BAB II KONSEP UTANG DIKAITKAN DENGAN PUTUSAN BERKEKUATAN HUKUM TETAP BERUPA PENGHUKUMAN UNTUK MEMBAYAR UANG PESANGON, UANG PENGHARGAAN MASA KERJA, UANG PENGGANTIAN HAK DAN UPAH PROSES OLEH PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
A. Perselisihan Hubungan Industrial Berupa Pemutusan Hubungan Kerja Dalam
era industrialisasi,
masalah
perselisihan
hubungan
industrial
selanjutnya disingkat (PHI) menjadi semakin meningkat dan kompleks. Berbagai ketentuan yang ada sebelumnya, seperti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 yang mengatur penyelesaian PHI dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dipandang
belum dapat mewujudkan
penyelesaian PHI secara tepat, cepat, adil dan murah. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tidak dapat lagi mengakomodasi perkembangan
yang
terjadi,
karena
hak-hak
pekerja
perseorangan
belum
terakomodasi untuk menjadi pihak dalam PHI, karena hanya mengatur perselisihan hak dan perselisihan kepentingan secara kolektif, sedangkan dalam penyelesaian
Universitas Sumatera Utara
perselisihan hubungan industrial (PPHI), pekerja secara perseorangan belum terakomodasi. 54 Demikian juga halnya, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964, ternyata tidak efektif lagi untuk mencegah serta menanggulangi kasus PHK. Hal ini disebabkan karena hubungan kerja merupakan hubungan yang didasari oleh kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu hubungan kerja. Dalam hal salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat dalam hubungan kerja tersebut, sulit bagi para pihak untuk mempertahankan hubungan yang harmonis. Oleh karena itu perlu dicari jalan keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak untuk penyelesaiannya. 55 Kompleksnya hubungan industrial sering menimbulkan perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Dapat dikatakan, perselisihan hubungan industrial akan senantiasa terjadi selama masih ada buruh dan pengusaha. Semua upaya yang dilakukan hanyalah untuk meminimalisir persoalan yang timbul dan yang akan timbul berikut dampaknya. Untuk itulah diperlukan hukum perburuhan yang menyeluruh, konstruktif dan berkeadilan. 56 Apabila terjadi perselisihan atau konflik, setiap orang dilarang oleh hukum untuk melakukan tindakan sendiri-sendiri atau dikenal dengan asas main hakim sendiri (eigenrichting). Yang dimaksud dengan main hakim sendiri itu adalah jika hak seseorang telah dilanggar oleh seseorang yang lain, maka seorang yang haknya
54
Mohd.Syaufii Syamsuddin, Norma Perlindungan Dalam Hubungan Industrial, (Jakarta: Sarana Bakti Persada, 2004), hal. 290. 55 Ibid 56 Sehat Damanik , Op. Cit, hal.20.
