BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Konsep adalah ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret
(KBBI, 2007: 588).
2.1.1 Tindak Tutur Istilah dan teori tentang tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J. L. Austin, seorang guru besar di Universitas Harvard pada tahun 1956, kemudian teori yang berasal dari mata kuliah itu dibukukan oleh J. O. Urmson (1962) dengan judul How to do Thing with Word. Lalu teori tersebut menjadi terkenal setelah Searle menerbitkan buku berjudul Speech Act: an Essay in the Philosophy of Language (1969). Menurut Austin (1962) tindak tutur dilangsungkan dengan tiga peristiwa tindakan yang berlangsung sekaligus, yaitu (1) tindak lokusi (2) tindak ilokusi (3) tindak perlokusi. Sementara itu Searle (1975) membagi tindak tutur dalam lima kategori, yaitu respresentatif, direktif, ekspresif, komisif, deklaratif. Tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Tindak tutur lebih menekankan pada makna atau tindakan dalam tuturannya.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Iklan Menurut pakar periklanan Amerika, S. William Pattis (dalam Copywriting, 2001: 7)
iklan lebih sering disebut sebagai sebuah usaha agar barang yang
diperjualbelikan laku keras. Padahal sesungguhnya iklan adalah setiap bentuk komunikasi yang dimaksudkan untuk memotivasi dan mempromosikan produk dan jasa kepada seseorang atau pembeli potensial; mempengaruhi dan memenangkan pendapat publik untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan keinginanan si pemasang iklan. Iklan adalah sebuah tanggung jawab dalam proses penjualan dan pemasaran yang bentuknya bisa tulisan, gambar, film, atau gabungan unsur-unsur tersebut.
2.1.3 Radio Lee (dalam Moeryanto, 1996: 93) berpendapat bahwa radio adalah alat komunikasi massa yang menggunakan lambang komunikasi berbunyi.
Universitas Sumatera Utara
2.2
Landasan Teori
2.2.1 Pragmatik Pragmatik merupakan kajian linguistik yang menelaah ucapan-ucapan tertentu dalam situasi-situasi tertentu dan terutama memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang merupakan wadah aneka konteks sosial. Bagaimana bahasa itu digunakan dalam bentuk ujaran atau tuturan dikaji dalam pragmatik. Parker (dalam Chaer, 2010: 24) berpendapat bahwa pragmatik sebagai cabang ilmu linguistik merupakan ilmu kajian bahasa yang mengkaji makna-makna satuan bahasa secara eksternal. Secara eksternal artinya bahwa pragmatik mengkaji makna yang berada di luar satuan bahasa, atau yang disebut dengan maksud. Berbeda dengan cabang ilmu bahasa lain seperti semantik yang mempelajari makna-makna satuan bahasa secara internal, artinya
mempelajari makna yang terdapat dalam satuan
bahasa itu. Menurut Levinson (dalam Tarigan, 1986: 33) pragmatik adalah telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa, dengan kata lain: telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan kontekskonteks secara tepat.
2.2.2 Aspek Situasi Ujar Untuk memahami suatu situasi ujaran, waktu dan tempat merupakan unsur yang mutlak diketahui. Selain kedua unsur tersebut ada aspek-aspek lain yang perlu untuk dipahami. Pemahaman mengenai aspek situasi ujar dapat memudahkan kita
Universitas Sumatera Utara
untuk memahami hal-hal yang menyangkut keterkaitan antara ujaran dengan situasi. Hal ini berhubungan dengan pragmatik yang menelaah makna dengan situasi ujaran. Aspek-aspek lain yang mendukung situasi ujaran: a. Penutur dan lawan tutur di dalam beberapa literatur, khususnya dalam Searle (1983) lazim dilambangkan dengan S (Speaker) yang berarti pembicara atau penutur dan H (Hearer) yang dapat diartikan pendengar atau mitra tutur. Digunakannya lambang S dan H tidak dengan sendirinya membatasi cakupan pragmatik semata-mata hanya pada bahasa ragam lisan saja, melainkan juga dapat mencakup ragam bahasa tulis. b. Konteks tuturan telah diartikan bermacam-macam oleh para linguis. Konteks dapat mencakup aspek-aspek tuturan yang relevan, baik secara fisik maupun nonfisik. Konteks dapat pula diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki penutur dan mitra tutur serta yang mendukung interpretasi mitra tutur dan apa yang dimaksudkan penutur itu dalam proses bertutur. Berkenaan dengan hal itu Leech (1983) telah menyatakan “I shall consider context to be any background knowledge assumed to be shared by S and H and which contributes to H interpretation of what S means by a given utterance.” c. Tujuan tutur berkaitan erat dengan bentuk tuturan seseorang. Dikatakan demikian karena pada dasarnya tuturan itu terwujud karena dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tutur yang jelas dan tertentu sifatnya. Secara pragmatik satu bentuk tutur dapat memiliki maksud dan tujuan yang bermacam-macam. Demikian
Universitas Sumatera Utara
sebaliknya satu maksud atau tujuan tutur dapat diwujudkan dengan bentuk tuturan yang berbeda-beda. d. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas merupakan bidang yang ditangani pragmatik. Karena pragmatik mempelajari tindak verbal yang terdapat dalam situasi tutur tertentu, dapat dikatakan bahwa yang dibicarakan dalam pragmatik itu bersifat konkret karena jelas siapa peserta tuturnya, di mana tempat tuturnya, kapan waktu tuturnya dan seperti apa konteks situasi tuturnya keseluruhan. e. Tuturan dapat dipandang sebagai sebuah produk tindak verbal. Dapat dikatakan demikian karena pada dasarnya tuturan yang ada dalam sebuah pertuturan itu adalah hasil tindakan para peserta tutur dengan segala pertimbangan konteks yang melingkupi dan mewadahinya.
2.2.3 Tindak Tutur Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 1195) tindak diartikan sebagai langkah atau perbuatan, sedangkan tutur diartikan sebagai ucapan, kata, perkataan (2007: 1231). Dari dua pengertian tersebut tindak tutur dapat diartikan sebagai perbuatan memproduksi tuturan atau ucapan. Tarigan (1986: 36) menjelaskan bahwa tindak tutur atau tuturan yang dihasilkan oleh manusia dapat berupa ucapan. Berkenaan dengan hal itu Austin (1962) membagi tindak tutur atas tiga jenis, yaitu tindak lokusi, ilokusi dan perlokusi. a) Lokusi Merupakan tindak tutur untuk menyatakan sesuatu sebagaimana adanya atau tindakan untuk mengatakan sesuatu.
Universitas Sumatera Utara
Contoh : Tahun 2004 gempa dan tsunami melanda Banda Aceh. Kalimat di atas dituturkan oleh seorang penutur semata-mata hanya untuk memberi informasi sesuatu belaka, tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu. Apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Kalimat di atas memberi informasi mengenai gempa dan tsunami yang pada tahun 2004 melanda Banda Aceh. Tindak tutur lokusi hanya memberi makna secara harafiah seperti yang dinyatakan pada contoh di atas. b) Ilokusi Merupakan tindak tutur yang menyatakan sesuatu juga menyatakan tindakan melakukan sesuatu. Contoh: Sudah hampir pukul tujuh. Kalimat di atas bila dituturkan oleh seorang suami kepada istrinya di pagi hari, selain memberi informasi tentang waktu, juga berisi tindakan yaitu mengingatkan si istri bahwa si suami harus segera berangkat ke kantor; jadi minta disediakan sarapan. c) Perlokusi Merupakan tindak tutur yang mempunyai pengaruh atau efek terhadap lawan tutur atau orang yang mendengar tuturan itu. Contoh: Minggu lalu saya ada keperluan keluarga yang tidak dapat ditinggalkan. Tuturan di atas bukan hanya memberi informasi bahwa si penutur pada minggu lalu ada kegiatan di keluarga; juga bila dituturkan pada lawan tutur yang pada
Universitas Sumatera Utara
minggu lalu mengundang untuk hadir pada resepsi pernikahan, bermaksud juga meminta maaf. Lalu, efek yang diharapkan adalah memberi maaf kepada penutur. Berkaitan dengan tindak tutur, Searle (dalam Abdul Chaer, 2010: 29 – 30) juga membagi tindak tutur berdasarkan lima kategori: a. Representatif (disebut juga asertif) Merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya. Misalnya mengatakan, melaporkan, dan menyebutkan. b. Direktif Merupakan tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar lawan tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu. Misalnya menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang. c. Ekspresif Merupakan tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi mengenai hal yang disebutkan dalam tuturan itu. Misalnya memuji, mengucapkan terima kasih, mengkritik, dan menyelak. d. Komisif Merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Misalnya berjanji, bersumpah, dan mengancam. e. Deklaratif Merupakan tindak tutur yang dilakukan si penutur dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dsb.) yang baru. Misalnya memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, dan memberi maaf.
