menentukan pilihan. Apapun perlakuan yang diperbuat orang tua terhadap anak, kesemuanya merupakan ekspresi perhatian orang tua terhadap anaknya. Jika bentuk perhatian ini berlebih, over protectif, maka anak akan merasa terkekang, tidak nyaman dalam berbuat. Sehingga akan menimbulkan kepercayaan diri berkurang pada diri anak. Tindakan benar semisal pada kasus anak pada jam sekolah belum juga pulang ke rumah, orang tua memasak makanan yang disukai oleh anak. Lalu menghubungi anak dengan menggunakan bahasa verbal semisal, “sayang, ibu masak sup kesukaanmu loh, cepat dicicipi nanti keburu dingin”. Dengan tidak menanyakan langsung keberadaan dan tidak langsung menyuruh untuk pulang, si anak akan merasa dihargai.32 Hasilnya akan berbeda ketika orang tua menggunakan kata langsung, seperti “kamu sedang di mana, kok belum pulang? inikan jam pulang sekolah, cepat pulang!” 31
Ibid., hlm. 88. Ini juga merupakan tindakan yang menyenangkan sekaligus kejutan, dan kejutan sendiri merupakan suatu cara dalam mendiskripsikan kasih sayang yang amat efektif. Lihat Jan Dargatz, op. cit., hlm. 95. 32
35
Kalau ditelusuri lebih lanjut, mendiktekan ancaman kepada anak terkesan seolah-olah merupakan anjuran bagi anak untuk mengulangi suatu perbutan yang dilarang. Hal ini disebabkan segala bentuk ancaman atau peringatan dirasakan sebagai suatu tantangan dan pukulan terhadap otonomi dan pribadi anak. Sehingga jika ia memiliki harga diri, ia akan terus melanggarnya bahwa ia bukan boneka yang segalanya diatur dan dipermainkan orang.33 Semisal dalam kasus sederhana, seorang kakak menembaki adiknya dengan pistol mainan. Kejadian ini disimak oleh Ibu yang sedang asyik nonton televisi, dengan peringatan dan ancaman kurang lebih seperti: “Jangan menembaki adikmu, nanti kena mata, kuhajar kau!” Ancaman ini berulang-ulang, jika si kakak memiliki harga diri sudah barang tentu ia tidak akan menghiraukan dan mengabaikannya. Karena ancaman hanya akan mengusik otonomi dan harga diri anak. Coba kalau Ibu selanjutnya mengambil tindakan dan mengambil pistol dan menanamkan pengertian bahwa perbuatan tersebut berbahaya dapat mencederai si adik. Tindakan ibu menjadi lebih efektif karena langsung menghentikan
kesalahan
serta
menghindari ancaman dan cacian.
si
anak
merasa
dihargai
dengan
34
Apabila seseorang disakiti, tentu dampak yang dirasakan adalah rasa sakit. Secara fisik rasa sakit terjadi hanya secara insidental, akan tetapi secara psikologis akan membekas dan menjelma menjadi trauma
33
Dewa Ketut Sukardi, Bimbingan Perkembangan Jiwa anak, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 9-10. 34 Olok-olok dalam bentuk apapun, menyebabkan si anak merasa tidak dihargai pula. Hukuman-hukuman, perintah-perintah, larangan-larangan dan janji-janji akan menghukum tanpa ada alasan yang masuk akal dan wajar, juga menyebabkan si anak merasa tidak berharga. Selanjutnya setiap tindakan orang tua yang selalu menunjukkan kekuasaan dan kebesaran, akan memberikan pengertian kepada si anak bahwa dia tidak dihargai. Lihat Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hlm. 93-94. Orang tua (juga guru) yang menggunakan sindiran yang tajam dan cemoohan pada anak didik, juga merupakan jalan yang paling cepat merusak hubungan baik dengan anak didik sendiri. Dengan sendirinya anak menghindari untuk disakiti lagi hatinya dengan bersikap defensif, segan, takut, menutup dirinya dengan tidak mendengarkan atau tidak mau bercakap-cakap dengan orang tua. Alih-alih maksud memperbaiki perilaku anak malah merusak mereka. Lihat Kartini Kartono, Peranan Keluarga Memandu Anak, (Jakarta: Rajawali, 1992), Ed. 1 Cet. 2, hlm. 58.
36
yang berkepanjangan, dan pada akhirnya menimbulkan perkembangan kurang baik pada anak.35 Di saat anak sedang mengalami pekembangan, belum memiliki jati diri, masih mencari identitas, seharusnya lebih banyak mendapatkan bimbingan, dorongan, dan perlindungan dari seseorang yang dianggap sebagai sosok ideal, didewasakan. Akan tetapi, jika yang diterimanya adalah sebaliknya, tentunya akan menimbulkan kekecewaan dan rasa ketidakpercayaan. Sehingga akibatnya anak mengambil jarak hubungan
emosional
tertentu
dan
memiliki
kecenderungan
menyembunyikan berbagai informasi yang seharusnya disampaikan. Akibatnya mereka terkesan berbuat tidak jujur dalam bertindak, karena kekecewaan dan rasa ketidakpercayaan tersebut. Oleh karena itu, dengan melihat indikasi tersebut, menimpakan hukuman fisik rasanya harus berpikir dua kali. Intensitas reward yang terlalu juga menyebabkan suatu anggapan bahwa kemampuan anak sekaligus menyangsikan sifat-sifat baik yang dimilikinya. Bila kemampuan seseorang bertindak hanya demi hadiah, maka ada sesuatu yang kurang padanya. Tindakan yang didasari untuk mendapatkan apa yang diinginkan dan lupa akan hasrat yang ada di baliknya untuk berjasa. Akhirnya tidak ada kepedulian untuk berbuat dengan sungguh-sungguh, hanya sekedar melakukan apa yang menjadi persyaratan mendapatkan hadiah, jelas sekali ini tidak sehat.36 Hadiah tidak lebih hanya sebagai pelicin atau suap, bukan sebagai motivasi dari tujuan sebenarnya yaitu perbuatan baik itu sendiri dalam rangka memoralkan perilaku. Di sisi lain, hal ini juga akan menimbulkan ketergantungan dalam bertindak, seseorang hanya akan bertindak dengan benar jika ada reward di baliknya. Memanjakan anak dengan reward yang berlimpah hanya akan memupuk rasa manja dan ketidakpercayaan akan kemampuannya,
35 Monty P. Satia Darma, Persepsi orang Tua Membentuk Perilaku Anak: Dampak Pygmalion di dalam Keluarga, (Jakarta: Purtaka Populer Obor, 2001), hlm. 74. 36 Ibid., hlm. 12. Lihat juga John Gray, op. cit., hlm. 140.
37
sehingga anak menjadi lebih depensif menunggu apa yang akan didapatkanya. Begitu pula, jika anak sejak kecil sudah dibiasakan hidup dengan dorongan kekerasan dan ancaman, ini dikarenakan ada aggapan orang tua untuk memulihkan kewibawaan, padahal tanpa disadari pola pikir ini adalah memaksakan kehendak dan menunjukkan superioritas,37 akan menimbulkan efek negatif pada kepribadiaannya.38 Anak akan tumbuh dan berkembang menjadi individu yang lemah dan gampang menyerah pada nasib dan tidak memiliki inisiatif. Dampak lain, imitasi sebagai sumber utama pembelajaran pada anak, akan mendapatkan pembenaran untuk menirunya setelah dewasa. Oleh karena itu, faktor bijak dalam intensitas dan variasi pemberian reward dan punishment harus diperhatikan agar tidak salah kaprah, mengena, dan memiliki nilai positif terhadap respon anak. Akan lebih baik lagi penggunaan komunikasi yang lancar menjadi jembatan hubungan harmonis dan juga merupakan aspek yang penting di dalam proses pendidikan moral anak.39 Agar ada kejelasan antara keinginan dan hal-hal yang berhubungan dengan anak dan orang tua sendiri. Orang tua merindukan anak memiliki nilai-nilai moral yang tinggi, di lain pihak anak memiliki keinginan dan kebutuhan semisal rasa kasih ingin dihargai dan kasih sayang. Pengembangan kasih sayang dengan bijak sebagai kunci utama dan pertama dalam menangani, melayani, dan memenuhi kebutuhan anak.40 37
Padahal menghukum adalah mengajarkan nialai-nilai dan kecakapan yang diperlukan anak agar berhasil dalam menjalani hidup. Lihat Maurice J. Elias, et. al., op. cit., hlm. 70. 38 Lebih lanjut lihat Dewa Ketut Sukardi, op. cit., hlm. 91-93 dan Monty P. Satiadarma, op. cit., hlm. 76-77. 39 Jahotner F. Manullang, (ed.), Komunikasi Keluaarga: Kunci Kebahagiaan Anda, (Jakarta: Indonesia Publishing House Ofset, 1999), hlm. 200. Lihat juga Monty P. Satiadarma, op. cit., hlm. 95. 40 Nur’aeni, op. cit., hlm. 135. Kalau dengan lebih teliti rasa kasih sayang merupakan kebutuhan psikis yang paling mendasar dalam hidup dan kehidupan manusia. Apabila anak pernah atau kurang meraba-rasakan kasih sayang orang tuanya maka tidak bisa dipungkiri akan menimbulkan penderitaan batin. Bisa jadi mengakibatkan kesehatan badan menjadi terganggu, kecerdasan berkurang, kelakuan mengarah keras kepala, dan nakal. Pertumbuhan jiwa, akal, dan akhlaknya tumbuh secara tidak sehat serta banyak terjadi penyimpangan yang merupakan
38
Hakikat dari pembinaan anak sesungguhnya bersandar kepada hati nurani orang tua. Kegelisahan, kemurungan hati orang tua dengan satu dan lain cara, akan dilampiaskan kepada anak keturunannya. Anak yang dibesarkan dalam suasana serba konflik jauh dari kasih sayang, akan terjadi suatu kecenderungan anak mengalami keresahan jiwa dengan tindakan-tindakan yang negatif. 5. Reward dan Punishment dalam Pendidikan Islam Reward dan punishment, dua istilah yang tidak asing lagi dalam dunia pendidikan. Bagi umat Islam, kedua istilah tersebut sering dijumpai dalam kitab suci al-Qur’an yang berbahasa Arab. Seperti kata ajr atau tsawab dan iqab atau azab, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris kurang lebih bersinonim dengan arti reward dan punishment.41 Reward biasanya diberikan terhadap seorang yang telah melakukan kebaikan,
atau
berbuat
sesuai
dengan
apa
yang
diperintahkan.