Universitas Sumatera Utara
dilanggar tersebut tidak diperkenankan untuk memaksa orang lain tersebut memenuhi haknya, walaupun dia memang betul-betul mempunyai hak tersebut, apalagi tidak berhak. Tindakan paksa dengan ancaman oleh perseorangan terhadap kreditornya supaya utang dilunaskan adalah diluar hukum. 57 Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha
atau
gabungan
pengusaha
dengan
pekerja/buruh
atau
serikat
pekerja/serikat buruh, karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan. 58 Melihat definisi PHI dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial terlihat secara jelas bahwa ruang lingkup PHI diperluas. Dalam ketentuan ini perselisihan dapat terjadi mengenai hak, atau mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan
baik dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun peraturan perundang-undangan, atau dapat pula mengenai PHK. Adanya berbagai jenis perselisihan dalam PHI, kiranya perlu dikemukakan pihak-pihak yang berselisih terlebih dahulu. Satu perselisihan tentunya ada pihakpihak yang berselisih. Pihak-pihak yang berselisih inilah yang kemudian dapat 57
S.M. Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, (Jakarta:Pradnya Paramita,1976), hal. 12 Pasal 8 ayat 1, Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 58
Universitas Sumatera Utara
menjadi pihak yang dapat berperkara pada lembaga-lembaga penyelesaian jika terjadi perselisihan atau sengketa. Pihak-pihak yang bersengketa dalam PHI adalah pekerja/buruh secara perseorangan maupun organisasi serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau organisasi pengusaha. Pihak yang berperkara dapat juga terjadi antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/ serikat buruh lain dalam satu perusahaan. Dari berbagai jenis PHI sebagaimana disebut Pasal 1 butir 1, dalam penelitian ini akan diurai lebih rinci mengenai PHI berupa pemutusan hubungan kerja. Demikian juga pihak yang bersengketa difokuskan terhadap perselisihan perselisihan antara pihak pekerja buruh dengan pengusaha. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 25 UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pemutusan Hubungan Kerja selanjutnya disingkat (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja buruh dengan pengusaha. 59 Sedangkan perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. 60 Dari definisi ini dapatlah dikatakan perselisihan PHK timbul setelah adanya PHK yang dilakukan oleh salah satu pihak, yang mana ada salah satu pihak yang tidak menyetujui atau keberatan atas adanya PHK tersebut. 59
Pasal 1 angka 25, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 4, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 60
Universitas Sumatera Utara
Dalam perselisihan PHK ruang lingkupnya menyangkut PHK yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun negara, usaha sosial dan usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Perselisihan PHK umumnya adalah mengenai sah atau tidaknya alasan PHK dan besaran kompensasi atas PHK. Jenis perselisihan PHK ini adalah jenis perselisihan yang paling banyak terjadi dalam praktek ketenagakerjaan yang mengundang banyak masalah, karena permasalahan PHK bagi pekerja/buruh adalah pengakhiran pendapatan yang ia peroleh dan keluarga, yang kadang-kadang itulah pendapatan satu-satunya keluarga. Oleh karena itu tidak mengherankan jika dalam
aturan ketenagakerjaan
perlindungan yang paling banyak dan lengkap adalah mengenai PHK. Hal ini dapat dipahami, karena bagi pekerja PHK adalah hal yang paling memberatkan. Oleh karena itu pekerja harus dilindungi terhadap terjadinya PHK. Perlindungan itu berupa pencegahan PHK, pembinaan, macam-macam PHK dan kompensasi terhadap akibat terjadinya PHK. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan telah mengatur tata cara PHK serta dasar-dasar yang dapat dijadikan sebagai alasan PHK
Universitas Sumatera Utara
termasuk larangan bagi pengusaha untuk melakukan PHK. Pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan: 61 a. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus menerus b. Pekerja buruh berhalangan menjalankan pekerjaanya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. c. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan oleh agamanya d. Pekerja/buruh menikah e. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya. f. Pekerja buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/ buruh lainnya didalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama g. Pekerja buruh mendirikan, menjadi anggota/pengurus serikat buruh, pekerja buruh melakukan kegiatan serikat diluar jam kerja atau didalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha atau ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama h. Pekerja/buruh mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan kejahatan i. Karena perbedaan paham agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan j. Pekerja buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja atau sakit karena hubungan kerja yang jangka penyembuhannya belum dipastikan.
