9
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1 Pengertian Usaha Ritel Secara harfiah kata ritel atau retail berarti eceran atau perdagangan eceran, dan peritel/retailer diartikan sebagai pengecer atau pengusaha perdagangan eceran. Menurut kamus, kata retail ditafsirkan sebagai “selling of goods and or services to the public”; atau penjualan barang dan atau jasa kepada khalayak (Manser, 1995). Definisi usaha kecil menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang usaha kecil yaitu : “Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, dilakukan oleh orang perorang atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil.” Retail adalah kegiatan jual beli baik barang maupun jasa secara langsung kepada konsumen. Konsumen yang membeli barang atau jasa tersebut akan langsung menggunakannya (bukan untuk kepentingan bisnis). Usaha eceran/ritel adalah semua kegiatan yang terlibat dalam penjualan atau pembelian barang, jasa ataupun keduanya secara sedikitsedikit atau satu-satu langsung kepada konsumen akhir untuk keperluan
10
konsumsi pribadi, keluarga, ataupun rumah tangga dan bukan untuk keperluan bisnis (dijual kembali). Menurut Gilbert, retail adalah semua usaha bisnis yang mengarahkan
secara
langsung
kemampuan
pemasarannya
untuk
memuaskan konsumen akhir berdasarkan organisasi penjualan barang dan jasa sebagai inti dari distribusi (2003: 6). Dilihat dari definisi diatas, fungsi usaha ritel dapat di kelompokan menjadi tiga yaitu sebagai berikut : 1. Usaha ritel sebagai distributor, yang berarti sebagai lembaga atau tempat yang mendapatkan barang secara langsung dari produsen dan memasarkan langsung kepada konsumen akhir. 2. Usaha ritel sebagai pengecer, yang berarti sebagai pihak yang menjual barang kepada konseumen secara satuan atau sedikitsedikit. 3. Usaha ritel merupakan organisasi penjualan barang dan jasa, dimana barang dan jasa tersebut tidak di jual lagi melainkan untuk konsumsi akhir.
2.1.2 Karakteristik Usaha Ritel Lewinson (1994:5), mengemukakan bahwa terdapat beberapa ciri/ karakteristik dari perdagangan eceran, yaitu: 1. The Retailer as a marketing institution (pedagang eceran sebagai institusi pemasaran).
11
2. The Retailer as aproduct/consumer link (pedagang eceran sebagai penghubung antar produsen dan konsumen). 3. The Retailer as a channel member (pedagang eceran sebagai perantara). 4. The Retailer as an image creator (pedagang eceran sebagai pencipta citra). Sedangkan menurut Berman dan Evans (2004:9), terdapat beberapa karakteristik khusus penjualan eceran (ritel) yang membedakan dengan tipe-tipe usaha lain adalah seperti pada Gambar 2.1.
Small average sale
Impulse purchase
Retailers strategy
Popularity of stores
Sumber : Berman dan Evans (2004:9). Gambar 2.1 Special Characteristic affecting Retailers Dari gambar 2.1 dapat dilihat uraian berikut.
12
1. Small average sale (ukuran rata-rata dari transaksi penjualan para pedagang eceran masih kecil); jika dibandingkan dengan yang dihasilkan para pengusaha manufaktur, transaksi penjualan eceran ini relatif kecil. Untuk itu para pedagang eceran harus berupaya menekan biaya-biaya yang menyertai penjualan seperti fasilitas kredit, pengiriman barang maupun pembungkus. Mereka juga harus mengeluarkan promosi, serta mendorong penjualan impulsif. 2. Impulse Purchase (pembelian impulsif), kecenderungan konsumen untuk melakukan pembelian yang tidak direncanakan semakin meningkat. Untuk itu para pedagang eceran harus mengelola display, tata letak toko, etalase, dan sebagainya lebih baik lagi. Namun, implikasi dari semakin banyaknya barang-barang impulsif seperti
permen,
kosmetika,
makanan
kecil,
dan
majalah
menjadikan semakin sulit perencanaan, penganggaran, dan pemesanan barang yang diebli konsumen, selain itu pula memeprbanyak tugas pramuniaga. 3. Popularity of Store (kepopuleran toko), walaupun akhir-akhir ini banyak diperkenalkan cara berbelanja baru sperti belanja via pos, telpon, internet, atau televisi, namun pada kenyataannya konsumen tetap mengalir ke toko-toko eceran. Hal ini disebabkan oleh popularitas toko eceran dimata konsumen. Faktor lain yang turut mempengaruhi adalah keinginan konsumen membanding-bandingkan merek dan model yang
13
berbeda antara para pedagang eceran, adanya iklim penjualan impulsif yang menarik, serta keinginan konsumen untuk keluar dari rumah (Foster, 2008: 37).
