14 BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teoretis 1. Kecerdasan (Intelligence) Glover dan Bruning (1990:102) membagi teori inteligensi menjadi dua kelompok besar: teori inteligensi yang dikemukakan oleh pakar psikometri dan teori inteligensi yang dikemukakan oleh pakar pemrosesan informasi. Secara umum, pakar psikometri lebih menekankan pada bagaimana mengukur inteligensi dan memprediksi prestasi lain seperti pembelajaran di kelas. Sebaliknya, pakar pemrosesan informasi lebih menekankan pada proses-proses berpikir. Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang mencolok hasil-hasil penelitian inteligensi antara pakar psikometri dengan pakar pemrosesan informasi. Ini terbukti dengan penelitian yang dilakukan oleh Hunt, Ellis, Stenberg, dan beberapa koleganya. Oleh karena itu tidak menjadi masalah pendapat pakar mana yang digunakan. Menurut Spearman, kecerdasan ialah kemampuan umum untuk berpikir dan menimbang. Thurstone melihat kecerdasan sebagai suatu rangkaian kemampuan yang terpisah. Kemampuan-kemampuan seperti kemampuan numerik, ingatan, dan kefasihan berbicara secara bersama-sama membentuk perilaku pandai. Heim mendefinisikan kecerdasan sebagai perbuatan pandai yang terdiri dari pemahaman hal-hal yang pokok di dalam suatu keadaan dan penanggapan secara tepat terhadap
15 keadaan tersebut. Definisi Heim ini mempunyai persamaan dengan pemikiran Piaget dan Bruner tentang perkembangan kognitif yaitu seseorang yang melakukan usahausaha untuk berhubungan secara efektif dengan lingkungannya (Hardy dan Heyes, 1988:71). Senada dengan pemikiran ini, Binet dan Simon (dalam Glover dan Bruning, 1988:95) menyatakan bahwa di dalam inteligensi terdapat sebuah kemampuan dasar yang sangat penting di dalam kehidupan praktis. Kemampuan ini meliputi kemampuan menilai, berpikir dengan baik, praktis, inisiatif, dan kemampuan beradaptasi dengan berbagai macam kondisi. Super dan Crites (1965:83) membatasi definisi inteligensi hanya pada kemampuan menyesuaikan dengan lingkungan atau belajar dari pengalaman. Untuk itu fungsi utama inteligensi adalah menemukan pemecahan masalah dan membuktikannya. Hal ini terjadi karena inteligensi melibatkan imajinasi dan inteligensi sendiri merupakan logika (Piaget, 1969:202). Richard (dalam Rivai, 1980:3) juga menegaskan inteligensi merupakan kemampuan memahami masalah-masalah yang sukar, kompleks, abstrak, ekonomis, diarahkan pada suatu tujuan, mempunyai nilai sosial, dan berasal dari sumbernya. Ia juga memandang inteligensi sebagai suatu kecakapan global seseorang untuk berbuat dengan sengaja, berpikir secara rasional, dan berhubungan dengan lingkungannya secara efektif. Dengan demikian kecerdasan tergantung pada pengetahuan. Dalam hal ini, orang yang cerdas tidak semata-mata memiliki pengetahuan tetapi juga yang lebih penting memanfaatkan pengetahuan itu untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya (Woodworth dan Marquis, 1961:33). Tahun 1949, Hebb mengemukakan bahwa kecerdasan timbul karena dua kenyataan. Pertama, manusia memiliki otak yang struktur dan fungsinya merupakan
16 cetak biru (blueprint) genetis. Di dalam cetak biru genetis inilah dikodekan juga kemampuan sel-sel otak tersebut untuk melakukan penggabungan bersama dalam membentuk ikatan antarsel dan rangkaian fase di dalam keadaan tertentu. Dengan demikian, kita memiliki kemampuan membentuk ikatan antarsel sejak dilahirkan. Kedua, meskipun kita memiliki potensi untuk membentuk hubungan-hubungan di dalam otak, kita tidak akan menggunakan potensi tersebut secara penuh karena lingkungan akan membantu atau menghalangi pembentukan tersebut. Berdasarkan dua kenyataan ini, Hebb membentuk dua tipe kecerdasan: kecerdasan tipe A dan kecerdasan tipe B. Kecerdasan A ialah kecerdasan potensial, yaitu struktur yang telah ditentukan secara genetis di dalam otak dan juga potensi mengenai hubungan antarneuron di dalam otak. Kecerdasan B berkaitan dengan sampai seberapa jauh potensi genetis dapat dibentuk sebagai hasil interaksi antara faktor genetis individu dengan lingkungannya. Dengan kata lain, inteligensi B merupakan fungsionalisasi intelektual yang dilakukan seseorang. Hebb tidak menyatakan bahwa ada dua jenis inteligensi. Ia hanya menyatakan bahwa tidak ada inteligensi A dan B yang bisa diobservasi dengan baik. Inteligensi B jauh lebih terbuka dan akurat untuk diukur daripada inteligensi A sehingga kebanyakan para pakar psikometri hanya memfokuskan pada inteligensi B dalam melakukan pengukuran (Hardy dan Heyes, 1988:72-73; Glover dan Bruning, 1990:98). Yang perlu diperhatikan juga dalam pembahasan inteligensi ini adalah perdebatan tentang apakah inteligensi lebih ditentukan oleh faktor genetis ataukah oleh faktor lingkungan walaupun pada masa sekarang ada kecenderungan di antara para ahli psikologi untuk tidak berpandangan secara ekstrim terhadap kedua faktor
17 itu. Pokok perdebatan masa kini beralih pada faktor manakah yang lebih menentukan perbedaan inteligensi antara individu yang satu dengan yang lain, apakah faktor genetis ataukah lingkungan. Ada banyak bukti penelitian yang menyatakan bahwa inteligensi seseorang merupakan hasil interaksi antara faktor genetis dengan faktor lingkungan (Hardy dan Heyes, 1988:69; Azwar, 2002:76). Evolusi inteligensi tidak seperti yang dikemukakan di dalam asosianisme dari Taine dan Ribot yaitu kontinu tetapi berirama. Pada suatu saat inteligensi akan kembali pada tingkat tertentu, bergelombang, berinterferensi, dan mempunyai rentang waktu (Piaget,1969:215). Salah satu tes inteligensi yang pernah populer adalah tes Primary Mental Abilities. Tes ini dikembangkan oleh Lois Leon Thurstone tahun 1938 dan Thelma Gwinn Thurstone. Sebelum tes ini disusun, Thurstone (dalam Veenman, tanpa tahun:1) menganjurkan analisis faktor dengan metode centroid dalam mengekstraksi faktor-faktor dan memperoleh ‘struktur sederhana’ melalui rotasi aksis ortogonal. Rotasi aksis ini akan mengurangi kecenderungan ke arah faktor umum. Oleh karena itu, beberapa kemampuan mental yang ditemukan merupakan konstelasi-konstelasi yang berbeda di dalam analisis faktor (Thurstone, 1934:17). Untuk memperoleh kemampuan mental ini, Thurstone melaksanakan beberapa tes yang dikenal dengan tes Chicago dan SRA. Tes Chicago (dikerjakan selama dua jam) dan SRA (dikerjakan selama 45 menit) digunakan sebagai alat untuk mengetahui kemampuan mental dasar khususnya pada siswa SMU atau yang lebih tinggi sedangkan yang lebih rendah diberikan tes tambahan yang berbeda. Tes Chicago terdiri atas 11 tes yang dipilih dari 60 tes yang diujicobakan pada 1.154 siswa dan dianalisis faktor, dan dari 21 tes yang diujicobakan pada 437 siswa
18 dan kemudian dianalisis faktor. Sebelas tes ini ternyata mengukur enam kemampuan mental dasar: (1) V (Verbal) yaitu pemahaman akan hubungan kata, kosa kata, dan penguasaan komunikasi lisan; (2) N (Number) yaitu kecermatan dan kecepatan dalam penggunaan fungsi-fungsi hitung dasar; (3) S (Spatial) yakni kemampuan mengenali berbagai hubungan dalam bentuk gambar; (4) W (Word Fluency) yaitu kemampuan mencerna dengan cepat kata-kata tertentu; (5) M (Memory) yaitu kemampuan mengingat gambar-gambar, pesan-pesan, angka-angka, kata-kata, dan pola-pola; (6) R (Reasoning) yaitu kemampuan mengambil simpulan dari beberapa contoh, aturan, atau prinsip, yang dapat juga diartikan sebagai kemampuan memecahkan masalah baik secara deduktif maupun induktif (Super dan Crites, 1965:129; Glover dan Bruning, 1990:100; Azwar, 2002:22). Kemampuan-kemampuan mental ini sangat bermanfaat bagi seseorang untuk hidup di masyarakat dan menghindari kegagalan berinteraksi dengan lingkungan (Paik, 1998:4). Faktor Umum (g)
Faktor Mayor (g1)
Faktor Minor (g2)
Verbal (V)
Kosa Kata
Angka
Pemahaman
Perfomansi (P)
Pandang ruang
Melengkapi Gambar
Lorong Sesat
Faktor Spesifik (s)
Gambar 2.1 Model Teori Inteligensi Thurstone (Sumber: Azwar, 2002:22)