PHK yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud diatas batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan permohonan PHK dapat dilakukan pengusaha maupun pekerja/buruh. Pengusaha dapat melakukan PHK dengan beberapa alasan seperti: pekerja/buruh memasuki usia 61
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Universitas Sumatera Utara
pensiun, pekerja melakukan kesalahan, pekerja meninggal dunia, pekerja tersangkut pidana dan karena penutupan perusahaan. Sedangkan alasan pekerja/buruh mengajukan PHK terhadap pengusaha apabila pengusaha melakukan kesalahan berat terhadap pekerja. Kesalahan berat menurut Pasal 169 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yaitu: penganiayaan pengusaha terhadap pekerja, tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut, membujuk pekerja melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, memberi pekerjaan yang membahayakan jiwa, dan memerintahkan pekerja melakukan pekerjaan diluar yang diperjanjikan. 62 Sebagaimana disebut diatas, umumnya perselisihan PHK terjadi akibat pertentangan pendapat terhadap dua hal, yaitu sah atau tidaknya tindakan PHK atau besarnya jumlah pesangon. Apabila PHK dilakukan dengan alasan yang jelas dan kuat, maka beban pengusaha untuk membayar uang pesangon akan semakin rendah dan bahkan tidak ada. Sebaliknya apabila PHK tersebut dilakukan secara sewenangwenang, maka beban tersebut akan semakin besar karena undang-undang memberi hak kepada pekerja/buruh untuk meminta pesangon yang tinggi. 63
62 63
Ibid Sehat Damanik, Hukum Acara Perburuhan, Op.Cit
Universitas Sumatera Utara
B. Hak-hak Normatif Tenaga Kerja/Buruh Akibat Pemutusan Hubungan Kerja
Pengertian hak normatif tidak ada secara eksplisit dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebut istiah hak normatif dapat ditemukan dalam Pasal 145 yang berbunyi “ Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah”. 64
Istilah hak normatif lazim digunakan dalam praktek dan pembicaraan di bidang ketenagakerjaan khususnya bidang hubungan kerja/hubungan industrial. Secara umum pengertian hak normatif pekerja adalah semua hak pekerja yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan/atau perjanjian kerja bersama. Komponen hak normatif pekerja sudah terjawab dalam definisi tersebut. Suatu kesejahteraan/ tunjangan yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan misalnya: tunjangan cuti, besaran tunjangan hari raya adalah 2 bulan upah, program pensiun pekerja apabila sudah dinyatakan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan/atau Perjanjian Kerja Bersama menjadi hak normatif pekerja. 65
64
Pasal 145 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Bambang Suprianto, Hak Normatif Karyawan, Apa Saja, http://www.portalhr.com//, diakses tanggal 16 April 2014, Pukul 16:05 WIB 65
Universitas Sumatera Utara
Pelanggaran terhadap hak normatif, dalam praktek ketenagakerjaan, menimbulkan perselisihan hubungan industrial. Berbagai macam perselisihan hubungan industrial, umumnya perselisilihan hubungan industrial sering mengarah kepada perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) yakni perselisihan yang timbul akibat tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak . Perselisihan PHK terjadi karena salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja secara sepihak. Misalnya pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh karena melakukan berbagai tindakan pelanggaran tetapi si pekerja buruh menolak diputus hubungan kerjanya. 66 Demikian juga sebaliknya, jika pekerja buruh memutuskan hubungan kerja karena pengusaha tidak melaksanakan kewajibannya kepada pekerja buruh seperti cuti, tunjangan-tunjangan akan tetapi pengusaha tidak mau memutuskan hubungan kerja. Disi lain
Perselisihan PHK ini juga dapat perbedaan mengenai jumlah
pesangon, dan atau uang penghargaan masa kerja antara pekerja buruh dengan pengusaha. 67 PHK pada dasarnya merupakan masalah yang kompleks karena mempunyai dampak pada pengangguran, kriminalitas, kesempatan kerja. Seiring dengan laju perkembangan industri serta meningkatnya jumlah angkatan kerja yang bekerja,
66
Gindo Nadapdap, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, (Medan: Kelompok Pelita Sejahtera, 2006) hal. 9 67 Ibid
Universitas Sumatera Utara
permasalahan pemutusan hubungan kerja merupakan permasalahan yang menyangkut kehidupan manusia. 68 PHK bagi pekerja merupakan awal penderitaan bagi pekerja dan keluarganya. Sedangkan bagi perusahaan PHK juga merupakan kerugian karena harus melepas pekerja
yang
telah
dididik
dan
telah
mengetahui
cara-cara
kerja
di
