21
BAB II PENGATURAN PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA A. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia 1. Latar belakang dan sejarah hukum persaingan usaha di Indonesia Dalam sejarah bangsa Indonesia tentang praktik monopoli dimulai dari zaman penjajahan Belanda, dimana adanya suatu organisasi perdagangan VOC yang melakukan monopoli perdagangan di wilayah Indonesia. Selama kurun waktu di bawah kekuasaan Belanda, Inggris, dan Jepang, baik secara langsung, maupun tidak langsung, sebagian maupun kesuluruhan, praktik monopoli dalam perdagangan secara terus-menerus dilakukan di Indonesia. 28Arus globalisasi yang didorong oleh perkembangan pembangunan ekonomi menjadi pemicu banyaknya tantangan yang harus dihadapi dalam dunia usaha, yang diantaranya adalah masalah persaingan usaha.Persaingan usaha dalam perdagangan ekonomi ini mencakup persaingan produk atau komoditi dalam skala regional dan juga internasional.Dimana keunggulan komoditi menjadi penentu pangsa pasar, sehingga harus disadari bahwa liberalisasi perdagangan yang bebas dan adil harus tetap diberlakukan.Inilah yang kemudian memicu terjadinya persaingan itu. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat juga membedakan istilah “monopoli” dan “praktik monopoli”. Kata monopoli bermakna netral, yaitu penguasaan atas produksi dan/ atau pemasaran barang dan/ atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha satau satu kelompok pelaku usaha.Penguasaan 28
Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha, (Malang: Bayumedia Publishing,2009),
hlm. 11.
Universitas Sumatera Utara
22
demikian tidak selalu bermakna negatif.Sementara yang dilarang adalah praktik monopoli, yang oleh UU Nomor 5/1999 diartikan sebagai monopoli yang menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan
umum.Jadi
monopoli
dapat
berdampak
positif
dan
juga
negatif. 29Adanya suatu persaingan menjadi sangat penting dalam perkembangan suatu negara, yaitu untuk mengukur tingkat kemampuan bangsa tersebut dalam bersaing di pasar internasional, serta untuk meyakinkan investor 30 dan eksportir dari negara lain agar masuk ke dalam pasar domestik. Untuk itulah dibutuhkan suatu Undang–Undang yang diharapkan dapat mengatur berbagai permasalahan yang timbul akibat dari persaingan ini dan dapat mengontrol perilaku para pelakupasar yang berpotensi dapat menghambat persaingan usaha serta merusak mekanisme pasar. 31 Di Indonesia sendiri sudah sangat lama ditunggu-tunggu kehadiran Undang–Undang Anti Monopoli, terutama oleh para pebisnis kecil yang baru saja memulai usahanya. Hal ini dikarenakan sering kali penguasa atau pemerintah memberikan pengecualian bagi pengusaha besar yaitu berupa perlindungan maupun keistimewaan tersendiri. Situasi ini membuat pebisnis kecil semakin kecil, bahkan gulung tikar.Sementara pebisnis besar semakin besar dan menggurita. Dan ironisnya, sebagian besar dari para pelaku bisnis yang besar tersebut tidak ingin berbuat hal positif
dan membawa dampak positif bagi
29
Catatan seputar Hukum Persaingan Usaha dan Antimonopoli di Indonesia, http://business-law.binus.ac.id/2013/01/20/catatan-seputar-hukum-persaingan-usaha/,(diakses pada tanggal 22 Januari 2016). 30 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Investor adalah Penanam modal atau uang;orang yang menanamkan uangnya dalam usaha dengan tujuan mendapatkan keuntungan. 31 Suhasril dan Muhammad Taufik, Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia (Bogor:Ghalia Indonesia,2010) hlm.5.
Universitas Sumatera Utara
23
perekonomian bangsa Indonesia. Lebih parahnya lagi, pemerintah juga sudah sangat merasa nyaman dengan konsisi simbiosis mutualisme yang terjalin dengan para pebisnis besar pada saat itu.Akibatnya timbullah kondisi perekonomian yang tidak sehat di tengah-tengah masyarakat, baik antar produsen, maupun antara produsen dengan konsumen. Ada beberapa alasan mengapa pada waktu itu pemerintah sulit sekali menyetujui suatu Undang-Undang Anti Monopoli yang dirancang dan diusulkan oleh para pakar, Lembaga Swadaya Masyarakat, bahkan Partai Politik, diantaranya yaitu: 32 1. pemerintah menganut konsep bahwa perusahaan–perusahaan besar perlu ditumbuhkan untuk menjadi lokomotif pembangunan. Perusahaan tersebut hanya mungkin menjadi besar untuk kemudian menjalankan fungsinya sebagai lokomotif pembangunan apabila perusahaan–perusahaan itu diberi perlakuan khusus. Perlakuan khusus ini, dalam pemberian proteksi yang dapat menghalangi masuknya perusahaan lain dalam bidang usaha tersebut atau dengan kata lain memberikan posisi monopoli; 2. pemberian fasilitas monopoli perlu ditempuh karena perusahaan itu telah bersedia menjadi pioner di sektor yang bersangkutan. Tanpa fasilitas monopoli dan proteksi, maka sulit bagi Pemerintah untuk dapat memperoleh kesediaan investor menanamkan modalnya di sektor tersebut;
32
Rachmadi Usman I, op.cit., hlm.2.
Universitas Sumatera Utara
24
3. untuk menjaga berlangsungnya praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) demi kepentingan kroni mantan Presiden Soeharto dan pejabat – pejabat yang berkuasa pada waktu itu. Dalam sejarahnya upaya untuk membentuk hukum persaingan usaha telah dimulai sejak tahun 1970-an. Berbagai konsep rancangan dan naskah akademik telah dimunculkan, namun baru tahun 1998, sebagian karena desakan International Monetary Fund (IMF) 33 dan juga dengan segala dorongan dan tuntutan dari masyarakat akan reformasi total termasuk tentang penghapusan kegiatan monopoli di segala sektor, maka Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada saat itu mengajukan Rancangan Undang–Undang Anti Monopoli.Akhirnya terciptalah jaminan terhadap terjadinya persaingan usaha yang sehat dan jauh dari tindak monopoli melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan hak inisiatifnya 34 dengan membuat Undang-Undang Persaingan Usaha, dan selanjutnya diterima dan disahkan pada tanggal 5 Maret 1999 di Jakarta oleh Presiden Republik Indonesia, dengan nama Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehatmengatur tentang perilaku-perilaku pelaku usaha, yaitu yang berkaitan dengan monopoli dan persaingan usaha tidak
33
The International Monetary Fund (IMF) is an organization of 1888 countries, working to foster global monetary cooperation,secure financial stability,facilitate international trade, promote high employment and sustainableeconomic growth, and reduce poverty around the world, http://www.imf.org/external/about.htm, (diakses pada tanggal 20Januari 2016). 34 Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktiknya di Indonesia), (Medan: Rajawali Pers, 2010), hlm. 14.
