BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Konseling Behavior
2.1.1 Pengertian Konseling Behavior Konseling pendekatan behavior adalah istilah umum yang mencakup berbagai pendekatan yang spesifik yang artinya terdapat banyak teknik di mana setiap dari sekian banyak teknik yang ada dalam pendekatan behavior lebih berfokus pada suatu permasalahan yang dihadapi . Kelompok pendekatan ini biasa juga disebut terapi behavior dan modifikasi perilaku (behavior modification). Terapi behavioral berasal dari dua arah konsep yakni Pavlovian dari Ivan Pavlov dan Skinnerian dari B.F. Skinner.
Mula-mula
terapi
ini dikembangkan oleh
Wolpe
(1958)
untuk
menanggulangi (treatment) neurosis. Neurosis dapat dijelaskan dengan mempelajari perilaku yang tidak adaptif melalui proses belajar. Dengan perkataan lain bahwa perilaku yang menyimpang bersumber dari hasil belajar di lingkungan. Perilaku dipandang sebagai respon terhadap stimulasi atau perangsangan eksternal dan internal. Karena itu tujuan terapi adalah untuk memodifikasi koneksikoneksi dan metode-metode Stimulus-Respons (S-R) sedapat mungkin. Kontribusi terbesar dari konseling behavioral (perilaku) adalah diperkenalkannya metode ilmiah
8
dibidang psikoterapi. Yaitu bagaimana memodifikasi perilaku melalui rekayasa lingkungan sehingga terjadi proses belajar untuk perubahan perilaku. Dasar teori terapi behavioral adalah bahwa perilaku dapat dipahami sebagai hasil kombinasi: (1) belajar waktu lalu dalam hubungannya dengan keadaan yang serupa; (2) keadaan motivasiional sekarang dan efeknya terhadap kepekaan terhadap lingkungan; (3) perbedaan-perbedaan fisiologik baik secara genetik atau karena gangguan fisiologik. Dengan eksperimen- eksperimen terkontrol secara seksama maka menghasilkan hukum-hukum yang mengontrol perilaku tersebut. Konseling Behavior berpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat manusia, yang sebagian bersifat falsafah dan sebagian lagi bercorak psikologis, yaitu : a) Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk, bagus atau jelek. Manusia mempunyai potensi untuk bertingkah laku baik atau buruk, tepat atau salah. Berdasarkan bekal keturunan atau pembawaan dan berkat interaksi antara bekal keturunan dan lingkungan, terbentuk pola-pola bertingkah laku yang menjadi ciri-ciri has dari kepribadiannya; b) Manusia mampu untuk berefleksi atas tingkah lakunya sendiri, menangkap apa yang dilakukannya, dan mengatur serta mengontrol perilakunya sendiri; c) Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri pola-pola tingkah laku yang baru melalui suatu proses belajar; d) Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinyapun dipengaruhi oleh perilaku orang lain.
9
Sejalan dengan keyakinan-keyakinan itu, bagi seorang konselor behavior perilaku konseling merupakan hasil dari pengalaman-pengalaman hidupnya dalam berinteraksi dengan lingkungan. Kalau perilaku konseling ditinjau dari sudut pandangan apakah perilaku itu tepat dan sesuai dengan situasi kehidupannya atau tidak tepat dan salah, harus dikatakan bahwa baik tingkah laku tepat maupun tingkah laku salah sama-sama merupakan hasil belajar. Karena tingkah laku salah merupakan hasil belajar, tingkah laku yang salah itu juga dapat dihapus dan diganti dengan tingkah laku yang tepat melalui suatu proses belajar. Beberapa penulis membedakan terapi tingkah laku dan modifikasi tingkah laku, tetapi mereka juga sering menggunakannya silih berganti dengan arti yang sama. Pendekatan behavior berkembang di atas dalil-dalil (construct) berikut : 1. Semua perilaku adalah pengaruh lingkungan. 2. Perilaku dilestarikan (maintained) oleh respons; 3. Tingkah laku lebih banyak ditentukan oleh penyebab yang dekat daripada oleh penyebab yang jauh; 4. Tingkah laku mendapat penguatan (reinforced) lebih banyak mungkin berulang daripada yang tidak mendapat penguatan; 5. Penguatan positif berpotensi membiasakan (conditioning) lebih kuat daripada penguatan negatif; 6. Penguatan hendaknya segera datang sesuai tingkah laku; 7. Penguatan dapat bersifat kongkret atau sosial; 10
8. Tingkah laku dapat berkurang dengan hilangnya penguatan; 9. Tingkah laku dapat dibentuk dengan memberikan penguatan kepada untaian tingkah laku yang dikehendaki. (Kazdin, 1978) Definisi lain menyebutkan bahwa modifikasi perilaku adalah “ penerapan dari penelitian dan teori dasar dari psikologi eksperimental untuk mempengaruhi perilaku dengan tujuan untuk mengatasi problema sosial dan individual dan menggalakan berfungsinya sifat manusia.” Terapi
behavioral
kontemporer
bisa
dipahami
dengan
jalan
mempertimbangkan tiga kawasan perkembangan utama, yaitu : kondisioning klasik, kondisioning operan, dan terapi kognitif. Pada kondisioning klasik, dimana perilaku tertentu dari responden dirangsang oleh organisme pasif. Pada pendekatan kondisioning operan, perilaku operan terdiri dari perbuatan yang beroperasi dalam lingkungan untuk mencapai konsekuensi. Apabila perubahan lingkungan yang dihasilkan oleh perilaku itu memberi penguatan, maka kemungkinannya perilaku itu akan terulang lagi. Dan kecenderungan kognitif dalam terapi perilaku merupakan konsep mediator (proses berfikir, sikap, dan nilai), yang memungkinkan sebagai reaksi terhadap pendekatan psikodinamika yang berorientasi pada pemahaman.