Sebagaimana dalam surat Hud ayat 11, yang berbunyi sebagai berikut:
ﺟﺮ ﻭﹶﺃ ﺮﺓﹲ ﻐ ِﻔ ﻣ ﻢ ﻬ ﻚ ﹶﻟ ﺕ ﺃﹸﻭﹶﻟِﺌ ِ ﺎﺎِﻟﺤﻋ ِﻤﻠﹸﻮﺍ ﺍﻟﺼ ﻭ ﻭﺍﺒﺮﺻ ﻦ ِﺇﻟﱠﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ (١١ :)ﻫﻮﺪﹶﻛِﺒﲑ
kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu memperroleh ampunan dan pahala yang besar. (Hud: 11) Perbuatan dan berbuat baik (beramal saleh) sesuai dengan ketentuan merupakan pengecualian dari dua jenis manusia yang telah disebutkan di dalam dua ayat sebelumnya, yaitu kufur terhadap nikmat Allah dan putus asa atas rahmat-Nya. Akan memperoleh ampunan terhadap yang terkait dengan manusia berupa dosa dan kekurangan permulaan timbulnya sikap yang tidak wajar, penyimpangan psikologis dan tumbuhnya watak kriminal dalam diri anak. Sikap kasih sayang adalah dasar dari segala perlakuan dalam menghadapi anak dan poros bagi adanya interaksi antara kebutuhan kasih sayang dan tuntutan lainnya. Dewa Ketut Sukardi, op. cit.,hlm. 63. Lihat juga Muhammad Ali Quthb, Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam, Alih Bahasa oleh Bahrun Abu Bakar Ihsan, (Bandung: CV. Dipenogoro, 1993), hlm. 67. 41 Abdurrahman mas’ud, loc. cit.
39
(taqshir), serta mendapatkan pahala yang besar di akhirat. Sesungguhnya manusia beriman yang berbuat baik, selalu dikenai kesusahan dan musibah, seperti sempitnya hati yang kadang menyebabkan kehilangan kesempurnaan kerelaan atau bisa jadi menyebabkan perbuatan tercela. Dalam hal ini menyepelekan bersyukur atas nikmat semuanya akan diampuni karena kesabaran dan perbuatan syukurnya.42
.ﻣﻘِﻴﻢ ﻧﻌِﻴﻢ ﺎﻢ ﻓِﻴﻬ ﻬ ﺕ ﹶﻟ ٍ ﺎﺟﻨ ﻭ ﺍ ٍﻥﺿﻮ ﻭ ِﺭ ﻨﻪ ﻤ ٍﺔ ِﻣ ﺣ ﺮ ﻢ ِﺑ ﻬ ﺑﺭ ﻢ ﻫﺸﺮ ﺒﻳ (٢١-٢٢ : )ﺍﻟﺘﻮﺑﺔﻋﻈِﻴﻢ ﺟﺮ ﹶﺃﺪﻩ ﻨ ﻪ ِﻋ ﺍ ِﺇ ﱠﻥ ﺍﻟ ﱠﻠﺑﺪﺎ ﹶﺃﻦ ﻓِﻴﻬ ﺎِﻟﺪِﻳﺧ
Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari padaNya, keridhaan dan surga, mereka memperoleh didalamnya kesenangan yang kekal, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (al-Taubah: 21-22). Dalam perspektif ayat di atas, reward yang Allah sediakan bagi orang yang berbuat baik amatlah besar berupa kasih sayang dan keridhaan, serta kenikmatan-kenikmatan real yang ada di surga. Dan yang termasuk kategori berbuat baik, sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya, yaitu beriman lalu membuktikan keimanannya dengan berhijrah untuk berjihad di jalan Allah baik dengan harta benda maupun diri mereka sendiri.43 Sedangkan mengenai punishment, dijatuhkan ketika ada perbuatan yang tidak sesuai, menyimpang dari aturan, atau berpaling dari suatu perintah untuk berbuat baik. Sebagaimana dalam surat al-Fath ayat 16, yang berbunyi:
ﻢ ﻧﻬﻘﹶﺎِﺗﻠﹸﻮﺷﺪِﻳ ٍﺪ ﺗ ﺱ ٍ ﺑ ﹾﺄ ﻮ ٍﻡ ﺃﹸﻭﻟِﻲ ﻮ ﹶﻥ ِﺇﻟﹶﻰ ﹶﻗ ﻋ ﺪ ﺳﺘ ﺏ ِ ﺍﻋﺮ ﻦ ﺍﹾﻟﹶﺄ ﲔ ِﻣ ﺨ ﱠﻠ ِﻔ ﹸﻗ ﹾﻞ ِﻟ ﹾﻠﻤ ﻢ ﺘﻴ ﻮﱠﻟ ﺗ ﺎﺍ ﹶﻛﻤﻮﱠﻟﻮ ﺘﺗ ﻭِﺇ ﹾﻥ ﺎﺴﻨ ﺣ ﺍﺟﺮ ﻪ ﹶﺃ ﺍﻟ ﱠﻠﺆِﺗﻜﹸﻢ ﻮﺍ ﻳﺗﻄِﻴﻌ ﻮ ﹶﻥ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥﺴ ِﻠﻤ ﻳ ﻭ ﹶﺃ (١٦ :ﺎ)ﺍﻠﻔﺘﺢﺎ ﹶﺃﻟِﻴﻤﻋﺬﹶﺍﺑ ﻢ ﺑ ﹸﻜﻌ ﱢﺬ ﻳ ﺒﻞﹸ ﻦ ﹶﻗ ِﻣ
42 43
hlm. 78.
M. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid 12, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t. th.), hlm. 28. Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz 10, (Beirut: Dar Fikr, t. th.),
40
“Katakanlah kepada orang-orang Badwi yang tertinggal: "Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam). Maka jika kamu patuhi (ajakan itu) niscaya Allah akan memberikan kepadamu pahala yang baik dan jika kamu berpaling sebagaimana kamu telah berpaling sebelumnya, niscaya Dia akan meng-azab kamu dengan azab yang pedih". (al-Fath: 16) Dari beberapa ayat di atas, reward dan punishment diberikan berdasarkan pembalasan atas perbuatan yang telah dilakukan. Dengan demikian keduanya berfungsi sebagai motivasi, ketika keimanan umat belum mencapai titik kemapanan banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan mengenai imbalan atau balasan terhadap perbuatan yang telah dilakukan oleh mereka. Sehingga mereka tergerak untuk melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan tercela. Ini juga menjadi bukti bahwa al-Qur’an sangat menghargai perbuatan manusia, di sisi lain sangat mengecam perbuatan yang tidak sesuai dan menyalahi dengan apa yang diperintahkan. Reward dan punishment muncul manakala adanya indikasi yang pantas untuk memberikannya. Ketika ada kesesuaian antara perbuatan dengan ketetapan yang telah diperintahkan, maka saatnya reward diberikan. Sedangkan ketika penyimpangan terjadi, maka punishment dijatuhkan sebagai suatu usaha untuk membenahinya. Reward dan punishment dalam pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dari konsep tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Manusia yang bertakwa selalu menjadi salah satu kunci dalam rumusan tujuan pendidikan Islam. Karena pada dasarnya pendidikan adalah proses menuju kesempurnaan individu, maka memasukkan kata kamil sesungguhnya juga tidak kalah penting. Muhammad saw. sebagai insan al-kamil dan sekaligus sebagai model paripurna telah disepakati dalam dunia Islam. Dengan demikian sikap-sikap Nabi, dan cara-cara beliau dalam mendidik umat Islam merupakan rujukan penting setelah al-Qur’an. Muhammad saw. adalah insan al-kamil, sekaligus guru terbaik, Beliau tidak hanya mengajar, mendidik, tapi juga menunjukkan jalan. Kehidupannya
41
demikian memikat dan memberikan inspirasi kepada manusia untuk mentransfer nilai-nilai luhur darinya hingga menjadi manusia-manusia baru.44 Maka untuk melandasi metode reward dan punishment dalam pendidikan Islam, prinsip-prinsip yang telah diilustrasikan semasa hidupnya menjadi rujukan yang harus dikedepankan. Adapun prinsipprinsip tersebut diantaranya: a. kesabaran, keuletan, serta ketegarannya dalam menegakan ajaran Islam b. pemaaf, tanpa dendam dan dengki pada orang lain yang berbuat kesalahan padanya c. mencintai dan menyayangi sesama mukmin.45 Dengan prinsip-prinsip di atas, maka dalam pendidikan Islam tidak mengenal adanya hukuman fisik. Karena cara-cara kekerasan sendiri memang dilarang oleh Islam, ini tercermin dari kedatangan Islam sendiri sebagai agama yang rahmah li al-‘alamin, kedamaian dunia. Al-Qur’an mempertegas bagaimana posisi, kedudukan, serta tugas Nabi di hadapan umatnya.
