BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hakikat Matematika SD Istilah matematika berasal dari bahasa Yunani, Mathein atau Manthenien yang artinya mempelajari. Kata matematika erat kaitannya dengan kata sangsekerta, medha atau widya yang berarti kepandaian, ketahuan dan intelegensia. Sri Subarinah (dalam Wahyudi dan Inawati Budiono, 2012:3). Ali Hamzah dan Muhlisrarini (2014:47-48) mengemukakan beberapa definisi tentang matematika yaitu: 1. Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan terorganisasi 2. Matematika adalah ilmu tentang pengukuran letak 3. Matematika adalah ilmu tentang suatu bilangan 4. Matematika berkenaan dengan ide, struktur, dan hubungannya yang diatur dalam urutan yang logis 5. Matematika adalah ilmu deduktif yang didasarkan pada pembuktian secara deduktif 6. Matematika adalah ilmu yang terorganisasi mulai dari unsur yang tidak didefinisikan ke unsur yang didefinisikan 7. Matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan besaran, dan konsep-konsep yang jumlahnya banyak dan terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri. Berdasarkan definisi yang telah dipaparkan diatas, penulis menyimpulkan bahwa matematika merupakan ilmu pengetahuan yang disusun secara deduktif dengan konsep yang abstrak dan melatih seseorang untuk menggunakan logika sebagai dasar pemikiran. Secara umum tujuan belajar matematika pada jenjang sekolah dasar adalah peserta didik mampu dan terampil dalam menggunakan matematika. Ahmad Susanto (2013:189-190) berpendapat bahwa kemampuan umum yang dimiliki dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar antara lain yaitu: a. Melakukan operasi hitung beserta operasi campurannya termasuk yang melibatkan pecahan. b. Menentukan sifat dan unsur macam-macam bangun ruang maupun bangun datar
6
7
c. Menentukan sifat simetri, kesebangunan, dan sistem koordinat. d. Menggunakan pengukuran (satuan maupun penaksiran) e. Menentukan dan menafsirkan data sederhana (mencari rata-rata, nilai tengah, nilai tertinggi, nilai terendah, modus) serta menyajikannya. f. Melakukan penalaran, memecahkan masalah dan mengkomunikasikan gagasan atas pemecahan masalah tersebut secara matematika. Secara khusus, tujuan pembelajaran matematika di sekolah dasar adalah sebagai berikut: a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep, dan mengaplikasikan konsep atau algoritme. b. Menggunakan penalaran sebagai dasar untuk menentukan pola dan sifat, melakukan manipulasi, dan menjelaskan gagasan dalam pernyataan matematika. c. Memahami
masalah,
memecahkan
masalah,
merancang
model
matematika, dan menafsirkan solusi yang didapat. d. Mengkomunikasikan gagasan menggunkaan diagram, tabel dan lain sebagainya untuk menjelaskna masalah. e. Memiliki dan menunjukkan sikap menghargai penggunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Adapun tujuan pembelajaran matematika yang telah dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran matematika seorang guru seharusnya dapat menciptakan kondisi dan situasi pembelajaran yang memungkinkan siswa aktif dalam mengikuti kegiatan pembelajaran agar siswa bisa membentuk, menemukan, dan mengembangkan pengetahuannya sendiri. Seorang guru sebaiknya memandang dan memposisikan matematika sebagai alat dalam kehidupan bukan hanya dipandang sebagai objek dalam pembelajaran. 2.1.2 Model Pembelajaran Matematika Realistik 2.1.2.1 Model Pembelajaran Mills (dalam Agus Suprijono, 2013:45) mengemukakan bahwa “model adalah bentuk representasi akurat sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu”.
