BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) 1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Pendidikan Kewarganegaraan merupakan sebuah disiplin ilmu sosial, yang terdiri dari 3 buah rumpun besar yaitu politik, hukum dan kewarganegaraan, dalam penjelasan pasal 37 UU No. 20 Tahun 2003 ditegaskan bahwa PKn merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antara warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Hal senada dikemukakan pula oleh Somantri (2001 : 299) antara lain sebagai berikut: Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan sekolah, masyarakat dan orang tua, yang kesemuanya itu diproses guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Merujuk pada pendapat di atas, Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang luas dalam ruang lingkup ilmu sosial karena mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan terdiri dari demokrasi politik yang berkembang di masyarakat dan orang tua, yang bertujuan agar siswa berfikir arif dan bijaksana dalam menanggapi permasalahan yang berkembang di masyarakat, dengan adanya kepekaan siswa dalam mengkritisi masalah-masalah sosial menjadikan siswa
12
sebagai tauladan yang baik di masyarakat sehingga dapat menumbuhkan masyarakat yang demokratis, arif, dan bijaksana. 2. Fungsi dan Tujuan Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Pendidikan Kewarganegaraan memiliki fungsi yang kompleks, karena berhubungan langsung dengan masyarakat secara keseluruhan yang terstigma dalam warga negara. Pendidikan Kewarganegaraan menjadikan warga negara mempunyai pengetahuan kewarganegaraan sehingga dapat mengetahui hak dan kewajiban warga negara yang ditentukan oleh negara. Jika semua warga negara sadar akan hak dan kewajibannya maka dapat dipastikan perwujudan negara yang demokratis dapat tercapai, karena ketika hak dan kewajiban diterapkan dalam kehidupan sehari-hari maka warga negara tersebut telah ikut berpartisipasi dalam pembangunan negaranya. Somantri (2001: 166) memberikan pemaparan mengenai fungsi PKn sebagai berikut: Usaha sadar yang dilakukan secara ilmiah dan psikologis untuk memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik agar terjadi internalisasi moral pancasila dan pengetahuan kewarganegaraan untuk melandasi tujuan pendidikan nasional, yang diwujudkan dalam integritas pribadi dan perilaku sehari-hari. Merujuk pada pendapat di atas, dengan adanya pembelajaran pendidikan kewarganegaraan menjadikan peserta didik menjadi warga negara yang mempunyai nilai-nilai pancasila dalam perilakunya dan memiliki pengetahuan kewarganegaraan, nilai-nilai Pancasila dapat diaplikasikan dalam kehidupan pribadi dan lingkungannya sedangkan pengetahuan kewarganegaraan dapat ia aplikasikan dalam kehidupan sehari-harinya.
13
Pada hakikatnya pendidikan kewarganegaraan bertujuan untuk menjadikan warga negara yang baik (to be good citizenship), yaitu warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, seperti memiliki kesadaran berkonstitusi dan kesadaran hukum. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi mengemukakan tujuan pendidikan kewarganegaraan sebagai berikut: Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia. Kesadaran dan wawasan termasuk wawasan kebangsaan, jiwa dan patriotisme bela negara, penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak, dan sikap serta perilaku anti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sejalan dengan paparan diatas, Rahmat (2007:15) mengemukakan bahwa mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan. 2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, serta bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti korupsi 3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarkat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya. 4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Merujuk pada pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa melalui Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan peserta didik memiliki kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat,
14
berbangsa, dan bernegara, kesadaran tersebut seperti kesadaran hukum dan kesadaran berkonstitusi. Juga melalui pendidikan kewarganegaraan menjadikan peserta didik memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan sehingga menjadikan peserta didik dapat berfikir kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi masalah tersebut. Lebih lanjut Rahmat (2007:13) mengemukakan bahwa kompetensikompetensi yang hendak diwujudkan melalui mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: 1. Kompetensi untuk menguasai pengetahuan kewarganegaraan. a. Memahami tujuan pemerintahan dan prinsip-prinsip dasar konstitusi pemerintahan republik Indonesia. b. Mengetahui struktur, fungsi dan tuga pemerintaha daerah dan nasional serta bagaimana keterlibatan warga negara membentuk kebijaksanaan publik. c. Mengetahui hubungan negara dan bangsa Indonesia dengan negara-negara dan bangsa-bangsa lain beserta masalah-masalah dunia dan/atau internasional. 2. Kompetensi Untuk Memiliki Keterampilan Kewaganegaraan. a. Mengambil atau menetapkan keputusan yang tepat melalui proses pemecahan masalah atau inkuiri. b. Mengevaluasi kekuatan dan kelemahan suatu isu tertentu. c. Menentukan atau mengambil sikap guna mencapai suatu posisi tertentu. d. Membela atau mempertahankan posisi dengan mengemukakan argumen yang kritis, logis, dan rasional. e. Memaparkan suatu informasi yang penting kepada khalayak umum. f. Membangun koalisi, kompromi, negosiasi, dan konsensus. 3. Kompetensi Untuk Menghayati Dan Mengembangkan Karakter Kewarganegaraan. a. Memberdayakan dirinya sebagai warga negara yang independen, aktif, kritis, dan bertanggung jawab untuk berpartisipasi secara efektif dan efisien dalam berbagai aktivitas masyarakat, politik, dan pemerintahan pada semua tingkatan (daerah dan nasional). b. Memahami bagaimana warganegara melaksanakan peranan, hak, dan tanggung jawab personal untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat pada semua tingkatan (daerah dan nasional).
15
Merujuk
pada
pendapat
di
atas
mata
pelajaran
pendidikan
kewarganegaraan, secara umum memiliki tujuan untuk menjadikan warga negara yang baik (to be good citizenship), salah satunya adalah memiliki kesadaran berkonstitusi yaitu warga negara yang sadar akan aturan yang mengikatnya sesuai dengan perannya masing-masing di masyarakat. Misalnya, ketika menjadi siswa, kita diharuskan untuk memiliki kesadaran berkonstitusi siswa yaitu dengan memahami dan melaksanakan peraturan yang ada di sekolah atau lebih tepatnya peraturan tata tertib siswa. 3. Ruang Lingkup Materi Pendidikan Kewarganegaraan di Persekolahan Untuk
memudahkan
memahami
ruang
lingkup
materi
pendidikan
kewarganegaraan,Somantri (164:2001) membuat bagan sebagaimana dibawah ini: Gambar II.1. Ruang Lingkup Materi PKn Intraceptive Knowledge Iman-PS
PKN V-4
A B C D
Diorganisasikan Secara Terpadu
PKN V-1
PPKN Diorganisasikan dan Disajikan Secara Ilmiah dan Psikologis Untuk Tujuan Pendidikan
PKN V-2
PKN V-3 16