perusahaannya.Terjadinya PHK dengan demikian bukan hanya menimbulkan kesulitan bagi pekerja tetapi juga akan menimbulkan kesulitan bagi perusahaan. Untuk itu pemerintah perlu ikut campur tangan dalam mengatasi masalah PHK. 69 Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dikenal ada empat jenis PHK, yakni : 1. PHK oleh pengusaha. Alasan PHK disini digolongkan dalam tiga golongan yaitu : a. alasan yang berhubungan atau yang melekat pada pribadi pekerja b. alasan yang berhubungan dengan tingkah laku pekerja, dan c. alasan-alasan yang berkenaan dengan jalannya perusahaan artinya demi kelangsungan jalannya perusahaan. 2. Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja PHK oleh seorang pekerja, yang akan mengakhiri hubungan kerja harus mengemukakan alasan-alasannya kepada pengusaha. Alasan mendesak adalah
68
Agus Salam, Pemutusan Hubungan Kerja dan Penyelesaiannya http://ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/291/303, diakses tanggal 16 April 2014, Pukul16:30 69 Ibid
Universitas Sumatera Utara
suatu keadaan sedemikian rupa sehingga mengakibatkan pekerja tersebut tidak sanggup untuk meneruskan hubungan kerja misalnya mengenai upah. 3. Hubungan kerja putus demi hukum. Selain diputuskan oleh pengusaha atau oleh pekerja hubungan kerja dapat putus atau berakhir demi hukum, artinya hubungan kerja tersebut harus putus dengan sendirinya. 4. PHK oleh pengadilan. PHK oleh pengadilan perdata biasa atas permintaan yang bersangkutan (pekerja/pengusaha) berdasarkan alasan penting. Alasan penting adalah di samping alasan mendesak juga karena perubahan keadaan dimana pekerjaan yang dilakukan sedemikian rupa sifatnya, sehingga adalah layak untuk memutuskan hubungan kerja.
Dalam penelitian ini peneliti akan memfokuskan pembahasannya pada hakhak normatif tenaga kerja/buruh apabila terjadi pemutusan hubungan kerja. Menurut ketentuan Pasal 156 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan: ” Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”. Ayat (2) menyebutkan:
Penghitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut: a.
Masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1(satu) bulan upah;
Universitas Sumatera Utara
b. c. d. e. f. g. h. i.
Masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah; Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah; Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah; Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah; Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah; Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah; Masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah;
Ayat 3 menyebutkan: Penghitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. g. h.
Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah; Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah; Masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah; Masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah; Masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan) tahun, 6 (enam) bulan upah; Masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; Masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah; Masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah;
Ayat 4 menyebutkan: Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
Universitas Sumatera Utara
a. b. c.
d.
Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur. Biaya atau ongkos pulang pekerja/ buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas persen) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Dari ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ini dengan demikian dapat simpulkan bahwa jika terjadi pemutusan hubungan kerja, khususnya pemutusan hubungan kerja sepihak oleh pihak pengusaha, maka pihak pengusaha wajib membayarkan hak-hak normatif pekerja/ buruh berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak.
Ketentuan pengaturan mengenai upah proses diatur dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 70 Dimana ketentuan ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya yakni Kepmenaker No. 150 Tahun 2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Dan Ganti Kerugian Di Perusahaan . Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur sebagai berikut: “Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
70
Upah Proses adalah: upah yang diperoleh selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan.
Universitas Sumatera Utara
belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.” 71
Dalam prakteknya pekerja/buruh yang terbelit kasus/ sengketa perselisihan PHK dan memilih menyelesaikan melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) selalu mengajukan tuntutan upah proses. Pekerja/buruh yang menyadari hakikat Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan lazimnya menyusun tuntutan upah proses dengan redaksi “menghukum tergugat (pengusaha) membayar upah proses sejak PHK dilakukan sampai putusan berkekuatan hukum tetap dilaksanakan.