Universitas Sumatera Utara
2.2.4 Peristiwa Tutur Dalam peristiwa tuturan baik penutur maupun lawan bicara harus memahami konteks agar komunikasi dapat berjalan dengan baik. Salah seorang pakar sosiolinguistik, Dell Hymnes (1972) berpendapat bahwa peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen yang huruf awalnya dapat dirangkai menjadi sebuah akronim SPEAKING: S = Setting and scene P = Participants E = Ends : purpose and goal A = Act sequences K = Key : tone or spirit of act I = Instrumentalities N = Norms of interaction and interpretation G = Genres Setting and scene. Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, scene mengacu pada situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di lapangan sepak bola pada waktu ada pertandingan sepak bola dalam situasi yang ramai tentu berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu banyak orang membaca dan dalam keadaan sunyi. Di lapangan sepak bola kita bisa berbicara keras-keras, tetapi di ruang perpustakaan harus sepelan mungkin.
Universitas Sumatera Utara
Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim atau penerima pesan. Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara dan pendengar, tetapi sebagai pengkotbah di mesjid, khotib sebagai pembicara dan jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya seorang anak akan menggunakan ragam bahasa yang berbeda bila berbicara dengan orang tuanya atau gurunya bila dibandingkan kalau dia berbicara dengan teman-teman sebayanya. Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan kasus perkara. Namun para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil. Dalam peristiwa tutur di ruang kuliah, dosen yang cantik itu berusaha untuk menjelaskan materi kuliah agar dapat dipahami mahasiswanya. Namun, barang kali di antara para mahasiswa itu ada yang datang hanya untuk memandang wajah dosen yang cantik itu. Act sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk ujaran dalam perkuliahan umum, dalam percakapan biasa, dan dalam pesta adalah berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan. Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan disampaikan: dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong,
Universitas Sumatera Utara
dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat. Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, ragam dialek, atau register. Norm of Interaction and Interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya dan sebagainya. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara. Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
2.3
Tinjauan Pustaka Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat sesudah menyelidiki
atau mempelajari (KBBI, 2007: 1198). Pustaka adalah kitab, buku, buku primbon (KBBI, 2007: 912). Berdasarkan studi pustaka yang dilakukan, ada sejumlah sumber yang relevan untuk dikaji dalam penelitian ini, yaitu: Maharani (2007) dalam skripsinya Tindak Tutur Percakapan pada Komik Asterix seri ke-20. Ia mengemukakan tindak tutur berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Austin, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Ia juga menganalisis pasangan berdampingan yang terdapat dalam percakapan Komik Asterix seri ke-20. Farida (2009) dalam skripsinya Tindak Tutur dalam Novel Seri Cerita Kenangan Angenteuil Hidup Memisahkan Diri karya N. H. Dini. Ia menganalisis tindak tutur berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Searle yaitu representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Ia menyimpulkan bahwa dalam novel yang dikajinya hanya terdapat empat jenis tindak tutur yaitu representatif, komisif, direktif, dan deklaratif. Dina (2012) dalam skripsinya Tindak Tutur Direktif dan Ekspresif dalam Dialog Film Alangkah Lucunya (Negeri Ini) karya Deddy Mizwar. Ia menganalisis tindak tutur berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Searle yaitu representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Dalam penelitian ini Ia hanya berfokus pada tindak tutur direktif dan ekspresif.
Universitas Sumatera Utara