BAB II KONSEP KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN A.
Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Sudarto pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal,
yaitu:34 1. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; 2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi dan; 3. Dalam arti yang paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Sudarto mengemukakan defenisi singkat, bahwa kebijakan kriminal adalah merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan atau selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan ilmu untuk menanggulangi kejahatan.35 Defenisi ini diambil oleh dari defenisi Marc Ancel yang merumuskan sebagai “the rational organization of the control of crime by society”. Bertolak dari pengertian yang dikemukakan oleh Marc Ancel ini, G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa “Criminal policy is the rational organization of the social 34
Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 1. 35 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
reaction to crime”. Berbagai defenisi lainnya yang dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels ialah:36 a. Criminal policy is the science of responses; b. Criminal policy is the science of crime prevention; c. Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime; d. Criminal policy is arational total of the responses to crime. Istilah Criminal Policy yang dipergunakan oleh Hoefnagels bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia disebut sebagai “kebijakan kriminal”. Istilah ini agaknya kurang pas karena seolah-olah mencari suatu kebijakan untuk membuat kejahatan (kriminal). Istilah ini lebih tepat digunakan sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan.37 Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan (social welfare). Kebijakan penanggulangan kejahatan atau bisa disebut juga politik kriminal memiliki tujuan akhir atau tujuan utama
yaitu
“perlindungan
masyarakat
untuk
mencapai
kesejahteraan
masyarakat”. Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) itu sendiri merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Kebijakan penegakan hukum merupakan bagian dari kebijakan social (social policy) dan termasuk juga dalam kebijakan legislatif (legislative policy). Politik
36
Ibid., hlm. 2. Mahmud Mulyadi, 2008, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, hlm. 51. 37
Universitas Sumatera Utara
kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial.38 Kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) harus melihat cakupan yang luas yang terkandung dalam suatu sistem hukum (legal system). Menurut Friedman bahwa sistem hukum adalah memiliki cakupan yang lebih luas dari hukum itu sendiri. Kata “hukum” sering mengacu hanya pada aturan dan peraturan. Sedangkan sistem hukum membedakan antara aturan dan peraturan itu sendiri, serta struktur, lembaga dan proses yang mengisinya. Oleh karena itu, bekerjanya hukum di dalam suatu sistem menurut Friedman ditentukan oleh tiga unsur, yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture).39 a. Struktur Hukum (Legal Structure) Struktur hukum merupakan suatu kerangka yang memberikan definisi dan batasan dan bentuk bagi bekerjanya sistem tersebut dalam batasan-batasan yang telah ditentukan secara keseluruhan. Hal ini sebagai mana dikemukakan oleh Friedman; “The structure of a system is its skeletal framework, it is the permanent shape, the institutional body of system, the thought, rigid bones that keep the process flawing within bound“. Jadi struktur hukum dapat dikatakan sebagai institusi yang menjalankan penegakan hukum dengan segala proses yang berlangsung di dalamnya. Institusi ini dalam penegakan hukum pidana, tergabung dalam system peradilan pidana (criminal justice system), yang terdiri atas
38 39
Barda Nawawi Arief, Loc. Cit. Bahan-bahan kuliah Politik Hukum Pidana Fakultas Hukum USU tahun 2011.
Universitas Sumatera Utara
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, yang menjamin berjalannya proses peradilan pidana.40 b. Substansi Hukum (legal substance) Substansi hukum (legal substance) adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada di dalam sistem tersebut. Substansi hukum juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang-orang yang berada di dalam sistem hukum itu, baik berupa keputusan yang mereka keluarkan, maupun juga aturan-aturan baru yang mereka susun. Penting di ingat bahwa substansi hukum ini tidak hanya terpusat pada hukum yang tertulis saja (law in the book), tetapi juga mencakup hukum yang hidup di masyarakat (the living law).41 c. Budaya hukum (legal culture) Budaya hukum (legal culture) adalah sebagai sikap manusia (dalam hal ini masyarakat) terhadap hukum dan sistem hukum itu sendiri. Sikap masyarakat ini menyangkut kepercayaan, nilai-nilai dan ide-ide, serta harapan mereka tentang hukum dan sistem hukum. Budaya hukum merupakan bagian dari budaya umum masyarakat. Budaya hukum juga merupakan suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau bahkan disalahgunakan. Budaya hukum mempunyai peranan yang besar dalam sistem hukum, sehingga tanpa budaya hukum, maka sistem hukum akan kehilangan kekuatannya, seperti ikan mati yang terkapar di kerancangnnya, bukan ikan hidup
40 41
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
yang berenang di lautan (without legal culture, the legal system is inert - a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea).42 Ketiga unsur sistem hukum ini mempunyai hubungan dan peranan yang tak terpisahkan. Ketiganya adalah satu kesatuan yang menggerakan sistem hukum tersebut sehingga dapat berjalan dengan lancar. Struktur hukum dapat diibaratkan sebagai mesin yang menghasilkan sesuatu. Substansi hukum adalah sesuatu yang dihasilkan oleh mesin tersebut. Sedangkan budaya hukum adalah siapa yang memutuskan untuk menghidupkan atau mematikan mesin dan membatasi penggunaan mesin tersebut. Jadi apabila salah satu dari ketiga unsur sistem hukum ini sakit, maka akan menyebabkan sub sistem lainnya terganggu.43 Menurut Hoefnagels kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana (prevention without punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing views of society on crime and punishment (mass media).44 Teori yang dikemukakan oleh G. Pieter Hoefnagels di atas, maka kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disederhanakan melalui dua cara. Pertama, kebijakan penal (penal policy) yang biasa disebut dengan “criminal law application.” Kedua, kebijakan non-penal (non-penal policy) yang terdiri dari “prevention without punishment” dan “influencing views of society on crime and 42
Ibid. Ibid. 44 Ibid. 43
Universitas Sumatera Utara
punishment (mass media).” 45 Pada dasarnya penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana.46 B.
Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa
Belanda “politiek”. Istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata “politik”, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa disebut dengan juga dengan politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik hukum secara keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum. Oleh karena itu sangat penting untuk dibicarakan tentang politik hukum.47 Menurut Soedarto, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik dengan situasi dan kondisi tertentu. Secara mendalam dikemukan juga bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara melalui alat-alat perlengkapannya yang berwenang untuk menetapkan peraturanperaturan
yang
dikehendaki
dan
diperkirakan
dapat
digunakan
untuk
mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dalam rangka mencapai apa yang dicita-citakan.48 Senada dengan pernyataan di atas, Solly Lubis juga menyatakan bahwa politik hukum adalah kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan hukum 45
Ibid. Teguh Praseyto, Abdul Halim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana: Kajian Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 17. 47 Mahmud Mulyadi, Op. Cit., hlm. 65. 48 Ibid., hlm. 65-66. 46
Universitas Sumatera Utara
apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.49 Mahmud M.D., juga memberikan defenisi politik hukum sebagai kebijakan mengenai hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah. Hal ini juga mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Dalam konteks ini hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataannya bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materinya (pasal-pasal), maupun dalam penegakannya.50 Berdasarkan pengertian tentang politik hukum sebagaimana dikemukakan di atas, maka secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum pidana merupakan upaya menentukan ke arah mana pemberlakukan hukum pidana Indonesia masa yang akan datang dengan melihat penegakannya saat ini. Hal ini juga berkaitan dengan konseptualisasi hukum pidana yang paling baik untuk diterapkan.51 Lebih
lanjut
Soedarto
mengungkapkan
bahwa
melaksanakan
melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan dalam rangka mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dengan memenuhi syarat keadilan dan dayaguna.52 Marc Ancel menyatakan politik hukum pidana merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk 49
Ibid. Ibid. 51 Ibid. 52 Ibid. 50
Universitas Sumatera Utara
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan undang-undang dan kepada para pelaksana putusan pengadilan. 53 A. Mulder mengemukakan secara rinci tentang runag lingkup politik hukum pidana yang menurutnya bahwa politik hukum pidana adalah garis kebijakan untuk menentukan:54 4. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan perubahan atau diperbaharui; 5. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan; 6. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan. Defenisi Mulder di atas bertolak dari pengertian “sistem hukum pidana” menurut Marc Ancel yang menyatakan, bahwa tiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari: (a) peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya, (b) suatu prosedur hukum pidana, dan (c) suatu mekanisme pelaksanaan pidana.55. Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik
53
M. Hamdan, 1997, Politik Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 20. Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hlm. 23-24. 55 Ibid. 54
Universitas Sumatera Utara
hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.56 Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Politik atau kebijakan hukum pidana dapat dikatakan merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). Kebijakan hukum pidana menjadi sangat wajar bila merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Ini berarti pengertian social policy telah mencakup social welfare policy dan social defence policy.57 Berdasarkan dimensi di atas, kebijakan hukum pidana pada hakekatnya merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang (ius constituendum). Konsekuensi logisnya, kebijakan hukum pidana identik dengan penal reform dalam arti sempit, karena sebagai suatu sistem, hukum terdiri dari budaya (cultural), struktur (structural), dan substansi (substantive) hukum. Undang-undang merupakan bagian dari substansi hukum, pembaharuan
56 57
Ibid. Ibid. hlm. 25.
Universitas Sumatera Utara
hukum pidana, disamping memperbaharui perundang-undangan, juga mencakup pembaharuan ide dasar dan ilmu hukum pidana.58 Pada hakekatnya, kebijakan hukum pidana (penal policy, criminal policy, atau strafrechtpolitiek)
merupakan proses penegakan hukum pidana secara
menyeluruh atau total. Menurut Wisnubroto, kebijakan hukum pidana merupakan tindakan yang berhubungan dalam hal-hal:59 a. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana; b. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar dapat sesuai dengan kondisi masyarakat; c. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum pidana; d. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar. Berdasarkan pengertian politik hukum pidana yang dikemukakan di atas, baik oleh A. Mulder maupun yang lain, maka ruang lingkup kebijakan hukum pidana ini sesungguhnya meliputi masalah yang cukup luas, yaitu meliputi evaluasi terhadap substansi hukum pidana yang berlaku saat ini untuk pembaharuan substansi hukum pidana pada masa yang akan datang, dan bagaimana penerapan hukum pidana ini melalui komponen Sistem Peradilan Pidana, serta yang tidak kalah pentingnya adalah upaya pencegahan terhadap kejahatan. Upaya pencegahan ini berarti bahwa hukum pidana juga harus menjadi 58
Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoretis, dan Praktik, PT Alumni, Bandung, hlm. 390. 59 Ibid., hlm. 391.