19 Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa keenam faktor tersebut tidaklah terpisah secara eksklusif dan tidak pula independen satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu mereka menyimpulkan bahwa terdapat satu faktor umum lain yang lebih rendah tingkatannya yang berupa faktor g tingkat dua. Faktor g tingkat dua inilah yang menjadi dasar faktor-faktor lain. Model hirarki analisis faktor tiga tingkat menurut Thurstone tampak pada gambar 2.1 (halaman 18). Beberapa penelitian telah dilakukan dengan menggunakan tes Primary Mental Abilities ini. Salah satunya yang relevan dengan penelitian ini adalah yang dilakukan Shanner dan Kuder tahun 1941. Mereka mengkorelasikan Primary Mental Abilities dengan nilai ujian mahasiswa baru yang hasilnya tampak pada tabel 2.1 (halaman 19). Tabel 2.1 Korelasi antara Primary Mental Abilities dengan Nilai Ujian Mahasiswa Baru Universitas Chicago PMA Perception Number Verbal Spatial Memory Induction Deduction R Multipel
Ilmu-ilmu Biologi 0,08 0,21 0,38 0,225 0,145 0,22 0,42 0,50
Mata Kuliah Ilmu-ilmu KeIlmu-ilmu masyarakatan Fisika 0,13 0,17 0,265 0,27 0,47 0,38 0,07 0,14 0,13 0,18 0,03 0,25 0,19 0,485 0,54 0,56
Sumber: Super dan Crites (1965:132)
Ilmu-ilmu sosial 0,135 0,30 0,435 0,13 0,16 0,20 0,43 0,57
Rata-rata Nilai Ujian 0,12 0,31 0,415 0,18 0,20 0,23 0,38 -
Tidak ada satu faktor pun dari tes PMA yang konsisten berkorelasi tinggi dengan nilai-nilai ujian mahasiswa baru walaupun faktor verbal dan faktor deduksi tampak memiliki korelasi yang tinggi. Ini berarti masing-masing faktor tidak dapat digunakan untuk memprediksikan kemampuan mahasiswa baru dalam menyelesaikan
20 ujian pada semua mata kuliah. Sebaliknya, R multipel dari tes PMA sangat tinggi sehingga tes PMA sangat baik digunakan untuk memprediksikan nilai-nilai ujian mahasiswa baru. Dari keempat mata kuliah itu, nilai ujian mata kuliah ilmu-ilmu sosial memiliki R multipel yang lebih tinggi daripada yang lain. Kemampuan verbal memiliki korelasi yang paling tinggi daripada kemampuan yang lain yakni 0,435 bahkan jauh lebih tinggi lagi pada saat kemampuan tersebut dikorelasikan dengan rata-rata nilai ujian. Dengan demikian penggunaan tes kemampuan verbal sangat relevan dilakukan karena penelitian ini akan memfokuskan pada pembelajaran mata pelajaran ekonomi yang merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Sosial. Berpedoman pada teori inteligensi Thurstone di atas, variabel kecerdasan pada penelitian ini merupakan kemampuan siswa dalam memahami hubungan kata, kosa kata, dan penguasaan komunikasi lisan. 2. Strategi-strategi Metakognitif (Metacognitive Strategies) Pengertian strategi tidak dapat dibedakan secara tegas dengan proses. “A strategy is essentially a method for approaching a task, or more generally attaining a goal. Each strategy would call upon a variety of processes in the course of its operation. It is not difficult to see that in a true hierarchical system, with more than two levels, there will be higher-level processes, or lower-level strategies, that will be intermediate in nature” (Kirby, 1984:5). Siswa bisa menggunakan strategi menghafal tingkat rendah dalam menyelesaikan tugas-tugas tertentu dan bisa menggunakan strategi-strategi lain untuk tugas-tugas yang lain pula. Bila strategi menghafal dipelajari dengan baik, kemudian disimpan di dalam memori, menghafal akan berfungsi sebagai proses. Menurut Oxford dan Crookall (dalam Singhal, 2001:1), strategi-strategi merupakan teknik-teknik prilaku,
21 keterampilan-keterampilan belajar atau memecahkan masalah yang dapat membuat pembelajaran lebih efektif dan efisien. Definisi ini secara implisit mempunyai kesamaan pengertian dengan strategi belajar yang dikemukakan Rigney. Ia menyatakan strategi belajar melibatkan rencana-rencana atau aktivitas-aktivitas mental siswa yang digunakan untuk memperoleh, mengingat, dan memperbaiki berbagai macam pengetahuan dan prestasi. Umumnya strategi ini disebut strategistrategi kognitif. Strategi-strategi kognitif melibatkan beberapa aktivitas seperti memperoleh, memilih, dan mengorganisasikan informasi; menghafal materi yang dipelajari; menghubungkan materi baru dengan informasi yang ada di dalam memori, mengingat, dan memperbaiki pengetahuan (Hsiao, 1997:1). Gagne (1992:70) lebih ringkas menyatakan strategi kognitif merupakan keterampilan kognitif untuk memilih dan mengarahkan proses-proses internal dalam belajar dan berpikir. Dengan demikian objek strategi kognitif adalah keterampilan yang membedakannya dengan keterampilan intelektual lain. Konsep dan aturan-aturan yang menunjuk pada lingkungan objek-objek dan kejadian-kejadian seperti pernyataan-pernyataan, grafikgrafik, atau rumus matematis, merupakan objek keterampilan intelektual sedangkan objek strategi-strategi kognitif adalah proses-proses kognitif yang dimiliki siswa. Strategi kognitif yang digunakan siswa dapat menentukan bagaimana ia belajar, bagaimana ia memanggil kembali dan menggunakan apa yang dipelajari, dan bagaimana ia berpikir. Weinstein dan Mayer membagi strategi kognitif menjadi lima: (1) strategistrategi menghafal (rehearsal strategies), strategi-strategi elaborasi (elaboration strategies), strategi-strategi pengaturan (organizing strategies), strategi-strategi
22 pemantauan pemahaman (comprehension monitoring strategies) atau juga disebut strategi-strategi metakognitif (metacognitive strategies), dan strategi-strategi afektif (affective
strategies).
mengkategorikan
lebih
West,
Farmer,
banyak
strategi
dan
Wolff
kognitif.
mengidentifikasi Strategi-strategi
dan
kognitif
memberikan fungsi khusus selama pemrosesan informasi. Tabel 2.2 (halaman 22) mendeskripsikan tahap-tahap pemrosesan informasi dikolom sebelah kiri dan di sebelah kanan adalah strategi-strategi yang mendukung tahap-tahap ini. Tabel 2.2 Strategi-strategi Kognitif yang Mendukung Tahap-tahap Pemrosesan Informasi Proses Pembelajaran Persepsi selektif (selective perception)
Strategi-strategi yang Mendukung ϖ ϖ ϖ ϖ ϖ
Menghafal (rehearsal)
ϖ
Menjelaskan kata-kata penting (highlighting) Menggarisbawahi (underlining) Pemandu awal (advance organizers) Pertanyaan-pertanyaan tambahan (adjunct questions) Membuat garis-garis besar (outlining)
ϖ ϖ ϖ ϖ
Menjelaskan dengan kata-kata (paraphrasing) Membuat catatan (note taking) Membuat gambaran (imagery) Membuat garis-garis besar (outlining) Mengelompokkan (chunking)
Pengkodean informasi (semantic encoding)
ϖ ϖ ϖ ϖ ϖ
Peta-peta konsep (concept maps) Taksonomi-taksonomi (taxonomies) Analogi-analogi (analogies) Aturan-aturan (rules/productions) Skema-skema (schemas)
Pemanggilan kembali (retrieval)
ϖ ϖ
Menghafal (mnemonics) Membuat gambaran (imagery)
Kontrol eksekutif (executive control)
ϖ
Strategi-strategi strategies)
Sumber: Gagne (1992:68)
metakognitif
sendiri
(metacognitive
23 Untuk mempermudah pembahasan deskripsi teoritis tentang strategi-strategi metakognitif ini, penggunaan istilah strategi-strategi kognitif hanya menunjuk pada strategi-strategi nonmetakognitif, seperti strategi-strategi kognitif yang telah disebutkan di atas, sehingga strategi-strategi metakognitif berdiri sendiri, terpisah dari strategi-strategi kognitif. Metakognisi adalah istilah yang dibuat oleh Flavell pada tahun 1976 yang mendatangkan banyak perdebatan dalam mendefinisikannya. Arti metakognisi tidak selalu sama di dalam berbagai macam bidang penelitian psikologi, begitu juga tidak bisa diterapkan pada satu bidang psikologi saja. Ketidakkonsistenan ini muncul karena para peneliti mendefinisikannya sesuai dengan bidang penelitiannya. Cazden mendefinisikan kesadaran metalinguistik seperti definisi metamemori yang digunakan Flavell. Kedua penulis menggunakan kata meta yang menunjuk pada kesadaran reflektif (reflective awareness) proses-proses kognitif sedangkan peneliti di bidang keterlambatan mental, seperti Butterfield, Wambold, dan Belmont, memberikan penekanan yang penting pada proses-proses kontrol kognisi yang dinamakannya proses-proses eksekutif (executive processes). Proses-proses ini sebenarnya telah menjadi bagian di dalam definisi metakognisi yang diberikan Flavell dan Brown. Cavanaugh dan Perlmutter berpendapat bahwa hanya isi pengetahuan memori yang disebut metamemori. Baker dan Anderson lebih umum menyatakan metakognisi merupakan pengetahuan seseorang dan kontrol terhadap proses-proses kognitif yang dimilikinya (Lawson, 1984:90). Dengan demikian orang yang mempunyai strategistrategi metakognitif adalah orang yang mempunyai pengetahuan dan kontrol terhadap aktivitas-aktivitas berpikir dan belajarnya (Hsiao, 1997:1).
