BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Tanaman Melati (Jasminum sambac Ait.)
Melati (Jasminum sambac Ait.) diduga berasal dari India, melati putih pertama kali dibudidayakan di Inggris pada tahun 1665. Terdapat 200 jenis melati yang telah diidentifikasi oleh para ahli botani dan baru sekitar 9 jenis melati yang umum dibudidayakan yaitu melati hutan (J. multiflorum), melati raja (J. rex), melati cablanca (J. officinale), J. revotulum, J. mensy, J. parkery, melati australia (J. simplicifolium), melati hibrida dan melati (J. sambac) (Rukmana, 1997). Melati dikenal dengan beberapa nama di berbagai daerah antara lain yaitu Jasminum sambac Ait. sebagai nama ilmiah, malati (Sunda); melati, menur (Jawa); malur, merul (Batak); puti, bunga manor (Ambon); maluru (Makasar) dan nama asing yaitu jasmine (Inggris); mo li hua (Cina) (Hieronymus, 2013).
Gambar 1. Tanaman Melati (Jasminum sambac Ait.) (Dokumen Pribadi)
6
7
a. Klasifikasi Klasifikasi tanaman melati (J.sambac Ait) menurut Tjitrosoepomo (2005) adalah : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dycotyledonae
Ordo
: Oleales
Famili
: Oleaceae
Genus
: Jasminum
Spesies
: Jasminum sambac (L) W. Ait
b. Morfologi tanaman melati (J. sambac Ait.) Melati adalah tanaman perdu dengan tinggi tanaman sekitar 0,3-3 m. Tanaman melati termasuk family Oleaceae, tumbuh lebih dari setahun (perennial) dan bersifat merambat. Bunga melati berbentuk terompet dengan warna bervariasi terantung pada jenis dan spesiesnya. Umumnya bunga melati tumbuh di ujung tanaman. Susunan mahkota bunga tunggal atau ganda (bertumpuk), beraroma harum tetapi ada beberapa jenis melati tidak memiliki aroma (Hieronymus, 2013). Daun melati bertangkai pendek dengan helaian berbentuk bulat telur. Panjang daun 2,5-10 cm dan lebarnya 1,5-6 cm. Ujung daun runcing, pangkal membulat, tepi daun rata, tulang daun menyirip, menonjol pada permukaan bawah dan permukaan daun hijau mengkilap. Letak duduk daun berhadap-hadapan pada
8
setiap buku. Batangnya berwarna coklat, berkayu berbentuk bulat sampai segi empat, berbuku-buku dan bercabang banyak seolah-olah merumpun ( Eren, 2013). Sistem perakaran tanaman melati adalah akar tunggang dan bercabang yang menyebar ke semua arah dengan kedalaman 40-80 cm dari akar yang terletak dekat permukaan tanah. Akar melati dapat menumbuhkan tunas atau cikal bakal tanaman baru (Hieronymus, 2013). Melati dapat tumbuh dengan baik di daerah dataran rendah maupun dataran tinggi hingga ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Perbanyakan tanaman melati dapat dilakukan dengan stek batang atau cangkok. Budidaya melati menghendaki media tanam yang mengandung bahan organik tinggi. Tanaman
melati
tidak
memerlukan
perlakuan
khusus
pada
proses
