15
BAB II KAJIAN TEORITIS
2.1
Penelitian Terdahulu Edi Rismanda Sembiring (2005) dalam penelitiannya yang berjudul
karakteristik perusahaan dan pengungkapan tanggung jawab sosial: study empiris pada perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Jakarta dengan menggunakan variabel ukuran perusahan, profitabilitas, profil perusahaan, ukuran dewan komisaris dan leverage. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran perusahaan, profil perusahaan dan ukuran dewan komisaris mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap pengungkapan sosial perusahaan. Sedangkan profitabilitas dan leverage tidak berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Penelitian Rizky Mulia dan Siti Mutmainah (2009) yang berjudul Pengaruh karakteristik Corporate Governance terhadap luas pengungkapan Corporate Social Responsibilities dengan variabel ukuran dewan komisaris, komisaris independen, independensi komite audit, konsentrasi kepemilikan, kepemilikan manajerial, kepemilikan asing, kepemilikan pemerintah, ukuran perusahaan, profitabilitas dan CSR menjelaskan bahwa hanya faktor kepemilikan pemerintah yang berpengaruh signifikan terhadap luas pengungkapan CSR di antara berbagai mekanisme corporate governance di Indonesia. Penelitian I Made Sudana dan Putu Ayu Arlindania W. (2011) dengan judul penelitian
corporate governance dan pengungkapan corporate social
16
responsibility pada perusahaan go-public di Bursa Efek Indonesia. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dewan direksi wanita, dewan direksi warga negara asing, komposisi komisaris independen, ROE, ukuran perusahaan, DER. Hasil penelitian dewan direksi wanita dan DER
berpengaruh negatif tidak
signifikan, sedangkan dewan direksi warga negara asing, komposisi dewan komisaris independen, ROE dan ukuran perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap pengungkapan CSR. Penelitian Cahyaningsih dan Venti Yustianti Martina (2011) berjudul pengaruh mekanisme corporate governance dan karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Good Corporate Governance yaitu kepemilikan manajerial dan institusional mempunyai pengaruh terhadap kinerja perusahaan. Good corporate governance yang diamati melalui kepemilikan manajerial dan institusional mempunyai pengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Pengujian variabel kontrol, yaitu CEO Tenure mempunyai pengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Sedangkan jenis Industri tidak mempunyai pengaruh terhadap CSR. Untuk corporate secretary dan komite nominasi dan remunerasi juga tidak mempunyai pengaruh terhadap kinerja perusahaan. Penelitian Camelia I. Lungu et al. (2011) dengan penelitiannya yang berjudul research on corporate social responsibility reporting yang menggunakan sampel perusahaan besar terbaik terpilih dari laporan Global Fortune 2009. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah ukuran perusahaan (asset dan pendapatan), profitabilitas (perubahan pendapatan, ROE) serta pengungkapn
17
CSR. Penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran perusahaan (aset dan pendapatan), tidak berkorelasi dengan adanya pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan, namun ada korelasi/pengaruh negatif signifikan antara perubahan pendapatan, ROE dan pengungkapan pertanggungjawaban sosial lingkungan. Penelitian Faris Nasif Al-Shubiri et al. (2012) yang berjudul financial and non financial determinants of corporate social responsibility dilakukan di Jordania dengan menggunakan data pada tahun 2006-2010. Variabel yang digunakan adalah pertumbuhan asset, pembayaran dividen, ukuran perusahaan, umur/lama perusahaan berdiri, saham biasa, kepemilikan saham mayoritas dan pengungkapan CSR. Dalam penelitian ini hanya ukuran perusahaan, umur/lama perusahaan berdiri, adanya pertumbuhan aset berpengaruh positif signifikan terhadap pengungkapan CSR. Berikut ini adalah keseluruhan ringkasan dari penelitian terdahulu: Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu No. 1.
Nama, Tahun dan Judul Penelitian Edi Rismanda Sembiring (2005) Karakteristik perusahaan dan pengungkapan tanggung Jawab sosial: study empiris pada perusahaan Yang tercatat di Bursa Efek Jakarta
Variabel Penelitian Ukuran perusahan, profitabilitas, profil perusahaan, ukuran dewan komisaris dan leverage.
Metode/ Analisis Data Regresi berganda
Hasil Penelitian Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa ukuran perusahaan, profil perusahaan dan ukuran dewan komisaris mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap pengungkapan sosial perusahaan, sedangkan profitabilitas dan leverage tidak berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
18
No. 2.
Nama Peneliti dan Judul Penelitian
Variabel Penelitian
Alat Analisis
Hasil Penelitian
Rizky Mulia dan Siti Mutmainah (2009) Pengaruh karakteristik Corporate governance terhadap luas pengungkapan Corporate Social Responsibilities Etty Murwaningsari (2009) Hubungan Corporate Governance, Corporate Social Responsibilities dan Corporate Financial Performance Dalam Satu Continuum
Ukuran dewan komisaris, komisaris independen, independensi komite audit, konsentrasi kepemilikan, kepemilikan manajerial, kepemilikan asing, kepemilikan pemerintah, ukuran perusahaan, profitabilitas dan CSR.
Regresi berganda
Hanya faktor kepemilikan pemerintah yang berpengaruh signifikan terhadap luas pengungkapan CSR di antara berbagai mekanisme Corporate Governance di Indonesia.
Kinerja perusahaan, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, corporate secretary, komite nominasi dan remunerasi, jenis industri, CEO tenure, pengungkapan tanggung jawab sosial.
Analysis Jalur (path analysis)
4.
Waryanto (2010) Pengaruh karakteristik Good Corporate Governance (GCG) terhadap luas pengungkapan CSR.
Regresi berganda
5.
I Made Sudana dan Putu Ayu Arlindania W. (2011) Corporate Governance dan Pengungkapan Corporate Social Responsibility pada Perusahaan Go-Public di Bursa Efek Indonesia
Ukuran dewan komisaris, jumlah rapat komite audit, jumlah rapat dewan komisaris, independensi dewan komisaris, ukuran komite audit, kompetensi komite audit, kepemilikan saham manajerial, kepemilikan saham institusional, kepe-milikan saham asing, kepemilikan saham terkonsentrasi, ukuran perusahaan dan rasio leverage serta luas pengungkapan CSR. Dewan direksi wanita, dewan direksi warga negara asing, komposisi komisaris independen, ROE, ukuran perusahaan, DER.
Kepemilikan manajerial dan institusional memiliki pengaruh terhadap kinerja perusahaan. Kepemilikan manajerial dan institusional memiliki pengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). CEO Tenure mempunyai pengaruh terhadap pengungkapan CSR. Sedangkan jenis Industri tidak mempunyai pengaruh terhadap CSR. Untuk Corporate Secretary dan Komite Nominasi dan remunerasi juga tidak mempunyai pengaruh terhadap kinerja perusahaan. Hanya kepemilikan saham terkonsentrasi, ukuran perusahaan dan leverage yang berpengaruh signifikan terhadap luas pengungkapan CSR.
3.
Regresi berganda
Dewan direksi wanita dan DER berpengaruh negatif tidak signifikan, sedangkan dewan direksi warga negara asing, Komposisi dewan komisaris Independen, ROE dan ukuran perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap pengungkapan CSR.
19
No. 6.
7.
8.
Nama Peneliti dan Judul Penelitian
Variabel Penelitian
Alat Analisis
Hasil Penelitian
Cahyaningsih dan Venti Yustianti Martina (2011) Pengaruh mekanisme Corporate Governance dan karakteristik perusahaan terhadap Pengungkapan tanggung jawab sosial Camelia I. Lungu et al (2011) Research On Corporate Social Responsibility Reporting
Dewan komisaris independen, kepemilikan institusional, leverage, Price-to-Book-Value, Size (ukuran perusahaan) dan Pengungkapan tanggung jawab sosial.