24 Menurut Flavell (dalam Hacker, tanpa tahun:4), kemampuan seseorang untuk mengontrol bermacam-macam aktivitas kognitif dilakukan melalui aksi-aksi dan interaksi-interaksi di antara empat kelas fenomena: (1) pengetahuan metakognitif; (2) pengalaman-pengalaman metakognitif; (3) tujuan-tujuan (tugas-tugas); dan (4) aksiaksi (strategi-strategi). Lebih lanjut, ia menyatakan metakognisi terdiri dari pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge) dan pengalaman atau pengaturan metakognitif (metacognitive experience or regulation). a. Pengetahuan Metakognitif Pengetahuan metakognitif dapat dilihat ketika siswa sadar tentang kemampuan kognitifnya (Robinson, 1983:107; Glover dan Bruning, 1990:32). Contoh, siswa mengetahui ia mempunyai memori yang kurang baik untuk materi pelajaran tertentu; untuk menilai prestasinya, ia membuat catatan tentang prestasinya. Flavell (dalam Robinson, 1983:115; Livingstone, 1997:1) menegaskan bahwa pengetahuan metakognitf merupakan pengetahuan yang diperoleh siswa tentang proses-proses kognitif yaitu pengetahuan yang bisa digunakan untuk mengontrol proses-proses kognitif. Ia membagi pengetahuan metakognitif menjadi tiga kategori: pengetahuan tentang variabel-variabel personal, variabel-variabel tugas, dan variabelvariabel strategi. Pengetahuan tentang variabel-variabel personal berkaitan dengan pengetahuan tentang bagaimana siswa belajar dan memproses informasi serta pengetahuan tentang proses-proses belajar yang dimilikinya. Contoh, seorang siswa sadar bahwa proses belajar lebih produktif jika dilakukan di perpustakaan daripada di rumah. Pengetahuan tentang variabel-variabel tugas melibatkan pengetahuan tentang
25 sifat tugas dan jenis pemrosesan yang harus dilakukan untuk menyelesaikan tugas itu. Contoh, siswa sadar bahwa membaca dan memahami teks ilmu pengetahuan memerlukan lebih banyak waktu daripada membaca dan memahami sebuah novel. Pengetahuan tentang variabel-variabel strategi melibatkan pengetahuan tentang strategi-strategi kognitif dan metakognitif serta pengetahuan kondisional tentang kapan dan di mana strategi-strategi itu digunakan. b. Pengalaman-pengalaman Metakognitif Menurut Flavell (dalam Hacker, tanpa tahun:4) dan Brown (dalam Livingstone, 1997:1), pengalaman-pengalaman metakognitif melibatkan strategistrategi metakognitif atau pengaturan metakognitif. Strategi-strategi metakognitif merupakan proses-proses yang berurutan yang digunakan untuk mengontrol aktivitasaktivitas kognitif dan memastikan bahwa tujuan kognitif telah dicapai. Proses-proses ini terdiri dari perencanaan dan pemantauan aktivitas-aktivitas kognitif serta evaluasi terhadap hasil aktivitas-aktivitas ini. Aktivitas-aktivitas perencanaan seperti menentukan tujuan dan analisis tugas membantu mengaktivasi pengetahuan yang relevan sehingga mempermudah pengorganisasian dan pemahaman materi pelajaran. Aktivitas-aktivitas pemantauan meliputi perhatian seseorang ketika ia membaca, dan membuat pertanyaan atau pengujian diri. Aktivitas-aktivitas ini membantu siswa dalam memahami materi dan mengintegrasikannya dengan pengetahuan awal. Aktivitas-aktivitas pengaturan meliputi penyesuaian dan perbaikan aktivitas-aktivitas kognitif siswa. Aktivitas-aktivitas ini membantu peningkatan prestasi dengan cara mengawasi dan mengoreksi perilakunya pada saat ia menyelesaikan tugas (Pintrich et
26 al, 1991:1). Contoh, setelah membaca sebuah paragraf di dalam sebuah teks, siswa menanyakan kepada dirinya sendiri tentang konsep-konsep yang didiskusikan di dalam paragraf itu. Tujuan kognitifnya adalah untuk memahami teks itu. Menanyakan kepada dirinya sendiri merupakan strategi-strategi metakognitif. Jika ia menemukan bahwa ia tidak bisa menjawab pertanyaannya sendiri, atau ia tidak dapat memahami materi yang didiskusikan, ia kemudian menentukan apa yang perlu dilakukan untuk memastikan bahwa ia mencapai tujuan kognitif itu. Ia barangkali memutuskan untuk mengulangi atau membaca kembali paragraf itu agar mampu menjawab pertanyaannya sendiri. Dalam model-model pemrosesan informasi, pengalaman atau pengaturan metakognitif ini dinamakan proses-proses eksekutif atau kontrol eksekutif. Kontrol eksekutif melibatkan proses-proses metakognitif (lihat tabel 2.2 halaman 22). Proses inilah yang mengaktifasi dan mengarahkan arus informasi selama pembelajaran. Strategi-strategi ini mengarahkan pilihan siswa terhadap strategi-strategi kognitif yang digunakannya untuk menentukan apa yang harus dilakukan selama proses pemecahan masalah. Apa yang dilakukannya tergantung pada harapan-harapan atau tujuan-tujuan dan pada strategi-strategi yang digunakannya untuk mencapai tujuan itu. Contoh, siswa yang belajar untuk sebuah tes (menyelesaikan tes akan menjadi tujuan) akan menggunakan strategi yang berbeda bila ia sedang mempersiapkan untuk mengajar sebuah keterampilan (mengajar akan menjadi tujuan). Menurut Kluwe (dalam Hacker, tanpa tahun:5), proses-proses memantau seleksi dan aplikasi serta pengaruh-pengaruh proses dan pengaturan aktivitas pemecahan masalah merupakan pengetahuan prosedural metakognitif. Ia juga
27 menggunakan istilah proses-proses eksekutif pada pengetahuan prosedural ini. Proses-proses eksekutif melibatkan baik pemantauan maupun pengaturan prosesproses berpikir, karena itu berkaitan dengan strategi-strategi metakognitif Flavell dan keterampilan metakognitif. Proses pemantauan eksekutif merupakan proses-proses yang di arahkan pada pemerolehan informasi tentang proses-proses berpikir seseorang. Proses-proses ini melibatkan keputusan-keputusan seseorang yang membantu (1) mengidentifikasi tugas yang sedang dikerjakan, (2) mengawasi kemajuan pekerjaannya, (3) mengevaluasi kemajuan ini, dan (4) memprediksi hasil yang akan diperoleh. Proses-proses pengaturan eksekutif adalah proses-proses yang di arahkan pada pengaturan proses berpikir seseorang. Proses-proses ini membantu (1) mengalokasikan sumber daya-sumber daya yang dimiliki untuk mengerjakan tugas, (2) menentukan langkah-langkah penyelesaian tugas, dan (3) menentukan intensitas, atau (4) kecepatan dalam menyelesaikan tugas. Cavanaugh
dan
Perlmutter
(dalam
Lawson,
1984:92)
menyatakan
pengetahuan dan kontrol kognitif harus dilihat berbeda secara logis. Seseorang mempunyai pengetahuan tentang aktivitas kognitifnya. Ia bisa merefleksikan sifat, operasi, dan hasil aktivitas ini. Hasil refleksi inilah yang disebut pengetahuan metakognitif. Di dalam prilaku eksekutif, seseorang mengontrol atau mengatur proses-proses kognitif. Sifat operasi eksekutif tergantung pada pengetahuan metakognitif tetapi pengetahuan ini harus dilihat sebagai sumber yang berpengaruh, tidak sinonim dengan proses eksekutif. Livingstone (2002:2) menganalogkan perbedaan ini dengan perbedaan antara teori dan praktik. Pengetahuan relatif konsisten di dalam diri seseorang sedangkan
28 pengaturan tidak stabil, tidak tergantung pada usia, bisa berubah tergantung pada situasi. Kamu menunjukkan perilaku pengaturan diri pada situasi tertentu tetapi tidak pada situasi lain, dan anak menunjukkan perilaku pengaturan diri di mana orang dewasa tidak melakukannya. Pengaturan bisa dipengaruhi oleh kecemasan, ketakutan dan minat, dan konsep diri seperti harga diri. Proses-proses pengaturan cenderung lebih tidak sadar. Kemampuan yang membawa keterampilan-keterampilan yang terotomatiasi ke dalam kesadaran merupakan karakteristik metakognisi dan inteligensi tinggi. Dengan mengembangkan kesadaran diri, berarti kamu sedang mengembangkan inteligensimu. Gambar 2.2 (halaman 28) menunjukkan perbedaan dan hubungan pengetahuan metakognitif dengan proses-proses eksekutif yang dalam penelitian ini disebut strategi-strategi metakognitif.