pembungaannya. Melati banyak dimanfaatkan sebagai komponen taman, rangkaian bunga untuk pengantin, ritual adat, bunga tabur, campuran teh atau diambil minyak atsirinya sebagai bahan baku parfum. Selain itu, tanaman ini juga dimanfaatkan sebagai obat tradisional karena pengaruh dari senyawa kimia dan efek farmakologi yang dihasilkan (Endah, 2002). c. Kandungan kimia dan efek farmakologi Melati mengandung senyawa kimia yang sangat besar manfaatnya. Kandungan senyawa kimia pada bunga dan daun melati menimbulkan rasa manis, pedas dan bersifat sejuk. Sementara akarnya mempunyai rasa pedas, manis dan agak beracun (Arief dan Anggoro, 2008). Skrinning fitokimia yang dilakukan oleh Rastogi dan Mehrotra (1989) melaporkan adanya kandungan indole, eugenol,
9
linalool dan senyawa aktif lainnya pada bunga melati. Kandungan senyawa aktif bunga melati disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Skrining fitokimia bunga melati (J. sambac Ait.) Tingkat Kepolaran No. Senyawa Nonpolar Semipolar Polar 1. 3-hexenol + 2. 2-vinylpridine + 3. Indol + + + 4. Myrcene + + 5. Geranyl linalool + 6. Alpha terphenol + 7. Beta terpenol + 8. Linalyl acetate + 9. Nerolidol + 10. Phytol + 11. Isophytol + 12. Farsenol + 13. Eugenol + + + 14. Benzyl alcohol 15. Methyl benzoate + + + 16. Benzyl cyanide + + + 17. Benzyl acetat + + + 18. Methyl anilate + 19. Cis-jasmone + 20. Methyl N-mthylantheranilate + 21. Vanilin + 22. Cis-hexenylbenzoate + 23. Asam benzoate + 24. Mthylpalmitate + 25. Mthyl linoleat + 26. 8,9-dihydrojasminin + 27. Linalool + Sumber : Rastogi dan Mehrotra (1989) Bunga melati mempunyai banyak manfaat dalam bidang kesehatan. Efek farmakologis bunga melati di antaranya sebagai obat diare, influenza, jerawat, biduran, bengkak digigit binatang, cacingan, demam, sakit gigi, radang mata merah dan sesak napas (Eren, 2013). Bunga melati menghasilkan pigmen kuning yang berperan aktif dalam memperbaiki metabolisme dan jaringan dalam tubuh
10
termasuk kulit (Rahardja dan Tjay, 2002). Berbagai khasiat yang diperoleh dari bunga melati tersebut disebabkan keberadaan sejumlah senyawa aktif yang dapat diperoleh melalui proses ekstraksi. Kandungan komponen terbesar dari minyak bunga melati yaitu indole. Indole adalah senyawa heterosiklik yang tersusun atas cincin benzena dengan cincin pirola pada posisi C-2 dan C-3. Cincin indole antara lain ditemukan pada triptofan, triptamina, serotonin. Indole adalah komponen populer wewangian dan prekursor
untuk obat-obatan. Senyawa yang mengandung cincin indole disebut indoles (Lestari dkk, 2007).
Gambar 2. Struktur Indole Indole merupakan senyawa alkaloid yang memiliki aktivitas antikanker. Mekanisme kerja alkaloid sebagai antikanker adalah dengan mengikat tubuli dan menghambat pembentukan komponen mikrotubuli pada kumparan mitosis sehingga metafase berhenti (Siswandono dan Soekardjo, 1995). Turunan indolin2-on dilaporkan menunjukkan bioaktivitas sebagai anti kanker. 4,6-Dibromo-3hidroksi-3-(2-oksopropil)indolin-2-on yang diisolasi dari Amathia convolute menghambat pertumbuhan sel leukemia HL-60 dengan
sebesar 12,5-25
μg/mL; maremycin-B dan maremycin-C yang diisolasi dari Streptomyces sp. sitotoksik terhadap sel kanker serviks HeLa dengan (Peddibhotla, 2009).
sebesar 50 μg/mL.
