8
BAB II KAJIANPUSTAKA
A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Istilah resiliensi diintrodusir oleh Redl pada tahun 1969 dan digunakan untuk menggambarkan bagian positif dari perbedaan individual dalam respons seseorang terhadap stres dan keadaan yang adversity (penderitaan) lainnya (Smet, 1990 dalam Desmita, 2009). Menurut Henderson & Milstein, 2003 (Desmita, 2009) menyatakan resiliensi diadopsi sebagai ganti dari istilah-istilah yang sebelumnya telah digunakan oleh para peneliti untuk menggambarkan fenomena, seperti : invulnerable (kekebalan), invincible (ketanggungan), dan hady (kekuatan), karena dalam proses menjadi resilien tercakup pengenalan perasaan sakit, perjuangan dan penderitaan. Resiliensi merupakan proses dinamis dimana individu menunjukkan fungsi adaptasi dalam menghadapi adversity (kesengsaraan) yang berperan penting bagi dirinya (Schoon, 2006 dalam Nasution 2011). Grotberg, (1999) secara sederhana mengartikan resiliensi sebagai kemampuan manusia untuk menghadapi, mengatasi, mendapatkan kekuatan dan bahkan mampu mencapai transformasi diri setelah mengalami kesengsaraan. Resiliensi merupakan fenomena relatif yang tergantung pada
8 Studi Deskriftif Kuantitatif..., Hemi Argiyana, Psikologi UMP, 2014
9
interaksi
kompleks
antara faktor individu
dan lingkungan hidup
(Schoon,2006 dalam Nasution 2011). Menurut Reivich dan Shatte, (2002) yang di tuangkan dalam bukunya
“The
Resiliency
Factor”
menjelaskan
resiliensi
adalah
kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan adversity (penderitaan) yang dialami dalam kehidupannya. Resiliensi bukan hanya untuk mereka yang mengalami keterpurukan saja tetapi menyangkut semuanya baik yang telah mengalami trauma ataupun belum sehingga resiliensi adalah kesehatan emosional yang di lengkapi
dengan
kesuksesan
dalam
menghadapi
tantangan
dan
menyembuhkan dalam keterpurukan (Goldstein dan Brooks, 2002). Resiliensi akan membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi yang tidak menyenangkan, serta dapat mengembangkan kompetensi sosial, akademis dan vikasional sekalipun berada di tengah kondisi stress yang hebat (Desmita, 2005). Dari berbagai pengertian resiliensi yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah daya lentur atau kemampuan seseorang,
kelompok,
masyarakt
yang
memungkinkannya
untuk
menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi yang tidak menyenangkan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi.
Studi Deskriftif Kuantitatif..., Hemi Argiyana, Psikologi UMP, 2014
10
2. Aspek-aspek Resiliensi Reivich dan Shatte, 2002 (dalam Nasution, 2011), memaparkan tujuh aspek dari rsiliensi, aspek-aspek tersebut adalah : a.
Regulasi Emosi Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang bila mengalami tekanan. Orang-orang yang resiliensi menggunakan seperangkat ketrampilan yang sudah matang yang membantu mereka mengontrol emosi, perhatian dan perilakunya. Regulasi diri penting untuk membentuk hubungan akrab, kesuksesan di tempat kerja dan mempertahankan kesehatan fisik. Perlu diketahui bahwa tidak semua emosi perlu dikontrol. Ekspresi emosi, negatif atau positif, adalah sehat dan konstruktif, ekspresi emosi yang tepat merupakan bagian dari resiliensi. Menjadikan budak emosi akan mengganggu resiliensi dan membuat orang-orang menjauhi kita.
b.
Impuls Control (pengendalian implus) Orang yang mampu mengontrol dorongannya, menunda pemuasan kebutuhannya, akan lebih suksess secara sosial dan akademis. Orang yang kurang mampu mengontrol dorongan berarti memiliki „id‟ yang besar dan „superego” yang kurang. Hasrat hedonistik menguasai pikiran rasional. Pola khasnya adalah merasa bergairah ketika mendapatkan pekerjaan baru, melibatkan diri sepenuhnya, namun tiba-tiba kehilangan minat.