Metakognisi
Pengetahuan Metakognitif
Strategi-strategi Metakognitif
Variabel Personal
Perencanaan-diri
Variabel Tugas
Pemantauan-diri
Variabel Strategi
Evaluasi-diri
Gambar 2.2 Hubungan Pengetahuan Metakognitif dengan Strategi-strategi Metakognitif (Sumber: Hasil Pemahaman Sendiri) NCREL (dalam www.neat.tas.edu.au, 1995:2) mengidentifikasi indikatorindikator metakognisi dan membaginya menjadi tiga kelompok. Pertama,
29 mengembangkan rencana aksi, meliputi pertanyaan-pertanyaan: (1) pengetahuan awal apakah yang akan menolongku mengerjakan tugas-tugas? (2) Dengan cara apakah saya mengarahkan pikiranku? (3) Pertama kali saya harus melakukan apa? (4) Mengapa saya membaca bagian ini? (5) Berapa lama saya menyelesaikan tugas ini? Kedua, memantau rencana aksi, meliputi pertanyaan-pertanyaan: (1) bagaimana saya melakukan aksi? (2) Apakah saya berada pada jalur yang benar? (3) Bagaimana seharusnya saya melakukan? (4) Informasi apakah yang penting untuk diingat? (5) Haruskah saya melakukan dengan cara berbeda? (6) Haruskah saya menyesuaikan langkah-langkah aksi dengan tingkat kesukaran? (7) Jika tidak memahami, apakah yang perlu dilakukan? Ketiga, mengevaluasi rencana aksi, meliputi pertanyaanpertanyaan: (1) seberapa baik saya telah melakukan aksi? (2) Apakah cara berpikirku menghasilkan lebih banyak atau kurang sesuai dengan harapanku? (3) Apakah saya telah melakukan secara berbeda? (4) Bagaimana saya menerapkan cara berpikir ini terhadap masalah yang lain? (5) Apakah saya perlu kembali mengerjakan tugas ini untuk mengisi ‘kekosongan‘ pemahamanku? Halter mengelompokkan indikator-indikator strategi-strategi metakognitif menjadi tiga kelompok. Pertama, kesadaran, meliputi kesadaran mengidentifikasi apa yang telah diketahui, menentukan tujuan belajar, mempertimbangkan alat bantu belajar, mempertimbangkan bentuk tugas, menentukan cara mengevaluasi prestasi belajar, mempertimbangkan tingkat motivasi, dan menentukan tingkat kecemasan. Kedua, perencanaan, meliputi kegiatan memperkirakan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas, merencanakan waktu belajar ke dalam sebuah jadwal, membuat checklist tentang aktivitas yang perlu dilakukan, mengorganisasikan materi, dan
30 mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk belajar dengan menggunakan strategi-strategi kognitif. Ketiga, pemantauan dan refleksi, meliputi kegiatan mengawasi proses-proses belajar, memantau belajar dengan pertanyaan sendiri, memberikan umpan-balik, dan menjaga konsentrasi dan motivasi (coe.sdsu.edu, tanpa tahun:2-3). Lebih sederhana lagi, PISA (2000:2) menggunakan beberapa pernyataan untuk mengetahui skor strategi-strategi kontrol (control strategies): saya memulai dengan memperhatikan apa yang perlu dipelajari; saya memantau ingatanku tentang apa yang dipelajari; saya berusaha mengetahui yang mana konsep-konsep yang belum dipahami; saya harus memastikan bahwa saya mengingat sesuatu yang sangat penting; dan ketika saya tidak memahami sesuatu, saya mencari informasi tambahan untuk memahaminya. Kesadaran memantau aspek-aspek hafalan, tujuan-tujuan, dan variabelvariabel menjadi diragukan kemunculannya pada saat prilaku penyimpanan dan pemanggilan kembali terotomatisasi dan menjadi kuasi reflektif karena penggunaan dan pembelajarannya diulang-ulang. Jika tidak sadar dan otomatis, apakah strategi yang digunakan seseorang mencerminkan metakognitif atau kognitif? Pada suatu saat responsnya sadar dan disengaja. Haruskah pikiran-pikiran yang metakognitif tetapi menjadi otomatis karena penggunaan dan pembelajarannya yang diulang-ulang masih disebut metakognitif? Proses-proses kognitif yang otomatis melibatkan pengetahuan dan kognisi tentang fenomena kognitif yang dimiliki seseorang hanya ketika prosesproses metakognitif dilakukan. Menurut Ericson dan Simon (dalam Hacker, tanpa tahun:4), karena orang diperintahkan sadar terhadap proses-proses otomatis yang
31 tidak sadar, sulit bagi orang itu jika bukan tidak mungkin melaporkannya. Dengan kata lain, sangat diragukan laporan-laporan tentang proses-proses metakognitif seseorang bila tidak diteliti secara akurat. Perdebatan tentang bisa atau tidak bisa proses-proses metakognitif ini dilaporkan terus berlangsung tetapi sudah ada kesepakatan di antara para ahli seperti Borkowski, Muthukrisna, Bracewell, Carr, Alexander, Folds-Bennet, Davidson, Deuser, Stenberg, Paris, dan Winograd, bahwa proses-proses metakognitif bisa menjadi objek penelitian. Proses-proses metakognitif tidak hanya bisa dikontrol oleh seseorang tetapi bisa juga dilaporkan. Dengan demikian strategi-strategi metakognitif yang dimaksudkan di dalam penelitian ini adalah penggunaan atau pengalaman praktis, bukan teoritis seperti pengetahuan metakognitif, tentang perencanaan, pemantauan, dan evaluasi terhadap proses-proses kognitif yang dilakukan pada saat belajar. Indikator-indikator yang digunakan berpedoman pada teori strategi-strategi metakognitif dari Flavel dan Brown. Ada tiga komponen yang bisa diambil dari teori ini yaitu perencanaan-diri, pemantauan-diri, dan evaluasi-diri. Masing-masing komponen berisi indikatorindikator yang pernah dibuat oleh NCREL, Halter, dan PISA. Ada empat substansi pokok yang akan dijadikan indikator: tujuan belajar yang akan dicapai, waktu yang digunakan untuk menyelesaikan tugas, pengetahuan awal, dan strategi-strategi kognitif. Secara lebih rinci, indikator-indikator strategi-strategi metakognitif dikelompokkan
sebagai
berikut.
