BAB II PERSAINGAN USAHA INDONESIA DAN DUNIA FARMASI
II.1. Persaingan Usaha Indonesia
II.1.1. Sejarah Hukum Persaingan Usaha Secara Umum
Tujuan dari adanya kebijakan persaingan usaha adalah untuk memastikan bahwa kompetisi atau persaingan pasar tidak terbatasi dalam cara-cara yang membahayakan bagi masyarakat, dalam hal ini konsumen45. Bila dibandingkan dengan sejarah hukum yang lain, sejarah tentang anti monopoli atau persaingan usaha terbilang relatif baru. Baik sejarahnya dalam dunia internasional maupun di Indonesia46. Hukum anti monopoli memainkan peranan yang penting dalam mengatur kegiatan bisnis di Inggris47. Pada awal diadakannya pengaturan hukum anti monopoli dalam hukum Inggris, terdapat beberapa aspek yang dilarang sehubungan dengan dilakukannya restriksi terhadap perdagangan di Inggris. Dengan dasar pemikiran bahwa persaingan usaha yang terbuka dan beralasan merupakan hal yang baik untuk konsumen maupun pelaku usaha, hukum anti monopoli mencegah timbulnya tindakan-tindakan bisnis dari pelaku usaha yang masuk kedalam perjanjian-perjanjian yang anti persaingan serta mencegah para pelaku usaha bisnis tersebut untuk menyalahgunakan posisi dominan mereka48. Sejak abad ke-17 hingga abad ke-20 telah terjadi berbagai perkembangan pengaturan serta penafsiran untuk kasus-kasus monopoli di Inggris, baik penerapan doktrin konspirasi kriminal maupun doktrin restraint of trade, dan 45
“Competition Policy: Introduction”, <www.iue.it/Personal/Motta/courses/AmatoMotta/1- IntroductionCompetitionLaw.pdf>, 16 Desember 2008. 46
Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli: Menyongsong Era Persaingan Sehat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal.35. 47
“Competition Law and Policy in the EC and UK”, < http://www.routledge.com/97804 15458474>, 16 Desember 2008. 48
Ibid.
Universitas Indonesia 14 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
akhirnya pada awal abad ke-20 kebijaksanaan mengenai hukum anti monopoli yang ditujukan kepada persaingan pasar yang fair dan pencegahan eksploitasi kekuatan pasar oleh kekuatan perusahaan tunggal secara monopoli ataupun oleh kartel sudah ditinggalkan49. Saat ini Inggris sedang dalam proses mengadopsi model baru dari sebuah hukum anti monopoli yang berdasarkan kepada sistem hukum anti monopoli di European Community50. Kebijakan persaingan usaha serta hukum persaingan usaha di Belanda telah berkembang secara substansial dalam dekade yang lampau51. Pada tahun 1956 di Belanda dikenal suatu Undang-Undang yang bertujuan melarang konspirasi bisnis yang membatasi persaingan dan merugikan kepentingan umum, yaitu Undang-Undang tentang Kompetisi Ekonomi tahun 1956 (Wet Economische Medediging)52. Dalam masyarakat Eropa pun pasal 85 dan 86 dari Traktat Roma tahun 1957, yang merupakan dasar Masyarakat Ekonomi Eropa terbentuk, telah pula mengatur tentang ketentuan anti monopoli sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kompetisi Ekonomi tahun 1956 tersebut53. Amerika mulai memberlakukan pengaturan tentang anti monopoli menjelang akhir dari abad 19, yaitu pada tahun 1889 dan 189054. Berbagai pengaturan antitrust dan anti monopoli di Amerika antara lain adalah Sherman Act tahun 1890, Clayton Act dan Federal Commission Act tahun 1914, RobinsonPatman Act tahun 1936, serta beberapa Undang-Undang Antitrust di tingkat negara bagian Amerika55. Penyebab munculnya berbagai pengaturan tentang anti monopoli tersebut di Amerika adalah terjadinya revolusi dalam bidang 49
Ibid.
50
Vincent Power, “E.C. Competition Law In The U.K.: Learning From The Irish Experience”, (Europeran Competition Law Review, 2000), hal.64. 51
“Netherlands - The Role of Competition Policy in Regulatory Reform”, <www.oecd.org /dataoecd/3/42/2497317.pdf>, 16 Desember 2008. 52
Munir Fuady, Op. Cit., hal.38.
53
Ibid.
54
R. Shyam Khemani, A Framework for the Design and Implementation of Competition Law and Policy, (United States of America: Library of Congress Cataloging, 1999), hal. 2. 55
Munir Fuady, Op.Cit., hal.38.
