15
BAB II PENGERTIAN UMUM PEMELIHARAAN LINGKUNGAN HIDUP
A. Hakekat Lingkungan Istilah lingkungan yang selama ini menyeruak adalah padanan kata dari terjemahan bahasa inggris environment1, yang secara etimologis berarti kondisi fisik yang melingkupi dan mempengaruhi kehidupan manusia2, akhirnya
dalam
transliterasi
Indonesia
dikenal
dengan
lingkungan.
Lingkungan sendiri menurut pengertian dari UU no. 4 tahun 1982 tentang ketentuan pokok lingkungan hidup sering dikaitkan dengan hidup, sehingga dapat dikatakan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya
yang
mempengaruhi
kelangsungan
perikehidupan
dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Pengertian tersebut dikuatkan oleh Munadjat Danusaputra, bahwa lingkungan adalah semua benda dan kondisi termasuk di dalamnya manusia dan tingkah laku perbuatannya, yang terdapat dalam ruang di mana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya.3 1 Dalam keilmuan dikenal dengan ekologi, yang mana kata ekologi sendiri berasal dari bahasa Yunani, oikos yang mempunyai arti arti rumah tangga dan logos yang berarti ilmu. Sebenarnya istilah ini diperkenalkan oleh Ernest Hackel seorang tokoh biologi. Secara termonologis, ekologi dipahami sebagi ilmu yang mempelajari hubungan antara satu organisme dengan lainnya, dan antara organisme tersebut dengan lingkungannya. Lingkungan, di mana proses internalisasi dan interdependensi antara makhluk yang satu dengan yang lain adalah menjadi keniscayaan, sehingga ia adalah bagian dari ekologi itu sendiri, oleh karenanya Otto Soemarwoto memberi definisi secara khusus bahwa ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Untuk memperoleh penjelasan yang menyeluruh berkaitan dengan definisi ekologi dan aspek-aspek pendukungnya dapat dibaca dalam Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1993 2
Oxford University, Oxford Entry Window, Oxford University, Rotterdam, Netherlands,
1993 3
Abdurahman, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm. 6-8
16 Senada dengan pendapat di atas Yusuf Al-Qardhawi menandaskan bahwa lingkungan (al-bi’ah) adalah sebuah lingkup di mana manusia hidup, ia (manusia) tinggal di dalamnya, baik ketika bepergian ataupun mengasingkan diri sebagai tempat ia kembali, baik dalam keadaan rela ataupun terpaksa.4 Pengertian tersebut diperluas dengan pemahaman bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Karena pada dasarnya semua jenis makhluk hidup sebenarnya bertempat tinggal di dalam suatu lingkungan hidup global yang merupakan suatu lapisan kehidupan yang relatif tipis, yang tebalnya hanya kira-kira 14-15 km yang terdiri atas gas atmosfir gunung, serta flora dan fauna (lahan dan air yang secara sederhana kita sebut langit dan bumi serta isinya), yang merupakan struktur dasar ekosistem.5 Ekologi lebih lanjut sering dikaitkan dengan ekonomi yang berasal dari oikonomos, yang mempunyai fungsi manajer atau pengelola rumah tangga. Pemaduan kedua disiplin yang berbeda tersebut dipelopori oleh Haeckel, ia mengambil sebuah definisi bahwa ecologi-ekonomi adalah suatu ilmu ekonomi mengenai alam (economy of nature). Sebuah ilmu yang berakar dari pengetahuan ekonomi dan teori evolusi, sehingga ekologi dapat diartikan sebagai
ekonomi
mengenai
makhluk
hidup,
yaitu
ekonomi
yang
mempertimbangkan kepentingan makhluk hidup lainya, seperti flora fauna.6
4
Yusuf Al-Qardhawi, Islam Agama Ramah Lingkungan, terj. Abdullah Hakam Shah, et.al., Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 2001, hlm. 5 5
Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga Ukhuwah, Mizan, Bandung, 1995, hlm. 140 Secara spesifik ekosistem lebih merupakan aturan main dari adanya timbal balik antara komponen makhluk hidup maupun tak hidup yang bekerja secara sistematis sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan atau lebih umum dikenal dengan ecosphare, yaitu bagian dari wilayah/ tempat yang termasuk di dalamnya beberapa planet yang memungkinkan makhluk hidup bisa eksis di dalamnya. Untuk pemahaman lebih lanjut berkaitan dengan istilah-istilah, terutama yang berkaitan ecosaphere dan turunannya dapat dilacak dalam Oxford University. 6
Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Jakarta, 1999, hlm.82-83
17 Dengan demikian berbicara tentang lingkungan, maka tidak akan terlepas dari siapa yang menempati lingkungan tersebut, sehingga di sini ada dua komponen, yaitu antara obyek dan subyek. Lingkungan pada dasarnya adalah dipahami sebagai alam sekitar, entah di sekitar manusia atau makhluk lain. Dan istilah lingkungan biasanya dipadankan dengan suatu kehidupan, sehingga dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa lingkungan hidup adalah semua benda dan kondisi, termasuk manusia dan tingkah lakunya yang ada dalam yang kita tempati yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya.7 Pemahaman
yang
secara
sepintas
tentang
lingkungan
ini,
mengindikasikan kepada pengertian bahwa manusia-lah yang menjadi subjek dan lingkungan di mana manusia hidup adalah sebagai objeknya. Hal ini mempunyai implikasi bahwa sesuatu objek adalah suatu sasaran, tujuan8 atau dapat dikatakan sebagai penderita, walaupun tidak selamanya menjadi sasaran dari tujuan, terkadang menjadi juga ikut andil dalam penentuan sesuatu akan tetapi peran yang dimainkan juga tidak terlalu banyak. Oleh karena itulah pemahaman ini mengarah kepada antroposentrisme (paham yang memposisikan manusia sebagai subjek utama), yang dalam hal ini pihak yang diuntungkan adalah manusia, sehingga segala apa yang dilakukan olehnya adalah benar adanya, karena mereka merupakan penguasa dari obyek tersebut, entah mau dibuat hitam atau putih adalah tergantung dari kehendak manusia. Kalau manusianya adalah menyadari bahwa ia tidak akan hidup tanpa lingkungan, maka ia akan berfikir untuk tidak bertindak sewenang-wenang terhadap lingkungan. Akan tetapi sebaliknya jika manusia tersebut sangat rakus terhadap lingkungan dengan eksploitasi besar-besaran yang ujungnya adalah ketidakseimbangan ekosistem adalah akan merusak tatanan lingkungan yang sudah tertata rapi oleh sunah alam.
7
Lihat dalam Abdurrahman, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm. 6-7 8
60
Baca L. Sunoto, Istilah-Istilah Tata Bahasa Indonesia, Silas Press, Jepara, 1988, hlm.
18 Melihat begitu banyaknya ketimpangan dari pemahaman tentang apa hakikat dari lingkungan, hemat penulis adalah segala ruang kehidupan baik di dalam atau di luar suatu organisme, baik lingkungan biotik maupun abiotik sehingga seluruh alam jagat raya ini adalah disebut dengan lingkungan kosmik yang luas. Oleh karena itu, lingkungan tidak hanya dibatasi oleh di mana manusia hidup atau tinggal (baca: lingkungan sosial), akan tetapi keseluruhan tata kehidupan yang menjadikan antara satu makhluk dengan yang lainnya yang menjadi daya dukung adalah saling mengisi dan menerima. Dengan demikian sistem kehidupan berkeseimbangan yang menjadi prasyarat bagi terwujudnya kehidupan berkelanjutan, yang mana manusia harus mengerti posisinya dalam lingkungan dan harus menempatkan diri secara proporsional.9 Inilah hakekat dari lingkungan karena manusia tidak sepenuhnya menentukan dalam kehidupan dan keberlangsungan lingkungan, akan tetapi lingkungan itu sendiri juga mempunyai peran yang aktif dalam menentukan kehidupan dan keberlangsungannya. Sehingga peran yang mutual adalah sangat diidolakan, bukan peran yang parasit, di mana manusia yang mempunyai otoritas dalam mengelola lingkungan dengan kesewenangannya merusak lingkungan yang tidak memperhatikan keseimbangan akan ekosistem.