Pada masa penyelesaian perselisihan PHK melalui lembaga Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan perburuhan Pusat (P4P), anggota panitia dalam lembaga itu seragam menerapkan upah proses PHK selama 6 (enam) bulan. Namun dalam praktik peradilan, hakim Perselisihan Hubungan Industrial tidak memiliki sikap yang sama mengadili batas upah proses. Sikap pertama, memutus upah proses paling lama enam bulan. Argumennya merujuk pada Pasal 191 UU No. 13 Tahun 2003. 72 Kelompok ini menjelaskan, UU No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan tidak pernah
mencabut Kepmenaker No 150 Tahun 2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan
71
Undang-undang No. 13 tahun 2003, Op. Cit Juanda Pangaribuan, Putusan MK dan Ragam Tafsir Tentang Upah Proses PHK http://www.hukumonline.com/,diakses tanggal 25 April 2014 pukul 14:15 WIB. 72
Universitas Sumatera Utara
Hubungan Kerja Dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Dan Ganti Kerugian Di Perusahaan.
Sikap kedua menegaskan, ketentuan upah proses di dalam Kepmenaker No 150 Tahun 2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Dan Ganti Kerugian Di Perusahaan tidak lagi berlaku. Alasannya, UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan memiliki kedudukan lebih tinggi dari Kepmenaker. Selain itu, Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan telah mengatur upah proses PHK tanpa batas waktu.
Dalam kaitan upah proses, praktik peradilan memperlihatkan tiga macam putusan PHI. Pertama, putusan hakim menghukum pengusaha membayar upah proses selama 6 (enam) bulan. Putusan menghukum 6 (enam) bulan upah proses berkiblat pada Kepmenaker No 150 Tahun 2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Dan Ganti Kerugian Di Perusahaan. Kedua, putusan hakim menghukum pengusaha membayar upah proses lebih dari enam bulan. Putusan hakim menghukum lebih dari enam bulan tetapi tidak sampai berkekuatan hukum tetap merupakan putusan yang berkiblat pada rasa keadilan hakim. Ketiga, putusan hakim menghukum pengusaha membayar upah
Universitas Sumatera Utara
proses sampai perkara berkekuatan hukum tetap. Aliran ini, murni berkiblat pada Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
73
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial, telah diatur secara limitatif. Dimana menurut pasal dalam prakteknya Pasal 103 UU No 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, majelis hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambatlambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama. 74
Menjadi masalah bagi pencari keadilan, tenggang waktu penyelesain perselisihan perburuhan ini, saat kasus berpreoses pada di tingkat kasasi. Dimana dalam UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tidak mengatur secara baku tahapan waktu, berkaitan dengan proses kasasi dan pengiriman putusan kasasi sampai ke PHI tingkat pertama. Sehingga proses penyelesaian perselisihan industrial juga pada prakteknya tidak dapat dilakukan secara cepat.
Penyelesaian perselisihan berupa PHK umumnya berasal dari inisiatif para pekerja/buruh dengan jalan mengajukan gugatan. Namun gugatan tersebut umumnya tidaklah seketika diajukan sejak terjadinya PHK. Dalam praktek pengajuan gugatan dilakukan setelah beberapa bulan pemutusan hubungan kerja itu terjadi. Pengajuan penyelesaian perselisihan PHK yang pada umumnya datang dari inisiatif pekerja/ 73 74
Ibid Pasal 103Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Perselisihan Hubungan Industrial.
Universitas Sumatera Utara
buruh sebenarnya merupakan bentuk investasi masalah bagi pihak pengusaha. Hal ini berkaitan dengan upah proses dimana semakin lama suatu kasus memperoleh putusan maka upah proses juga semakin besar. Misalnya hakim memutus kasus PHK pada bulan ke delapan sejak didaftar maka upah proses yang akan dibayar juga selama delapan bulan.