8
Model merupakan suatu pola yang digunakan sebagai landasan dalam membuat rancangan pembelajaran di kelas yang mencakup tujuan pembelajaran, tahaptahap pembelajaran maupun dalam pengelolaan kelas. 2.1.2.2 Model Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) merupakan pendekatan pembelajaran matematika yang dikembangkan sejak tahun 1971 oleh sekelompok ahli matematika dari Freudenthal Institute, Utrecht University di Negeri Belanda. Pendekatan ini didasarkan pada anggapan Hans Freudenthal (1905-1990) bahwa “matematika merupakan suatu bentuk aktivitas manusia". Menurut pendekatan ini, kelas matematika bukan tempat mentransfer matematika dari guru kepada siswa, melainkan tempat bagi siswa untuk menemukan kembali ide atau gagasan matematika melalui masalah nyata yang mereka alami dalam kehiupan seharihari. Menurut Feudenthal (dalam ariyadi wijaya, 2012:20) kebermaknaan konsep matematika merupakan konsep utama dari Pembelajaran Matematika Realistik. Proses belajar siswa hanya akan terjadi apabila pengetahuan (knowledge) yang dipelajari bermakna bagi siswa. Suatu pengetahuan akan menjadi bermakna bagi siswa jika proses pembelajaran dilaksanakan dalam suatu pembelajaran yang menggunakan permasalahan realistik. Suatu masalah realistik tidak harus selalu berupa masalah yang ada di dunia nyata (real-world problem) dan bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari siswa. Duatu masalah disebut masalah realistic bila masalah tersebut dapat dibayangkan oleh siswa (imaginable) atau nyata (real) dalam pikiran siswa. Ahmad Susanto (2013:205) menyatakan bahwa PMR merupakan salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang orientasinya lebih ditekankan pada siswa. Prinsip utama PMR adalah siswa berpartisipasi secara aktif dalam mengikuti proses pembelajaran yang berlangsung dan siswa diberi kesempatan untuk membangun pengetahuan dan pemahaman mereka sendiri. Menurut Suherman (dalam ahmad Susanto, 2013:206) prinsip-prinsip yang dianut dalam pembelajaran matematika yang menggunakan model PMR adalah sebagai berikut: a. Pembelajaran didominasi oleh masalah-masalah dalam suatu konteks
9
b. Lebih ditekankan pada pengembangan model-model, situasi, skema, dan simbol-simbol. c. Pendapat dari para siswa sehingga pembelajaran menjadi produktif d. Interaktif e. Membuat keterkaitan antartopik atau antarpokok bahasan Daryanto (2012:150) mengemukakan bahwa Pembelajaran Matematika Realistik adalah suatu gabungan dari pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana cara siswa belajar matematika dan bagaimana cara membelajarkan matematika itu kepada siswa. Menurut Freudenthal siswa tidak boleh menjadi siswa pasif dan menerima matematika yang sudah jadi, tetapi siswa diarahkan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri, banyak soal yang bisa diangkat dari berbagai situasi untuk dijadikan sebagai sumber belajar. Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa PMR adalah pembelajaran yang menggunakan masalah atau konsep yang mudah dibayangkan dan siswa dapat membangun pengetahuannya sendiri tentang konsep matematika yang telah mereka pelajari. Suryanto (2010:41-43) menyatakan ada beberapa prinsip yang merupakan dasar teoritis PMR adalah sebagai berikut: a. Guided reinvention dan Progresive mathematization Prinsip Guided Re-Invention adalah menekankan pada “penemuan kembali” secara terbimbing. Melalui masalah kontekstual yang realistik (dapat dibayangkan atau dipahami oleh siswa), yang mendukung topic-topik matematis tertentu yang disajikan, siswa diberi kesempatan untuk