B. Pengertian Pemeliharaan Lingkungan Hidup Dari pemaparan beberapa pendapat di atas, dapat ditarik sebuah definisi bahwa pemeliharaan lingkungan adalah sebuah upaya atau usaha untuk menjaga10 lingkup di mana manusia hidup, ia tinggal di dalamnya, baik
9
Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an, Paramadina, Jakarta, 2001, hlm. 153 10 Istilah menjaga sebenarnya, lebih kompatible dari pada perlindungan, hal tersebut disinggung oleh Yusuf Al-Qardhawi dalam karyanya Islam Agama Ramah Lingkungan, yang menyebutkan bahwa perlindungan (himayah) mempunyai konotasi menjaga dari hal-hal negatif dan kepunahan, ini berarti melindunginya dari hal-hal yang merusak, membahayakan dan mencemarinya. Sedangkan kalimat pemeliharaan (ri’ayat) mengandung konotasi menjaga dari sisi keberadaannya dan ketiadaannya sekaligus, dengan kalimat lain dari sisi positif dan negatif. Hal tersebut sangat ekuivalen dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Shahih
19 ketika bepergian ataupun mengasingkan diri sebagai tempat ia kembali, baik dalam keadaan rela ataupun terpaksa. Dengan demikian sesuai dengan kedudukan dan martabatnya, yaitu sebagai pemegang dan pengelola bumi ini, manusia harus bertanggungjawab terhadap
pemeliharaan
dan
kemajuan
lingkungan
hidupnya
dan
11
mempertanggungjawabkan segala perbuatannya.
Oleh karena itu para ahli12 mengklasifikasikan lingkungan dalam tiga kategori besar, yaitu: a. Lingkungan fisik (physical environment) Yaitu segala sesuatu di sekitar kita yang berbentuk benda mati seperti rumah, kendaraan, gunung, udara, sinar matahari dan yang semacamnya. b. Lingkungan biologis (biological environment) Yaitu segala sesuatu yang berada di sekitar manusia yang berupa organisme hidup lainnya selain dari manusia sendiri, binatang, tumbuhtumbuhan, jasad renik (plankton) dan lainnya. c. Lingkungan sosial (social environment) Yaitu manusia-manusia lain yang berada di sekitarnya seperti tetangga, teman dan lain-lainnya.13
Muslim, Juz IV, (Barnamij al-Hadits Syarif Kutub Tis’ah), Global Islamic Software Company, 2000. hlm. 8, tentang sebuah tanggungjawab pemeliharaan diri, keluarga dan alam sekitar, yaitu:
......ﻋ ﱠﻴ ِﺘ ِﻪ ِ ﻦ َر ْﻋ َ ل ٌ ﺴﺌُﻮ ْ ع َو ُآﻠﱡ ُﻜ ْﻢ َﻣ ٍ ُآﻠﱡ ُﻜ ْﻢ رَا Artinya: “Kamu sekalian adalah pemimpin dan akan dimintakan pertangungjawaban kepemimpinannya itu……”. Inilah mengapa penulis lebih sepakat penggunaan kosakata ri’ayat, karena tanggungjawab adalah ditekankan untuk mengatur antara hak dan kewajiban. 11
Untuk melihat betapa besar tanggungjawab manusia terhadap lingkungannya dapat dibaca dalam Ahmad Syadali, Qur’an dan Pemeliharaan Lingkungan Hidup, Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI), Yogyakarta, 1992 12
Di antara tokoh-tokoh pemerhati lingkungan adalah Emil Salim dengan bukunya Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Mutiara, Jakarta, 1979, Supardi, Lingkungan Hidup dan Kelestariannya, Alumni, Bandung, 1985, Ahmad Syadali, Qur’an dan Pemeliharaan Lingkungan Hidup, Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI), Yogyakarta, 1992 serta, William Chang, Moral Lingkungan Hidup, Kanisius, Yogyakarta, 2001 13
Abdurahman, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm. 8-9