Universitas Sumatera Utara
salah satu instrumen pencegah kemungkinan terjadinya kejahatan. Ini juga berarti bahwa penerapan hukum pidana harus mempunyai pengaruh yang efektif untuk mencegah sebelum suatu kejahatan terjadi.60 Berkaitan dengan persoalan yang terakhir ini, maka ada satu pertanyaan yang krusial yang dapat dimunculkan yaitu, mungkinkah pemidanaan dapat dijadikan instrumen pencegahan kejahatan?. Persoalan ini muncul karena selama ini banyak anggapan bahwa pemidanaan bukan mengurangi terjadinya kejahatan, tetapi justru menambah dan membuat kejahatan semakin marak terjadi. Protes ini ditujukan kepada gagalnya lembaga pemasyarakatan yang seharusnya berfungsi untuk mengintegrasi narapidana dengan kehidupan sosial, tetapi justru lembaga pemasyarakatan menjadi sekolah belajar bagaimana meningkatkan kualitas kejahatan. Dengan kata lain lembaga pemasyarakatan telah menjadi sekolah kejahatan (school crime).61 Upaya mencari jawaban atas persoalan dia atas, maka pembahasan harus diarahkan untuk mengungkap secara philosopis apa tujuan sesungguhnya pemidanaan. Alasan philosopis pemidanaan sangat penting untuk mencari arah kemana nantinya kebijakan hukum pidana diarahkan. Tanpa itu semua, maka substansi hukum pidana dan penerapannya akan tercerabut dari akar nilai-nilai philosopis dan akan menjadi hukum pidana yang kering serta tidak menyentuh nilai rasa kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat.62
60
Mahmud Mulyadi, Op.Cit., 67. Ibid. 62 Ibid. 61
Universitas Sumatera Utara
Usaha menemukan alasan philosopis tujuan hukum pidana ini, maka akan membawa kita pada pengembaraan secara imaginer dalam alur sejarah pidana dan pemidanaan dari sejak zaman pidana klasik sampai pada perkembangan hukum saat ini. Pembahasan tentang tujuan pemidanaan ini dapat diuraikan berdasarkan teori absolut, relatif, teori gabungan, treatment dan social defence.63 a. Teori Retributif (Teori Absolut) Teori absolut atau teori retributif atau dikenal juga dengan teori pembalasan (vergerlingstheori). Tokoh Teori Retributif adalah Immanuel Kant (1724-1804) dan Hegel (1770-1831). Teori retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan.64 Tindakan pembalasan ini dilandaskan pada pemikiran bahwa setiap individu bertanggung jawab dan mempunyai kebebasan penuh secara rasional dalam mengambil keputusan. Sedangkan dasar pemikiran secara politik disandarkan bahwa setiap individu berhak atas penghargaan dan harga diri yang sama. Seorang pelaku kejahatan dalam kondisi ini tidak kehilangan haknya atas penghukuman tersebut, dan mempunyai hak untuk tidak dihukum secara tidak proporsional terhadap kejahatan yang dilakukannya. Proporsional merupakan 63
Ibid.,hlm. 68. Mahmud Mulyadi, Feri Antoni Surbakti, 2010, kejahatan Korporasi, , PT Softmedia, Medan, hlm. 93. 64
Politik Hukum Pidana Terhadap
Universitas Sumatera Utara
kunci dari konsep teori pembalasan setimpal. Ukuran yang utama dari proporsionalitas ini adalah semua ukuran dari tingkatan pemidanaan ini tidak boleh melewati batas secara kesesuaian dengan keseriusan suatu perbuatan.65 Kant melihat dalam pemidanaan terdapat suatu “imperatif kategoris”, yang merupakan tuntutan mutlak dipidananya seseorang karena telah melakukan kejahatan. Sedangkan Hegel memandang bahwa pemidanaan adalah hak dari pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauannya sendiri. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Hegel:66 “Punishment is the right of criminal. It is an act of his own will. The violation of right has been proclaimed by the criminal as his own right. His crime is the negation of right. Punishment is the negation of his negation, and, consequently an affirmation of right, solicited and farced upon the criminal by him self.” Duff dan Garland memaparkan bahwa paham retributif ini dalam teori normatif tentang pemidanaan disebut juga sebagai non-consequentialist. Sedangkan teori relatif atau utilitarian disebut consequentialist. Paham nonconsequentialist menuntut dengan tegas bahwa suatu perbuatan, apakah itu benar atau salah, hakikatnya terletak pada hati nurani seseorang, dan bersifat bebas dari konsekuensinya. Hal ini dijelaskan secara tegas oleh tuntutan penganut retributif bahwa yang bersalah dan hanya yang bersalah yang berhak untuk mendapat pidana, serta pembenaran pemidanaan ini terletak pada timbulnya penderitaan yang pantas pada orang bersalah tersebut.67 Nigel Walker mengemukakan bahwa alitran retributif ini terbagi menjadi dua macam, yaitu nteori retributif murni dan teori retributif tidak murni. 65
Ibid. Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Op. Cit. hlm. 70. 67 Ibid. 66
Universitas Sumatera Utara
Retributivist murni menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan harus sepadan dengan kesalahan pelaku. Sedangkan Retributivist yang tidak murni dapat dibagi menjadi menjadi dua golongan, yaitu:68 1. Retributivist terbatas (the limitating retributivist), yang berpendapat bahwa pidana tidak harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pelaku, akan tetapi pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi batas-batas yang sepadan dengan kesalahan si pelaku; 2. Retributivist
yang
distribusi
(retribution
in
distribution),
yang