11
2. Simplisia dan Ekstrak
a. Simplisia Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan alam yang dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman tertentu atau eksudat tanaman. Simplisia nabati harus bebas dari serangga, fragmen hewan atau kotoran hewan; tidak boleh menyimpang bau dan warnanya; tidak boleh mengandung lendir dan cendawan, atau menunjukkan tanda-tanda pengotoran lain; tidak boleh mengandung bahan lain yang beracun atau berbahaya. Jika dalam beberapa hal khusus ada sedikit penyimpangan dari beberapa ketentuan mengenai morfologik dan mikroskopik yang tertera dalam Materia Medika Indonesia, sedangkan semua persyaratan lain dipenuhi maka simplisia yang bersangkutan dapat dianggap memenuhi persyaratan Materia Medika Indonesia (Depkes, 1995). Materia Medika Indonesia berlaku sebagai pedoman untuk simplisia yang akan dipergunakan untuk keperluan pengobatan, tetapi tidak berlaku bagi bahan yang dipergunakan untuk keperluan lain yang dijual dengan nama yang sama. Namun simplisia nabati secara umum merupakan produk hasil pertanian tumbuhan obat setelah melalui proses pasca panen dan proses preparasi secara sederhana menjadi bentuk produk kefarmasian yang siap dipakai atau siap diproses selanjutnya, yaitu (Depkes, 2000) :
12
a. Siap dipakai dalam bentuk serbuk halus untuk diseduh sebelum diminum (jamu). b. Siap dipakai untuk dicacah dan digodok sebagai jamu godokan (infus). c. Diproses selanjutnya untuk dijadikan produk sediaan farmasi lain yang umumnya melalui proses ekstraksi, separasi dan pemurnian, yaitu menjadi ekstrak, fraksi atau bahan isolat senyawa murni. b. Ekstrak Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan pengurangan tekanan, agar bahan sesedikit mungkin terkena panas (Depkes, 2000). Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan komponen senyawa yang diinginkan dari suatu bahan dengan cara pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu bahan yang merupakan sumber komponennya. Pada umumnya ekstraksi akan semakin baik bila permukaan serbuk simplisia yang bersentuhan dengan pelarut semakin luas. Dengan demikian, semakin halus serbuk simplisia maka akan semakin baik ekstraksinya. Selain luas bidang, ekstraksi juga dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia simplisia yang bersangkutan (Agoes, 2007).
13
Proses pemisahan senyawa dari simplisia dilakukan dengan menggunakan pelarut tertentu sesuai dengan sifat senyawa yang akan dipisahkan. Pemisahan senyawa berdasarkan kaidah like dissolved like yang artinya suatu senyawa akan larut dalam pelarut yang sama tingkat kepolarannya. Bahan dan senyawa kimia akan mudah larut pada pelarut yang relatif sama kepolarannya. Kepolaran suatu pelarut ditentukan oleh besar konstanta dieletriknya, yaitu semakin besar nilai konstanta dielektrik suatu pelarut maka polaritasnya semakin besar. Menurut Agoes (2007) beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut antara lain: 1. Selektifitas, yaitu pelarut hanya melarutkan komponen target yang diinginkan dan bukan komponen lain. 2. Kelarutan, yaitu kemampuan pelarut untuk melarutkan ekstrak yang lebih besar dengan sedikit pelarut. 3. Toksisitas, yaitu pelarut tidak beracun. 4. Penguapan, yaitu pelarut yang digunakan mudah diuapkan. 5. Ekonomis, yaitu harga pelarut relatif murah. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Struktur kimia yang berbeda-beda akan mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawasenyawa tersebut terhadap pemanasan, udara, cahaya, logam berat dan derajat keasaman. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibedakan menjadi dua golongan, yakni cara dingin dan
14
cara panas yang didasarkan pada kestabilan senyawa kimia dalam simplisia. Metode ekstraksi yang dipakai pada penelitian ini adalah ekstraksi cara dingin yaitu maserasi. Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (suhu kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinyu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Agoes, 2007). Pada proses maserasi ini pelarut akan menembus dinding sel sehingga dapat masuk ke dalam rongga dan senyawa bioaktif akan larut, karena prinsip kerja metode ekstraksi dengan maserasi ini adalah terjadi kontak langsung antara bahan yang di ekstrak dengan pelarut pada waktu tertentu kemudian diikuti dengan pemisahan dari bahan yang telah diekstrak (Rohman dan Gholib, 2009). 3. Uji Toksisitas Metode BSLT