2.1.3 Fungsi Usaha Ritel Penjualan eceran meliputi semua kegiatan yang berhubungan langsung dengan penjualan barang atau jasa kepada konsumen akhir untuk keperluan pribadi. Penjualan eceran dapat lebih maju dalam usahanya apabila mau bekerja lebih baik dibandingkan dengan pesaingnya dalam melayani konsumen. Pelayanan kepada konsumen harus diutamakan karena merupakan tanggung jawab primer, sedangkan tanggung jawab sekundernya adalah melayani pedagang besar dan atau produsen. Pada dasarnya fungsi penjualan eceran adalah memberikan pelayanan semudah mungkin kepada konsumen (Foster, 2008: 37). Berikut adalah fungsi dari penjualan eceran menurut beberapa ahli: Menurut Davidson, Sweeney, dan Stampte, (1988:4) fungsi pedagang eceran sebagai berikut : 1. Menciptakan tersedianya pilihan akan kombinasi sesuai dengan yang diinginkan oleh konsumen. 2. Memberikan penawaran produk dan jasa pelayanan dalam unit yang cukup kecil sehingga memungkinkan para konsumen memenuhi kebutuhannya.
14
3. Menyediakan pertukaran nilai tambah dari produk (ready exchange of value) 4. Mengadakan transaksi dengan para konsumennya. Sedangkan menurut Berman dan Evans (2004:7), fungsi ritel dalam distribusi adalah sebagai berikut : 1. Ritel merupakan akhir dalam saluran distribusi yang terdiri dari usaha-usaha dan orang-orang yang terlibat dalam perpindahan fisik dan penyerahan kepemilikan barang dan jasa dari produsen ke konsumen (Gambar 2.2).
Manufacturer
Retailer
Final Consumer
Wholesaler
Sumber: Berman dan Evans (2004:7) Gambar 2.2 2. Ritel dalam saluran distribusi mempunyai peranan penting sebagai perantara antara pengusaha manufaktur, pedagang besar, serta pemasok lain ke konsumen akhir. Para pedagang eceran mengumpulkan berbagai pemasok dan selanjutnya menawarkannya kepada beberapa konsumen.
15
3. Fungsi distribusi dari ritel adalah terjalinnya komunikasi dengan pelanggan mereka, pengusaha manufaktur, dan pedagang besar. 4. Bagi para pengusaha manufaktur dan pemasok yang masih kecil, pedagang eceran harus dapat menyediakan bantuan yang berguna seperti transportasi, penyimpanan, periklanan, dan pembayaran terlebih dahulu untuk barang dagang. 5. Melalui ritel, transaksi para pelanggan dilengkapi dengan pelayanan pelanggan yang lebih baik sperti: pembungkus, pengiriman, dan pemesanan. Stanton (1998:8) menggemukakan bahwa fungsi pedagang eceran adalah “Mengumpulkan atau mengkonsentrasikan aneka ragam produk dari pelbagai produsen”. Mengelompokkan produk-produk di atas dalam jumlah yang sesuai dengan keinginan konsumen (konsentrasi) dan kemudian memilah-milahnya menjadi satuan barang yang sama yang dibutuhkan konsumen (penyamaan) kemudian menyebarkan kelompok barang tersebut (penyebaran) ke konsumen akhir atau pembeli industri. Dalam hal tertentu pedagang eceran dapat bertransaksi kepada pembeli industri yaitu barang-barang
yang
diperlukan
berkesinambungannya
oleh
pembeli industri tersebut misalnya restoran, instansi pemerintah, dan lain-lain.
16
2.1.4 Aspek Internal Usaha Ritel Setelah membahas karakteristik dan fungsi ritel, berikut ini penulis akan membahas aspek internal usaha ritel yang merupakan kunci kesuksesan bisnis ritel. Menurut Sujana (2005), Adapun empat aspek internal yang mempengaruhi kesuksesan bisnis retail adalah aspek asset, aspek human resources, aspek financial, dan aspek merchandise. a) Aspek Asset Assets; aspek ini terdiri terdiri atas physical assets dan non physical assets. Asset fisik meliputi (1) bangunan, yang mencakup aspek exterior, seperti konstruksi bangunan (building construction) system mekanis dan kelistrikan (mechanical electrical), perparkiran (parking system), dan sebaginya; serta aspek
interior-nya; antara lain rancnag-bangun took
(store-disgn), lay-out/floorplan, wall painting,
flooring, lighting, dan
lain-lain. (2) peralatan (freezer / chiller, shelving (alat pajang), computer system, dan lainnya, dan (3) system penunjang antara lain sistem komunikasi, sistem pengamanan dan sebaginya. Sedangkan aspek nonfisik (non physical assets) meliputi hal yang merupakan indicator yang menunjukkan citra took (store images), antara lain store brand image, dan kesan singkat harga (price lining image). b) Human Resources Human Resources, aspek sumberdaya manusia yang merupakan intangible assets yang paling penting bagi retailer, karena merekalah yang
17
