BAB II KAJIAN TEORITIS
2.1 Hakikat Pembelajaran Matematika 2.1.1 Pengertian Pembelajaran Matematika Istilah
“matematika”
“manthenein”yang artinya
berasal
dari
“mempelajari”.
kata
Yunani
Mungkin
juga
“mathein” kata
itu
atau erat
hubungannya dengan kata Sansekerta “medha” atau “widya” yang artinya ialah “kepandaian”, “ketahuan”, atau “inteligensi” (Nasution, 1978:12). Di bagian lain beliau berpendapat istilah “matematika” lebih tepat digunakan daripada “ilmu pasti” karena memang benarlah, bahwa dengan menguasai matematika orang akan belajar mengatur jalan pikirannya dan sekaligus belajar menambah kepandaiannya (Nasution, 1987:12). Dengan demikian pembelajaran matematika adalah cara berpikir dan bernalar yang digunakan untuk memecahkan berbagai jenis persoalan dalam keseharian, sains, pemerintah, dan industri. Lambang dan bahasa dalam matematika bersifat universal sehingga dipahami oleh bangsa–bangsa di dunia. Menurut Rahayu (2007:2) hakikat pembelajaran matematika adalah proses yang sengaja dirancang dengan tujuan untuk menciptakan suasana lingkungan yang memungkinkan seseorang (si pelajar) melaksanakan kegiatan belajar matematika dan pembelajaran matematika harus memberikan peluang kepada siswa untuk berusaha dan mencari pengalaman tentang matematika.
Istilah pembelajaran merupakan istilah lain dari proses belajar mengajar yang mempunyai arti dan ruang lingkup yang lebih mendalam. Istilah ini lebih dikhususkan untuk mengembangkan proses belajar mengajar. Untuk memudahkan dalam memahami apa yang dimaksud dengan pembelajaran, di bawah ini akan penulis kemukakan pengertian pembelajaran menurut ahli. Pembelajaran menurut Degeng (dalam Panawar, 2012:22) adalah upaya untuk membelajarkan siswa. Dalam pengertian ini, secara implisit dalam pembelajaran terdapat kegiatan memilih, menetapkan, mengembangkan metode untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan. Kegiatan-kegiatan ini pada dasarnya merupakan inti dari perencanaan pembelajaran. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu kegiatan yang melibatkan guru, siswa dan komponen lainnya dalam proses pembelajaran yang saling mempengaruhi satu sama lain dalam rangka tercapainya tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Dengan adanya komponenkomponen pembelajaran di atas, maka seorang guru kiranya mampu memungkinkan terciptanya situasi yang tepat, sehingga memungkinkan pula terjadinya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Kata matematika berasal dari perkataan Latin mathematika yang mulanya diambil dari perkataan Yunani mathematike yang berarti mempelajari. Perkataan itu mempunyai asal katanya mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science). Kata mathematike berhubungan pula dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu mathein atau mathenein yang artinya belajar (berpikir).
Jadi, berdasarkan asal katanya, maka perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang didapat dengan berpikir (bernalar). Matematika lebih menekankan kegiatan dalam dunia rasio (penalaran), bukan menekankan dari hasil eksperimen atau hasil observasi matematika terbentuk karena pikiran-pikiran manusia, yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran (Russeffendi, 1980:148). Matematika terbentuk dari pengalaman manusia dalam dunianya secara empiris. Kemudian pengalaman itu diproses di dalam dunia rasio, diolah secara analisis dengan penalaran di dalam struktur kognitif sehingga sampai terbentuk konsep-konsep matematika supaya konsep-konsep matematika yang terbentuk itu mudah dipahami oleh orang lain dan dapat dimanipulasi secara tepat, maka digunakan bahasa matematika atau notasi matematika yang bernilai global (universal). Konsep matematika didapat karena proses berpikir, karena itu logika adalah dasar terbentuknya matematika. Katili (dalam Panawar, 2012:21) matematika adalah ilmu pengetahuan yang paling padat dan tidak mendua arti, karena itulah simbol, notasi dan semacamnya yang padat matematika lama membingungkan, tidak jelas, keliru atau mendua arti, dalam matematika modern hal itu diperjelas, misalnya saja, beda antara bilangan dan lambangnya, beda antara sisi yang sama dengan sisi ekivalen, beda antara garis dan ruas garis, beda antara bentuk geometri dengan bendanya, beda antara notasi garis dengan notasi ruas garis, beda antara konsep dan peragaannya dan lain-lain.