11
2.1.2 Tujuan Konseling Behavior Tujuan konseling behavioral adalah untuk membantu klien membuang respon-respon yang lama merusak diri, dan mempelajari respon-respon yang baru yang lebih sehat. Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan ini ditandai oleh (1) Fokusnya pada perilaku yang tampak dan spesifik. (2) Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment (perlakuan). (3) Formulasi prosedur treatment khusus sesuai dengan masalah khusus. (4) Penilaian objektif mengenai hasil konseling.
Tujuan lain terapi behavioral adalah untuk memperoleh perilaku baru, mengeleminasi perilaku yang maladatif dan memperkuat serta mempertahankan perilaku yang diinginkan. Kemudian tujuan umum konseling yang menggunakan pendekatan behavior menurut Christiani (1986) ialah : (1) Mengubah perilaku yang tidak selaras dengan tuntutan masyarakat dan kebutuhan pribadi. (2) Membantu mempelajari proses pengambilan keputusan yang lebih efisien. (3) Mencegah timbulnya masalah di waktu yang akan datang. (4) Memecahkan masalah tingkah laku yang diusulkan klien. (5) Mengadakan perubahan tingkah laku untuk masa yang akan datang.
12
Tujuan khusus konseling dirumuskan dari kesepakatan konselor dengan konsele. Rumusan tersebut hendaknya spesifik, konkret, dan mudah dinilai. Setelah diperoleh kesepakatan tentang tujuan, konselor menawarkan teknik dan strategi yang akan digunakan. Dijelaskan secara umum cara melaksanakan teknik dan strategi tersebut, waktu yang diperlukan, dan sebagainya. Jika disepakati, jalankan dan susul dengan evaluasi bersama.
2.1.3 Sifat-Sifat Dasar dan Asumsi Konseling Behavior Teori behavior memiliki beraneka ragam pendekatan yang sulit untuk disebutkan satu persatu sebagai sebuah perangkat yang premis serta sebagai bentuk umum yang bisa diaplikasikan pada seluruh bidangnya. Ciri yang berikut ini bisa diaplikasikan secara luas, pada pendekatan behavior.
(1) Terapi perilaku yang didasarkan pada prinsip belajar yang bersumber pada eksperimen yang secara sistematis diaplikasikan untuk menolong orang agar bisa mengubah perilaku maladaptive. (2) Terapi yang berfokus pada problema klien yang sekarang ada serta pada factor-faktor yang mempengaruhinya. (3) Terapi ini menekankan pada perubahan perilaku yang terbuka sebagai kriteria utama yang dengan kriteria itu perlakuan seharusnya dievaluasi, namun dengan melibatkan proses-proses kognitif. 13
(4) Terapi ini menspesifikasikan sasaran perlakuan dalam arti yang kongkrit dan objektif agar bisa dimungkinkan dibuatnya replica dari intervensi perlakuan. (5) Karakteristik yang menonjol dari para praktisi behavior adalah sikap mereka yang secara sistematis mengaitkan diri pada spesifikasi dan pengukuran. Sepanjang perjalanan terapi ada penilaian terhadap perilaku bermasalah serta kondisi yang mendukungnya. (6) Terapi
behavior
banyak
bersifat
mendidik.
Ada penekanan dalam
mengajarkan klien suatu keterampilan untuk menangani diri sendiri, dengan harapan mereka bisa bertanggung jawab untuk mentransfer apa yang telah mereka pelajari ke kehidupan sehari-hari (7) Prosedur behavior disesuaikan agar bisa cocok dengan kebutuhan yang unik dari setiap klien. Asumsi dasar yang melandasi pendekatan behavior, menurut T. Wilson (Corey;1986) ialah bahwa gangguan-gangguan yang memerlukan layanan psikoterapi hendaknya dipahami melalui perspektif psikologi eksperimental. Diatas asumsi dasar ini dibangun asumsi-asumsi yang spesifik sesuai dengan pendekatan spesifik masingmasing. Asumsi-asumsi yang melandasi sebagian besar pendekatan tersebut : (1) Terfokus pada pemberian pengaruh-pengaruh nyata (Current Influences), bukan pada penentu-penentu historis. (2) Menekankan pengamatan pada perubahan tingkah laku lahiriah sebagai kriteria penilaian. 14
(3) Mengkhususkan pada tujuan perlakuan yang konkret dan objektif supaya dapat direplikasikan. (4) Mempercayai riset dasar untuk mendapatkan hipotesis tentang perlakuan dan teknik-teknik konseling. (5) Merumuskan secara spesifik masalah-masalah yang akan ditangani untuk memudahkan perlakuan dan pengukuran.