Keterangan gambar: A= Tujuan Pendidikan Nasional B= Disiplin Ilmu-Ilmu Sosial C= Humaniora, Kegiatan Dasar Manusia, Pancasila, UUD 1945, Dokumen Bela Negara. D= IPA PKN V-1= PPKN FPIPS PKN V-2= PPKN Pendidikan Dasar dan Menengah PKN V-3= PPKN Pada Masyarakat PKN V-4= PPKN di Pasca Sarjana Adapun ruang lingkup mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan meliputi aspek - aspek sebagai berikut: a. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan. b. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sistim hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional c. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban masyarakat,
Instrumen
nasional
dan
internasional
HAM,
Pemajuan,
penghormatan dan perlindungan HAM d. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat,
17
Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, Persamaan kedudukan warga Negara. e. Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar negara dengan konstitusi, Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi f. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka. g. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi globalisasi. Merujuk pada ruang lingkup mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang telah di kemukakan di atas, sesuai dengan objek penelitian penulis mengenai implikasi pembelajaran konstitusi terhadap kesadaran berkonstitusi siswa. Ruang lingkup materi Pendidikan Kewarganegaraan yang relevan dengan penelitian ini termasuk ke dalam dua ruang lingkup yaitu Norma, Hukum dan Peraturan dan Konstitusi Negara. Materi pelajaran konstitusi terdapat dalam mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Adapun materi pokok konstitusi terdapat dalam kurikulum
18
2006 tingkat SMP kelas VII semester 1 standar kompetensi ke 2 dan VIII semester 1 standar kompetensi ke 2 yaitu : Tabel II.1. Materi Pokok Konstitusi Berdasarkan Kurikulum 2006 Kelas/ Semester VII/ 1
VIII/ 1
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar 1. Menunjukkan sikap 1.1.Mendeskripsikan hakikat positif terhadap normanorma-norma,kebiasaan, norma yang berlaku adat istiadat, peraturan, dalam kehidupan yang berlaku dalam bermasyarakat, masyarakat berbangsa, dan bernegara 1.2. Menjelaskan hakikat dan arti penting hukum bagi warganegara 1.3. Menerapkan normanorma, kebiasaan, adat istiadat dan peraturan yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara 2. Mendeskripsikan makna 2.1 Menjelaskan makna Proklamasi proklamasi kemerdekaan Kemerdekaan dan 2.2 Mendeskripsikan suasana konstitusi pertama kebatinan konstitusi pertama 2.3 Menganalisis hubungan antara proklamasi kemerdekaan dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2.4 Menunjukkan sikap positif terhadap makna proklamasi kemerdekaan dan suasana kebatinan konstitusi pertama 1. Menampilkan perilaku 1.1.Menjelaskan Pancasila yang sesuai dengan nilaisebagai dasar negara dan nilai Pancasila ideologi negara 1.2. Menguraikan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara 1.3. Menunjukkan sikap
19
2. Memahami berbagai konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia
3. Menampilkan ketaatan terhadap perundangundangan nasional
positif terhadap Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara 1.4. Menampilkan sikap positif terhadap Pancasila dalam kehidupan bermasyakat 2.1.Menjelaskan berbagai konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia 2.2.Menganalisis penyimpanganpenyimpangan terhadap konstitusi yang berlaku di Indonesia 2.3.Menunjukkan hasil-hasil amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2.4.Menampilkan sikap positif terhadap pelaksanaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil amandemen 3.1. Mengidentifikasi tata urutan peraturan perundang-undangan nasional 3.2.Mendeskripsikan proses pembuatan peraturan perundang-undangan nasional 3.3.Mentaati peraturan perundang-undangan nasional 3.4.Mengidentifikasi kasus korupsi dan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia 3.5.Mendeskripsikan pengertian anti korupsi dan instrumen (hukum dan kelembagaan) anti korupsi di Indonesia
20
Sehubungan dengan pembelajaran materi konstitusi di Laboratorium Percontohan UPI masih menggunakan kurikulum 2004 maka materi Pendidikan Kewarganegaraan merujuk pada kurikulum 2004. Adapun Materi pokok Konstitusi yang terdapat dalam Kurikulum 2004 pada tingkat SMP kelas IX kompetensi dasar ke 5, adapun rinciannya adalah sebagai berikut : Tabel II.2. Materi Pokok Konstitusi Berdasarkan Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Kemampuan membiasakan untuk mencari, menyerap, menyampaikan, dan mengunakan informasi tentang pembelaan negara; sistem hukum dan pengadilan nasional; instrumen HAM; perlindungan hukum serta konstitusi yang pernah digunakan di indonesia
Kompetensi Dasar 1. Kemampuan membela negara 1.1. Mendeskripsikan unsur negara dan usaha pembelaan negara kesatuan republik indonesia 1.2. Menunjukan tekad yang kuat untuk membela negara kesatuan republik indonesia 2. Kemampuan menganalisis sistem hukum dan peradilan nasional 2.1. Mengkaji fungsi hukum dan pengadilan nasional 2.2. Menampilkan sikap terhadap keputusan pengadilan 3. Kemampuan menganalisis instrumen HAM 3.1. Mengkaji instrumen internasional HAM 3.2. Menunjukkan sikap terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di berbagai negara 4. Kemampuan memanfaatkan perlindungan hukum 4.1. Memahami cara-cara mencari perlindungan hukum 4.2. Menampilkan sikap terhadap proses perlindungan hukum bagi warga negara 5. Kemampuan menganalisis konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia 5.1. Mengkaji konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia 5.2. Menampilkan sikap positif terhadap pelaksanaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil amandemen
Materi Pokok Pembelaan Terhadap Negara
Hukum dan peradilan nasional
Intstrumen internasional HAM
Perlindungan hukum
Konstitusi Negara Republik Indonesia
21
B. Hakikat Pembelajaran 1. Pengertian Belajar Belajar merupakan hal yang lumrah kita temui di sekolah, dimana siswa yang menjadi perhatian utamanya. Menurut Djahiri (1985:4) “ Sekolah adalah salah satu lembaga pendidikan cq tempat belajar dimana anak akan berusaha membina, mengembangkan dan menyempurnakan potensi dirinya serta dunia kehidupan dan masa depannya”. Lebih lanjut Djahiri (1985:6) mengemukakan pendapatnya mengenai belajar yaitu : Belajar hendaknya kita tafsirkan sebagai proses interaksi antara: a. Berbagai potensi diri siswa (pisik-nonpisik,emosi-intelektual dll) untuk pembinaan, pengembangan dan penyempurnaan potensinya tsb. b. Diri/potensi siswa dengan guru, siswa lain, lingkungan dan dengan konsep/ fakta. c. Berbagai stimulus berencana (condition stimulus) dengan berbagai respon terarah/terkendali (condition respond) ke arah melahirkan berbagai perubahan yang diharapkan (condition consequencies). Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan (Surya, 1992:23). Proses perubahan tingkah laku siswa atau perilakunya, dapat dipengaruhi oleh lingkungan siswa yang bersangkutan, maka peranan guru dalam hal ini adalah mengarahkan siswa agar perubahan tingkah laku yang di alaminya bersifat positif (baik), tentunya hal ini dilakukan ketika proses belajar mengajar berlangsung sehingga ketika siswa di lingkungan keluarga atau masyarakat dapat menjadi tauladan yang baik dalam hal perilaku warga negara yang baik.