Regresi berganda
Hasil pengujian menunjukkan bahwa hanya variabel Size (ukuran perusahaan) berpengaruh positif signifikan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial.
Ukuran perusahaan (asset dan pendapatan), Profitabilitas (perubahan pendapatan dan ROE), pengungkapan CSR
Korelasi
Faris Nasif AlShubiri et al. (2012) Financial and non Financial Deternminants of Corporate Social Responsibility
Pertumbuhan asset, pembayaran dividen, ukuran perusahaan, umur/ lama perusahaan berdiri, saham biasa, kepemilikan mayoritas saham dan pengungkapan CSR
Regresi berganda
Ukuran perusahaan (aset dan pendapatan), tidak berkorelasi dengan adanya pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan, namun ada korelasi negatif signifikan antara perubahan pendapatan, ROE dan pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Hanya ukuran perusahaan, umur/ lama perusahaan berdiri,adanya pertumbuhan aset berpengaruh positif signifikan terhadap pengungkapan CSR.
Sumber: data sekunder diolah, 2013
2.2
Kajian Teoritis
2.2.1 Teori Legitimasi (Legitimacy Theory) Suttipun dan Stanton (2012:20) menyatakan bahwa teori legitimasi telah digunakan oleh banyak peneliti untuk mempelajari praktek pelaporan sosial dan lingkungan. Banyak indikasi menunjukkan bahwa legalitas kegiatan perusahaan mereka karena manajemen perusahaan bereaksi terhadap harapan masyarakat. Ali dan Rizwan (2013:593) mengungkapkan bahwa teori legitimasi merupakan pusat kontrak sosial yang dapat implisit maupun eksplisit. Di mana perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat secara keseluruhan. Kontrak
20
sosial diungkapkan oleh harapan masyarakat yang tidak tetap dan berubah dari waktu ke waktu. Hal ini merupakan kewajiban moral bagi perusahaan yang bertujuan untuk memenuhi harapan masyarakat. Jika perusahaan memenuhi harapan seluruh masyarakat, maka keabsahan hadirnya perusahaan akan diterima, jika tidak keabsahannya akan berisiko. Hanya perusahaan yang sah memiliki hak untuk mempergunakan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Jadi organisasi perlu menanggapi perubahan harapan masyarakat. Legitimasi adalah suatu kondisi atau status yang ada ketika sistem nilai perusahaan adalah sama dan sebangun dengan sistem nilai dari sistem sosial yang lebih besar dimana perusahaan merupakan bagiannya. Ketika keadaan tidak seimbang secara aktual atau potensial di antara kedua sistem nilai akan ada ancaman terhadap legitimasi perusahaan. Teori Legitimasi mengusulkan hubungan antara pengungkapan sosial perusahaan dan permasalahan masyarakat sehingga manajemen harus bereaksi terhadap harapan masyarakat dan perubahan. Organisasi/perusahaan berusaha untuk beroperasi dalam batas-batas dan normanorma masyarakat. Perusahaan berusaha memastikan bahwa kegiatan mereka dianggap sah oleh pihak luar. Hal ini karena perusahaan adalah bagian dari sistem sosial yang lebih luas. Ketika ada perubahan dalam harapan sosial atau masalah stakeholder, perusahaan berusaha untuk memastikan bahwa kegiatan mereka dalam hal kemanusiaan, konsekuensi sosial lingkungan dan lainnya menanggapi perubahan tersebut untuk memenuhi harapan sosial. Jika perusahaan tidak beroperasi dengan cara yang sama dengan harapan masyarakat maka perusahaan tersebut akan dikenakan sanksi. Akibatnya, untuk mendapatkan kesuksesan
21
perusahaan akan menyesuaikan kegiatannya dalam memenuhi harapan masyarakat (Suttipun dan Stanton, 2012:19). Praktik pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan harus responsif terhadap tekanan lingkungan berdasarkan teori legitimasi. Campbell et al. (2003) dalam Suttipun dan Stanton (2012:19) berpendapat bahwa teori legitimasi menjelaskan bahwa pengungkapan sosial dan lingkungan dapat digunakan untuk mempersempit atau menutup kesenjangan antara tindakan perusahaan dan kepedulian sosial. Manajemen harus mencari hubungan antara persepsi di luar masalah sosial dan kegiatan atau tindakan untuk melayani kebutuhan perusahaan mereka. Sedangkan berdasarkan pendapat Patten et al. (1992) dalam Suttipun dan Stanton (2012:20) laporan tahunan atau lingkungan digunakan untuk memperkuat tanggung jawab perusahaan untuk kondisi lingkungan. 2.2.2
Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori keagenan menjawab dengan memberikan gambaran hal-hal apa saja yang akan terjadi baik antara agent (pengelola) dengan principal (pemegang saham) maupun antara principal (pemegang saham) dengan principal (pemberi pinjaman). Pengertian principal dalam agency theory adalah pihak-pihak yang menyerahkan wealth-nya untuk dikembangkan pihak lain (Sutedi, 2006:180). Dalam perekonomian modern, manajemen dan pengelolaan perusahaan semakin banyak dipisahkan dari kepemilikan perusahaan. Hal ini sejalan dengan agency theory yang menekankan pentingnya pemilik perusahaan (pemegang saham) menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada tenaga-tenaga profesional (disebut agents) yang lebih mengerti dalam menjalankan bisnis sehari-hari.
22
Tujuan dari dipisahkannya pengelolaan dari kepemilikan saham yaitu agar pemilik perusahaan memperoleh keuntungan semaksimal mungkin dengan dikelolanya perusahaan oleh tenaga-tenaga profesional. (Sutedi, 2006:178) Model teori agensi adalah hubungan antara principal dan agen. Dalam konteks perusahaan, agen adalah manajer. Sebuah contoh dari situasi ini adalah pada kondisi ketika sebuah tim manajer memiliki informasi dari dalam tentang masa depan yang positif atas perusahaan. Dan langkah yang diambil dan pengambilan keputusan yang paling banyak menguntungkan mereka (manajer) dan biaya potensial bagi prinsipal. Meek et al..(1995) mendefinisikan pengungkapan sukarela sebagai “tata cara pengungkapan yang lebih – menggambarkan pilihan-pilihan yang bebas dalam bagian dari manajemen perusahaan dalam menyajikan akuntansi dan informasi lain dianggap relevan untuk kebutuhan pengambilan keputusan bagi pengguna laporan tahunan mereka”. (Rouf and Harun, 2011:240) Asumsi yang digunakan teori ini adalah: a.
Dalam mengambil keputusan seluruh individu bisa mengambil keputusan yang menguntungkan dirinya sendiri. Karena itu agent yang mendapat kewenangan dari principal akan memanfaatkan kesempatan tersebut untuk kepentingan sendiri.
b.