2.1.2
Tujuan Pembelajaran Matematika Matematika merupakan ide-ide abstrak yang diberi simbol-simbol, maka
konsep matematika harus dipahami terlebih dahulu sebelum memanipulasi simbol-simbol itu. Seseorang akan lebih mudah mempelajari matematika apabila telah didasari pada apa yang telah dipelajari orang itu sebelumnya. Karena untuk mempelajari suatu materi matematika yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang itu akan mempengaruhi terjadinya proses belajar matematika tersebut. Dalam dokumen Standar Kompetensi mata pelajaran matematika untuk satuan SD dan MI pada kurikulum 2006 menyatakan tujuan pembelajaran matematika adalah: 1. Memahami konsep bilangan bulat dan pecahan, operasi hitung dan sifatsifatnya, serta menggunakan dalam pemecahan masalah kehidupan seharihari. 2. Memahami bangun datar dan bangun ruang sederhana, unsur-unsur dan sifatsifatnya, serta menerapkannya dalam pemecahan masalah kehidupan seharihari. 3. Memahami konsep ukuran dan pengukuran berat, panjang, luas, volume, sudut, waktu, kecepatan, debit, serta mengaplikasikan dalam pemecahan masalah sehari-hari. 4. Memahami
konsep
koordinat
untuk
menentukan
menggunakannya dalam pemecahan masalah sehari-hari.
letak
benda
dan
5. Memahami konsep pengumpulan data, penyajian data dengan tabel, gambar dan grafik (diagram), mengurutkan data, rentangan data, rerata hitung, modus, serta menerapkannya dalam pemecahan masalah sehari-hari. 6. Memiliki sikap menghargai matematika dan kegunaannya dalam kehidupan. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran matematika terletak pada penataan nalar, pemecahan masalah, pembentukan sikap, dan keterampilan dalam penerapan matematika. 2.1.3
Manfaat Pembelajaran Matematika Dalam
http://dikdankes.blogspot.com/2011/10/penerapan-pendekatan-
kontekstual-dalam.html.
Manfaat
pembelajaran
matematika
untuk
mengembangkan kemampuan bernalar melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, dan eksperimen, sebagai alat pemecahan masalah melalui pola pikir dan model matematika serta sebagai alat komunikasi melalui simbol, tabel, grafik, diagram, dalam menjelaskan gagasan (Wahyudi, 2008: 3). Menurut Jihad (2008: 153) mengemukakan bahwa manfaat pembelajaran matematika sebagai wahana untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bilangan dan mengembangkan ketajaman penalaran yang dapat memperjelas dan menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa manfaat pembelajaran matematika sebagai wahana untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bilangan dan untuk mengembangkan kemampuan bernalar melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, dan eksperimen, sebagai alat
pemecahan masalah melalui pola pikir dan model matematika serta sebagai alat komunikasi melalui simbol, tabel, grafik, diagram, dalam menjelaskan gagasan. 2.2 Pendekatan Kontekstual 2.2.1 Pengertian Pendekatan Kontekstual Pembelajaran kontekstual sebagai terjemahan Contextual Teaching and Learning (CTL) memiliki dua peranan dalam pendidikan yaitu sebagai filosofi pendidikan dan sebagai rangkaian kesatuan dari strategi pendidikan. Sebagai filosofi pendidikan, CTL mengasumsikan bahwa peranan pendidik adalah membantu siswa menemukan makna dalam pendidikan dengan cara membuat hubungan antara apa yang mereka peroleh di dunia nyata dengan yang mereka pelajari di sekolah untuk kemudian menerapkan pengetahuan tersebut di dunia nyata. Dengan demikian, inti pembelajaran kontekstual adalah melibatkan situasi dunia nyata sebagai sumber mupun terapan materi pelajaran. Pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka anggota keluarga dan masyarakat. Pembelajaran kontekstual merupakan prosedur pendidikan yang bertujuan membantu siswa memahami makna bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sendiri dalam lingkungan sosial dan budaya masyarakat.