membangun dan menemukan kembali ide-ide dan konsep-konsep matematis. Setiap siswa diberi kesempatan untuk merasakan situasi dan mengalami masalah kontektual yang memiliki berbagai kemungkinan solusi. Progrresive matematization yaitu menekankan “ matematisasi” atau “pematematikaan”. Yang dapatdiartikan sebagai “upaya yang mengarah ke pemikiran matematis”. Dikatakan progresif karena terdiri atas dua langkah yang berurutan, yaitu (i) matematisasi horizontal (berawal dari masalah kontekstual yang diberikan dan berakhir pada matematika formal), dan kemudian (ii) matematisasi vertikal (dari matematika formal ke matematika formal yang lebih luas, atau lebih tinggi, atau lebuh rumit). b. Didactical Phenomenology Prinsip ini menekankan fenomena pembelajaran yang bersifat mendidik dan menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topic-topik matematika kepada siswa. Masalah kontekstual dipilih dengan mempertimbangkan (1) aspek kecocokan aplikasi yang harus diantisipasi dalam pembelajaran dan (2) kecocokan engan proses reinvention, yang berarti
10
bahwa konsep, aturan, cara, atau sifat, termasuk model matematis, tidak disediakan atau diberitahukan oleh guru, tetapi siswa perlu berusaha sendiri untuk menemukan atau membangun sendiri dengan berpangkal pada masalah kontekstual yang diberikan oleh guru. c. Self-developed model Prinsip ketiga ini menunjukkan adanya fungsi “jembatan” yang berupa model. Karena berpangkal dari masalah kontekstual dan akan menuju ke matematika formal, serta ada kebebasan pada siswa, maka tidak mustahil siswa akan mengembangkan model sendiri. Model itu mungkin masih sederhana dan masih mirip dengan masalah kontekstualnya.
Treffes (dalam Wijaya, 2012:21-22) merumuskan lima karakteristik PMR yaitu: a. Penggunaan konteks Konteks atau permasalahan realistik digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Konteks tidak selalu berupa masalah dunia nyata namun bisa dalam bentuk permainan, penggunaan alat peraga, atau situasi lain sebelum hal tersebut bisa dibayangkan oleh siswa. Melalui penggunaan konteks, siswa terlibat secara aktif dalam mengeksplorasi permasalahan. Hasil eksplorasi siswa adalah siswa diarahkan untuk dapat mengembangkan dan menggunakan berbagai strategi dalam memecahkan dan menyelesaikan masalah, bukan hanya bertujuan agar siswa dapat menemukan jawaban akhir dari suatu permasalahan yang diberikan. Manfaat lain digunakannya konteks di awal pembelajaran adalah untuk meningkatkan ketertarikan siswa dan memotivasi
mereka
dalam
mengikuti
kegiatan
pembelajaran.
Pembelajaran yang langsung diawali dengan penggunaan matematika formal akan mengakibatkan siswa memiliki kecemasan matematika (mathematics anxiety). b. Penggunaan model untuk mengkonstruksi konsep Model digunakan dalam melakukan pembangunan suatu konsep matematika dari suatu peristiwa secara progresif. Penggunaan model berfungsi sebagai suatu jembatan (bridge) dari pengetahuan dan dari matematika tingkat konkret menuju matematika tingkat formal. Hal yang harus dipahami dari kata “model” adalah bahwa “model”
11
bukanlah alat peraga melainkan suatu alat “vertikal” dalam matematika yang tidak bisa dipisahkan dari proses matematisasi (matematisai horizontal dan matematisasi vertikal). c. Pemanfaatan hasil konstruksi siswa Mengacu pada pendapat Freudhental bahwa siswa ditempatkan sebagai suatu subjek belajar maka matematika diberikan sebagai suatu konsep yang dibangun sendiri oleh sisswa melalui pengalaman belajar mereka. Matematika tidak diberikan sebagai suatu produk yang siap dipakai
oleh
siswa.