Universitas Indonesia 15 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
transportasi dan komunikasi yang mengarahkan kepada monopoli pasar, berbagai inovasi dalam bidang teknologi, bertambah besarnya perusahaan-perusahaan yang juga dilakukan melalui merger, serta terjadinya ketidakstabilan pasar sebagai akibat dari krisis makro ekonomi dan perang harga yang memberikan insentif untuk terbentuknya kartel serta trust56. Sedangkan dalam sejarah Indonesia tidak banyak yang dicatat seputar kelahiran serta perkembangan hukum persaingan usaha di Indonesia karena yang banyak dicatat dalam sejarah justru tindakan-tindakan atau perjanjian dalam bisnis yang sebenarnya harus dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli57. Sebelum adanya Undang-Undang yang secara formal serta komprehensif mengatur mengenai persaingan usaha, di Indonesia telah terdapat beberapa upaya konkret untuk membuat konsep hukum persaingan usaha58. Sebelum tahun 1999 pun, secara sektoral dan tidak terkodifikasi, aturan tentang persaingan usaha telah dapat ditemukan tersebar di berbagai produk perundang-undangan59, seperti di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, dan UndangUndang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil60, namun pengaturan tersebut sangatlah minim, tidak memadai, dan tidak populer dalam masyarakat sehingga tidak pernah diterapkan dalam kenyataan61. Hingga akhirnya pada tanggal 5 Maret 1999 untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia diundangkan suatu hukum persaingan usaha yang komprehensif, yaitu di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
56
“Competition Policy: Introduction”, Op. Cit.
57
Munir Fuady, Op.Cit., hal.41.
58
Arie Siswanto, Op. Cit., hal.71.
59
Ibid., hal.72.
60
Arie Siswanto, Op.Cit., hal.72-73
61
Munir Fuady, Op.Cit., hal.42.
Universitas Indonesia 16 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang terdiri atas sebelas bab dan 53 pasal yang dipublikasikan melalui Lembaran Negara RI Nomor 33 Tahun 199962. Beberapa faktor yang ikut mendorong diundangkannya hukum persaingan usaha di Indonesia adalah adanya desakan dari IMF (International Monetary Fund) agar Indonesia menyusun aturan persaingan usaha yang komprehensif, dan adanya gagasan untuk memangkas segala jenis monopoli yang merugikan pasca rezim Orde Baru63. Asas dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagaimana tercantum dalam pasal 2 undang-undang tersebut adalah demokrasi dalam bidang ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Adapun pokok-pokok pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini yaitu: 1. Perjanjian yang Dilarang, yang terbagi lagi menjadi: • Oligopoli • Pembagian Wilayah • Pemboikotan • Kartel • Trust • Oligopsoni • Integrasi Vertikal • Perjanjian Tertutup • Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri • Penetapan Harga
62
Arie Siswanto, Op.Cit., hal. 71-72.
63
Ibid., hal.71.
Universitas Indonesia 17 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
2. Kegiatan yang Dilarang, yang pembagian pengaturannya menjadi: • Monopoli • Monopsoni • Penguasaan Pasar • Persekongkolan 3. Posisi Dominan, yang dibagi lagi menjadi: • Penyalahgunaan posisi dominan • Jabatan rangkap (interlocking directorate) • Pemilikan saham • Penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan Dalam skripsi ini yang akan lebih dibahas oleh penulis adalah mengenai penetapan harga serta diskriminasi harga, berikut akan dijabarkan lebih luas mengenai kedua poin pengaturan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut. Penetapan harga menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat terwujud dalam beberapa bentuk berikut64: 1) Penetapan harga antarpelaku usaha Penetapan harga antarpelaku usaha dilarang oleh pasal 5 ayat (1) dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 karena penetapan harga secara bersamasama di kalangan pelaku usaha akan menyebabkan tidak berlakunya hukum pasar tentang harga yang terbentuk dari adanya penawaran dan permintaan65. Akan
tetapi
terhadap
ketentuan
tersebut
terdapat
pengecualian
sebagaimana ditentukan dalam pasal 5 ayat (2), yaitu apabila perjanjian penetapan harga itu dibuat dalam suatu usaha patungan, atau didasarkan oleh undang-undang yang berlaku66. 2) Penetapan harga yang berbeda terhadap barang dan atau jasa yang sama Yang dilarang berdasarkan pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah membuat perjanjian yang memberlakukan diskriminasi terhadap 64
Arie Siswanto, Op.Cit., hal.82.
65
Munir Fuady, Op. Cit., hal.56.
66
Arie Siswanto, Op. Cit., hal.82, dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal.24.
Universitas Indonesia 18 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
kedudukan konsumen dan mengakibatkan konsumen yang satu harus membayar dengan harga yang harus dibayar oleh konsumen lainnya67. Meskipun demikian, bukan berarti semua pembedaan harga tersebut dilarang oleh hukum persaingan usaha, karena apabila cost yang dikeluarkan oleh penjual untuk satu konsumen dengan konsumen lainnya berbeda, maka tentunya secara logis harganya pun tentunya akan berbeda pula68. 3) Penetapan harga di bawah harga pasar dengan pelaku usaha lain atau pelaku usaha pesaingnya melalui perjanjian horizontal69 Larangan yang termuat dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dimaksudkan agar pihak pesaing tidak dirugikan karena barang atau jasanya tidak laku padahal harga barang atau jasanya sesuai dengan harga pasar. Larangan ini baru berlaku apabila telah mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat70. 4) Penetapan harga jual kembali Larangan ini termuat dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Maksudnya adalah agar pihak pembeli bebas menetapkan harga dari barang atau jasa yang sudah dibelinya agar dapat dijualnya kembali sesuai dengan permintaan dan penawaran yang ada di pasar71. Praktek semacam ini juga disebut sebagai RPM (Resale Price Maintenance72). Dalam teori ilmu hukum anti monopoli dikenal beberapa macam diskriminasi harga yang dilarang, yaitu: 1. Diskriminasi harga primer Yaitu suatu diskriminasi harga yang dilakukan oleh seorang pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya kerugian bagi pelaku usaha pesaingnya. 2. Diskriminasi harga sekunder
67
Munir Fuady, Op. Cit., hal.56, dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal.24.
68
Munir Fuady, Ibid.
69
Arie Siswanto, Op. Cit., hal.83.
70
Munir Fuady, Op. Cit., hal. 59-60.
71
Ibid., hal. 60.
72
Arie Siswanto, Op. Cit., hal. 83.
Universitas Indonesia 19 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
Yaitu suatu diskriminasi harga yang dilakukan oleh seorang pelaku usaha yang dapat mempunyai akibat negatif terhadap para konsumen dari pelaku usaha pesaingnya. 3. Diskriminasi harga umum Yaitu suatu diskriminasi harga yang dilakukan oleh seorang pelaku usaha tanpa melihat kepada letak geografisnya. 4. Diskriminasi harga geografis Yaitu suatu diskriminasi harga dimana harga dibeda-bedakan menurut letak geografisnya. 5. Diskriminasi harga tingkat pertama Ini disebut dengan diskriminasi harga sempurna, karena perbedaan harga dari satu konsumen ke konsumen lainnya sangat jauh. 6. Diskriminasi harga tingkat kedua Ini disebut juga dengan diskriminasi harga tidak sempurna, karena pihak pembeli yang membeli pada tingkat harga yang lebih mahal memang membeli dengan harga yang lebih mahal, akan tetapi bukan pada tingkat harga termahal yang mungkin diberikan. 7. Diskriminasi harga secara langsung Yaitu suatu diskriminasi harga yang diberikan oleh seorang penjual kepada konsumen dimana terlihat dari harganya secara nominal memang berbeda antara satu konsumen dengan konsumen lainnya. 8. Diskriminasi harga secara tidak langsung Yaitu suatu diskriminasi harga dimana harga nominalnya tetap sama namun ada kemudahan atau tambahan servis tertentu yang hanya diberikan kepada pembeli tertentu secara diskriminatif73. Dilarangnya diskriminasi harga oleh hukum persaingan usaha diakibatkan oleh adanya faktor-faktor pertimbangan sebagaimana dibawah ini, yaitu74: •
Kesamaan Marginal Cost.
•
Kesamaan kualitas dan kuantitas barang yang dijual.
73
Munir Fuady, Op. Cit., hal. 57-59
74
Ibid., hal.57.
Universitas Indonesia 20 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
•
Kesamaan cost untuk memproduksi, menjual, dan delivery.
•
Tidak ada perubahan harga karena perubahan atau perbedaan waktu.
•
Marketability dari barang tersebut harus sama.
•
Komponen harga yang berbeda.
II.1.2. Teori-Teori Hukum Anti Monopoli dalam Sejarah
Dalam sejarah hukum anti monopoli terdapat berbagai macam teori hukum anti monopoli, seperti teori keseimbangan (balancing), teori output analysis, teori market power analysis, teori ancillary restraint, teori per se, serta teori rule of reason75. Dari berbagai teori tersebut, dua teori yang bahkan pada U.S. Antitrust sendiri masih seringkali diperdebatkan penerapannya pada kasus adalah teori per se dan teori rule of reason. Perdebatan yang tak kunjung selesai ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai karakter asli dari kedua teori tersebut serta hubungan diantara teori per se dengan teori rule of reason76. Dua teori ini pula lah yang digunakan dalam hukum anti monopoli Indonesia. Teori per se yaitu suatu teori yang titik beratnya terletak pada struktur pasar tanpa terlalu memperhitungkan kepentingan ekonomi dan sosial yang lebih luas. Berdasarkan teori ini, pertukaran informasi harga antara pihak kompetitor bagaimanapun juga dianggap bertentangan dengan hukum anti monopoli77. Sedangkan yang dimaksud dengan teori rule of reason yaitu suatu teori yang lebih berorientasi kepada prinsip efisiensi, dimana teori ini diterapkan dengan melakukan pertimbangan antara akibat negatif dari tindakan tertentu terhadap persaingan dengan keuntungan ekonomisnya. Berdasarkan teori ini, haruslah dibuktikan terlebih dahulu apakah terdapat maksud atau pengetahuan dari pihak pelaku terhadap konsekuensi dari tindakannya itu terhadap persaingan pasar78. 75
Ibid., hal. 46-50.
76
Oliver Black, “Per Se Rules and Rules of Reason: What Are They”, (European Competition Law Review, 1997), hal. 145. 77
Munir Fuady, Op. Cit,, hal.46-47.
78
Ibid., hal.47.
Universitas Indonesia 21 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
Menurut Oliver Black dalam jurnalnya yang berjudul “Per Se Rule and Rules of Reason: What are They”, untuk dapat melihat asal mula timbulnya rule of reason ini dapat dilakukan dengan mengkaji bagian I dari the Sherman Act, yaitu "Every contract, combination in the form of trust or otherwise, or conspiracy, in restraint of trade or commerce among the several states, or with foreign nations, is hereby declared to be illegal"79. Dari bagian I the Sherman Act ini dapat dilihat bahwa apabila kata-kata “restraint of trade or commerce” dibaca sebagai mengacu kepada setiap jenis pembatasan betapapun kecilnya dan terdapat kemungkinan tidak akan berdampak pada penghilangan persaingan, maka hal ini akan menjaring terlalu banyak tindakan yang sebenarnya tidak harus diperiksa apakah tindakan tersebut melanggar persaingan, karena terdapat kemungkinan pembatasan kecil yang timbul tersebut memang hal yang normal terjadi dalam suatu perdagangan. Karenanya kemudian U.S. Courts melakukan adopsi terhadap bagian I the Sherman Act ini dengan menggunakan pendekatan yang diambil dari common law terhadap restrictive covenant, yaitu mereka menginterpretasikan larangan tersebut hanya diaplikasikan terhadap pembatasan-pembatasan yang tidak beralasan80. Karena adanya interpretasi inilah kemudian timbul teori rule of reason.
II.1.3. Institusi Persaingan Usaha Indonesia
Agar ketentuan-ketentuan tentang persaingan usaha dapat terwujud ke dalam praktek, dibutuhkan adanya suatu badan yang memiliki tugas pokok mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum persaingan usaha tersebut81. Undang-undang nomor 5 tahun 1999 pun mensyaratkan perlunya dibentuk suatu competition authority82 yang dinamakan Komisi Pengawas Persaingan
79
Oliver Black, Op. Cit.
80
Ibid.
81
Ibid., hal. 101.
82
Arie Siswanto, Ibid., hal. 92.
Universitas Indonesia 22 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
Usaha dan diatur secara khusus di dalam bab VI undang-undang tersebut serta di dalam pasal-pasal lain di luar bab VI83. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lainnya yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, dan khusus dibentuk oleh dan berdasarkan undang-undang untuk mengawasi jalannya undangundang84. Tugas dari KPPU sebagaimana terdapat dalam pasal 35 undang-undang nomor 5 tahun 1999 yaitu: •
Melakukan penilaian terhadap tindakan-tindakan yang dilarang berdasarkan tiga kategori yang ada.
•
Mengambil tindakan sesuai kewenangan komisi.
•
Memberi saran dan pertimbangan terhadap competition policy pemerintah.
•
Menyusun pedoman dan publikasi berkaitan dengan undang-undang ini.
•
Mengajukan laporan berkala atas hasil kerja KPPU kepada Presiden dan DPR85. Sedangkan kewenangan dari KPPU adalah:
•
Menampung laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
•
Melakukan penelitian akan adanya dugaan kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
•
Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh komisi sebagai hasil dari penelitiannya;
83
Ibid., hal. 92-93.
84
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Ibid., hal. 53.
85
Arie Siswanto, Ibid., hal. 94, Munir Fuady, Ibid., hal. 101-102, dan Ahmad Yani, Ibid.,
hal. 55.
Universitas Indonesia 23 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
•
Meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini;
•
Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
•
Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;
•
Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
•
Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini86.
II.2. Industri Farmasi
Definisi dari farmasi adalah ilmu yang mempelajari cara membuat, mencampur,
meracik,
memformulasi,
mengidentifikasi,
mengkombinasi,
menganalisis, serta menstandarkan obat dan pengobatan, juga sifat-sifat obat beserta pendistribusian dan penggunaannya secara aman87. Webster memberikan definisi farmasi sebagai the art, practice, or profession of preparing, preserving, compounding, and dispensing medical drugs88. Kata farmasi itu sendiri dalam bahasa Yunani disebut farmakon yang berarti medika atau obat89.
86
Indonesia, Ibid., ps. 36.
87
Syamsuni, Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi, (Jakarta: EGC, 2006), hal.2.
88
“Pharmacy”,
, 18 Desember
2008. 89
Syamsuni, Op. Cit..
Universitas Indonesia 24 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
II.2.1. Sejarah Industri Farmasi90
Definisi
dari
industri
farmasi
menurut
SK
MENKES
RI
No.
245/MENKES/SK/V/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi adalah industri obat jadi dan industri bahan baku obat. Kemudian yang dimaksud dengan obat jadi yaitu sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi. Dan yang dimaksud dengan bahan baku obat yaitu bahan-bahan baik yang berkhasiat maupun tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengelolaan obat dengan standar mutu sebagai bahan farmasi. Sejarah industri farmasi sendiri tidak dapat dipisahkan dari perkembangan tradisi tabib dan pengobatan yang telah berjalan ribuan tahun dan bahkan diperkirakan telah ada bersamaan dengan keberadaan manusia di alam semesta ini. Pada awalnya kemampuan mengobati dan meracik obat dipegang oleh satu orang dan dalam prakteknya tidak didasarkan atas pengetahuan anatomi, farmakologi, dan farmasi melainkan dijalankan secara spekulatif, dipengaruhi oleh takhayul, dan perdukunan. Perkembangan tradisi tabib dan pengobatan tersebut berkembang di Yunani, Mesir, Cina, India, dan berbagai wilayah Asia seperti Timur Tengah, dimana pada saat itu di Yunani pendeta dianggap sebagai orang yang mampu menjaga kesejahteraan rohani dan jasmani rakyat. Namun lambat laun peran pendeta ini diambil alih oleh tabib yang memperoleh ilmu pengobatan secara intuitif dan empiris. Pada tahun 400 SM terdapat sekolah kedokteran dengan alumninya yang terkenal yaitu Hippocrates, yang merasionalisasikan ilmu pengobatan serta meningkatkan profesi tabib pada taraf etik yang tinggi. Kemudian muncul pula 90
Ibid., hal.6-7, dan Amir Hamzah Pane (369604211Y), Strategi Industri Farmasi Indonesia dalam Menghadapi Era Pasar Bebas, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Program Studi Magister Manajemen, 1998, hal. 7 dan hal. 59.
Universitas Indonesia 25 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
tokoh Yunani lain yang bernama Galenus, seseorang yang ahli meracik obat dari sari pati tumbuhan sehingga keterampilan meracik obat dari sari pati tumbuhan ini kemudian dikenal dengan istilah Galenika. Dalam zaman keemasan Islam dikenal sejumlah sarjana farmasi, yang salah satu tokoh paling terkenalnya adalah Abu ‘Ali al-Husayn bin ‘Abdullah bin Sina atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Sina, atau Avicenna (panggilan dari orang Barat), yang lahir pada tahun 980 M di Afsyahnah, daerah dekat Bukhara yang sekarang menjadi wilayah Uzbekistan91. Melalui Al-Qanun fi At Tibb, buku kedokteran klasik paling populer, Ibnu Sina disebut sebagai “Bapak Kedokteran Modern”, bahkan sejarawan sains, George Sarton, menyebut Ibnu Sina sebagai ilmuwan paling terkenal dari Islam92. Pada tahun 1240 Kaisar Jerman, Kaisar Frederick II mengeluarkan maklumat untuk memisahkan ilmu farmasi dan kedokteran sehingga masingmasing ahli mempunyai keinsyafan, standar etik, pengetahuan, serta keterampilan sendiri. Dengan adanya maklumat ini, keahlian farmasi menjadi profesi resmi yang terpisah dari profesi kedokteran, namun tetap mempunyai tujuan yang sama yaitu menolong orang sakit dan meningkatkan kesehatan umat manusia. Sejarah industri farmasi modern dimulai pada tahun 1897 saat Felix Hoffman menemukan cara menambahkan dua atom ekstra karbon dan lima atom ekstra hidrogen ke dalam ekstrak kulit kayu Willow sehingga menghasilkan Acetylsalicylic
acid
yang
selanjutnya
dikenal
sebagai
Aspirin.
Untuk
mengembangkan produk ini kemudian didirikan perusahaan farmasi modern pertama di dunia, yaitu Bayer. Di Indonesia sendiri, kelahiran industri farmasi dimulai dengan berdirinya perusahaan perdagangan dan impor obat jadi serta menjadi distributor bagi produk obat perusahaan farmasi luar negeri di tahun 1950-an. Dengan keluarnya UndangUndang Penanaman Modal Asing tahun 1967 serta Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri tahun 1968, kesempatan bagi perusahaan farmasi di Indonesia untuk bekerja sama dengan pihak asing untuk mendirikan industri farmasi semakin terbuka lebar.
91
“Ilmuwan Legendaris di Masa Kejayaan Buwaih”, Harian Republika, Selasa 23 Desember 2008, hal. 8. 92
Ibid.
Universitas Indonesia 26 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
II.2.2 Perkembangan Industri Farmasi93
Perkembangan industri farmasi dunia mengalami peningkatan yang sangat pesat sejak tahun 1980, yang ditandai dengan munculnya perusahaan bioteknologi seperti Amgen, Genentech, Chiron, dan Genzyme yang mampu melakukan penemuan obat baru tanpa proses screening laboratories. Meskipun perusahaanperusahaan tersebut relatif kecil, akan tetapi memiliki penjualan tahunan yang sangat besar karena hasil penemuannya dapat dijual ke Big Pharma seperti Glaxo Wellcome,
Merck,
dan
lain-lain,
yang
kemudian
memproduksi
serta
memasarkannya ke seluruh dunia. Aliansi strategis ini menghasilkan bisnis yang menguntungkan bagi kedua belah pihak, karena mereka dapat memperoleh hasil penjualan yang sangat besar, serta dengan adanya bentuk kerjasama ini dapat mempersingkat proses research and development yang biasanya memakan waktu 13 tahun dan menghabiskan biaya hingga US$ 300 juta untuk satu jenis obat baru. Sejak tahun 1980 itu pula, peta kefarmasian Indonesia telah berubah drastis yang ditandai dengan terjadinya merger, integrasi vertikal, serta aliansi strategis yang secara umum penyebab dari perubahan mendasar ini yaitu agar tetap survive dalam era perdagangan tanpa batas, makin meningkatnya anggaran research and development, semakin pendeknya siklus usia produk, dan adanya tekanan pada harga obat khususnya di negara maju sebagai upaya menekan biaya belanja kesehatan yang dilakukan oleh asuransi kesehatan. Di Indonesia sendiri, pemerintah mendorong tumbuhnya industri farmasi dan jalur distribusinya dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.918/Menkes/Per/X/1993 yang merupakan paket deregulasi Pedagang Besar Farmasi (PBF), dengan diperbolehkannya perusahaan farmasi PMA membuka PBF sepanjang bekerjasama dengan perusahaan lokal. Besarnya populasi penduduk menyebabkan berbagai industri farmasi luar negeri berlomba-lomba membuka anak perusahaannya di Indonesia. Meskipun demikian karakteristik industri farmasi Indonesia tidak jauh berubah sejak tahun 1970-an hingga saat ini, yaitu hanya merupakan industri farmasi formulasi, yang 93
Ibid., hal. 13, hal. 61, dan hal. 90.
Universitas Indonesia 27 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
oleh UNIDO dikelompokkan kedalam klasifikasi C1 yakni negara yang industri farmasinya berkemampuan reproduktif dalam memformulasi bahan baku dan obat jadi. Sampai dengan tahun 1996 perkembangan industri farmasi dan PBF di Indonesia sangat pesat meskipun lokasinya hanya terkonsentrasi di pula Jawa. Perkembangan yang sangat pesat ini pun menyebabkan persaingan sesama perusahaan farmasi menjadi sangat ketat, terlebih dengan adanya batas waktu penerapan ketentuan hak paten bagi copy product dan copy process.