2.2.2 Prinsip-prinsip Pendekatan Kontekstual Menerapkan CTL dalam suatu pembelajaran pada prinsipnya sama saja dengan menciptakan suatu pembelajaran yang menantang daya cipta siswa untuk menemukan informasi baru dalam pembelajaran. Di dalam Depdiknas (dalam Nyimas, 2007:6-12) disebutkan bahwa ada tujuh prinsip pembelajaran CTL, yaitu: 1. Konstruktivisme (Constructivism) Siswa membangun pemahaman oleh diri sendiri dari pengalamanpengalaman baru berdasarkan pengalaman awal. Pengalaman awal selalu merupakan dasar/tumpuan yang digabung dengan pengalaman baru untuk mendapatkan pengalaman baru. Pemahaman yang mendalam dikembangkan melalui pengalaman yang bermakna. 2. Penemuan (Inquiry) Kegiatan pembelajaran dilakukan dengan induktif, diawali dengan pengamatan dalam rangka memahami suatu konsep. Dalam praktik, pembelajaran melewati siklus kegiatan mengamati, bertanya, menganalisis, dan merumuskan teori, baik secara individual maupun secara bersama-sama dengan temannya. Penemuan juga merupakan aktivitas untuk mengembangkan dan sekaligus menggunakan keterampilan berpikir kritis siswa. 3. Bertanya (Questioning) Merupakan
komponen
penting
dalam
pembelajaran
kontekstual.
Pertanyaan merupakan alat pembelajaran bagi guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Pertanyaan juga digunakan oleh siswa selama melaksanakan kegiatan yang berbasis penemuan.
4. Masyarakat Belajar (Learning Community) Proses pembelajaran berlangsung dalam situasi sesama siswa saling berbicara dan menyimak, berbagi pengalaman dengan orang lain. Bekerja sama dengan orang lain untuk menciptakan pambelajaran siswa aktif lebih baik jika dibadingkan dengan belajar sendiri yang mendidik siswa untuk menjadi individu yang egoistis. 5. Pemodelan (Modeling) Aktivitas guru di kelas memiliki efek model bagi siswa. Jika guru mengajar dengan berbagai variasi metode dan teknik pembelajaran secara tidak langsung, siswa pun akan meniru metode atau teknik yang dilakukan guru tersebut. Kondisi semacam ini akan banyak memberikan manfaat bagi guru untuk mengarahkan
siswa
melakukan
sesuatu
yang
diinginkannya
melalui
pendemonstrasian cara yang diinginkan tersebut. 6. Refleksi (Reflection) Salah satu pembeda pendekatan kontekstual dengan pendekatan tradisonal adalah cara-cara berpikir tentang seuatu yang telah dipelajari oleh siswa. Dalam proses berpikir itu, siswa dapat merefisi dan merespon kejadian, aktivitas, dan pengalaman mereka. 7. Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assestment) Penilaian autentik ini bersifat mengukur produk pembelajaran yang bervariasi, yaitu pengetahuan dan keterampilan serta sikap siswa. Penilaian ini juga tidak hanya melihat produk akhir, tapi juga prosesnya. Instruksi dan pertanyaan-pertanyaannya disusun yang kontekstual dan relevan.