Maka
siswa
diberi
kesempatan
untuk
mengembangkan suatu strategi pemecahan masalah sehingga akan diperoleh strategi yang bervariasi. Hasil dari konstruksi siswa akan digunakan sebagai landasan dalam mengembangan suatu konsep matematika. Karakteristik ini tidak hanya membantu siswa dalam memahami konsep matematika, tetapi juga dapat meningkatkan aktivitas dan mengembangkan kreativitas siswa. d. Interaktivitas Proses belajar siswa akan lebih jelas dan bermakna ketika siswa saling mengkomunikasikan hasil gagasan mereka. Manfaat interaksi dalam pembelajaran matematika adalah untuk mengembangkan kemampuan kognitif dan afektif siswa. Implikasi dari kata “pendidikan” adalah bahwa proses yang berlangsung tidak hanya mengajarkan aspek kognitif saja, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai yang dapat mengembangkan potensi afektif siswa secara alamiah. e. Keterkaitan Konsep-konsep dalam matematika tidak bersifat parsial, maka konsep-konsep yang dikenalkan kepada siswa tidak diberikan secara terpisah. Penidikan Matematika Realistik menempatkan keterkaitan antar konsep matematika sebagai hal yang harus dipertimbangkan dalam proses pembelajaran. Melalui keterkaitan ini pembelajaran matematika diharapkan dapat membangun lebih dari satu konsep matematika secara bersamaan.
12
Suryanto dkk (2010:50-51) menyatakan bahwa secara umum langkahlangkah model PMR ada 8 langkah yaitu siswa diberi masalah kontekstual atau soal cerita, guru memberikan penjelasan pada siswa yang belum memahami masalah yang diberikan, siswa secara kelompok atau individu mengerjaka soal atau memecahkan masalah kontekstual yang diberikan, gurur memberikan petunjuk dan membimbing seperlunya pada siswa bila dalam waktu yang ditentukan belum ada siswa yang dapat menemukan pemecahan masalah, setelah waktu pengerjaan habis siswa dalam perwakilan kelompok menyampaikan hasil pemikirannya bersama kelompok, siswa dari kelompok lain memberikan tanggapan tentang berbagai penyelesain yang disajikan temannya, guru mengarahkan dan membimbing siswa untuk membuat kesepakatan tentang pemecahan masalah mana yang paling tepat dan guru memberikan penekanan pada penyelesaian yang paling benar. Dalam penelitian ini penerapan atau pelaksanaanya dipersingkat atau disederhanakan tanpa mengganggu hal-hal penting yang harus atau diharapkan terjadi dalam proses pembelajaran. Adapun langkah-langkah dalam pembelajaran matematika realistik yang telah disederhanakan adalah sebagai berikut:
13
Tabel 2.1 Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) Memahami masalah/soal kontekstual Guru
memberikan
masalah/persoalan
kontekstual pada siswa dan menjelaskan masalah kontekstual apabila ada siswa yang Langkah Pertama
belum paham. Jika semua siswa sudah paham maka guru menjelaskan situasi dan kondisi soal dengan memberikan petunjuk seperlunya terhadap
bagian
tertentu
yang
belum
dipahami siswa. Menyelesaikan masalah kontekstual siswa secara kelompok atau individu Guru memberikan waktu kepada siswa untuk Langkah Kedua
mengerjakan soal atau memecahkan masalah dengan cara mereka sendiri dan memberikan bimbingan atau petunjuk seperlunya dengan mengajukan pertanyaan yang menantang. Membandingkan
dan
mendiskusikan
jawaban Guru memfasilitasi diskusi dan memberikan Langkah Ketiga
waktu pada siswa
untuk membandingkan
dan mendiskusikan jawaban dari soal secara kelompok, dan selanjutnya dengan diskusi kelas. Menyimpulkan hasil diskusi Guru mengarahkan siswa untuk membuat Langkah Keempat
kesepakatan kelas atau dengan kata lain menarik kesimpulan dari suatu konsep, kemudian guru memberikan penekanan pada kesimpulan yang telah disepakati bersama.