Individu mempunyai jalan pikiran yang rasional sehingga mampu membangun ekspektasi yang tidak bias atas suatu dampak dari masalah agensi
serta nilai harapan keuntungannya di masa depan. Karena itu
dampak dari perilaku menyimpang dari kepentingan pihak lainnya yang
23
terkait langsung, dapat dimasukkan ke dalam perhitungan pihak lainnya dalam memasok kebutuhan. (Sutedi, 2006: 181) Al-Shubiri et al. (2012:1003) mengungkapkan bahwa perusahaan meningkatkan pengungkapan sosial sukarela perusahaan untuk menghindari tekanan potensial dari badan hukum pemerintah yang memberlakukan tanggung jawab sosial. Sedangkan menurut Lundholm et al (2006) dalam Rouf and Harun (2011:241) pengungkapan sukarela dapat digunakan untuk mengurangi masalah asimetri informasi. Konflik ini pada umumnya terjadi karena masalah informasi yang tidak beraturan. Para manajer mungkin fokus pada kepentingan personal mereka daripada memaksimalkan kekayaan pemegang saham. Pemegang saham perlu membuat suatu mekanisme untuk mengurangi masalah agensi dengan meluruskan kepentingan antara prinsipal-agen atau dengan memonitoring perilaku agen yang oportunis. Investor luar memiliki informasi yang kurang jika dibandingkan dengan pandangan para manajer tentang kinerja perusahaan. Dalam dunia nyata bisnis dimana pasar tidak sempurna/efisien, mereka mempercayai bahwa manajer menggunakan kebijakan pengungkapan laporan keuangan untuk menyeimbangkan keputusan yang mereka buat dan untuk berkomunikasi kepada pemegang saham luar. Hal tersebut mengilustrasikan bahwa masalah informasi yang
tidak
beraturan
mempengaruhi
kebijakan
pengungkapan
sukarela
perusahaan. McKinnon, Dalimunthe (1993) dalam Rouf and Harun (2011:241) menemukan dukungan yang baik bahwa perusahaan yang terdivesifikasi kemungkinan besar mengungkapkan informasi segmen secara sukarela jika mereka memiliki kepentingan minoritas dalam perusahaan-perusahaan cabang
24
mereka. Hasil ini mengindikasikan bahwa pengungkapan informasi segmen menyajikan insentif untuk meluruskan kepentingan antara manajer dan kepentingan minoritas dan oleh karena itu kemungkinan besar menurunkan masalah informasi yang tidak beraturan. Oleh karena itu, seperti yang disarankan oleh teori agensi, corporate governance dapat menyajikan sebuah mekasnisme monitoring. Jensen-Meckling (1976) dalam Saraswati dan Hadiprajitno (2012:87) mengemukakan bahwa menurut teori keagenan, mekanisme corporate governance diterapkan untuk memberikan lebih banyak transparansi kepada investor mengenai perusahaan. Dengan penerapan GCG yang besar maka dapat memberikan lebih banyak transparansi kepada investor. Hal ini dapat meningkatkan kepercayaan bahwa CSR dimaksudkan untuk memberikan informasi lebih rinci sekaligus memiliki makna yang lebih luas guna meningkatkan kepercayaan publik. Secara teoritis corporate governance memiliki peran mengawasi dan mengontrol tindakan-tindakan para direktur eksekutif .
2.2.3 Pengertian Corporate Social Responsibity (CSR) World Business Council For Sustainable Developments (WBCSD) (2004) dalam Poerwanto (2010:18) secara khusus mengarahkan tanggung jawab sosial difokuskan pada pembangunan ekonomi. WBCSD menggambarkan tanggung jawab sosial sebagai “business commitment to contribute to sustainable economic development, working with employees, their families, the local community and society at large to improve their quality of live”. Definisi tersebut menunjukkan bahwa setiap perusahaan harus bertanggung jawab secara ekonomi terhadap
25
karyawan dan keluarganya, masyarakat sekitar lokasi perusahaan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Karyawan dalam hal ini menjadi bagian pokok dariproses produksi. Pemahaman tersebut dapat diartikan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan yang utama adalah karyawan. Karyawan yang berkualitas akan mendukung produk yang berkualitas pula. Kualitas karyawan mencakup kondisi fisik kerja, upah serta balas jasa lain. Philip
Kotler
dan
Nancy
Lee
(2005)
dalam
Solihin
(2009:5)
mendefinisikan tanggung jawab sosial sebagai sebuah komitmen untuk meningkatkan kebaikan komunitas praktek bisnis yang bersifat discretionary dan berkontribusi dari sumber daya perusahaan. Dalam definisi tersebut Kotler dan Lee memberikan penekanan pada kata discretionary yang berarti kegitan CSR adalah semata-mata merupakan komitmen untuk memperbaiki kesejahteraan komunitas dan bukan merupakan aktivitas bisnis yang diwajibkan oleh hukum atau perundang-undangan seperti kewajiban membayar pajak atau kepatuhan perusahaan terhadap undang-undang ketenagakerjaan. Sedangkan Poerwanto (2010:19) mendefinisikan tanggung jawab sosial sebagai kewajiban para pelaku bisnis untuk memaksimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif terhadap masyarakat Secara konseptual terdapat tiga pendekatan dalam pembentukan tanggung jawab sosial: 1.
Pendekatan moral, yaitu kebijakan atau tindakan yang didasarkan pada prinsip kesantunan dan nilai-nilai positif yang berlaku, dengan pengertian bahwa apa yang dilakukan tidak melanggar atau merugikan pihak-pihak lain.
26
2.
Pendekatan kepentingan bersama, menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan moral harus didasarkan pada standar kebersamaan, kewajaran, keterbukaan dan kebebasan.
3.
Pendekatan manfaat, adalah konsep tanggung jawab sosial yang didasarkan pada nilai-nilai bahwa apa yang dilakukan oleh organisasi harus dapat menghasilkan manfaat besar bagi pihak-pihak berkepentingan secara adil (Poerwanto, 2010:20). Poerwanto (2010:21) menyatakan bahwa cakupan kegiatan tanggung
jawab sosial perusahaan sangat luas. Unsur utama yang harus menjadi pertimbangan adalah kepedulian terhadap kualitas baik profesionalisme maupun kehidupan seluruh tenaga kerja perusahaan untuk memproduksi barang atau jasa yang dipasarkan. Kualitas dalam proses produksi serta produk yang dihasilkan merupakan tanggung jawab sosial perusahaan kepada pelanggannya. Produk yang berkualitas sesuai dengan norma-norma yang diberlakukan merupakan tanggung jawab perusahaan terhadap pelanggan dan lingkungannya. Suharto (2007:102) Secara lebih teoritis dan sistematis, mengungapkan konsep piramida tanggung jawab sosial perusahaan yang dikembangkan Archie B. Carrol yang memberi justifikasi logis mengapa sebuah perusahaan perlu menerapkan CSR bagi masyarakat disekitarnya. Sebuah perusahaan tidak hanya memiliki tanggung jawab ekonomis melainkan pula tanggung jawab legal, etis dan filantropis. 1.
Tanggung jawab ekonomis. Kata kuncinya adalah: make a profit. Motif utama perusahaan adalah menghasilkan laba. Laba adalah fondasi
27
perusahaan. Perusahaan harus memiliki nilai tambah ekonomi sebagai prasyarat agar perusahaan dapat terus hidup (survive) dan berkembang. 2.
Tanggung jawab legal kata kuncinya adalah: obey the law. Perusahaan harus taat hukum. Dalam proses mencari laba, perusahaan tidak boleh melanggar kebijakan dan hukum yang ditetapkan pemerintah.
3.
Tanggung jawab etis. Perusahaan memiliki kewajiban untuk menjalankan praktek bisnis yang baik, benar, adil dan fair. Norma-norma masyarakat perlu menjadi rujukan bagi perilaku organisasi perusahaan. Kata kuncinya: be ethical.
4.