Untuk skrining dan fraksionisasi fisiologi aktif dari ekstrak tanaman dapat dilakukan uji standar toksisitas akut (jangka pendek). Suatu metode yang digunakan secara luas dalam penelitian bahan alam untuk maksud tersebut adalah Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode untuk menguji bahan-bahan yang bersifat toksik dan digunakan sebagai suatu bioassay yang pertama untuk penelitian bahan alam. Metode ini menggunakan larva Artemia salina Leach sebagai hewan coba. Uji
15
toksisitas dengan metode BSLT ini merupakan uji toksisitas dimana efek toksik dari suatu senyawa ditentukan dalam waktu singkat, yaitu rentang waktu selama 24 jam setelah pemberian dosis uji. (Meyer et al., 1982). Dengan berdasarkan pada pemikiran bahwa efek farmakologi adalah toksikologi sederhana pada dosis yang rendah dan sebagian besar senyawa antitumor
adalah sitotoksik, maka BSLT dapat digunakan sebagai uji
pendahuluan senyawa anti tumor. Senyawa yang mempunyai kemampuan membunuh larva udang diperkirakan juga mempunyai kemampuan membunuh sel kanker dalam kultur sel (McLaughlin, 1991). Pengujian ini adalah pengujian letalitas yang sederhana dan tidak spesifik untuk aktifitas tumor, tetapi merupakan indikator toksisitas yang baik dan menunjukkan korelasi yang kuat dengan pengujian anti tumor yang lainnya seperti uji sitotoksisitas dan uji leukemia tikus. Karena kesederhanaan prosedur pengerjaan, menjadikan BSLT sebagai uji hayati pendahuluan untuk aktivitas anti tumor yang sesuai dan dapat dilakukan secara rutin di laboraturium dengan fasilitas sederhana (McLaughlin, 1991). Metode BSLT juga digunakan untuk mendeteksi keberadaan senyawa toksik dalam proses isolasi senyawa dari bahan alam yang berefek sitotoksik dengan menentukan harga
dari senyawa aktif. Metode BSLT dapat
digunakan untuk system uji seperti pestisida, mitotoksin, polutan, anastetik, komponen seperti morfin, karsinogenik dan ketoksikan dari hewan dan tumbuhan laut serta senyawa beracun dari tumbuhan darat (McLaughlin, 1991).
16
Nilai
merupakan nilai yang menunjukkan besarnya konsentrasi suatu
bahan uji yang dapat menyebabkan 50% kematian jumlah hewan uji setelah perlakuan 24 jam. Melalui metode tersebut, pelaksanaan skrining awal suatu senyawa aktif akan berlangsung relatif cepat dengan biaya yang relatif murah. Hal ini dikarenakan hanya ekstrak atau senyawa yang memiliki aktivitas antikanker berdasarkan metode BSLT tersebut yang selanjutnya dapat diyakinkan efek antikankernya terhadap biakan sel kanker (Dwiatmaka, 2001; Mukhtar dkk., 2007). Metode ini dilakukan dengan menentukan besarnya nilai
selama 24
jam. Data tersebut dianalisis menggunakan probit analisis untuk mengetahui nilai . Jika nilai
masing-masing ekstrak atau senyawa yang diuji kurang dari
1000 μg/mL maka dianggap menunjukkan adanya aktivitas biologik, sehingga pengujian ini dapat digunakan sebagai skrining awal terhadap senyawa bioaktif yang diduga berkhasiat sebagai antikanker. Metode BSLT memiliki keuntungan, antara lain cepat, murah, sederhana (tidak memerlukan teknik aseptik), untuk melakukannya tidak memerlukan peralatan khusus dan membutuhkan sampel yang relatif sedikit dalam pengujian (Sunarni et al., 2003; Anderson et al., 1991; Sukardiman dkk., 2004). 4. Artemia salina Leach.
Artemia salina Leach. atau sering disebut brine shrimp adalah sejenis udang-udangan primitif yang sudah dikenal cukup lama dan oleh Linnaeus pada tahun 1778 yang diberi nama Cancer salinus, kemudian oleh Leach diubah menjadi Artemia salina pada tahun 1819. Hewan ini hidup planktonik di perairan
17
yang berkadar garam tinggi. Sebagai plankton, A. salina Leach. tidak dapat mempertahankan diri terhadap musuh-musuhnya, karena tidak mempunyai cara maupun
alat
untuk
mempertahankan
diri.