ﺎ ِﺇﻟﹶﻰ ﺍﻟ ﱠﻠ ِﻪ ِﺑِﺈ ﹾﺫِﻧ ِﻪﺍ ِﻋﻴﻭﺩ ﺍﻧﺬِﻳﺮﻭ ﺍﺸﺮ ﺒﻣ ﻭ ﺍﺎ ِﻫﺪﻙ ﺷ ﺎﺳ ﹾﻠﻨ ﺭ ﺎ ﹶﺃﻲ ِﺇﻧ ﻨِﺒﺎ ﺍﻟﻳﻬﺎﹶﺃﻳ (٤٦-٤٥:ﺍ )ﺍﻷﺣﺰﺍﺏﻣِﻨﲑ ﺎﺍﺟﻭ ِﺳﺮ
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi”. (al-Ahzab: 45-46) Allah
mengutus
Muhammad
sebagai
basyir,
pembawa
kegembiraan dengan surga, jika mentaati dan mengamalkan apa yang dibawa dari Tuhannya. Sekaligus sebagai nadzir, pemberi peringatan, dengan neraka yang akan dimasukan dan disiksa di dalamnya apabila mendustakan dan menyalahi apa yang diperintahkan dan dilarang-Nya. 44 45
Abdurrahman Mas’ud, op. cit., hlm. 28. Ibid. Juz. 12, hlm. 18.
42
Selain itu, juga sebagai da’i dan munir, pengajak kepada pengakuan akan ke-Esa-an Tuhan, sifat-sifat kesempurnaan, beribadah kepada-Nya, dan memberikan penerangan dalam kezaliman, kebodohan, dan kesewenangwenangan.46 Dengan prinsip-prinsip di atas, bisa diinterpretasikan bahwa meskipun kehadiran Nabi adalah sebagai nadzir, warner, tapi kehadiran Nabi sebagai basyir dalam proses pendidikan Islam tampak lebih dominan dan signifikan. Sebagai basyir yakni tokoh yang membawa berita gembira dan keselamatan lahir batin, Nabi tidak menawarkan reward dalam bentuk materi, melainkan merangsang kecerdasan para murid, memperluas budi pekerti, serta mempertajam spiritual keagamaan mereka. Implikasinya, seorang guru harus bertindak sebagai promotor of learning di dalam dan di luar kelas dan harus mampu berinteraksi dengan siswa secara antusias dan penuh kasih sayang. Dengan prinsip ini, hukuman fisik bagi siswa adalah tidak populer dalam kamus pendidikan Islam.47 Realitas sebaliknya, ada anggapan guru ketika ia mempunyai wibawa dan disegani siswanya, maka sesungguhnya ia telah berhasil dalam menanamkan rasa hormat terhadap guru. Sebenarnya hal itu menyebabkan jurang pemisah pergaulan antara guru dan siswa, sehingga tidak terjalin hubungan yang akrab. Pada gilirannya kemauan siswa tidak terakomodasi dengan baik. Sebuah modelling Nabi dalam menerapkan reward dan punishment tercermin dalam hadits dari Abu Hurairah ra.
ﺻﻠﱠﻰ ﻲ ﻨِﺒﺪ ﺍﻟ ﻨ ِﻋﻮﺱ ﺟ ﹸﻠ ﺤﻦ ﻧ ﺎﻨﻤﻴ ﺑ : ﻗﹶﺎ ﹶﻝﻨﻪ ﻋ ﷲ ُ ﻰ ﺍ ﺿ ِ ﺭ ﺮ ﹶﺓ ﻳﺮ ﻰ ﻫ ﻦ ﹶﺍِﺑ ﻋ
،؟ﺎﹶﻟﻚ ﻣ: ﻗﹶﺎ ﹶﻝ,ﻫ ﹶﻠ ﹾﻜﺖ ﷲ ِ ﻮ ﹶﻝ ﺍ ﺭﺳ ﺎ ﻳ:ﺟﻞﹲ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﺭ ﺎ َﺀﻩﻢ ِﺇ ﹾﺫ ﺟ ﺳ ﱠﻠ ﻭ ﻴ ِﻪ ﻋ ﹶﻠ ﷲ ُﺍ
ﻴ ِﻪ ﻋ ﹶﻠ ﷲ ِ ﺻﻠﱠﻰ ﺍ ﷲ ِ ﻮﻝﹸ ﺍ ﺭﺳ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ.ﺎِﺋﻢﺎ ﺻﻭﹶﺃﻧ ﺮﹶﺃﺗِﻰ ﻣ ﻰ ﺍ ﻠ ﻋﻌﺖ ﻭ ﹶﻗ :ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻡ ﻮ ﺗﺼ ﹶﺃ ﹾﻥﻴﻊ ﺘ ِﻄﺴ ﺗ ﻬ ﹾﻞ ﹶﻓ: ﻗﹶﺎ ﹶﻝ. ﹶﻻ: ﻗﹶﺎ ﹶﻝ،ﺎ؟ﻌِﺘ ﹸﻘﻬ ﺗ ﺒ ﹰﺔﺭ ﹶﻗ ﺠﺪ ِ ﺗ ﻫ ﹾﻞ :ﻢ ﺳ ﱠﻠ ﻭ 46 47
Ahmad Mushthafa al-Maraghi, op. cit., hlm. 19-20. Abdurrahman Mas’ud, op. cit., hlm. 29-30.
43
:ﺎ؟ ﻗﹶﺎ ﹶﻝﻴﻨ ﺴ ِﻜ ﻦ ِﻣ ﻴ ﺘﻡ ِﺳ ﺎ ِﺇ ﹾﻃﻌﺠﺪ ِ ﺗ ﻬ ﹾﻞ ﹶﻓ: ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ. ﹶﻻ:ﻴﻦِ؟ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻌ ﺎِﺑﺘﺘﻳ ِﻦ ﻣﺮ ﻬ ﺷ :ﻕ ﺮ ﻌ ﻭﺍﹾﻟ ﻤ ٍﺮ ﺗ ﻴ ِﻪ ﻕ ِﻓ ٍ ﺮ ﻌ ﻢ ِﺑ ﺳ ﱠﻠ ﻭ ﻴ ِﻪ ﻋ ﹶﻠ ﷲ ُ ﺻﻠﹶﻰ ﺍ ﻲ ﻨِﺒﺪ ﺍﻟ ﻨ ﺚ ِﻋ ﻤﻜﹸ ﹶ ﹶﻓ: ﻗﹶﺎ ﹶﻝ.ﹶﻻ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ.ﻕ ِﺑ ِﻪ ﺪ ﺼ ﺘﺎ ﹶﻓﺧ ﹾﺬﻫ : ﻗﹶﺎ ﹶﻝ.ﺎﺎِﺋﻞﹸ؟ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﺃﻧﻦ ﺍﻟﺴ ﻳ ﹶﺃ:ﻗﹶﺎ ﹶﻝ-ﺘ ﹶﻞﺍ ِﳌ ﹾﻜ ﻳﺪ ِﺮ ﻳ-ﺎﻴﻬ ﺘﺑﻦ ﹶﻻ ﻴ ﺑﺎﷲ ﻣ ِ ﺍﻮ ﹶﻝ ﺍﷲِ؟ ﹶﻓﻮ ﺭﺳ ﺎﻰ ﻳﺮ ِﻣﻨ ﻋﻠﹶﻰ ﹶﺃ ﹾﻓ ﹶﻘ ﹶﺃ:ﺟ ﹸﻞ ﺮ ﺍﻟ
ﻴ ِﻪ ﻋ ﹶﻠ ﷲ ُ ﺻﻠﱠﻰ ﺍ ﻲ ﻨِﺒﻚ ﺍﻟ ﺤ ِﻀ ﹶﻓ.ﻰ ﻴِﺘ ﺑ ﻫ ِﻞ ﻦ ﹶﺃ ﺮ ِﻣ ﺖ ﹶﺃ ﹾﻓ ﹶﻘ ٍ ﻴ ﺑ ﻫﻞﹸ ﹶﺃ-ﻴ ِﻦ ﺗﺮ ﳊ ﹾﺍ ﹶ 48
.ﻚ ﻫ ﹶﻠ ﻪ ﹶﺃ ﻤ ﹶﺃ ﹾﻃ ِﻌ:ﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻪ ﹸﺛ ﺑﺎﻧﻴﺕ ﹶﺃ ﺪ ﺑ ﻰﺣﺘ ﻢ ﺳ ﱠﻠ ﻭ
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. menceritakan ketika tiba-tiba seorang laki-laki datang menemui Nabi. Laki-laki itu kemudian berkata: “Celaka saya, wahai Rasulullah!” Rasul bertanya: “Apa yang telah membuatmu celaka”? Laki-laki itu menjawab, “saya telah bersetubuh dengan istri saya pada siang hari bulan Ramadhan”. Rasul bertanya: Apakah kamu punya sesuatu yang dapat kamu pergunakan untuk pergunakan untuk memerdekakan seorang budak?” Laki-laki itu menjawab, “tidak”. Rasul bertanya lagi, “apakah kamu punya sesuatu yang dapat kamu pergunakan untuk memberi makanan enam puluh orang miskin?”. Laki-laki itu menjawab, “tidak”. Perawi berkata: kemudian Nabi duduk, tak lama berselang Nabi memberi sekeranjang kurma. Lalu beliau berkata, “sedekahkan kurma ini!” Laki-laki itu bertanya, saya sedekahkan kepada orang yang lebih dari kami? Di mana penduduk di sini tidak ada orang yang lebih miskin dari pada kami”. Rasul pun tertawa hingga kelihatan gigi gerahamnya, kemudian Rasul berkata, pergilah dan sedekahkan kepada keluargamu!” Sikap Nabi dalam kasus pemberian alternatif hukuman nampaknya cukup menarik untuk dijelaskan. Di bagian akhir dialognya Nabi justru tertawa melihat ketidakmampuan orang itu melaksanakan seluruh alternatif hukuman yang ditawarkan kepadanya. Sikap tidak keras dan kasar yang dipelihara oleh Nabi dalam memberikan hukuman merupakan cara yang paling efektif untuk menumbuhkan kesadaran bagi orang yang dihukum untuk tidak mengulangi kembali kesalahannya. Dengan cara seperti ini, orang itu merasa puas terhadap keterangan sanksi hukum yang 48
Imam Bukhary, Shahih al-Bukhary, Juz I, (Beirut: Dar Fikr, t. th.), hlm. 597-598.