20 Lingkungan dengan keragamannya memang menyimpan berbagai persoalan, di antaranya jika dihadapkan dengan pembangunan, maka masalah lingkungan sering dikesampingkan bahkan pengelolaan lingkungan menjadi tertinggal dari tujuan pembangunan itu sendiri. Oleh karena itulah sangat diperlukan pengelolaan atau pemeliharaan dalam arti luas.14 C. Pemeliharaan Lingkungan Dalam Islam Umat Islam meyakini bahwa Allah-lah yang telah menciptakan alam semesta. Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa adanya alam semesta, termasuk bumi dan seluruh isinya baik yang ada di permukaan ataupun yang terkandung di dalam lapisan perut bumi, merupakan suatu ayat sebagai bukti kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan dalam hal ini tidak hanya menciptakan sesuatu dari yang tidak ada (conditio ex nihilo) menjadi ada (in exist), namun juga mencakup juga penjagaan, pemeliharaan, pengaturan dan pemenuhan kebutuhan serta seluruh aspek pendukung terhadap sistem dan jaringan ciptaan-Nya dengan sebaik-baiknya.15 Oleh karena itulah semua tatanan lingkungan hidup yang diciptakan oleh Allah
adalah mempunyai hukum keseimbangan (equilibrium), hal
tersebut disinggung dalam al-Qur’an:
14 Ibid., hlm. 14. Sebagai makhluk ekologi, ternyata manusia sadar atau tidak telah dan sedang merubah oikos itu sendiri. Hal ini didasari karena manusia merasa mempunyai fungsi sebagai penakluk alam semesta, sehingga apapun yang dilakukan oleh manusia adalah berdalih untuk kesejahteraan manusia atau kepentingan-kepentingan yang terselubung (vested interests), sehingga tidak sedikit mereka telah menggarap oikos ini pada batas yang memprihatinkan. Melihat dari kecenderungan manusia yang konsumtif tersebut mengindikasikan bahwa manusia menerapkan filsafat pragmatis dan utilitarian, misalnya dalam pengelolaan hutan, mereka hanya mempertimbangkan aspek besarnya keuntungan saja tanpa memperhatikan bencana yang diakibatkan karena eksploitasi hutan yang berlebihan, misalnya banjir, longsor, meluasnya areal padang gurun yang menyebabkan kawasan hutan semakin berkurang, padahal hutan adalah paruparu dan jantung bumi. Keterangan yang komprehenship, bagaimana ekologi dilihat dari beberapa sudut pandang serta bagaimana upaya-upaya mutakhir untuk menyelamatkan ekologi tersebut dapat dibaca dalam William Chang, Moral Lingkungan Hidup, Kanisius, Yogyakarta, 2001 15
Sahirul Alim, Menguak Keterpaduan Sains, Teknologi dan Islam, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1996, hlm. 131
21
ض َوﻣَﺎ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬﻤَﺎ ﺑَﺎﻃِﻼ َ ﻻ ْر َ ﺴﻤَﺎ َء وَا ﺧَﻠ ْﻘﻨَﺎ اﻟ ﱠ َ َوﻣَﺎ Artinya: “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah” (َQ.S: Shad: 27). Menurut ekologi memang tidak ada makhluk yang diciptakan di alam raya ini dengan percuma, karena kehidupan makhluk, baik tumbuh-tumbuhan, binatang maupun manusia saling keterkaitan dalam tatanan lingkungan hidup. Dengan terjadinya gangguan yang luar biasa terhadap salah satu unsur dari lingkungan hidup tadi oleh karena kegiatan manusia atau oleh proses alam, maka yang akan terjadi adalah gangguan terhadap keseimbangan dalam lingkungan hidup (ekosistem) secara menyeluruh. Sebuah contoh, hutan yang berada jauh di hulu sungai, jika ditebang habis secara sewenang-wenang atau terbakar habis, maka akan menimbulkan akibat berupa banjir besar di musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau. Selanjutnya hal tersebut akan beruntun dengan terganggunya kehidupan padi di sawah-sawah dan pada akhirnya menimbulkan paceklik (kekurangan makanan) bagi manusia dan makhluk hidup di sekitarnya. Oleh karena itulah supaya tetap terpelihara kesimbangan dan kelestarian lingkungan hidup, Tuhan sebagai great creator, telah memberikan inspirasi dalam wahyu-Nya, yaitu:
ﺣ َﻤ َﺔ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْ ن َر ﻃ َﻤﻌًﺎ ِإ ﱠ َ ﺧ ْﻮﻓًﺎ َو َ ﺣﻬَﺎ وَا ْدﻋُﻮ ُﻩ ِ ض َﺑ ْﻌ َﺪ ِإﺻْﻼ ِ ﺴﺪُوا ﻓِﻲ ا ْﻟ َﺄ ْر ِ وَﻻ ُﺗ ْﻔ (56 :ﻦ)اﻻﻋﺮاف َ ﺴﻨِﻴ ِﺤ ْ ﻦ ا ْﻟ ُﻤ َ ﺐ ِﻣ ٌ َﻗﺮِﻳ Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo`alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. (Q.S: al-A’raf: 56). Kata-kata ba’da ishlakhiha pada ayat tersebut dengan jelas menunjukkan adanya hukum keseimbangan dalam tatanan lingkungan hidup yang harus diusahakan agar tetap terpelihara kelestariannya.16