22
Piaget (Dahar, 1996:51) mengemukakan bahwa belajar merupakan “proses perubahan struktur kognitif lama menjadi struktur kognitif baru melalui asimilasi dan akomodasi”. Pendapat tersebut di atas dapat di ilustrasikan dalam kehidupan sehari-hari siswa ketika melaksanakan proses pembelajaran di sekolah yaitu, ketika pada kelas 3 SMP siswa mendapat materi tentang konstitusi, kemudian ketika ia masuk SMA, ia mendapat materi tentang hubungan dasar negara dengan konstitusi. Jadi ketika siswa mendapat materi konstitusi ia sudah mempunyai pengetahuan (kognitif) mengenai hakikat konstitusi, sifat, proses perubahan konstitusi dan sebagainya. Kemudian ia dapat mengembangkan hal yang sudah ia fahami mengenai konstitusi ketika ia masuk SMA yaitu ketika ia mempelajari tentang hubungan dasar negara dengan konstitusi. Berdasarkan pendapat-pendapat dari para ahli mengenai pengertian belajar maka dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses perubahan tingkah laku individu yang dipengaruhi oleh lingkungan, ruang lingkup dunia individu itu sendiri sesuai dengan tingkat pemahamannya, dan proses pengembangan pengetahuan (kognitif) yang telah di miliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru diterimanya. 2. Pengertian Pembelajaran Pembelajaran
pada
hakekatnya
merupakan
proses
komunikasi
transaksional yang bersifat timbal balik, baik antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Komunikasi transaksional adalah untuk membentuk komunikasi yang dapat diterima, dipahami
23
dan disepakati oleh pihak-pihak yang terkait dalam proses pembelajaran (MKDK Kurikulum Pembelajaran, 2002:48). Hal senada juga di kemukakan oleh Natawidjaja (1991 : 23) bahwa: Pembelajaran adalah upaya pembimbingan terhadap siswa agar siswa itu secara sadar dan terarah berkeinginan untuk belajar dan memperoleh hasil belajar sebaik-baiknya, sesuai dengan keadaan dan kemampuan siswa yang bersangkutan. Siswa dan guru sama pentingnya dalam proses pembelajaran, karena siswa tanpa adanya guru tidak akan terjadi proses pembelajaran begitupun sebaliknya bila guru tanpa siswa, sebab keduanya memiliki peranan yang penting, meskipun pembelajaran merupakan proses membelajarkan siswa tapi tanpa perencanaan proses kegiatan belajar yang dibuat oleh guru, tentunya proses belajar mengajar tidak akan efektif. Menurut Natawidjaja (1991 : 72-73) di dalam kegiatan membelajarkan siswa berhadapan dengan dua aspek dari anak didik, yaitu aspek kematangan (maturation) dan aspek belajar (learning). Aspek kematangan adalah hasil proses perkembangan sifat-sifat perorangan anak didik yang berbeda-beda dan telah terbentuk sejak sebelum lahir (pembawaan/bakat). Sedangkan aspek belajar adalah proses perubahan yang terus menerus terjadi dalam diri individu yang tidak ditentukan oleh unsur keturunan, tetapi lebih banyak ditentukan oleh faktor dari luar (faktor eksternal). Perubahan tersebut bisa berupa pandangan hidup, perilaku, keterampilan, persepsi, motivasi atau gabungan dari unsur-unsur tersebut. Sedangkan belajar adalah suatu proses pembentukan, perubahan, penambahan atau pengurangan perilaku individu. Pembentukan atau perubahan itu bersifat menetap atau permanen dan disebabkan adanya latihan yang terarah.
24
Pembelajaran akan berhasil bila memperhatikan pengetahuan awal siswa dan lingkungan belajar siswa. Pengetahuan awal akan sangat berpengaruh ketika siswa mempelajari sebuah materi, misalnya, ketika siswa mempelajari materi konstitusi,
jika
siswa
sudah
mempunyai
pengetahuan
awal
mengenai
implementasi konstitusi dalam kehidupan sehari-hari mereka, meski belum mengetahui secara gamblang pengertian konstitusi tetapi minimal dapat mendeskripsikan dalam pemikirannya hal apa saja yang akan ia terima dalam materi konstitusi. Lingkungan
belajar
mempengaruhi
proses
internalisasi
dalam
pembelajaran, sebab hal-hal apa saja yang siswa rasakan dan dialaminya akan berpengaruh terhadap pandangan hidup atau persepsi mereka akan sesuatu hal, misalnya, siswa melihat banyaknya siswa yang tidak mempunyai kesadaran berkonstitusi (kesadaran akan aturan) seperti banyak siswa yang melanggar aturan tata tertib siswa, ketika dalam materi konstitusi guru mengemukakan kesadaran berkonstitusi, maka siswa akan mampu mendeskripsikan dalam pemikirannya mengenai praktek kesadaran berkonstitusi di lingkungan sekolah. Berdasarkan uraian beberapa pendapat mengenai pengertian pembelajaran maka dapat penulis
simpulkan bahwa pembelajaran dipengaruhi
oleh,
perencanaan yang dilakukan guru sebelum mengajar, pengetahuan awal yang dimiliki siswa sebelum menerima materi pelajaran, kematangan siswa yang telah dimiliki sejak lahir, dan perkembangan persepsi siswa yang dipengaruhi oleh lingkungan yang ada di sekitar siswa.
25
2.1.
Bahan Pembelajaran MKDK Kurikulum Pembelajaran (2002:58) mengemukakan pendapatnya
mengenai bahan pembelajaran yaitu: Bahan atau materi pembelajaran pada dasarnya adalah “isi” dari kurikulum, yakni berupa mata pelajaran atau bidang studi dengan topik/ sub topik dan rinciannya. Secara umum isi kurikulum itu dapat dipilah menjadi tiga unsur utama, yaitu: logika (pengetahuan tentang benar-salah; berdasarkan prosedur keilmuan), etika (pengetahuan tentang baik-buruk) berupa muatan nilai moral, dan estetika (pengetahuan indah-jelek) berupa muatan nilai seni. Sedangkan bila memilahnya berdasarkan taksonomi Bloom dkk., bahan pembelajaran itu berupa kognitif (pengetahuan), afektif (sikap/nilai), dan psikomotor (keterampilan). Merujuk pendapat di atas, bahan pembelajaran adalah isi dari kurikulum seperti standar kompetensi dan kompetensi dasar beserta indikator. Bahan pembelajaran ini berupa kognitif (pengetahuan), afektif (sikap/nilai), dan psikomotor (keterampilan). 2.2.
Metode Pembelajaran Metode secara harfiah berarti “cara”. Dalam pemakaian yang umum,
metode diartikan sebagai cara melakukan suatu kegiatan atau cara melakukan pekerjaan dengan menggunakan fakta dan konsep-konsep secara sistematis (Syah, 2004:201). Selanjutnya
Syah
(2004:201)
mengutip
pendapat
Tardif
yang
mengemukakan bahwa “Metode pembelajaran ialah cara yang berisi prosedur baku untuk melaksanakan kegiatan kependidikan, khususnya kegiatan penyajian materi pelajaran kepada siswa”. Adapun pembahasan mengenai jenis-jenis metode pembelajaran. Makmun (2004: 238) mengemukakan bahwa “metode pembelajaran yang paling banyak
26
dipergunakan oleh para guru, antara lain metode ceramah, metode diskusi”. Merujuk pada pendapat tersebut, selanjutnya penulis menguraikannya sebagai berikut : 2.2.1. Metode Ceramah Metode ceramah atau kuliah (lecture) merupakan suatu cara belajar mengajar dimana bahan disajikan oleh guru secara monologue (sologuy) sehingga pembicaraan lebih bersifat satu arah (one way communication). (Makmun, 2004: 238) Adapun langkah-langkah penyelenggaraan metode ceramah yaitu: 1. Preparasi. Guru memilih topik (pokok bahasan) yang diperinci ke dalam beberapa subtopik (outline). Bahan-bahan dipersiapkan secara ekspositoris. Karakteristik siswa (audience) diidentifikasi dan diperhitungkan (tingkat usia, pendidikan, jenis, latar belakang pengalaman,minat, dan sebagainya). Waktu yang tersedia (time allowed) diperhitungkan. Memilih dan menetapkan teknik presentasi dan media komunikasi dan evaluasinya. 2. Introduksi. Guru menciptakan situasi (dengan gerak-gerik, mimik, pertanyaan, pernyataan/ cerita singkat dalam tempo sekitar lima menit), sehingga pada pihak siswa terdapat kesiapan dan kesediaan (preparatory set and reading). Dengan langkah ini, perhatian,minat, dan persepsi siswa (audience) diharapkan terarah dan tercurah kepada pokok persoalan yang akan dibahas. 3. Presentasi. Bagian ini adalah badan (body) dari metode ceramah, sedangkan introduksi merupakan kepalanya. Pada taraf ini, guru bertahap sesuai dengan sub-sub topik bahasan menyajikan topik bahasannya. 4. Konklusi. Bagian ini merupakan kaki dari metode ceramah. Pada taraf ini guru mengemukakan resume, atau pokok-pokok bahasan (main points). Secara konklusif. 5. Evaluasi. Untuk mendapatkan umpan balik (feed back) dari audience, guru biasanya dapat menggunakan beberapa teknik, antara lain dengan jalan bertanya kepada audience dan menunjuk beberapa dari mereka secara acak (random) untuk menjawabnya.