2.1.4 Teknik dan Prosedur Konseling Behavior Salah satu kekuatan terbesar dari pendekatan behavior pada konseling dan psikoterapi adalah pengembangan dari prosedur terapeutik yang spesifik yang mau menerima adanya penyulingan lewat metode ilmiah. Teknik behavior haruslah efektif lewat sarana objektif, dan terus ada usaha untuk memperbaikinya. Temuan utama yang dihasilkan oleh penelitian terapi behavior adalah hasil akhir dari suatu penanganan adalah memiliki facet ganda. Perubahan itu bukanlah bersifat keseluruhan ataupun tidak ada perubahan sama sekali. Perbaikan mungkin bisa terjadi pada suatu kawasan tetapi tidak terjadi pada kawasan yang lain. Semua perbaikan tidak muncul secara bersamaan, dan keberhasilan di suatu kawasan mungkin ada kaitannya dengan problema yang muncul di kawasan lain. (Kazdin, 1982: Voltz & Evans, 1982).
15
Dalam terapi behavior kontemporer teknik apapun dapat ditunjukkan untuk mengubah perilaku yang mungkin dilibatkan dengan rencana penanganan. Lazarus (1980) mendukung penggunaan teknik yang beraneka ragam, tanpa memperhatikan asal teori itu. Diberikan olehnya garis besar rentang teknik yang luas yang telah ia gunakan dalam praktek klinisnya sebagai suplemen dari metode behavior. Menurut pandangannya, makin ekstensif rentangan teknik terapi itu, secara potensial terapis itu makin efektif. Jelas bahwa terapi behavior tidak harus membatasi diri pada metode yang berasal dari teori belajar. Demikian pula teknik behavior dapat dimasukkan dalam kegiatan pendekatan yang lain. Berikut ini dikemukakan beberapa teknik konseling behavioral. 1. Assertive training Assertive training, merupakan teknik dalam konseling behavioral yang dengan cepat mencapai popularitas yang bisa diterapkan terutama pada situasi-situasi interpersonal, di mana individu mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang layak atau benar. Assertive training adalah suatu teknik untuk membantu klien dalam hal-hal berikut: a. Tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung. b. Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya. c. Memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak”.
16
d. Mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respon-respon positif lainnya.
e. Merasa tidak punya hak uintuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri. Didalam assertive training konselor berusaha memberikan keberanian kepada klien dalam mengatasi kesulitan terhadap orang lain. Pelaksanaan teknik ini ialah dengan role playing (bermain peran). 2. Aversion therapy Teknik ini bertujuan untuk menghukum prilaku yang negatif dan memperkuat perilaku positif. Hukuman bisa dengan kejutan listrik, atau memberi ramuan yang membuat orang muntah. Secara sederhana anak yang suka marah dihukum dengan membiarkannya. Perilaku maladjustive diberi kejutan listrik, misalnya anak yang suka berkata bohong. Perilaku homoseksual dihukum dengan memberi pertunjukan film yang disenanginya lalu dilistrik tangannya dan film mati. 3. Home-work. Yaitu suatu latihan rumah bagi klien yang kurang mampu menyesuaikan diri terhadap situasi tertentu. Caranya ialah dengan memberi tugas rumah untuk satu minggu. Misalnya tugas klien adalah; tidak menjawab jika dimarahi ibu tiri. Klien menandai hari apa dia yang menjawab dan hari apa dia tak menjawab. Jika selama
17
seminggu dia tak menjawab selama lima hari, berarti ia diberi lagi tugas tambahan sehingga selama tujuh hari tak menjawab jika dimarahi. 4. Desensitiasi sistematik (systematic desensitization). Teknik ini dikembangkan oleh Wolpe yang mengatakan bahwa semua perilaku neurotic adalah ekspresi dari kecemasan. Respon terhadap kecemasan dapat dieliminasi dengan menemukan respon yang antagonistik. Perangsangan yang menimbulkan kecemasan secara berulang-ulang di pasangkan dengan relaksasi sehingga hubungan antara perangsangan dengan respon terhadap kecemasan dapat dieliminasi. Teknik desensitisasi sistematik bermaksud mengajar klien untuk memberikan respon yang tidak konsisten dengan kecemasan yang dialami klien. Teknik ini tak dapat berjalan tanpa teknik relaksasi. Adapun prosedur pelaksanaan teknik ini dapat diikuti lebih lanjut di bawah ini: a. Analisis perilaku yang menimbulkan kecemasan. b. Menyusun hierarkhi atau jenjang-jenjang situasi yang menimbulkan kecemasan dari yang kurang hingga yang paling mencemaskan klien. c. Memberi latihan relaksasi otot-otot yang dimulai dari lengan hingga otot kaki. Kaki klien diletakkan di atas bantal atau kain wool. Secara terinci relaksasi otot dimulai dari lengan, kepala, kemudian leher dan bahu, bagian belakang, perut dan dada, dan kemudian anggota bagian bawah.