16
Ahmad Syadali, op.cit., hlm. 172
22 Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa yang cantik dan bijak mengingatkan manusia supaya tidak kering spiritual dan gamang akan gebyar dunia. Adapun yang menjadi pondasi dasar supaya manusia tetap lestari adalah dengan berbuat baik atau bertindak sesuai dengan norma keseimbangan ekosistem serta menjauhi sifat dan perilaku yang destruktif terhadap hasil ciptaan Tuhan yang ada di muka bumi ini. Hal tersebut dapat dilihat dari statement yang dilontarkan Rasulullah bahwa, mengolah atau membudidayakan bumi ini adalah sebuah keniscayaan dan inilah fungsi manusia sebagai khalifah untuk memakmurkan alam ini, yaitu:
ﻲ َﻟ ُﻪ َ ﺣﻴَﺎ َأ ْرﺿًﺎ َﻣ ﱢﻴ َﺘ ًﺔ َﻓ ِﻬ ْ ﻦ َأ ْ َﻣ Artinya: “ Barang siapa yang menghidupkan tempat-tempat yang sudah mati (tidak produktif) maka ia berhak untuk memilikinya.17 Dengan banyaknya ayat al-Qur’an yang menggunakan lafadh larangan membuat kerusakan di muka bumi ini, maka sebagai mafhum mukhalafahnya, adalah ayat tersebut mengandung perintah untuk menjaga dan memelihara alam ini dengan tidak membuat kerusakan di dalamnya. Oleh karenanya masalah lingkungan sekarang sudah merupakan problem serius, terutama bagi pemerintahan dan masyarakat dunia pada umumnya. Masalah lingkungan hidup memang merupakan masalah yang kompleks di mana lingkungan lebih banyak bergantung kepada tingkah laku manusia yang semakin lama semakin menurun baik dalam kualitas maupun kuantitas dalam menunjang kehidupan manusia. Sehingga dengan adanya berbagai usaha penggalian sumber daya alam dan pembangunan industriindustri untuk memproduksi barang-barang konsumsi tanpa adanya usaha perlindungan terhadap pencemaran lingkungan oleh buangan yang akan merupakan racun bagi lingkungan hidup di sekitarnya yang dapat membawa kematian. Apalagi ditambah dengan pertambahan penduduk yang tidak 17
Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Mausu’ah al-Hadits al-Syarif), Kitab alMuzara’ah, Global Islamic Software Company, 2000
23 diimbangi dengan pertumbuhan lapangan pekerjaan yang memadai sehingga banyak menimbulkan kebrutalan manusia terhadap kelestarian lingkungan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal tersebut diperparah dengan sifat yang masa bodoh dari masyarakat terhadap lingkungannya. Sehingga dengan adanya gaya hidup orang-orang yang berada yang kurang serasi, adanya pemborosan dalam penggunaan sumber daya alam, kebodohan dan kemelaratan menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sehingga akan mengganggu stabilitas ekosistem.18 Oleh karena itu menurut Emil Salim bahwa yang menyebabkan goncangnya keseimbangan lingkungan hidup adalah: 1. Perkembangan teknologi yang berhasil diwujudkan oleh akal dan otak manusia. Perkembangan teknologi yang berkelanjutan dapat merubah keadaan yang berada di ruang lingkungan hidup, sehingga timbul gangguan pada keseimbangan sistem lingkungan hidup. Apabila gangguan ini dibuat oleh manusia sendiri maka pemulihan keseimbangan sistem lingkungan hidup harus diusahakan pula oleh manusia. harus pula diusahakan manusia. Dari sinilah
tersimpul
keperluan
untuk
mengindahkan
pengembangan
lingkungan hidup dalam menjalankan pembangunan. 2. Ledakan penduduk. Selama pertambahan penduduk berada dalam batas kesewajaran, maka pertambahan ini tidak mengganggu terlalu banyak keseimbangan lingkungan. Akan tetapi apabila perkembangan teknologi kemudian memungkinkan manusia untuk meningkatkan kesejahteraannya dan tingkat kematian dapat dikendalikan dan diturunkan, maka timbullah ledakan penduduk yang menggoncangkan keseimbangan lingkungan. Dengan bertambahnya manusia dari waktu kewaktu dengan ruang tempat 18