Pertama,
perencanaan-diri
(self-planning),
mempunyai indikator-indikator tentang tujuan belajar yang akan dicapai, waktu yang akan digunakan untuk menyelesaikan tugas belajar, pengetahuan awal yang relevan, dan strategi-strategi kognitif yang akan digunakan. Kedua, pemantauan-diri (self-
32 monitoring), mempunyai indikator-indikator tentang pemantauan ketercapaian tujuan belajar,
pemantauan
waktu
yang digunakan, pemantauan relevansi materi
pengetahuan awal dengan materi pelajaran baru, dan pemantauan strategi-strategi kognitif yang sedang digunakan. Ketiga, evaluasi-diri (self-evaluation), mempunyai indikator-indikator tentang evaluasi ketercapaian tujuan belajar, evaluasi waktu yang digunakan, evaluasi relevansi pengetahuan awal dengan materi pelajaran baru, dan evaluasi strategi-strategi kognitif yang telah digunakan. 3. Pengetahuan Awal (Prior Knowledge) dan Hasil Belajar Mata Pelajaran Ekonomi Pengetahuan diperoleh melalui pemrosesan informasi. Informasi sendiri penting untuk tiga alasan. Pertama, individu perlu mengetahui fakta-fakta tertentu karena merupakan pengetahuan umum. Kedua, berfungsi membantu dan menciptakan pembelajaran. Ketiga, sebagai pengetahuan khusus yang harus dimiliki para ahli (Gagne, 1983:38). Pemrosesan informasi ini dilakukan melalui observasi dan inferensi (Eggen et al, 1979:19). Semua informasi diproses melalui observasi. Observasi merupakan kegiatan pancaindra untuk mendapatkan informasi. Pengamat yang baik mampu membedakan sesuatu yang tidak diperhatikan orang lain. Mengajar siswa menjadi pengamat yang baik
meningkatkan
kemampuannya
untuk
mendapatkan
informasi
tentang
lingkungannya dan menolongnya menjadi lebih sensitif. Hasil observasinya menjadi unit dasar untuk membangun struktur pengetahuan yang kompleks. Inferensi merupakan pernyataan-pernyataan yang didasarkan pada observasiobservasi tetapi melibatkan lebih banyak aktivitas. Di dalam inferensi terjadi kegiatan
33 meringkas, menjelaskan, atau memanfaatkan hasil observasi untuk membuat prediksiprediksi. Ada tiga bentuk inferensi: (1) generalisasi informasi; (2) inferensi prediktif; (3) inferensi eksplanatori. Generalisasi inferensi merupakan pernyataan ringkasan yang diberlakukan pada observasi lain. Generalisasi inferensi memiliki dua fungsi: pertama, meringkas data untuk menyederhanakannya sehingga lebih mudah untuk mengingatnya. Kedua, generalisasi inferensi memberlakukan ringkasan pada kasus-kasus yang belum diobservasi. Inferensi prediktif dikaitkan dengan generalisasi inferensi dalam beberapa cara. Pertama, inferensi prediktif berpedoman pada generalisasi inferensi. Contoh, kamu mempelajari sebuah bab karena berharap akan membantumu mempelajari isinya. Kedua, generalisasi inferensi melibatkan kelas-kelas observasi sedangkan inferensi prediktif melibatkan observasi-observasi tunggal. Contoh, generalisasi inferensi melibatkan semua kasus yang dipelajari sedangkan inferensi prediktif berkaitan dengan observasi tertentu. Ketiga, inferensi prediktif memiliki ukuran tentang ketidakpastian. Keyakinan kita pada inferensi prediktif dihubungkan dengan keyakinan pada generalisasi inferensi. Contoh, kita berharap orang yang belajar akan mendapat prestasi yang baik di masa depan. Inferensi eksplanatori digunakan untuk menjelaskan observasi-observasi. Inferensi ini biasanya berhubungan dengan jawaban untuk pertanyaan “mengapa” atau “bagaimana”. Melalui proses yang beraneka ragam, setiap orang memperoleh informasi dari dunia di sekitarnya. Informasi ini disimpan di otak untuk menjadi struktur kognitif
34 yang berguna bagi pemrosesan informasi di masa depan. Dalam teori pemrosesan informasi, informasi ini disimpan di dalam memori jangka panjang (long-term memory) (Glover dan Bruning, 1990:60; Eggen et al, 1979:32). Ada tiga bentuk isi pengetahuan: fakta, konsep, dan generalisasi. Menurut Fraenkel (1980:55) isi pengetahuan ini merupakan materi pelajaran yang ada di dalam bidang studi IPS. a. Fakta Fakta merupakan sesuatu yang telah ada atau telah terjadi di masa lalu. Aktivitas-aktivitas individu, data-data tentang kejadian, tempat, ukuran objek-objek, semuanya adalah fakta. Kebenarannya terletak pada bukti empiris (Fraenkel, 1980:55; Banks, 1977:84). Definisi ini tidak banyak berbeda dengan definisi Eggen et al (1979:37). Mereka menyatakan fakta sebagai salah satu jenis isi pengetahuan yang merupakan kejadian tunggal, yang terjadi pada masa lalu, atau sekarang, yang tidak mempunyai nilai prediktif, yang diperoleh melalui proses informasi. Perbedaan utama fakta dengan generalisasi terletak pada proses-proses yang digunakan untuk menghasilkan isi pengetahuan. Fakta dibentuk oleh proses observasi sedangkan generalisasi berasal dari inferensi. Karena itu, fakta dengan generalisasi berbeda dalam tiga hal. Pertama, berbeda dalam ruang lingkupnya. Generalisasi melibatkan atau menghubungkan sejumlah data sedangkan fakta merupakan pernyatan-pernyataan tentang kejadian tunggal, laporan-laporan tentang pengalaman langsung pancaindra, bukan ringkasan-ringkasan atau interpretasi-interpretasi pengalaman ini.
35 Kedua, fakta adalah pernyataan tentang kejadian-kejadian yang terjadi di masa lalu atau sekarang, bukan pernyataan tentang kecenderungan-kecenderungan atau bentuk-bentuk yang umum. Jadi fakta mempunyai tingkat validitas yang tinggi. Yang terakhir, fakta tidak mempunyai nilai prediktif. Karakteristik ini dihubungkan dengan bentuk kejadiannya yang tunggal dan pada pernyataanpernyataan tentang kejadian di masa lalu atau sekarang. Dengan demikian fakta tidak bisa digunakan untuk memprediksi. Fakta sangat penting dipelajari siswa. Pembelajaran fakta tergantung pada struktur makna yang sangat luas. Pembelajarannya juga sangat dipengaruhi oleh fakta-fakta
lain
yang
berhubungan.
Organisasi
fakta-fakta
mempengaruhi
pembelajaran dan perhatian siswa (Gagne, 1983:42). b. Konsep Fakta-fakta dapat diringkas dan diabstraksi melalui proses inferensi untuk menghasilkan
isi
pengetahuan
yang
salahsatunya
adalah
konsep.
Konsep
didefinisikan sebagai bentuk data atau isi pengetahuan yang berasal dari pengkategorisasian sejumlah observasi (Banks, 1977:85). DeCecco mendefinisikan konsep sebagai kelas stimulus yang mempunyai karakteristik umum. Smith menyamakan konsep dengan kategori. Farnham dan Diggory menganggap konsep sebagai pengkodean sistem-sistem yang digunakan untuk mengklasifikasikan stimulus yang ada di sekitar kita (Eggen et al, 1979:41). Definisi yang sama juga dikemukakan Fraenkel (1980:57). Menurutnya, konsep merupakan ciri-ciri umum sejumlah pengalaman baik yang berupa kejadian-kejadian, objek-objek, maupun
36 individu. Woodworth dan Marquis (1961:598) menambahkan konsep juga dapat berbentuk kualitas-kualtias, aksi-aksi, dan interrelasi-interrelasi. Untuk memaknai informasi, dapat dilakukan dengan cara mengelompokkan stimulus yang sama dan membuat kategori-kategori informasi atau konsep. Kategori ini lebih dapat diingat daripada bila informasi itu dibiarkan terpisah sehingga mengurangi beban memori. Formasi konsep terjadi ketika anggota-anggota kategori dikelompokkan dan kemudian diabstraksi sehingga yang mempunyai atribut sama dicatat dan yang berbeda diabaikan. Atas dasar kesamaan ini, dibuatlah aturan pengelompokkan dan selanjutnya melakukan proses konseptualisasi. Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa konsep adalah ide yang merupakan hasil pengabstraksian semua pengalaman kongkret, bukan contoh tetapi konstruk mental. Realitas konsep sebenarnya tidak ada karena konsep hanya sebagai hasil usaha kita menyusun realita. Konsep-konsep lebih banyak ditemukan daripada diciptakan. Ada empat aspek konsep yang harus diperhatikan untuk menolong siswa belajar tentang konsep-konsep: (1) nama konsep; (2) definisi konsep; (3) contohcontoh; dan (4) karakteristik (Eggen et al, 1979:42).
Pengalaman1 Pengalaman2 Pengalaman3
Abstraksi (Konsep)
Simbol
Gambar 2.3 Hubungan Pengalaman, Konsep, dan Simbol (Sumber: Eggen et al, 1979:43).
37 Nama konsep merupakan kata yang digunakan untuk menyimbolkan konsep. Nama atau label konsep tidak sinonim dengan konsep itu, nama orang tidak berarti sinonim dengan orang itu sendiri. Sebuah konsep adalah sebuah ide atau abstraksi yang ada dalam pikiran orang sedangkan nama konsep adalah kata yang digunakan untuk menunjuk konsep itu. Sebuah label menjadi penting apabila bisa dikomunikasikan dengan orang lain dan sekali lagi harus diperhatikan bahwa nama konsep bukan konsep itu sendiri tetapi hanya sekedar simbol acak yang bisa bervariasi antara negara yang satu dengan yang lainnya (lihat gambar 2.3 halaman 36). Liebe, amour, dan love berbeda label tetapi menunjuk konsep yang sama. Contoh lainnya bisa diperhatikan pada siswa yang belajar konsep mobil. Kata mobil adalah simbol dan konsep ini merupakan abstraksi yang dibentuk dari pengalaman melihat, mendengarkan, dan mengendarai mobil. Simbol memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkomunikasikannya kepada orang lain. Tanpa simbol, komunikasi akan sulit tetapi lebih penting lagi, tanpa pengalaman, simbol kurang bermakna. Tidak menjadi masalah mana yang lebih dahulu dipelajari, apakah konsep itu sendiri ataukah nama konsep itu. Pendefinisian konsep merupakan usaha menggambarkan, dalam bentuk pernyataan, makna konsep itu. Dengan demikian, definisi konsep merupakan ringkasan pengalaman yang digunakan untuk membuat konsep. Definisi konsep merupakan makna yang membatasi konsep. Dari sinilah, definisi konsep membantu menentukan
inklusifitas
dan
ekslusifitas
konsep.
Definisi
konsep
akan
menghubungkan konsep itu dengan konsep yang lebih inklusif dan selanjutnya dibedakan dengan yang lain. Contoh: barang ekonomi (konsep yang lebih inklusif)
38 didefinisikan sebagai barang yang diperoleh dengan mengeluarkan pengorbanan (karakteristik). Definisi ini menunjukkan bahwa barang ekonomi berbeda dengan jenis barang yang lain. Contoh menunjukkan karakteristik-karakteristik dasar konsep. Contoh dari sebuah konsep merupakan anggota kelas yang berhubungan dengan konsep. Contoh konsep barang ekonomi adalah sepatu, rumah, beras, dan pakaian. Contoh bisa berbentuk kata, gambar, atau kenyataan hidup. Bentuk contoh ini sangat penting diperhatikan karena dapat menentukan kebermaknaan pembelajaran konsep. Karakteristik atau atribut adalah ciri-ciri yang digunakan seseorang untuk mengidentifikasi angota-anggota konsep. Menurut Glover dan Bruning (1990:76), atribut konsep merupakan sifat-sifat yang sama dari contoh sebuah konsep. Atribut bisa berupa ukuran, bentuk, warna, atau kegunaan. Contoh atribut konsep barang ekonomi adalah jumlahnya terbatas, perlu pengorbanan untuk memperolehnya dan bermanfaat bagi manusia. Siswa harus membedakan karakteristik yang relevan dan tidak relevan, dan kemudian mengkode atau mengingatnya untuk digunakan pada pembelajaran selanjutnya. Setiap konsep tidak dibentuk secara terpisah dari konsep lain. Salah satu cara mendeskripsikan hubungan konsep-konsep adalah dengan menggunakan istilah konsep superordinat, koordinat, dan subordinat. Konsep produk lebih inklusif dan mencakup konsep barang dan kemudian mencakup konsep barang ekonomi. Konsep barang adalah superordinat terhadap konsep barang ekonomi dan barang bebas. Dengan demikian kedua macam barang ini merupakan konsep subordinat dari konsep
39 superordinat barang sedangkan sepatu, rumah, buku, dan pakaian adalah konsep koordinat karena semuanya adalah sama-sama barang ekonomi. Fraenkel (1980:58-59) membagi konsep menjadi lima kelompok (1) konsep konjungtif (conjunctive concept); (2) konsep disjungtif (disjunctive concept); (3) konsep relasi (relational concept); (4) konsep deskriptif (descriptive concept); dan (5) konsep nilai (valuative concept). Konsep konjungtif menggambarkan dua atau lebih atribut. Konsep wisatawan adalah konjungtif karena melibatkan atribut-atribut: perjalanan, kesenangan, dan tempat di luar rumah. Jadi seseorang dikatakan wisatawan bila memiliki tiga karakteristik tersebut. Konsep disjungtif melibatkan sebuah keputusan atau konsep lain. Konsep skor di dalam pertandingan sepak bola berpedoman pada tendangan bola yang melewati gol, bola yang berjalan melewati garis gol, atau terlempar melewati garis gol. Konsep relasi menggambarkan hubungan khusus antaratribut dan dinyatakan dengan rasio atau hasil. Konsep jumlah penduduk didefinisikan sebagai sejumlah orang yang hidup di daerah seluas satu mil persegi. Konsep ini mengukur hubungan antara jumlah penduduk dengan luas tanah di mana mereka hidup. Perlu diperhatikan bahwa konsep relasi bukan merupakan rasio atau hasil itu sendiri tetapi sebuah pengertian hubungan antaratribut. Konsep deskriptif menggambarkan karakteristik sesuatu secara umum tanpa melakukan sebuah pilihan. Konsep tempat duduk memiliki atribut-atribut: sebuah sandaran, tempat untuk duduk, berkaki empat, dan digunakan oleh satu orang.
40 Konsep nilai menyatakan sebuah tingkatan atau nilai seperti baik, jelek, salah, benar, cantik, atau buruk. Dengan demikian konsep ini tidak menggambarkan karakteristik
tetapi sikap atau perasaan tentang karakteristik konsep seperti
pembunuh, sadis, komunisme, demokrasi, dan persahabatan. c. Generalisasi Generalisasi merupakan pernyataan inferensial yang menjelaskan hubungan antara dua atau lebih konsep, melibatkan banyak kejadian, dan mempunyai nilai eksplanatori dan prediktif (Eggen et al, 1979:49; Fraenkel, 1980:72; Banks, 1977:97). Generalisasi adalah alat bantu berpikir dan memahami. Generalisasi tidak hanya menggambarkan data tetapi juga memberikan struktur terhadap data. Generalisasi melibatkan banyak contoh daripada satu contoh dan kadang kala generalisasi bersifat deskriptif. Generalisasi “makin mahal harga barang, jumlah barang yang dibeli makin berkurang”. Ada hubungan negatif antara harga barang dengan permintaan barang. Untuk membuat generalisasi ini memerlukan beberapa kejadian atau kasus. Orang mengurangi jumlah barang yang dibeli ketika harga naik adalah fakta. Permintaan barang di pasar berkurang karena harga makin mahal merupakan fakta tetapi ketika kasus-kasus ini diperluas pada kasus-kasus yang tidak diobservasi akan menjadi generalisasi. Dengan demikian kita bisa memprediksi bahwa peluang orang yang mengurangi jumlah barang yang dibeli ketika harga naik lebih besar daripada ketika harga turun. Kita juga dapat menggunakan generalisasi untuk menjelaskan fenomena
41 atau kejadian. Contoh, penurunan permintaan barang sering terjadi ketika harga barang naik. Gagne (1992:43-49) membagi lima kategori hasil belajar. Pertama, keterampilan intelektual (intellectual skills). Belajar keterampilan intelektual berarti belajar bagaimana melakukan sesuatu secara intelektual. Ada enam jenis keterampilan intelektual: (1) diskriminasi-diskriminasi, yaitu kemampuan membuat respons yang berbeda terhadap stimulus yang berbeda pula; (2) konsep-konsep kongkret, yaitu kemampuan mengidentifikasi ciri-ciri atau atribut-atribut suatu objek; (3) konsep-konsep terdefinisi, yaitu kemampuan memberikan makna terhadap sekelompok objek-objek, kejadian-kejadian, atau hubungan-hubungan; (4) aturanaturan, yaitu kemampuan merespons hubungan-hubungan antara objek-objek dan kejadian-kejadian; (5) aturan tingkat tinggi, yaitu kemampuan merespons hubunganhubungan antara objek-objek dan kejadian-kejadian secara lebih kompleks. (6) memecahkan masalah, yaitu kemampuan memecahkan masalah yang biasanya melibatkan aturan-aturan tingkat tinggi. Kedua, strategi-strategi kognitif (cognitive strategies). Strategi-strategi ini merupakan kemampuan yang mengarahkan prilaku belajar, mengingat, dan berpikir seseorang. Ada lima jenis strategi-strategi kognitif: (1) strategi-strategi menghafal, yaitu strategi belajar yang dilakukan dengan cara menghafal ide-ide dari sebuah teks; (2) strategi-strategi elaborasi, yaitu strategi belajar dengan cara mengaitkan materi yang dipelajari dengan materi lain yang relevan; (3) strategi-strategi pengaturan, yaitu strategi belajar yang dilakukan dengan cara mengelompokkan konsep-konsep agar menjadi
kategori-kategori
yang
bermakna;
(4)
strategi-strategi
pemantauan
42 pemahaman, yaitu strategi belajar yang dilakukan dengan cara memantau prosesproses belajar yang sedang dilakukan; (5) strategi-strategi afektif, yaitu strategi belajar yang dilakukan dengan cara memusatkan dan mempertahankan perhatian. Ketiga, informasi verbal (verbal information). Belajar informasi verbal adalah belajar untuk mengetahui apa yang dipelajari baik yang berbentuk nama-nama objek, fakta-fakta, maupun pengetahuan yang telah disusun dengan baik. Keempat, keterampilan motor (motor skills). Kemahiran ini merupakan kemampuan siswa untuk melakukan sesuatu dengan menggunakan mekanisme otot yang dimiliki. Kelima, sikap (attitudes). Sikap merupakan kemampuan mereaksi secara positif atau negatif terhadap orang, sesuatu, dan situasi. Hasil belajar Gagne di atas hampir sejalan dengan pemikiran Bloom. Bloom (1956:7) mengelompokkan tiga aspek hasil belajar yakni kognitif, afektif, dan psikomotor. Aspek kognitif berkaitan dengan prilaku berpikir, mengetahui, dan memecahkan masalah. Ada enam tingkatan aspek kognitif yang bergerak dari yang sederhana sampai yang kompleks: (1) pengetahuan (knowledge), yaitu kemampuan mengingat materi pelajaran yang sudah dipelajari sebelumnya; (2) pemahaman (comprehension, understanding), seperti menafsirkan, menjelaskan, atau meringkas; (3) penerapan (application), yaitu kemampuan menafsirkan atau menggunakan materi pelajaran yang sudah dipelajari ke dalam situasi baru atau kongkret; (4) analisis (analysis), yaitu kemampuan menguraikan atau menjabarkan sesuatu ke dalam komponen-komponen atau bagian-bagian sehingga susunannya dapat dimengerti; (5)
43 sintesis (synthesis), yaitu kemampuan menghimpun bagian-bagian ke dalam suatu keseluruhan; (6) evaluasi (evaluation), yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan untuk membuat penilaian terhadap sesuatu berdasarkan kriteria tertentu. Aspek afektif berkaitan dengan sikap, nilai-nilai, interes, apresiasi, dan penyesuaian perasaan sosial. Aspek ini mempunyai lima tingkatan dari yang sederhana ke yang kompleks: (1) penerimaan (receiving), merupakan kepekaan menerima rangsangan (stimulus) baik berupa situasi maupun gejala; (2) penanggapan (responding), berkaitan dengan reaksi yang diberikan seseorang terhadap stimulus yang datang; (3) penilaian (valuing), berkaitan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus yang datang; (4) organisasi (organization), yaitu penerimaan terhadap berbagai nilai yang berbeda berdasarkan suatu sistem nilai tertentu yang lebih tinggi; (5) karakteristik nilai (characterization by a value complex), merupakan keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki sesorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Aspek psikomotor berkaitan dengan keterampilan yang bersifat manual dan motorik. Aspek ini meliputi (1) persepsi (perception), berkaitan dengan penggunaan indra dalam melakukan kegiatan; (2) kesiapan melakukan pekerjaan (set), berkaitan dengan kesiapan melakukan suatu kegiatan baik secara mental, fisik, maupun emosional; (3) mekanisme (mechanism), berkaitan dengan penampilan respons yang sudah dipelajari; (4) respons terbimbing (guided respons), yaitu mengikuti atau mengulangi perbuatan yang diperintahkan oleh orang lain; (5) kemahiran (complex overt respons), berkaitan dengan gerakan motorik yang terampil; (6) adaptasi (adaptation), berkaitan dengan keterampilan yang sudah berkembang di dalam diri
44 individu sehingga yang bersangkutan mampu memodifikasi pola gerakannya; (7) keaslian (origination), merupakan kemampuan menciptakan pola gerakan baru sesuai dengan situasi yang dihadapi. Mata pelajaran ekonomi sebagai bagian dari bidang studi IPS mempelajari fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan masalah dan kegiatan ekonomi. Kepahaman siswa terhadap tiga materi ini diukur berdasarkan tes hasil belajar pada aspek kognitif. Khusus untuk siswa SLTP hanya dikenakan tiga tingkatan dari aspek kognitif yakni pengetahuan (C1), pemahaman (C2), dan penerapan (C3), atau setara dengan hasil belajar keterampilan intelektual dan informasi verbal milik Gagne. Walaupun tes hasil belajar hanya mencakup aspek kognitif, tidak berarti aspek lain tidak tersentuh di dalam proses belajar mengajar. Keberadaannya hanya sebagai efek pengiring hasil belajar bukan efek utama hasil belajar seperti yang telah dirumuskan sebagai tujuan pembelajaran. Menurut Sudirman et al (1988:62-64), ada beberapa kata yang bisa digunakan untuk merumuskan tujuan pembelajaran dari ketiga tingkatan aspek kognitif tersebut. Pada tingkat pengetahuan (C1), kata kerja yang bisa digunakan untuk merumuskan Tujuan Pembelajaran Umum (TPU) adalah mengetahui istilah-istilah umum, mengetahui hal-hal terinci, mengetahui metode dan prosedur, mengetahui konsepkonsep dasar, dan mengetahui prinsip-prinsip. Untuk Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK) bisa menggunakan kata kerja mendefinisikan, memerikkan, mengidentifikasi, memberi nama, menyusun daftar, menamakan, membuat garis besar, menyatakan kembali, memilih, dan menyatakan.
45 Kata kerja yang bisa digunakan untuk merumuskan TPU pada tingkat pemahaman (C2) adalah memahami fakta dan prinsip, menginterpretasi bagan dan grafik, menginterpretasi secara lisan, mengubah bahan tulisan menjadi rumus matematik, memperkirakan akibat-akibat yang akan datang yang tercantum dalam data, dan membenarkan metode dan prosedur. Untuk TPK bisa menggunakan kata mengubah,
mempertahankan,
membedakan,
memperkirakan,
menjelaskan,
menyatakan secara luas, menarik simpulan umum, memberi contoh, menarik simpulan, melukiskan dengan kata-kata sendiri, meramalkan, menuliskan kembali, dan membuat rangkuman. Rumusan TPU pada tingkat penerapan (C3) menggunakan kata kerja menetapkan konsep dan prinsip terhadap situasi-situasi baru, menerapkan hukum dan teori
pada
situasi
praktis,
memecahkan
persoalan-persoalan
matematik,
mengonstruksi bagan dan grafik, dan mendemonstrasikan penggunaan metode dan prosedur secara benar. Untuk TPK menggunakan kata mengubah, mendemostrasikan, mengungkapkan, mengerjakan dengan teliti, membuat modifikasi, menjalankan, meramalkan, menghubungkan, menunjukkan, memecahkan, dan menggunakan. Berdasarkan waktu terjadinya, pengetahuan dibagi menjadi dua: pengetahuan lama dan pengetahuan baru. Pengetahuan lama merupakan materi pelajaran yang telah dipelajari siswa di masa lalu yang selanjutnya disebut pengetahuan awal (prior knowledge) sedangkan pengetahuan baru adalah materi pelajaran yang baru dipelajari siswa. Khusus untuk pengetahuan yang terakhir ini disebut hasil belajar.
46 a. Pengetahuan Awal (Prior Knowledge) Jonassen
dan
Gabrowski
menyatakan
pengetahuan
awal
merupakan
pengetahuan, keterampilan, atau kemampuan yang di bawa siswa ke dalam proses belajar. Teoriwan yang lain memberikan definisi yang tidak jelas. Mereka menyatakan pengetahuan awal sebagai pengetahuan yang telah dimiliki, pengetahuan tentang dunia, kemahiran pengetahuan, dan pengetahuan sebelumnya (Addison dan Hutcheson, 2001:2). Kujawa dan Huske (dalam www.ncrel.org, 1995:1) menjelaskan pengetahuan awal sebagai kombinasi sikap-sikap, pengalaman-pengalaman, dan pengetahuan yang dimiliki siswa. Sikap-sikap meliputi kepercayaan diri sebagai siswa, kesadaran tentang minat dan kemampuannya, motivasi dan keinginannya untuk
membaca.
Pengalaman-pengalaman
meliputi
aktivitas-aktivitas
yang
berhubungan dengan bacaan, kejadian-kejadian yang memberikan pemahaman, pengalaman di dalam keluarga dan di masyarakat. Pengetahuan meliputi prosesproses membaca, isi bacaan, topik-topik, konsep-konsep, bentuk dan gaya bacaan, struktur teks, tujuan personal, dan akademik. Definisi ini mempunyai kedekatan hubungan dengan definisi Hirst dan Peters (1985:43) tentang struktur mental. Menurutnya, struktur menggambarkan hubungan-hubungan antarbagian atau item sedangkan mental adalah ragam kesadaran seperti kepahaman, keinginan, dan perilaku yang dipengaruhi. Dengan demikian struktur mental berisi berbagai macam kesadaran tentang logika atau jaringan hubungan-hubungan. Dalam struktur mental, itam-item tidak fisik dan hubungan-hubungan tidak meruang. Hubungan logika terjadi antarkonsep atau proposisi-proposisi. Definisi pengetahuan awal juga dapat dihubungkan dengan konsep skema. Menurut Piaget, skema merupakan gambaran
47 internal mengenai kegiatan fisik atau mental sehingga skema dapat dianggap sebagai kumpulan kaidah mengenai bagaimana caranya berinteraksi dengan lingkungan sehingga dapat menghasilkan perkembangan kognitif (Hardy dan Heyes, 1988:56). Anderson melihat skema sebagai sebuah organisasi komponen-komponen memori (proposisi-proposisi, gambaran-gambaran, sikap-sikap) yang berisi seperangkat informasi yang bermakna yang dikaitkan dengan sebuah konsep umum (Gagne et al, 1992:106; Glover dan Bruning, 1990:63). Konsep umum bisa berupa objek-objek seperti rumah, kantor, pohon, furnitur dan sebagainya. Konsep umum juga dapat berbentuk kejadian seperti pergi ke restoran atau menonton televisi. Skema tentang rumah berisi informasi tentang ciri-ciri seperti peralatan konstruksi, kamar, dinding, atap, jendela, dan fungsi tempat tinggal manusia. Oleh karena itu memori dapat disebut alat berpikir karena dengan memori kita menggambar pengetahuan yang diperoleh sebelumnya dan memanfaatkannya untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi (Woodworth dan Marquis, 1961:594). Pengetahuan awal merupakan prasyarat untuk mempelajari pengetahuan baru. Gagne et al (1992:150) membagi prasyarat menjadi dua macam. Pertama, prasyarat esensial (essensial prerequisites) yaitu prasyarat yang merupakan bagian dari keseluruhan keterampilan yang ingin diperoleh, tidak membantu atau suportif. Kedua, prasyarat suportif (supportive prerequisites) ialah prasyarat yang dapat membantu pembelajaran baru agar lebih mudah atau lebih cepat. Materi pelajaran yang merupakan prasyarat suportif akan dijadikan pengetahuan awal dalam penelitian ini. Dengan demikian, pengetahuan awal siswa dalam pembelajaran mata pelajaran ekonomi adalah pengetahuan yang berbentuk fakta, konsep, dan
48 generalisasi yang telah dipelajari siswa melalui proses observasi dan inferensi yang dilakukan terutama pada saat pembelajaran mata pelajaran ekonomi di kelas. Materi pelajaran ekonomi yang dijadikan pengetahuan awal adalah materi pelajaran yang telah dipelajari siswa, mempunyai hubungan dengan materi pelajaran baru sebagai pengetahuan baru yang akan dipelajari, dan mempermudah siswa untuk mempelajari pengetahuan baru. Materi pelajaran yang dijadikan pengetahuan awal tersebut juga tidak menutup kemungkinan berasal dari pengalaman kehidupan sosial siswa baik di sekolah, di dalam keluarga, maupun di masyarakat. Pengetahuan awal ini juga tidak menutup kemungkinan mengandung aspek-aspek hasil belajar yang lain, seperti keterampilan intelektual, strategi-strategi kognitif, dan sikap. Agar penyusunan tes pengetahuan awal sesuai dengan pelaksanaan evaluasi yang dilakukan di sekolah, rumusan tujuan pembelajaran di dalam kisi-kisi tes pengetahuan awal disusun berdasarkan domain kognitif Bloom yaitu pengetahuan (C1), pemahaman (C2), dan penerapan (C3). Materi tes disesuaikan dengan kurikulum 1994. Sesuai dengan kriteria di atas, materi tes yang dijadikan pengetahuan awal terdiri atas pengertian dan contoh macam-macam barang, pengertian dan contoh macam-macam kegiatan ekonomi, pengertian dan contoh macam-macam hubungan ekonomi, konsumsi dan faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi, pengertian distribusi langsung dan tidak langsung, pengertian dan contoh perantara, pengertian pasar, pengertian dan contoh macam-macam pasar, pengertian permintaan, faktorfaktor yang mempengaruhi permintaan, dan kurve permintaan.
49 b. Hasil Belajar Mata Pelajaran Ekonomi Belajar dapat dilihat dari tiga sudut pandang: (a) belajar sebagai proses; (b) belajar sebagai hasil; dan (c) belajar sebagai fungsi (Sudjana, 2000:45). Ketiga sudut pandang ini penting untuk dipahami oleh guru. Belajar sebagai hasil dijadikan dasar dalam menyusun deskripsi teoretis hasil belajar. Dimyati dan Mudjiono (1999:190) membedakan evaluasi hasil belajar dengan evaluasi pembelajaran. Evaluasi hasil belajar menekankan pada informasi tentang seberapa jauh siswa telah mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan sedangkan evaluasi pembelajaran merupakan proses sistematis untuk memperoleh informasi tentang keefektifan proses belajar dalam membantu siswa mencapai tujuan pengajaran secara optimal. Hamalik (1989:4) menyatakan prestasi belajar adalah halhal yang telah dicapai oleh seseorang. Ada dua faktor yang harus diperhatikan dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar. Pertama, perbedaan potensi-potensi yang dibawa oleh siswa pada saat belajar: kesehatan fisik, kemampuan mental, kondisi emosional, minat dan kebutuhan, serta lingkungan rumah tangga dan sosial. Kedua, bermacammacam tuntutan sosial dan ekonomi di sekitar kehidupan siswa di mana siswa berpartisipasi aktif di dalamnya (Crow dan Crow, 1987:5). Menurut Banks (1977:367), konsep kunci di dalam ilmu ekonomi adalah kelangkaan. Oleh karena itu ilmu ini mempelajari bagaimana cara orang memenuhi kebutuhannya dengan menggunakan sumber daya yang terbatas. Pengertian ekonomi sangat kompleks sehingga banyak ekonom yang mendefinisikannya secara berbeda. Pada mulanya pengertian ekonomi cukup sederhana yaitu pengaturan administrasi sumber-sumber penghasilan rumah tangga. Selanjutnya, para ekonom mendefinisikan
50 ekonomi sebagai kekayaan. Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of Wealth of Nations mendefinisikan ekonomi sebagai disiplin ilmu terapan tentang produksi dan penggunaan kekayaan. Pada saat sekarang, ekonomi lebih banyak dikaitkan dengan permasalahan perdagangan. Ekonomi juga sering dikaitkan dengan kesejahteraan di mana ekonomi merupakan sarana atau ilmu tentang bagaimana menambah produksi sehingga taraf kehidupan atau kesejahteraan masyarakat bisa meningkat. Di sisi lain, para ekonom yang memperhatikan masalah moral memberikan definisi yang berbeda. Alfred Marshal mendefinisikan ekonomi sebagai suatu disiplin ilmu yang tidak hanya mempelajari kekayaan tetapi juga mempelajari manusia dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan. Milton Spenser dalam bukunya Contemporary Economics mendefinisikan ekonomi sebagai cara masyarakat memilih jalan yang tepat untuk mendayagunakan sumber-sumber kekayaan yang terbatas dalam rangka untuk memproduksi barang-barang yang dibutuhkan dan untuk dikonsumsi pada saat sekarang dan masa depan (Suguno, tanpa tahun:1). Oleh karena itu sebagai sebuah ilmu di sekolah, mata pelajaran ekonomi membahas cara-cara manusia melakukan produksi, distribusi, dan konsumsi. Dengan demikian hasil belajar pada dasarnya merupakan tujuan belajar yang berhasil dicapai oleh siswa. Tingkat ketercapaian tujuan belajar ini biasanya diukur dengan skor yang diperoleh siswa dalam menyelesaikan sebuah tes hasil belajar. Materi pelajaran ekonomi yang dijadikan isi tes hasil belajar berbentuk fakta, konsep, dan generalisasi yang baru dipelajari siswa melalui proses observasi dan inferensi yang dilakukan terutama pada saat pembelajaran mata pelajaran ekonomi di kelas. Materi pelajaran ini tidak menutup kemungkinan berasal dari pengalaman kehidupan