Universitas Sumatera Utara
25
sehat. Secara etimologi, kata monopoli berasal dari kata “monos” yang berarti sendiri dan “polein” yang berarti penjual. 35Dalam Pasal 1 angka 1UU Nomor 5/1999, disebutkan bahwa monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. 36 2. Pengaturan Persaingan Usaha sebelum disahkannya UU Nomor 5/1999
Sebelum disahkannya UU Nomor 5/1999, ada beberapa ketentuan yang secara sepintas mengatur permasalahan yang berkaitan dengan persaingan usaha yang sehat, yaitu : a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pada pasal 1365 KUHPerdata, dikatakan bahwa: 37 “Setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan
orang
yang
menimbulkan
kerugian
tersebut
karena
kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.” Pasal ini jika dikaitkan dengan hukum persaingan usaha, maka dapat diartikan bahwa jika ada pelaku usaha yang tidak jujur dan tidak sehat yang dilakukan pesaing usahanya, dapat menuntut pelaku usaha yang bersangkutan, sepanjang dapat dibuktikan bahwa ada hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan pesaingnya dengan kerugian yang dialaminya. Namun dalam praktiknya, pasal ini sukar diterapkan dalam permasalahan persaingan usaha, 35
Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 18. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 37 Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 36
Universitas Sumatera Utara
26
karena perbuatan yang bertentangan dalam dunia usaha kadangkala tidak dapat diterima sebagai perbuatan yang dilarang menurut KUHPerdata. b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pada pasal 382 KUHP, dikatakan bahwa: 38 “Barangsiapa mendapatkan, melangsungkan, atau memperluas hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiriatau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seorang tertentu, diancam jika perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi konkuren-konkurennya atau konkurenkonkuren orang lain karena persaingan curang, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus rupiah”.Pasal 382 KUHP ini mengandung adanya perbuatan penipuan di suatu bidang usaha, yang bertujuan untuk semata-mata mencari keuntungan pribadi dengan
merugikan
pelaku
usaha
lainnya.Namun
ketentuan
ini
jarang
dipergunakan untuk menyeret pelaku persaingan curang dalam perdagangan atau perekonomian. 39 c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria Pada pasal 13 ayat (2) dikatakan bahwa pemerintah harus mencegah usaha-usaha dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.Dalam ayat 3 disebutkan bahwa monopoli pemerintah dalam lapangan agraria
dapat
diselenggarakan
asal
dilakukan
berdasarkan
Undang-
38
Pasal 382 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Rachmadi Usman I, op.cit.,hlm. 27.
39
Universitas Sumatera Utara
27
Undang. 40Melalui pasal ini, secara tersurat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 ini telah melarang dan mencegah monopoli di bidang pertanahan. Pihak swasta dilarang memonopoli usaha di bidang agraria.Demikian juga dengan usaha pemerintah yang bersifat monopoli, harus dicegah agar tidak sampai merugikan masyarakat banyak. d. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian Pada pasal 7 ayat (2) dan (3) Undang-Undang ini terdapat ketentuan yang bermaksud untuk mencegah perbuatan monopoli dan persaingan tidak sehat antara perusahaan-perusahaan yang melakukan kegiatan industri. Pasal ini mengatakan bahwa: ayat (2) Mengembangkan persaingan yang baik dan sehat serta mencegah persaingan yag tidak jujur; ayat (3) Mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat. 41 e. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil Undang-Undang ini menyatakan bahwa pemerintah harus menjaga iklim usaha dalam kaitannya dengan persaingan dengan membuat peraturan-peraturan yang diperlukan.Untuk melindungi usaha kecil, pemerintah juga harus mencegah pembentukan struktur pasar yang mengarah padapembentukan monopoli, oligopoli, dan monopsoni.
40
Pasal 13 ayat 2 dan 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 41 Pasal 7 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.
Universitas Sumatera Utara
28
f. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 melarang adanya ketentuan yang menghambat adanya persaingan sehat dalam pasar modal. 3. Asas dan Tujuan diadakannya UU Nomor 5/1999 Asas dari Undang–Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah “Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.”Hal ini sesuai dengan yang dicantumkan dalam pasal 2 UU Nomor 5/1999. 42Indonesia mempunyai landasan idill yaitu Pancasila dan landasan konstitusional yaitu Undang-Undang Dasar 1945.Oleh karena itu segala bentuk kegiatan masyarakat dan Negara harus sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.Demikian juga halnya dengan sistem perekonomian di Indonesia, harus sesuai landasan negara dan juga konstitusional, itulah yang disebut dengan Sistem Demokrasi Ekonomi. Dengan demikian, sistem demokrasi ekonomi dapat didefinisikan sebagai suatu sistem perekonomian nasional yang merupakan perwujudan dari falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang berasaskan kekeluargaan dan kegotogroyongan dari, oleh, dan untuk rakyat di bawah pimpinan dan pengawasan dari pemerintah. Pada sistem demokrasi ekonomi, pemerintah dan
42
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Universitas Sumatera Utara
29
seluruh rakyat baik golongan ekonomi lemah maupun pengusaha aktif dalam usaha mencapai kemakmuran bangsa. 43 Dari konsiderans menimbang UU Nomor 5/1999 dapat pula diketahui dasar falsafah yang mendasari penyusunan Undang-Undang ini adalah: 44 1. bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang–Undang Dasar 1945; 2. bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/ atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan berkerjanya ekonomi pasar yang wajar; 3. bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kegiatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepkatan yang telah dilaksanakan oleh Negara Republik Indonesia terhadap perjanjian–perjanjian internasional. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehatyang telah disebutkan di atas sejalan dengan dasar perekonomian bangsa Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yaitu :“Perekonomian disusun sebagai
43
Pengertian dan ciri-ciri positif dan negatif dari Sistem Ekonomi Demokrasi, http://www.berpendidikan.com/2015/09/pengertian-dan-ciri-sistem-ekonomi-demokrasi.html, (diakses pada tanggal 25 Januari 2016). 44 Rachmadi Usman, Hukum Acara Persaingan Usaha Indonesia, selanjutnya dissebut Rachmadi Usman II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 11.