27
Metode ceramah ini memiliki kelemahan dan kelebihan, penulis mengutip pendapat Natawidjaja (1991:107-108), yaitu : 1. Keuntungan Metode Ceramah a. Ceramah amat membantu bila ingin menyampaikan bahan baru, atau bila ingin menyampaikan latar belakang suatu materi yang akan diajarkan kemudian; b. Ceramah memungkinkan lebih banyak pendengar yang dapat menangkap informasi yang menambah pemahaman atau pengertian secara cepat; c. Ceramah mempersiapkan siswa dengan suatu persepktif isi yang tersusun untuk dipertimbangkan; d. Ceramah memberikan pengalaman praktis pada siswa untuk mengembangkan keterampilan membuat catatan; e. Ceramah menumbuhkan rasa aman pada guru selama tidak ada informasi yang tak dikuasai untuk disampaikan. 2. Kelemahan dan Keterbatasan Metode Ceramah a. Ceramah yang terlalu lama, atau yang terlalu sering diadakan akan menimbulkan kebosanan; b. Penceramah mempunyai kesulitan untuk mengetahui/menilai bagaimana pengaruh ceramah itu pada pendengar, dan apakah kebutuhan dan perhatian pendengar sudah tersentuh atau belum; c. Individu dalam kelompok amat terbatas memperoleh kesempatan mengajukan pertanyaan, berarti umpan balik amat terbatas diperoleh sehingga lebih memungkinkan terjadinya salah komunikasi; d. Informasi terinci dan faktual sukar dikomunikasikan dalam situasi seperti itu(butir c); e. Belajar afektif (sikap) dan psikomotor sukar terjadi di dalam suatu ceramah; dan f. Siswa sukar untuk mempelajari kognitif tingkat tinggi karena siswa tidak turut aktif mengolah informasi tersebut. 2.2.2. Metode Diskusi Metode diskusi merupakan cara lain dalam belajar mengajar, dimana guru dan siswa bahkan antar siswa terlibat dalam suatu proses interaksi secara aktif dan
28
timbal balik dari 2 arah (two or multiways of communication) baik dalam perumusan masalah, penyampaian informasi, pembahasan maupun dalam pengambilan kesimpulannya (Makmun,2004:241). Lebih lanjut Makmun (2004:241) mengemukakan langkah-langkah metode diskusi adalah sebagai berikut: 1. Pre-discussion (sebelum diskusi) a. Memilih dan menetapkan topik atau tema, atau sekurangkurangnya mengidentifikasi sejumlah pokok-pokok masalah yang merupakan alternatif untuk dipilih dan didiskusikan; b. Mengidentifikasikan dan menetapkan satu atau beberapa sumber bahan bacaan atau informasi yang hendaknya dibaca atau dipelajari oleh siswa (calon peserta, participans) sehingga kalau memasuki arena diskusi diharapkan telah membawa bahan pemikiran (frame of reference) yang sama orientasinya; c. Menetapkan atau menyediakan alternatif komposisi dan struktur komunikasi kelompok diskusi. d. Menetapkan atau menyediakan alternatif kepemimpinan diskusi pada guru (teacher centrality) atau para siswa (student centrality). 2. During the meeting (selama berlangsungnya diskusi) Langkah-langkahnya seperti telah digariskan dalam pola pendekatan masalah (problem solving). 3. After the meeting (setelah selesai diskusi) a. Guru dan siswa bersama menilai kemajuan yang dicapai, baik mengenai proses maupun tingkat pemecahan masalah yang dicapai. b. Guru dan siswa menetapkan langkah lanjutan apa yang harus dikerjakan setelah diskusi dilaksanakan. Metode diskusi ini memiliki kelemahan dan kelebihan, dalam hal ini penulis mengutip pendapat Natawidjaja (1991:111-112), yaitu : 1. Keunggulan Metode Diskusi a. Siswa belajar melalui diskusi. Yang dipelajari bukan hanya kognisi informatif, tetapi melatih menggunakan informasi dalam konteks yang punya arti; jadi belajar sampai pada ranah kognisi tingkat tinggi. b. Teknik diskusi mempengaruhi perkembangan sikap. Diskusi memberikan pelajaran yang bermakna, sehingga bagi siswa-siswa 29
yang berhasil berpartisipasi akan menemukan nilai dan keyakinan diri tertentu. c. Memberikan kesempatan pada siswa untuk mengembangkan keterampilan bertanya dan mereaksi atau menjawab. Siswa mulai berfikir dan menata sesuatu berdasarkan kecepatan sendiri. d. Memberikan nilai positif atas perkembangan konsep diri. e. Memberikan pengaruh positif terhadap kegiatan mental siswa, karena diskusi membuat mereka aktif, hal ini akan mengembangkan ketelitian dan kesiapan mental siswa. f. Guru menjadi lebih mengenal siswanya, observasi atas perilaku siswa dalam kegiatan kelompok memperkaya informasi guru akan perkembangan psikologis, sosial, emosional dan keterampilan siswa. 2. Kelemahan atau Keterbatasan Metode Diskusi a. Memakan waktu cukup lama dibandingkan dengan pendekatan langsung. b. Seringkali terlalu terinci, sehingga lamban, bertele-tele, menjadi sumber kebingungan. c. Mungkin terdapat beberapa siswa tidak pernah berpartisipasi, sementara terdapat siswa lain yang amat mendominasi d. Di dalam diskusi dapat terjadi suasana menjadi sepi, kadangkala guru terpaksa turut campur mengubah topik. e. Kadangkala karena topik tidak sesuai, tak jelas, siswa akan kehilangan arah, lalu muncul adalah keterlibatan emosional f. Guru dapat menjadi frustasi karena diskusi gagal menjacapai kesimpulan g. Siswa seringkali kekurangan latar belakang informasi atau masih kurang matang untuk memberikan distribusi pikiran yang berarti. Lebih lanjut Syah (2004:202), mengemukakan kelemahan dan kelebihan metode diskusi dan metode ceramah yaitu : Tabel II.3. Kelemahan dan Kelebihan Metode Diskusi Metode
Sifat Materi
Tujuan
Ceramah
Informatif, Faktual
Pemahaman, Pengetahuan
Diskusi
Prinsipal, Konseptual, Keterampilan
Pemahaman, analisis, sintesis, evaluasi, aplikasi
Keunggulan Lebih banyak materi yang tersaji Siswa aktif, berani dan kritis
Kelemahan Siswa pasif
Memboroskan waktu, didominasi siswa yang pintar
30
Berdasarkan uraian di atas mengenai metode pembelajaran, maka dapat disimpulkan, metode pembelajaran merupakan sebuah tahapan prosedural yang memuat
hal-hal
dalam
melaksanakan
kegiatan
pembelajaran.
Metode
pembelajaran yang sering digunakan guru adalah metode diskusi dan metode ceramah. Sebelum guru memilih metode pembelajaran sebaiknya guru mempertimbangkan kelemahan dan kelebihan metode pembelajaran yang akan digunakan, sehingga pembelajaran dapat berjalan efektif dan produktif. 2.3.
Media Pembelajaran Media pembelajaran yang dirancang dengan baik dapat merangsang
pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan siswa, sehingga dapat mendorong terjadinya proses kegiatan pada diri siswa. Di samping itu media dapat membawakan pesan atau informasi belajar dengan keandalan yang tinggi yaitu dapat diulang tanpa mengalami perubahan isi. Lebih lanjut, Djahiri (Rahmat, 2007:23) mengutip pendapat Jarolimek, yang mengemukakan pendapatnya mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum memilih media pembelajaran yaitu : 1. 2. 3. 4. 5.