Studi Deskriftif Kuantitatif..., Hemi Argiyana, Psikologi UMP, 2014
11
Regulasi dan impuls control berhubungan erat. Kuatnya kemampuan seseorang dalam mengontrol dorongan menunjukan kecenderungan seseorang untuk memiliki kemampuan tinggi dalam regulasi emosi. Orang yang mampu mengontrol dorongan dengan baik secara signifikan akan lebih sukses sosial maupun akademis. c.
Optimisme Orang yang memiliki resiliensi adalahorang yang optimis. Mereka yakin bahwa kondisi dapat berubah menjadi lebih baik. Merekamemiliki harapan ke masa depan dan yakin bahwa mereka dapat mengatur bagian-bagian dari kehidupan mereka. Memiliki kemungkinan yang kecil mengalami depresi, berprestasi lebih baik di sekolah, lebih produktif dalam pekerjaan, dan berprestasi di berbagai bidang. Optimisme menyiarkan bahwa seseorang memiliki keyakinan akan kemampuannya mengatasi adversity (penderitaan), yang mungkin muncul di masa depan. Hal ini merefleksikan sense of efficacy (rasa mampu), keyakinan akan kemampuan memecahkan masalah sendiri dan memimpin diri sendiri.
d.
Causal analysis (analisis penyebab masalah) Causal analysis menunjukan bahwa seseorang memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi penyebab masalahnya secara akurat. Jika seseorang mampu mengidentifikasi penyebab masalah
Studi Deskriftif Kuantitatif..., Hemi Argiyana, Psikologi UMP, 2014
12
secara akurat, maka ia tidak akan melakukan kesalahan yang sama terus menerus. e.
Empati Empati menunjukan bagaimana seseorang mampu membaca sinyal-sinyal dari orang lain mengenai kondisi psikologis dan emosional mereka, melalui isyarat nonverbal, untuk kemudian menentukan apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Empati sangat berperan dalam hubungan sosial dimana seseorang ingin dimengerti dan dihargai. Seseorang yang rendah empatinya, walaupun memiliki tujuan yang baik, akan cenderung mengulangi pola perilaku yang tidak resiliensi.
f.
Self –Efficacy (efeksi diri) Self-Efficacy menggambarkan perasaan seseorang tentang seberapa efektifnya ia berfungsi di dunia ini. Hal itu menggambarkan keyakinan bahwa kita dapat memecahkan masalah, kita dapat mengalami dan memiliki keberuntungan dan kemampuan untuk sukses. Mereka yang tidak yakin tentang kemampuan akan mudah tersesat.
g.
Reaching Out (peningkatan aspek positif) Resiliensi bukan sekedar kemampuan mencapai aspek positif dalam hidup. Resiliensi merupakan sumber daya untuk mampu keluar dari kondisi sulit (reaching out) merupakan kemampuan seseorang untuk bisa keluar dari “zona aman” yang di milikinya. Individu-
Studi Deskriftif Kuantitatif..., Hemi Argiyana, Psikologi UMP, 2014
13
individu yang memiliki kemampuann reacing out tidak menetapkan batas yang kaku terhadap kemampuan-kemampuan yang mereka miliki. Mereka tidak terperangkap dalam suatu rutinitas, mereka mimilki rasa ingin tahu dan ingin mencoba hal-hal baru, dan mereka mampu untuk menjalin hubungan dengan orang-orang baru dalam lingkungan kehidupan mereka. Wolin dan Wolin, 1994 (dalam Sawitri, Hartati dan Setyowati 2010) mengemukakan tujuh aspek utama yang dimiliki oleh individu, yaitu: 1. Insight Insight yaitu proses perkembangan individudalam merasa, mengetahui, dan mengerti masalalunya untuk mempelajari perilaku-perilaku yang lebih tepat. 2. Independence Independence yaitu kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah (lingkungan dansituasi yang bermasalah). 3. Relationships Individu yang resilien mampumengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, memiliki role model yang baik.