44
diberikan oleh Nabi. Berkaitan dengan masalah hukuman ini, al-Ghazali mengatakan pemberian hukuman secara kasar atau keras dapat menimbulkan rasa takut dan keberanian orang menyerang orang lain, serta mendorong timbulnya keinginan untuk melakukan pelanggaran. Dengan demikian memberikan hukuman membutuhkan sikap bijaksana dan persuasif.49 Jika punishment (khususnya hukuman fisik) pada umumnya tidak membawa dampak positif, sebaliknya membawa kenangan horor nightmare bagi siswa, penumbuhan sense of guilty dengan cara yang edukatif dan Islami adalah bagian dari self-discipline yang perlu dikembangkan dalam dunia pendidikan. Disiplin diri adalah tujuan sekaligus proses pendidikan kemandirian. Prinsip mercy, kasih sayang, yang merupakan ekspresi dari basyir dan reward memang sudah seharusnya diterapkan dalam aktivitas sehari-hari proses belajar mengajar, terlebih-lebih dewasa ini dimana materialisme sering mengalahkan prinsip-prinsip keagamaan. Agaknya sikap lembut, ucapan yang sejuk di telinga siswa (dengan menjauhkan kata-kata sepeti “bodoh”), konsisten mengajak ke nilai-nilai yang benar adalah ciri utama metode pendidikan Islam yang perlu dikembangkan lebih lanjut secara detail.50 B. Metode Pendidikan Akhlak 1. Metode Pendidikan dalam Islam Secara etimologis kata metode berasal dari bahasa yunani metodos, terdiri dari dua akar suku kata, meta yang berarti “melalui”, dan hodos berarti “jalan”.51 Dengan demikian secara sederhana metode dapat diartikan dengan jalan yang dilalui.
49
Moh. Slamet Untung, Muhammad Sang Pendidik, (Semarang: Pustaka Rizki, 2005),
hlm. 137.
50
Abdurrahman Mas’ud, loc. cit. Lihat juga dengan pengarang yang sama, Diskursus Pendidikan Islam Liberal, Jurnal Edukasi, Vol. 1, Th. X/Desember 2002, hlm. 31. 51 H. M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hlm. 97. Lihat juga im Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, op. cit., hlm. 652.
45
Dalam terma bahasa Arab, kata metode dicerminkan dengan ungkapan kata-kata al-thariqah, al-manhaj, dan al-washilah. Ketiga kata ini masing-masing berarti jalan, sistem, dan perantara atau mediator.52 Dengan kata lain, bahasa Arab memiliki perbendaharaan kata mengenai metode cukup beragam, namun dalam buku-buku literatur pendidikan kata al-thariqah lebih sesuai dan mewakili sinonim dari metode. Mahmud Yunus, mendiskripsikan sembilan macam asas umum bagi metode pendidikan modern. Kesembilan asas umum pendidikan modern tersebut pada prinsipnya merupakan kaidah-kaidah pokok yang menjelaskan tentang prinsip-prinsip didaktis yang harus diketahui, dipahami, dan diaplikasikan oleh seorang guru atau pendidik dalam mengajar atau mendidik.53 Ketika metode dikaitkan dengan pendidikan Islam, membawa pengertian sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama terhadap diri seseorang. Sehingga tercermin dalam pribadi objek sasaran yang tidak lain adalah pribadi muslim. Selain itu, dapat pula mengandung arti sebagai cara untuk memahami, menggali, dan mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.54 Metode pendidikan menjadi penting, karena materi pendidikan tidak dapat dipelajari dengan baik tanpa penafsiran peran metode secara sadar dalam proses pendidikan dan pengajaran akan menghambat keberhasilan aktivitas pendidikan tidak hanya dipandang sebagai cara atau jalan, akan tetapi upaya perbaikan komprehensif dari semua elemen
52
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 92. Moh. Slamet Untung, op. cit., hlm. 69-170. Kesembilan asas umum bagi metode pendidikan modern yang dimaksud adalah mementingkan kecenderungan minat dan bakat anak didik, melibatkan anak didik dalam kegiatan belajar menurut keinginannya, mendidik melalui permainan, membuat urutan-urutan dalam belajar, menarik minat anak didik untuk mencintai pekerjaannya, memelihar lingkungan belajar anak didik, menciptakan semangat kerjasama, menanamkan kepercayaan anak didik untuk belajar secara mandiri, dan mengoptimalkan fungsifungsi panca indera. Mahmud Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: PT. Hidayat Agung, 1978), hlm. 95. 54 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 94. 53
46
pendidikan. Sehingga menjadi sebuah iklim kondusif yang mengandung tercapainya tujuan yang dicita-citakan.55 Al-Qur’an sebagai rujukan utama Islam dalam segala bidang, tidak terkecuali pendidikan. Karena di dalamnya mengandung nilai-nilai kependidikan dalam rangka membudayakan manusia, ayat-ayatnya banyak memberikan motivasi edukatif bagi manusia. Kajian intensif terhadap ayat-ayat al-Qur’an dalam konteks pendidikan diperoleh implikasiimplikasi metodologis kependidikan dalam al-Qur’an yang melandasi pendidikan Nabi saw. Pada gilirannya, melahirkan konsep metode dalam ilmu pendidikan Islam yang secara historis berasal dari praktek pendidikan Nabi saw. sendiri.56 Menurut Abdullah Nashih Ulwan, Nabi Muhammad adalah refleksi hidup keutamaan-keutamaan al-Qur’an, ilustrasi dinamis tentang petunjukpetunjuk al-Qur’an yang abadi.57 Pribadi Nabi saw. menjadi contoh ideal manusia sepanjang masa dalam segala aspek kehidupan, tanpa terkecuali metode pendidikan. Nabi saw. menggunakan metode-metode pendidikan tertentu yang relevan dengan bidang-bidang yang akan disampaikan kepada para sahabat pada saat itu. Adapun bidang dan metode pendidikan yang digunakan diantaranya: a. Bidang akidah, menggunakan metode bertanya, kisah, dialog, nasihat, dan demonstrasi. b. Bidang
ibadah,
menggunakan
metode
dialog,
praktik/contoh,
eksplanasi, targhib-tarhib, dan tadriji. c. Bidang akhlak, menggunakan metode spiritual (pengalihan inderawi kepada rohani), kisah, dialog, nasehat, peragaan, teladan, eksplanasi.
55
Moh. Slamet Untung, op. cit., hlm. 87. Ibid., hlm. 8-9. 57 Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, Jilid II, (Beirut: Dar al-Salam li al-Thiba’ah wa al-Nasyr al-Tauzi’, 1981), hlm. 234. 56
47
d. Bidang muamalah, menggunakan metode eksplanasi, kisah, dialog, dan nasehat.58 Bagaimanapun bentuk dan kemampuan suatu metode, penggunaan suatu macam metode dalam proses pendidikan adalah mutlak. Mungkin di bidang lain orang dapat mengerjakan sesuatu tugas pekerjaan tanpa menggunakan suatu metode, melainkan harus memakai suatu teknik mengerjakannya saja. Metode mengandung implikasi bahwa proses penggunaanya bersifat konsisten dan sistematis, mengingat sasaran metode itu
adalah
manusia
yang
sedang
mengalami
pertumbuhan
dan
perkembangan. Jadi penggunaan metode dalam proses kependidikan pada hakikatnya adalah pelaksanaan sikap hati-hati dalam pekerjaan mendidik atau mengajar.59 Kegiatan kependidikan adalah proses edukatif yang memiliki tujuan tertentu yang telah ditetapkan. Seluruh aktivitas yang dilakukan oleh seorang guru atau pendidik adalah dalam rangka mencapai tujuan tersebut. Tidak mungkin seorang guru atau pendidik dikatakan berhasil dalam mendidik anak didiknya, sementara dia sendiri mengabaikan tujuan kependidikan yang menjadi pedoman dalam rangka mengarahkan aktivitas kependidikannya. Untuk mencapai tujuan pendidikan itu, seorang guru atau pendidik dituntut untuk menggunakan kemampuan yang dimilikinya dalam
memilih
pendidikan.
metode
pendidikan
yang
sesuai
dengan
tujuan
60
Penentuan dan pemilihan metode dalam pendidikan secara akurat merupakan suatu yang penting dilakukan oleh pendidik. Hal ini dilakukan seyogyanya didasarkan pada beberapa pertimbangan tertentu, seperti nilai strategi metode, efektifitas pemakaian metode, urgensi penentuan, pemilihan metode, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan
58
Moh. Slamet Untung, op. cit., hlm 96-167. Penemuan metode pendidikan ini melalui penelusuran dan menganalisis hadits Nabi saw. sendiri. 59 H. M. Arifin, op. cit., hlm. 98. 60 Moh. Slamet Untung, op. cit., hlm. 170-171.