memungkinkan sebuah toko retail dioperasikan dengan baik. Ibarat pepatah “winning the war is not only depended on the guns, but the men behind the guns”. Memiliki sumberdaya manusia yang andal bagi retailer atau bidang bisnis apapun merupakan kunci untuk meraih kemenangan dalam persaingan bisnis. c) Financial Financial, keakuratan penanganan dan proses aspek financial akan menunjukan kinerja (performance) perusahaan dalam efficiency, liquidity, and profabilyty, yang terukur dengan formula-formula tertentu yang berlaku standar seperti P/L (Profit/Loss), Gross Margin (GM), Return on Investment (ROI), Return on Assets (ROA), dan sebagainya. d) Merchandise Merchandise,
merupakan
suatu
rentang
bauran
produk
(assortment) yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan konsumen, merupakan komponen investasi terbesar (single largest store investment), dan karenanya bisa disebut sebagai urat nadi bisnis retail. Ketiga aspek lainnya secara sinergis ditujukan untuk memungkinkan diperolehnya hasil maksimal dari aspek merchandise, seperti terlihat dalam skema (Gambar 2.3)
18
Internal Retailer Key Aspects
M
H F
A
Keterangan: 2.2(Aspek Aspek-Aspek Internal Bisnis Retail H = Human Gambar Resources Sumberdaya Manusia) A = Aspek Assets (Modal/Kekayaan) F = Aspek Financial (Keuangan) M = Aspek Merchandise (Barang Dagangan)
Gambar 2.3 Aspek-Aspek Internal Bisnis Retail Penulis melukiskan ketiga aspek (assets, human resources, dan financial) sebagai sebuah segitiga yang mendasari sebuah bangun piramida retail dengan aspek merchandise sebagai puncaknya. Bangun piramida ini menggambarkan bahwa ketiga aspek sangat saling terkait dan ditujukan untuk mendukung atau menopang aspek merchandise. Bila salah satu dari ketiga aspek lemah, maka akan berakibat langsung pada aspek merchandise yang berada pada puncak struktur piramida bisnis retail. Karenanya, kekuatan internal retailer terletak pada ketiga aspek pendukungnya, yakni aspek assets, human, dan financial, dalam menopang keberhasilan kinerja aspek merchandise.
19
2.1.5 Pengertian Pengadaan Barang (Merchandise) Merchandising dapat diartikan sebagai upaya pengadaan dan penanganan barang. Pengadaan sendiri, menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah proses, cara, perbuatan mengadakan, menyediakan. Selanjutnya Davidson (1988) menyebutkan bahwa terminology (1) right merchandise berarti jenis, model, merek, warna, ukuran, dan lainnnya yang ingin dibeli oleh konsumen, (2) right place merujuk bukan hanya pada lokasi toko, melainkan barang apa yang selayaknya ada di suatu toko dan tempat pemajangan di dalam toko itu sendiri, (3) right time berarti bahwa keberadaan barang di toko pada saat mana konsumen membutuhkannya, (4) right quantities berarti bahwa keberadaan barang dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan konsumen, dan (5) right place adalah tingkat harga barang yang pantas dan bersaing pada tingkat mana masih memberikan keuntungan bagi retailer. Kemudian Berman dan Evans (1992) menyebutkan bahwa, “The merchandise consists of the activites involved in acquiring particular goods and/or services and making them available at the place, time, and price, and in the quantity that will enable the retailer to reach its goals”. Dengan kata lain, menurutnya merchandising terdiri atas aktivitasaktivitas yang mencakup pengadaan barang/jasa tertentu dan membuatnya tersedia pada tempat, waktu, harga, dan dalam jumlah tertentu sesuai dengan yang diharapkan oleh konsumen.
20
Kenyataannya dengan perkembangan pemikiran dan konsepkonsep tentang keseluruhan rantai pendistribusian barang (logistic concepts) yang makin modern, retailer tidaklah berdiri sendiri dalam upaya pemenuhan kebutuhan konsumen. Peranan bisnis retail haruslah dipandang sebagai suatu bagian tidak terpisahkan dalam rantai distribusi barang. Bisinis retail adalah suatu mata rantai dalam jalur distribusi barang dari produsen ke konsumen, dari hulu ke hilir (Foster, 2005: 34-35) Dengan demikian, terminology kata “right” dalam konteks right merchandising hendaknya dilihat dari sudut pandang keseluruhan proses distribusi barang dari hulu ke hilir, dengan arus informasi yang bergerak dari hilir ke hulu. Proses produksi barang (policy), strategy, dan upayaupaya yang senenatiasa berorientasi kepada kebutuhan pasar (konsumen) yang secara spesifik dan terstruktur dikelola dengan pendekatan berdasarkan sifat kategorisasinya (Foster, 2005: 35).
2.1.6 Pengertian Harga Harga adalah atribut produk atau jasa yang paling sering digunakan oleh sebagian besar konsumen untuk mengevaluasi produk. Untuk sebagian besar konsumen Indonesia yang masih berpendapatan rendah, maka harga adalah faktor utama yang dipertimbangkan dalam memilih produk maupun jasa. Konsumen pun sangat sensitif terhadap harga. Kenaikan harga Sembilan bahan pokok atau produk-produk konsumen
21
seringkali menilbulkan gejolak sosial bahkan demonstrasi dari konsumen yang memperjuangkan hak-haknya (Sumarwan, 2002: 303). Menurut kamus besar bahasa Indonesia, harga adalah jumlah uang, atau alat tukar lain yang senilai, yang harus di bayarkan untuk produk atau jasa, pada waktu tertentu dan di pasar tertentu.
2.1.7 Pengertian Lokasi a) Lokasi Toko Para pengelola toko selalu berusaha mencari lokasi toko yang sangat strategis, yang mudah terlihat dan terjangkau oleh konsumen. Lokasi toko sangat mempengaruhi keinginan seorang konsumen untuk datang dan berbelanja. Toko yang jauh dari jangkauan konsumen tidak akan diminati untuk di kunjungi. Para pedagang kakai lima adalah orang yang paling tahu mengenai pentingnya lokasi. Mereka selalu menjajakan barangnya di lokasi dimana konsumen menuju arah pulang dari bekerja, atau di bahu jalan yang sering dilalui konsumen. Tindakan para pedagang kaki lima yang meletakkan barang disembarang tempat seringkali melanggar ketertiban dan peraturan yang ada. Akan tetapi, inilah salah satu contoh kecil bahwa lokasi akan mepengaruhi konsumen untuk berbelanja (Sumarawan, 2002: 280). b) Layout Toko Layout toko adalah tata letak produk, kasir, dan arus lalu lalang konsumen di dalam toko. Pengelola harus merancang tata letak produk
22
juga harus memudahkan konsumen berjalan dan berlalu lalang sehingga ia bisa mencari dan memperoleh barang yang dibutuhkannya mudah dan cepat. Prinsipnya, tata letak semua elemen di dalam toko harus menciptakan suasana yang menyenangkan bagi semua pihak: konsumen, petugas, dan produsen. Tata letak yang baik akan membantu produsen agar bisa menampilkan produknya dengan baik, memudahkan konsumen berbelanja, dan menigkatkan efisiensi kerja petugas. Tata letak yang baik akan meningkatkan keuntungan bagi pemilik toko. Tata letak produk akan mempengaruhi perilaku belanja konsumen (Sumarawan, 2002: 280).
2.1.8 Pengertian Konsumen Isitilah konsumen sering diartikan sebagai dua jenis konsumen yaitu; konsumen individu dan konsumen organisasi. Konsumen individu membeli barang dan jasa untuk digunakan sendiri. Misalnya membeli pakaian, sepatu, dan sabun. Konsumen individu membeli barang dan jasa yang akan digunakan oleh anggota keluarga yang lain, misalnya susu formula untuk bayi, atau digunakan oleh seluruh anggota keluarga, misalnya TV, furniture, rumah, dan mobil. Konsumen individu mungkin juga membeli barang dan jasa untuk hadiah tema, saudara, atau orang lain. Dalam konteks barang dan jasa yang dibeli kemudian digunakan langsung oleh individu dan sering disebut sebagai “pemakai akhir” atau “konsumen akhir” (Sumarwan, 2002: 24).
23
Jenis kedua adalah konsumen organisasi, yang meliputi organisasi bisnis, yayasan, lemabga sosial, kantor pemerintah,dan lebaga lainnya (sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit). Semua jenis organisasi ini harus membeli produk peralatan dan jasa-jasa lainnya untuk menjalankan seluruh kegiatan organisasinya. Pabrik mie instan misalnya harus membeli bahan baku lainnya untuk membuat dan menjual produk mie instannya. Demikian juga perusahaan jasa seperti perusahaan asuransi harus membeli alat tulis, computer, kendaraan untuk bisa menghasilkan jasa yang akan dijualnya (Sumarwan, 2002: 24). a) Pengertian Perilaku Konsumen David L. Loudon dan Albert J. Della Bitta berpendapat bahwa perilaku konsumen dapat diartikan sebagai berikut “Consumer behavior may be defined as decision process and physical activity individuals engage in when evaluating, acquating, using or disposing of goods and services”. “Perilaku
konsumen
dapat
didefinisikan
sebagai
proses
pengambilan keputusan dan aktivitas individu secara fisik yang dilibatkan dalam proses mengevaluasi, memperoleh, menggunakan barang-barang dan jasa”. Sedangkan Engel, mengartikan perilaku konsumen sebagai “ We define consumers behavior as those activities directly involved in obtaining, consuming, and disposing of products and services, including the decision processes that precede and follow these action”. (perilaku
24
konsumen didefinisikan sebagai tindakan-tindakan langsung terlibat dalam usaha memperoleh dan menggunakan barang-barang jasa ekonomis termasuk
proses
pengambilan
keputusan
yang
mendahului
dan
menentukan tindakan-tindakan tersebut) (Mangkunegara, 2005: 3). Perilaku konsumen pada hakikatnya untuk memahami “why do consumers do what they do”. Dari beberapa definisi yang telah disebutkan diatas dapat kita simpulkan bahwa perilaku konsumen adalah semua kegiatan, tindakan serta proses psikologis yang mendorong tindakan tersebut pada saat seblum membeli, ketika membeli, menggunakan, menghabiskan produk dan jasa setelah melakukan hal-hal di atas atau kegiatan mengevaluasi (Sumarwan, 2002: 26).
2.1.9 Pengertian Persaingan Usaha Secara sederhana persaingan usaha (bussiness competition) dapat diartikan sebagai persaingan usaha antara para penjual di dalam merebut pembeli dan pangsa pasar (Siswanto, 2002: 14). Dalam menjalankan suatu usaha pasti di dalamnya terdapat persaingan, untuk itu harus ada suatu kepastian hukum yang mengatur persaingan usaha. Hukum persaingan usaha (bussiness competition law) berisi ketentuan-ketentuan substansial tentang tindakan-tindakan yang dilarang (beserta konsekuensi hukum yang timbul) dan ketentuan-ketentuan prosedural mengenai penegakan hukum persaingan (Siswanto, 2002: 30).
25
Perilaku konsumen dalam mendapatkan, mengkonsumsi, serta menghabiskan produk atau jasa akan ikut mempengaruhi persaingan usaha. Dimana prilaku konsumen yang semakin terkonsntrasi dalam kegiatan mengkonsumsi produk atau jasa akan turut membentuk struktur pasar. Struktur pasar yang dimaksud adalah sturktur pasar monopoli. Struktur pasar monopoli telah dikenal sejak zaman klasik bersamaan dengan struktur pasar persaingan sempurna. Struktur pasar monopoli, struktur oligopoli dan persaingan monopolistik merupakan struktur persaingan tidak sempurna (imperfect competition). Definisi yang klasik tentang struktur pasar monopoli adalah satu-satunya produsen atau penjual tunggal barang dan jasa dalam suatu pasar barang dan jasa. Tetapi berdasarkan perkembangannya jumlah satu menjadi kurang relevan karena dapat juga industri yang terdiri lebih dari satu perusahaan dapat mempunyai perilaku seperti monopoli, Sehingga muncul istilah derajat monopoli. Salah satu penyebab munculnya struktur pasar monopoli adalah skala ekonomi yang besar yang ditunjang efisiensi, dengan skala ekonomi yang besar maka banyak aspek biaya yang dapat diturunkan, seperti harga beli input, biaya pengangkutan, biaya penyimpanan, biaya pemasaran dan sebagainya. Pada penelitian ini, bentuk mini market di anggap merupakan salah satu bentuk derajat monopoli yang pada akhirnya membuat usaha ritel kecil semakin terancam.
26
2.1.10 Pengertian Pendapatan Dalam bisnis, pendapatan adalah jumlah uang yang diterima oleh perusahaan dari aktivitasnya, kebanyakan dari penjualan produk dan/atau jasa kepada pelanggan. Bagi investor, pendapatan kurang penting dibanding keuntungan, yang merupakan jumlah uang yang diterima setelah dikurangi pengeluaran. Menurut Niswonger (1992:22), Pendapatan adalah jumlah yang ditagih kepada pelanggan atas barangataupun jasa yang diberikan kepada mereka. Pada buku yang sama Niswonger juga menjelaskan bahwa, pedapatan atau revenue merupakan kenaikan kotor atau gross dalam modal pemilik yang dihasilkan dari penjualan barang dagangan, pelaksanaan jasa kepadapelanggan atau klien, penyewa harta, peminjam uang dan semua kegiatan usaha serta profesi yang bertujuan untuk memperoleh penghasilan.
2.2
Penelitian Sebelumnya
2.2.1 Penelitian oleh Ni Komang Ayu Triadi Dewi Penelitian mengenai usaha ritel sebelumnya memang telah banyak di bahas di dalam artikel, jurnal, dan tugas akhir, sebagai contoh penelitian yang telah di lakukan oleh Ni Komang Ayu Triadi Dewi, dengan judul “Dampak Minimarket Terhadap Eksistensi Warung Tradisional Di Kota Singaraja”. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui sebaran spasial warung tradisional di Kota Singaraja. Hasil penlitian menunjukan bahwa
27
sebaran spasial warung tradisional di Kota Singaraja yaitu tersebar tidak merata (T=0,92), sedangkan sebaran minimal spasial di Kota Singaraja yaitu tersebar merata (T=1,52), Dampak minimarket terhadap eksistensi warung tradisional dapat dilihat dari berkurangnya jam buka warung, menurunnya modal kerja, jumlah penjualan barang, jumlah pembeli dan pendapatan pedagang warung tradisional. Untuk mampu mempertahankan eksistensinya dari keberadaan minimarket, pedagang warung tradisional di Kota Singaraja telah melakukan perubahan pada tampilan warung, menambah modal dan menambah jenis barang yang di jual.