Universitas Sumatera Utara
30
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” 45 Dimana ciri-ciri dari suatu prinsip demokrasi ekonomi menurut Pasal 33 UUD 1945 adalah : 1. perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; 2. cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajathidup orang banyak dikuasai oleh negara; 3. bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai olehnegara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; 4. potensi, inisiatif, dan daya kreasi setiap warga negara diperkembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum. Sehingga jelaslah bahwa penyusunan UU Nomor 5/1999 adalah berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 serta berasaskan kepada demokrasi ekonomi.Harus mementingkan kepentingan masyarakat banyak, usaha-usaha kecil
dan
menengah,
serta
kreasi
unit-unit
ekonomi
di
luar
sektor
negara.Pemusatan kekuatan ekonomi pada satu perusahaan tertentu yang dapat memonopoli usaha-usaha sejenis lainnya harus dihindarkan.Tujuan dibentuknya UU Nomor 5/1999, secara umum adalah untuk menjaga keseimbangan iklim persaingan, agar para pelaku usaha tersebut dapat bersaing dengan sehat. Ketika keseimbangan iklim persaingan itu telah tercipta, maka hak masyarakat yang berperan sebagai konsumen tidak akan tereksploitasi. Secara khusustujuan pembentukanUU Nomor 5/1999 adalah sebagai berikut: 46
45
Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 46
Universitas Sumatera Utara
31
1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. 2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui peraturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar; pelaku usaha menengah; dan pelaku usaha kecil. 3. Mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat yang ditimbulkan pelaku usaha. 4. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
B. Perjanjian dan Kegiatan yang dilarang menurut UU Nomor 5/1999 1. Perjanjian yang dilarang dalam UU Nomor 5/1999 Pengertian Perjanjian dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 7 UU Nomor 5/1999 yaitu suatu perbuatan dari satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun baik tertulis, maupun tidak tertulis. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan unsurunsur perjanjian menurut konsepsi UU Nomor 5/1999 meliputi: 47 1. perjanjian terjadi karena suatu perbuatan; 2. perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku usaha sebagai para pihak dalam perjanjian; 3. perjanjiannya dapat dibuat secara tertulis ataupun tidak tertulis; 4. tidak menyebutkan tujuan perjanjian.
47
Rachmadi Usman I, op.cit.,hlm.37.
Universitas Sumatera Utara
32
Pengertian Perjanjian juga ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu di Pasal 1313 “Suatu perjanjian merupakan suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 48Jika dikaitkan ke Undang-Undang anti monopoli, maka dapat disimpulkan bahwa inti dari sebuah perjanjian adalah adanya ikatan.Pihak yang terikat tidak harus melibatkan semua pihak.Artinya jika hanya ada satu pihak saja yang terikat, maka itu juga sudah cukup. Adapun perjanjian yang dilarang dalam UU Nomor 5/1999 diatur dalam bab III, pasal 4-16. Perjanjian tersebut berkaitan dengan : 1. oligopoli; 2. penetapan harga; 3. diskriminasi harga; 4. penetapan harga di bawah harga pasar; 5. penjualan kembali dengan harga terendah; 6. pembagian wilayah; 7. pemboikotan; 8. kartel; 9. trust; 10. oligopsoni; 11. integrasi vertikal 12. perjanjian tertutup (exclusive dealing); 13. perjanjian dengan luar negeri.
48
Pasal 1313 KUHPerdata.
Universitas Sumatera Utara
33
Bagian pertama, yaitu pasal 4 mengenai oligopoli menyatakan bahwa: 49 1. pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; 2. pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Pengertian oligopoli menurut Blacks Law Dictionary, yaitu “Economic climate existing where a few sellers sell only a standardized product.” 50Dari pengertian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa yang termasuk ke dalam perjanjian oligopoli adalah hanya jika ada sedikit (a few) pelaku usaha yang menjual produk yang sama. Ciri khas dari pasar oligopolis adalah memperdagangkan barang yang sejenis atau homogen, seperti segala jenis barang pecah belah yang terbuat dari plastik, peralatan tulis kantor, dan sebagainya. Dan juga para pelaku usaha di pasar tersebut memiliki ketergantungan satu sama lain, dimana ketika salah satu penjual menaikkan harga dagangannya, maka penjual lainnya juga akan menaikkan harga dagangannya. Dan sebaliknya jika harga diturunkan, maka semua penjual akan beramai-ramai menurunkan harga dagangannya. Inilah yang
49
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 50 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Abridged fourth edition, (St. Paul, Minn: West Publishing Co, 1968), hlm. 1237.
Universitas Sumatera Utara
34
menyebabkan hilangnya kondisi persaingan di antara pelaku usaha, karena semua menjual barang yang sama, dan dengan harga yang sama pula. Dari penjelasan di atas, maka dapat dilihat alasan apa yang mengakibatkan perjanjian oligopolis ini dilarang, yakni: 51 1. Merugikan Konsumen Praktik perjanjian oligopoli akan menghasilkan kinerja pasar (market performance) di bawah optimal yang sama pada perjanjian monopoli. Pelaku usaha akan mendapatkan keuntungan di atas normal, tetapi di pihak lain konsumen akan membayar harga yang lebih mahal terhadap barang dan jasa. Hal ini dimungkinkan, karena konsumen akan menanggung semua biaya tambahan produksi barang dan jasa yang dibelinya, serta harga yang lebih mahal yang disebabkan pelaku usaha melakukan praktik inefisiensi dalam produksi barang dan atau jasa (high cost economy). 2. Meniadakan persaingan dan menimbulkan praktik usaha yang tidak sehat. Perjanjian oligopoli akan menimbulkan serangkaian perbuatan yang saling berkaitan satu sama lainnya, yaitu meniadakan persaingan harga antar pelaku usaha dengan cara membentuk kartel sebagai media/wadah bersama untuk menetapkan harga (price fixing) pada tingkat tertentu. Meskipun demikian, perjanjian oligopoli ini juga dapat menimbulkan serangkaian perbuatan yang dilarang, seperti monopoli, kartel, price fixing, serta menurunkan bahkan meniadakan persaingan sehat.
