BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Psychological Well Being
2.1.1 Pengertian Psychological Well Being Menurut pendapat Ryff (Widyati Ama & Utami, 2012) psychological well being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif (positive psychological functioning). Menurut Keyes, Shmotkin dan Ryff (Yudianto, 2011) Psychological well being bukan hanya kepuasan hidup dan keseimbangan antara afek positif dan afek negatif, namun juga melibatkan persepsi dari keterlibatan dengan tantangantantangan selama hidup. Ryff (1995) berpendapat bahwa psychological well being adalah suatu kondisi seseorang yang memiliki kemampuan menerima diri sendiri maupun kehidupannya di masa lalu (self-acceptance), pengembangan atau pertumbuhan diri (personal growth), keyakinan bahwa hidupnya bermakna dan memiliki tujuan (purpose in life), memiliki kualitas hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with others), kapasitas untuk mengatur kehidupan dan lingkungan secara efektif (environmental mastery), dan kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri (autonomy).
8
Psychological well being yang baik adalah orang yang mampu merealisasikan potensi dirinya secara kontinu, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial, maupun menerima diri apa adanya, memiliki arti dalam hidup, serta mampu mengontrol lingkungan eksternal (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Santrock (2002) mendefinisikan psychological well being sebagai kepuasan hidup. Bradburn mendefinisikan psychological well being adalah sebuah kebahagiaan yang merupakan hasil kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai manusia. Psychological well being adalah konsep kesejahteraan psikologis individu yang mampu menerima diri apa adanya, tidak terdapat gejala-gejala depresi dan selalu memiliki tujuan hidup yang dipengaruhi oleh fungsi psikologi positif berupa aktualisasi diri, penguasaan lingkungan sosial dan perkembangan pribadi (Werdyaningrum, 2013) 2.1.2 Dimensi Psychological Well Being Hasil penelitian Ryff (1989) yang menyebutkan bahwa aspek‐aspek yang menyusun psychological well‐being antara lain: 1)
Penerimaan diri (Self acceptance). Seseorang yang psychological well being- nya tinggi memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek positif dan negatif dalam dirinya, dan perasaan positif tentang kehidupan masa lalu.
9
2)
Hubungan positif dengan orang lain (Positive relations with others). Banyak teori yang menekankan pentingnya hubungan interpersonal yang hangat dan saling mempercayai dengan orang lain. Kemampuan untuk mencintai dipandang sebagai komponen utama kesehatan mental. Psychological well being seseorang itu tinggi jika mampu bersikap hangat dan percaya dalam berhubungan dengan orang lain, memiliki empati, afeksi, dan keintiman yang kuat, memahami pemberian dan penerimaan dalam suatu hubungan.
3)
Kemandirian (Autonomy). Merupakan kemampuan
individu dalam
mengambil keputusan sendiri dan mandiri, mampu melawan tekanan sosial untuk berpikir dan bersikap dengan cara yang benar, berperilaku sesuai dengan standar nilai individu itu sendiri, dan mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal. 4)
Penguasaan
lingkungan
(Environmental
mastery).
Mampu
dan
berkompetensi mengatur lingkungan, menyusun control yang kompleks terhadap aktivitas eksternal, menggunakan secara efektif kesempatan dalam lingkungan, mampu memilih dan menciptakan konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai individu itu sendiri. 5)
Tujuan hidup (Purpose in life). Kesehatan mental didefinisikan mencakup kepercayaan‐kepercayaan yang memberikan individu suatu perasaan bahwa hidup ini memiliki tujuan dan makna. Individu yang berfungsi secara positif memiliki tujuan, misi, dan arah yang membuatnya merasa hidup ini memiliki makna.
10
6)
Pengembangan pribadi (Personal growth). Merupakan perasaan mampu dalam melalui tahap‐tahap perkembangan, terbuka pada pengalaman baru, menyadari potensi yang ada dalam dirinya, melakukan perbaikan dalam hidupnya setiap waktu.
2.1.3 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well Being Menurut Ryff dan Keyes (Yudianto, 2011) Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi psychological well being, yaitu faktor demografis, seperti: 1)
Usia Penelitian Ryff pada tahun 1989, 1991, 1995, dan 1998 menunjukkan bahwa usia menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi psychological well being. Pada aspek penguasaan lingkungan, otonomi, penerimaan diri, hubungan positif, menunjukkan peningkatan terhadap usia yang semakin dewasa. Sedangkan tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi menunjukkan penurunan yang tajam pada setiap periode kehidupan usia dewasa
2)
Tingkat Pendidikan Menurut pendapat Ryff, Magee, Kling & Wling (Synder & Lopez, 2002) bahwa tingkat pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap psychological well being yang dimiliki individu Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik memiliki psychological well being yang lebih baik juga.