Satu-satunya
kondisi
yang
menguntungkan dari alam adalah lingkungan hidup yang berkadar garam tinggi, karena pada kondisi tersebut pemangsanya pada umumnya sudah tidak dapat hidup lagi (Mudjiman, 1995). Artemia (Artemia salina) merupakan pakan bagi Larva udang dan ikan yang banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan pembenihan udang dan ikan (hatchery). Artemia merupakan jenis crustaceae tingkat rendah dari phylum arthropoda yang memiliki kandungan nutrisi cukup tinggi seperti karbohidrat, lemak, protein dan asam-asam amino. Nauplius artemia mempunyai kandungan protein hingga 63 % dari berat keringnya. Selain itu artemia sangat baik untuk pakan ikan hias karena banyak mengandung pigmen warna yang diperlukan untuk variasi dan kecerahan warna pada ikan hias agar lebih menarik (Anderson et al., 1991). Bentuk A. salina Leach. secara morfologi dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Artemia salina Leach. (Abatzopoulos et. al., 1996 )
18
a. Klasifikasi Kingdom
: Animalia
Phylum
: Arthropoda
Class
: Crustacea
Subclass
: Branchiopoda
Ordo
: Anostraca
Family
: Artemiidae
Genus
: Artemia
Spesies
: A. salina Leach. (Mudjiman, 1995).
b. Deskripsi Artemia salina Leach. dewasa memiliki panjang tubuh umumnya sekitar 8-10 mm bahkan mencapai 20 mm tergantung lingkungan. Tubuhnya memanjang terdiri sedikitnya 20 segmen dan dilengkapi kira-kira 10 pasang phyllopodia pipih, yaitu bagian tubuh yang menyerupai daun yang bergerak dengan ritme teratur. A. salina Leach. dewasa berwarna putih pucat, merah muda, hijau, atau transparan dan biasanya hanya hidup beberapa bulan. Memiliki mulut dan sepasang mata pada antenanya (Pitoyo, 2004). Telur A. salina Leach. berbentuk bulat berlekuk dalam keadaan kering dan bulat penuh dalam keadaan basah. Warnanya coklat dan diselubungi oleh cangkang yang tebal dan kuat. Cangkang ini berfungsi untuk melindungi embrio terhadap
pengaruh
kekeringan,
benturan
mempermudah pengapungan (Bougias, 2008).
keras,
sinar
ultraviolet
dan
19
c. Habitat A. salina Leach. Artemia merupakan kelompok udang-udangan dari phylum Arthopoda. Mereka berkerabat dekat dengan zooplankton lain seperti copepode dan daphnia (kutu air). Artemia hidup di danau-danau garam (berair asin) yang ada di seluruh dunia. Artemia hidup planktonik di perairan yang berkadar garam tinggi (antara 15- 300 per mil). Suhu yang dikehendaki berkisar antara 25-30° C, oksigen terlarut sekitar 3 mg/L, dan pH antara 7,3–8,4. Secara alamiah salinitas danau dimana mereka hidup sangat bervariasi, tergantung pada jumlah hujan dan penguapan yang terjadi. Apabila kadar garam kurang dari 6% telur Artemia akan tenggelam sehingga telur tidak bisa menetas, hal ini biasanya terjadi apabila air tawar banyak masuk ke dalam danau di musim penghujan. Apabila kadar garam lebih dari 25% telur akan tetap berada dalam kondisi tersuspensi, sehingga dapat menetas dengan normal (Mudjiman, 1995). Secara alami, makanan Artemia berupa sisa-sisa jasad hidup yang hancur, ganggang-ganggang renik, bakteri dan cendawan (ragi laut). Selama pemeliharaan makanan yang diberikan adalah katul, padi, tepung beras, tepung terigu, tepung kedelai atau ragi. Artemia merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem laut yang keberadaan sangat penting untuk perputaran energi dalam rantai makanan, selain itu Artemia juga dapat digunakan dalam uji laboratorium untuk mendeteksi toksisitas suatu senyawa dari ekstrak tumbuhan (Mudjiman, 1995 ; Kanwar, 2007). Artemia salina Leach. memiliki resistensi luar biasa pada perubahan dan mampu hidup pada variasi salinitas air yang luas dari seawater (2.9-3.5%) sampai
20
the great salt lake (25-35%), dan masih dapat bertoleransi pada kadar garam 50% (jenuh). Beberapa ditemukan di rawa asin hanya pada pedalaman bukit pasir pantai, dan tidak pernah ditemui di lautan itu sendiri karena di lautan terlalu banyak predator. A. salina Leach. juga mendiami kolom-kolom evaporasi buatan manusia yang biasa digunakan untuk mendapatkan garam dari lautan. Insang membantunya agar cocok dengan kadar garam tinggi dengan absorbs dan ekskresi ion-ion yang dibutuhkan dan menghasilkan urin pekat dari glandula maxillaris. Hidup pada variasi temperatur air yang tinggi pula, dari 6-37°C dengan temperatur optimal untuk reproduksi pada 25°C (suhu kamar). Keuntungan hidup pada lokasi berkadar garam tinggi adalah sedikitnya predator namun sumber makanannya sedikit (Pitoyo, 2004; Stappen, 2006). d. Perkembangan dan Siklus Hidup Artemia salina Leach. dibedakan menjadi dua golongan berdasarkan cara berkembangbiaknya, antara lain perkembangbiakan secara biseksual dan partenogenetik. Keduanya dapat terjadi secara ovipar maupun ovovivipar. Pada jenis A. salina Leach. ovovivipar, anakan yang keluar dari induknya sudah berupa burayak yang dinamakan nauplis, sehingga sudah langsung dapat hidup sebagai A. salina Leach. muda. Sedangkan pada cara ovipar, yang keluar dari induknya berupa telur bercangkang tebal yang dinamakan siste. Proses untuk menjadi nauplis masih harus melalui proses penetasan terlebih dahulu. Kondisi ovovivipar biasanya terjadi bila keadaan lingkungan cukup baik, dengan kadar garam kurang dari 150 per ml dan kandungan oksigennya cukup. Oviparitas terjadi apabila keadaan lingkungan memburuk, dengan kadar garam lebih dari 150 per mil dan
21
kandungan oksigennya kurang. Telur ini memang dipersiapkan untuk menghadapi keadaan lingkungan yang buruk, bahkan kering. Bila keadaan lingkungan baik kembali, telur akan menetas dalam waktu 24-36 jam (Mudjiman, 1995; Kanwar, 2007). Siklus hidup artemia bisa dimulai dari saat menetasnya kista atau telur. Setelah 15 - 20 jam pada suhu 25°C kista akan menetas manjadi embrio. Dalam waktu beberapa jam embrio ini masih akan tetap menempel pada kulit kista. Pada fase ini embrio akan menyelesaikan perkembangannya kemudian berubah menjadi naupli yang sudah akan bisa berenang bebas. Pada awalnya naupli akan berwarna orange kecoklatan akibat masih mengandung kuning telur. Artemia yang baru menetas tidak akan makan, karena mulut dan anusnya belum terbentuk dengan sempurna. Setelah 12 jam menetas mereka akan ganti kulit dan memasuki tahap larva kedua. Dalam fase ini mereka akan mulai makan, dengan pakan berupa mikro alga, bakteri, dan detritus organik lainnya. Pada dasarnya mereka tidak akan peduli (tidak pemilih) jenis pakan yang dikonsumsinya selama bahan tersebut tersedia diair dengan ukuran yang sesuai. Naupli akan berganti kulit sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa dalam waktu 8 hari. Artemia dewasa rata-rata berukuran sekitar 8 mm, meskipun demikian pada kondisi yang tepat mereka dapat mencapai ukuran sampai dengan 20 mm. Pada kondisi demikian biomasnya akan mencapi 500 kali dibandingakan biomas pada fase naupli (McLaughlin, 1991). Artemia salina Leach. yang sudah dewasa dapat hidup sampai enam bulan. Sementara induk-induk betinanya akan beranak atau bertelur setiap 4-5 hari
22