18
d. Klien diminta membayangkan situasi yang menyenangkannya sepereti di pantai, ditengah taman yang hijau dan lain-lain. e. Klien disuruh memejamkan mata, kemudian disuruh membayangkan situasi yang kurang mencemaskan. Bila klien sanggup tanpa cemas atau gelisah, berarti situasi tersebut dapat diatasi klien. Demikian seterusnya hingga ke situasi yang paling mencemaskan. f. Bila pada suatu situasi klien cemas dan gelisah, maka konselor memerintahkan klien agar membayangkan situasi yang menyenangkan tadi untuk menghilangkan kecemasan yang baru terjadi. g. Menyusun hierarkhi atau jenjang kecemasan harus bersama klien, dan konselor menuliskannya di kertas.
2.2 Konsep Dasar Desensitisasi Sistematik
Desensitisasi sistematik ( Systematic Desensitization ) dikembangkan dalam tradisi prosedur behavioristik pada awal tahun 1950 oleh Joseph Wolpe. Asumsi dasar teknik ini adalah respons ketakutan ( sebagai contoh respon ketakutan akan ketinggian ) merupakan perilaku yang dipelajari dan dapat dicegah dengan menggantikan aktivitas yang berlawanan dengan respon ketakutan tersebut. Respons khusus yang dihambat oleh proses perbaikan (treatment) ini adalah kecemasankecemasan atau perasaan takut yang kurang beralasan, dan respons yang sering 19
dijadikan pengganti atas kecemasan tersebut adalah relaksasi atau penenangan. Sebagai contoh, jika seseorang mempunyai ketakutan terhadap ketinggian dan merasa sangat khawatir dan tidak nyaman setiap saat dia masuk ke sebuah gedung yang tinggi dan naik lift ke tingkat 4, kita akan dapat membantunya dengan menghambat kekhawatiran pada situasi ini dengan mengerjakannya untuk rileks dan tenang. Dan kita juga akan dapat melatih ketidak pekaannya atau melawan ketakutannya terhapa ketinggian.
Ketidakpekaan dapat dibentuk dengan menunjukkan setiap individu, hal-hal kecil dan bertahap atas situasi ketakutan, saat orang tersebut menunjukkan aktivitasnya yang berlawanan dengan kekhawatirannya. Pembongkaran terhadap rangsangan stimulus dapat berlangsung baik di dalam fantasi orang tersbut ketika dia dimintai untuk membayangkan situasi yang serba menakutkan, atau hal ini dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Wolpe mengistilahkan prinsip yang mendasari proses ketidakpekaan tersebut dengen reciporal inhibition. Dia menjelaskan prinsip dasar tersebut sebagai berikut, “ Jika respon inhibitori terhadap kekhawatiran dapat dipaksa terjadi di keberadaan rangsang kekhawatiran, hal tersebut akan melemahkan hubungan antara rangsangan-rangsangan tersebut terhadap kekhawatiran “. ( Wolpe 1958).
20
Menurut Wolpe (dalam Corey,2007) menguraikan secara terperinci mengenai prosedur pelaksanaan teknik Desensitisasi Sistematis yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Desensitisasi sistematis dimulai dengan suatu analisis perilaku atas stimulus-stimulus yang dapat membangkitkan kecemasan keramaian. Disediakan waktu untuk menyusun suatu tingkatan kecemasan konseli dalam area tertentu. 2. Konselor dan konseli mendaftar hasil-hasil apa saja yang menyebabkan konseli diserang perasaan cemas dan kemudian menyusunnya secara hirarkis. Konselor menyusun suatu daftar yang bertingkat mengenai situasi-situasi yang kemunculannya meningkatkan taraf kecemasan atau penghindaran. Tingkatan dirancang dalam urutan dari situasi yang membangkitkan kecemasan yang tarafnya paling rendah hingga situasi yang paling buruk yang dapat dibayangkan oleh konseli. 3. Konselor melatih konseli untuk mencapai keadaan rileks atau santai. Latihan ini dilakukan melalui suatu prosedur khusus yang disebut relaksasi yang berupaya mengkondisikan konseli dalam keadaan santai penuh. Selama pertemuan-pertemuan terapeutik pertama konseli diberi latihan relaksasi yang terdiri atas kontraksi, dan lambat laun pengendoran otot-otot yang berbeda sampai tercapai suatu keadaan santai penuh. 21
Sebelum latihan relaksasi dimulai, konseli diberitahu tentang cara relaksasi dalam kehidupan sehari-hari, dan cara mengendurkan bagianbagian tubuh tertentu.