14
Dalam pembelajaran yang menggunakan model PMR juga memiliki suatu keunggulan dan kelemahan, adapun gambaran tentang kelemahan tersebut
keunggulan dan
menurut Asmin (2006:20) disajikan seperti pada tabel
dibawah ini. Tabel 2.2 Keunggulan dan kelemahan model PMR Keunggulan 1. Karena
siswa
Kelemahan membangun
1. Karena
pengetahuannya sendiri maka siswa
menerima
tidak
terlebih
mudah
lupa
dengan
pengetahuannya
sudah
informasi dahulu
kesulitan
dalam
menyenangkan karena menggunakan
menemukan
konteks yang berhubungan dengan
secara mandiri
mudah
sehingga bosan
siswa
dalam
2. Membutuhkan waktu yang
belajar
lama terutama bagi siswa yang
3. Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban yang diungkapkannya ada nilainya
3. Siswa
5. Melatih
temannya
karena
harus menjelaskan hasil diskusi atau gagasannya
pandai
menunggu yang
belum
selesai mengerjakan 4. Membutuhkan alat peraga
6. Melatih siswa untuk terbiasa berpikir mengemukakan
yang
kadang-kadang tidak sabar untuk
siswa
kemampuan
berpikirnya masih kurang
4. Memupuk kerjasama dalam kelompok keberanian
jawaban
tidak
matematika
dan
maka
siswa masih mengalami
2. Suasana dalam kegiatan pembelajaran
kehidupan,
terbiasa
ide
atau
gagasannya 7. Pendidikan budi pekerti, misalnya: saling bekerjasama dan menghormati teman yang sedang berbicara
yang sesuai dengan situasi dan kondisi pembelajaran saat ini
15
2.1.3 Hasil Belajar Matematika Gagne & Brings (dalam Jamil Suprihatiningrum, 2012:37) mengemukakan bahwa hasil belajar merupakan kemampuan yang dimiliki oleh siswa sebagai akibat dari kegiatan belajar dan dapat dilihat melalui penampilan belajar siswa (learns’s performance). Secara spesifik hasil belajar adalah suatu kinerja (Performance) dan selalu dinyatakan dalam bentuk tujuan. Hasil belajar sangat erat hubungannya dengan proses belajar. Dimyati & Mudjiono (2009:3) menyatakan “hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar”. Siswa bertindak belajar artinya siswa mengalami proses belajar dan meningkatkan kemampuan mentalnya menuju kemandirian, sedangkan guru bertindak mengajar artinya guru membelajarkan siswa dengan menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar dan melakukan rekayasa pembelajaran yang dilakukan berdasarkan kurikulum yang berlaku. Sedangkan Ahmad susanto (2013:5) menyatakan “hasil belajar siswa adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar”. Karena pada dasarnya belajar merupakan proses dari usaha seseorang untuk memperoleh suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif menetap, anak-anak yang dikatakan telah berhasil dalam belajar adalah anak-anak yang berhasil mencapai tujuan-tujuan pembelajaran yang biasanya sudah ditetapkan oleh guru. Agus Suprijono (2013:5-6) menyatakan “hasil belajar adalah pola-pola perbuatan,
nilai-nilai,
pengertian-pengertian,
sikap-sikap,
apresiasi
dan
keterampilan”. Merujuk pemikiran Gagne, hasil belajar berupa: 1. Informasi verbal yaitu kemampuan mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik secara lisan maupun tertulis. Kemampuan dalam menanggapai secara spesifik terhadap suatu rangsangan spesifik. Kemampuan tersebut tidak memerlukan pemecahan suatu masalah maupun dalam penerapan peraturan. 2. Keterampilan intelektual yaitu kemampuan menjelaskan konsep dan simbol.
Kemampuan
mengelompokkan,
intelektual
kemampuan
ini
terdiri
menganalisis
mengembangkan prinsip yang bersifat keilmuan.