2.2.2 Penelitian oleh Melita Iffah Penelitian oleh Melita Iffah ini berjudul “Pengaruh Toko Modern Terhadap Toko Usaha Kecil Skala Lingkungan (Studi Kasus: Minimarket Kecamatan Blimbing, Kota Malang). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik minimarket dan karakteristik toko usaha kecil, mengetahui persepsi dan prefernsi masyarakat terhadap toko usaha kecil dan minimarket, dan mengetahui pengaruh dari keberadaan minimarket terhadap toko usaha kecil skala lingkungan berkaitan dengan jangkauan pelayanannya. Metode yang digunakan adalah IPA (Importance Performance Analysis), crosstab, analisis pengaruh minimarket, dan overlay jangkauan pelayanan. Berdasarkan jangkauan pelayanan, dapat diketahui bahwa semakin besar jangkauan minimarket, maka akan semakin banyak toko yang terfriksi dengan jangkauan pelayanannya. Satu
28
minimarket berdampak terhadap 4 toko usaha kecil, dengan rata-rata friksi sebesar 57,29%. Berdasarkan penelitian, semakin jauh toko usaha kecil terhadap minimarket, pengaruh yang ditimbulkan akan semakin kecil. Namun, semakin dekat toko usaha kecil dengan minimarket, maka pengaruh yang sangat besar terjadi pada jumlah konsumen yang datang setiap harinya.
2.2.3 Penelitian oleh Pardiana Wijayanti Penelitian lainnya oleh Pardiana Wijayanti yang mengangkat judul “Analisis Pengaruh Perubahan Keuntungan Usaha Warung Tradisional Dengan Munculnya Minimarket (Studi Kasus Di Kecamatan Pedurungan Kota Semarang)”. Penelitian ini menggunakan data primer melalui wawancara secara langsung kepada responden dengan daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Ada 100 responden warung tradisional di Kecamatan Pedurungan yang menjadi objek penelitian. Untuk mencapai tujuan, dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan pendekatan Ordinary Least Square (OLS). Hasil analisis Ordinary Least Square menjelaskan pengaruh perubahan keuntungan usaha warung tradisional dengan munculnya minimarket di Kecamatan Pedurungan Kota Semarang. Analisis ini menggunakan variabel independen yaitu perubahan omset penjualan (X1), jarak (X2), dan diversifikasi produk (X3) yang mempengaruhi perubahan keuntungan usaha (π) dari warung tradisional. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa perubahan omset penjualan
29
(0,0000) dan jarak (0,0653)* berpengaruh signifikan terhadap perubahan keuntungaan usaha. Sedangkan diversifikasi produk (0,3147) tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan keuntungan usaha warung tradisional.
2.3
Kerangka Pemikiran Usaha ritel secara umum adalah bentuk usaha perdagangan yang di
lakukan oleh masyarakat baik berupa barang atau jasa dengan jumlah yang kecil atau sedikit, dan barang atau jasa yang di jual adalah untuk digunakan sendiri (tidak di jual kembali). Usaha eceran/ritel pun tidak harus selalu di lakukan di toko, tapi juga bisa dilakukan melalui telepon atau internet, disebut juga dengan eceran/ritel non-toko. Secara garis besar, usaha ritel yang berfokus pada penjualan barang sehari-hari terbagi dua, yaitu usaha ritel kecil dan usaha mini market. Ciri-ciri usaha ritel kecil adalah sederhana, tempatnya tidak terlalu luas, barang yang dijual tidak terlalu banyak jenisnya, sistem pengelolaan / manajemennya masih sederhana, tidak menawarkan kenyamanan berbelanja dan masih ada proses tawar-menawar harga dengan pedagang, serta produk yang dijual tidak dipajang secara terbuka sehingga pelanggan tidak mengetahui apakah peritel memiliki barang yang dicari atau tidak. Sedangkan mini market adalah sebaliknya, menawarkan tempat yang luas, barang yang dijual banyak jenisnya, sistem manajemen
30
terkelola dengan baik, menawarkan kenyamanan berbelanja, harga jual sudah tetap (fixed price) sehingga tidak ada proses tawar-menawar dan adanya sistem swalayan / pelayanan mandiri, serta pemajangan produk pada rak terbuka sehingga pelanggan bisa melihat, memilih, bahkan mencoba produk terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk membeli. Ada tiga faktor yang dapat mendorong usaha ritel berhasil, antara lain sebagai berikut. 1. Lokasi Usaha Faktor utama yang harus diperhatikan dalam memulai atupun mengembangkan usaha ritel adala faktor lokasi. Panduan dalam memilih lokasi usaha ritel yang baik menurut Guswai (2009) adalah sebagai berikut.: a.