Johnson (dalam Rusman, 2012:187-200) mengatakan pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk YHJ menyusun pola-pola yang mewujudkan makna. Lebih lanjut, Johnson mengatakan bahwa pembelajaran kontekstual adalah suatu sistem pembelajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa. Jadi, pembelajaran kontekstual adalah usaha untuk membuat siswa aktif dalam memompa kemampuan diri tanpa merugi dari segi manfaat, sebab siswa berusaha mempelajari konsep sekaligus menerapkan dan mengaitkannya dengan dunia nyata. Sejauh ini, pembelajaran masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai fakta untuk dihafal. Pembelajaran tidak hanya difokuskan pada pemberian pembekalan kemampuan pengetahuan yang bersifat teoretis saja, akan tetapi bagaimana agar pengalaman belajar yang dimiliki siswa itu senantiasa terkait dengan permasalahan-permasalahan aktual yang terjadi di lingkungannya. Dengan demikian, inti dari pendekatan CTL adalah keterkaitan setiap materi atau topik pembelajaran dengan kehidupan nyata. Untuk mengaitkannya bisa dilakukan berbagai cara, selain karena memang materi yang dipelajari secara langsung terkait dengan kondisi faktual, juga bisa disiasati dengan pemberian ilustrasi atau contoh, sumber belajar, media dan lain sebagainya, yang memang baik secara langsung maupun tidak diupayakan terkait atau ada hubungan dengan pengalaman hidup nyata. Prinsip pembelajaran kontekstual adalah saling ketergantungan. Prinsip saling ketergantungaan merumuskan bahwa kehidupan ini merupakan suatu
sistem. Lingkungan belajar merupakan sistem yang mengintegrasikan berbagai komponen pembelajaran dan komponen tersebut saling memengaruhi secara fungsional. Berdasarkan prinsip itu dalam belajar memungkinkan siswa membuat hubungan bermakna. Siswa mengidentifikasi hubungan yang menghasilkan pemahaman-pemahaman baru. Siswa dapat menargetkan pencapaiaan standar akademik yang tinggi. Berdasarkan prinsip itu pula siswa harus bekerja sama menemukan persoalan, merangcang rencana, dan mencari pemecahan masalah. Prinsip
pembelajaran
kontekstual
selanjutnya
adalah
diferensiasi.
Diferensiasi merujuk pada entitas-entitas yang beraneka ragam dari realitas kehidupan di sekitar siswa. Keanekaragaman mendorong berpikir kritis siswa untuk menemukan hubungan di antara entitas-entitas yang beraneka ragam itu. Pembelajaran kontekstual memusatkan pada bagaimana siswa mengerti makna dari apa yang mereka pelajari, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, bagaimana mencapainya dan bagaimana mereka mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari. Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran autentik (real world learning,
bukan
artifisal).
Pembelajaran
autentik
dimaksudkan
sebagai
pembelajaran yang mengutamakan pengalaman nyata, pengetahuan bermakna dalam kehidupan, dekat dengan kehidupan nyata. Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran distribusi. Dalam pembelajaran ini pengetahuan dipandang sebagai pendistribusian dan penyebaran individu, orang lain, dan berbagai benda seperti alat-alat simbolis, bukan semata-mata sebagai suatu kekayaan individual.
Pembelajaran seperti ini memandang bahwa siswa merupakan bagian terintegritasi dari proses belajar harus berbagi pengetahuan dan tugas-tugas. Blancard, (dalam Suprijono, 2012:83) membandingkan pola pembelajaran tradisional dan kontekstual sebagai berikut: PENGAJARAN TRADISIONAL
PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL Menyandarkan pada memori spasial
Menyandarkan pada hafalan Berfokus pada satu bidang (disiplin)
Mengintegrasikan berbagai (disiplin) atau multidisiplin.