51
Rachmadi Usman I,op.cit.,hlm. 198.
Universitas Sumatera Utara
35
Bagian kedua, yaitu pada pasal 5-8 diatur tentang perjanjian penetapan harga
(price
fixing
agreement),
diskriminasi
harga
(price
discrimination),penetapan harga di bawah harga pasar (predatory pricing), dan perjanjian dengan persyaratan tertentu (resale price maintenance)antar pelaku usaha. 1.
Penetapan harga (price fixing) Penetapan harga (price fixing) diatur dalam pasal 5 yang menyatakan bahwa: a. pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan/ atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama; b. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi : 1) suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau 2) suatu perjanjian yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku. Dalam Black’s Law Dictionary, price fixing ini dikatakan sebagai “A
combination formed for the purpose of and with the effect of raising, depressing, fixing, pegging, and stabilizing the price of comodity.” Sedangkan dalam Kamus Lengkap Ekonomi edisi ke-2 yang disusun oleh Christoper Pass dan Bryan Lowes, penetapan harga diartikan sebagai penentuan suatu harga (price) umum untuk suatu barang ata jasa oleh suatu kelompok pemasok secara bersama-sama, sebagai kebalikan tas pemasok yang menetapkan harganya secara bebas.
Universitas Sumatera Utara
36
Penentuan harga sering menjadi pencerminan dari suatu pasar oligopoli yang tidak teratur. 52 Dapat disimpulkan bahwa price fixing adalah salah satu upaya beberapa pelaku usaha untuk meraup keuntungan pribadi, dengan cara menetapkan harga sesuai dengan yang telah disepakati bersama antar pelaku usaha, dimana hal ini dapat mengakibatkan hilangnya persaingan dan menumbuhkan keadaan persaingan yang tidak sehat.Price fixing dapat dibedakan atas 2 jenis, yaitu : 53 a. Price fixing horizontal (Horizontal Price fixing) Price fixing horizontaladalah penetapan harga atas penjualan suatu barang dan/atau jasa antara 2 pelaku usaha atau lebih yang memiliki tahap/tingkat produksi barang dan/atau jasa yang sama. Yang dimana kedua pelaku usaha atau lebih tersebut sebenarnya adalah saingan.namun oleh karena itulah, maka mereka membuat perjanjian untuk menetapkan harga yang sama, yang dipertunjukkan kepada publik. Padahal sebenarnya sudah ada bentuk persekongkolan di balik itu semua. Hal ini membuat konsumen menjadi terkecoh, karena harga yang sama dengan produk barang dan/ atau jasa yang sama, padahal dijual atau diperdagangkan oleh pelaku usaha yang berbeda. b. Price fixing vertikal (vertikal price fixing) Price fixing vertikaladalah penetapan harga atas penjualan barang dan/ atau jasa antara 2 pelaku usaha atau lebih yang berada pada tahap produksi
52
Hermansyah, Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2008), hlm.26. 53 Romli Atmasasmita, Persaingan Usaha dan Hukum yang mengaturnya di Indonesia, (Jakarta: ELIPS Departemen Kehakiman Republik Indonesia,2000), hlm. 79.
Universitas Sumatera Utara
37
yang berbeda.Dimana salah satu pelaku usaha berada pada tahap produksi lebih di atas, dan pelaku usaha lainnya berada pada tahap produksi yang lebih rendah. Praktiknya adalah pelaku usaha yang berada pada tahap produksi lebih tinggi akan menetapkan harga yang boleh dijual atau diperdagangkan oleh pelaku usaha lainnya berada pada tahap produksi yang lebih rendah. Berikut adalah beberapa praktik yang merupakan variasi dari tindakan penentuan harga (price fixing) : 54 a. Resale Price Maintenance (RPM) Arrangements Resale Price Maintenance merupakan praktik pemasaran dalam mana seorang (atau suatu perusahaan) pengecer atas dasar perjanjian dengan distributor atau produsen setuju untuk menjual barang dan/atau jasa dengan harga tertentu atau harga minimum tertentu b. Vertikal Maximum Price Fixing Mirip dengan (RPM) Arrangements, Vertikal Maximum Price Fixing terjadi dalam hal produsen atau distributor suatu produk membuat kesepakatan dengan pengecer yang isinya mewajibkan pengecer itu untuk menjual produk di bawah harga maksimum yang ditetapkan oleh produsen atau distributornya. c. Consignments Praktik penjualan berikutnya yang memancing perdebatan pro dan kontra adalah Consignments.Praktik Consignments (penitipan, konsinyasi) dalam
54
Arie Siswanto, op.cit.,hlm. 40.
Universitas Sumatera Utara
38
konteks usaha terjadi apabila suatu perusahaan pengecer menjual barang yang secara legal masih menjadi milik produsen dan sebagai imbalannya, ia memperoleh komisi penjualan. Yang menimbulkan persoalan bagi produsen ialah menentukan harga produk yang dititipkannya. Memang salah satu prinsip hukum persaingan yang sudah diakui, setidaknya di Amerika Serikat, adalah bahwa sekali produsen atau distributor telah menjual produknya kepada pengecer, maka ia tidak bisa lagi menentukan berapa harga jual yang harus dipasang oleh pengecer itu terhadap konsumen. 2. Diskriminasi Harga (price discrimination) Perjanjian diskriminasi Harga (price discrimination agreement) diatur dalam Pasal 6, yaitu berisi : Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/ atau jasa yang sama. Dalam Black’s Law Dictionary, price discrimination dikatakan “Exists when a buyer pays a price that is different from the price paid by another buyer for an identical product or service. Price discrimination is probihited if the effect of the discrimination may be to lessen substantially or injure competition, execpt where it wasimplemented to disposepf prishableor obsolete goods, was the result of the deferencesin costs incurred, or was given in god faith to meet an equally low price of a competitor. Sedangkan menurut Kamus Lengkap Ekonomi edisi yang kedua yang disusun oleh Christoper Pass dan Bryan Lowes.