Tujuan instruksional yang ingin dicapai Tingkat usia dan kematangan siswa Kemampuan baca siswa Tingkat kesulitan dan jenis konsep pelajaran tersebut Keadaan/ latar belakang pengetahuan atau pengalaman siswa
Berkaitan dengan materi konstitusi yang terdapat dalam mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan, maka media pembelajaran yang digunakan harus sesuai dengan materi pendidikan kewarganegaraan. Adapun media pembelajaran yang
dapat
dikembangkan
dalam
pembelajaran
materi
pendidikan
31
kewarganegaraan, penulis mengutip pendapat Rahmat (2007:22-23) yang mengemukakan bahwa: 1. Suara (audio) baik suara guru ataupun suara kaset 2. Hal-hal yang bersifat visual, seperti bagan, matrik, gambar, flip chart, flannel, data dan lain-lain 3. Suara yang disertai visualisasi (audio-visual) seperti tayangan televisi, film, video, dan sebagainya. 4. Hal-hal yang bersifat materiil, seperti model-model, benda contoh dan lain-lain. 5. Gerak,sikap dan perilaku, seperti simulasi, bermain peran, role playing, dan lain-lain. 6. Barang cetakan seperti buku, surat kabar, majalah, jurnal, dan brosur 7. Peristiwa atau ceritera kasus yang mengandung dilema moral. Berdasarkan uraian di atas, mengenai media pembelajaran. Maka dapat disimpulkan, bahwa media pembelajaran adalah sebuah alat untuk membantu penyampaian materi kepada siswa. Sebelum guru memilih media sebaiknya mempertimbangkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih media, sehingga guru dapat menentukan media pembelajaran sesuai dengan materi yang akan di ajarkan. 2.4.
Tahapan Proses Pembelajaran Syah (2004:216) mengemukakan tahapn proses pembelajaran yaitu : 1. Tahap prainstruksional, yaitu persiapan sebelum mengajar dimulai 2. Tahap instruksional, yaitu saat-saat mengajar 3. Tahap Evaluasi dan tindak lanjut, yaitu penilaian atas hasil belajar siswa setelah mengikuti pengajaran dan penindaklanjutannya Sebagaimana pendapat di atas, selanjutnya penulis menguraikannya
sebagai berikut : 2.4.1. Tahap Prainstruksional Tahap Prainstruksional adalah langkah persiapan yang ditempuh guru pda saat mulai memasuki kelas hendak mengajar. Pada tahap ini guru dianjurkan 32
memeriksa kehadiran siswa, kondisi kelas, dan kondisi peralatan yang tersedia dengan alokasi waktu yang singkat. Seusai kegiatan yang singkat tadi, guru perlu melakukan “pemanasan” dengan menanyakan perihal materi yang disajikan sebelumnya, serta materi yang akan diajarkan (pre-test). Kemudian, guru melakukan kegiatan apersepsi (apperception) dengan mengungkapkan kebali secara sekilas materi yang diajarkan sebelumnya lalu menghubungkannya dengan materi pelajaran yang akan segera diajarkan. Kegiatan ini penting, sebab kegiatan belajar dan memahami pelajaran itu kebanyakannya bergantung pada pengenalan siswa terhadap hubungan antara pengetahuan yang telah ia miliki dengan pengetahuan yang akan diajarkan. 2.4.2. Tahapan Instruksional Tahap Instruksional adalah tahap inti dalam proses pembelajaran. Pada tahap ini guru menyajikan materi pelajaran (pokok bahasan) yang disusun lengkap dengan persiapan model, metode dan strategi mengajar yang dianggap cocok. Jika guru menggunakan metode ceramah atau metode ceramah plus, maka pada tahap pelaksanaan pengajaran ini, ia sangat dianjurkan menjelaskan pokok=pokok materi dan tujuan-tujuannya baik TPU (Tujuan pembelajaran Umum) atau Tujuan Instruksional Umum maupun TPK (Tujuan Pembelajaran Khusus) atau tujuan Instruksional Khusus. Sebelum menguraikan pokok-pokok materi tersebut lebih lanjut, setiap uraian seyogianya dilengkapi dengan contoh dan peragaan seperlunya.
33
Terakhir, guru hendaknya membuat kesimpulan mengenai uraian yang telah disampaikan, jika memungkinkan penulisan kesimpulan ada baiknya dilakukan oleh para siswa. Dalam hal ini, guru perlu memberi waktu yang cukup kepada para siswa untuk bekerja sama menyelesaikan penyusunan kesimpulankesimpulan tersebut. 2.4.3. Tahap Evaluasi dan Tindak Lanjut Tahap terakhir proses mengajar terdiri atas kegiatan evaluasi dan tindak lanjut (follow up). Pada tahap ini guru melakukan penilaian keberhasilan belajar siswa yang berlangsung pada tahap instruksional. Caranya, ialah dengan mengadakan post test. Post test merupakan alat pengukuran prestasi belajar siswa sesudah menyajikan materi pelajaran. Tujuannya ialah untuk mengetahui sejauhmana siswa menguasai materi pelajaran yang telah disajikan guru. Post test sebaiknya dihubungkan /dibandingkan dengan pre-test untuk mengetahui perbedaan kualitas dan kuantitas pengetahuan siswa sebelum dan sesudah mengikuti pelajaran. Kalau Proses Belajar Mengajar (PBM) yang baru usai uitu baik, maka akan tampak mencolok (positif) perbedaan antara skor hasil post test dengan skor hasil pre-test. Kadar hasil pembelajaran (proses mempelajarai sesuatu) siswa dapat digunakan sebagai pedoman penindaklanjutan, baik yang bersifat pengayaan maupun perbaikan. Hal ini tergantung pada kualitas hasil post test tadi. Penindaklanjutan (follow up) dalam pengajaran dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya diskusi kelompok informal, penysunan ikhtisar, pemberian pekerjaan rumah (seperti membuat kliping dan menulis esai).
34
Akhirnya,
sebelum
meninggalkan
kelas,
guru
dianjurkan
untuk
memberitahukan pokok bahasan yang akan diajarkan kepada siswa pada pertemuan berikutnya. Langkah ini sangat sering dilupakan para guru itu, cukup penting artinya bagi para siswa dalam mempersiapkan diri dalam menghadapi materi baru dengan cara membaca sumber yang ada di rumah atau di perpustakaan. 2.5.
Suasana Pembelajaran Tim Pengembang MKDK Kurikulum (2002:51) mengemukakan bahwa : Proses pembelajaran akan berjalan dengan baik dan produktif apabila guru memiliki kemampuan dalam menciptakan suasana belajar siswa yang menyenangkan. Guru harus memiliki kemampuan dalam berkomunikasi dalam menyampaikan bahan ajar secara terprogram sejalan dengan tujuan pembelajaran dan rentang waktu yang tersedia. Lebih
lanjut Tim Pengembang MKDK Kurikulum (2002:51-52)
mengemukakan beberapa hal utama yang perlu dilakukan oleh guru dalam menyampaikan bahan ajar dan memelihara suasana pembelajaran yaitu : 1.
2.
2.6.
Kejelasan guru dalam menyampaikan, menginformasikan, menjabarkan secara sistematis rentang dan posisi bahan ajar yang disesuaikan dengan tingkat kematangan dan daya serap siswa. Guru harus mampu mengarahkan pembahasan materi pelajaran sebagai pokus kegiatan belajar siswa. Untuk terciptanya suasana pembelajaran yang atraktif dan dinamis, para siswa perlu didorong untuk berani mengemukakan pendapat dari pada hanya “mengiyakan” apa yang disampaikan oleh guru. Melalui tindakan ini potensi, pengalaman, dan wawasan yang sudah menjadi pengetahuan (milik) siswa dapat di apresiasi dan dikembangkan secara proporsional.