4. Konselor melatih konseli untuk membentuk respon-respon antagonistik yang dapat menghambat perasaan cemas. Latihan relaksasi berdasarkan teknik yang digariskan oleh Jacobson dan diuraikan secara rinci oleh Wolpe. Pemikiran dan pembayangan (imagery) situasi-situasi yang membuat santai seperti duduk di pinggir danau atau berjalan-jalan di taman yang indah sering digunakan. Hal yang penting adalah bahwa konseli mencapai keadaan tenang dan damai. Konseli diajari bagaimana mengendurkan segenap otot dan bagian tubuh dengan titik berat pada otototot wajah. Otot-otot tangan terlebih dahulu, diikuti oleh kepala, leher dan pundak, punggung, perut, dada dan kemudian anggta-anggota badan bagian bawah. Konseli diminta untuk mempraktekkan relaksasi di luar pertemuan terapeutik, sekitar 30 menit lamanya setiap hari. Apabila konseli telah dapat belajar untuk santai dengan cepat, maka prosedur desensitisasi dapat dimulai. 5. Pelaksanaan
teknik
desensitisasi
sistematis.
Proses
desensitisasi
melibatkan keadaan di mana konseli sepenuhnya santai dengan mata tertutup. Pada tahap ini konselor mula-mula mengarahkan konseli agar 22
mencapai keadaan rileks. Setelah konseli dapat mencapai keadaan rileks, konselor memverbalisasikan (menyajikan) secara berurutan dari atas ke bawah situasi-situasi yang menimbulkan perasaan cemas sebagaimana tersusun dalam hirearki dan meminta konseli untuk membayangkannya. Konselor menceritakan serangkaian situasi dan meminta konseli untuk membayangkan dirinya berada dalam situasi yang diceritakan oleh konselor tersebut. Situasi yang netral diungkapkan, dan konseli diminta untuk membayangkan dirinya berada dalam situasi didalamnya. Jika konseli mampu tetap santai, maka dia diminta untuk membayangkan situasi yang membangkitkan kecemasan yang tarafnya paling rendah. Konselor bergerak mengungkapkan situasi-situasi secara bertingkat sampai konseli menunjukkan bahwa dia mengalami kecemasan, dan pada saat itulah pengungkapan situasi diakhiri. Kemudian relaksasi dimulai lagi, dan konseli kembali membayangkan dirinya berada dalam situasisituasi yang diungkapkan konselor. Treatmen diangggap selesai apabila konseli mampu untuk tetap santai ketika membayangkan situasi yang sebelumnya paling menggelisahkan dan menghasilkan kecemasan. Jika konseli
dapat
membayangkan
situasi
tersebut
tanpa
mengalami
kecemasan, konselor menyajikan situasi berikutnya dan ini terus dilakukan dengan cara yang sama sehingga seluruh situasi dalam hirarki telah disajikan dan kecemasan bias dihilangkan. Jika dengan sikap santai 23
tidak cukup, maka konselor dapat mengulangi dengan cara meminta membayangkan situasi lain yang menyenangkan ketika ia menyajikan situasi yang menimbulkan perasaan cemas (Wolpe,1982).
2.3 Kecemasan terhadap keramaian 2.3.1 Pengertian kecemasan
Kecemasan adalah perasaan yang di alami seseorang ketika berfikir bahwa sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi. Priest menggambarkan kecemasan sebagai ketakutan, tidak tentu, bingung, dan ketiakpastian merupakan suatu keadaan umum yang dialami oleh individu dari waktu ke waktu sebagai tanggapan terhadap situasi yang mengancam atau khayal ( Priest, 1994). Seseorang bisa menjadi cemas bila dalam kehidupannya terancam oleh sesuatu yang tidak jelas karena kecemasan dapat timbul pada banyak hal yang berbeda-beda. Kecemasan adalah keadaan takut terus menerus namun berbeda dengan ketakutan biasa yang merupakan respon terhadap kesukaran yang sedang terjadi, (Mahmud, 1990). Pendapat ini didukung oleh Sulaeman (1995) yang menyebutkan sebagai keadaan. Psikologis yang ditimbulkan oleh adanya rasa khawatir terus menerus yang ditimbulkan oleh adanya Inner conflict dan merupakan perasaan yang samar-samar atau tidak jelas yang bersumber dari ketakutan individu terhadap suatu yang akan terjadi. Kecemasan adalah ketegangan, rasa tidak aman dan kekawatiran yang timbul karena dirasakan
24
terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan tetapi sumbernya sebagian besar tidak diketahui dan berasal dari dalam (DepKes RI, 1990).