48
metode.61 Penggunaan metode secara acak tanpa mempertimbangkan faktor-faktor tersebut justru akan menimbulkan persoalan dalam proses kependidikan, yaitu terhambatnya atau bahkan kegagalan dalam mencapai tujuan pendidikan. Seorang guru yang sepenuhnya menguasai materi pelajaran
bisa
saja
gagal
di
dalam
mengajar
disebabkan
ketidakmampuannya memilih dan menentukan metode yang sesuai dengan materi yang diajarkan.62 2. Pendidikan Akhlak a. Pengertian Akhlak dalam pengertian etimologis berasal dari bahasa Arab, kalau diderivasikan berasal dari akar kata “khalaqa, “yakhluqu”, “khuluqan”. Bentuk jamak dari kata yang ketiga adalah akhlaq, yang berarti tabiat, kebiasaan.63 Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Kata akhlak walaupun terambil dari bahasa Arab (yang biasa diartikan tabiat, perangai, kebiasaan, bahkan agama), namun kata seperti itu tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Yang ditemukan hanyalah bentuk tunggalnya yaitu khuluq yang tercantum dalam surat al-Qalam ayat 4.64 Ayat tersebut dianggap sebagai pengangkatan Nabi Muhammad saw. sebagai rasul.65 Secara bersamaan sering dijumpai penggunaan istilah moral, ahklak, dan etika. Ketiganya memiliki makna etimologis sama, yakni adat kebiasaan, perangai, dan watak. Hanya saja, ketiganya berasal dari bahasa yang berbeda, masing-masing Latin, Arab, dan Yunani. Akar ketiganya adalah mos (jamaknya: moses), khuluq (jamaknya: akhlaq), 61
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswin Zain, Strategi Belajar Mengajar, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2002), Cet. 2, hlm. 82. 62 Moh. Slamet Untung, op. cit., hlm. 171. 63 Louis Ma’luf al-Yusa’i, al-Munjid al-Abjadi, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1993), hlm. 419. 64
agung”.
65
ﻋﻈِﻴ ٍﻢ َ ﻖ ٍ ﺧُﻠ ُ ﻚ َﻟﻌَﻠﻰ َ “ َوِإ ﱠﻧDan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
M. Quraish Ashihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 253.
49
dan ethos (jamaknya: ta etha). Namun demikian, tidak mudah menterjemahkan secara persis sama untuk ketiga istilah ini. Paling tidak, seperti yang dikatakan oleh Sheila Mc. Donough, bahwa tidak mudah untuk menentukan istilah-istilah dan konsep-konsep etika dari kebudayaan yang berbeda. Istilah moral dan etika berasal dari linguistik Eropa asli, masing-masing dari Latin dan Yunani (Greece). Bahasa nonEropa memiliki istilah yang berbeda-beda mengenai moral dan etika, seperti dharma dalam bahasa India dan li dalam bahasa China. Adapun akhlak sendiri merupakan istilah yang tepat dalam bahasa Arab untuk arti moral dan etika. Jadi, bahasa moral, the language of moral, sangat bervariasi antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain, bahkan secara personal.66 Sekilas tampak ada kesamaan antara ketiga istilah tersebut, namun untuk lebih jelasnya akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan berikutnya. Dengan demikian, dapat diambil suatu temuan ternyata akhlak merupakan bentuk kata jamak, plural, dari kata tunggalnya khuluq, selanjutnya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif, perlu diuraikan pengertian akhlak secara terminologis. Banyak sekali para ahli di bidang akhlak yang memaparkan akhlak secara definitif. Diantaranya Ibn Miskawaih, menurutnya karakter (akhlak) merupakan suatu keadaan jiwa yang menyebabkan jiwa
bertindak
tanpa
berpikir
atau
dipertimbangkan
secara
mendalam.67 Pendapat ini diamini oleh al-Ghazali (1059-1111 M.), menurutnya:
66
Tafsir, et. al., Moralitas al-Qur’an dan Tantangan Modernitas: Telaah atas Pemikiran Fazlur Rahman, al-Ghazali, dan Ismail Raji’ al-Faruqi, (Semarang: Gama Media Offset, 2002), hlm. 4. 67 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Helmi Hidayat, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 56.
50
اﻟﺨﻠﻖ ﻋﺒﺎﺮة ﻋﻦ هﻴﺋﺔ ﻓﻰ اﻟﻨﻔﺲ را ﺴﺨﺔ ﻋﻨﻬﺎ ﺘﺼدر اﻷﻨﻔﻌﺎل 68 .ﺒﺴﻬﻮﻟﺔ ﻮﻴﺴﺮ ﻤﻦ ﻏﻴﺮ ﺣﺎﺟﺔ إﻟﻰ ﻓﻜﺮﻮ ﺮﻮﻴﺔ Artinya: al-khuluq (jamak akhlaq) adalah ibarat (sifat atau keadaan) dari perilaku yang konstan (tetap) dan meresap dalam jiwa, daripadanya tumbuh perbuatan-perbuatan dengan mudah dan wajar tanpa memikirkan pikiran dan pertimbangan. Pendapat ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Zaidan:
ﻮﻴﻤآﻧﻧﺎ ﺘﻌﺮﻴف اﻷﺨﻼﻖ ﺒﺄﻨﻬﺎ ﻤﺟﻤﻮﻋﻌﺔ ﻤﻦ اﻠﻤﻌﺎﻧﻰ ﻮاﻠﺼﻔﺎﺖ اﻠﻤﺴﺗﻘﺮة ﻓﻰ اﻠﻨﻔﺲ ﻮ ﻓﻰ ﻀﻮﺋﻬﺎ ﻮ ﻤﻴﺰاﻨﻬﺎ ﻴﺤﺴﻦ اﻠﻔﻌﻞ ﻓﻰ 69
.ﻨﻈﺮ اﻹﻨﺴﺎﻦ أﻮﻴﻘﺒﺢ ﻮﻤﻦ ﺛﻢ ﻴﻘﺪ ﻢ ﻋﻠﻴﻪ أﻮﻴﺤﺠﻢ ﻋﻧﻪ
Artinya: Akhlak adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa yang dengan sumber dan ukurannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik dan buruk untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya. Merunut ketiga definisi di atas, ada kesepakatan akhlak merupakan keadaan sifat yang tertanam dalam jiwa memanifestasikan perbuatan-perbuatan sepintas tanpa berpikir dan pertimbangan. Dengan demikian, perbuatan yang didasari suatu motif tertentu bukanlah hasil dari akhlak. Seperti seseorang menyumbangkan harta, belum tentu itu karena akhlaknya, akan tetapi mungkin karena memiliki motif ingin dilihat atau dipandang baik oleh orang lain. Al-Gazali mempertegas akhlak bukanlah perbuatan karena beberapa banyak orang yang akhlaknya pemurah tetapi memberi dan sebaliknya ada orang yang akhlaknya kikir, tetapi ia memberi karena ada pengaruh ria. Akhlak bukan pula suatu ma’rifat (mengetahui dengan mendalam), karena ma’rifat itu berhubungan dengan yang baik dan buruk dengan suatu cara. Tetapi akhlak pada dasarnya adalah keadaan jiwa dan bersifat batiniyah yang mendorong terhadap tingkah 68 69
al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Jilid III, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), hlm. 56. Abdul Karim Zaidan, Ushul al-Dakwah, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), hlm. 79.
51
laku.70 Dari sini secara mutlak akhlak bukanlah perbuatan baik atau buruk dan bukan pula kekuasaan atas keduanya, tetapi akhlak adalah keadaan yang dengannya jiwa mempersiapkan untuk memunculkan tingkah laku. b. Perbedaan Etika, moral, Akhlak, dan Susila Sebagaimana telah dikemukakan, dari segi etimologis dan budaya istilah moral, akhlak dan etika memiliki perbedaan berdasarkan sumbernya. Lebih jelas lagi, pengertian akhlak dalam Islam lebih luas dibandingkan pengertian yang dibawa oleh agama-agama lain atau para filosuf. Akhlak Islam membingkai setiap hubungan antara manusia dan juga dengan mahluk hidup lainnya. Nilai akhlak menurut pandangan Islam adalah setiap kebaikan yang dilaksanakan manusia dengan kemauan yang baik dan untuk tujuan yang baik pula.71 Dalam keuniversalan akhlak, Abudin Nata berhasil menemukan ciri-ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu sebagi berikut: 1. Perbuatan akhlak telah tertanam dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadian. 2. Perbuatan akhlak dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran 3. Perbuatan timbul dari orang yang mengerjakannya, tanpa paksaan atau tekanan dari luar. 4. Dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. 5. Sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas
70
Mustaqim, “Pemikiran tentang Pendidikan Akhlak Menurut Imam al-Ghazali”, dalam Ruswan Thoyib (eds), Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 88. 71 Miqdad Yalzan, Kecerdasan Moral: Aspek Pendidikan yang Terlupakan, terj. Yusuf Maulana, (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2003), hlm. 17-18.