11
3)
Jenis Kelamin Wanita menunjukkan psychological well being yang lebih positif jika dibandingkan dengan pria. Ryff (1989) menunjukkan bahwa pada dimensi relasi positif, wanita menunjukkan skor yang lebih tinggi dibandingkan pria. Sejak kecil, stereotype gender telah tertanam dalam diri anak laki-laki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sementara itu perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain (Papalia & Feldman, 2001). Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain.
4)
Status Sosial Ekonomi Status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan diri. Individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari dirinya (Ryff, dalam Snyder & Lopez, 2002). Individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki psychological well being yang lebih tinggi.
12
2.2.
Self Regulated Learning
2.2.1 Pengertian Self Regulated Learning Menurut Purwanto (Shidiq & Mujidin, 2012) self regulated learning secara harfiah disusun dari dua komponen yaitu self regulated yang berarti terkelola diri dan learning berarti belajar. Self regulated learning secara keseluruhan dapat diartikan sebagai pengelolaan diri dalam belajar atau belajar secara terkelola. Zimmerman & Martinez-Pons (1990) menyatakan bahwa self regulated learning merupakan konsep mengenai bagaimana seorang siswa menjadi pengatur bagi belajarnya sendiri. Menurut Winne (1997) self regulated learning adalah kemampuan seseorang untuk mengelola secara efektif pengalaman belajarnya sendiri di dalam berbagai cara sehingga mencapai hasil belajar yang optimal. Zimmerman (1989) berpendapat bahwa siswa yang memiliki self regulated learning adalah siswa yang secara metakognitif, motivasional, dan behavioral merupakan peserta aktif dalam proses belajar bagi mereka. Bandura (Filho, 2001) mendefinisikan self regulated learning sebagai suatu keadaan dimana individu yang belajar sebagai pengendali aktivitas belajarnya sendiri, memonitor motivasi dan tujuan akademik, mengelola sumber daya manusia dan benda, serta menjadi perilaku dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksana dalam proses belajar. Schunk dan Zimmerman (Wolters, 1998) mengemukakan bahwa self regulated learning bukan merupakan kemampuan mental (inteligensi) atau keterampilan akademik seperti kecakapan membaca, tetapi suatu proses
13
pengarahan diri yang melibatkan transformasi dari kemampuan mental menuju keterampilan akademik individu. Eggen (2004) juga menambahkan bahwa siswa yang belajar dengan regulasi diri akan berpikir dan bertindak untuk mencapai tujuan pembelajaran akademik,
dengan
mengidentifikasi
tujuan-tujuannya,
menerapkan,
dan
mempertahankan strategi yang digunakan dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut, serta mengaktifkan, mengubah, dan mempertahankan cara belajarnya dalam lingkungan. Teori sosial kognitif oleh Bandura menyatakan bahwa faktor lingkungan, personal, dan faktor perilaku, memegang peranan penting dalam proses pembelajaran individu (Pintrich & Schunk, 2002). 2.2.2. Strategi – Strategi Self Regulated Learning Menurut Zimmerman dan Martinez-Pons (Akhmadi, 2011) menyebutkan 10 kategori perilaku belajar sebagai strategi self regulated learning, yaitu: 1)
Evaluasi terhadap kemajuan tugas (self evaluating). Merupakan inisiatif siswa dalam melakukan evaluasi terhadap kualitas tugas dan kemajuan pekerjaannya. Siswa memutuskan apakah hal-hal yang telah dipelajari mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya. Dalam hal ini siswa membandingkan informasi yang didapat melalui self monitoring dengan beberapa standar atau tujuan yang dimiliki.
2)
Mengatur materi pelajaran (organizing
& transforming). Strategi
organizing menandakan perilaku overt dan covert dari siswa untuk
14
mengatur materi yang dipelajari dengan tujuan meningkatkan efektivitas proses belajar. Strategi transforming dilakukan dengan mengubah materi pelajaran menjadi lebih sederhana dan mudah dipelajari. 3)
Membuat rencana dan tujuan belajar (goal setting & planning). Strategi ini merupakan pengaturan siswa terhadap tujuan umum dan tujuan khusus dari belajar dan perencanaan untuk urutan pengerjaan tugas, bagaimana memanfaatkan waktu dan menyelesaikan kegiatan yang berhubungan dengan tujuan tersebut. Perencanaan akan membantu siswa untuk menemukenali konflik dan krisis yang potensial serta meminimalisir tugas-tugas yang mendesak, fokus pada hal-hal yang penting bagi perolehan kesuksesan jangka panjang. Untuk itu maka perencanaan perlu ditinjau kembali secara rutin.