bidang
Nilai informasi bergantung pada guru Memberikan informasi kepada siswa sampai pada saatnya dibutuhkan
Nilai informasi berdasarkan kebutuhan siswa. Menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa
Penilaian hanya untuk akademik Penilaian autentikmelalui penerapan formal berupa ujian praktis pemecahan problem nyata
2.2.3 Strategi Pendekatan Kontekstual Strategi pembelajaran merupakan kegiatan yang dipilih yang dapat memberikan fasilitas atau bantuan kepada siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Strategi berupa urut-urutan kegiatan yang dipilih untuk menyampaikan metode pembelajaran dalam lingkungan tertentu. Strategi pembelajaran mencakup juga pengaturan materi pembelajaran yang akan disampaikaan kepada siswa. Berdasarkan
pendapat
Suprijono,
(2012:83)
pembelajaran kontekstual digambarkan sebagai berikut:
penerapan
strategi
1. Relating, belajar dikaitkan dengan konteks pengalaman kehidupan nyata. Konteks merupakan kerangka kerja yang dirancang guru untuk membantu siswa agar yang dipelajari bermakna. 2. Experiencing, belajar adalah kegiatan “mengalami”, siswa berproses secara aktif dengan hal yang dipelajari dan berupaya melakukan eksplorasi terhadap dan hal yang dikaji, berusaha menemukan dan menciptakan hal baru dari apa yang dipelajarinya. 3. Applying, belajar menekankan pada proses mendemonstrasikan pengetahuan yang dimiliki dalam konteks dan pemanfaatannya. 4. Cooperating, belajar merupakan proses kolaboratif dan kooperatif melalui belajar berkelompok, komunikasi interpersonal atau hubungan intersubjektif. 5. Transferring,
belajar
menekankan
pada
terwujudnya
kemampuan
memanfaatkan pengetahuan dalam situasi atau konteks baru. Menurut Zahorik (dalam Suprijono, 2012:84) urut-urutan pembelajaran kontekstual adalah activating knowledge, acquiring knowledge, understanding knowledge, applying knowledge, dan reflecting knowledge. Pembelajaran kontekstual sebenarnya bukanlah ide baru. Pembelajaran tersebut berakar dari filosofi yang dikembangkan oleh John Dewey (dalam Nyimas, 2007:6-10) yang mengemukakan bahwa siswa akan belajar dengan baik, ketika apa yang dipelajarinya dikaitkan dengan apa yang mereka ketahui dan ketika mereka secara aktif belajar sendiri. Siswono (dalam Nyimas, 2007:6-11) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran kontekstual, terdapat beberapa ciri, yaitu:
a. Pembelajaran aktif: siswa diaktifkan untuk mengkonstruksi pengetahuan dan memecahkan masalah. b. Multi konteks: pembelajaran dalam konteks yang ganda akan memberikan siswa pengalaman yang dapat digunakan untuk mempelajari dan mengidentifikasi ataupun memecahkan masalah dalam konteks yang baru (terjadi transfer). c. Kerjasama dan diskursus: siswa belajar dari orang lain melalui kerjasama, diskursus (penjelasan-penjelasan) kerja tim dan mandiri (self reflection). d. Berhubungan dengan dunia nyata: pembelajaran yang menghubungkan dengan isu-isu kehidupan nyata melalui kegiatan pengalaman di luar kelas dan simulasi. e. Pengetahuan prasyarat: pengalaman awal siswa dan situasi pengetahuan yang didapat mereka akan berarti atau bernilai dan nampak sebagai dasar dalam pembelajaran. f. Pemecahan masalah: berfikir tingkat tinggi yang diperlukan dalam memecahkan masalah nyata harus ditekankan pada kebermaknaan memorasi dan pengulangan-pengulangan. g. Mengarahkan sendiri (self-direction): siswa ditantang dan dimungkinkan untuk membuat pilihan-pilihan, mengembangkan alternatif-alternatif, dan diarahkan sendiri. Dengan demikian mereka bertanggung jawab sendiri dalam belajarnya. Siswono (dalam Nyimas, 2007:6-11) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran kontekstual terdapat empat elemen kunci, yaitu:
a. Belajar bermakna Pemahaman, relevansi pribadi, dan penilaian seorang siswa yang melekat pada isi yang dipelajari. Tanpa menekankan pada penemuan makna bagi siswa, banyak siswa yang akan menjauhi belajar, karena mereka melihat bahwa itu tidak sesuai dengan kehidupannya. b. Penerapan pengetahuan Penerapan pengetahuan merupakan strategi yang sangat umum digunakan dalam CTL dalam rangka untuk membantu siswa menemukan makna dalam belajarnya. Siswa jarang sekali yang tertarik pada pembelajaran yang abstrak dan tidak berhubungan dengan dunia nyata. c. Berpikir tingkat tnggi Penggunaan berpikir tingkat tinggi akan membantu mengembangkan pikiran dan keterampilan siswa serta memberikan pemahaman yang mendalam tentang apa yang dipelajarinya. Tanpa ini, siswa mungkin mudah lupa apa yang sudah dipelajarinya. d. Kurikulum yang berkaitan dengan standar Kurikulum yang didasarkan pada standar-standar akan memberikan landasan kuat terhadap materi-materi yang dipelajari dalam kelas-kelas khusus dan pada berbagai tingkat pendidikan. Selain itu juga, akan memberikan kerangka kerja yang lebih mantap dan jelas dalam mengajarkan materi lintas kelas, bila dibandingkan dengan pendapat pribadi atau pengalaman-pengalaman guru saja.