Supardi, Lingkungan Hidup dan Kelestariannya, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 128
24 yang terbatas, maka akan menyebabkan lingkungan hidup yang bersifat fisik dan sosial.19 Melihat betapa pentingnya pemeliharaan lingkungan, Islam sebagai agama universal juga turut ambil bagian dalam pemeliharaan lingkungan. Di antara kepedulian Islam adalah dengan adanya firman yang memerintahkan untuk tidak berbuat kerusakan dalam muka bumi, yaitu pada surat al-A’raf: 56:
ﺣ َﻤ َﺔ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْ ن َر ﻃ َﻤﻌًﺎ ِإ ﱠ َ ﺧ ْﻮﻓًﺎ َو َ ﺣﻬَﺎ وَا ْدﻋُﻮ ُﻩ ِ ض َﺑ ْﻌ َﺪ ِإﺻْﻼ ِ ﻻ ْر َ ﺴﺪُوا ﻓِﻲ ا ِ ﻻ ُﺗ ْﻔ َو ﻦ َ ﺴﻨِﻴ ِﺤ ْ ﻦ ا ْﻟ ُﻤ َ ﺐ ِﻣ ٌ َﻗﺮِﻳ Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo`alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. Dari ayat tersebut, Imam Dhahak mengatakan sebagaimana yang dikutip oleh Imam al-Qurthuby bahwa yang dimaksud dengan wa la tufsiduu fi al-ardli adalah janganlah menutup sumber mata air kehidupan di mana manusia dan makhluk hidup yang lain hidup darinya serta janganlah menebang pepohonan yang mendatangkan buah-buahan serta pepohonan yang bermanfaat lainnya dengan tanpa perhitungan. Sedangkan ayat ba’da ishlahiha adalah setelah diturunkan Rasul yang membawa petunjuk kepada manusia untuk berbuat baik di muka bumi ini dengan pedoman yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul.20 Senada dengan pendapat di atas, Ibnu Katsir juga menyatakan bahwa Allah melarang untuk berbuat kerusakan di muka bumi ini dengan perbuatan atau apa saja yang dapat membahayakan keseimbangan alam ini. Sehingga 19
Emil Salim, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, cet. III., Mutiara, Jakarta, 1979, hlm. 16-17 20
Imam Abu Abdullah al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Holy Qur’an), ed. 6. 50., Sakhr, 1997
25 apabila manusia tidak mengindahkan pemeliharaan dan pelestarian bumi ini, maka yang terjadi adalah kerusakan. Oleh karena itulah Allah memerintahkan manusia untuk lebih melakukan mengingat, muamalat serta merendahkan diri dihadapan Allah jika dibandingkan kekuasaan-Nya yang tanpa batas. Hal ini dilakukan supaya manusia tetap sayang dan bertanggungjawab terhadap apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya, yaitu sebagai pengelola bumi ini (baca: khalifah).21 Secara umum, Islam memang telah mengajarkan bahwa alam yang telah ditundukkan Allah, yang merupakan karunia Allah bagi manusia adalah untuk
kepentingan
manusia,
yaitu
supaya
dimanfaatkan
demi
kepentingannya.22 Hal tersebut dapat dilihat dalam firman Allah dalam surat Luqman: 20, yaitu:
ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ِﻧ َﻌ َﻤ ُﻪ َ ﺳ َﺒ َﻎ ْ ض َوَأ ِ ﻻ ْر َ ت َوﻣَﺎ ﻓِﻲ ا ِ ﺴ َﻤﻮَا ﺨ َﺮ َﻟ ُﻜ ْﻢ ﻣَﺎ ﻓِﻲ اﻟ ﱠ ﺳﱠ َ ن اﻟﱠﻠ َﻪ َأَﻟ ْﻢ َﺗ َﺮوْا َأ ﱠ ب ٍ ﻋ ْﻠ ٍﻢ وَﻻ ُهﺪًى وَﻻ ِآﺘَﺎ ِ ل ﻓِﻲ اﻟﱠﻠ ِﻪ ِﺑ َﻐ ْﻴ ِﺮ ُ ﻦ ُﻳﺠَﺎ ِد ْ س َﻣ ِ ﻦ اﻟﻨﱠﺎ َ ﻃ َﻨ ًﺔ َو ِﻣ ِ ﻇﺎ ِه َﺮ ًة َوﺑَﺎ َ ُﻣﻨِﻴ ٍﺮ Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu ni`mat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan”. Dari ayat tersebut Yusuf Al-Qardhawi berkomentar bahwa pada dasarnya manusia mempunyai potensi-potensi alam, yang semuanya tidak ada sesuatu yang sulit jika manusia menyadari akan Sunnatullah di alam raya ini serta berupaya untuk menyingkap rahasia-rahasia yang ada di alam ini untuk dibudidayakan demi kebaikan dan kebahagiaan bagi manusia. Akan tetapi
21
Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibn Katsir, (Holy Qur’an), ed. 6. 50., Sakhr, 1997
22 Dengan diberinya manusia otoritas tertinggi untuk mengelola bumi inilah yang melahirkan paham anthroposentris, di mana manusia-lah yang menjadi subyek yang dapat membuat hitam putih-nya bumi ini.