Evaluasi Pembelajaran Evaluasi artinya penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai
tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program. Padanan kata evaluasi adalah assessment yang menurut Tardiff, berarti proses penilaian untuk menggambarkan
35
prestasi yang dicapai seorang siswa sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Selain kata evaluasi dan assessment adapula kata lain yang searti dan relatif lebih masyhur dalam dunia pendidikan kita yakni tes, ujian, dan ulangan.(Syah, 2004:141). Evaluasi memiliki banyak ragam, berikut dipaparkan beberapa jenis evaluasi pembelajaran yaitu: 2.6.1. Jenis Evaluasi Pembelajaran Natawidjaja (1991:117), mengemukakan beberapa jenis evaluasi yaitu : 1. Tes tertulis, disebut juga paper-pencil-test yaitu tes dilakukan dengan menggunakan lembaran kertas dan pensil. Tes jenis ini paling banyak di lakukan oleh guru untuk menguji kemampuan siswa-siswanya melalui ulangan dan ujian-ujian 2. Tes lisan (oral test), dimana soal-soal dikemukakan secara lisan dan dijawab pula oleh siswa-siwa secara lisan. 3. Tes tindakan, digunakan untuk menguji kemampuan siswa-siswa dalam melakukan suatu atau sejumlah perbuatan, misalnya mendemonstrasikan kemampuannya melakukan gerakan, melakukan praktek di laboratorium, dan lain sebagainya. Lebih lanjut, dilihat dari bentuk soal-soalnya tes hasil belajar secara tertulis ada dua jenis yaitu tes objektif dan tes uraian. Jika yang akan dinilai adalah kemampuan yang sifatnya pengetahuan (kognitif) maka tes tertulis dan lisan lebih tepat digunakan. Jika kemampuan yang akan dinilai adalah keterampilan, maka tes tindakan lebih cocok digunakan.(Natawidjaja, 1991:117). Setiap evaluasi memiliki kelemahan dan kelebihannya masing-masing, seperti tes tertulis. Natawidjaja (1991:118) mengemukakan pendapatnya mengenai kelemahan dan keunggulan tes tertulis yaitu: 1. Keunggulan tes bentuk tertulis di antaranya ialah: a. Jawaban yang diminta dari siswa sudah jelas dan dituangkan dalam petunjuk pengisian; b. Dapat mengungkapkan materi yang lebih luas dalam jumlah soal yang banyak;
36
c. Proses penyekoran dan pemeriksaan hasil lebih mudah; d. Penilaian tidak banyak dipengaruhi oleh subjektivitas pemeriksa; 2. Kelemahannya di antaranya ialah: a. Penyusunannya memakan waktu banyak; b. Biasanya hanya menguji kemampuan yang sifatnya faktual; c. Kemungkinan menebak besar sekali; d. Rawan terhadap kemungkinan siswa tidak jujur dalam mengerjakan tes—misalnya menyontek dan bekerja sama. Selain jenis evaluasi tersebut di atas, ada juga jenis evaluasi yang lain, sebagaimana dikemukakan Syah (2004:143-142), yaitu: 1. Pre Test dan Post test Kegiatan pre test dilakukan guru secara rutin pada setiap akan memulai penyajian materi baru. Tujuannya, ialah untuk mengidentifikasi saraf pengetahuan siswa mengenai bahan yang akan disajikan. Post Test adalah kebalikan dari pre test, yakni kegiatan evaluasi yang dilakukan guru pada setiap akhir penyajian materi. 2. Evaluasi Prasyarat Evaluasi jenis ini sangat mirip dengan pre test. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi penguasaan siswa atas materi lama yang mendasari materi baru yang akan diajarkan. 3. Evaluasi Diagnostik Evaluasi ini dilakukan setelah selesai penyajian sebuah satuan pelajaran dengan tujuan mengidentifikasi bagian-bagian tertentu yang belum dikuasai siswa. 4. Evaluasi Formatif Evaluasi jenis ini kurang lebih sama dengan ulangan yang dilakukan pada setiap akhir penyajian satuan pelajaran atau modul. Tujuannya ialah untuk memperoleh umpan balik yang mirip dengan evaluasi diagnostik, yakni untuk mendiagnosis (mengetahui penyakit/kesulitan) belajar siswa. 5. Evaluasi Sumatif Ragam penilaian sumatif kurang lebih sama dengan Ulangan Umum yang dilakukan untuk mengukur kinerja akademik atau prestasi belajar siswa pada akhir periode pelaksanaan program pembelajaran. 2.6.2. Batas Minimal Prestasi Belajar Menetapkan batas minimum keberhasilan belajar siswa selalu berkaitan dengan upaya pengungkapan hasil belajar. Ada beberapa alternatif norma pengukuran tingkat keberhasilan siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar.
37
Diantara norma-norma pengukuran tersebut ialah : 1) norma skala angka dari 0 sampai 10, 2) norma skala angka dari 0 sampai 100 (Syah, 2004:152-153). Angka terendah yang menyatakan kelulusan/keberhasilan belajar (passing grade) skala 0-10 adalah 5,5 atau 6, sedangkan untuk skala 0-100 adalah 55 atau 60. Alhasil pada prinsipnya jika seorang siswa dapat menyelesaikan lebih dari separuh tugas atau dapat menjawab lebih dari setengah instrumen evaluasi dengan benar, ia dianggap telah memenuhi target minimal keberhasilan belajar. (Syah, 2004:153). 2.6.3. Instrumen Evaluasi Pembelajaran Langkah pertama, seorang guru dalam memilih instrumen evaluasi pembelajaran, adalah menyesuaikan instrumen evaluasi dengan kawasan domain kognitif, afektif dan psikomotor, sebagaimana dikemukakan Makmun (2004:189190) dalam tabel berikut ini: Tabel II.4. Instrumen Evaluasi Pembelajaran Berdasarkan Kawasan Domain Kognitif, Afektif dan Psikomotor Jenis Kawasan Tujuan Instruksional Aspek-Aspek Kognitif - Pengetahuan - Pemahaman - Aplikasi - Analisis - Sintesis - Evaluasi
Aspek-Aspek Afektif - Penerimaan - Sambutan - Penghargaan - Pendalaman
Kemungkinan Cara/Teknik Evaluasinya -
-
-
-
Kemungkinan Alat/ Instrumen Pengukuran
Bertanya secara lisan/ tulisan Memberi tugas pemecahan masalah/ proyek Mengobservasi proses Menilai hasil
-
Mendeteksi kecenderungan sikapsikapnya Menelaah proyeksi-
-
-
-
-
Perangkat soal/tes lisan: objektif/essay Perangkat tugas pemecahan masalah/ proyek Perangkat pedoman observasi proses/ tanya jawab/ pemecahan masalah/ kriteria Perangkat pertanyaan/ skala sikap Perangkat soal/ tugas tes proyektif
38
-
Penghayatan -
Aspek-Aspek Psikomotor - Koordinasi gerakan tubuh secara umum/ global - Koordinasi gerakan tubuh secara halus/ indah/ spesifik - Gerakan ekspresif secara nonverbal
-
-
-
proyeksinya Mengobservasi ekspresiekspresinya
-
Perangkat pedoman observasi ekspresi afektif
Memberi tugas pekerjaan/proyek/ pemecahan masalah/ demonstratif penampilan Mengobservasi proses/ ekspresinya/ demonstrasi/ penampilan Menilai hasilnya atau prosesnya/ demonstrasi
-
Perangkat tugas tes perubahan/tindakan/ pedoman observasi penampilan Perangkat pedoman observasi proses perilaku ekspresif/ penampilan Perangkat kriteria penilaian hasil/ produk tindakan/ pedoman observasi penampilan
-
-
Sejalan dengan pendapat di atas Syah (2004:154-155) mengemukakan jenis-jenis instrumen evaluasi yaitu: 1. Evaluasi Prestasi Kognitif Mengukur keberhasilan siswa yang berdimensi kognitif dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan tes tertulis maupun tes lisan dan perbuatan. 2. Evaluasi Prestasi Afektif Salah satu bentuk tes ranah afektif yang populer adalah “skala likert” (likert scale) yang tujuannya untuk mengidentifikasi kecenderungan/ sikap orang (Reber). 3. Evaluasi Prestasi Psikomotor Cara yang dipandang tepat untuk mengevaluasi keberhasilan belajar yang berdimensi psikomotor adalah observasi. Observasi, dalam hal ini, dapat diartikan sebagai sejenis tes mengenai peristiwa, tingkah laku, atau fenomena lain, dengan pengamatan langsung. Merujuk pada pendapat di atas, hal yang perlu diperhatikan guru dalam memilih instrumen evaluasi pembelajaran adalah kesesuaian instrumen evaluasi pembelajaran dengan aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Kesesuaian tersebut akan memudahkan guru dalam menilai siswa setiap proses pembelajaran berakhir.