Tanggung jawab filantropis. Selain perusahaan harus memperoleh laba, taat hukum dan berperilaku etis, perusahaan dituntut agar dapat memberi kontribusi yang dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas hidup semua. Kata kuncinya: be a good citizen. Para pemilik dan pegawai yang bekerja di perusahaan memiliki tanggung jawab ganda, yakni kepada perusahaan dan kepada publik yang kini dikenal dengan istilah nonfiduciary responsibility (Poerwanto, 2010:21). Rahman (2009:17) mengemukakan bahwa terdapat dua alasan yang
mendasari korporat melakukan kegiatan CSR, yaitu alasan moral (moral argument) dan alasan ekonomi (economic argument). Alasan ekonomi lebih pada bagaimana korporat mampu memperkuat citra/kredibilitas produknya melalui aktivitas CSR. Selain itu aktivitas CSR juga lebih hemat dibandingkan dengan aktivitas marketing. Dengan membangun citra melalui CSR, komunitas akan lebih
28
percaya dan merasakan keuntungan akan hadirnya perusahaan di suatu wilayah tertentu. Dalam perkembangan etika bisnis yang mutakhir, muncul gagasan yang lebih komprehensif mengenai lingkup tanggung jawab sosial perusahaan. Sampai sekarang ada empat bidang yang dianggap dan diterima sebagai termasuk dalam apa yang disebut sebagai tanggung jawab sosial perusahaan. Pertama, keterlibatan perusahaan dalam kegiatan-kegiatan sosial yang berguna bagi kepentingan masyarakat. Kedua, perusahaan telah diuntungkan dengan mendapat hak untuk mengelola sumber daya alam yang ada dalam masyarakat tersebut dengan mendapatkan kentungan bagi perusahaan tersebut. Karena itu, keterlibatan perusahaan merupakan sebagai balas jasa terhadap masyarakat. Ketiga, dengan tanggung jawab sosial melalui berbagai kegiatan sosial, perusahaan memperlihatkan komitmen moralnya untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan bisnis tertentu yang dapat merugikan masyarakat. Keempat, dengan keterlibatan sosial, perusahaan menjalin hubungan sosial yang lebih baik dengan masyarakat dan dengan demikian perusahaan tersebut lebih diterima kehadirannya dalam masyarakat tersebut (Keraf, 2011:123). CSR bertujuan agar masyarakat juga merasakan kesejahteraan dalam lingkungannya. Menurut Rivai dan Buchari (2009:239) bahwa dalam ajaran Islam, yang paling nyata adalah menjunjung tinggi pemerataan untuk mewujudkan keadilan sosial, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah AlHasyr (59) ayat 7:
29
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orangorang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orangorang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya (QS AlHasyr (59) ayat 7). Allah SWT melarang manusia untuk merusak lingkungan, tetapi lingkungan telah rusak oleh perbuatan manusia. Sekarang manusia mulai menyadari dan mengupayakan berbagai alternatif agar lingkungan tetap terjaga. Salah satu tujuan program CSR agar manusia dapat menjaga keseimbangan alam, memperbaiki atau merestorasi sumber daya alam yang telah digunakan dalam menjalankan produksi perusahaannya. Larangan membuat kerusakan di muka bumi terdapat dalam Surat Ar-Rum ayat 41-42:
30
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah: "Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)." (QS. Ar Rum ayat 41-42) Menurut Zahroh (1999) dalam Nurhayati dan Wasilah (2011:21) Islam adalah tuntunan yang lengkap bagi kehidupan umat manusia. Hukum Islam memiliki 3 sasaran, yaitu: 1.
Penyucian jiwa. Penyucian jiwa dimaksudkan agar manusia mampu berperan sebagai sumber kebaikan bagi lingkungan disekitarnya. Dengan adanya pelaksanaan CSR perusahaan diharapkan dapat memperbaiki terlebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ada di lingkungan perusahaan. Hal ini dapat tercipta jika kegiatan CSR didasari dengan niat beribadah kepada Allah SWT.
2.
Menegakkan keadilan dalam masyarakat. Keadilan disini meliputi keadilan di segala bidang kehidupan manusia termasuk dari sisi hukum, sisi ekonomi dan sisi persaksian. Semua manusia akan dinilai dan diperlakukan Allah secara sama tanpa melihat pada latar belakang strata
31
sosial, agama, kekayaan, keturunan, warna kulit dan sebagainya sebagaimana dijelaskan dalam QS Al-Maidah (5) ayat 8:
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al-Maidah (5) ayat 8).
Seruan untuk berbuat adil juga terdapat dalam QS An-Nahl (16) ayat 90:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (QS An-Nahl (16) ayat 90).
32
3.
Mewujudkan kemaslahatan manusia. Mewujudkan kemaslahatan manusia di dalam Islam dikenal sebagai maqashidus syariah (tujuan syariah). Arti maqashidus syariah adalah maksud dan tujuan adanya hukum Islam yaitu untuk kebaikan dan kesejahteraan umat manusia di dunia dan di akhirat. Untuk mecapai tujuan ini ada lima unsur pokok yang harus dijaga yaitu pemeliharaan terhadap agama, jiwa, harta, akal dan keturunan. Kegiatan organisasi bisnis merupakan kegiatan muamalah. Dalam
kaitannya dengan maqashidus syariah, CSR yang dilakukan oleh organisasi bisnis merupakan kegiatan memelihara harta (al-muhafazhah „ala mal). Menjaga harta, bertujuan agar harta yang dimiliki oleh manusia diperoleh dan dipergunakan sesuai dengan syari’ah. Aturan syari’ah mengatur proses perolehan dan pengeluaran harta. Dalam memperoleh harta harus bebas dari riba, judi, merampok, menipu, mencuri dan tindakan lainnya yang dapat merugikan orang lain, sebagaimana disebutkan dalam QS An-Nisa’ (4) ayat 29:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu287; Sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu (QS An-Nisa‟ (4) ayat 29).
33
287
Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang
lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan. Sedangkan untuk penggunaan harta juga harus dengan tuntunan syari’ah seperti ada kewajiban membayar zakat sesuai ketentuan, sedekah, tidak boros dan tidak kikir terhadap diri sendiri maupun orang lain. Umat Islam yang beriman haruslah menjalankan syari’ah sebagai bukti keimanannya. Salah satu bagian dari syariah adalah mengatur bagaimana melakukan kegiatan ekonomi secara syari’ah (Nurhayati dan Wasilah, 2011:27).
2.2.4
Pelaksanaan CSR Secara Sukarela (Voluntary) Oleh Perusahaan Besar
Aktivitas CSR sebagai discretionary business practice di Indonesia masih dapat dibagi ke dalam dua kategori. Pertama, pelaksanaan CSR
sebagai
discretionary business practice oleh perusahaan multinasional seperti Coca Cola, Unilever ataupun pemegang franchise dan lisensi internasional seperti McDonald, Nike sangat dipengaruhi oleh perkembangan pelaksanaan CSR di negara asal perusahaan multinasional maupun pemberi franchise dan lisensi. Kedua, pelaksanaan CSR oleh perusahaan-perusahaan domestik harus mengalami proses lebih panjang dalam merancang dan melaksanakan aktivitas CSR, karena perusahaan ini pada umumnya belum memiliki pengalaman yang banyak di dalam mengelola aktivitas CSR (Solihin, 2009:162).
34
2.2.5
Pelaksanaan CSR oleh perusahaan Domestik
Membutuhkan waktu yang cukup panjang dalam mengadopsi CSR antar perusahaan multinasional dengan perusahaan domestik, tetapi saat ini telah terjadi konvergensi program pelaksanaan CSR di antara dua kategori korporasi tersebut. Hal ini disebabkan antara lain oleh mulai terbangunnnya kesepahaman antara manajer perusahaan, bahwa program CSR yang mereka laksanakan harus terkait atau dapat menunjang tujuan perusahaan dalam jangka panjang. Selain itu, para manajer perusahaan memahami bahwa pelaksanaan CSR yang selama ini hanya dianggap sebagai “cost center” tidak akan mengakibatkan perusahaan kehilangan daya saing mereka. Oleh karenanya, program-program CSR yang memiliki muatan pengembangan masyarakat dan memiliki keterkaitan dengan core business perusahaan, telah diadopsi oleh perusahaan multinasional maupun perusahaan domestik. Sebagai contoh, PT HM Sampoerna sebagai perusahaan domestik mengmbangkan kemitraan dengan 2.035 petani tembakau dengan luas lahan mencapai 4.820 hektare yang dapat menghasilkan tembakau berkualitas sebanyak 10.650 ton setiap tahun. Selain itu PT HM Sampoerna juga melaksanakan program kemitraan dengan 32 unit produksi rokok yang tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur (Solihin, 2009:164).