Freud (1993) mengungkapkan bahwa kecemasan merupakan hasil dari konflik psikis yang tidak disadari. Kecemasan menjadi tanda terhadap ego untuk mengambil aksi penurunan cemas. Ketika mekanisme diri berhasil, kecemasan menurun dan rasa aman datang lagi. Namun bila konflik terus berkepanjangan, maka kecemasan ada pada tingkat tinggi. Mekanisme pertahanan diri dialami sebagai simptom, seperti phobia, regresi dan tingkah laku ritualistik. Konsep psikodinamik menurut Freud ini juga menerangkan bahwa kecemasan timbul pertama dalam hidup manusia saat lahir dan merasakan lapar yang pertama kali. Saat itu dalam kondisi masih lemah, sehingga belum mampu memberikan respon terhadap kedinginan dan kelaparan, maka lahirlah kecemasan pertama. Kecemasan berikutnya muncul apabila ada suatu keinginan dari Id untuk menuntut pelepasan dari ego, tetapi tidak mendapat restu dari super ego, maka terjadilah konflik dalam ego, antara keinginan Id yang ingin pelepasan dan sangsi dari super ego lahirlah kecemasan yang kedua. Konflikkonflik tersebut ditekan dalam alam bawah sadar, dengan potensi yang tetap tak terpengaruh oleh waktu, sering tidak realistik dan dibesar-besarkan. Tekanan ini akan muncul ke permukaan melalui tiga peristiwa, yaitu : sensor super ego menurun, desakan Id meningkat dan adanya stress psikososial, maka lahirlah kecemasankecemasan berikutnya (Prawirohusodo, 1988).
25
Menurut teori perilaku, Kecemasan berasal dari suatu respon terhadap stimulus khusus (fakta), waktu cukup lama, seseorang mengembangkan respon kondisi untuk stimulus yang penting. Kecemasan tersebut merupakan hasil frustasi, sehingga akan mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang di inginkan.
2.3.2 Macam-macam Kecemasan
Menurut Freud ( Hall dan Lindzey, 1993 ) ada tiga macam kecemasan :
a.
Kecemasan realita
Dari ketiga macam kecemasan itu yang paling pokok adalah kecemasan realita atau takut akan bahaya-bahaya dari luar. Bahaya dalam setiap keadaan dalam lingkungan seseorang yang bisa membuat celaka, misalnya takut dirinya celaka jika berada di suatu keramaian atau lalu lalang orang di suatu tempat.
b.
Kecemasan neurotis
Kecemasan neurotis adalah rasa takut apabila insting-insting akan lepas dari kendali dan menyebabkan orang berbuat sesuatu yang bisa membuatnya dihukum. Kecemasan neurotis bukanlah ketakutan terhadap insting itu sendiri melainkan ketakutan terhadap yang mungkin terjadi jika suati insting dipuaskan. Kecemasan neurotis mempunyai dasar dalam kenyataan, sebab dunia
26
sebagaimana diwakili oleh orang tua dan berbagai otoritas lain akan menghukum anak bila ia melakukan tindakan implusif.
c.
Kecemasan moral
Kecemasan moral adalah rasa takut terhadap suara hati. Orang-orang super ego berkembang dengan baik cenderung merasa bersalah jika mereka melakukan sesuatu atau bahkan berfikir untuk melakukan yang bertentangan dengan norma moral dimana dirinya dibesarkan. Kecemasan moral juga mempunyai dasar dalam realistis, dimasa lampau sang pribadi pernah mendapat hukuman karena melanggar norma moral dan bisa dihukum lagi.
a. Rasa cemas yang timbul akibat melihat dan mengetahui ada bahaya yang mengancam dirinya. Kecemasan ini lebih dilihat sebagai rasa takut, karena sumbernya jelas terlihat dalam pikiran. b. Rasa cemas yang berupa penyakit dan terlihat dalam beberapa bentuk. Misalnya orang merasa cemas karena menyangka akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, sehingga orang itu merasa terancam. c. Rasa cemas karena merasa berdosa atau bersalah, karena melakukan halhal yang berlawanan dengan keyakinan atau hati nurani.
Cattel dan Scheier (dikutip oleh De Clerg, 1994) membagi kecemasan dalam dua jenis, yaitu: 27
a. State anxiety adalah reaksi emosi sementara yang timbul pada situasi tertentu, yang dirasakan sebagai suatu ancaman. State anxiety beragam dalam hal intensitas dan waktu. Keadaan ini ditentukan oleh perasaan ketegangan yang subyektif. b. Trait anxiety menunjukkan seseorang untuk menginterprestasikan keadaan sebagai suatu ancaman yang disebut dengan anxiety proness (kecenderungan akan kecemasan). Orang tersebut cenderung untuk merasakan
berbagai
macam
keadaan
sebagai
keadaan
yang
membahayakan atau mengancam dan cenderung untuk menanggapi dengan reaksi kecemasan.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kecemasan terhadap keramaian dapat dikategorikan pada bentuk kecemasan realita.
2.3.3 Gejala-gejala Kecemasan
Kecemasam sulit diketahui, hanya dapat dilihat dari gejala-gejala yang ditimbulkannya. Menurut Daradjat (1990) gejal-gejala cemas ada yang bersifat fisiologis yaitu ujung-ujung jari terasa dingin, gangguan pada pencernaan, detak jantung cepat, keringat bercucuran, tidur tidak nyanyak, nafsu makan hilang, kepala pusing, nafas sesak, serta sakit perut. Gejala-gejala psikologis antara lain sangat takut, merasa akan ditimpa bahaya atau kecelakaan, keadaan tidak berdaya, tidak bisa 28
memusatkan perhatian, hilang kepercayaan pada diri sendiri, tidak tentram, ingin lari dari kenyataan hidup.
Suardiman (1987) memberikan ciri-ciri individu yang mengalami kecemasan sebagai berikut: tidak bisa tidur, mudah marah, gelisah, istirahat dan makan tidak teratur, tidak dapat berkonsentrasi, tidak berani mengambil keputusan, terlalu peka atau sensitive, mudah mengeluarkan keringat terus-menerus. Sedangkan gejala-gejala fisiologis yang makin timbul pada orang yang mengalami kecemasan menurut De Clerq (1994) antara lain bernafas lebih cepat, berkeringat, jantung berdebar-debar.
Hal di atas sesuai dengan pendapat Coon dan Raymont (Yetty Fitriasari , 1999) bahwa ciri-ciri kecemasan adalah ketidak stabilan emosi, perasaan tidak aman, sulit mengambil keputusan, hilangnya perhatian, mudah pusing atau mual, tenggorokan tersekat, sulit tidur dan hilang konsentrasi. Jadi gejala-gejala kecemasan dapat bersifat fisiologis dan psikologis. Bersifat fisiologis bila ditandai dengan detak jantung menjadi lebih cepat, istirahat tidak teratur, nafsu makan hilang, gangguan pada pencernaan, tidur tidak nyenyak, mudah mengeluarkan keringat, nafas sesak dan pusing. Sedangkan gejala psikologis ditandai dengan merasa tertekan, mudah marah, selalu khawatir, bingung, tidak berani mengambil keputusan, dan sulit berkonsentrasi.
29
2.4 Keramaian
Keramaian bukan hanya terjadi di stadion sepakbola, tapi keramaian juga dapat terjadi di mana-mana. Tempat ibadah, pasar tradisional, lokalisasi pelacuran, gelaran kampanye partai politik, konser musik atau acara jalan santai. Contoh terakhir menarik untuk dijadikan pembanding. Misalnya, pengurus rukun tetangga di suatu perumahan menyelenggarakan acara “jalan santai”. Pesertanya penghuni perumahan. Ramai dan membentuk keramaian. Anggota keramaian adalah peserta acara jalan santai. Keramaian terbentuk disebabkan alat pembentuk keramaian yang tidak tunggal.
Misalnya
seseorang
ikut
jalan
santai
karena
undian
berhadiah
(semacam doorprize) telepon genggam “BlackBerry”. Individu lain datang ke acara yang sama karena ada “pentas musik” di akhir acara. ”Undian berhadiah” serta ”pentas musik” adalah sedikit contoh dari alat pembentuk keramaian suatu acara jalan santai. “Objek” dari motivasi merupakan alat pembentuk keramaian. Manusia adalah makhluk yang bisa dimobilisasi membentuk keramaian. Dalam sebuah keramaian pasti banyak sekali ditemui beberapa kelompok. Dalam suatu kelompok banyak sekali ditemui suatu makna pertemanan dari setiap individu. Keramaian mempunyai makna tersendiri yaitu, merupakan kumpulan dari sekelompok orang-orang atau lebih untuk mencapai suatu tujuan tertentu. dimana ada sebuah organisasi yang menyusun berbagai pekerjaan atau kegiatan guna menghasilkan sebuah pencapaian tujuan. dalam keramaian diperlukan interaksi bersama dan adanya karakteristik yang berbeda agar dapat menciptakan suatu 30
keragaman. dalam psikologi kelompok, kelompok dapat menunjang perkembangan optimal masing-masing individu untuk membentuk suatu kumpulan yang dapat disebut juga dengan keramaian. menurut Homans (1950) keramaian adalah sejumlah individu berkomunikasi satu dengan yang lain dalam jangka waktu tertentu yang jumlahnya tidak dapat ditentukan. Jadi pengertian kecemasan keramaian adalah perasaan yang dialami seseorang ketika berfikir bahwa akan terjadi hal yang tidak menyenangkan terhadap sekumpulan dari sekelompok orang-orang atau lebih yang disebut keramaian itu sendiri. 2.4.1 Faktor-faktor yang mendasari manusia berkelompok dan membentuk keramaian. 1.