39
1.6.4
Indikator Hasil Pembelajaran Untuk mengungkapkan dan mengukur hasil belajar siswa, diperlukan
adanya indikator hasil pembelajaran. Berkaitan dengan indikator hasil pembelajaran ini, Makmun (2004:167) mengemukakannya indikator hasil belajar siswa menurut kawasan kognitifnya dalam sebuah tabel berikut ini: Tabel II.5. Indikator Hasil Pembelajaran
-
Jenis Hasil Belajar Pengamatan/ perseptual
-
-
Hafalan/ ingatan
-
-
Pengertian/ pemahaman
-
-
Aplikasi/ penggunaan
-
-
Analisis
-
-
Sintesis
-
-
Evaluasi
-
Indikator-Indikator Dapat menunjukan/membandingkan /menghubungkan Dapat menyebutkan/ menunjukan lagi Dapat menjelaskan/mendefinisikan dengan kata-kata sendiri Dapat memberikan contoh/ menggunakan dengan tepat/ memecahkan masalah Dapat menguraikan/ mengklasifikasikan Dapat menghubungkan/ menyimpulkan/ menggeneralisasikan Dapat menginterpretasikan/ memberikan kritik/memberikan pertimbangan/penilaian
Sejalan dengan pendapat di atas, Djahiri (1985:15), mengemukakan pendapatnya mengenai kawasan (domain, afektif dan taksonominya). Tabel II.6. Kawasan Domain Afektif dan Taksonominya Lingkup Urutan 1. Penerimaan (receiving)
-
2. Respon (responding)
-
Kata Kunci Tujuan Dapat menangkap, mau mendengarkan, mampu megemukakan, dapat menyebutkan, mengidentifikasi, mempertanyakan. Menghayati, mengantisipasi, melibatkan diri, menyatakan,
40
3. Menilai (valueing)
-
4. Mengorganisir (organizing)
-
5. Karakterisasi/ Mempribadikan (characterizing)
-
mengadakan reaksi, menjawab, menyangkal/ membenarkan, mengakui, dll. Mempertanyakan, mengkaji, memperbandingkan, memperhitungkan menyatakan penilaian/ pendapat, memilih, memutuskan, mempertimbangkan, menanggapi….dll Mengklarifikasi, menggambarkan, mendemonstrasikan, memerankan. Menyatakan posisi/ tanggapannya... Mencintai; meyakini; mempertahankan; menginginkan; meragukan; menolak tegas;…dll
Indikator hasil belajar siswa yang dikemukakan di atas, menyatakan bahwa setiap hasil belajar siswa dapat diukur atau dinilai secara kasat mata, seperti untuk melihat
sikap
siswa
dalam
mengaplikasikan
materi
pembelajaran
di
lingkungannya, guru cukup melihat bagaimana siswa meyakini pendapat yang ia terima akibat dari pembelajaran yang telah diberikan, kemudian pendapat tersebut ia yakini dalam dirinya sebagai sebuah nilai yang perlu dipertahankan karena pendapatnya tersebut ia anggap sebagai sebuah kebenaran. C. Hakikat Pembelajaran Konstitusi 1. Pengertian Konstitusi Kata “Konstitusi” berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja yaitu “constituer” (Perancis) atau membentuk. Yang dibentuk adalah negara, dengan demikian konstitusi mengandung makna awal (permulaan) dari segala peraturan perundang-undangan tentang negara. Belanda menggunakan istilah “Grondwet” yaitu berarti suatu undang-undang yang menjadi dasar (ground) dari segala
41
hukum. Indonesia menggunakan istilah Grondwet menjadi Undang-undang Dasar. (Mirza Nasution, 2004:2) Istilah konstitusi itu telah dikenal sejak jaman Yunani Kuno, ketika Aristoteles dalam tulisannya membedakan antara istilah “politeia” dengan “nomoi”. Politeia diartikan sebagai konstitusi sedangkan nomoi diartikan sebagai undang-undang.(Dahlan, 2006:42) Politea mengandung kekuasaan yang lebih tinggi dari pada nomoi, karena politea mempunyai kekuasaan membentuk sedangkan pada nomoi tidak ada, karena ia hanya merupakan materi yang harus dibentuk agar supaya tidak bercerai-berai. Dalam kebudayaan Yunani istilah konstitusi berhubungan erat dengan ucapan Respublica Constituere yang melahirkan semboyan, Prinsep Legibus Solutus Est, Salus Publica Suprema Lex, yang artinya ”Rajalah yang berhak menentukan struktur organisasi negara, karena dialah satu-satunya pembuat undang-undang”. (Asshiddiqie, 2008: 2) Berdasarkan pada uraian di atas mengenai asal mula perkataan konstitusi maka dapat disimpulkan bahwa konstitusi merupakan peraturan dasar yang paling pertama di buat artinya konstitusi merupakan dasar dari peraturan-peraturan yang berada dalam suatu negara yang bersifat hirarki. Ada dua macam konstitusi di dunia, yaitu “Konstitusi Tertulis” (Written Constitution) dan “Konstitusi Tidak Tertulis” (Unwritten Constitution), ini diartikan seperti halnya “Hukum Tertulis” (geschreven Recht) yang termuat dalam undang-undang dan “Hukum Tidak Tertulis” (ongeschreven recht) yang berdasar adat kebiasaan. (Mirza Nasution, 2004:2-3).