sekali, dihasilkan 50-300 telur atau nauplius. Nauplis akan dewasa setelah berumur 14 hari, dan siap untuk berkembang biak (Mudjiman, 1995). Dalam tingkat salinitas rendah dan dengan pakan yang optimal, betina Artemia bisa menghasilkan naupli sebanyak 75 ekor perhari. Selama masa hidupnya (sekitar 50 hari) mereka bisa memproduksi nauplii rata-rata sebanyak 10 -11 kali. Dalam kondisi super ideal, Artemia dewasa bisa hidup selama 3 bulan dan memproduksi nauplii atau kista sebanyak 300 ekor (butir) per 4 hari. Kista akan terbentuk apabila lingkungannya berubah menjadi sangat salin dan bahan pakannya sangat kurang dengan fluktuasi oksigen sangat tinggi antara siang dan malam hari (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Artemia dewasa toleran terhadap selang suhu -18 hingga 40°C. Temperatur optimal untuk penetasan kista dan pertumbuhan adalah 25-30°C. Meskipun demikian hal ini akan ditentukan oleh strain masing-masing. Artemia menghendaki kadar salinitas antara 30 - 35 ppt, dan mereka dapat hidup dalam air tawar selama 5 jam sebelum akhirnya mati. Variabel lain yang penting adalah pH, cahaya, dan oksigen. pH dengan selang 8-9 merupakan selang yang paling baik, sedangkan pH di bawah 5 atau lebih tinggi dari 10 dapat membunuh Artemia. Cahaya minimal diperlukan dalam proses penetasan dan akan sangat menguntungkan bagi pertumbuhan mereka. Lampu standar grow-lite sudah cukup untuk keperluan hidup Artemia. Kadar oksigen harus dijaga dengan baik untuk pertumbuhan Artemia, dengan suplai oksigen yang baik, Artemia akan berwarna kuning atau merah jambu. Warna ini bisa berubah menjadi kehijauan apabila mereka banyak mengkonsumsi mikro alga (Bougias, 2008).
23
Artemia diperjual belikan dalam bentuk telur istirahat yang disebut kista. Kista ini berbentuk bulatan-bulatan kecil berwarna kecoklatan dengan diameter berkisar 200-300 mikron. Kista yang berkualitas baik akan menetas sekitar 18-24 jam apabila diinkubasi air yang bersalinitas 5- 70 permil. Ada beberapa tahapan pada proses penetasan Artemia ini yaitu tahap hidrasi, tahap pecah cangkang dan tahap payung atau tahap pengeluaran. Tahap hidrasi terjadi penyerapan air sehingga kista yang diawetkan dalam bentuk kering tersebut akan menjadi bulat dan aktif bermetabolisme. Tahap selanjutnya adalah tahap pecah cangkang dan disusul tahap payung yang terjadi beberapa saat sebelum nauplii keluar dari cangkang (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Siklus hidup A. salina dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Siklus hidup A.salina (Tamaru dkk., 2004 )
24
e. Perilaku A. salina Leach. Artemia salina Leach. bersifat fototaksis positif yang berarti menyukai cahaya, di alam hal tersebut dibuktikan dengan adanya gerakan tubuh menuju ke permukaan karena sinar matahari sebagai sumber cahaya secara alami, dimana akan selalu di permukaan saat siang hari dan tenggelam pada malam hari. Intensitas cahaya yang terlalu tinggi dapat pula mengakibatkan respon fototaksis negatif sehingga ia akan menjauhi cahaya. A. salina Leach. yang baru menetas mempunyai perilaku geotaksis positif, hal ini terjadi ketika nauplius tenggelam ke bawah setelah menetas akibat efek gravitasi. Gerakan phyllopodia mendorong makanan bergerak ke anterior (lokomosi). Gerakan anggota tubuhnya untuk mendorongnya menuju arah sumber makanan (Bougias, 2008). Budidaya artemia dapat dilakukan dengan beberapa sistem yaitu sistem tumpang sari, monokultur dan dalam bak. Sistem tumpang sari dilakukan dengan cara modifikasi tambak yang dapat berfungsi ganda. Pertama, untuk memproduksi garam dengan kualitas yang lebih baik. Kedua memproduksi artemia, baik dalam bentuk kista maupun biomassa. Dengan demikian sistem ini akan memberikan keuntungan usaha tani yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani garam (Goh, 1997). 5. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fisiokimiawi senyawa yang didasarkan pada pembagian campuran dua senyawa dalam dua fase dimana fase gerak bergerak terhadap fase diamnya. Fase diam berupa serbuk yang dilapiskan tipis merata pada lempeng kromatografi (plat, gelas, logam atau
25
lempeng yang cocok). Fase diam berfungsi sebagai penyerap. Pada sistem ini dikenal istilah kecepatan rambat suatu senyawa yang diberi simbol Rf (Retardation factor). Harga Rf ditentukan oleh jarak rambat senyawa dari titik awal dan jarak rambat fase gerak dari titik awal. Harga Rf ini dapat digunakan untuk identifikasi senyawa yang dianalisa. Menurut Sjamsul (1986) penentuan harga Rf adalah sebagai berikut:
Suatu senyawa tanaman hasil isolasi akan diidentifikasi dengan spektroskopi berdasarkan sifat kimia dan fisikanya. Teknik identifikasi dan elusidasi struktur yang diperoleh dapat dilakukan dengan metode standar yang sudah dikenal untuk menentukan senyawa kimia dan termasuk derivatderivatnya.
Metode
tersebut
adalah
metode
kromatografi
dan
metode
spektroskopi. Penggunaan kromatografi sangat membantu dalam pendeteksian senyawa metabolit sekunder dan dapat dijadikan sebagai patokan untuk proses pengerjaan berikutnya dalam menentukan struktur senyawa. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan salah satu jenis kromatografi yang umum digunakan. Teknik KLT merupakan salah satu metode identifikasi awal untuk menentukan kemurnian senyawa yang ditemukan atau dapat menentukaan jumlah senyawa dari ekstrak kasar metabolit sekunder. Cara ini sangat sederhana dan murah serta dapat digunakan sebagai suatu upaya pendeteksian awal (Gibbons, 2006).
26
A. Kerangka Pemikiran Tanaman melati merupakan salah satu tanaman yang banyak dijumpai di Indonesia. Pemanfaatan bunga melati sendiri baru sebagai bahan industri kosmetik, parfum, makanan dan pelengkap upacara adat keagamaan. Penelitian tentang khasiat bunga melati sudah beberapa kali dilakukan yaitu sebagai antibakteri, antijamur, dan mampu menjadi obat dari beberapa penyakit. Bunga melati mengandung berbagai senyawa diantaranya indole, eugenol, linalool dan senyawa aktif lainnya. Kandungan Indole dari bunga melati diduga berpotensi sebagai kandidat antikanker. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk skrinning awal anti kanker dengan uji toksisitas larva Artemia salina Leach. Bagan kerangka pemikiran dapat dilihat dari Gambar 5.
27
Pencarian bahan obat alami untuk kanker
Bunga melati mengandung senyawa alkaloid yang merupakan antikanker dengan mekanisme mengikat tubuli dan menghambat pembentukan komponen mikrotubuli pada kumparan mitosis sehingga metafase berhenti (Siswandono dan Soekardjo, 1995)
Bunga melati diekstrak dengan 3 pelarut (Klorofom, etil asetat dan etanol)
Uji Toksisitas metode BSLT
Diperoleh nilai 𝐿𝐶
Pengujian Alkaloid dengan Kromatografi Lapis Tipis
Gambar 5. Bagan alir kerangka pemikiran
28
B. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah : 1. Bagian komponen teraktif dari bunga melati (Jasminum sambac Ait.) diduga mempunyai nilai
kurang dari 1000 μg/mL sehingga
berpotensi sebagai kandidat antikanker. 2. Profil Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dari ekstrak bunga melati dapat terdeteksi mengandung alkaloid.