52
semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan sesuatu pujian.72 Etika merupakan ilmu yang menyelidiki perbuatan atau tingkah laku manusia mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan sejauh yang diketahui oleh akal pikiran.73 Etika berhubungan dengan empat hal. Pertama dari segi objek, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan manusia. kedua dari segi sumber, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sehingga tidak bersifat mutlak, absolut, dan universal. Ketiga dari segi fungsi, etika berfungsi sebagai penilaian, penentu, dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina, dan sebagainya.74 Moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah.75 Moral bersifat universal, sedangkan etika bersifat kultural. Dalam menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, tolak ukur yang digunakan moral adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang serta berlangsung di masyarakat. Dengan demikian, etika lebih bersifat teoritis, konseptual, sedangkan moral berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat.76
72
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), Cet, 2, hlm. 5-7. Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung: Rineka Cipta, 1983), hlm. 12. Lihat juga H. Burhanuddin Salam, Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 30. 74 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, op. cit., hlm. 89. 75 Ibid., hlm. 91. F. Gabriele (1960) dalam encyclopedia of Islam menyebutkan bahwa kata “moral” yang sering kita sebut dengan “adab” berasal dari terminologi Arab yang bermakna adat istiadat, kebiasaan, dan etika atau sopan santun. Inilah tatanan yang selalu digunakan manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya. Istilah tersebut dalam bahasa Latin disebut “urbanitas” yang bermakna kehalusan dan kebaikan yaitu tata krama yang berkebalikan dengan perbuatan kasar atau kebiasaan-kebiasaan orang Badui yang hidup di padang pasir. Lihat Muhammad Abdurrahman, Pendidikan di Alaf Baru: Rekonstruksi atas Moralitas Pendidikan, (Yogyakarta: Primasophie, 2003), Cet. 1, hlm. 74. 76 Namun berbicara mengenai moral, yang menjadi acuan bukan hanya ketentuan yang berlaku dan menjadi adat istiadat di masyarakat, tetapi juga ajaran agama dan ideologi tertentu. 73
53
Maka ketika menyentuh dataran parktis, seperti menghormati merupakan moral, sedangkan rasa menghormati merupakan etika. Sehingga etika merupakan teknis dari moral itu sendiri. Karena bersifat kultural, maka etika dari suatu masyarakat ke masyarakat lain berbeda. Dengan demikian etika terkait dengan nilai, norma, dan budaya yang dianggap baik menurut suatu masyarakat tertentu. Sedangkan susila yang berasal dari bahasa Sansekerta, su berarti baik, bagus, dan sila berarti dasar, prinsip, peraturan hidup atau norma.77 Secara terminologis cukuplah dikatakan susila sebagai pedoman untuk membimbing orang agar berjalan dengan baik juga berdasarkan pada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat dan mengacu kepada sesuatu yang dipandang baik oleh masyarakat.78 Berangkat dari uraian di atas, secara fungsional dan perannya, keempat istilah tersebut sama, menentukan penilaian terhadap perbuatan manusia baik atau buruk serta menghendaki tatanan sosial yang baik, teratur, tentram, dan aman. Perbedaan mencolok terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Etika bersifat teoritis sehingga penilaian baik dan buruk berdasarkan pendapat akal dan pikiran, sedangkan moral dan susila lebih bersifat praktis berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat. Selanjutnya akhlak memiliki sumber independen dan fundamental dalam menentukan baik dan buruk yaitu al-Qur’an dan al-Hadits.79 Secara bersama-sama etika, moral, dan susila bersifat temporer, terbatas, dan terkait dengan lokal tetentu. Berbeda dengan akhlak yang bersifat mutlak, absolut, dan universal.
Lihat Imam Sukardi, et. al., Pilar Islam Bagi Pluralisme Modern, (Solo: Tiga Serangkai, 2003), Cet. I, hlm. 83. 77 M. Said, Etika Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), hlm. 23. 78 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, op. cit., hlm. 94. 79 Ibid., hlm. 95. Lihat juga H. Mahmud Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), 355-356.
54
Akan tetapi, keempat istilah tersebut tetap saling berhubungan dan membutuhkan. Karena pada dasarnya agama yang menjadi sumber akhlak memiliki fungsi yang amat kental dalam menyusun tatanan hidup dan budaya manusia. c. Bentuk-bentuk Akhlak Bertitik tolak dari uraian di atas, bahwa akhlak melahirkan kelakuan,80 tanpa suatu paksaan dapat dikatakan bahwa kelakuan manusia sangat beragam. Sesungguhnya usaha kamu (hai manusia) pasti amat beragam (QS. Al-Lail: 4). Keanekaragaman tersebut dapat ditinjau dari berbagai sudut, antara lain nilai kelakuan yang berkaitan dengan baik dan buruk, serta dari objeknya, yakni kepada siapa kelakuan itu ditujukan.81 Secara umum menurut al-Ghazali, akhlak dapat dibagi dua, akhlak yang baik (al-mahmudah) dan akhlak buruk (al-madzmumah). Akhlak yang baik adalah akhlak yang serasi dengan akal dan agama (syariat), sedangkan akhlak yang buruk adalah akhlak yang bertentangan dengan akal.82 Muhammad Abdullah Draz membagi ruang lingkup akhlak kepada lima bagian: 1. Akhlak Pribadi (al-akhlaq al-fardiyah). Terdiri dari yang diperintahkan (al-awamir), yang dilarang (al-nawahi), yang dibolehkan (al-mubahat) dan akhlak dalam keadaan darurat (almukhalafah bi al-idhthirar). 2. Akhlak Berkeluarga (al-akhlak al-usariyah). Terdiri dari kewajiban timbal balik orang tua dan anak (wajibat nahwa al-ushul wa alfuru’), kewajiban suami isteri (wajibat baina al-azwaj) dan kewajiban terhadap karib kerabat (wajibat nahwa al-aqarib). 3. Akhlak Bermasyarakat (al-akhlaq al-ijtimaiyyah). Terdiri dari yang dilarang (al- mahzhurat), yang diperintahkan (al-awamir) dan kaedah-kaedah adab (qawa’id al-adab). 80
Akhlak dikategorikan sifat yang memiliki fungsi memunculkan perbuatan dan tingkah laku manusia, selain akal dan syara’ juga tidak terlepas dari akidah. Lihat H. Muhammad Daud Ali, op. cit., hlm. 351. 81 M. Quraishihab, op. cit., hlm. 253-254. 82 Mustaqim, op. cit., hlm. 89.
55
4. Akhlak Bernegara (akhlaq al-daulah). Terdiri dari hubungan antara pemimpin dan rakyat (al-‘alaqah baina al-rais wa al-sya’b), dan hubungan luar negeri (al-‘alaqat al-kharijiyyah). 5. Akhlak Beragama (al-akhlaq aldiniyyah). Yaitu kewajiban kepada Allah SWT. (wajibat nahwa Allah).83 Barangkat dari sistematika di atas, Yunahar Ilyas memodifikasi pembagian akhlak menjadi akhlak terhadap Allah SWT., Rasullah saw., akhlak pribadi, akhlak dalam keluarga, akhlak bermasyarakat, dan bernegara.84 Manusia selalu berinteraksi dengan pihak diluarnya. Ketika akhlak dimanifestasikan ke dalam dataran aplikasi, maka akhlak terkait kepada siapa saja ditujukan. Seperti akhlak kepada Allah SWT. merupakan suatu pembuktian terhadap iman kepada-Nya. Takwa merupakan “kata” yang tepat untuk membuktikan akhlak kepada Allah SWT., karena adalah integralisasi dari dimensi Iman, Islam, dan Ihsan.85 Bentuk-bentuk lainya seperti ridha, taubat, syukur, ikhlas, dan sebagainya. Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah berkedudukan sebagai sumber moral atau pedoman hidup dalam Islam yang menjelaskan kriteria baik dan buruknya suatu perbuatan. Kedua dasar itulah yang menjadi landasan dan sumber agama Islam secara keseluruhan sebagai pola hidup dan menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk.86 Baik dan buruk menurut ajaran Islam bertumpu pada keduanya, jika diselidiki lebih lanjut banyak sekali ditemukan istilah yang mengacu kepada yang baik seperti salih, birr, ma’ruf, khair, hasan, thayyib, dan halal. Sebaliknya, ungkapan yang berindikasi pada makna yang buruk terdapat dalam istilah fasad, munkar, syarr, fashihah, khabith, dan haram.87 83
H. Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI, 2004), Cet. VII, hlm. 5. Ibid., hlm. 6. 85 Ibid., hlm. 18. 86 H. Hamzah Ya’qub, op. cit., hlm. 49. 87 Tushihiko Izutsu, Ethico Religious Concepts in the Qur’an, (Canada: Mc. Gill University Press, 1996), hlm. 204-241. 84
56
d. Pandangan Islam Banyak sekali pandangan yang menjadi dasar dalam etika, Majid Fakhry, menemukan tipe-tipe teori etika. Dalam penelitiannya, ia menemukan moralitas skriptual, teori-teori teologis, teori-teori filsafat, dan teori-teori religius.88 Teori religius, agama yang sangat mementingkan nilai moral adalah agama Islam. Karena moral merupakan bagian dari Islam itu sendiri. Kalau seseorang tidak memiliki moral, berarti tidak memiliki tata krama. Sedangkan orang yang tidak memiliki tata krama tidak pantas dikatakan sebagai orang mukmin. Nabi Muhammmad saw. ke dunia ini untuk menyampaikan risalah Islamiah. Persoalan yang paling awal dibenahi adalah akhlak, moral, etika atau adab. Ini merupakan bukti bahwa agama yang dibawa oleh Nabi saw. benarbenar membahas masalah moral sebagai faktor utama bagi setiap muslim sebelum mempelajari atau memahami kewajiban-kewajiban lain.89 Sendi-sendi akhlak yang dibawa oleh Islam mencakup berbagai perilaku manusia, baik kehidupan pribadi maupun kehidupan bersama. Dan sendi-sendi akhlak ini mencakup nilai-nilai yang beragam, antara lain nilai kemasyarakatan, ilmiah, kemanusiaan, politik, dan ekonomi. Nilai-nilai ini bersifat mutlak, karena hakikat nilainya terletak pada esensinya.90
Hal
ini
dapat
dipahami
karena
Islam
selalu
memperhatikan segala aspek kehidupan yang tidak terlepas dari ajarannya. Al-Qur’an sebagai sumber hukum fundamental, berkali-kali mengingatkan penekanan yang kuat, untuk mengajak ma’ruf dan mencegah munkar. Dalam bentuk kombinasi ini, ma’ruf berarti tindakan apapun yang muncul dari dan sesuai dengan keyakinan yang 88
Majid Fakhry, Etika Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 35. 89 Muhammad Abdurrahman, op. cit., hlm. 101. 90 Miqdad Yaljan, op.cit., hlm. 18.
57
sebenar-benarnya.