42
Sejalan dengan pendapat di atas G.S. Diponolo sebagaimana dikutip oleh Riyanto (2004: 40) yaitu: Konstitusi berarti keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar. Seperti halnya hukum umumnya, maka juga hukum dasar tidak selalu merupakan dokumen tertulis. Ia dapat terdiri atas unsur-unsur tertulis, tidak tertulis, atau dapat juga merupakan campuran dari dua unsur itu. Konstitusi Negara Indonesia adalah UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang termasuk ke dalam Konstitusi Tertulis (Written Constitution) karena konstitusi Negara Indonesia tertuang dalam Teks Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 yang terdiri dari 4 Alenia. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan Konstitusi dalam ruang lingkup Negara, apabila dalam ruang lingkup sekolah, konstitusinya adalah peraturan tata tertib siswa yang merupakan Konstitusi Tertulis (Written Constitution). UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah aturan hukum tertinggi yang keberadaannya dilandasi legitimasi kedaulatan rakyat dan negara hukum. Oleh karena itu, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dipandang sebagai bentuk kesepakatan bersama (general agreement) ”seluruh rakyat Indonesia” yang memiliki kedaulatan. Hal itu sekaligus membawa konsekuensi bahwa UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan aturan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengatur bagaimana kedaulatan rakyat akan dilaksanakan. (Gaffar, www.koransindo.com) 2. Pembelajaran Konstitusi Mengenai
pembelajaran
konstitusi
ini
Suriakusumah
(2006:88)
mengemukakan pendapatnya mengenai pembelajaran konstitusi yaitu :
43
Pembelajaran Konstitusi yang dilakukan selama ini lebih menekankan kepada menghafal bahan sedemikian rupa, sehingga materi konstitusi kurang dapat dimengerti, apalagi berperilaku sadar berkonstitusi serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Lebih
lanjut
Suriakusumah
(2006:83-87)
menjelaskan
strategi
pembelajaran konstitusi yang terdiri dari 3 aspek yaitu: a. Informal Content Yaitu bahan-bahan yang diambil dari kehidupan masyarakat sehari-hari yang ada di sekitar kehidupan peserta didik. Bahan Informal Content ini meliputi bahan-bahan
yang
saling
bertentangan
dalam
kehidupan
masyarakat
(controversial issues). b. Formal Disciplines Yaitu bahan pembelajaran konstitusi yang di ambil dari berbagai disiplin ilmu maupun semi sosial seperti geografi, sejarah, ilmu politik, ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi sosial, hukum, filsafat, etika dan ilmu bahasa maupun dari berbagai peraturan perundang-undangan. c. The Response Of Pupils Both to The Informal and The Formal Bahan pembelajaran konstitusi diperoleh dari respon peserta didik terhadap bahan formal dan bahan informal. Respon dari peserta didik tersebut dapat berupa respon positif, respon negatif, atau apatis. Hal ini berarti bahwa pembelajaran konstitusi harus dapat mengikuti perubahan zaman dan mengalami penyesuaian diri dengan kebutuhan masyarakat. Dari respon tersebut diharapkan para pendidik dapat mengadakan koreksi, perbaikan, tambahan atau perubahan terhadap bahan-bahan yang diberikan, karena akan disesuaikan dengan kebutuhan
44
peserta didik, para siswa maupun masyarakat pembelajar serta pertimbanganpertimbangan psikologis. D. Hakikat Kesadaran Berkonstitusi 1. Pengertian Kesadaran Secara etimologis kesadaran diartikan sebagai “Keadaan tahu, mengerti dan merasa, keinsyafan”. Berdasarkan hal tersebut bahwa sikap atau perilaku yang sadar selalu dilakukan dalam keadaan tahu, mengerti, merasa dan insyaf. (A.W. Widjaya 1985 : 14) A. Merriam Webster yang dikutip oleh Soerjono Soekanto (1982 : 150) mengatakan bahwa kesadaran memiliki lima arti : 1. A wareness esp, of something within oneself; also: the state or fact of being conscious of an external object, state or fact. 2. The state of being characterized by sensation, emotion, volition, and thought; mind. 3. The totality of conscious states of an individual. 4. The normal state of conscious life. 5. The upper level of mental life as contrassed with unconscious processes. Kesadaran merupakan sesuatu yang terjadi dalam diri seseorang. Dan juga suatu keadaan dari kenyataan yang sadar dari luar, keadaan yang memiliki karakteristik berupa sensasi, emosi, kemauan dan pikiran seseorang, keseluruhan dari keadaan sadar seseorang, keadaan normal dari kehidupan yang sadar. Serta merupakan tingkat tertinggi dari kehidupan mental sebagai pembeda dari prosesproses yang tidak sadar. Merujuk pada pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa kesadaran adalah suatu peristiwa yang terjadi dikarenakan melihat, meraba, merasakan dan
45
juga mengerti hal-hal yang dilakukan. Hal itu dapat berupa sikap ataupun perbuatan seseorang. Kesadaran memiliki beberapa tingkatan, sebagaimana dikemukakan N.Y Bull (Djahiri, 1985:24), yaitu: 1. Kesadaran yang bersifat anomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan yang tidak jelas dasar dan alasannya atau orientasinya. 2. Kesadaran yang bersifat heteronomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan yang berlandaskan dasar/orientasi motivasi yang beraneka ragam atau berganti-ganti. Ini pun kurang mantap sebab mudah berubah oleh keadaan dan situasi. 3. Kesadaran yang bersifat sosionomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan yang berorientasikan pada kiprah umum atau khalayak ramai. 4. Kesadaran yang bersifat autonomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan yang terbaik karena didasari oleh konsep kesadaran yang ada dalam diri seseorang. Berdasarkan uraian di atas mengenai kesadaran, maka dapat disimpulkan bahwa kesadaran merupakan hal yang diketahui seseorang akan sistem nilai yang berkembang
di
masyarakat,
sistem
nilai
tersebut
tumbuh
dikarenakan
pengalaman-pengalaman yang terjadi di masyarakat sehingga pengalamanpengalaman tersebut menjadi semacam konsensus atau kesepakatan yang di rasakan bersama yang merupakan hal yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat. 2. Kesadaran Berkonstitusi Kita tentunya menghendaki agar UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan konstitusi yang benar-benar dilaksanakan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara demi tercapainya cita-cita bersama. Konstitusi mengikat segenap lembaga negara dan seluruh warga negara. Oleh karena itu, yang menjadi pelaksana konstitusi adalah semua lembaga negara dan
46
segenap warga negara sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing sebagaimana diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Asshiddiqie, 2007:13). Lebih anjut Asshiddiqie (2007:13) mengemukakan pendapatnya mengenai kesadaran berkonstitusi yaitu: Agar setiap lembaga dan segenap warga negara dapat melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diperlukan adanya budaya sadar berkonstitusi. Untuk menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi diperlukan pemahaman terhadap nilai-nilai dan norma-norma dasar yang menjadi materi muatan konstitusi. Pemahaman tersebut menjadi dasar bagi masyarakat untuk dapat selalu menjadikan konstitusi sebagai rujukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Merujuk pada pendapat di atas maka kesadaran berkonstitusi penting di miliki oleh setiap warga negara agar selalu dapat menjadikan konstitusi sebagai rujukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingga perwujudan konstitusi yang hidup dalam kehidupan sehari-hari (living constitution) dapat tercapai. Jika segenap penyelenggara negara dan seluruh warga negara telah memiliki kesadaran berkonstitusi, konstitusi akan benar-benar hidup dalam keseharian kehidupan berbangsa dan bernegara (the living constitution). Setiap wilayah dan detak kehidupan berbangsa dan bernegara selalu berjalan dengan landasan konstitusional. Dengan sendirinya, jika ada pelanggaran konstitusi, dengan cepat dapat diketahui dan menjadi permasalahan bersama yang harus dikembalikan pada koridor konstitusi. (Gaffar, www.koransindo.com) Merujuk pada pendapat di atas kesadaran berkonstitusi penting di miliki oleh warga Negara agar warga Negara mengetahui hak-hak konstitusionalnya.
47
Salah satu upaya untuk mewujudkan warga Negara yang memiliki kesadaran berkonstitusi adalah dengan membelajarkan materi konstitusi dalam tataran konsep dan prinsip. Pembelajaran konstitusi semacam ini dapat dilakukan melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Satu upaya yang amat strategis untuk melakukan pendidikan kesadaran berkonstitusi adalah melakukan pembelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn) disekolah. Ada beberapa alasan mengapa cara itu dinilai strategis, yaitu: 1.
salah satu misi PKn adalah sebagai pendidikan politik, yakni membina siswa untuk memahami hak dan kewajiban sebagai warga masyarakat dan warga negara, termasuk didalamnya memahami konstitusi (melek konstitusi)
2.
materi muatan kontitusi seperti organisasi negara, hak-hak asasi manusia, cita-cita rakyat, dan asas-asas ideologi negara amat relevan untuk memperkaya materi PKn.
3.
sebagian siswa, guru dipandang sebagai sumber pengetahuan yang amat penting sehingga informasi yang diperoleh dari guru bisa mengalahkan informasi dari sumber lain. (Sumadi, www.madiunkab.go.id) Pendapat
di
atas
menguatkan
penulis
untuk
meneliti
implikasi
pembelajaran materi konstitusi terhadap kesadaran berkonstitusi siswa di mana materi konstitusi terdapat dalam materi pokok pendidikan kewarganegaraan.
48