Studi Deskriftif Kuantitatif..., Hemi Argiyana, Psikologi UMP, 2014
14
4. Initiative Initiative yaitu keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab terhadap hidupnya. 5. Creativity Creativity yaitu kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi, dan alternative dalam menghadapi tantangan hidup. 6. Humor Humor adalah kemampuan individu untukmengurangi beban hidup dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. 7. Morality Morality adalah kemampuan individu untuk berperilaku atas dasar hati nuraninya. Individu dapat memberikan kontribusinya dan membantu orang yang membutuhkan. Penelitian ini akan menunjuk pada tujuh aspek resiliensi dari Revich dan Shatte (2002), yaitu : regulasi emosi, impuls control (pengendalian implus), optimisme, causal analysis (analisis penyebab masalah), empati, self-efficacy (efeksi diri), reaching out (peningkatan aspek positif).
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Nasution (2011) memaparkan tiga faktor yang mempengaruhi resiliensi, yaitu:
Studi Deskriftif Kuantitatif..., Hemi Argiyana, Psikologi UMP, 2014
15
a.
Diri Sendiri Zirman dan Arunkumar (Nasution, 2011) mengatakan bahwa anak yang mampu selamat dari lingkungan penuh resiko adalah mereka yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi, ketrampilan coping, serta mampu menghindari situasi beresiko, maupun bertarung dan bangkit dari ketidak beruntungannya.
b.
Keluarga Untuk mencapai resiliensi dibutuhkan orang-orang yang signifikan untuk membantu pencapaiannya, salah satunya adalah keluarga. Seseorang tidak akan mampu mencapai resiliensi seorang diri. Dibutuhkan orang-orang lain yang signifikan untuk bisa membantu individu memiliki resiliensi. Salah satunya adalah kelauarga, keluarga merupakan sisitem pendukung bagi setiap anggota kelauarga dan merupakan “kendaraan” menuju individu yang resiliensi (Vanbreda, 2001, dalam Nasution 2011).
c.
Lingkungan Schoon, 2006 (Nasution, 2011) mengatakan bahwa resiliensi didasarkan pada hubungan timbal-balik dan dua arah antara individu dan lingkungannya. Orang yang memiliki resiliensi mampu memonitor kondisi emosi orang lain. Dari penjelasan di atas ada tiga fektor yang mempengaruhi resiliensi yaitu diri sendiri, keluarga, dan lingkungan.
Studi Deskriftif Kuantitatif..., Hemi Argiyana, Psikologi UMP, 2014
16
B. Remaja Putus Sekolah 1. Pengertian Remaja Remaja dalam arti adolescence berasal dari kata lain adolescere yang artinya tumbuh ke arah kematangan (Muss, 1968 dalam Sarwono, 2011). Kematangan di sini tidak hanya berarti kematangan fisik, tetapi terutama kematangan sosial-psikologis. Hall (Santrock, 2007) seorang sarjana psikologi Amerika Serikatyang oleh beberapa buku teks disebut sebagai Bapak Psikologi Remaja medefiisikan masaadolesence (remaja) adalahmasapergolakan yang di penuhi oleh konflik dan perubahan suasana hati. Pada tahun 1974 (Sarwono, 2011) WHO memberika definisi tetang remaja yag lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukaka tiga kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekoomi, sehigga secara legkap definisi tersebut sebagai berikut remaja adalah : a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. b. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. c. Terjadi peraliha dari ketergatungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. Selanjutnya WHO membagi kurun usia dalam 2 bagian yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun. Sedangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri menetapkan usia 15-24 tahun
Studi Deskriftif Kuantitatif..., Hemi Argiyana, Psikologi UMP, 2014
17
sebagai usia pemuda (youth) dalam rangka keputusan PBB untuk menetapkan
tahun
1985
sebagai
Tahun
Pemuda
Internasional
(Sanderowitz dan Paxman, 1985 dalam Sarwono, 1994). Dapat disimpulkan dari penjelasan yang sudah di paparkan sebelumnya remaja adalah masa yang di tandai oleh kematangan seksual, pola identitas dari kanak-kanak menjadi dewasa, relatif lebih mandiri dengan pembagian usia 10-24 tahun.
2. Aspek-aspek Perkembangan Remaja Aspek-aspek perkembangan remaja menurut Lener & Hultsch,1983 (Agustini, 2006) yaitu : a. Perubahan Fisik Rangkaian perubahan yang paling jelas yang nampak di alami oleh remaja adalah perubahan biologis dan fisiologis. Hormon-hormon baru diproduksi oleh kelenjar endokrin, dan ini membawa perubahan dalam ciri-ciri seks primer dan memunculkan ciri-ciri seks sekunder. Gejala ini memberi isarat bahwa fungsi reproduksi atau kemampuan untuk menghasilkan keturunan sudah mulai bekerja. b. Perubahan Emosionalitas Akibat langsung dari perubahan fisik dan hormon tadi adalah perubahan dalam aspek emosionalitas pada remaja sebagai akibat dari perubahan fisik dan hormonal dan juga pengaruh lingkungan yang terkait dengan perubahan badaniah.
Studi Deskriftif Kuantitatif..., Hemi Argiyana, Psikologi UMP, 2014
18
Hormonal menyebabkan perubahan seksual dan menimbulkan dorongan-dorongan dan perasaan-perasaan baru. Keseimbangan hormonal yang baru menyebabkan individu merasakan hal-hal yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Keterbatasannya secara kognitif mengolah
perubahan-perubahan
baru
tersebut
bisa
membawa
perubahan besar dalam flukturasi emosinya. Dikombinasikan dengan pengaruh-pengaruh sosial yang juga senantiasa berubah, seperti tekanan dari teman sebaya, media masa, dan minat pada jenis seks lain, remaja menjadi lebih terorientasi secara seksul. c. Perubahan Kognitif Remaja tidak lagi terikat pada realitas fisik yang konkrit dari apa yang ada, remaja mulai mampu berhadapan dengan aspek-aspek yang hipotetis dan abstrak dari realitas. d. Implikasi Psikososial Secara psikologis proses-proses dalam diri remaja semuanya tengah mengalami perubahan, dan komponen-komponen fisik, fisiologis, emosional, dan kognitif sedang mengalami perubahan besar. Pada saat remaja menghadapi semua kepribadian tersebut, yaitu pada saat di mana remaja sangat tidak siap untuk berkutat dengan kerumitan dan ketidakpastian, berikutnya muncul faktor-faktor lain yang menimpa dirinya. Remaja dalam masyarakat kita secara tipikal dituntut untuk membuat suatu pilihan, suatu keputusan tentang apa yang akan dia lakukan bila dewasa.
Studi Deskriftif Kuantitatif..., Hemi Argiyana, Psikologi UMP, 2014
19
Aspek perkembangan menurut Hill, 1983 (Agustini, 2006) yaitu : 1. Perubahan fundamental biologis menyangkut tampilan fisik. Perubahan ini mengakibatkan remaja harus menyesuaikan diri terhadap lingkungan di sekitarnya. Perubhan fisik ini juga berpengaruh terhadap self image remaja dan juga menyebabkan perasaan tentang diri pun berubah. Hubungan dengan keluarga ditampilkan remaja dengan menunjukan privacy yang cukup tinggi. 2. Transisi Kognitif Menurut Keating, 1990 (Agustini, 2006) perubahan dalam kemampuan berfikir, remaja telah memilikikemampuan yang lebih baik dari anak dalam berpikir mengenai situasi secara hipotetis, memikirkan sesutu yang belum terjadi tetapi akan terjadi. Remaja telah mampu berpikir tentang konsep-konsep yang abstrak seperti pertemanan, demokrasi, moral. Teransisi Sosial Perubahan dalam status sosial membuat remaja mendapatkan peran-peran baru dan terikat pada kegiatan-kegiatan baru. Semua masyarakat membedakan antara individu sebagai anak dan individu yang siap memasuki masa dewasa. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpilan bahwa ada 4 aspek perkembangan remaja yaitu perubahan fisik, perubahan emosionalitas, perubahan kognitif, implikasi psikososial.Aspekaspek tersebut bisa menjadi salah satu penyebab individu yang
Studi Deskriftif Kuantitatif..., Hemi Argiyana, Psikologi UMP, 2014
20
resiliensi karenaresiliensi menggunakan seperangkat ketrampilan yang sudah matang yang membantu mereka mengontrol emosi, perhatian dan perilakunya (Reivich dan Shatte, 2002). Menurut Masten dan Shoon, 2006 (Nasution, 2011) resiliensi dikatakan berhasil bila respon yang diberikan sesuai dengan harapan lingkungan sosial dengan acuhan tugas perkembangan pada tahap perkembangan tertentu.
3. Kategori Remaja Santrock, (2007) membagi kategori remaja menjadi tiga, yaitu : a. Masa remaja Priode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yaitu usia 10 tahun – 14 tahun, yang melibatkan perubahanperubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Tugas pokok remaja adalah mempersiapkan diri memasuki masa dewasa. b. Masa remaja awal Kurang lebih berlangsung di masa sekolah menengah pertama atau sekolah menengah akhir dengan usia 14 tahun – 17 tahun dan perubahan pubertal terbesar terjadi di masa ini. c. Masa remaja akhir Kurang lebih terjadi pada pertengahan dewasa yang kedua dari kehidupan yaitu umur 17 tahun – 22 tahun. Minat, karir, pacaran, dan
Studi Deskriftif Kuantitatif..., Hemi Argiyana, Psikologi UMP, 2014
21
eksplorasi identitas sering kali lebih menonjol di masa remaja akhir dibandingkan di masa remaja awal. Dapat di simpulkan dari penjekasan di atas bahwa kategori remaja di bagi menjadi tiga yaitu masa remaja, masa remaja awal dan masa remaja akhir.
4. Definisi Remaja Putus Sekolah Putus Sekolah adalah belum sampai tamat namun sekolahnya sudah keluar, jadi seseorang yang meninggalkan sekolah sebelum tamat, berhenti
sekolah,
tidak
dapat
melanjutkan
sekolah
(Anonim,
1993).Menurut Yuda, (2011)anak putus sekolah adalah keadaan dimana anak mengalami keterlantaran karena sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak tanpa memperhatikan hak–hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Putus sekolah adalah suatu masalah serius selama beberapa dasawarsa. Banyak murid putus sekolah mengalami kekurangankekurangan pendidikan yang menghambat kesejahteraan ekonomi dan sosial merekan di kehidupan dewasa mereka. Beberapa kemajuan telah dicapai, angka putus sekolah bagi kelompok etnis minoritas yang tinggi di kota-kota besar dan berpenghasilan rendah masih cukup tinggi. Untuk mengurangi angka putus sekolah, lembaga-lembaga masyarakat khususnya
Studi Deskriftif Kuantitatif..., Hemi Argiyana, Psikologi UMP, 2014
22
sekolah harus mengatasi hambatan-hambatan antara pekerjaan dengan sekolah (Santrock, 1995). Alasan-alasan putus sekolah adalah kematian, sakit, pindah tempat tinggal, pindah sekolah di tempat yang sama, kelakuan tidak baik, tidak teratur bersekolah, bekerja, melampaui batas umur 17 tahun, dan sebab lainnya yang tidak di ketahui. Putus sekolah yang relatif tinggi antara lain disebabkan kurikulum sekolah yang tidak memikat perhatian murid. Gedung sekolah yang mirip dengan gedung yang tidak menarik. Kurikulum tidak memperhatikan minat dan kebutuhan anak. Guru-guru tidak dipersiapkan untuk memotivasi anak dan mengembangkan bakat mereka secara maksimal (Nasution, 2011). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja putus sekolah adalah remaja mengalami keterlantaran sehingga belum sampai tamat namun sekolahnya sudah keluar.Alasan-alasan putus sekolah adalah kematian, sakit, pindah tempat tinggal, pindah sekolah di tempat yang sama, kelakuan tidak baik, tidak teratur bersekolah, bekerja, melampaui batas umur 17 tahun, dankurikulum sekolah yang tidak memikat perhatian siswa.
C. Kerangka Berfikir Salah satu dari permasalahan yang dihadapi bangsa ini adalah adanya remaja yang putus sekolah. Bila tidak segera ditangani permasalahan ini
Studi Deskriftif Kuantitatif..., Hemi Argiyana, Psikologi UMP, 2014
23
kemungkinan akan menjadi beban keluarga, masyarakat serta akan menjadi masalah yang cukup besar bagi kemajuan negara ini. Putus sekolah adalah belum sampai tamat namun sekolahnya sudah keluar, jadi seseorang yang meninggalkan sekolah sebelum tamat, berhenti sekolah, tidak dapat melanjutkan sekolah (Anonim, 1993).Remaja putus sekolah lebih banyak menganggur, dan yang berhasil mendapatkan pekerjaan mendapatkan upah lebih rendah dari pada yang memiliki ijazah. Masalahmasalah putus sekolah antara lain kematian, sakit, pindah tempat tinggal, pindah sekolah di tempat yang sama, kelakuan tidak baik, tidak teratur bersekolah, bekerja, melampaui batas umur 17 tahun, dan kurikulum sekolah yang tidak memikat perhatian murid (Nasution, 2011). Putus sekolah adalah masalah besar bagi pemerintah, banyaknya anak putus
sekolah
berpotensi
menambah
angka
pengangguran.Resiliensi
merupakan kemampuan beradaptasi terhadap situas-situasi yang sulit dalam kehidupan (Reivich & Shatte, 2002). Remaja yang mampu membawa dirinya ke dalam lingkungan masyarakat dan mampu bekerja dengan keadaan putus sekolah adalah remaja yang memiliki resiliensi yang tinggi dengan dibutuhkan aspek-aspek resiliensi menurut Reivich & Shatte, (2002) yaitu
regulasi emosi, impuls control
(pengendalianimplus), optimisme, causal analysis (analisis penyebab masalah), empati, self-efficacy (efeksi diri), reaching out (peningkatan aspek positif). Sedangkan remaja putus sekolah yang tidak mampu membawa dirinya ke
Studi Deskriftif Kuantitatif..., Hemi Argiyana, Psikologi UMP, 2014
24
dalam lingkungan masyarakat dengan keadaan putus sekolahnya remaja tersebut mempunyai resiliensi yang rendah. Revich & Shatte, (2002) telah melakukan penelitian ilmiah lebih dari 50 tahun, membuktikan bahwa resiliensi adalah kunci dari kesuskesan kerja dan kepuasan hidup. Resiliensi yang dimiliki seorang individu, mempengaruhi kinerja individu tersebut baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat, memiliki efek terhadap kesehatan individu tersebut secara fisik maupun mental, serta menentukan keberhasilan individu tersebut dalam berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungannya. Berdasarkan paparan di atas dapat di simpulkan dengan gambar kerangka berpikir, sebagai berikut :
Studi Deskriftif Kuantitatif..., Hemi Argiyana, Psikologi UMP, 2014