2.2.6
Indeks Pengungkapan CSR
Sudana dan Arlindania (2011) menyebutkan bahwa terdapat beberapa jenis indeks pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan, salah satunya adalah GRI (Global Reporting Index) dari Global Reporting Initiative yang merupakan lembaga untuk mempromosikan standar yang diciptakan dengan memberi arahan
35
bagi perusahaan-perusahaan dalam memberikan laporan berkelanjutan tentang tanggung jawab sosialnya. Kerangka pelaporan GRI ditujukan sebagai sebuah kerangka yang dapat diterima secara umum dalam melaporkan kinerja ekonomi, lingkungan dan sosial dari organisasi. Kerangka ini didesain untuk digunakan oleh berbagai organisasi yang berbeda ukuran, sektor dan lokasinya. Standar yang dikemukakan oleh GRI tidak sepenuhnya cocok dengan kondisi yang ada di Indonesia karena cakupannya terlalu dalam. Indikator pengukuran indeks CSR yang lain adalah yang pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dalam tujuh kategori yaitu: lingkungan, energi, kesehatan dan keselamatan tenaga kerja, lain-lain tenaga kerja, produk, keterlibatan masyarakat dan umum. Ketujuh kategori tersebut terbagi dalam 78 item pengungkapan. Kategori ini diadopsi dari penelitian yang dilakukan oleh Hackston dan Milne (1996 ) dalam Sembiring (2005).
2.2.7
Good Corporate Governance 2.2.6.1 Pengertian Good Corporate Governance
Istilah “Corporate governance” pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Comitee, Inggris di tahun 1992 yang menggunkan istilah tersebut dalam laporannya yang kemudian dikenal sebagai “cadbury report”. Sedangkan pengertian good corporate governance menurut Cadbury of United Kingdom adalah sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan
36
hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan (Agoes dan Ardana, 2011:101). Pengertian Good Corporate Governance menurut Turnbull Report di Inggris (April 1999) yang dikutip oleh Tsuguoki Fujinuma dalam Effendi (2009:1) adalah bahwa Corporate Governance didefinisikan sebagai suatu sistem pengendalian internal perusahaan yang memiliki tujuan bisnisnya melalui penggunaan aset utama, mengelola risiko yang signifikan guna memenuhi tujuan bisnisnya melalui pengamanan aset perusahaan dan meningkatkan nilai investasi pemegang saham dalam jangka panjang.
2.2.6.2 Prinsip Good Corporate Governance Di Indonesia, kepemilikan saham yang terdaftar di bursa saham sangat terpusat dan presentase manajer yang termasuk dalam grup pengendali juga sangat tinggi. Hal ini pada hakikatnya merupakan ciri khas bagi suatu sektor usaha yang sedang berkembang dan pasar modal yang dalam pertumbuhan. Akan tetapi, sementara ekonomi dan perusahaan-perusahaan di Indonesia semakin membaur dengan ekonomi dunia untuk pembiayaan pinjaman, permodalan, pembelian serta penjualan produk-produknya, perhatian terhadap standar-standar corporate governance yang disepakati di tingkat internasional merupakan keharusan bagi Indonesia (Sutedi, 2006:174). Prinsip-prinsip internasional mengenai corporate governance
mulai
muncul dan berkembang. Prinsip-prinsip tersebut mencakup: 1.
Hak-hak para pemegang saham. Pemegang saham harus diberi informasi dengan benar dan tepat mengenai perusahaan, dapat ikut serta dalam
37
pengambilan keputusan mengenai perubahan-perubahan yang mendasar atas perusahaan dan turut memperoleh bagian dari keuntungan perusahaan. 2.
Perlakuan sama terhadap para pemegang saham, terutama para pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing, dengan keterbukaan informasi yang penting serta melarang pembagian untuk pihak sendiri dan perdangan saham oleh orang dalam (insider trading).
3.
Peranan pemegang saham harus diakui sebagaimana ditetapkan oleh hukum dan kerja sama yang aktif antara perusahaan serta pemegang kepentingan dalam menciptakan kekayaan, lapangan kerja dan perusahaan yang sehat dari aspek keuangan.
4.
Pengungkapan yang akurat dan tepat waktu serta transparansi mengenai semua hal penting bagi kinerja perusahaan, kepemilikan serta para pemegang kepentingan (stakeholders).
5.
Tanggung jawab pengurus dalam manajemen, pengawasan manajemen serta pertangungjawaban kepada perusahaan dan pemegang saham (Sutedi, 2006:176). Pada
umumnya,
ada
4
prinsip
yang
harus
dibangun
dalam
mewujudkan good governance, yaitu: 1.
Akuntabilitas (Accountability) Dalam hal akuntabilitas, setiap umat Islam yakin bahwa akan datang hari
dimana seluruh perbuatan (baik dan buruk) kita akan diperhitungkan. Oleh karena itu seluruh hal yang kita lakukan harus sesuai dengan prinsip Islam dan bertujuan hanya mengharap ridho dari Allah SWT. Dalam mewujudkan spiritual company yang tangguh, dibutuhkan sebuah panduan pelaksanaan perusahaan (budaya
38
perusahaan, target tahunan, strategi, dll) yang secara rutin dievaluasi sehingga nantinya manajer dan karyawan mampu merencanakan dan melakukan yang terbaik untuk mencapai kemanfaatan perusahaan yang lebih besar. Dengan prinsip ini diharapkan perilaku menyimpang (korupsi, malas bekerja, laporan palsu, dll) akan tereduksi. Rasululloh bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya….” (HR. Al-Bukhari no. 844 dan Muslim no. 1829). 2.
Transparansi (Transparency) Prinsip ini didasari oleh QS Al Baqarah ayat 282:
39
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah179 tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara
40
kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu (QS Al Baqarah ayat 282). 179
Bermuamalah ialah seperti berjual beli, hutang piutang, atau sewa menyewa
dan sebagainya. Perusahaan adalah berkumpulnya orang untuk berbagi tugas dan bertanggung jawab guna mencapai tujuan bersama. Dalam melakukan aktifitasnya, perusahaan yang baik tidak akan pernah lepas dari proses pelaporan dan evaluasi. Untuk memaksimalkan fungsi tersebut, perlu adanya dokumentasi laporan kegiatan yang transparan agar mampu menggambarkan aktifitas yang dipilih oleh perusahaan guna menjalankan fungsinya sebagai kunci perubahan sosial dan ekonomi. 3.
Keadilan (Fairness) Prinsip ini didasari oleh QS An Nisa’ ayat 58:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
41
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi maha melihat (QS An Nisa‟ ayat 58).
Perusahaan adalah visi bersama dari dewan komisaris, para manajer dan karyawan. Keputusan yang dihasilkan adalah hasil kolektifitas, bukan individu, oleh karena itu seluruh keputusan dan kebijakan yang diambil harus mampu merepresentasikan prinsip keadilan. 4.
Tanggung jawab (responsibility) Prinsip ini didasari oleh QS Al-Anfal ayat 27:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui (QS. Al-Anfal ayat 27)
Untuk membangun spiritual company (SC) yang utuh, keempat prinsip ini harus mampu diimplementasikan dan diterjemahkan dalam seluruh jenjang keputusan perusahaan. Baik dalam bidang pemasaran, pembelian, pengelolaan sumber daya manusia, operasional, pengelolaan keuangan, pengelolaan tanggung jawab sosial perusahaan, maupun pengelolaan asset perusahaan harus mampu disajikan secara akuntabel, transparan, adil dan dapat dipertanggungjawabkan.