2.2.4 Langkah-langkah Pendekatan Kontekstual Dalam http://idaaddict.wordpress.com/2013/01/22/penerapan-pendekatankontekstualctl-pada-materi-. Secara sederhana proses pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran CTL dapat divisualisasikan sebagai berikut: 1. Guru menyampaikan tujuan, pokok-pokok materi pelajaran dan melakukan apersepsi. 2. Guru menyampaikan permasalahan yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajari. 3. Guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil dengan kemampuan merata. 4. Siswa bekerja dalam kelompok untuk mendiskusikan permasalahan dan materi yang sedang dipelajari. 5. Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil yang diperoleh selama diskusi. 6. Guru membuat pemodelan. 7. Guru dan siswa mengadakan refleksi terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. 8. Guru memberikan penguatan, tes atau kesimpulan kepada siswa. 2.3 Penerapan Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika Dalam http://idaaddict.wordpress.com/2013/01/22/penerapan-pendekatankontekstualctl-. Pendekatan Kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Penerapan
Pendekatan Kontekstual dalam pembelajaran matematika cukup mudah. Secara garis besar langkah penerapannya sebagai berikut ini. 1. Mengembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar matematika lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. 2. Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik pembelajaran matematika. 3. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya tentang pelajaran metematika. 4. Menciptakan masyarakat belajar matematika. 5. Menghadirkan pendekatan kontekstual sebagai sarana memudahkan proses pembelajaran matematika. 6. Melakukan refleksi diakhir pertemuan. 7. Melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara. 2.4 Kajian Penelitian Yang Relevan Beberapa hasil yang relevan dengan penelitian ini antara lain sebagai berikut : Nor Jannah dalam tugas berstrukturnya pada tahun 2009 di Banjarmasin dengan judul “Pendekatan Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL)”. Menyimpulkan bahwa belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetensi mengingat.
file:///f:/download%20baru/mi%27az%20art%20%20pendekatan%20pembelajara n%20contextual%20teaching%20and%20learning%20%28ctl%29.htm Kurnia dalam tesisnya pada tahun 2012 yang berjudul “Penggunaan Pendekatan Kontekstual (CTL) dalam Pembelajaran Matematika di SD”. Menyimpulkan bahwa Penggunaan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika akan membantu siswa dan guru mencapai tujuan pembelajaran secara maksimal. file:///F:/Download%20Baru/Kurnia%20blog%20%20Penggunaan%20Pen dekatan%20Kontekstual%20%28%20CTL%20%29%20dalam%20Pembelajaran %20Matematika%20di%20SD.htm Narohita dalam penelitiannya pada tahun 2010 yang berjudul “Pengaruh Penerapan Pendekatan Kontekstual Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Pada Siswa Sekolah Menengah Pertama”. Menyimpulkan bahwa Pertama, penerapan pendekatan kontekstual berpengaruh positif terhadap kemampuan pemecahan masalah (F = 5,81, p < 0,05). Kedua, penerapan pendekatan
kontekstual
tetap
berpengaruh
positif
terhadap
kemampuan
pemecahan masalah setelah diadakan pengendalian terhadap penalaran formal siswa (F = 6,82, p < 0,05). Hal ini ditunjukkan dengan nilai F sebesar 5,81 yang ternyata signifikan. Selanjutnya terbukti bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pembelajaran kontekstual dengan skor rata–rata 51,24 lebih tinggi dari pada kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional dengan skor rata-rata 43,66.