Terlihat (visible) Lokasi usaha ritel yang baik adalah harus terlihat oleh banyak
orang yang lalu lalang di lokasi tersebut. b. Lalu lintas yang padat (heavy traffic) Semakin banyak lokasi usaha ritel dilalui orang, maka semakin banyak orang yang tahu mengenai usaha ritel tersebut. c.
Arah pulang ke rumah(direction to home) Pada umumnya, pelanggan berbelanja di suatu toko ritel pada saat
pulang ke rumah. Sangat jarang orang berbelanja pada saat akan berangkat kerja. d. Fasilitas umum(public facilities)
31
Lokasi usaha ritel yang baik adalah dekat dengan fasilitas umum seperti terminal angkutan umum, pasar, atau stasiun kereta. Fasilitas umum tersebut bisa menjadi pendorong bagi sumber lalu lalang calon pembeli/pelanggan untuk kemudian berbelanja di toko ritel. Hal ini disebut dengan impulsive buying atau pembelian yang tidak direncanakan. e.
Biaya akuisisi (acquisition cost) Biaya merupakan hal yang harus dipertimbangkan dalam berbagai
jenis usaha. Peritel harus memutuskan apakah akan membeli suatu lahan atau menyewa suatu lokasi tertentu. Peritel hendaknya melakukan studi kelayakan dari sisi keuangan untuk memutuskan suatu lokasi usaha ritel tertentu. f.
Peraturan/perizinan (regulation) Dalam
menentukan
suatu
lokasi
usaha
ritel
harus
juga
mempertimbangkan peraturan yang berlaku. Hendaknya peritel tidak menempatkan usahanya pada lokasi yang memang tidak diperuntukan untuk usaha, seperti taman kota dan bantaran sungai. g. Akses (access) Akses merupakan jalan masuk dan keluar menuju lokasi. Akses yang baik haruslah memudahkan calon pembeli/pelanggan untuk sampai ke suatu usaha ritel. Jenis-jenis hambatan akses bisa berupa perubahan arus lalu lintas atau halangan langsung ke lokasi toko, seperti pembatas jalan. h. Infrastruktur (infrastructure)
32
Infrastruktur yang dapat menunjang keberadaan suatu usaha ritel, antara lain lahan parkir yang memadai, toilet, dan lampu penerangan. Hal tersebut dapat menunjang kenyamanan pelanggan dalam mengunjungi suatu toko ritel. i.
Potensi pasar yang tersedia (captive market) Pelanggan biasanya akan memilih lokasi belanja yang dekat
dengan kediamannya. Menetapkan lokasi usaha ritel yang dekat dengan pelanggan akan meringankan usaha peritel dalam mencari pelanggan. j.
Legalitas (legality) Untuk memutuskan apakah membeli atau menyewa sebuah lokasi
untuk menempatkan usaha, peritel harus memastikan bahwa lokasi tersebut tidak sedang memiliki masalah hukum (sengketa). Segala perjanjian jual beli maupun sewa-menyewa hendaknya dilakukan di hadapan notaris. Pihak notaris akan memeriksa kelengkapan dokumen sebelum melakukan pengesahan jual beli ataupun sewa-menyewa. Kesalahan dalam menentukan lokasi usaha ritel dapat memiliki dampak jangka panjang. Peritel harus mempertimbangkan biaya yang sudah dikeluarkan ketika menjalankan usaha ritel seperti pemasangan listrik, jaringan sistem komputer, dan dekorasi bangunan. Memindahkan bisnis ke lokasi yang baru yang dinilai akan lebih menguntungkan juga bukan hal yang mudah karena harus mempertimbangkan barbagai hal, seperti luas ruangan yang dibutuhkan, dekorasi ruangan, perizinan, dan lain sebagainya.
33
2. Harga yang tepat Usaha
ritel
biasanya
menjual
produk-produk
yang
biasa
dibeli/dikonsumsi pelanggan sehari-hari. Oleh karena itu, pelanggan bisa mengontrol harga dengan baik. Jika suatu toko menjual produk dengan harga yang tinggi, maka pelanggan akan pindah ke toko lain yang menawarkan harga yang lebih rendah, sehingga toko menjadi sepi pelangaan.
Sebaliknya,
penetapan
harga
yang
terlalu
murah
mengakibatkan minimnya keuntungan yang akan diperoleh, sehingga peritel belum tentu mampu menutup biaya-biaya yang timbul dalam menjalankan usahanya. 3. Suasana toko Suasana toko yang sesuai bisa mendorong pelanggan untuk datang dan berlama-lama di dalam toko, seperti memasang alunan musik ataupun mengatur tata cahaya toko.Ada dua hal yang perlu di perhatikan untuk menciptakan suasana toko yang menyenangkan, yaitu eksterior toko dan interior toko. a.
