BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya Penelitian mengenai makna simbol dalam sastra lisan telah banyak dilakukan antara lain sebagai berikut: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Ratna Dewi (2012) yang berjudul “Makna Simbolik Puisi Lisan Palenda pada Upacara Adat Peminangan di Masyarakat Todanga Kabupaten Buton. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian tersebut yaitu bagaimana struktur puisi lisan Palenda pada upacara adat peminangan di masyarakat Todanga Kabupaten Buton dan bagaimana makna simbolik puisi lisan Palenda pada upacara adat peminangan di masyarakat Todanga Kabupaten Buton. Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah metode deskriptif analisis 2. Penelitian yang dilakukan oleh Nurnaningsi Madahulu (2012) yang berjudul “Makna Simbolik Puisi Lisan Gorontalo pada Ritual ‘Mopota’e To Lulunggela”, yang mengangkat masalah mengenai struktur puisi lisan gorontalo, tahap pelaksanaan ritual ‘Mopota’e To Lulunggela, makna simbol verbal dan simbol nonverbal dalam puisi gorontalo. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Nurain. A. Nusi (2013) yang berjudul “Tahuli pada Upacara Adat Pulanga Masyarakat Gorontalo” yang mengangkat permasalahan mengenai makna simbol kata dan kalimat berdasarkan konvensi
sosial, makna simbol kata dan kalimat berdasarkan denotatif, konotatif, dan anotatif. Metode yang digunakan adalah deskriptif analisis. Berdasarkan penelitian di atas, terdapat perbedaan dan persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Persamaanya yaitu sama-sama mengkaji tentang makna simbol dengan menggunakan pendekatan semiotik. Perbedaannya terdapat pada sastra lisan yang dikaji. 2.2 Kajian Teori 2.2.1 Pendekatan Semiotik Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna (Hoed, 1991:3). Hal yang sama juga dinyatakan oleh Tuloli (2000:49) semiotik memandang semua fenomena sosial budaya (fashion, makanan, perabot, seni, disain, arsitektur, iklan, pariwisata, mobil) dapat dipahami berdasarkan model bahasa, semua dapat dianggap sebagai tanda. Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti (Pradopo, 2009:121). Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa pendekatan semiotik merupakan pendekatan yang membahas tentang tanda. Tanda dapat berwujud apa saja yang ada disekitar kita baik itu bahasa maupun benda yan mempunyai makna. Menurut Pierce (dalam Endraswara, 2003:65) ada tiga jenis tanda yang berdasarkan hubungan antara tanda dengan yang ditandakan, yaitu: 1. Ikon yaitu tanda yang memiliki kesamaan dengan arti yang ditunjuk. Misalnya, foto dengan orang yang difoto.
2. Indeks yaitu tanda yang mengandung hubungan kausal dengan apa yang ditandakan. Misalnya, asap yang menandakan adanya api. 3. Simbol yaitu tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang ditandakan bersifat arbitrer, sesuai dengan konvensi suatu lingkungan sosial tertentu. Peirce (dalam Hoed, 2008:4) melihat tanda bukanlah suatu struktur, melainkan suatu proses kognitif yang berasal dari apa yang ditangkap pancaindra. Jadi pada dasarnya Peirce tidak bgitu menekankan pemaknaan karya sastra pada unsur intrinsik dari karya sastra itu sendiri. Teori Peirce mengatakan bahwa sesuatu dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain (Nurgiyantoro, 2007:41). Dalam analisis semiotik, Peirce menawarkan sistem tanda yang harus diungkap. Menurut Peirce, ada tiga faktor yang menentukan adanya tanda, yaitu: tanda itu sendiri, hal yang ditandai, dan sebuah tanda baru yang terjadi di dalam batin penerima tanda. Antara tanda dan yang ditandai ada kaitan representasi (menghadirkan). Kedua tanda itu akan melahirkan interpretasi di benak penerima. Hasil interpretasi ini merupakan tanda baru yang diciptakan penerima pesan. Berdasarkan teori Peirce di atas, dapat disimpulkan bahwa tanda dalam semiotik dapat dimaknai berdasarkan hubungan alamiah antara tanda dan yang ditandakan, dapat berdasarkan hubungan sebab akibat dan dapat dimaknai berdasarkan hubungan dengan masyarakat pengguna tanda itu sendiri. Selain itu, tanda juga merupakan salah satu proses interpretasi seseorang terhadap tanda itu sendiri. Jadi, segala sesuatu yang ada di sekitar kita dapat dikatakan sebagai tanda apabila kita memaknainnya sebagai tanda dan dapat mewakili sesuatu yang lain
sebagaimana yang dikemukakan oleh Peirce. Oleh karena itu, penelitian ini lebih memfokuskan pada teori semiotik Peirce khususnya tentang simbol. 2.2.2
Hakikat Simbol Pierce (dalam Endraswara, 2003:65) memberikan batasan bahwa simbol
adalah tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang ditandakan bersifat arbitrer, sesuai dengan konvensi atau lingkungan sosial tertetu. Pendapat yang sama juga dinyatakan Tuloli (2000:51) bahwa simbol adalah hubungan yang sudah terbentuk karena konvensi. Hubungan antara penanda dan petanda tidaklah alamiah. Hubungan ini bersifat arbitrer (mana suka), atau berdasarkan konvensi masyarakat. Hal yang paling penting dari sistem lambang atau simbol adalah bahasa. Pengertian simbol menurut Ogden dan Richard (dalam Aminudin, 2008:81) adalah elemen kebahasaan baik berupa kata, kalimat dan sebagainya yang secara sewenang-wenang mewakili objek dunia luar maupun dunia pengalaman masyarakat pemakainya. Simbol merupakan bentuk yang isian maknanya sudah dimotivasi oleh unsur subjektif pengarangnya. Selain itu, simbol isian maknanya juga bersifat konotatif (Aminudin, 2004:126). Konotasi adalah makna baru yang diberikan oleh pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya atau konvensi baru yang ada dalam masyarakatnya (Hoed, 2008:12). Leach (dalam Kutha Ratna, 2012:116) menyatakan bahwa simbol ditandai oleh dua ciri yaitu: (1) Antara penanda dan petanda tidak ada hubungan intrinsik sebelumnya;
(2) Penanda dan petanda merupakan konteks kultural yang berbeda. Dari beberapa batasan tentang simbol di atas, dapat disimpulkan bahwa simbol adalah salah satu jenis tanda yang antara penanda dan petandanya tidak memiliki hubungan yang alamiah. Pemaknaan simbol ini disesuaikan dengan perjanjian yang ada di dalam suatu masyarakat pengguna tanda itu sendiri. Salah satu bentuk dari simbol adalah bahasa berupa kata-kata, dan kalimat. 2.2.3
Bentuk Simbol Simbol adalah salah satu jenis tanda yang antara petanda dan penandanya
bersifat manasuka sesuai dengan konvensi pengguna tanda itu sendiri. Ogden dan Richard (dalam Aminudin, 2008:81) menyatakan bahwa simbol adalah elemen kebahasaan baik berupa kata, kalimat dan sebagainya yang secara sewenangwenang mewakili objek dunia luar maupun dunia pengalaman masyarakat pemakainya. Blumer (dalam Dharmojo, 2005:32) mengemukakan bahwa simbolsimbol itu dapat berupa bahasa, gerak tubuh, atau apa saja yang dapat menyampaikan makna, dan makna disusun dalam interaksi sosial. Woods (dalam Dharmojo, 2005:32) juga mengemukakan bahwa simbol dapat berupa verbal dan nonverbal. Bentuk simbol verbal diekspresikan dalam bahasa, sedangkan bentuk simbol nonverbal dapat direalisasikan dalam gerakan anggota tubuh, gerak isyarat, pandangan, tindakan, penampilan, dan seluruh daerah ‘bahasa tubuh’ yang dimaksudkan untuk menyampaikan makna sebagai pesan kepada orang lain. Dharmojo (2005:33-36) mengemukakan empat segmen simbol verbal. Segmen-segmen simbol verbal mencakup:
1. Paralinguistik Menurut Noth (dalam Dharmojo, 2005:33) bahwa paralinguistik (paralinguistics) dalam pengertian yang lebih sempit ialah kajian tentang isyarat-isyarat vokal yang mencakup pesan verbal. Lebih lanjut Trager (dalam Dharmojo, 2005:33) mengklasifikasikan paralinguistik menjadi tiga domain prilaku, yaitu: (1) piranti suara (voice set) yaitu latar belakang tuturan terdiri dari sistem suara permanen atau semi permanen yang disebabkan oleh filosofi penutur (usia, jenis kelamin dan kesehatan). (2) kualitas suara (voice quality) yaitu variabel tuturan yang mencoraki “nada suara” penutur dalam upaya menyesuaikan situasi misalnya tuturan monoton, parau, menaik, menurun. (3) vokalisasi (vocalization) yaitu kegaduhan bunyi. Vokalisasi dibedakan menjadi tiga jenis yaitu: (a) pencorak vokal ( jeritan, tertawa, desahan, gurauan). (b) pengkualifisasian vokal (sangat keras, sangat lembut, terlalu tinggi, terlalu rendah, pemanjangan dan penyingkatan katakata). (c) segregat vokal (“uh-uh” untuk negasi, “uh- huh” untuk penegasan dan “uh” untuk keraguan).. 2. Kata dan frasa Pradopo (2009:121-122) mengemukakan bahwa sebuah sistem tanda yang paling utama yang menggunakan lambang adalah bahasa. Salah satu satuan bahasa adalah kata. Kata merupakan salah satu bentuk dari simbol sebagaimana yang dinyatakan oleh Ricoeur (dalam Dharmojo, 2005-34) bahwa kata adalah sebuah simbol sebab dapat menghadirkan sesuatu yang lain dan pada dasarnya kata bersifat konvensional dan tidak membawa
maknanya sendiri secara langsung. Selain kata juga terdapat frasa yang dapat diidentifikasi sebagai simbol. Brown dan Yulle (dalam Dharmojo, 2005:34) mengemukakan bahwa kata-kata, frasa dan larik-larik yang muncul dalam rekaman
tekstual
suatu
wacana
sebagai
bukti
usaha
penutur
mengkomunikasikan pesannya kepada pendengar. 3. Larik Larik atau baris bukanlah sekedar sebuah rangkaian kata-kata yang lebih besar dan lebih kompleks, namun merupakan suatu identitas yang baru dan memiliki pesan yang baru juga (Dharmojo, 2005:34). Sebagai sesuatu yang baru dan memilki pesan yang baru pula larik-larik dapat diidentifikasi sebagai simbol. 4. Bait Bait merupakan rangkain larik-larik yang merupakan komponen atau bagian dari puisi. Culler (dalam Dharmojo, (2005:36) mengemukakan bahwa untuk sampai pada hakikat pengertian sebuah puisi tidak mungkin memahami kata-kata yang ada secara terpisah, melainkan harus dikembalikan dalam konteks struktur bait. Berdasarkan beberapa batasan di atas, dapat disimpulkan bahwa simbol terdiri atas dua bentuk yaitu, bentuk verbal dan nonverbal. Simbol verbal adalah bahasa yang terdiri dari empat segmen yaitu: (1) paralinguistik, (2) kata dan frasa, (3) larik dan (4) bait. Simbol nonverbal adalah gerak tubuh, seperti tarian ataupun benda-benda seperti perangkat adat yang memiliki makna. Dalam penelitian ini,
penulis memfokuskan pada simbol verbal dalam Sasalamate Tamo, dilihat dari bentuk kata dan frasa (kelompok kata) dan kalimat. 2.2.4 Makna Simbol Makna simbol adalah suatu konsepsi, nilai, atau isi yang terkandung dalam sistem simbol baik verbal maupun nonverbal yang hanya dapat dipahami melalui pikiran dan perasaan (Dharmojo, 2005:40-41). Selain itu juga, Dharmojo (2005:40-41) mengklasifikasikan makna simbol dalam empat konteks yaitu: 1. Makna simbol dalam konteks religi Pemaknaan simbol dalam konteks religi diidentifikasi dan diinterpretasi berdasarkan kepercayaan yang ada dalam suatu masyarakat. Koentjaraningrat (dalam Dharmojo, 200:40) komponen-komponen yang harus diperhatikan dalam mengkaji konsep religi. Komponen-komponen itu di antaranya adalah (1) ekspresi kepercayaan dan (2) sistem ritual. 2. Makna simbol dalam konteks etika Etika adalah sebuah pranata prilaku seseorang atau sekelompok orang, yang tersusun dari sistem nilai atau norma yang diambil dari gejalah-gejalah alamiah masyarakat tersebut (Ahmadi, 2008:201). Makna simbol dalam konteks etika adalah simbol-simbol yang maknanya berkaitan dengan nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut. 3. Makna simbol dalam konteks estetika Makna simbol dalam konteks estetika ditandai dengan keindahan yang memiliki karakteristik: (1) keindahan secara individual, (2) keindahan gagasan kreatif, (3) keindahan seni kolektif, dan (4) bernilai ekonomis.
4. Makna simbol dalam konteks filosofi Menurut Al- Syaibani (dalam Nata, 20011:42) bahwa filsafat berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Menurut Nata (2011:44) dengan menggunakan pendakatan filosofis seseorang akan dapat memberi makna terhadap sesuatu yang kita jumpai dan dapat pula menangkap hikmah dan ajaran yang terkandung di dalamnya. Makna simbol dalam konteks filosofi ditandai oleh makna yang mengandung sikap-sikap terhadap kehidupan dan lingkungan yang meliputi: (1) sikap kebersamaan, (2) sikap keterbukaan, (3) sikap kebijaksanaan, dan sikap kritis. Berdasarkan klasifikasi makna simbol di atas, dalam penelitian ini difokuskan pada makna simbol verbal Sasalamate Tamo, dilihat dari konteks religi, etika dan filosofi.