Universitas Sumatera Utara
39
Yang dimaksud dengan price discrimination adalah kemampuan seorang pemasok untuk menjual produk yang sama pada sejumlah pasar yang terpisah dengan harga-harga yang berbeda. Pasar-pasar dapat dipisahkan melalui berbagai cara, yang meliputi lokasi geografisyang berbeda, sifat produk itu sendiri, dan keperluan para pengguna. 55 Walaupun hal ini telah dilarang dalam ketentuan Undang-Undang, namun tetap saja ada alasan pembenaran bagi pelaku usaha yang melakukannnya, yaitu dikarenakan adanya perbedaan biaya seperti ongkos promosi, ongkos transport, dan yang lainnya. Misalanya saja tentu akan berbeda harga suatu barang yang diambil dari tempat yang jauh, karena memakan ongkos yang tidak sedikit. Karenanya, dalam teori ilmu hukum persaingan usaha, dikenal beberapa macam diskriminasi harga, antara lain : 56 1. Diskriminasi harga primer. 2. Diskriminasi harga sekunder. 3. Diskriminasi harga umum. 4. Diskriminasi harga geografis. 5. Diksriminasi harga tingkat pertama. 6. Diksriminasi harga tingkat kedua. 7. Diksriminasi harga secara langsung. 8. Diksriminasi harga secara tidak langsung. Berikut adalah beberapa syarat untuk terjadinya diskriminasi harga : 57
55
Hermansyah, op.cit.,hlm. 28. Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta Utara: Rajawali Pers, 2010), hlm. 104. 57 Ibid. hlm. 105. 56
Universitas Sumatera Utara
40
a. para pihak haruslah melakukan kegiatan bisnis, sehingga diskriminasi harga akan merugikan apa yang disebut dengan “primary line injury”, yakni diskriminasi harga yang dilakukan produsen atau grosir terhadap pesaingnya. Demikian pula diskriminasi harga dapat merugikan “secondary line” jika diskriminasi harga dilakukan oleh suatu produsen terhadap suatu grosir, atau retail yang satu dan yang lain mendapatkan perlakuan khusus. Hal ini akan menyebabkan grosir atau retail yang tidak disenangi tidak dapat berkompetisi secara sehat dengan grosir atau retail yang disenangi; b. terdapat perbedaan harga, baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui diskon atau pembayaran secara kredit, namun pada pelaku usaha lain harus cash dan tidak ada diskon; c. dilakukan terhadap pembeli yang berbeda. Jadi dalam hal ini paling sedikit harus ada dua pembeli; d. terhadap barang yang sama tingkat kualitasnya; e. perbuatan tersebut secara substansial akan merugikan, merusak, atau mencegah terjadinya persaingan yang sehat atau dapat menyebabkan monopoli pada suatu aktivitas perdagangan. 3. Penetapan harga di bawah harga pasar (predatory pricing) Penetapan harga di bawah harga pasar (predatory pricing) diatur dalam pasal 7, yang berisi:
Universitas Sumatera Utara
41
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Dalam Black’s Law Dictionary, Predatory Pricing dikatakan sebagai “As antitrust violation, consist of pricing below appropriate measure of cost for purpose of eliminating competitors in short run and reducing competition in long run.” Sedangkan dalam Kamus Lengkap Ekonomi edisi kedua yang disusun oleh Christoper Pass dan Bryan Lowes, yang dimaksud dengan predatory pricing adalah suatu kebijakan penetapan harga yang dilakukan oleh sebuah atau banyak perusahaan dengan tujuan untuk merugikan para pemasok pesaing atau untuk memeras konsumen. Contoh: penekanan harga (price squeezing) dan pemotongan harga selektif untuk menggusur para pesaing keluar dari pasar, sementara pemerasan terhadap konsumen. 4. Perjanjian dengan persyaratan tertentu (resale price maintenance) Perjanjian dengan persyaratan tertentu (resale price maintenance)diatur dalam pasal 8, yaitu berisi: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan/atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan/atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. 58
58
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
42
Dalam Black’s Law Dictionary, Predatory Pricing dikatakan sebagai “An agreement between a manufacturer and retailer that the letter should not ressel below a specified minimum price. Such schemes operate to prevent price competition
between the various dealers handling a given manufacturer’s
product with the manufacturer generally suggesting an appropriate resale price and enforcing dealer acquiescence through some form of coercive sanction.” Bagian ketiga, yaitu pada pasal 9, diatur tentang Perjanjian Pembagian Wilayah Pemasaran atau Alokasi Pasar, menyatakan bahwa: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokoasi pasar terhadap barang dan/ atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat. Pembagian wilayah pemasaran adalah cara untuk menghindari atau mengurangi persaingan yang bisa diambil oleh pelaku usaha yang saling bersaing dalam satu bidang usaha sehingga suatu pasar dapat dikuasai secara eksklusif oleh masing-masing pelaku usaha. Dengan demikian, yang dimaksud dengan pembagian wilayah pemasaran atau alokasi pasar adalah sebagai berikut : 1. Membagi wilayah untuk memperoleh atau memasok barang dan/ atau jasa. 2. Menetapkan dari siapa saja dapat memperoleh atau memasok barang dan/ atau jasa. Bagian keempat, yaitu pada pasal 10 mengatur tentang perjanjian boikot, menyatakan bahwa :
Universitas Sumatera Utara
43
1. pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri; 2. pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan/ atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut: a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan/ atau jasa dari pasar bersangkutan Boikot adalah tindakan mengorganisasi suatu kelompok untuk menolak hubungan usaha dengan pihak tertentu atau tidak berhubungan dengan pesaingpesaing yang lain seperti kepada para supplierataupun konsumen-konsumen tertentu. Dengan kata lain, boikot adalah suatu tindakan bersama (concerted action) yang dilakukan oleh sekelompok pengecer yang menolak memberi produk pelaku usaha tertentu karena alasan yang tidak mereka sukai. 59 Sehubungan dengan perjanjian pemboikotan tersebut, ada 2 macam perjanjian yang dilarang dalam pasal 10, yaitu: 60 1. perjanjian yang dapat menghalangi pelaku usaha lain (pihak ketiga) untuk melakukan usaha yang sama; dan 2. perjanjian untuk menolak menjual setiap barang dan/ atau jasa dari pelaku usaha lain (pihak ketiga), jika : a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain tersebut; 59
Arie Siswanto, op.cit.,hlm. 45. Susanti Adi Nugroho, Pengaturan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Puslitbang/Diklat MA,2001), hlm. 40. 60
Universitas Sumatera Utara
44
b. membatasi pelaku ushaa lin dalam menjual atau membeli setiap barang dan/ atau jasa dari pasar yang bersangkutan. Boikot dapat pula diartikan, dimana pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri. Atau pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan/ atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut akan merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan/ atau jasa dari pasar bersangkutan. Hal ini dapat juga disebut dengangroup boykot. 61 Bagian kelima, yaitu tentang perjanjian kartel (Cartel), diatur dalam pasal 11, mengatakan bahwa : Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/ atau pemasaran suatu barang dan/ atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat. Terjadinya praktik kartel dilatarbelakangi oleh persaingan usaha yang cukup sengit di pasar.Untuk menghindari persaingan fatal ini, anggota kartel setuju menentukan harga bersama, mengatur produksi, bahkan menentukan secara bersama-sama potongan harga, promosi dan syarat-syarat penjualan.Biasanya harga yang dipasang kartel lebih tinggi dari harga yang terjadi di pasar kalau tidak 61
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia,selanjutnya disebut Ningrum Natasya Sirait II, (Medan:Pustaka Bangsa Press, 2004), hlm. 91.