Eksterior toko, meliputi keseluruhan bangunan fisik yang bisa dilihat
dari bentuk bangunan, pintu masuk, tangga, dinding, jendela dan sebagainya. Eksterior toko berperan dalam mengounikasikan informasi tentang apa yang ada didalam gedung, serta dapat membentuk citra terhadap keseluruhan tampilan toko.
34
b.
Interior toko, meliputi estetika toko, desain ruangan, dan tata letak
toko, seperti penempatan barang, kasir, serta perlengkapan lainnya. Jika pelanggan menangkap eksterior toko dengan baik, maka ia akan termotivasi untuk memasuki toko. Ketika pelanggan sudah memasuki toko, ia akan memperhatikan interior toko dengan cermat. Jika pelanggan memiliki persepsi / anggapan yang baik tentang suatu toko, maka ia akan senang dan betah berlama-lama didalam toko. Selain eksterior dan interior toko, faktor penting lainnya yang memengaruhi
keberhasilan
toko
adalah
pramuniaga.
Pramuniaga
menentukan puas tidaknya pelanggan setelah berkunjung sehingga terjadi transaksi jual beli ditoko tersebut. Pramuniaga yang berkualitas sangat menunjang kemajuan toko. Pramuniaga sebaiknya mampu menarik simpati pelanggan dengan segala keramahannya, tegur sapanya, informasi yang diberikan, cara bicara, dan suasana yang bersahabat.
2.3.1 Pengaruh Pengadaan Barang Terhadap Pendapatan Pengadaan barang atau merchandising terdiri atas aktivitasaktivitas yang mencakup pengadaan barang/jasa tertentu dan membuatnya tersedia pada tempat, waktu, harga, dan dalam jumlah tertentu sesuai dengan yang diharapkan oleh konsumen. Mini market pada umumnya telah merujuk pada aktivitas-aktivitas tersebut, sehingga memungkinkan usaha ritel kecil yang masih melakukan aktivitas-aktivitas pengadaan barang secara sederhana akan membuat usaha ritel kecil jauh tertinggal.
35
2.3.2 Pengaruh Harga Terhadap Pendapatan Usaha ritel kecil biasanya menjual barang atau jasa yang digunakan/di konsumsi oleh masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari. Maka dari itu, harga merupakan salah satu faktor penentu bagi konsumen dalam berbelanja. Usaha mini market yang menawarkan harga yang tertera pada barang (kepastian harga), menjadikan usaha mini marekt menjadi lebih unggul. Karena pada kenyataanya, masyarakat lebih senang berbelanja barang dengan mengetahui harga terlebih dahulu. Usaha mini market juga mampu memberikan harga yang relatif lebih murah, sehingga masyarakat cenderung lebih memilih berbelanja di mini market.
2.3.4 Pengaruh Lokasi Terhadap Pendapatan Lokasi merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan usaha ritel kecil maupun usaha mini market. Kini usaha mini market tak lagi memeprhatikan jarak yang telah di tentuka oleh pemerintah, tak jarang mini market berada di sekitaran pasar tradisonal
hingga di sekitar
perumahan yang di dalamnya masih banyak penjual atau pedagang usaha ritel tradisonal. Pada saat ini, loaksi kedua usaha ritel tersebut saling berdekatan, bahkan bersebelahan. Hal inilah yang menjadikan persaingan antar kedua usaha ritel menjadi tidak sehat. Dimana usaha ritel kecil yang masih sangat sederhana harus bersaing dalam hal menarik pelanggan
36
dengan usaha mini market yang jauh lebih unggul dari berbagai aspek. Sehingga hal tersebut dapat membuat penurunan pendapatan usaha ritel kecil.
2.3.4 Pengaruh Persaingan Usaha Terhadap Perkembangan Usaha Ritel Kecil Persaingan usaha merupakan salah satu faktor yang terbentuk dari adanya kegiatan ekonomi. Persaingan bisa terjadi di setiap bisnis usaha, termasuklah bisnis usaha ritel kecil dengan mini market. Usaha mini market yang memiliki skala ekonomis yang baik, membuat struktur pasar pada lingkungan tersebut akan semakin terkonsentrasi. Selain itu efisensi dan inovasi yang ditawarkan oleh mini market akan membuat konsumen semakin tertarik untuk berbelanja di mini market dan mulai meninggalkan usaha ritel kecil. Dimana hal tersebut akan mempengaruhi perkembangan usaha ritel kecil bahkan bisa saja membunuh usaha ritel kecil. Sedangkan usaha ritel kecil pada negara-negara berkembang merupakan salah satu sektor informal yang masih banyak dijadikan masyarakat sebagai pekerjaan utama.
37
Adapun gambar sistematika Kerangka Pemikiran adalah sebagai berikut:
Mini Market
Pengadaan Barang
Harga
Perkembangan Usaha Ritel Kecil
Gambar 2.4 Bagan Kerangka Pemikiran
Lokasi