berpandangan bahwa sanksi pidana dirancang sebagai pembalasan terhadap si pelaku kejahatan, namun beratnya sanksi harus didistribusikan kepada pelaku yang bersalah. Berdasarkan pembagian aliran retributif di atas, maka hanya the pure retributivist yang mengemukakan dasar pembenaran dijatuhkannya pidana. Oleh karena itu golongan ini disebut juga “punisher” atau penganut teori pemidanaan. Sedangkan penganut golongan lainnya tidak mengajukan alasan-alasan untuk pengenaan pidana, melainkan mengajukan dasar-dasar pembatasan pidana. Paham retributif yang tidak murni lebih dekat dengan paham non-retributif. Kebanyakan KUHP disusun berdasarkan paham non-retributif yang the limitating retributivist yaitu dengan menetapkan pidana maksimum sebagai batas atas, tanpa mewajibkan pengadilan untuk mengenakan batasan maksimum tersebut.69
68 69
Ibid. hlm. 70-71. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dalam teori retributif ini, menurut Romli Atmasasmita mempunyai sandaran pembenaran sebagai berikut:70 1. Dijatuhkan pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya, maupun keluarganya. Perasaan ini tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe aliran retributif ini disebut vindicative; 2. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lainnya bahwa setipa perbuatan yang merugikan orang lain secara tidak wajar, maka akan menerima ganjarannya. Tipe aliran retributif ini disebut fairness; 3. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliran retributif ini disebut proportionality. b. Teori Deterrence (Teori Relatif) Teori Deterrence berakar dari aliran klasik tentang pemidanaan, dengan dua orang tokoh utamanya, yaitu Cessare Beccaria (1738-1794) dan Jeremy Bentham (1748-1832). Beccaria menegaskan dalam bukunya yang berjudul dei Delitti e Delle Pene (1764) bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana pembalasan masyarakat.71
70 71
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Christiansen juga memberikan rincian ciri-ciri teori relatif ini sebagai berikut:72 1. Tujuan pemidanaan adalah untuk pencegahan; 2. Pencegahan ini bukanlah tujuan akhir (final aim), tetapi merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi lagi, yaitu kesejahteraan masyarakat (social welfare); 3. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada pelaku kejahatan, berupa kesengajaan atau kelalaian, sebagai syarat untuk dijatuhkannya pidana; 4. Penjatuhan pidana harus ditetapkan dengan tujuannya sebagai alat atau sarana untuk pencegahan kejahatan. Terminologi “deterrence” menurut Zimring dan Hawkins, digunakan lebih terbatas pada penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan tersebut membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan. Namun “the net deterrence effect” dari ancaman secara khusus kepada seseorang ini dapat juga menjadi ancaman bagi seluruh masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan.73 Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif (reductivism) karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan (… the justification for penalizing offences is that this reduces their frequency). Penganut reductivism meyakini bahwa
72 73
Bahan-bahan kuliah Politik Hukum Pidana Fakultas Hukum USU tahun 2011. Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Op. Cit., hlm. 72.
Universitas Sumatera Utara
pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut ini:74 1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (deterring the offender), yaitu membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan; 2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (deterring potential imitators), dalam hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah dijatuhkan kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya; 3. Perbaikan si pelaku (reforming the offender), yaitu memperbaiki tingkah laku si pelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dari ancaman pidana; 4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini,
secara tidak langsung dapat
mengurangi frekuensi kejahatan; 5. Melindungi masyarakat (protecting the public), melalui pidana penjara yang cukup lama. Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect ini, dapat dibagi menjadi pencegahan umum (general deterrence) dan pencegahan khusus (individual or 74
Ibid. hlm., 73.
Universitas Sumatera Utara
special deterrence), sebagaimana yang dikemukakan oleh Bentham bahwa: “determent is equally applicable to the situation of the already-punished delinquent and that of other persons at large, distinguishes “particular prevention which applies to the delinquent himself; and general prevention which is applicable to all members of the community without exception.”75 General prevention menurut T. Mathiesen merupakan sarana komunikasi yang berupa pesan dari negara sebagai pemegang otoritas untuk menjatuhkan pemidanaan kepada masyarakat. Pesan ini terdiri dari: “(1) Punishment is a massage which intends to say that crime does not pay (deterrence); (2) It is a massage which intends to say that you should avoid certain act because they are morally improper or incorrect (moral education); (3) It is a massage which intends to say that you should get into habit of avoiding certain acts (habit formation).76 Tugas untuk menyampaikan pesan negara ini, terutama menjadi tanggung jawab dari komponen-komponen sistem peradilan pidana. Hal ini sebagaimana ditegaskan lebih lanjut oleh T. Mathiesens:77 “The criminal justice system, comprising the prosecuting authorities, the police, the courts, and the sanctioning apparatus which includes the prison system, may be seen as a large machine having the purpose of communicating this massage to the people. The machine constitutes one of the state’s most important mechanisms for ‘talking’ to the people about the people’s own doing… Andenaes say that ’The communication process from the legislator and the law enforcement agencies to the public is therefore a central link in the operating of general prevention.”