Universitas Sumatera Utara
45
ada kartel.Kartel juga bisa melindungi perusahaan yang tidak eisien, yang bisa hancur bila tidak masuk kartel. Dengan kata lain, kartel menjadi pelindung bagi pelaku usaha yang lemah. 62 Antara monopoli dengan kartel terdapat hubungan yang serat, seperti yang dikatakan Kwik Kian Gie, bahwa pembentukan kartel selalu mengarah kepada monopoli atau keadaan monopolistik. Mereka yang memperoleh hak monopoli dari pemerintah tidak perlu membentuk kartel, karena tujuan kartel adalah untuk mengarah ke monopoli atau situasi monopolistik.Bentuk kartel bermacam-macam, ada kartel harga kualitas, kartel bagian laba, dan sebagainya.Semua bentuk kartel tujuannya adalah untuk mengurangi bahkan meniadakan persaingan, sehingga para produsen cepat meraih laba sebesarbesarnya. 63 Bagian keenam, yaitu mengatur tentang Trust diatur dalam Pasal 12, yang menyatakan bahwa : Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseorangan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan/ atau pemasaran atas barang dan/ atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat.
62
Suhasril dan Muahmmad Taufik, op.cit.,hlm. 57. Kwik Kian Gie, Bermimpi menjadi konglomerat-konglomerat Indonesia , Permasalahan dan sepak terjangnya, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), hlm. 50. 63
Universitas Sumatera Utara
46
Trust adalah suatu keadaan dimana pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan/ atau pemasaran barang dan/ atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat. Bentuk perjanjian ini sebenarnya merupakan inspirator lahirnya Undang-Undang Anti Monopoli Amerika Serikat (Antitrust Law), dimana gabungan perusahaan-perusahaan raksasa membentuk suatu perusahaan yang besar yang bertujuan untuk mengontrol produksi atau pemasaran, dan menguasai pasar. 64 Bagian ketujuh, yaitu tentang perjanjian oligopsoni, diatur dalam pasal 13, yang mengatakan bahwa : 1. pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga barang dan/ atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat; 2. pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3(tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha
64
Ningrum Natasya Sirait I, op.cit.,hlm. 92.
Universitas Sumatera Utara
47
menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang tertentu. Oligopsoni adalah suatu bentuk perjanjian yang dilarang, dimana pelaku usaha dengan pelaku usaha yang lain
bertujuan untuk secara bersama-sama
menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan/ atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat. 65 Bagian kedelapan, yaitu tentang integrasi vertikal, yang diatur dalam pasal 14, yaitu : Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainyang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/ atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan/ atau merugikan masyarakat. Integrasi vertikal adalah penguasaan atas sejumlah produk, yang termasuk dalam rangkaian proses produksi barang tertentu mulai dari hulu sampai dengan hilir atau proses yang berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha tertentu. Praktik integrasi vertikal ini meskipun dapat menghasilkan barang dan/ atau jasa dengan harga murah, tetapi hal itu dapat menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat dan dapat merusak sendi-sendi perekonomian masyarakat. Oleh
65
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
48
karena itu, praktik integrasi vertikal dilarang sepanjang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan/ atau merugikan masyarakat oleh UU Nomor 5/1999. 66 Bagian kesembilan, yaitu tentang perjanjian tertutup (exclusive dealing), diatur dalam pasal 15, yang berbunyi: a. pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/ atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan/ atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/ atau pada tempat tertentu; b. pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/ atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan/ atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; c. pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dari pelaku usaha pemasok: a. harus bersedia membeli barang dan/ atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau b. tidak akan membeli barang dan/ atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok. Perjanjian tertutup pada prinsipnya merupakan bagian penting dari hambatan vertikal (vertikal restraint), maka perjanjian tertutup memiliki dua kategori hambatan yaitu hambatan untuk persaingan yang sifatnya intrabrand dan hambatan
66
untuk
persaingan
yang
sifatnya
interbrand.Persaingan
Rachmadi Usman I, op.cit.,hlm. 315.