dari
kemampuan
fakta-konsep
dan
16
3. Strategi kognitif yaitu kemampuan dalam menyalurkan dan mengarahkan pada kegiatan kognitifnya. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan aturan dalam memecahkan suatu masalah. 4. Keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani sehingga dapat mewujudkan gerak jasmani secara otomatis. 5. Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek tersebutdan kemampuan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai standar perilaku. Simpulan dari beberapa pendapat diatas bahwa hasil belajar merupakan hasil (keluaran) yang dapat ditunjukkan oleh siswa setelah melakukan kegiatan memproses masukan yang diterima dan menghasilkan perubahan perilaku. Dalam penelitian ini terbatas pada penelitian aspek kognitifnya saja. 2.2 Hasil Penelitian Yang Relevan Windha Kartika Kusumaningtyas (2012) dalam skripsi yang berjudul “ Penerapan PMRI terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Berbantu Alat peraga Materi Pecahan” menunjukkan bahwa dengan penerapan PMRI berbantu alat peraga, siswa yang mencapai KKM individu sebesar 60 dan KKM Klasikal sebesar 75%. Hal ini diperkuat degan hasil uji kesamaan rata-rata diperoleh t hitung (1,809) t tabel (1,68) dengan dk = 43 dan =5% yang berarti ratarata kelompok eksperimen lebih tinggi daripada rata-rata kelompok kontrol. Dengan demikian penerapan PMRI berbantu alat peraga berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas IV SD karangtengah. Penelitian yang dilakukan oleh Lewinda Karisma Anggelarsih (2013) menunjukkan bahwa pembelajaran PMRI berpengaruh terhadap hasil belajar siswa kelas V SD Dabin III Gugus Diponegoro Boyolali Tahun Ajaran 2013/2014. Hal ini dibuktikan dengan rata-rata siswa kelas eksperimen 75, 29, sedangkan rata-rata hasil belajar siswa kelas kontrol 65,00. Penelitian yang diuraikan diatas masih ada kaitannya dengan penelitian ini maka penelitian ini menekankan pada penerapan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) terhadap pembelajaran matematika.Penelitian sebelumnya penggunaan model matematika realistik diterapkan pada kelas III dan dengan
17
materi jarring-jaring bangun ruang kubus dan balok. Pada penelitian yang peneliti lakukan model Pembelajaran Matematika realistik (PMR) diterapkan pada kelas V dan dengan menggunakan materi sifat-sifat bnagun datar dan tentunya karakterisik siswa pada setiap kelas yang ada juga berbeda. 2.3 Kerangka Pikir Penyajian deskripsi teoritik dapat disusun menjadi suatu kerangka pikir untuk memperjelas maksud dari penelitian ini. Kerangka pikir disusun berdasarkan variabel yang dipakai dalam penelitian yaitu Pengaruh Model Pembelajaran Matematika Realistik Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas V SD N Gugus Merbabu Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang Semester II Tahun Pelajaran 2015/2016. Maka dalam penelitian ini kegiatan pembelajaran
yang
dilaksanakan
mengacu
pada
pemanfaatan
model
Pembelajaran Matematika Realistik (PMR). Digunakannya model PMR ini diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeksplorasi kemampuan mereka melalui kegiatan belajar dengan memanfaatkan lingkungan sekitar dalam menemukan suatu konsep, sehingga pembelajaran juga lebih menyenangkan karena siswa terlibat secara langsung.
18
Model PMR
Hasil Belajar
kritis
Kemampuan mengidentifikasi sifat-sifat bangun trapesium
Sintaks Model Memahami masalah kontekstual
Rasa ingin tahu Menyelesaikan masalah kontekstual siswa secara kelompok atau individu
Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
kerjasama
Tanggung jawab
Kemampuan mengidentifikasi sifat-sifat bangun layang-layang
Kemampuan mengidentifikasi sifat-sifat bangun belah ketupat
komunikatif Menyimpulkan hasil diskusi
Keterangan: Dampak instruksional Dampak pengiring
Gambar 2.1 kerangka pikir model PMR
Kemampuan menggambarkan bangun trapesium, layang-layang dan belah ketupat
19
2.4 Hipotesis/Produk Hipotetik Mengacu uraian kerangka berpikir yang telah dipaparkan diatas, peneliti menggunakan hipotesis sebagai berikut: H0: Tidak terdapat pengaruh model pembelajaran matematika realistik (PMR) terhadap hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika Ha: Terdapat pengaruh model pembelajaran matematika realistik (PMR) terhadap hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika