BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Obesitas Obesitas berasal dari bahasa Latin: obesus, obedere, yang artinya gemuk atau kegemukan. World Health Organization (2000) mendefinisikan Obesitas sebagai suatu kelainan atau penyakit yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan. Untuk menentukan obesitas diperlukan kriteria berdasarkan pengukuran antropometri. Berikut merupakan beberapa kriteria yang secara umum digunakan: a.
Pengukuran berat badan (BB) dibandingkan dengan standar dan disebut obesitas bila BB > 120% BB standar (Traitz, 1991).
b.
Pengukuran BB dibandingkan tinggi badan (BB/TB). Dikatakan obesitas bila BB/TB > persentil ke-95 atau > 120% atau Z-score = + 2 SD (WHO, 2000).
c.
Pengukuran lemak subkutan dengan mengukur skinfold thickness (tebal lipatan kulit). Dikatakan obesitas bila tebal liatan kulit triceps > persentil ke85 (Dietz, 1993).
d.
Indeks Massa Tubuh (IMT) ≥ persentil ke 95 sebagai indikator obesitas (CDC, 2000). Menurut Dietz (1993) ada tiga periode kritis masa tumbuh kembang anak
yang dikaitankan dengan terjadinya obesitas, yaitu: periode pranatal, terutama trimester III kehamilan, periode adiposity rebound pada usia 6-7 tahun dan periode adolescence. Bayi dan anak obesitas, sekitar 26,5% akan tetap obesitas
untuk dua dekade berikutnya dan 80% remaja obesitas akan menjadi dewasa obesitas. Sebanyak 50% remaja yang obesitas sudah mengalami obesitas sejak bayi (Taitz, 1991). Penelitian di Jepang menunjukkan 1/3 dari anak obesitas tumbuh menjadi obesitas dimasa dewasa, dengan rasio odd (RO) 2,0 sampai 6,7. Penelitian lain di Amerika mendapatkan hubungan obesitas dengan faktor genetik. Obesitas pada usia 1-2 tahun dengan orangtua normal, sekitar 8% menjadi obesitas dewasa, sedang obesitas pada usia 10-14 tahun dengan salah satu orangtuanya obesitas sebesar 79% akan menjadi obesitas dewasa (Whitaker dkk., 1997). 2.1.1. Faktor-faktor penyebab obesitas Berdasarkan hukum termodinamik obesitas disebabkan adanya keseimbangan energi positif akibat ketidakseimbangan antara asupan energi dengan luaran energi. Terjadi kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak (Heird, 2002). Sebagian besar gangguan keseimbangan energi ini disebabkan oleh faktor eksogen/nutrisional (obesitas primer) sedangkan faktor endogen (obesitas sekunder) akibat kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik (Syarif, 2003). Penyebab obesitas belum diketahui secara pasti dan dikatakan sebagai suatu penyakit yang bersifat multifaktorial. Diduga sebagian besar obesitas disebabkan karena adanya interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan, antara lain aktifitas, gaya hidup, sosial ekonomi, perilaku makan dan pemberian makanan padat terlalu dini pada bayi (Heird, 2002).
2.1.2.1 Faktor genetik Parental fatness merupakan faktor genetik yang berperanan besar pada obesitas. Apabila kedua orangtua obesitas sekitar 80% anaknya menjadi obesitas. Bila salah satu orangtua obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orangtua tidak obesitas, prevalensi menjadi 14% (Syarif, 2003). Perubahan lingkungan nutrisi intrauterin menyebabkan gangguan perkembangan organ-organ tubuh terutama kerentanan terhadap proses pembentukan janin. Bersama-sama dengan pengaruh diet dan stres lingkungan merupakan predisposisi timbulnya berbagai penyakit dikemudian hari. Mekanisme kerentanan genetik terhadap obesitas terjadi melalui efek resting metabolic rate, thermogenesis non exercise, kecepatan oksidasi lipid dan kontrol nafsu makan yang jelek. Sehingga kerentanan terhadap obesitas ditentukan secara genetik, sedangkan lingkungan menentukan ekspresi fenotif (Newnham, 2002). 2.1.2.2. Faktor lingkungan a.
Aktifitas fisik Aktifitas fisik merupakan komponen utama energy expenditure. Sekitar 20-
50% total energy expenditure adalah aktivitas fisik. Penelitian mendapatkan hubungan antara aktifitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko peningkatan berat badan sebesar 5 kg (Kopelman, 2000). Penelitian di Jepang menunjukkan risiko obesitas yang rendah (RO 0,48) pada kelompok yang mempunyai kebiasaan olah raga. Penelitian di Amerika menunjukkan penurunan berat badan dengan jogging (RO 0,57), aerobik (RO 0,59), tetapi untuk olah raga tim dan tenis tidak menunjukkan
penurunan berat badan yang signifikan (Fukuda, 2001). Penelitian terhadap anak Amerika dengan tingkat sosial ekonomi yang sama menunjukkan bahwa mereka yang nonton televisi selama 5 jam perhari mempunyai risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar dibandingkan yang nonton televisi 2 jam setiap harinya (Kopelman, 2000). b.
Faktor nutrisional Peranan faktor nutrisi dimulai sejak kandungan, dimana jumlah lemak tubuh
dan pertumbuhan bayi dipengaruhi berat badan ibu. Kenaikan berat badan dan lemak anak dipengaruhi oleh waktu pertama kali mendapat makanan padat, asupan tinggi kalori dari karbohidrat, lemak dan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung energi tinggi (Heird, 2002; Syarif 2003). Penelitian di Amerika dan Finlandia menunjukkan bahwa kelompok dengan asupan tinggi lemak mempunyai risiko peningkatan berat badan lebih besar dibanding kelompok dengan asupan rendah lemak dengan RO 1,7. Penelitian lain menunjukkan peningkatan konsumsi daging akan meningkatkan risiko obesitas sebesar 1,46 kali (Fukuda, 2001). Keadaan ini disebabkan karena makanan berlemak mempunyai energy density lebih besar dan tidak mengenyangkan, dengan efek termogenesis yang lebih kecil dibandingkan makanan tinggi protein dan karbohidrat. Makanan berlemak juga mempunyai rasa lezat sehingga akan meningkatkan selera makan sehingga terjadi asupan berlebihan. Selain itu, kapasitas penyimpanan makronutrien juga menentukan keseimbangan energi. Protein mempunyai kapasitas penyimpanan sebagai protein tubuh dalam jumlah terbatas dan metabolisme asam amino diregulasi dengan ketat, sehingga bila asupan protein
berlebihan dipastikan akan terjadi oksidasi. Karbohidrat mempunyai kapasitas penyimpanan dalam bentuk glikogen dalam jumlah kecil. Asupan dan oksidasi karbohidrat diregulasi sangat ketat dan cepat, sehingga perubahan oksidasi karbohidrat mengakibatkan perubahan asupan karbohidrat. Cadangan lemak tubuh rendah dan asupan karbohidrat berlebihan akan mengakibatkan kelebihan energi dari karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk lemak tubuh. Lemak mempunyai kapasitas penyimpanan yang tidak terbatas. Kelebihan asupan lemak tidak diiringi peningkatan oksidasi lemak sehingga sekitar 96% lemak akan disimpan dalam jaringan lemak (WHO, 2000). c.
Faktor sosial ekonomi Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup, pola makan, serta
peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi (Syarif, 2003). Beberapa tahun terakhir terlihat adanya perubahan gaya hidup menjurus pada penurunan aktifitas fisik, seperti; sekolah dengan naik kendaraan, kurangnya aktifitas bermain dengan teman dan lingkungan rumah yang tidak memungkinkan anak-anak bermain diluar rumah, sehingga anak lebih senang bermain komputer/games, nonton televisi atau video dibanding melakukan aktifitas fisik. Ketersediaan dan harga dari junk food yang mudah terjangkau jug berisiko menimbulkan obesitas (Kiess dkk., 2004). 2.1.2. Dampak obesitas pada anak 2.1.3.1 Faktor risiko penyakit kardiovaskular Faktor Risiko ini meliputi peningkatan kadar insulin, peningkatan trigliserida, peningkatan LDL-kolesterol dan tekanan darah sistolik serta penurunan kadar
HDL-kolesterol. Risiko penyakit Kardiovaskular usia dewasa pada anak obesitas sebesar 1,7-2,6. Indek massa tubuh mempunyai hubungan kuat dengan kadar insulin. Anak dengan IMT > persentil ke-99, 40% diantaranya mempunyai kadar insulin tinggi, 15% mempunyai kadar HDL-kolesterol rendah dan 33% dengan kadar trigliserida tinggi. Anak obesitas cenderung mengalami peningkatan tekanan darah dan denyut jantung sekitar 20-30% (Freedman, 2004). 2.1.3.2 Diabetes melitus tipe-2 Penderita obesitas dapat mengalami resistensi terhadap aksis seluler insulin. Ditandai berkurangnya kemampuan insulin untuk menghambat pengeluaran glukosa dari hati dan mendukung pengambilan glukosa pada sel lemak dan otot (Park, 2006). Resistensi insulin terkait obesitas adalah risiko utama penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus tipe-2. Empat puluh satu juta penduduk AS menderita prediabetik dengan resistensi insulin, hipertensi dan dislipidemia yang menempatkan penderitanya pada risiko mortalitas dan morbiditas kardiovaskular yang tinggi. Hubungan antara obesitas dengan resistensi insulin merupakan hubungan sebab-akibat. Penelitian pada manusia dan hewan mengindikasikan bahwa peningkatan atau penurunan berat badan berkorelasi erat dengan sensitivitas insulin (Urukawa, 2003). Hampir semua anak obesitas dengan diabetes melitus tipe-2 mempunyai IMT > + 3SD atau > persentil ke-99 (Bluher dkk., 2004). 2.1.3.3 Hiperkolesterolemia Abnormalitas kadar kolesterol dan trigliserida dalam darah dapat terjadi pada penderita obesitas. Komposisi karbohidrat dan obesitas merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap peningkatan trigliserida dalam darah. Total kolesterol yang meningkat menyebabkan rasio low density lipoprotein (LDL) terhadap high density lipoprotein (HDL) juga meningkat. Peningkatan rasio ini meningkatkan risiko penyakit jantung. Kadar kolesterol yang tinggi dalam darah membentuk endapan pada dinding pembuluh darah sehingga menyebabkan penyempitan pembuluh
darah
(aterosklerosis).
Penyempitan
pembuluh
darah
jantung
menyebabkan penyakit jantung koroner. Pengendapan dan penyempitan pada pembuluh darah di otak menyebabkan penyakit serebrovaskuler (Syarif, 2003). 2.1.3.4 Kelainan fungsi respirasi Obstruktive sleep apnea sering dijumpai pada obesitas dengan kejadian 1/100 dengan gejala mengorok. Penyebabnya adalah penebalan jaringan lemak di daerah dinding dada dan perut yang mengganggu pergerakan dinding dada dan diafragma. Penurunan volume dan perubahan pola ventilasi paru serta meningkatkan beban kerja otot pernafasan dapat terjadi pada kondisi ini. Saat tidur terjadi penurunan tonus otot dinding dada disertai penurunan saturasi oksigen, peningkatan kadar CO2, dan penurunan tonus otot yang mengatur pergerakan lidah menyebabkan lidah jatuh ke dinding belakang faring. Hal ini mengakibatkan obstruksi saluran nafas intermiten dan menyebabkan tidur gelisah. Keesokan harinya anak cenderung mengantuk dan hipoventilasi. Gejala ini berkurang seiring dengan penurunan berat badan (Syarif, 2003). 2.1.3.5 Penyakit ginjal Beberapa kelainan ginjal juga dikaitkan dengan obesitas. Pada obesitas terjadi penekanan struktur ginjal, dimana ginjal dikelilingi oleh jaringan lemak. Ketika
seseorang kelebihan berat badan, ginjal harus bekerja lebih keras untuk berfungsi. Seiring waktu mereka mulai menjadi kurang fleksibel. Bahkan beberapa individu yang obesitas mungkin mengalami gagal ginjal. Obesitas dihubungkan dengan adanya disfungsi endotel dan kelainan ginjal intrarenal, yang diduga berperan penting pada perkembangan hipertensi. Aktivasi sistem saraf simpatis pada ginjal dan leptin secara langsung dapat berefek pada ginjal dengan meningkatkan stres oksidatif. Hipertensi meningkatkan risiko seseorang terkena kanker ginjal karena dampak langsung hipertensi ginjal (Hall, 2003 dan Rahmauni, 2005). 2.2. Hipertensi Anak balita bahkan bayi dapat mengalami hipertensi. Hipertensi dapat menimbulkan kematian. Sehingga penting melakukan deteksi dini dengan pengukuran tekanan darah secara rutin pada anak usia 3 tahun keatas sedikitnya sekali setahun (Bahrun, 2002). Definisi hipertensi pada anak dan remaja tidak dapat disebut dengan satu angka, karena nilai tekanan darah normal bervariasi pada berbagai usia (Alatas, 1994). Gauthier dkk membagi hipertensi menjadi hipertensi ringan, sedang, dan berat dengan menambahkan 10 mmHg setiap tingkat di atas persentil ke-95 pada grafik persentil dari Task Force Report on the High Blood Pressure in Children 1977. Yoshinaga dkk menggunakan kriteria hipertensi sebagai berikut, derajat 1-3 tekanan darah sistolik (TDS) ≥ 120 mmHg dan tekanan darah diastolik (TDD) ≥ 70 mmHg; derajat 4-5 TDS ≥130 mmHg dan TDD ≥80 mmHg. Menurut the Fourth Report on The Diagnosis, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure in Children and Adolescent (2004) definisi hipertensi pada anak adalah
apabila TDS atau TDD di atas atau sama dengan persentil 95 menurut umur, jenis kelamin, dan tinggi badan. Task Force Report on The High Blood Pressure in Children and Adolescent pada tahun 1987 dan 1996 mengemukakan beberapa definisi hipertensi. Hipertensi apabila rata-rata TDS dan atau TDD lebih tinggi atau sama dengan persentil ke-95 terhadap umur dan jenis kelamin pada tiga kali pemeriksaan. Hipertensi ini dibagi menjadi dua kelas, yaitu hipertensi signifikan bila TDS dan atau TDD terus-menerus berada diantara persentil ke-95 dan persentil ke-99, dan hipertensi berat bila TDS dan atau TDD terus-menerus berada di atas persentil ke-99 terhadap umur dan jenis kelamin. Krisis hipertensi bila tekanan sistolik > 180 mmHg dan atau diastolik > 120 mmHg, atau setiap kenaikan tekanan darah yang mendadak dan disertai gejala ensefalopati hipertensif, gagal ginjal, gagal jantung, maupun retinopati. Tabel 2.1 Batasan Hipertensi Pada Anak dan Usia Remaja Menurut The Fourth Report on The Diagnosis, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure in Children and Adolescent Istilah
Batasan
Tekanan darah normal
TDS dan TDD < persentil ke-90 menurut umur dan jenis kelamin Rata-rata TDS dan atau TDD antara persentil ke-90 dan 95 menurut umur dan jenis kelamin Rata-rata TDS dan atau TDD ≥ persentil ke-95 menurut umur dan jenis kelamin pada pengukuran tiga kali berturut-turut
Prehipertensi Hipertensi
Hipertensi tingkat satu Hipertensi tingkat dua
Rata-rata TDS dan TDD antara persentil ke-95 dan 99 ditambah 5 mmHg Rata-rata TDS dan TDD > persentil ke-99 ditambah 5 mmHg
Hipertensi pada anak dibagi menjadi dua kategori, yaitu hipertensi primer bila penyebab hipertensi tidak dapat dijelaskan atau tidak diketahui penyakit dasarnya. Umumnya berhubungan dengan faktor keturunan, masukan garam, stres dan obesitas. Hipertensi sekunder terjadi akibat adanya penyakit lain yang mendasarinya. Penelitian selama ini menunjukkan hipertensi pada anak sekitar 80% bersifat sekunder akibat penyakit lain. Kejadian hipertensi sekunder lebih banyak daripada hipertensi primer pada anak. Hampir 80% penyebabnya berasal dari penyakit ginjal. Sekitar dua sepertiga anak dengan hipertensi mengalami kerusakan ginjal bila tidak ditangani dengan tepat (Pruitt, 2000; Lam dkk., 2001). 2.2.1. Patofisiologi hipertensi 2.2.1.1 Hipertensi esensial Hipertensi esensial atau primer merupakan hipertensi yang tidak dapat dijelaskan penyakit yang mendasarinya. Penting dialukan identifikasi faktorfaktor yang diperkirakan menjadi penyebab terjadinya. Tekanan darah yang tinggi pada masa anak-anak merupakan faktor risiko hipertensi pada masa dewasa muda (Guertin, 2002). Hipertensi esensial lebih sering terjadi pada remaja, yang umumnya bersifat asimtomatik dan sering terdeteksi pada saat pemeriksaan rutin. Obesitas sering dihubungkan dengan hipertensi esensial dan dijumpai pada hampir 50% kasus. Riwayat keluarga yang menderita hipertensi sering dijumpai. (Kher, 1992; Pruitt, 2000). Patogenesis hipertensi esensial masih belum banyak dimengerti (Gauthier dkk., 1982). Beberapa penelitian tentang tekanan darah menunjukkkan ada hubungan antara genetik dan lingkungan yang mempengaruhi tekanan darah pada anak dan remaja (Bartosh dkk., 1999). Etiologi hipertensi
esensial adalah kompleks, meliputi faktor-faktor predisposisi seperti ras, jenis kelamin, riwayat keluarga (genetik) dan faktor lain yang mempengaruhi seperti konsumsi garam, merokok, konsumsi alkohol, stres dan obesitas (Pruitt, 2000 ; Lam, 2001). Hipertensi pada anak dan
remaja (usia 13-18 tahun) adalah
hipertensi esensial dan penyakit parenkim ginjal (Mahan dkk., 1997). Beberapa peneliti telah membuktikan bahwa hipetensi esensial tercatat lebih dari 80% sebagai penyebab hipertensi pada remaja (Mahan dkk., 1997; Pruitt, 2000). 2.2.1.2 Hipertensi sekunder Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang terjadi oleh penyebab yang jelas. Sekitar 60-80% hipertensi akut pada anak berhubungan dengan penyakit parenkim ginjal (Guertin, 2002). Hipertensi sekunder lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa. Pada remaja setelah hipertensi esensial penyakit ginjal juga merupakan penyebab hipertensi yang sering. Hipertensi yang disebabkan penyakit ginjal dapat berasal dari parenkim atau pembuluh darah ginjal (Goonasekera dkk., 1999; Lurbe dkk., 2002). Hipertensi yang disebabkan penyakit parenkim ginjal dapat ditemukan pada penyakit glomerulonefritis akut pascastreptokokus, pielonefritis, lupus eritematosus sistemik, gagal ginjal akut, anomali kongenital seperti hipoplasia ginjal segmental dan ginjal polikistik (Kher, 1992; Bahrun, 2002). Selain penyakit parenkim ginjal, 12% penyebab hipertensi kronik pada remaja juga berasal dari penyakit pembuluh darah ginjal atau arteri renalis (Kher, 1992; Goonasekera dkk., 1999). Anak yang lebih kecil (dibawah 6 tahun) hipertensi lebih sering sebagai akibat perenkim ginjal, obstruksi arteri renalis, atau koartasio aorta. Anak yang lebih besar bisa mengalami hipertensi dari
penyakit bawaan seperti refluks nefropati atau glomerulonefritis kronis (Gulati, 2002; Varda, 2005). Pada Gambar 2.1 berikut merupakan langkah yang dapat dilakukan untuk evaluasi hipertensi esensial dan sekunder pada remaja (Majan dkk., 1997))
Gambar 2.1. Evaluasi Hipertensi pada Seorang Remaja
2.3. Proteinuria Proteinuria telah dikenal sejak jaman Richard Bright lebih dari 150 tahun yang lalu dan berhubungan erat dengan penyakit ginjal. Proteinuria merupakan satu diantara kelainan urin yang sering ditemukan pada anak dengan kelainan atau penyakit ginjal (Wirya, 2002).
Proteinuria yang ditemukan dengan hematuria hampir selalu menunjukkan kelainan ginjal yang mendasari. Sebaliknya proteinuria saja dapat disebabkan oleh berbagai penyakit nonrenal. Proteinuria berat dan proteinuria persisten ringan umumnya menunjukkan penyakit ginjal dan perlu pemeriksaan lebih lanjut (Wirya, 2002). Urin normal mengandung protein. Hampir 60% protein dalam urin berasal dari protein plasma sedangkan sisanya 40% berasal dari sekresi dalam saluran kencing. Protein plasma utama adalah albumin. Urin normal mengandung 40% albumin. Jumlah keseluruhan protein dalam 24 jam urin bervariasi pada anak menurut umur (Wirya, 2002) (Tabel 2). Tabel 2.2 Protein Urin Normal dalam 24 Jam Jumlah (mg)
mg/m2
Bayi prematur (5-30 hari)
14-60
88-337
Bayi cukup bulan (7-30 hari)
15-68
68-309
Bayi (2-12 bulan)
17-85
48-244
Anak : 2-4 tahun
20-121
37-223
4-10 tahun
26-194
31-234
10-16 tahun
29-238
22-181
Ket: mg/m2= miligram per m2 luas permukaan badan
Proteinuria atau disebut juga albuminuria adalah suatu keadaan ekskresi protein dalam urin berlebihan. Proteinuria merupakan kelainan urin yang sering ditemukan pada anak dengan penyakit parenkim ginjal. Protein dalam urin kurang dari 20 mg% pada bayi dan anak-anak yang normal. Sehingga bila ditemukan konsentrasi protein > 20-30 mg% perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan jumlah protein urin selama 24 jam. Prevalensi proteinuria pada anak
sekolah yang asimtomatik di beberapa negara berkisar antara 0,5 - 6 % (Wirya, 2002; Wagesetiawan, 2007). Mikroalbuminuria didefinisikan sebagai ekskresi albumin dalam urin sebesar 20-200 µg/min
atau > 30 mg/hari (Tabel 2.3). Angka kejadian
mikroalbuminuria pada penderita hipertensi esensial berkisar 2,4-40% tergantung
usia
dan
jenis
kelamin,
tingkat
hipertensi
dan
batasan
mikroalbuminuria yang digunakan (Wagesetiawan, 2007). Tabel 2.3. Definisi Abnormalitas Ekskresi Albumin Urine tampung 24 jam
Urin sewaktu
(mg/24 jam)
(µg/menit)
< 30
< 20
Mikroalbuminuria
30-299
20-199
Albuminuria klinis
≥ 300
≥ 200
Normal
Ket: mg/m2= miligram per 24 jam; µ/menit= mikrogram per menit 2.3.1. Proteinuria dan obesitas Proteinuria merupakan penanda disfungsi endotel maupun disfungsi vaskular. Disfungsi endotel merupakan penanda yang paling awal muncul pada kondisi adanya peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler, seperti obesitas, hipertensi, dislipidemia, resistensi insulin serta diabetes khususnya tipe-2. Resistensi insulin yang terjadi pada obesitas berhubungan dengan disfungsi endotel ini. Adanya disfungsi endotel menyebabkan terjadinya peningkatan sekresi sitokin proinflamasi dan adhesi molekul selular yang dapat memicu terbentuknya plaq atherosklerotik melalui akumulasi makrofag dan lekosit pada tunika intima pembuluh darah. Proses inflamasi juga akan memicu terjadinya
kerusakan pembuluh darah ginjal, peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap makromolekul yang menyebabkan peningkatan filtrasi protein plasma sehingga terjadi proteniuria (Wagesetiawan, 2007). Selain karena hipertensi maupun diabetes pada obesitas, kerusakan ginjal terjadi melalui beberapa mekanisme seperti: efek negatif akibat adaptasi terhadap peningkatan beban ekskresi karena peningkatan massa tubuh, efek negatif adaptasi terhadap retensi natrium yang diinduksi oleh obesitas, efek langsung resistensi insulin atau hiperinsulinemia dan lipotoksisitas ginjal (Wagesetiawan, 2007). 2.4. Hubungan Obesitas dengan Hipertensi dan Proteinuria Tekanan dalam suatu pembuluh darah merupakan tekanan yang bekerja terhadap dinding pembuluh darah (Guyton, 1994). Tekanan tersebut berusaha melebarkan pembuluh darah. Pembuluh vena dapat berdilatasi delapan kali lipat dibandingkan pembuluh arteri. Selain itu, tekanan ini menyebabkan darah keluar dari pembuluh melalui setiap lubang, yang berarti tekanan darah normal yang cukup tinggi dalam arteri akan memaksa darah mengalir dalam arteri kecil, kemudian melalui kapiler dan akhirnya masuk ke dalam vena. Oleh karena itu, tekanan darah penting untuk mengalirkan darah dalam lingkaran sirkulasi. Tekanan darah pada pembuluh darah ditentukan tiga macam faktor yaitu jumlah darah yang ada di dalam peredaran yang dapat membesarkan pembuluh darah, aktivitas memompa jantung, yaitu mendorong darah sepanjang pembuluh darah, dan tahanan perifer terhadap aliran darah. Selanjutnya faktor-faktor yang mempengaruhi tahanan perifer yaitu viskositas darah, tahanan pembuluh darah
(jenis pembuluh darah, panjang, dan diameter), serta turbulensi (kecepatan aliran darah, penyempitan pembuluh darah, dan keutuhan jaringan) (Guyton, 1994). Upaya menjaga agar aliran darah dalam sirkulasi sistemik tidak naik atau turun disebabkan oleh tekanan darah yang berubah-rubah, maka penting untuk mempertahankan tekanan arteri rata-rata dalam batas konstan. Hal tersebut dapat dicapai melalui serangkaian mekanisme yang meliputi : susunan saraf, ginjal, dan beberapa mekanisme hormonal (Guyton 1994). 2.4.1. Aktivasi sistem saraf simpatetik pada obesitas Aktivitas berlebihan sistem saraf simpatik adalah fitur umum obesitas pada manusia dan hewan model. Penelitian terbaru telah menyoroti peranan penting peningkatan aktivitas simpatik dalam hubungan obesitas-hipertensi. Aktivasi saraf simpatik jangka panjang meningkatkan tekanan arteri melalui terjadinya vasokonstriksi perifer dan peningkatan reabsorpsi natrium tubular ginjal. Penelitian mengenai aktivasi saraf simpatik dengan obesitas pada manusia menggunakan norepinefrin menunjukkan bahwa obesitas berhubungan dengan peningkatan aktivitas simpatik pada ginjal. Ginjal merupakan organ utama homeostasis kardiovaskular. Peningkatan aktivitas saraf simpatik ginjal pada obesitas juga telah dilaporkan pada penelitian dengan menggunakan hewan pada beberapa penelitian lain. Adapun faktor-faktor yang mungkin dapat menjelaskan peningkatan aktivitas jaras simpatik terkait dengan obesitas dapat dilihat pada Gambar 2.2 (Rahmouni dkk., 2004).
Gambar 2.2 Mekanisme Keterlibatan Sistem Hormonal pada Hipertensi yang Berhubungan dengan Obesitas Keterangan: FFA = free fatty acids SNA = sympathetic nerve activity RAS = renin angiotensin system NO = nitric oxide
2.4.2. Peranan leptin pada hipertensi-obesitas Hubungan antara kelebihan adiposit dan peningkatan simpatik kardiovaskular menunjukkan adanya peranan leptin. Leptin merupakan asam amino yang disekresi oleh jaringan adiposit. Fungsi utamanya adalah berperan pada pengaturan nafsu makan dan pengeluaran energi tubuh melalui susunan saraf
pusat, perangsangan saraf simpatis, peningkatan sensitifitas insulin, natriuresis, diuresis dan angiogenesis (Carlyle dkk., 2002). Leptin berperan di hipotalamus meningkatkan tekanan darah melalui aktivasi sistem saraf simpatik. Leptin disekresi ke dalam sirkulasi darah dalam kadar yang rendah pada kondisi normal, akan tetapi pada obesitas terjadi hiperleptinemia yang berhubungan dengan hiperinsulinemia melalui aksis adipoinsular. Secara klinis efek resistensi leptin tergantung lokasi dan derajat keparahan resistensi tersebut (Rahmouni dkk., 2002). Resistensi leptin selektif ini berperan dalam patofisiologi atau peranan leptin pada aktivasi berlebihan simpatik pada obesitas. Resistensi pada ginjal akan menyebabkan gangguan diuresis dan natriuresis. Retensi natrium dan air menyebabkan peningkatan volume plasma dan cardiac output, yang menyebabkan peningkatan tekanan darah (Rahmouni dkk., 2002). Peningkatan aktivitas simpatik pada ginjal dan tekanan darah yang diinduksi leptin dimediasi oleh hipotalamus ventromedial dan dorsomedial (Marsh dkk., 2003). Peningkatan eksesif berat badan menyebabkan terjadinya peningkatan reabsorpsi tubulus ginjal, gangguan natriuresis melalui aktivasi sistem saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin serta penekanan pada medula ginjal sehingga terjadi hipertensi arteri diikuti hipertensi glomerular. Hipertensi intraglomerular merupakan awal terjadinya proteinuria. Hipertensi intraglomerular menyebabkan terjadinya peningkatan volume plasma yang berimbas terjadinya hipertensi sistemik (Hall, 2003; Rahmouni dkk., 2004) (Gambar 2.3).
Gambar 2.3 Mekanisme Obesitas Menyebabkan Peningkatan Reabsorpsi Sodium pada Tubulus Renal, Gangguan Tekanan Natriuersis, dan Hipertensi yang Menyebabkan Kelainan Glomerulus Progresif Keterangan: POMC = proopiomelanocortin SNA = sympathetic nerve activity RAS = renin angiotensin system
2.4.3. Mekanisme lain Hiperinsulinemia juga mempunyai peranan penting dalam aktivasi berlebihan sistem saraf simpatis yang berhubungan dengan obesitas (Rahmouni dkk., 2004). Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan energi dengan luaran energi, yaitu asupan energi yang tinggi atau luaran energi yang rendah. Kelebihan energi disimpan dalam bentuk jaringan lemak (Nakagawa dkk., 2005; Yogiantoro, 2006). Mekanisme terjadinya hipertensi akibat obesitas hingga saat ini belum jelas
(Sinaiko dkk., 2005). Sebagian besar peneliti menitikberatkan patofisiologi tersebut pada tiga hal utama yaitu gangguan sistem autonom, resistensi insulin, serta abnormalitas struktur dan fungsi pembuluh darah. Ketiga hal tersebut dapat saling mempengaruhi satu dengan lainnya (Dornfield dkk., 1987; Sinaiko dkk., 2005). Penelitian Umboh dkk. (2007) obesitas terkait dengan resistensi insulin. Peningkatan kejadian obesitas terjadi akibat asupan total fruktosa yang meningkat menyebabkan peningkatan kadar asam urat dengan cepat. Fruktosa akan diubah menjadi fruktosa-11 fosfat dan adenosin triphosphate (ATP) oleh enzim fruktokinase di hati, dan selanjutnya diubah menjadi adenosin diphosphate (ADP). Turunan ADP dimetabolisme menjadi bermacam-macam substrat purin. Pelepasan fosfat yang cepat bersamaan dengan reaksi adenosin monophosphate (AMP) deaminase. Kombinasi keduanya meningkatkan substrat melalui fruktosa oral, dan enzim (deaminase AMP) yang merupakan regulasi produksi asam urat. Asam urat yang tinggi mengakibatkan disfungsi endotel dan menurunkan bioavailabilitas nitric oxide (NO) endotel. Gangguan nitric oxide memediasi terjadinya resistensi insulin dan hipertensi (Nakagawa dkk., 2005). Resistensi insulin dan gangguan fungsi endotel pembuluh darah pada obesitas, menyebabkan vasokonstriksi dan reabsorpsi natrium di ginjal yang mengakibatkan hipertensi (Manunta dkk., 2004). Penelitian telah membuktikan retensi garam berhubungan dengan hiperinsulinemia pada obesitas menyebabkan hipertensi. Demikian juga insulin dapat meningkatkan produksi norepinephrine plasma bermakna yang dapat meningkatkan tekanan darah. Perbaikan tekanan
darah dan respons intoleransi glukosa dengan peningkatan aktivitas fisik pada obesitas berhubungan dengan penurunan kadar insulin plasma. Resistensi insulin dapat meningkatkan tekanan darah melalui penurunan nitric oxide yang menimbulkan vasodilatasi, peningkatan sensitivitas garam, dan peningkatan volume plasma (Dornfeld dkk., 1987; Robinson dkk., 2004). Penelitian lain menunjukkan kecepatan natriuresis dan pengeluaran antinatriuresis memperlihatkan hubungan antara kadar insulin serum dan eskresi garam. Retensi natrium menyebabkan hiperinsulinemia yang indenpenden dari hipoglikemia, laju filtrasi glumerulus (LFG), aliran darah ginjal, dan kadar aldosterol plasma. Hubungan antara resisten insulin dengan tekanan darah pada anak obesitas pada penelitian Umboh dkk. (2007). Didapatkan sebagian besar anak obesitas menderita pre-hipertensi dan terdapat korelasi linier antara kadar insulin dengan tekanan darah, dimana resistensi insulin ini mempengaruhi peningkatan tekanan darah sistolik pada anak obesitas. Renin angiotensin system (RAS) pada jaringan lemak terlibat dalam patofisiologi obesitas dan penyakit berhubungan dengan obesitas, yaitu hipertensi dan resitensi insulin. Kadar RAS lokal di dalam jaringan lemak berperan meningkatkan aktivitas RAS sistemik, sehingga menyebabkan kenaikan tekanan darah. Jumlah jaringan lemak pada obesitas menyebabkan peningkatan RAS dalam jaringan lemak. Selain itu, angiotensin II yang merupakan komponen utama RAS dan angiotensinogen atau prekursor angiotensin II berperan dalam pertumbuhan, diferensiasi dan metabolisme jaringan lemak. Dalam jangka
panjang dapat memicu penyimpanan trigliserida dalam jaringan hati, otot rangka, dan pankreas, sehingga menyebabkan resistensi insulin (Aneja dkk., 2007). Peningkatan atau penambahan masa lemak dan masa non-lemak pada obesitas dapat menyebabkan hipertrofi organ seperti jantung dan ginjal. Pada ginjal terjadi glomerulomegali, vasodilatasi arteriol aferen, dan vasokonstriksi arteriol eferen menyebabkan hipertensi intraglomerular. Hipertensi intraglomerular merupakan awal terjadinya proteinuria. Melalui berbagai mekanisme selular selanjutnya akan menyebabkan glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointertisial pada obesitas. Peningkatan asupan lemak akan mengubah reabsorpsi natrium di ginjal (Aneja dkk., 2007). Retriksi garam atau gabungan retriksi garam dan pengurangan kalori dapat menormalkan tekanan darah pada obesitas. Pengurangan kalori yang tidak disertai pengurangan natrium tidak menimbulkan efek hipotensi. Penelitian melaporkan bahwa tekanan darah turun pada pasien overweight dengan hipertensi yang kehilangan berat badan rata-rata 10,5 kg (Alderman, 2004). Obesitas berhubungan dengan aktivitas renin-angiotensin, hiperinsulinemia dan peningkatan aktivitas sistem saraf simpatetik. Semua kondisi ini berkontribusi pada reabsorpsi natrium dan retensi cairan sehingga menyebabkan hipertensiobesitas (Alderman, 2004; Aneja, 2007) (Gambar 2.4).
Gambar 2.4. Patogenesis Hipertensi pada Sindrom Metabolik (Yogiantara, 2006)
Manifestasi awal hipertensi pada obesitas diawali oleh hipertensi sistolik tanpa disertai hipertensi diastolik (isolated systolic hypertension). Penelitian pengukuran tekanan darah pada remaja dengan obesitas mendapatkan 94% subjek hipertensi sistolik. Penelitian lain pada kelompok remaja di Amerika Serikat didapatkan hipertensi sistolik tanpa hipertensi diastolik merupakan faktor risiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada masa dewasa (Cruz dkk., 2004). Obesitas selalu dihubungkan dengan terjadinya hipertensi, tetapi masih belum jelas kenapa hipertensi tidak terjadi pada semua pasien obesitas. Hubungan obesitas dengan terjadinya hipertensi dan gangguan fungsi ginjal digambarkan pada Gambar 2.2 dan Gambar 2.3.