42
2.2.6.3 Model-Model Good Corporate Governance Terdapat 3 model corporate governance, yaitu: 1.
Traditional Model Dalam hal ini, corporate govermance suatu perusahaan yang didasarkan
atas hak kepemilikan (property right). Menurut model ini, adanya pemegang saham sebagai pemegang kendali atas perusahaan merupakan faktor utama dalam proses corporate govermance. Sebagai pemasok modal bagi perusahaan, pemegang saham memiliki hak kepemilikan atas perusahaan dan memiliki hakhak hukum untuk memastikan bahwa kekayaan yang mereka berikan kepada perusahaan dan digunakan untuk memajukan kepentingan mereka. Gambar 2.1 menggambarkan proses corporate govermance menurut model tradisional terjadi. Dalam hal ini, pemegang saham sebagai pemilik perusahaan mengadakan pertemuan setahun sekali untuk mendengarkan laporan kinerja tahunan perusahaan serta memilih dewan direksi dan memberikan persetujuan atas rencana perusahaan. Dewan direksi menjadi penghubung antara pemegang saham dengan para manajer. Dewan direksi memilih para manajer untuk menjalankan usaha perusahaan dan melakukan pertemuan secara periodik dengan para manajer untuk memastikan bahwa kepentingan para pemegang saham terlindungi. Selanjutnya para manajer mamiliki otoritas untuk mengendalikan para karyawan perusahaan dan mengarahkan aktifitas mereka untuk mencapai tujuan perusahaan (Solihin, 2009:120).
43
Corporate Governance: Traditional Model
Pemegang Saham (Pemilik Perusahaan)
Dewan Direksi
Manajer dan Pegawai
Pekerja lainnya
Sumber: Solihin (2009:121)
Gambar 2.1 Corporate Governance: Traditional Model
2.
Co-Determination Model Model alternatif corporate governance, ditemukan di berbagai negara
Eropa dimana bentuk demokrasi industri sudah mengakar di sana. Di negaranegara tersebut terdapat tekanan kepada perusahaan untuk menempatkan wakil karyawan di dewan direksi yang berperan di dalam proses corporate governance. Beberapa negara di Eropa juga telah menerbitkan undang-undang yang memungkinkan para pekerja memiliki partisipasi dalam proses corporate governance. Disebut co-determitaion model karena modal (yang berasal dari
44
pemegang saham) dan tenaga kerja sama-sama berperan dalam proses corporate governance. Ide untuk mengkombinasikan modal dan pekerja berasal dari konsep pembuatan keputusan partisipatori atau participatory management. Konsep tersebut mengakui adanya hak dari kelompok yang memiliki kepentingan besar dalam suatu institusi untuk memiliki pengaruh terhadap apa-apa yang diajukan institusi. Gambar 2.2 berikut ini menggambarkan corporate governance dalam suatu co-determination model. Buchholz (1992) dalam Solihin (2009:121) mencotohkan corporate governance dengan menggunakan co-determination model diterapkan di negara Jerman sebagaimana terlihat dalam gambar di bawah ini. Perusahaan-perusahaan yang menerapkan model ini memiliki dua badan direksi (two tiers), yakni supervisory board dan management board. Supervisory board lebih mirip dengan board of directors dalam model tradisional sementara management board lebih berperan untuk melaksanakan operasi harian perusahaan. Supervisory board berhak memilih atau memperhatikan para manajer perusahaan, dengan demikian Supervisory board memiliki kekuasaan tertinggi. Berdasarkan hukum yang berlaku di Jerman, sepertiga sampai setengah dari kursi yang tersedia di Supervisory board harus ditempati oleh wakil dari pekerja.
45
Corporate Governance: Co-determination Model
Modal Tenaga kerja
Dewan Pengurus Dewan manajemen
Manajemen
Karyawan
Sumber: Solihin (2009:122)
Gambar 2.2 Corporate Governance: Co-Determination Model
3.
Stakeholder Model Model ini didasarkan kepada perkembangan teori manajemen pemangku
kepentingan yang menyatakan bahwa selain para karyawan dan pemegang saham (kedua-duanya dikategorikan pemangku kepentingan internal) masih terdapat kelompok lain di dalam masyarakat yang merupakan tanggung jawab perusahaan jika operasi perusahaan memiliki dampak terhadap kelompok tersebut
serta
perusahaan harus menyelaraskan pencapaian tujuannya dengan kepentingan berbagai konstituen yang sering kali bertentangan satu dengan lainnya. Partisipasi
46
berbagai pemangku kepentingan dalam proses corporate governance
akan
menjamin bahwa berbagai kepentingan para pemangku kepentingan akan turut diperhatikan dalam keputusan yang dibuat oleh perusahaan. Gambar 2.3 menggambarkan proses corporate governance menurut stakeholder model. (Solihin, 2009:122)
Corporate Governance: Stakeholder Model
Kepentingan Sosial, Politik dan Ekonomi
Partisipasi Para Pemegang Kepentingan dalam Dewan Direksi
Manajemen
Karyawan
Sumber: Solihin (2009: 123)
Gambar 2.3 Corporate Governance: Stakeholder Model
47
2.2.7
Hipotesis Penelitian 2.2.7.1 Proporsi
Dewan
Komisaris
Independen
dan
Indeks
Pengungkapan CSR Komisaris (dalam jumlah jamak disebut dewan komisaris) adalah sekelompok orang yang dipilih atau ditunjuk untuk mengawasi kegiatan suatu perusahaan atau organisasi. Di negara-negara barat, dewan ini disebut board of directors atau board of managers, board of regents dan board of trustees. Di negara-negara Eropa dan Asia, biasanya ada dua dewan; dewan eksekutif, yang bertugas menjalankan kegiatan bisnis sehari-hari dan dewan pengawas yang bertugas mengawasi dewan eksekutif. Dewan pengawas, biasanya dipilih oleh pemegang saham atau pemilik perusahaan. Komisaris independen dalam UU 40 Tahun 2007 Pasal 120 ayat (1) disebutkan bahwa “Anggaran dasar Perseroan dapat mengatur adanya 1 (satu) orang atau lebih Komisaris Independen dan 1 (satu) orang Komisaris Utusan” dan ayat (2) yang berbunyi “Komisaris independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat berdasarkan keputusan RUPS dari pihak yang tidak terafiliasi dengan pemegang saham utama, anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris lainnya”. (UU Nomor 40 tahun 2007) Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta (sekarang Bursa Efek Indonesia) Nomor : kep-305/bej/07-2004 Tentang Peraturan Nomor I-A mengenai ketentuan Umum Pencatatan Efek yang bersifat Ekuitas di Bursa mengatur tentang rasio komisaris independen. Dalam butir III.1. Calon Perusahaan Tercatat baik yang akan mencatatkan saham di Papan Utama maupun di Papan Pengembangan wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: Memiliki Komisaris Independen
48
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari jajaran anggota Dewan Komisaris yang dapat dipilih terlebih dahulu melalui RUPS sebelum Pencatatan dan mulai efektif bertindak sebagai Komisaris Independen setelah saham perusahaan tersebut tercatat (Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor : Kep-305/Bej/07-2004). Komisaris sebuah organisasi adalah anggota dewan pengawasnya. Beberapa istilah spesifik digunakan untuk menjelaskan keberadaan atau ketiadaan hubungannya terhadap organisasi tersebut. Komisaris (atau komisaris dalam, inside director) adalah seorang komisaris yang juga merupakan seorang pegawai, petugas, pemegang saham utama, atau seseorang yang berhubungan dengan organisasi (perusahaan) tersebut. Komisaris dalam mewakili kepentingan dari para pemegang saham dan terkadang memiliki pengetahuan yang dalam atas kinerja, keuangan, penguasaan pangsa pasar dari organisasi tersebut. Pengertian dari komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan direksi, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata untuk kepentingan perseroan. Status independen terfokus kepada tanggung jawab untuk melindungi pemegang saham, khususnya pemegang saham independen dari praktik curang atau melakukan tindak kejahatan pasar modal (Rifa’i, 2009:405). Komisaris luar (komisaris independen) adalah anggota dewan komisaris yang bukan merupakan pegawai atau orang yang berurusan langsung dengan
49
organisasi tersebut dan tidak mewakili pemegang saham. Sebagai contoh adalah seorang komisaris yang diangkat yang sedang atau pernah menjabat posisi presiden sebuah perusahaan dari sektor industri yang berbeda. Komisaris luar diangkat karena pengalamannya dianggap berguna bagi organisasi tersebut. Mereka bisa mengawasi komisaris dalam dan mengawasi bagaimana organisasi tersebut dijalankan. Komisaris luar biasanya berguna dalam melerai sengketa antara komisaris dalam, atau antara pemegang saham dan dewan komisaris. Komisaris luar dianggap berguna karena mereka bisa bersikap objektif dan memiliki resiko kecil dalam conflict of interest. Di sisi lain, komisaris dalam mungkin kekurangan pengalaman dalam menangani masalah spesifik yang dihadapi oleh organisasi tersebut. Proporsi komisaris independen dirumuskan sebagai berikut: Jumlah komisaris independen Proporsi Komisaris Independen (PKIN) = Jumlah keseluruhan dewan komisaris
Setyapurnama dan Norpratiwi (2004) dalam Murwaningsari (2009), menyebutkan terdapat tiga elemen penting yang akan mempengaruhi tingkat efektivitas dewan komisaris yaitu independensi, kompetensi dan komitmen. Independensi diharapkan timbul dengan keberadaan komisaris independen. Kompetensi tercipta dengan adanya komite-komite yang dibentuk dewan komisaris, terutama komite audit. Keberadaan komisaris independen dimaksudkan untuk menciptakan iklim yang lebih obyektif, independen, menjaga keterbukaan serta mampu memberikan keseimbangan antara kepentingan pemegang saham mayoritas dan perlindungan terhadap kepentingan pemegang saham minoritas.