4)
Mencari informasi (seeking information). Siswa memiliki inisiatif untuk berusaha mencari informasi di luar sumber-sumber sosial ketika mengerjakan tugas ataupun ketika mempelajari suatu materi pelajaran. Strategi ini dilakukan dengan menetapkan informasi apa yang penting dan bagaimana cara mendapatkan informasi tersebut.
5)
Mencatat hal penting (keeping record & monitoring). Strategi ini dilakukan dengan mencatat hal-hal penting yang berhubungan dengan topik yang dipelajari, kemudian menyimpan hasil tes, tugas maupun catatan yang telah dikerjakan.
15
6)
Mengatur lingkungan belajar (environmental structuring). Siswa berusaha memilih atau mengatur aspek lingkungan fisik dengan cara tertentu sehingga membantu mereka untuk belajar dengan lebih baik.
7)
Konsekuensi setelah mengerjakan tugas (self consequences). Strategi ini dilakukan dengan mengatur atau membayangkan reward atau punishment yang didapatkan bila berhasil atau gagal dalam mengerjakan tugas.
8)
Mengulang dan mengingat (rehearsing & memorizing). Siswa berusaha mempelajari ulang materi pelajaran dan mengingat bahan bacaan dengan perilaku yang overt dan covert.
9)
Mencari bantuan sosial (seek social assistance). Bila menghadapi masalah dengan tugas yang sedang dikerjakan, siswa dapat meminta bantuan teman sebaya (seek peer asistance), meminta bantuan guru (seek teacher assistance) dengan bertanya kepada guru menyelesaikan tugas dengan baik. Siswa juga meminta bantuan orang dewasa (seek adult assistance) bila ada topik yang tak dimengerti.
10)
Meninjau kembali catatan, tugas atau tes sebelumnya dan buku pelajaran (review record). Siswa meninjau kembali catatan pelajaran sehingga tahu topik apa saja yang akan diuji. Siswa meninjau kembali tugas atau tes sebelumnya (review test/work) yang meliputi soal-soal ujian terdahulu tentang topik-topik tertentu, juga tugas tugas yang telah dikerjakan sebagai sumber informasi untuk belajar , membaca ulang buku pelajaran (review text book) sumber informasi yang dijadikan penunjang catatan.
16
2.2.3. Aspek – Aspek Self regulated learning Menurut Schunk dan Zimmerman (Ropp, 1998) menyatakan bahwa self regulated learning mencakup tiga aspek, selanjutnya Wolters dkk (2003, dalam Ishtifa, 2011) menjelaskan secara rinci penerapan strategi aspek self regulated learning sebagai berikit: 1)
Kognitif Strategi untuk mengontrol atau meregulasi kognisi meliputi macammacam aktivitas kogninif dan metakognitif yang mengharuskan individu terlibat untuk mengadaptasi dan mengubah kognisinya. a.
Strategi pengulangan (rehearsal) termasuk usaha untuk mengingat materi dengan cara mengulang terus-menerus.
b.
Strategi elaborasi (elaboration) merefleksikan “deep learning” dengan menggunakan kalimatnya sendiri untuk merangkum materi.
c.
Strategi organisasi (organization) termasuk “deep process” dalam melalui penggunaan taktik mencatat, menggambar diagram atau bagan untuk mengorganisasi materi pelajaran.
d.
Strategi
meregulasi
metakognitif
(matacognition
regulation)
melibatkan perencanaan monitoring dan strategi meregulasi belajar, seperti menentukan tujuan dari kegiatan membaca atau membuat perubahan supaya tugas yang dikerjakan mengalami kemajuan.
17
2)
Motivasi Strategi untuk meregulasi mptivasi melibatkan aktivitas yang penuh tujuan dalam memulai, mengaturatau menambah kemauan untuk memulai, mempersiapkan tugas berikutnya, atau menyelesaikan aktivitas tertentu atau sesuai tujuan. Regulasi motivasi adalah semua pemikiran, tindakan atau perilaku dimana siswa beusaha mempengaruhi pilihan, usaha dan ketekunan tugas akademisnya. Regulasi motivasi meliputi: a.