Adanya persamaan senasib
2.
Tujuan yang sama
3.
Ideologi yang sama
4.
Musuh bersama
5.
Suku bangsa yang sama atau kelompok etnik
2.4.2 Bentuk-bentuk kelompok sosial yang mendasari timbulnya keramaian menurut para ahli. 1. In Group dan Out Group
31
Summer membedakan
antara in
group dan out
group. In
Group merupakan kelompok social yang dijadikan tempat oleh individuindividunya untuk mengidentifikasikan dirinya. Out Group merupakan kelompok sosial yang oleh individunya diartikan sebagai lawan in Group. Contoh: Istilah “kita” atau “kami” menunjukkan adanya artikulasi in group, sedangkan “mereka” berartikulasi out group. 2. Kelompok primer dan sekunder Charles Horton Cooley mengemukakan tentang kelompok primer yang ditandai dengan ciri-ciri saling mengenal antara anggota-anggotanya, kerja sama yang erat dan bersifat pribadi,interaksi sosial dilakukan secara tatap muka (face to face). Kelompok sekunder adalah kelompok sosial yang terdiri dari banyak orang, antara siapa hubungannya tidak perlu berdasarkan pengenalan secara pribadi dan juga sifatnya tidak begitu langgeng. 3. Gemainschaft dan gesellschaft Ferdinand Tonnies mengemukakan tentang hubungan antara individuindividu dalam kelompok sosial sebagai Gemainschaft (paguyuban) dan gesellschaft (patembayan). Gemainschaft merupakan
bentuk-bentuk
kehidupan yang di mana para anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni, bersifat ilmiah, dan kekal. Contoh: keluarga, kelompok 32
kekerabatan, rukun tetangga, dll.Gesellschaft (patembayan) merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu tertentu (yang pendek)
atau
bersifat
kontraktual.
Contoh:
hubungan perjanjian
perdagangan, organisasi formal, organisasi suatu perusahaan, dll.
4. Kelompok Formal dan Informal J.A.A. Van Doorn membedakan kelomok Formal dan Informal. Kelompok Formal mempunyai peraturan yang tegas dan sengaja diciptakan oleh para anggotanya untuk mengatur hubungan mereka, misalnya pemerintah memilih ketua, iuran anggota, dll. Kelompok Informal tidak mempunyai struktur atau organisasi tertentu . Kelompok ini terbentuk karena pertemuan berulang-ulang, misal kelompok dalam belajar. 5. Membership group dan reference group Robert
K.
Merton membedakan
kelompok membership dengan
kelompok reference. Kelompokmembership merupakan kelompok yang para anggotanya tercatat secara fisik sebagai anggota, sedangkan kelompok reference merupakan kelompok sosial yang dijadikan acuan atau rujukan oleh individu-individu yang tidak tercatat dalam anggota 33
kelompok
tersebut
untuk
membentuk
atau
mengembangkan
kepribadiannya atau dalam berperilaku. Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa keramaian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kerumunan sekelompok orang yang menimbulkan kebisingan dan kegaduhan yang tidak hanya terjadi di dalam sekolah atau di dalam kelas saja, tetapi juga dapat terjadi di manapun yang bisa menimbulkan rasa cemas terhadap siswa itu sendiri.
2.5
Penerapan Konseling Kelompok Melalui Teknik Desensitisasi Sistematik untuk Mengatasi Kecemasan Terhadap Keramaian.
Desensitisasi sistematik merupakan tehnik yang cocok untuk menangani fobia, tetapi merupakan suatu konsepsi yang keliru kalau tehnik ini dapat diaplikasikan hanya untuk menangani kecemasan. Comier & Cormier ( Corey, 1995 ) menyatakan bahwa secara historis desensitisasi merupakan tehnik yang memiliki catatan sejarah yang paling panjang sebagai tehnik untuk menangani rasa takut dan hasilnya telah didokumentasikan.
(Abimanyu & Thayeb, 1996) mengemukakan bahwa desensitisasi sistematik digunakan untuk menurunkan kemaarahan, menambah rasa toleransi pada orang lain mengatasi situasi kehilangan dan keduka citaan, menghilangkan berbagai fobia, menghilangkan berbagai kecemasan dan menghilangkan berbagai rasa takut. Dalam
34
penerapannya teknik desensitisasi ini menggunakan berbagai tahap-tahap pelaksanaan sesuai dengan langkah-langkah prosedur yang efektif.
Seperti studi penelitian yang sudah dilakukan oleh Hekmat Hamid (2006) yang mengemukakan bahwa teknik desensitisasi sistematis efektif untuk menurunkan kecemasan berbicara di depan umum.
2.6
Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Konseling kelompok
melalui pendekatan behavioral secara signifikan dapat menurunkan kecemasan keramaian siswa kelas VIII B SMP Negeri 10 Salatiga
35