75
Ibid. Ibid., hlm. 74. 77 Ibid. 76
Universitas Sumatera Utara
Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan memberikan peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Prevensi umum ini menurut van Veen mempunyai tiga fungsi, yaitu menegakkan wibawah pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma.78 Prevensi khusus dimaksudkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan, memberikan deterrence effect kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali. Sedangkan fungsi perlindungan kepada masyarakat memungkinkan bahwa dengan pidana pencabutan kebebasan selama beberapa waktu, maka masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang mungkin dilakukan oleh pelaku.79 Teori tujuan pemidanaan ini biasa disebut juga dengan teori relatif. Sedangkan
Duff
dan
Garland,
menamakan
paham
ini
sebagai
“Consequentialism”. Penganut paham ini menyatakan bahwa sesuatu yang dianggap benar atau salah dari suatu perbuatan, semata-mata tergantung pada akibat yang ditimbulkannya secara keseluruhan. Suatu perbuatan dianggap benar apabila akibat yang dihasilkannya berupa kebaikan dan sebaliknya dianggap salah bila akibat dari perbuatan tersebut menghasilkan keburukan.80 Selain Cessare Beccaria, maka tokoh aliran klasik yang juga sepakat dengat tujuan pemidanaan sebagai deterrence, adalah Jeremy Bentham dengan teori utilitarian. Legitimasi penjatuhan pidana dalam pandangan utilitaranism
78
Ibid. Ibid. 80 Ibid., hlm. 75. 79
Universitas Sumatera Utara
adalah untuk deterrence, incapacitation, and rehabilitation. Murphy menjelaskan sebagai berikut:81 “For a utilitarian theory of punishment (Bentham’s paradigm) must involve justifying punishment in terms of its social result- e. g., deterrence, incapatitation, and rehabilitation. And thus even a guilty man is, on this theory, being punished because of this instrumental value the action of punishment will have in future. He is being use as a means to some future good – e. g., the deterrence of others.” Menurut Ahmad Ali, penganut paham utilitarian menganggap bahwa tujuan hukum semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Pandangan ini didasarkan pada falsafah sosial bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan dan hukum merupakan salah satu instrumen untuk mencapai kebahagian tersebut.82 Selain Jeremy Bentham, paham utilitarian juga didukung oleh James Mile dan John stuart Mile. Jeremy Bentham adalah yang paling radikal pandangannya dibandingkan yang lain. Bentham berpendapat bahwa keberadaan negara dan hukum adalah semata-mata ditujukan untuk menggapai kemanfaatan sejati, yaitu kebahagiaan
mayoritas
rakyat.
Pemikirannya
dilatarbelakangi
oleh
rasa
ketidakpuasan terhadap Undang-Undang Dasar Inggris sehingga ia mendesak agar diadakan perubahan dan perbaikan berdasarkan suatu ide yang revolusioner. Ide utilitarian ini diperoleh Bentham dari pemikiran Helvetius dan Cessare Beccaria, yang kemudian dikemukakan kembali oleh Bentham dalam bukunya yang berjudul “Introduction to Moral and Legislation.”83 81
Ibid. Ibid. 83 Ibid. 82
Universitas Sumatera Utara
Sehubung dengan konsep paham unilitarian ini, Curzon menyatakan paham utilitarian merupakan suatu filosofi moral yang mendefinisikan kebenaran suatu perbuatan dalam hubungannya dengan pemberian kontribusi yang besar untuk kebahagian secara umum dan menganggap kebaikan yang paling pokok adalah untuk kebahagian sebesar-besarnya bagi keseluruhan warga masyarakat (the greatest happiness of the greatest number).84 Paham utilitarian dapat dilihat sebagai lawan dari teori retributif. Unsur kesalahan dan legitimasi moral pembalasan setimpal dalam pandangan paham utilitarian tidak memainkan peranan yang penting dalam pemidanaan. Pembenaran pemidanaan menurut paham utilitarian hanya jika pemidanaan tersebut membawa konsekuensi yang diinginkan dan melahirkan keuntungan yang lebih banyak. Tujuan pemidanaan menurut pandangan utilitarian ini adalah untuk meningkatkan jumlah kumulatif (cumulative amount) dari kemanfaatan (utility) atau kepuasan hati (satisfaction).85 c. Teori Gabungan Teori ini menitikberatkan kepada suatu kombinasi dari teori absolut dan relatif. Menurut teori ini, tujuan pidana untuk pembalasan kepada si pelaku juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban. Grotius memandang, pidana berdasarkan keadilan absolut berwujudkan pembalasan terbatas kepada apa yang berfaedah bagi masyarakat. Teori gabungan yang menitikberatkan pada perlindungan masyarakat, mengadopsi pemikiran
84 85
Ibid. hlm. 76. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
bahwa secara prevensi umum terletak pada ancaman pidananya. Teori gabungan ini dipelopori oleh Vos.86 d. Teori Treatment (Teori Relatif) Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation).87 Aliran positif lahir pada abad ke-19 yang dipelopori oleh Casare Lombroso (1835-1909), Enrico Ferri (1856-1928), dan Raffaele Garofalo (18521934). Mereka menggunakan pendekatan metode ilmiah untuk mengkaji kejahatan dengan mengkaji karakter pelaku dari sudut pandang ilmu biologi, psikologi dan sosiologi dan objek analisisnya adalah kepada pelaku, bukan kejahatannya. Aliran positif berkembang pada abad ke-19 yang dihasilkan oleh perkembangan filsafat empirisme di Inggris sebagaimana yang ditemukan dalam ajaran Locke dan Hume, teori Darwin tentang “biological determinisme”, teori sociological positivism dari Comte dan teori ekonomi Karl Marx.88
86
Mahmud Mulyadi, Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Op. Cit. 96-97. Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Op. Cit. hlm. 79. 88 Ibid. 87
Universitas Sumatera Utara
August Comte (1798-1857) seorang sosiolog berkebangsaan Perancis, menerapkan pendekatan metode ilmu pengetahuan alam kepada ilmu-ilmu sosial melalui bukunya yang berjudul “Cours de Philosophie Positive” atau “Course in Positive Philosophy”, diterbitkan antara tahun 1830 dan 1842. Comte menyatakan bahwa “There could be no real knowledge of social phenomena unless it was based on a positivist (scientific) approach”. Perkembangan ilmu pengetahuan saat itu juga dipengaruhi oleh Charles Darwin (1809-1892) dengan teori evolusinya. Lombroso menyatukan pemikiran Comte dan Darwin untu menjelaskan hubungan antara kejahatan dengan bentuk tubuh manusia. Lombroso menerbitkan bukunya yang berjudul “L’uomo Delinquente” atau “The Criminal Man” pada tahun 1876, yang menandai bahwa terjadinya transformasi kajian mengenai kejahatan dari tataran yang abstrak (philosopis) ke ranah yang lebih konkrit melalui pendekatan metode ilmiah.89 Lombroso dengan teorinya born criminal menyatakan bahwa ada suatu kekhasan tertentu yang disebutnya Atavistic Stigmata yang membedakan manusia kriminal dengan yang bukan kriminal, yang dapat dilihat dari bentuk fisik seseorang. Ketiga tokoh ini menolak doktrin free will dan menggantinya dengan konsep determinisme.90 Aliran positif melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode ilmiah untuk mengkonfirmasi fakta-fakta di lapangan dalam kaitannya dengan terjadinya kejahatan. Aliran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan
bahwa
seseorang
melakukan
kejahatan
bukan
berdasarkan
89 90
Ibid. Ibid., hlm. 80.
Universitas Sumatera Utara
kehendaknya karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis, maupun faktor lingkungan. Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus diberikan perlakuan (treatment) untuk resosialisasi dan perbaikan si pelaku.91 Secara lebih rinci, Reid mengemukakan ciri-ciri aliran positif ini sebagai berikut:92 1. Rejected legal definition of crime; 2. Let the punishment fit the criminal; 3. Doctrin of determinism; 4. Abolition of death penalty; 5. Empirical research, inductive method; 6. Indeterminate sentence. Gerber
dan
McAnany
menyatakan
bahwa
munculnya
paham
rehabilitasionis dalam ilmu pemidanaan sejalan dengan gerakan reformasi penjara. Melalui pendekatan kemanusiaan, maka paham ini melihat bahwa sistem pemidanaan pada masa lampau menyebabkan tidak adanya kepastian nasib seseorang. Berdasarkan pendekatan keilmuan, maka aliran rehabilitasi berusaha membuat jelas dan melahirkan suatu dorongan untuk memperbaiki pelaku kejahatan sebagai tema sentral mengenyampingkan semua tujuan lain dari pemidanaan. Jadi gerakan rehabilitionist merupakan paham yang menentang
91 92
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
sistem pemidanaan pada masa lalu, baik untuk tujuan retributif, maupun tujuan deterrence.93 Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan sebagaimana yang dipelopori oleh aliran positif, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari dalam kriminologi. Pengamatan mengenai bahaya sosial yang potensial dan perlindungan sosial menjadi suatu standar dalam menjustifikasi suatu perbuatan, daripada pertanggungjawaban moral dan keadilan. Aliran positif menolak setiap dasar pemikiran aliran hukum pidana klasik dan menurut aliran ini masyarakat perlu mengganti standar hukum, pertanggungjawaban moral dan kehendak bebas (free will) dengan treatment dan perhatian digeser dari perbuatan ke pelakunya.94 Paham rehabilitasi sebagai tujuan pemidanaan dalam perjalanannya tidak semulus yang diperkirakan karena paham ini juga banyak menuai kritikan. Kritikan pertama, ditujukan pada kenyataannya bahwa hanya sedikit negara yang mempunyai fasilitas untuk menerapkan program rehabilitasi pada tingkat dan kebijakan yang menekankan penggunaan tindakan untuk memperbaiki (treatment) atas nama penahanan. Kritikan kedua, adanya tuduhan yang serius bahwa pendekatan yang digunakan oleh paham rehabilitasi adalah pendekatan yang mengundang tirani individu dan penolakan hak asasi manusia. Misalnya dalam hal proses pelaksanaan rehabilitasi ini tidak seseorang pun yang dapat memprediksi berapa lama pengobatan akan berlangsung ketika seorang tahanan segera diserahkan kepada dokter untuk disembuhkan atau diobati sebelum tahanan itu 93 94
Ibid. hlm. 81-82. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dibebaskan. Dalam hal ini juga sulit untuk mengontrol otonomi keputusan dokter. Menurut Lewis sebagaimana yang dikemukakan oleh Gerber McAnany bahwa sebagian besar metode treatment yang dilakukan dengan penuh kebaikan dan atas nama kemanusiaan, namun akhirnya tidak terkontrol.95 Helbert L. Packer mengajukan suatu varian yang berdasarkan pandangan aliran klasik yang disebutnya sebagap behavioralisme. Pandangan Behavioral ini merupakan suatu yang tepat dan oposisi yang lengkap dan tepat untuk paham retributif serta menyelesaikan dilema yang mengancam hukum pidana saat ini, maka terdapat empat pokok pikiran behavioralisme ini, yaitu:96 1. Kehendak bebas (free will) adalah suatu ilusi saja karena tingkah laku manusia ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang untuk mengubahnya; 2. Tanggung jawab moral juga merupakan suatu ilusi karena dosa tidak dapat dibebankan pada suatu tingkah laku yang kondisinya dibentuk; 3. Tingkah laku manusia seharusnya dipelajari secara ilmiah dan dikendalikan; dan 4. Fungsi hukum pidana secara murni dan sederhana, seharusnya membawa seseorang menuju suatu proses pengubahan kepribadian dan tingkah laku mereka yang telah melakukan kejahatan (perbuatan anti sosial) sehingga mereka tidak akan kembali melakukan kejahatan pada masa yang akan datang, atau jika semua tujuan ini gagal, maka untuk menahan mereka
95 96
Ibid. hlm. 83. Ibid hlm. 87.
Universitas Sumatera Utara
untuk melakukan kejahatan dengan penggunaan paksaan, misalnya dengan pidana kurungan. Bertolak dari pokok-pokok pikiran di atas, aliran ini menegaskan bahwa tantangan yang harus dihadapi dalam mempertahankan dan menyelamatkan Hukum Pidana dalam kedudukan dan perspektif retributivisme atau meninggalkan setiap upaya untuk memberikan beban tanggung jawab pidana terhadap kejahatan.97 e. Teori Social Defence (Perlindungan Sosial) Social Defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah PD II dengan tokoh terkenalnya adalah Fillipo Gramatica, yang pada tahun 1945 mendirikan Pusat Studi Perlindungan Masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan social defence ini (Setelah Kongres Ke-2 Tahun 1949) terpecah menjadi dua aliran, yaitu aliran yang radikal (ekstrim) dan aliran yang moderat (reformis).98 Pandangan yang radikal dipelopori dan dipertahankan oleh F. Gramatica, yang salah satu tulisannya berjudul “The fight against punishment” (La Lotta Contra La Pena). Gramatika berpendapat bahwa: “Hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya.”99
97
Mahmud Mulyadi, Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Op. Cit., hlm. 100. Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Op. Cit. hlm. 88. 99 Ibid. 98
Universitas Sumatera Utara
Pandangan Moderat dipertahankan oleh Marc Ancel (Perancis) yang menamakan alirannya sebagai “Defence Sociale Nouvelle” atau “New Social Defence” atau “Perlindungan Sosial Baru”. Menurut Ancel, tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum.100 Beberapa konsep pandangan moderat:101 1. Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsikonsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana. 2. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan masyarakat itu sendiri; 3. Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi dan tekniks-tekniks yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Ini merupakan reaksi terhadap legisme dari aliran klasik. Aliran moderat ini juga lahir sebagai jawaban terhadap kegagalan aliran positif dengan paham rehabilisionisnya. C.
Kebijakan Non Penal (Non Penal Policy) Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih
bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya 100 101
Ibid. hlm. 89. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan.102 Pernyataan di atas juga didukung oleh berbagai hasil dari Kongres PBB ke-6 Tahun 1980 yang berlangsung di Caracas, Venezuela menyatakan dalam pertimbangan resolusinya mengenai Crime Trends and Crime Prevention Strategies, antara lain:103 1. Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas kehidupan yang layak bagi semua orang (the crime impedes progress towards the attainment of an acceptable quality of life for all people); 2. Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan (crime prevention strategies should be based upon the elemination of causes and condition giving rise to crime); 3. Bahwa penyebab utama banyaknya terjadi kejahatan diberbagai negara adalah disebabkan oleh ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebodohan diantara sebagain besar penduduk (the main causes of crime in many countries are social inequality, ratial and national discrimination,
102 103
Ibid. hlm. 55. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
low standar of living, unemployment and illiteracy among broad section of the population). Setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, maka dalam resolusi itu dinyatakan bahwa menghimbau semua anggota PBB untuk mengambil tindakan dalam kekuasaan mereka untuk menghapus kondisi-kondisi kehidupan yang menurunkan martabat kemanusiaan dan menyebabkan kejahatan, yang meliputi masalah pengangguran, kemiskinan, kebutahurufan (kebodohan), diskriminasi rasial dan nasional serta bermacam-macam bentuk dari ketimpangan sosial.104 Di dalam Dokumen A/CONF. 121/L/9 mengenai Crime Prevention in the Context Of Development Kongres PBB ke-7 Tahun 1985 di Milan, Italia ditegaskan
bahwa
upaya
penghapusan
sebab-sebab
dan
kondisi
yang
menimbulkan kejahatan harus merupakan strategi pencegahan kejahatan yang mendasar. Strategi pencegahan kejahatan yang mendasar ini harus dicarikan untuk menghilangkan penyebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan suatu kejahatan. Akhirnya di dalam Guiding Principles yang dihasilkan oleh Kongres PBB ke-7 ini, ditegaskan bahwa berbagai kebijakan mengenai pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus mempertimbangkan sebab-sebab struktural, termasuk sebab-sebab ketidakadilan yang bersifat sosio-ekonomi, dimana kejahatan sering merupakan suatu gejala semata (symptom).105 Kongres PBB ke-8 tahun 1990 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders
yang berlangsung di Havana, Cuba, menekankan,
pentingnya aspek sosial dari kebijakan pembangunan yang merupakan suatu 104 105
Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hlm. 41. Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Op. Cit., hlm. 56.
Universitas Sumatera Utara
faktor penting dalam pencapaian strategi pencegahan kejahatan dan peradilan pidana. Oleh karena aspek-aspek social dalam kontek pembangunan ini harus mendapat prioritas yang utama. Kongres ke-8 ini juga berhasil mengidentifikasi berbagai aspek sosial yang ditengarai sebagai faktor-faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan. Hal ini disebutkan dalam Dokumen A/CONF. 144/L.3, yaitu sebagai berikut:106 1. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan, ketiadaan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta pelatihan yang tidak cocok; 2. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial dan karena memburuknya ketimpanganketimpangan sosial; 3. Mengendornya ikatan sosial dan keluarga; 4. Keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang yang berimigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain; 5. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan; 6. menurunnya atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan tidak cukupnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan kehidupan bertetangga;
106
Ibid., hlm. 56-57.
Universitas Sumatera Utara
7. kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di lingkungan keluarga, tempat pekerjaannya atau dilingkungan sekolahnya; 8. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas; 9. meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisir, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian; 10. dorongan-dorongan (khususnya oleh media massa) mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikap-sikap tidak toleran. Kondisi sosial yang ditengarai sebagai faktor yang menyebabkan timbulnya kejahatan seperti yang dikemukakan di atas adalah masalah-masalah yang sulit dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh karena itulah, pemecahan masalah di atas harus didukung dengan pendekatan non penal
berupa
kebijakan
sosial
dan
pencegahan
kejahatan
berbasiskan
masyarakat.107 Pendekatan non penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan pencegahan kejahatan
tanpa
menggunakan
sarana
pemidanaan
(prevention
without
punishment), yaitu antara lain perencanaan kesehatan mental masyarakat (community planning mental health), kesehatan mental masyarakat secara nasional (national mental health), social worker and child welfare (kesejahteraan
107
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
anak dan pekerja social), serta penggunaan hukum civil dan hukum administrasi (administrative & civil law).108 Dalam kontek ini, informasi yang diperoleh melalui disiplin lain, misalnya sosiologi, antropologi dan psikologi, sangat membantu untuk merumuskan kebijakan sosial, perencanaan kesehatan mental masyarakat sehingga memberikan pengaruh preventif terhadap terjadinya kejahatan. Selain itu juga, programprogram untuk mengatasi tekanan (stress) dalam kehidupan bermasyarakat perlu mendapat perhatian dalam penanggulangan kejahatan, antara lain, kesejahteraan anak-anak serta rehabilitasi dan kesehatan pekerja sosial. Berdasarkan berbagai keterangan di atas, maka telah diungkap bahwa kejahatan berakar dari faktorfaktor yang berkaitan dengan lingkungan sosial masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu perlu langkah-langkah penanggulangan yang didasarkan pada penguatan sumber daya yang ada di dalam masyarakat (community crime prevention).109 Menurut Tim Hope, pencegahan kejahatan oleh masyarakat (community crime prevention) mengarah kepada tindakan-tindakan yang diharapkan dapat merubah kondisi sosial yang mendukung terjadinya kejahatan di kedia
man
masyarakat. Fokus perhatiannya dikonsentrasikan pada kemampuan institusi sosial lokal untuk mengurangi angka kejahatan. Institusi lokal ini mewadahi anggota masyarakat dalam suatu komunitas untuk bekerjasama secara sungguhsungguh, memberikan bimbingan dan mengatur etika berprilaku, khususnya bagi anak-anak muda. Community crime prevention ini dapat didekati melalui dua 108 109
Ibid. hlm. 58. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dimensi, pertama, melalui dimensi horizontal dari hubungan sosial antara orangorang dan group-group dalam masyarakat. Kedua, melalui dimensi vertikal dari relasi sosial yang menghubungkan institusi lokal dengan komunitas yang lebih luas dari civil society.110 Program-program
dari
community
crime
prevention
ini
dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:111 1. Community organization, tipe ini ditujukan membangun sebuah komunitas masyarakat yang didasarkan pada kerjasama dalam penanggulangan kejahatan. Kerjasama ini juga dibina melalui sekolah-sekolah lokal, tempat-tempat ibadah. Program ini juga menyediakan sarana yang efektif bagi anak-anak muda untuk bersosialisasi dalam suatu pergaulan yang positif; 2. Community defence, program pada tipe ini ditujukan untuk mencegah terjadinya viktimisasi melalui pencegahan terhadap pelaku kejahatan. Strategi yang digunakan adalah pencegahan kejahatan melalui mendesain lingkungan (crime prevention through environmental design/ CPTED), defensible space measures, dan organisasi pengawasan masyarakat melalui neighbourhood watch. 3. Order-maintenance,
pendekatan
ini
dilakukan
untuk
mengontrol
pengrusakan sarana fisik, ancaman terhadap kehidupan bertetangga dan perilaku kasar di jalanan.
110 111
Ibid. hlm. 63-64. Ibid. hlm. 65.
Universitas Sumatera Utara
4. Risk-based program, merupakan program yang menggunakan pendekatan untuk mencari faktor-faktor yang beresiko dalam komunitas kehidupan masyarakat, mengidentifikasi yang paling beresiko dan menyediakan upaya pencegahan khusus bagi mereka. Program ini meliputi pendekatan terhadap seseorang yang kemungkinan menjadi target korban kejahatan dan strategi ditujukan untuk melindungi korban dan pencegahan supaya tidak terjadi pengulangan menjadi korban (repeat victimization). 5. Community development, strategi yang digunakan adalah membangun kembali tatanan kehidupan sosial, fisik dan perekonomian lingkungan tempat tinggal. 6. Structural change, tujuan yang ingin dicapai hampir sama dengan community development, yaitu strategi yang dibangun adalah perubahan yang utama di dalam kehidupan masyarakat yang dapat mereduksi terjadinya kejahatan. Pendekatan yang dilakukan berupa penerapan kebijakan di level makro pembangunan ekonomi dan ketenagakerjaan, perumahan
yang
layak,
pendidikan,
pelayanan
kesehatan
dan
kesejahteraan serta pelayanan sosial.
Universitas Sumatera Utara