Sedangkan
munkar
bertentangan dengan perintah Allah.
adalah
perbuatan
yang
91
Terma shalihah diyakini benar-benar menunjukkan arti kebajikan, berupa perbuatan-perbuatan yang maslahat jauh dari keburukan. Walaupun secara tegas al-Qur’an dalam ayat-ayatnya tidak mengatakan shalihah bagian dari akhlak, namun kata ini dalam alQur’an sendiri sering bergandengan dengan iman. Seperti dalam surat al-Bayyinah ayat 7:
:ﺔ )ﺍﻠﺒﻴﻧﺔﺒ ِﺮﻳ ﺍﹾﻟﻴﺮ ﺧ ﻢ ﻫ ﻚ ﺕ ﺃﹸﻭﹶﻟِﺌ ِ ﺎﺎِﻟﺤﻋ ِﻤﻠﹸﻮﺍ ﺍﻟﺼ ﻭ ﻮﺍﻣﻨ ﻦ ﺀَﺍ ِﺇ ﱠﻥ ﺍﱠﻟﺬِﻳ (ِ ٧ Kata khair al-bariah amat dekat maknanya dengan insan alkamil yang merupakan tujuan dari akhlak sendiri. Dengan demikian dalam konteks ini, akhlak merupakan ekspresi dan menifestasi dari iman.92 Setelah menguraikan pengertian akhlak dan hal-hal yang berkaitan dengannya, jika akhlak dikaitkan dengan pendidikan, maka al-Gazali mengatakan secara tegas bahwa perubahan akhlak atau membentuk akhlak menjadi baik adalah munkin sepanjang melalui usaha dan latihan moral yang sesuai. Perubahan akhlak tidak terlepas dari hubungannya dengan pendidikan akhlak, manakala pendidikan akhlak terkait dengan menghilangkan akhlak yang tercela. Al-Ghazali memberikan alasan, karena tidak ada manusia yang merasa tentram dan senang mempunyai akhlak yang tercela selama masih mempunyai akal sehat dan nurani yang lurus. Serta tidak ada manusia yang 91 Tafsir, et. al., op. cit., hlm. 53-54. Lebih lanjut lihat Surat al-Baqarah ayat 71, orang mukmin memiliki peran terhadap sesamanya berupa mengajak ma’ruf dan mencegah kemunkaran. Mereka juga membuktikan keimanannya melalui perbuatan nyata berupa mendirikan salat, berzakat, dan taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka inilah yang akan mendapatkan rahmatNya. 92 “Sesungguhnya kebagusan akhlak itu adalah iman dan keburukan akhlak adalah nifak”. Lihat al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Jilid III, (Beirut: Dar Fikr, t. th.), hlm. 67.
58
menginginkan perubahan akhlaknya ke arah perubahan yang jelek dan tercela. Sehingga keterkaitan perubahan akhlak dan pendidikan akhlak tidak dapat dipisahkan.93 Di sisi lain, inti dari pendidikan Islam sendiri adalah segenap usaha
sadar
dalam
rangka
menanamkan
akhlak
yang
baik.
Sebagaimana pendapat al-Ghulayaini:
اﻠﺘﺮﺒﻴﺔ هﻲ ﻏﺮﺲ اﻷﺨﻼﻖ اﻠﻔﺎﻀﻠﺔ ﻓﻰ ﻨﻔﻮﺲ اﻠﻨﺎﺸﺌﻴﻦ ﻮﺴﻘﻴﻬﺎ ﺒﻤﺎﺀ اﻹﺮﺷﺎﺪ ﻮاﻠﻨﺼﻴﺤﺔ ﺤﺗﻰ ﺘﺼﺒﺢ ﻤﻠآﺔ ﻤﻦ ﻤﻠآﺎة اﻠﻧﻔﺲ ﺛﻢ 94 .ﺘآﻮن ﺛﻤﺮﺘﻬﺎ اﻠﻔﺎﻀﻠﺔ ﻮاﻠﺨﻴﺮ ﻮﺤﺐ اﻠﻌﻤﻞ اﻠﻨﻔﻊ اﻠﻮﻄﻦ Artinya: Pendidikan adalah penanaman akhlak yang utama ke dalam diri siswa dan menyiraminya dengan air petunjuk dan nasehat sehingga menjadi menjadi salah satu dari karakter-karakter jiwa serta menjadi buahnya yang mulia, kebaikan, dan suka berperilaku yang bermanfaat serta tertanam (dalam jiwa). Dengan demikian pendidikan akhlak tercermin dalam rangka penanaman, pengembangan dan pembentukan akhlak mulia di dalam diri peserta didik. Pendidikan tidak harus merupakan suatu program pendidikan atau pelajaran khusus, akan tetapi harus lebih merupakan suatu dimensi dari seluruh usaha pendidikan.95 Dalam pendidikan akhlak bukan berarti akhlak tercela dilupakan begitu saja, akan tetapi tetap dipelajari dan ditinggalkan secara praktis. Mengingat
potensi
manusia, 96
diilustrasikan oleh al-Qur’an,
sebagaimana
yang
telah
memiliki kecenderungan baik dan
buruk. Maka kedua potensi inilah yang akan diarahkan melalui pendidikan akhlak. 93
Mustaqim, op. cit., hlm. 91. Mushthafa al-Ghulayaini, Idhah al-Nasyi’in, (Pekalongan: Rajamurah, 1953), hlm. 189. 95 M. Santrapratedja, Pendidikan Nilai: Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 3. 94
96
٧- :ﻦ َدﺳﱠﺎهَﺎ )اﻠﺸﻤﺲ ْ ب َﻣ َ ﻦ َزآﱠﺎهَﺎ َو َﻗ ْﺪ ﺧَﺎ ْ ﺢ َﻣ َ ﺳﻮﱠاهَﺎ َﻓ َﺄ ْﻟ َﻬ َﻤﻬَﺎ ُﻓﺠُﻮ َرهَﺎ َو َﺗ ْﻘﻮَاهَﺎ َﻗ ْﺪ َأ ْﻓَﻠ َ ﺲ َوﻣَﺎ ٍ َو َﻧ ْﻔ
(١٠ “Dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-Nya, maka Allah mengilhamkan kepadanya (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (QS. Al-Syams:7-10)
59
Menurut Ibn Miskawaih, tujuan pendidikan akhlak sendiri harus diarahkan dalam rangka mewujudkan sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbutan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna.97 Pendidikan akhlak dalam Islam tersimpul dalam prinsip-prinsip berpegang teguh pada kebaikan dan kebajikan serta menjauhi keburukan dan kemungkinan-kemungkinan berhubungan erat dengan upaya mewujudkan tujuan besar pendidikan Islam, yaitu ketakwaan, ketundukan, dan beribadah kepada Allah. Aspeknya mencakup kejiwaan yang diberikan melalui pengajaran dan pelatihan sesuai dengan potensi dan struktur psikis individu.98 3. Perkembangan Akhlak pada Anak Didik Anak didik merupakan amanah yang harus dipertanggung jawabkan orang tua kepada Allah swt. anak didik juga tempat orang tua mencurahkan kasih sayangnya, serta investasi masa depan untuk kepentingan orang tua di akhirat kelak. Oleh karena itu, orang tua harus memelihara, membesarkan, merawat, menyantuni, dan mendidik anakanaknya dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang.99 Di sisi lain anak juga memang membutuhkan beberapa hal yang harus diperhatikan oleh orang tua. Agar ada keseimbangan antara kebutuhan orang tua dan anak, maka orang tua tidak boleh memaksakan kehendaknya di samping kebutuhan anak. Ada beberapa kebutuhan anak yang harus dipenuhi oleh orang tua, diantaranya: a. b. c. d. 97
kebutuhan fisik kebutuhan kasih sayang kebutuhan penerimaan kebutuhan rasa aman
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Ed. 1 Cet. 1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 11. 98 Hery Noer Ali dan H. Munzier S., Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung Insan, 2000), hlm. 90 dan 94. 99 H. Yunahar Ilyas, op. cit., hlm. 172.
60
e. f. g. h. i. j.
kebutuhan rasa percaya kebutuhan akan penghargaan diri bergantung dan mandiri kebutuhan disiplin kebutuhan akan bimbingan kebutuhan akan aktualisasi diri.100 Kasih sayang merupakan kebutuhan psikis yang paling dasar,
sekaligus mengembangkannya dengan bijak sebagai kunci utama dan pertama dalam menangani, melayani, dan memenuhi kebutuhan anak. Dilihat dari sudut pandang ini, tidak akan terjadi dominasi orang tua sebagai orang dewasa yang menjadi pembimbing anak. Karena perlu diingat dari segi kedudukannya, anak didik merupakan mahluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhannya menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrah.101 Sehubungan dengan pemuasan kebutuhan dasar si anak, orang tua mempunyai kemampuan untuk “menghadiahi” anak. Ahli psikologi menggunakan istilah “hadiah” atau “ganjaran” untuk segala sesuatu yang dimiliki oleh orang tua yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak. Orang tua pun memiliki cara untuk membuat perasaan anaknya sakit ataupun tidak senang, baik dengan tidak memberi si anak apa yang dibutuhkan, ataupun melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan rasa sakit atau tidak senang. Ahli psikologi menggunakan istilah hukuman sebagai lawan dari hadiah atau ganjaran. Setiap orang tahu dari pengalaman sendiri bahwa manusia (dan binatang) cenderung untuk mengulangi tingkah laku yang dapat menghasilkan hadiah dan menjauhi dan menjauhi tingkah laku yang tak menghasilkan hadiah bahkan mendatangkan hukuman.102 Selain itu, salah satu aspek yang sedang mengalami perkembangan adalah moral. Menurut Piaget, proses perkembangan moral manusia 100
Mari Go Setiawani, op. cit., hlm. 28-34. Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 79. 102 Thomas Gordon, op. cit., hlm. 141-142. 101
61
bertolak dari struktur biologis mengembangkan diri mencari keseimbangan dengan lingkungannya. Dan perkembangan ini melalui lima tahap, tahap pertama masih bersifat pra-moral. Anak belajar untuk bereaksi secara motoris dengan tepat atas pelbagai rangsangan dari luar. Pada tahap kedua anak belajar bahwa ada peraturan-peraturan yang harus ditaati, tetapi ia belum sampai pada suatu paham tentang kewajiban. Ia hanya mentaati peraturan
itu
untuk
menghindari
hukuman.