Self-consequating adalah menentukan dan menyediakan konsekuensi intrinsic
supaya
konsisten
dalam
aktivitas
belajar.
Siswa
menggunakkan reward dan punishment secara verbal sebagai wujud konsekuensi. b.
Strategi
penyesuaian
mengindikasikan
siswa
lingkungan berusaha
(environment berkonsentrasi
structuring) penuh
untuk
mengurangi gangguan disekitar tempat belajar dan mengatur kesiapan fiisik dan mental untuk menyelesaikan tugas akademis. c.
Mastery self-talk adalah berpikir tentang penguasaan yang berorientasi pada tujuan seperti memuaskan keingintahuan, menjadi lebih kompeten atau meningkatkan perasaan otonomi.
d.
Performance or extrinsic self-talk adalah ketika siswa dihadapkan pada kondisi untuk menyudahi proses belajar, siswa akan berpikir untuk memperoleh prestasi yang lebih tinggi atau berusaha sebaik
18
mungkin dikelas sebagai cara
meyakinkan diri untuk terus
melanjutkan kegiatan belajar. e.
Relative ability self-talk saat siswa berpikir tentang performa khusus untuk mencapai tujuan belajar, strategi tersebut dapat diwujudkan dengan cara melakukan usaha yang lebih baik daripada orang lain supaya tetap berusaha.
f.
Strategi peningkatan yang relevan (interest enhancement strategies) menggambarkan aktivitas siswa ketika berusaha meningkatkan motivasi intrinsic dalam mengerjakan tugas melalui salah satu situasi atau minat pribadi.
g.
Personal
interest
melibatkan
usaha
siswa
meningkatkan
keterhubungan atau keberartian tugas dengan kehidupan minat personal yang dimiliki. 3)
Perilaku Strategi untuk meregulasi perilaku merupakan usaha individu untuk mengontrol sendiri perilaku yang nampak. Regulasi perilaku meliputi regulasi usaha (effort regulation), waktu dan lingkungan (time / study environment) adalah siswa mengatur waktu dan tempat dengan membuat jadwal belajar untuk mempermudah proses belajar, dan pencarian bantuan (help – seeking) adalah mencoba mendapatkan bantuan dari teman sebaya, guru, dan orang dewasa.
19
2.2.4. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Self Regulated Learning Menurut Stone, Schunk & Swartz (Cobb, 2003) self – regulated learning, dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu: 1)
Self efficacy (keyakinan diri). Merupakan penilaian individu terhadap kemampuannya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, atau mengatasi hambatan dalam belajar (Bandura, 2003). Self-efficacy, mengacu pada kepercayaan seseorang tentang kemampuan dirinya untuk belajar atau melakukan ketrampilan pada tingkat tertentu (Wang, 2004).
2)
Motivasi, menurut Bandura (Cobb, 2003) merupakan sesuatu yang menggerakkan individu pada tujuan, dengan harapan akan mendapatkan hasil dari tindakannya itu dan adanya keyakinan diri untuk melakukannya. Menurut Cobb (2003), siswa cenderung akan lebih efisien mengatur waktunya dan efektif dalam belajar apabila memiliki motivasi belajar.
3)
Tujuan (goal), merupakan kriteria yang digunakan individu untuk memonitor kemajuan belajarnya. Menurut Cobb (2003) goal merupakan penetapan tujuan apa yang hendak dicapai seseorang.
Ketiga faktor tersebut di atas saling berhubungan dengan self regulated learning. Keyakinan diri merefleksikan kepercayaan akan kemampuan diri seseorang untuk menyelesaikan tugas, yang akan mempengaruhi tujuan (apakah orientasi pada tujuan belajar atau kinerja). Selanjutnya keyakinan diri yang tinggi, akan lebih memotivasi individu untuk meningkatkan regulasi diri, sehingga individu dapat belajar dengan mengimplementasikan lebih banyak strategi self
20
regulated learning, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap prestasi akademiknya. 2.2.5. Pengukuran Self Regulated Learning Pada jurnal assessing for self regulated learningoleh Wolters dkk (2003) menggunakan pengembangan pengukuran Motivated Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ), merupakan jenis instrument self-report yang memberikan pernyataan kepada siswa tentang strategi kognitif dan metakognitif untuk pembelajan. MSLQ menggunakan 7 point skala Likert yang memiliki rentangan 1 sampai 7, dimana 1 sangat tidak sesuai dan 7 sangat sesuai. 2.3.
Pascasarjana Menurut
KBBI
(2014) pascasarjana berhubungan dengan tingkat
pendidikan atau pengetahuan sesudah sarjana. Program pascasarjana adalah program pendidikan yang diarahkan untuk mendidik ilmuwan yang mampu meningkatkan
skala
peranannya
dalam
pengembangan
keilmuan
dan
pembangunan. Berdasarkan undang-undang No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dijabarkan ke dalam PP No. 60/1999, program pascasarjana merupakan salah satu lembaga universitas yang menyelenggarakan program pendidikan akademik, dalam bentuk pendidikan program magister dan pendidikan program doktor.
21
2.4.
Hubungan Antara Self Regulated Learning dan Psychological Well Being Hubungan antara self regulated learning dengan psychological well being
adalah upaya mengatur diri dalam belajar dengan memiliki keyakinan bahwa hidup itu bermakna dan memiliki tujuan, memiliki kualitas hubungan positif dengan orang lain, serta kesanggupan untuk mengelola lingkungan yang kondusif dalam belajar dengan mengikutsertakan kemampuan metakognisi, motivasi, dan perilaku belajar pada mahasiswa pascasarjna. 2.5.
Penelitian Sebelumnya Beberapa tahun belakangan ini sudah ada beberapa penelitian mengenai
self regulated learning, salah satunya yaitu penelitian yang dilakukan dalam bentuk jurnal oleh Siti Fani Daulay dan Fasti Rola (2012) dengan judul perbedaan self regulated learning antara mahasiswa yang bekerja dan yang tidak bekerja. Dalam pengambilan sampel peneliti menggunakan teknik incidental sampling dengan jumlah sampel 143 mahasiswa (bekerja dan tidak bekerja). Dan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan self regulated learning antara mahasiswa USU yang bekerja dengan yang tidak bekerja. Penelitian lain juga dilakukan dalam bentuk jurnal oleh Anita Dewi Komalasari dan Asmadi Alsa (2005) dengan judul self regulated learning pada mahasiswa fakultas kedokteran yang menggunakan tipe pembelajaran pbl (problem based learning) dan sks (satuan kredit semester). Pada penelitian ini jumlah sampel sebanyak 100 mahasiswa (FK UMY dan UII). Dan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
22
tidak ada perbedaan self regulated learning pada mahasiswa yang menggunakan tipe pembelajaran PBL dan SKS. Selain self regulated learning, beberapa tahun terakhir ini ada pula penelitian mengenai psychological well being, salah satunya penelitian yang dilakukan dalam bentuk jurnal yang disusun oleh Susanti (2012) dengan judul hubungan harga diri dan psychological well being pada wanita lajang ditinjau dari bidang pekerjaan, jumlah subjek penelitian ini sebanyak 60 orang (bekerja dibidang akademik dan non-akademik). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara hubungan harga diri dan psychological well being dengan mengendalikan bidang pekerjaan. Penelitian lain juga dilakukan dalam bentuk jurnal oleh Puri Werdyaningrum (2013) dengan judul psychological well being pada remaja yang orang tua bercerai dan yang tidak bercerai (utuh), subjek penelitian ini sebanyak 102 remaja usia 14-19. Dan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai psychological well being yang signifikan antara remaja yang orang tuanya bercerai dan remaja yang orang tua utuh. Serta beberapa tahun sebelumnya, ada penelitian
yang membahas
mengenai self regulated learningdan paychology well being yaitu penelitian yang dilakukan dalam bentuk jurnal yang disusun oleh Jahanshir Tavakolizadeh dkk (2012), dengan judul the role of self regulated learningstrategies in psychological well being condition of students, subjek penelitian ini sebanyak 269 siswa (lakilaki dan perempuan). Dan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan
23
positif the role of self regulated learningstrategies in psychological well being condition of students. 2.6.
Kerangka Pemikiran Psychological Well - Being
Self regulated learning
2.7.
-
Self acceptance
-
Positive
relations
with
other
₋
Kognitif
₋
Motivasi
-
Autonomy
₋
Perilaku
-
Environmental mastery
-
Purpose in life
-
Personal growth
Hipotesis Berdasarkan deskripsi teoritis dan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis
dalam penelitian ini yaitu, terdapat hubungan positif yang signifikan antara self regulated learning dan psychological well being pada mahasiswa pascasarjana.
24