50
Penelitian Sudana dan Arlindania (2011) tentang komposisi dewan komisaris independen berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR. Konsisten dengan penelitian Sudana dan Arlindania (2011), maka hipotesis yang akan diuji adalah: H1 : Proporsi komisaris Independen berpengaruh positif sigifikan terhadap indeks pengungkapan CSR
2.2.7.2 Ukuran Dewan Komisaris dan Indeks Pengungkapan CSR Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 108 ayat (3) disebutkan bahwa: “Dewan komisaris terdiri atas 1 (satu) orang anggota atau lebih” dan ayat (4): “Dewan komisaris yang terdiri atas lebih dari 1 (satu) orang anggota merupakan majelis dan setiap anggota dewan komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan keputusan dewan komisaris” serta dalam ayat (5): “Perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dana/ mengelola dana masyarakat, Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang terhadap masayarakat atau Perseroan Terbuka wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota dewan komisaris. Berkaitan dengan ukuran dewan komisaris, Coller dan Gregory (1999) dalam Sembiring (2005) menyatakan bahwa semakin besar jumlah anggota dewan komisaris, maka akan semakin mudah untuk mengendalikan CEO dan monitoring yang dilakukan akan semakin efektif. Dikaitkan dengan pengungkapan tanggung jawab sosial, maka tekanan terhadap manajemen juga akan semakin besar untuk mengungkapkannya.
51
Berikut ini adalah rumus untuk mengetahui ukuran dewan komisaris:
Ukuran Dewan Komisaris (UKDW)= Jumlah dewan komisaris
Dalam
penelitian
Sembiring
(2005),
ukuran
dewan
komisaris
menunjukkan pengaruh positif signifikan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Hal ini berarti bahwa semakin banyak jumlah dewan komisaris dalam suatu perusahaan, maka pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan akan semakin luas. Penelitian ini konsisten dengan Sembiring (2005), maka hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut: H2 : Ukuran dewan komisaris berpengaruh positif signifikan terhadap indeks pengungkapan CSR.
2.2.7.3 Keberadaan Dewan Direksi Wanita dan Indeks Pengungkapan CSR Menurut Carter et al. (2003) dalam Bernardi dan Threadgil (2010:16) keuntungan yang diperoleh dengan adanya dewan direksi wanita adalah menciptakan kondisi keuangan yang baik. Ide-ide dan berbagai perspektif baru menjadi strategistrategi, produk-produk dan pelayanan-pelayanan baru yang menghasilkan penjuaan dan laba yang banyak. Studi terkini menunjukkan bahwa perbedaan level dalam dewan direksi berhubungan langsung dengan nilai pemegang saham perusahaan dengan bermacam-macam dewan direksi menggunakan keuntungan ini untuk meningkatkan nilai pemegang saham perusahaan.
52
Adams dan Ferreira (2004) dalam Sudana dan Arlindania (2011) menyatakan kehadiran wanita sebagai dewan direksi memberikan pola tersendiri pada komposisi dewan dan memiliki kecenderungan memberikan hasil yang lebih sukses dibandingkan dengan komposisi dewan direksi yang homogen, selain itu wanita secara inheren dinilai lebih stabil dibandingkan pria. Wanita memakai gaya kepemimpinan kolaboratif, yang dapat memberikan keuntungan dinamis pada dewan direksi dengan peningkatan dalam intensitas mendengarkan inovasi dan keluhan dari karyawan, dukungan sosial dan penggunaan strategi win-win solution.
Dewan direksi wanita (DDW) = ada/ tidaknya anggota direksi wanita dalam dewan direksi
Penelitian Bernardi dan Threadgil (2010) yang memperlihatkan bahwa terdapat hubungan antara jumlah dewan direksi wanita terhadap tanggung jawab sosial kepada pegawai perusahaan. Jumlah dewan direksi wanita berhubungan erat dengan
tanggung
jawab
sosial
dalam
tiga
area
yakni
para
pegawai,
komunitas/lingkungan dan kontribusi/sumbangan perusahaan. Gambaran akan kehadiran dewan direksi perusahaan juga berhubungan dengan isu-isu lingkungan. Sehingga hipotesis yang akan diuji adalah:
H3 : Keberadaan dewan direksi wanita berpengaruh positif signifikan terhadap indeks pengungkapan CSR.
53
2.2.7.4 Keberadaan Dewan Direksi Warga Negara Asing dan Indeks Pengungkapan CSR Fields dan Keys (2003) dalam Sudana dan Arlindania (2011) menemukan bahwa heterogenitas individu-individu dari segi pengalaman, ide dan inovasi dapat memberikan dampak yang baik pada kinerja perusahaan. Erhardt et al., (2003) berpendapat bahwa representasi etnis dalam dewan direksi dapat meningkatkan kinerja keuangan dari bisnis tersebut. Dalam kaitannya dengan keberadaan anggota dewan direksi warga negara asing akan berdampak positif terhadap pengungkapan kegiatan CSR yang dilaksanakan perusahaan. Hal ini karena warga negara asing yang pada umumnya berasal dari negara yang telah maju dan biasanya memiliki kesadaran dan kepedulian yang tinggi terhadap kondisi lingkungan yang bersih, pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Untuk mengukur dewan direksi warga negara asing dapat dilihat dalam rumus berikut ini:
Dewan direksi warga negara asing (DDWNA) = ada/ tidaknya anggota direksi warga negara asing dalam dewan direksi
Dalam penelitian Sudana dan Arlindania (2011) menunjukkan bahwa dewan direksi warga negara asing berpengaruh positif signifikan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Menurut Sudana dan Arlindania (2011) hal ini karena warga negara asing di negara asalnya telah lama memiliki perhatian dan
54
kepedulian terhadap aktivitas CSR. Pada saat warga negara asing menjadi dewan direksi di Indonesia, kebiasaan dan sikap dewan direksi asing tersebut mempengaruhi keputusan manajemen perusahaan dalam melaksanakan kegiatan CSR dan mengungkapkannya di laporan tahunan perusahaan. Konsisten dengan penelitian Sudana dan Arlindania (2011) maka hipotesis yang akan diuji adalah: H4 : Keberadaan dewan direksi warga negara asing berpengaruh positif signifikan terhadap indeks pengungkapan CSR 2.2.7.5 Ukuran Komite Audit dan Indeks Pengungkapan CSR Ikatan Komite Audit Indonesia (IKAI) dalam Effendi (2009:25) mendefinisikan komite audit sebagai suatu komite yang bekerja secara profesional dan independen yang dibentuk oleh dewan komisaris dan dengan demikian, tugasnya adalah membantu serta memperkuat fungsi dewan komisaris (atau dewan pengawas) dalam menjalankan fungsi pengawasan (oversight) atas proses pelaporan keuangan, manajemen risiko, pelaksanaan audit dan implementasi dari corporate governance di perusahaan-perusahaan. Effendi (2009:33) menyebutkan bahwa dalam Surat edaran dari Direksi PT Bursa Efek Jakarta No. SE-008/BEJ/12-2001 Tanggal 7 Desember 2001 menyebutkan perihal keanggotaan komite audit, yaitu: a.