Universitas Sumatera Utara
49
intrabrandadalah persaingan antara distributor atau pengecer untuk suatu produk yang berasal dari manufaktur atau produsen yang sama. Oleh karena itu, hambatan yang bersifat intrabrand terjadi ketika akses penjualan distributor atau pengecer dibatasi oleh produsen. Sedangkan hambatan yang bersifat interbrand adalah persaingan antar manufaktur atau produsen untuk suatu jenis atau kategori barang di pasar bersangkutan yang sama. Hambatan interbrand terjadi bila produsen menciptakan pembatasan persaingan terhadap produk pesaingnya. 67 Bagian kesepuluh, yaitu tentang perjanjian dengan pihak luar negeri, diatur dalam pasal 16, yang berbunyi : Pelaku usaha dilarang membuat suatu perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat. Dengan kata lain, perjanjian yag dimaksud disini adalah perjanjian antara satu pelaku usaha dengan pelaku usaha lain, serta mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat. 2. Kegiatan yang dilarang menurut UU Nomor 5/1999 Selain dari adanya berbagai bentuk perjanjian yang mengakibatkan terjadinya persaingan curang, terdapat juga berbagai kegiatan yang juga dapat mengakibatkan terjadinya suatu persaingan curang, sehingga hal tersebut pun harus dilarang. 68 Definisi dari istilah “kegiatan” tidak ada ditemukan dalam UU Nomor 5/1999, namun jika ditafsirkan secara a contrario terhadap definisi 67
Ibid, hlm. 337. Munir Fuady,Hukum Antimonopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 75. 68
Universitas Sumatera Utara
50
perjanjian yang diberikan dalam UU Nomor 5/1999, maka pada dasarnya yang dimaksud dengan kegiatan adalah tindakan atau perbuatan hukum sepihak yang dilakukan oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha tanpa adanya keterkaitan hubungan (hukum) secara langsung dengan pelaku usaha lainnya. 69 Kegiatan yang dilarang diatur dalam bab tersendiri sebagaimana termuat dalam Pasal 17-24 UU Nomor 5/1999. Dari pasal-pasal tersebut diketahui bentukbentuk kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha dalam konteks hukum persaingan usaha berdasarkan UU Nomor 5/1999, yaitu: 70 a. kegiatan yang bersifat monopoli Pengaturan larangan terhadap kegiatan yang bersifat monopoli ini terdapat dalam Pasal 17 UU Nomor 5/1999, yang berbunyi: 71 1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan/ atau pemasaran barang dan/ atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat. 2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan/ atau pemasaran barang dan/ atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila: a. barang dan/ atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan/ atau jasa yang sama; 69
Ahmad Yani dan Gunawan Wijaya, Anti Monopoli, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1999), hlm. 31. 70 Rachmadi Usman, op.cit.,hlm.369. 71 Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Universitas Sumatera Utara
51
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Melihat substansi pada Pasal 17 UU Nomor 5/1999 di atas, memberi gambaran jelas bahwa perbuatan monopoli dapat dikategorikan melanggar hukum persaingan.Tetapi patut dicermati bila kedudukan monopoli ini didapatkan melalui persaingan yang sehat, maka sesuai dengan pendekatan pasal yang bersifat rule of reason, monopoli tidak dengan sendirinya menjadi kegiatan yang dilarang secara mutlak. 72 b. Kegiatan Monopsoni Kegiatan yang bersifat monopsoni ditentukan dalam Pasal 18 UU Nomor 5/1999, yaitu: 73 1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/ atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat. 2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
72
Ningrum Natasya Sirait, op.cit.,hlm. 96. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 73
Universitas Sumatera Utara
52
Monopsoni dalam UU Nomor 5/1999 dilarang secara rule of reason , ang artinya bahwa monopsoni tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu sehingga berakibat terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat. Praktik monopsoni yang dilarang oleh hukum persaingan usaha adalah monopsoni yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat. 74 c. Penguasaan Pasar Penguasaan pasar sendiri diatur dalam pasal 19 UU Nomor 5/1999, yaitu : Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat berupa: 75 1. menolak dan/ atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau 2. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau 3. membatasi peredaran dan/ atau penjualan barang dan/ atau jasa pada pasar bersangkutan; atau 4. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
74
L. Budi Kagramanto, Mengenal Hukum Persaingan Usaha: Berdasarkan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999, (Surabaya: Srikandi, 2008), hlm. 187. 75 Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Universitas Sumatera Utara
53
d. Kegiatan menjual rugi/menjual murah/harga pemangsa (predatory pricing/dumping) Pasal 20 UU Nomor 5/1999 mengatur mengenai menjual rugi dimana pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan/ atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. 76 e. Kegiatan penetapan biaya produksi secara curang (manipulasi biaya) Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang merupakan komponen harga produk, sehingga hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya suatu persaingan curang. 77 Larangan kegiatan yang dilarang ini diatur dalam ketentuan Pasal 21 UU Nomor 5/1999, yaitu: 78 Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnyayang menjadi bagian dari komponen harga barang dan/ atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. f. Kegiatan yang bersifat Persekongkolan Pengertian persekongkolan atau konspirasi usaha tersebut dikemukakan dalam Pasal 1 angka 8 UU Nomor 5/1999, yaitu 79 Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku 76
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 77 Munir Fuady, op.cit.,hlm. 81 78 Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 79 Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Universitas Sumatera Utara
54
usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Bentuk kegiatan persekongkolan ini tidak harus dibuktikan dengan adanya perjanjian, akan tetapi bisa dalam bentuk kegiatan lainnya yang tidak mungkin diwujudkan dalam suatu perjanjian. 80 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur 3(tiga) bentuk persekongkolan yang dilarang sebagaimana diatur dalam Pasal 22-24, yaitu: 1) Pasal 22 : Persekongkolan untuk mengatur dan/ atau menentukan pemenang tender (persekongkolan dalam tender); 2) Pasal 23 : Persekongkolan untuk memperoleh/membocorkan informasi rahasia perusahaan (rahasia dagang); 3) Pasal 24 : Persekongkolan untuk menghambat produksi dan/ atau pemasaran produk.
C. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah lembaga quasi judicial yang mempunyai wewenang eksekutorial terkait kasus-kasus persaingan usaha. KPPU sebagai lembaga dalam penegakan hukum anti monopoli dan Persaingan Usaha merupakan lembaga yang independen, artinya terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain dalam mengawasi pelaku usaha. KPPU dibentuk berdasarkan Keputusan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1999 sebagaimana diatur dalam pasal 34 tentang susunan organisasi, tugas, dan fungsi
80
Rachmadi Usman I, op.cit.,hlm. 79
Universitas Sumatera Utara
55
Komisi yang telah ditetapkan. Kemudian Kepres ini diubah menjadi Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2008. 81 Komisi Pengawas Persaingan Usaha diatur dalam Pasal 30-37 UU Nomor 5/1999. Hal yang diatur yakni: 1. status; 2. keanggotaan; 3. tugas dan wewenang; 4. pembiayaan. Sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 30 ayat (2), yaitu “Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan serta pihak lain.” 82Dalam ayat ke (3) juga disebutkan bahwa komisi bertanggung jawab kepada Presiden.Dalam hal ini, anggota komisi diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR. 83 Adapun keanggotaan dari KPPU yang diatur dalam Pasal 31, dibagi atas: 1. komisi terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang anggota; 2. anggota Komisi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; 3. masa jabatan anggota Komisi adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1(satu) kali masa jabatan berikutnya;
81
Susanti Adi Nugroho, op.cit., hlm. 544. Pasal 30 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 83 Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 136. 82
Universitas Sumatera Utara
56
4. apabila karena berakhirnya masa jabatan akan terjadi kekosongan dalam keanggotaan komisi, maka masa jabatan anggota komisi dapat diperpanjang sampai pengangkatan anggota baru. Pada ketentuan pasal 32 ditetapkan bahwa untuk menjadi anggota KPPU harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Warga negara Republik Indonesia, berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun dan setinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun pada saat pengangkatan. 2. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 3. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 4. Jujur, adil, dan berkelakuan baik. 5. Bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia. 6. Berpengalaman dalam bidang usaha atau mempunyai pengetahuan dan keahlian di bidang hukum dan ekonomi. 7. Tidak pernah dipidana. 8. Tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan. 9. Tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha. Menurut ketentuan pasal 33, keanggotaan KPPU berhenti, karena : 1. meninggal dunia; 2. mengundurkan diri atas permintaan sendiri; 3. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia; 4. sakit jasmani atau rohani terus-menerus; 5. berakhirnya masa jabatan keanggotaan komisi; atau 6. diberhentikan
Universitas Sumatera Utara
57
Pengaturan mengenai susunan organisasi KPPU dikemukakan dalam pasal 34, yang menyatakan bahwa: 1. pembentukan Komisi serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya ditetapkan dengan Keputusan Presiden; 2. untuk kelancaran pelaksanaan tugas, komisi dibantu oleh sekretariat; 3. komisi dapat membentuk kelompok kerja; 4. ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat dan kelompok kerja diatur lebih lanjut dengan keputusan Komisi. 84 Dalam dunia bisnis, integritas moral dan kepercayaan merupakan salah satu unsur penting yang sangat menentukan. Sehubungan dengan hal itu, maka sebaiknya pemilihan ketua, wakil ketua, serta seluruh anggota komisi dipilih dengan selektif dan wajib melalui fit and proper test sebagaimana diatur dalam ketentuan Kepres Nomor 75 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Perpres Nomor 80 Tahun 2008, agar anggota komisi tidak berpikir bahwa bekerja dalam suatu komisi adalah sekedar untuk menjadi sumber penghasilan, melainkan karena dorongan dari insiatif sendiri untuk melamar menjadi anggota KPPU. Sehingga ia akan lebih memiliki kemampuan intelektual dan etos kerja yang tinggi dikarenakan ketertarikannya sendiri di dalam bidang permasalahan persaingan usaha itu sendiri. 85Mengenai tugas dan wewenang dari KPPU diatur secara rinci dalam ketentuan pasal 35 UU Nomor 5/1999, yang kemudian disebutkan kembali dalam ketentuan Pasal 4 Kepres Nomor 75 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Perpres Nomor 80 Tahun 2008. Adapun Tugas 84
Pasal 31-34 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 85 Rachmadi Usman II, op.cit.,hlm. 56.
Universitas Sumatera Utara
58
KPPU yang dirincikan dalam Pasal 35 UU Nomor 5/1999 adalah sebagai berikut : 86 1. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16; 2. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan/ atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24; 3. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28; 4. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36; 5. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat; 6. Menyusun pedoman dan/ atau publikasi yang berkaitan dengan UndangUndang ini; 7. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dari seluruh tugas yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, penegakan hukum (law enforcement) adalah tugas utama seluruh tugas yang diberikan kepada KPPU.Tugas tersebut dilaksanakan KPPU melalui 86
Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Universitas Sumatera Utara
59
tindakan penanganan perkara, penerbitan penetapan dan putusan atas perkara yang ditangani, dan pelaksanaan upaya-upaya lanjutan yang terkait dengan eksistensi dan pelaksanaan penetapan putusan atas suatu perkara, yaitu tindakan monitoring putusan dan upaya litigasi. Sebagaimana prinsip penegakan hukum, maka anggota KPPU wajib melaksanakan tugas dengan berdasarkan pada keadilan dan perlakuan yang sama serta wajib mematuhi tata tertib KPPU. 87 Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, KPPU memiliki sejumlah kewenangan, sebagaimana dikemukakan secara terperinci dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. KPPU tidak hanya berwenang menerima aduan/ pelaporan dari masyarakat terkait masalah persaingan usaha, melainkan juga wewenang untuk melakukan penyidikan, penyelidikan, memanggil pelaku usaha, memanggil para pihak, serta menghadirkan saksi dengan tujuan untuk menyelesaikan permasalahan persaingan usaha. Adapun wewenang dari KPPU dijabarkan sebagai berikut: 88 1.
Menerima laporan dari masyarakat dan/ atau pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat.
2.
Melakukan penelitian tentang adanya dugaan kegiatan usaha dan/ atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat.
3.
Melakukan penyelidikan dan/ atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehatyang dilaporkan oleh
87
Susanti Adi Nugroho, op.cit.,hlm. 552. Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 88
Universitas Sumatera Utara
60
masyarakat atau oleh pelaku usaha lain atau yang ditemukan oleh komisi sebagai hasil dari penelitiannya. 4.
Menyimpulkan hasil penyelidikan dan/ atau pemeriksaan lebih lanjut tentang ada atau tidaknya pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.
5.
Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.
6.
Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.
7.
Meminta bantuan penyidik untuk mengadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana yang dimaksud huruf e dan f pasal ini, yang tidak bersedia memenuhi panggilan komisi.
8.
Meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan/ atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan ini.
9.
Mendapatkan, meneliti, dan/ atau meneliti surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/ atau pemeriksaan.
10. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat. 11. Memberitahukan putusan komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat. 12. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan ini.
Universitas Sumatera Utara
61
Dengan demikian, pada prinsipnya fungsi dan tugas utama KPPU adalah melakukan kegiatan penilaian terhadap perjanjian, kegiatan usaha, dan penyalahgunaan posisi dominan yang dilakukan oleh pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap UU Nomor 5/1999, dimana pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha telah membuat perjanjian yang dilarang atau melakukan kegiatan yang dilarang atau menyalahgunakan posisi dominan, KPPU berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif dengan memerintahkan pembatalan atau penghentian perjanjian dan kegiatan yang dilarang, serta penyalahgunaan posisi dominan yang dilakukan pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha tersebut. 89
89
Susanti Adi Nugroho, op.cit.,hlm. 560.
Universitas Sumatera Utara