Perspektifnya
masih
egosentris. Pada tahap ketiga anak mencapai kemampuan untuk mengambil alih sudut pandang orang lain, ia mengerti bahwa wajib mentaati peraturan-peraturan itu. Pada tahap keempat anak menjadi mampu membedakan antara sikap yang diambil orang (sikapnya sendiri dan sikap orang dewasa) dan tuntunan moral sendiri. Dengan demikian, moralitasnya menjadi otonom. Ia tidak lagi berlaku moral karena ada orang yang memerintahnya, melainkan karena memang ada kewajiban untuk berlaku demikian. Pada tahap kelima anak menjadi refleksif, ia bahkan dapat mempertanyakan keabsahan peraturan-peraturan moral sendiri.103 Bertolak dari penemuan ini, menurut Lawrence Kohlberg sebagaimana pendapat piaget bahwa kesadaran moral anak melalui beberapa tahap. Dari hasi penelitiannya, berhasil mengidentifikasi adanya enam tahap, stages, yang dikumpulkan dalam tiga tingkat (levels) kesadaran moral. Tiap tingkat masing-masing memiliki dua tahapan. Tahap-tahap itu bersifat invarian, universal, dan transkultural, dengan kata lain di semua lingkungan budaya anak akan mulai dari tahap pertama dan seterusnya secara berurutan.104 Adapun tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut: 1. Tingkat Pra-konvensional, anak peka terhadap peraturan-peraturan yag berlatar belakang budaya dan terhadap penilaian baik dan buruk, benar salah, tetapi mengartikannya dari sudut akibat-akibat fisik suatu 103
Frans Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), Cet.
5, hlm. 153. 104
Ibid., hlm. 156.
62
tindakan atau dari sudut enak tidaknya akibat-akibat itu (hukuman, ganjaran, disenangi orang), atau dari sudut ada tidaknya kekuasaan fisik dari yang memberikan peraturan-peraturan atau memberi penilaian baik-buruk itu. Tingkatan ini memiliki dua tahap, pertama orientasi hukuman dan kepatuhan. Berupa mendasarkan perbuatannya atas otoritas konkret (orang tua, guru) dan atas hukuman yang menyusul, bila tidak ada kepatuhan. Ketakutan akibat perbuatan adalah perasaan dominan yang menyertai motivasi moral ini. Kedua orientasi relatives instrumental, tindakan benar adalah tindakan yang ibarat alat dapat memenuhi kebutuhan sendiri atau kadang-kadang juga memenuhi kebutuhan orang lain. Hubungan antara manusia dianggap sebagai hubungan orang di pasar. Unsur-unsur sikap fair, hubungan timbal balik, kesamaan dalam ambil bagian sudah ada, tetapi semuanya dimengerti secara fisis dan pragmatis. Hubungan timbal balik antara manusia adalah soal kalau orang lain berbuat sesuatu terhadapnya, maka ia baru membalasnya, bukan soal loyalitas, rasa terima kasih atau keadilan. 2. Tingkat Konvensional, penelitian Kohlberg menunjukkan bahwa biasanya anak mulai berlatih ketingkat ini antara umur sepuluh tahun dan tiga belas tahun. Perbuatan-perbuatan mulai dinilai atas dasar norma-norma umum dan kewajiban serta otoritas dijunjung tinggi. Tingkat ini dinamakan konvensional, karena anak mulai menyesuaikan penilaian dan perilakunya dengan harapan orang lain atau kode yang berlaku
dalam
kelompok
sosial.
Dengan
kata
lain,
anak
mengidentifikasi diri dengan kelompok sosial beserta normanormanya. Tingkatan ini juga mencakup dua tahap, pertama orientasi dengan kelompok atau orientasi menjadi “anak manis”. Anak cenderung mengarahkan diri kepada keinginan orang-orang yang akrab (orang tua, guru, dan sebagainya) demi menyenangkan dan membantu serta disetujui oleh mereka. Yang baik adalah pebuatan yang dipuji, buruk yang dicela, anak ingin dipuji sebagai good boy/nice girl.
63
Menurut anak tingkah laku yang benar adalah apa yang “cocok” dan “pantas” menurut penilaian lingkungannya. Kedua orientasi hukum dan ketertiban, law and order, anak memperluas penyesuaiannya bukan hanya kepada orang-orang yang akrab, melainkan ke kelompok yang lebih abstrak seperti bangsa, negara, dan agama. Anak merasa loyal terhadap negara atau agama, menyadari diri wajib taat pada hukum. Yang baik adalah apa yang mempertahankan tatanan sosial, dan yang buruk adalah apa yang mengancamnya. 3. Tingkat Pasca-konvensional, oleh Kohlberg disebut tingkat otonom atau berprinsip. Anak memiliki usaha yang jelas untuk mengartikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang sahih serta dapat dilaksanakan terlepas dari otoritas kelompok atau pemegangnya. Norma-norma yang ditemukan dalam masyarakat tidak dengan sendirinya berlaku, tapi harus dinilai atas dasar prinsip-prinsip yang mekar dari kebebasan pribadi. Anak mulai menyadari bahwa kelompoknya tidak selamanya benar, menjadi anggota kelompok tidak menghindari kadang kala harus harus berani mengambil sikap sendiri. Ada dua tahap di dalamnya, pertama perjanjian sosial atau kontrak-sosial legalitas. Tindakan benar cenderung dimengerti dari segi hak-hak individual yang umum dan dari segi patokan-patokan yang sudah dikaji dengan kritis dan disetujui oleh seluruh masyarakat. Nilai-nilai opini pribadi relatif perlu adanya prosedural dan konsensus, serta hal tak lain merupakan nilai-nilai opini pribadi yang terlegalisasi. Tetapi juga menekankan
hukum
mempertahankannya)
dapat atas
diubah
dasar
(tidak
rasional
demi
secara
kaku
kemaslahatan
masyarakat. Kedua tahap prinsip moral universal, ditandai dengan pengaturan tingkah laku dan penilaian moralnya berdasarkan keputusan suara hati atau nurani pribadi sesuai dengan prinsip-prinsip
64
moral yang dipilih sendiri dan atas pedoman pada kekomprehensifan logis, universalitas, dan konsitensi.105 Tahap keenam tentu saja sebagai puncak perkembangan moral, menurut Kohlberg sekaligus harus menjadi tujuan pendidikan moral, walaupun
pada
kenyataannya
hanya
sedikit
orang
yang
dapat
mencapainya. Ketiga tingkatan moral di atas, ada pengaruh yang ditimbulkan oleh reward dan punishment dalam rangka menggapai kesadaran moral. Walaupun pada tingkat yang paling dasar, dangkal, akan tetapi jika reward dan punishment merupakan proses awal yang sangat penting dalam membentuk kesadaran moral. Salah satu pokok dalam belajar menjadi orang yang bermoral adalah pengembangan shame culture dan guilt culture. Rasa berasalah sebagai jenis evaluasi diri khusus negatif yang terjadi bila seorang individu mengakui bahwa perilakunya berbeda dengan nilai moral yang dirasakan wajib untuk dipenuhi. Sedangkan rasa malu sebagai reaksi emosional yang tidak menyenangkan timbul akibat adanya penilaian negatif terhadap dirinya.106 Perasaan bersalah timbul internal pada diri seseorang, berbeda dengan perasaan malu yang timbul akibat penilaian negatif dari luar diri.107 Akan tetapi, jika perasaan malu bisa dijadikan acuan sebagai konsekuensi dari hasil perbuatan salah, maka seseorang akan cenderung menghindari perbuatan tersebut. Dan juga ketika reward dan punishment diracik sedemikian rupa, bukan hanya sekedar hadiah atau hukuman fisik belaka, juga dengan memperhatikan hal-hal yang telah diuraikan sebelumnya, bukan tidak mungkin akan sangat efektif dijadikan sebagai metode dalam mendidik anak lebih bermoral. Kesadaran jiwa itu timbul sebagai akibat atau hasil 105
Ibid., hlm. 157-160. Lihat juga Ronald Duska dan Mariellen Whelan, op. cit., hlm. 6061 dan K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), Cet. 5, hlm. 80-84. 106 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., hlm. 77. 107 K. Bertens, op. cit., hlm. 88.
65
dari pengalaman, pertimbangan akal atau pikiran, dan dikuatkan oleh kemauan. Seseorang yang selalu mau memeriksa dirinya, mengoreksi dan menyeleksi perbuatannya akan memiliki kesadaran jiwa yang peka. Orang seperti ini tidak mungkin bersikap congkak, bertingkah laku sombong, dan angkuh ataupun memperbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain merasa tersinggung atau sakit hati. Kesadaran jiwa yang disertai dengan kemauan yang membaja untuk merombak dan mengubah segala jenis kebobrokan jiwa, dapat menjadikan seorang bajingan menjadi moralis, dan kemauan itulah yang perlu dibina.108 Tentunya sejauh mana usaha yang dilakukan pendidikpun harus diperhatikan agar tujuan dari pembinaan akhlak itu sendiri dapat tercapai. Biasanya kemauan anak akan sangat kuat, jika apa yang disajikan oleh pendidik menarik perhatiannya.
108
H. Burhanuddin Salam, op. cit., hlm. 20.