Komite audit sekurang-kurangnya terdiri atas 3 orang, termasuk ketua komite audit.
b.
Anggota komite audit yang berasal dari komisaris maksimum hanya 1 orang. Anggota komite audit yang berasal dari komisaris tersebut harus merupakan komisaris independen perusahaan yang tercatat sekaligus menjabat sebagai ketua komite audit.
55
c.
Anggota komite audit lainnya berasal dari pihak eksternal yang independen. Yang dimaksud dengan pihak eksternal adalah pihak di luar perusahaan tercatat yang bukan merupakan komisaris, direksi, maupun karyawan dari perusajaan tecatat tersebut. Sedangkan, yang dimaksud dengan pihak independen adalah pihak di luar perusahaan tercatat yang tidak memiliki hubungan usaha dan hubungan afiliasi dengan perusahaan tercatat tersebut maupun dengan komisaris, dieksi serta pemegang saham utamanya serta mampu memberikan pendapat profesional secara bebas sesuai dengan etika profesionalnya dengan tidak memihak kepentingan siapapun. Ukuran komite audit dapat diketahui dengan rumus sebagai berikut: Ukuran Komite Audit (UKKA) = Jumlah anggota komite audit
Waryanto (2010) mengemukakan bahwa variabel ukuran komite audit memiliki hubungan positif namun tidak signifikan. Hal ini berarti variabel ukuran komite audit tidak berpengaruh terhadap luas pengungkapan CSR. Menurut Waryanto, hasil penelitian yang telah dilakukan mendukung hasil penelitian Mohd. Nasir dan Abdullah (2004) dan Akhtarudin et. al. (2009) yang menemukan bahwa tidak terdapat pengaruh antara ukuran komite audit dengan tingkat pengungkapan sukarela. Berdasarkan penelitian tersebut maka hipotesis yang diuji adalah: H5:Ukuran komite Audit berpengaruh positif signifikan terhadap indeks pengungkapan CSR.
56
2.2.7.6 Kepemilikan Manajerial dan Indeks Pengungkapan CSR Downes dan Goodman (1999) dalam Murwaningsari (2009) kepemilikan manajerial adalah para pemegang saham yang juga berarti dalam hal ini sebagai pemilik dalam perusahaan dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan pada suatu perusahaan yang bersangkutan. Dalam teori keagenan dijelaskan bahwa kepentingan manajemen dan kepentingan pemegang saham mungkin bertentangan. Hal tersebut disebabkan manajer mengutamakan kepentingan pribadi, sebaliknya pemegang saham tidak menyukai kepentingan pribadi manajer tersebut, karena pengeluaran tersebut akan menambah biaya perusahaan yang menyebabkan penurunan keuntungan perusahaan dan penurunan deviden yang akan diterima. Mulia dan Mutmainah (2009) menyatakan bahwa dengan peningkatan kepemilikan manajerial dapat digunakan sebagai cara untuk mengatasi masalah keagenan dan juga untuk menyelaraskan kepentingan antara shareholders dan manajemen. Pengungkapan CSR merupakan salah satu cara untuk meningkatkan image perusahaan, semakin bagus image perusahaan maka harapannya adalah semakin besar laba yang diperoleh perusahaan dan return yang diperoleh manajemen sebagai pemegang saham akan semakin besar. Berikut ini adalah rumus untuk menghitung kepemilikan manajerial:
Kepemilikian Manajerial (KPM) = Presentase saham yang dimiliki oleh pihak manajemen
57
Penelitian Murwaningsari (2009), kepemilikan manajerial terbukti memiliki pengaruh positif signifikan terhadap pengungakpan CSR, sejalan dengan penelitian Murwaningsari (2009), hipotesis yang akan diteliti adalah: H6 : Kepemilikan manajerial berpengaruh positif signifikan terhadap indeks pengungkapan CSR.
2.2.7.7 Kepemilikan Institusional dan Indeks Pengungkapan CSR Institusi merupakan sebuah lembaga yang memiliki kepentingan besar terhadap investasi yang dilakukan termasuk investasi saham. Sehingga biasanya institusi menyerahkan tanggung jawab pada divisi tertentu untuk mengelola investasi perusahaan tersebut. Karena institusi memantau secara profesional perkembangan investasinya maka tingkat pengendalian terhadap tindakan manajemen sangat tinggi sehingga potensi kecurangan dapat ditekan. Menurut Pozen (1994) dalam Murwaningsari (2009) investor institusi dapat dibedakan menjadi dua yaitu investor pasif dan investor aktif. Investor pasif tidak terlalu ingin terlibat dalam pengambilan keputusan manajerial, sedangkan investor aktif ingin terlibat dalam pengambilan keputusan manajerial. Keberadaan institusi inilah yang mampu menjadi alat monitoring efektif bagi perusahaan. Berikut ini adalah rumus untuk menghitung kepemilikian institusional: Kepemilikian Institusional (KPI) = Presentase saham yang dimiliki oleh institusi
Dalam penelitian Murwaningsari (2009), kepemilikan institusional terbukti memiliki pengaruh positif signifikan terhadap pengungkapan CSR, sejalan dengan penelitian Murwaningsari (2009), hipotesis yang akan diteliti adalah:
58
H7 : Kepemilikan manajerial berpengaruh positif signifikan terhadap indeks pengungkapan CSR. 2.2.8 Kerangka Konseptual Berdasarkan kajian pustaka, penelitian terdahulu dan kajian teoritis maka pengaruh Good Corporate Governance yang akan diuji adalah dengan proxy proporsi komisaris independen, ukuran dewan komisaris, dewan direksi wanita, dewan direksi warga negara asing, ukuran komite audit, kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional. Sedangkan pengungkapan CSR diukur dengan Indeks pengungkapan CSR (CSRI). Berikut ini adalah kerangka konseptual dalam penelitian ini:
Variabel Independen Proporsi Komisaris Independen (X1)
Ukuran Dewan Komisaris (X2) Keberadaan Dewan Direksi Wanita (X3) Keberadaan Dewan Direksi Warga Negara Asing (X4)
Variabel Dependen
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
Ukuran Komite Audit (X5)
(+)
Kepemilikan Manajerial (X6)
(+)
Kepemilikan Institusional (X7)
Gambar 2.4 Kerangka Konseptual
Indeks Pengungkapan Corporate Social Responsibility atau Corporate Social Responsibility Index (CSRI)