26 manusia diperingatkan supaya tidak mentuhankan alam atau kultus pribadi karena telah diberi otoritas tertinggi untuk mengolah alam ini, sebagai khalifah.23 Manusia dilihat dari potensi yang dimilikinya dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: 1. Manusia sebagai perusak Contoh yang nyata tentang hal ini ialah dalam peperangan di mana manusia saling membunuh dan memusnahkan sesamanya serta merusak lingkungan hidupnya. Hal ini sudah diisyaratkan dalam al-Qur’an yang menyitir pandangan malaikat terhadap manusia, yang mereka gambarkan sebagai perusak yang menumpahkan banyak darah di bumi ini. 2. Manusia sebagai pencipta dan pembangunan Demikianlah tugas dari manusia yang diciptakan ke muka bumi ini, yaitu untuk menggarap dan memakmurkannya. Dengan fasilitas dan bahan baku, menjadikan manusia untuk pengolahan dan pemrosesan, sehingga manusia harus berdaya upaya menciptakan sesuatu dan membangun dari bahan-bahan yang sudah tersedia dengan menggunakan segala fasilitas yang
sudah
diperuntukkan
manusia.
Walaupun
demikian
dalam
pengelolaan bumi dan isinya sudah diberikan rambu-rambu oleh Allah dalam al-Qur’an. Dari ayat tersebut dapat ditemukan pedoman dan bimbingan yang mengatur penyelenggaraan hidupnya yang baik (shalih) di mana terjamin keselamatan dan kesejahteraannya dalam kehidupan yang terbatas di alam dunia ini dan untuk hidup yang lebih baik di hari kemudian yang kekal. 3. Manusia sebagai pemelihara Pemeliharaan dan perawatan adalah hal yang sangat penting dalam pengembangan dan pelestarian segala hasil cipta dan pekerjaan manusia. Demikian juga terhadap segala sumber daya yang memungkinkan ia 23
Yusuf Al-Qardhawi, Karakteristik Islam Kajian Analitik, terj. Rofi’ Munawwar & Tajuddin., Risalah Gusti, Surabaya, 1994, hlm. 83
27 mencipta dan bekerja. Untuk mencapai kondisi yang demikian, maka diperlukan keadaan yang tenteram dan tata tertib kehidupan dalam lingkungan di mana dia hidup.24 Dari sinilah mengapa manusia dikatakan sebagai pemelihara terhadap apa yang ada di sekitarnya. Demikian juga dengan yang terjadi di Indonesia, bahwa pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan dan pengembangan lingkungan hidup. Hal tersebut sudah tercermin dalam pasal 4 UU Lingkungan Hidup, yaitu: a. Tercapainya keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup sebagai tujuan membangun manusia Indonesia seutuhnya. b. Terkendalinya pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana. c. Terwujudnya manusia Indonesia sebagai pembina lingkungan hidup d. Terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang e. Terlindungnya negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.25 Inilah sebuah fungsi kebersamaan dalam pemeliharaan lingkungan yang mana seluruh aspek masyarakat harus dilibatkan, mulai dari; pemerintah yang mempunyai tugas: pembinaan, pengawasan dan pengamanan; Produsen bertugas memberikan informasi yang benar; Perusahaan wajib memelihara lingkungan hidup serta wajib mengganti kerugian,26 dan yang tidak kalah penting adalah masyarakat secara umum. Dengan pendidikan, terutama yang berbasis pesantren diharapkan akan terbentuk dan tersiapkan manusia yang akram (lebih bertakwa kepada Allah SWT) dan shalih (yang mampu mewarisi bumi ini dalam arti luas, mengelola, memanfaatkan, menyeimbangkan dan
24
Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga Ukhuwah, Mizan, Bandung, 1995, hlm 139-140 25
Muhammad Djumhana, Hukum Ekonomi Sosial Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hlm. 172 26
Ibid., hlm. 345-365
28 melestarikan) dengan tujuan akhirnya untuk mencapai sa’adatun darain (kebahagiaan dunia-akhirat).27 Hal tersebut dapat dilihat dari pesan al-Qur’an yang menyatakan bahwa:
ﻼﻧَﺎ ِم َ ﺿ َﻌﻬَﺎ ِﻟ َ ض َو َ ﻻ ْر َ وَا Artinya: “Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk-Nya”. (Q.S: alRahman: 10). Menanggapi ayat tersebut Mujiyono Abdillah berpendapat bahwa ayat di atas adalah mempunyai pesan ekoteologis, dengan menterjemahkan ayat tersebut sebagai berikut: “sumber daya alam dan lingkungan diciptakan oleh Allah untuk didayagunakan oleh manusia”. Kata kunci yang digunakan adalah pada kata lam, yang mempunyai arti hak untuk memanfaatkan (lam li tanfi bukan lam li tamlik atau hak memiliki). Oleh karena itu dapat dimaknai bahwa manusia diberi hak dan wewenang oleh Allah untuk memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan dalam batas-batas kewajaran ekologis, sehingga manusia tidak berwenang untuk mengeksploitasi secara sewenang-wenang, sebab manusia bukan pemilik hakiki lingkungan, karena pada hakekatnya pemilik lingkungan adalah Allah.28 Oleh karena itu dengan adanya bumi ini bukanlah untuk dirusak, akan tetapi dibangun untuk kepentingan manusia sendiri dan dengan demikian malaikat tampaknya telah melihat bahwa penguasa-penguasa di bumi sebelum Adam telah pernah melakukan perusakan. Dari ayat tersebut telah nyata
27
Sahal Mahfud, Nuansa Fiqih Sosial,cet. I., LKiS, Yogyakarta, 1994, hlm. 378
28
Untuk melihat bagaimana agama terutama Islam dalam meninjau ekologis dalam perspektif teologis dapat dibaca dalam Mujiyono Abdillah, Rekonstruksi Teologi Lingkungan Dalam Pembangunan Masyarakat Madani, Makalah Seminar Membangun Jati diri Kota Menuju Masyarakat Madani, DPRD, Jambi, 2002
29 bahwa Islam telah melarang keras segala bentuk macam pengrusakan.29 Hal tersebut sangat sinkron dengan ayat:
ن َ ﺼِﻠﺤُﻮ ْ ض وَﻻ ُﻳ ِ ﻻ ْر َ ن ﻓِﻲ ا َ ﺴﺪُو ِ ﻦ ُﻳ ْﻔ َ (اﱠﻟﺬِﻳ151)ﻦ َ ﺴ ِﺮﻓِﻴ ْ وَﻻ ُﺗﻄِﻴﻌُﻮا َأ ْﻣ َﺮ ا ْﻟ ُﻤ (152) Artinya: “Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan”. (Q.S: al-Syu’ara’: 151-152) Dari ayat inilah secara jelas bahwa tidak mentaati orang-orang yang melewati batas serta yang membuat kerusakan di muka bumi yang tidak mengadakan perbaikan adalah bentuk perintah yang keras. Walaupun manusia mempunyai peluang yang sangat besar untuk tidak melaksanakan perintah di atas.30 Oleh karena itulah manusia dituntut untuk bersikap dan bergaya hidup yang bertanggungjawab terhadap lingkungannya (environmentally responsible life style). Sehingga anggapan dan pandangan sementara orang yang mengatakan bahwa alam ini adalah warisan nenek moyang, oleh karena itu harus dinikmati sepuas-puasnya, berdasarkan keinginan bukan kebutuhan. Padahal alam ini adalah hutang yang terima dari anak cucu kita, dengan demikian alam ini harus dilestarikan daya dukungnya. Bukankah alam ini adalah amanat Tuhan kepada manusia ?, yang memerlukan perilaku manusia yang bijak dan tanggungjawab serta tidak memberlakukan alam dan penghuninya dengan kendali nafsu dan kerakusan.31 Sikap yang bertanggungjawab inilah yang harus dikembangkan demi lestarinya lingkungan ini serta pembangunan disegala aspek kehidupan manusia yang berkelanjutan (sustainable development). Oleh karena itulah 29
Baca dalam Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Bandung, 1995, hlm. 202
Mizan,
30
Inilah sebuah tanggungjawab yang harus dipikul oleh manusia, baik sebagai khalifah maupun penyandang mandat keagamaan. Untuk melihat bagaimana peran manusia dalam tanggungjawab tersebut yang telah dirisaukan oleh makhluk Allah yang lain, dapat dilihat dalam Q.S: al-Ahzab; 72 yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. 31
Masyhur Amin, Dinamika Islam (Sejarah Transformasi dan Kebangkitan), PKPSM, Yogyakarta, 1995, hlm. 199
30 perlu didukung segala komponen masyarakat supaya alam ini tetap terpelihara, di antara elemen tersebut adalah: pemerintah (umara’), cerdik pandai (ulama’), mediator, pengusaha dan rakyat secara keseluruhan. Sehingga masing-masing elemen tersebut harus bergotong-royong dalam melestarikan daya dukung lingkungan ini demi masa depan generasi berikutnya.32
32
Ibid., hlm. 200