II.2.3. Gambaran Umum Kemampuan Industri Farmasi di Indonesia
Persaingan di industri farmasi bukanlah terletak pada tampilan, kemewahan, ataupun harga, melainkan pada khasiat, keamanan, serta jangkauan terapi obat. Obat yang beredar dapat langsung menjadi usang pada saat perusahaan farmasi lain mampu memproduksi obat yang lebih baik dari segi khasiat, keamanan, maupun jangkauan terapi obat94. Tingkat persaingan pasar produk farmasi sangat tinggi terlebih dengan adanya kemungkinan munculnya produk baru dari perusahaan farmasi asing, sehingga menyebabkan perusahaan farmasi Indonesia harus terus-menerus melakukan pemantauan terhadap kemungkinan munculnya produk baru yang dapat dilisensi sehingga menjadi first mover dalam mengenalkan produk tersebut95. Bahan baku industri farmasi terdiri dari bahan dasar, bahan pembantu, dan pengemas. Namun sayangnya dari tiga kelompok bahan baku industri farmasi tersebut, belum ada yang mampu diproduksi di Indonesia, sehingga menyebabkan perusahaan farmasi Indonesia sangat rentan terhadap resiko fluktuasi nilai mata uang yang mengakibatkan harga produk akhir (obat jadi) akan sebanding dengan fluktuasi nilai dolar karena harus selalu mengimpor bahan baku obat-obatan yang akan diproduksi di Indonesia96. 94
Ibid., hal. 71.
95
Ibid., hal.72.
96
Ibid.
Universitas Indonesia 28 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
Pemalsuan produk merupakan persoalan serius yang dihadapi oleh industri farmasi Indonesia. Pemalsuan produk ini dapat berupa bahan baku yang tidak sesuai dengan khasiat, pemalsuan merek, serta pemalsuan kemasan yang dilakukan dengan cara pabrikasi yang sederhana97. Aspek keterjangkauan harga merupakan hal yang penting bagi pengadaan obat. Karenanya untuk mendukung tercapainya keterjangkauan harga, pemerintah telah menerapkan kebijaksanaan obat generik yang harganya lebih murah 30% 60% dibandingkan dengan obat non generik98. Sebelum menjelaskan lebih jauh mengenai obat generik, penulis akan sedikit menjabarkan mengenai pengertian serta penggolongan obat. Obat secara umum diartikan sebagai semua bahan tunggal atau campuran yang dipergunakan oleh semua makhluk untuk bagian dalam dan luar tubuh guna mencegah, meringankan, dan menyembuhkan penyakit99. Menurut undang-undang, yang dimaksud dengan obat adalah suatu bahan atau campuran bahan untuk dipergunakan
dalam
menentukan
diagnosis,
mencegah,
mengurangi,
menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka100. Pengertian obat secara khusus dapat dibagi menjadi: -Obat jadi.
-Obat tradisional
-Obat paten.
-Obat esensial.
-Obat baru.
-Obat generik.
-Obat asli101. Penggolongan obat dapat dilakukan berdasarkan beberapa kriteria: •
Menurut kegunaan obat.
•
Menurut cara penggunaan obat.
•
Menurut cara kerja obat
•
Menurut undang-undang.
97
Ibid.
98
Ibid., hal. 79.
99
Syamsuni, Op. Cit., hal. 47.
100
Ibid.
101
Ibid., hal. 47-48.
Universitas Indonesia 29 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
•
Menurut sumber obat.
•
Menurut bentuk sediaan obat.
•
Menurut proses fisiologis dan biokimia dalam tubuh102. Lebih lanjut pemasyarakatan pemakaian obat generik di Indonesia sangat
lambat, sosialisasi (promosi) dan penegakan aturan tentang obat generik ini pun masih lemah103. Hal ini diperkirakan karena pemahaman dan apresiasi masyarakat terhadap obat generik sangat kurang, disamping pengertian obat paten yang selalu dicampuradukkan dengan obat bermerek104. Kata ”paten” dalam bahasa Indonesia berasal dari kata ”patent” yang dalam bahasa Inggris artian bebasnya adalah suatu hak yang dilindungi hukum untuk tidak bisa ditiru atau dipalsukan105. Obat paten itu sendiri adalah obat milik suatu industri farmasi penemu formulasi obat (pabrik inovator), yang memiliki merek terdaftar yang dipatenkan dan dilindungi hukum, sehingga untuk jangka waktu tertentu industri farmasi tersebut menjadi pemilik sah dari pembuatan dan merek obat. Setelah masa paten dari suatu obat habis, perusahaan yang semula memonopoli hak untuk memproduksi obat paten tersebut tidak dapat lagi melarang perusahaan lain untuk memproduksi serta menjual obat yang bioequivalent dengan obat paten tersebut yang sekarang telah berubah nama menjadi obat generik106. Obat paten yang diproduksi oleh pabrik inovator merupakan produk yang beredar di pasar dan telah terbukti khasiat, keamanan, dan kualitasnya melalui berbagai tahapan uji pra klinis dan klinis. Obat generik hanya meng-”copy” obat paten yang sudah ada, dan sudah habis masa patennya. Sehingga, untuk menilai khasiat, keamanan, dan kualitas obat generik tidak diperlukan lagi tahapan uji
102
Ibid., hal. 48-50.
103
“Problema di Seputar Obat Generik”, < http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi? newsid1110347915,99818>, 4 November 2008. 104
Amir Hamzah Pane, Op. Cit., hal. 79.
105
Ibid.
106
Jacques-Philippe Gunther dan Charlotte Breuvart, “Misuse of Patent and Drug Regulatory Approval Systems in The Pharmaceutical Industry: an Analysis of US and EU Converging Approaches”, (European Competition Law Review, 2005), hal. 669.
Universitas Indonesia 30 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
praklinis dan klinis. Faktor inilah yang antara lain mengurangi biaya yang sangat signifikan di dalam pengembangan obat generik107. Nama obat generik itu sendiri hanya didasarkan pada nama zat aktif yang terkandung di dalam obat tersebut, misalnya Rifampisin sebagai obat anti-TBC, Captopril sebagai obat antihipertensi, dan Levofloxacin sebagai obat antibiotik108. Ciri-ciri dari obat generik adalah obat generik biasanya (dan memang seharusnya) harganya lebih murah, seringkali hanya terdiri dari satu substansi, memiliki kemasan yang lebih sederhana109, dan selalu ditandai dengan logo lingkaran garis hijau yang menunjukkan tanda khusus dari produsen obat (contoh logo terlampir)110. Kualitas obat generik memiliki kualitas yang setara dengan obat paten jika sudah melalui suatu tahap penelitian yang disebut uji bioekivalensi yang tujuan utamanya mengetahui kesetaraan efek terapi antara obat generik dan obat patennya111. Kini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memberikan aturan yang lebih ketat dalam pemberian izin edar beberapa jenis obat generik karena obat generik tersebut baru akan mendapat nomor registrasi dari BPOM jika sudah terbukti kesetaraannya dengan obat paten melalui uji bioekivalensi112. Uji bioekivalensi adalah suatu pengujian untuk obat copy atau obat generik dengan cara membandingkan bioavailabilitasnya atau ketersediaannya dalam sirkulasi sistemik dengan obat pembandingnya yang biasanya merupakan obat paten, dengan cara melihat jumlah dan kecepatan zat aktif dalam produk obat yang mencapai peredaran darah. Cara pengujiannya adalah dengan memberikan obat uji dan obat pembanding dalam periode pemberian yang terpisah kepada
107
“Menjamin Khasiat Obat Generik Lewat Uji Bioekivalensi”, , 4 November 2008. 108
Ibid.
109
“Tips&Trik: Tips Mencari Khasiat Obat”, , 4 November 2008. 110
“Mahasiswa Farmasi Kampanyekan Obat Generik”, , 4 November 2008. 111
“Menjamin Khasiat Obat Generik Lewat Uji Bioekivalensi”, Op. Cit.
112
Ibid.
Universitas Indonesia 31 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
sejumlah sukarelawan yang menjadi subjek dari uji bioekivalensi tersebut. Kemudian untuk dapat melihat jumlah dan kecepatan zat aktif dalam produk obat yang mencapai peredaran darah, dilakukan pengukuran kadar obat di dalam spesimen biologis seperti darah atau urin milik para sukarelawan subjek uji bioekivalensi tersebut. Untuk dapat dikatakan suatu obat uji bioekivalen dengan obat pembandingnya, jumlah dan kecepatan zat aktif dalam obat uji yang terdapat di dalam darah harus sama dengan obat pembandingnya. Penerapan konsepsi nama generik untuk rasionalisasi harga obat sudah mulai digiatkan oleh pemerintah melalui SK MENKES No.47 tahun 1983 tentang Kebijaksanaan Obat Nasional. Pemerintah juga memiliki instrumen untuk mengontrol rasionalisasi harga obat dengan ditetapkannya harga patokan tertinggi obat generik yang dievaluasi setiap tahun113. Nilai penjualan obat generik dunia pada tahun 1991 adalah sebesar US$ 15 miliar dari total penjualan obat sebesar US$ 187,5 miliar yang berarti 18% dari penjualan obat dunia adalah untuk obat generik114. Di negara maju justru obat generik lebih populer dibandingkan dengan di negara berkembang115. Tahun 1990 penjualan obat generik di Amerika Serikat sebesar 30% dari total penjualan obat, Denmark 50%, Jerman 17%, Inggris 10%, dan Belanda 16%116. Hal ini menunjukkan bahwa justru di negara maju anggapan bahwa obat generik tidak berkualitas tidak berlaku di sana.
113
Ibid.
114
Amir Hamzah Pane, Op. Cit., hal. 80.
115
Menjamin Khasiat Obat Generik Lewat Uji Bioekivalensi”, Op. Cit.
116
Ibid.
Universitas Indonesia 32 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008