Berkaitan dengan upah proses ini, Ugah Gandar, Eko Wahyu selaku Presiden dan Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Pertamina Bersatu, dan Rommel Antonius Ginting selaku mantan pekerja PT Total Indonesia mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi selanjutnya disebut MK. Tiga karyawan itu menguji Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Permohonan itu teregistrasi dengan No 37/PUU-IX/2011 sebagaimana diputus tanggal 19 September 2011. Di dalam permohonan judicial review para pemohon meminta MK memberi tafsir terhadap Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 khusus mengenai frasa “belum ditetapkan” agar dinyatakan sebagai berkekuatan hukum tetap. 75
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya mengabulkan permohonan ini dan pada pokoknya menyatakan:
Frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279), adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai belum berkekuatan hukum tetap; 75
Putusan Mahkamah Konstitusi No 37/PUU-IX/2011
Universitas Sumatera Utara
Adanya berbagai macam aliran tentang upah proses sebagaimana diuraikan diatas dihubungkan dengan putusan MK ini, secara faktual, Kepmenaker No 150 Tahun 2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Dan Ganti Kerugian Di Perusahaan, bukan aturan pelaksana dari Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dengan demikian, Kepmenaker Nomor 150 Tahun 2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Ganti Kerugian di perusahaan tidak lagi sebagai hukum positif sehingga putusan MK itu memberi kepastian bahwa Kepmenaker No 150 Tahun 2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Ganti Kerugian di perusahaan bukan landasan Yuridis yang benar untuk menyatakan upah proses PHK paling lama enam bulan.
Mengacu putusan MK ini, upah proses PHI tingkat pertama saat memutus perkara harus menghitung upah proses sampai pada putusan itu diucapkan. Selanjutnya, bila perselisihan diajukan kasasi, hakim kasasi menghitung upah proses sampai putusan kasasi diucapkan. Dengan demikian, hakim dapat menghukum pengusaha membayar upah proses sampai putusan kasasi diucapkan. 76
76
Juanda Pangaribuan, Putusan MK dan Ragam Tafsir Tentang Upah Proses PHK http://www.hukumonline.com/,diakses tanggal 25 April 2014 pukul 14:15 WIB., Op.Cit
Universitas Sumatera Utara
C. Pengertian Utang Dalam Kepailitan Utang di era modern ini sepertinya telah menjadi hal biasa. Berbagai transaksi ditawarkan dengan cara kredit, mulai dari kendaraan, peralatan elektronik, perumahan, hingga barang-barang kebutuhan sehari-hari. Para pelaku bisnis pun tidak terlepas dari utang. Untuk membesarkan perusahaannya, berutang atau atau meminjam modal ke perbankan atau orang lain menjadi pilihan para pelaku bisnis. Utang sebagai isu sentral dalam kepailitan. Alasan diadakannya proses pailit tidak lain karena adanya utang yang sudah jatuh waktunya untuk ditagih. Utang merupakan persyaratan utama bagi debitor untuk dapat dinyatakan pailit. Dengan kepailitan, apabila debitor tidak dapat membayar utangnya, maka akan dilakukan sita umum terhadap seluruh harta kekayaan debitor untuk kepentingan pelunasan utang kepada para kreditornya. Hukum nasional Indonesia, khususnya dalam hukum perdata, tidak mengenal istilah utang secara definitif. Istilah utang tidak ada dirumuskan dalam satu pasal pengertian, sehingga untuk mendefinisikan istilah tersebut dikembangkan dalam berbagai doktrin. Istilah utang lahir bersamaan dengan istilah pitutang sebagai lawannya, seperti juga hak dan kewajiban yang berlawanan jika ditinjau dari arah kedua sisinya. 77
77
Dadang Sukandar, Hukum Kepailitan,http:// www.legalakses.com, Diakses tanggal 22 April 2014, Pukul 11:58 WIB
Universitas Sumatera Utara
Dalam sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang selanjutnya disebut KUHPerdata, pengetahuan mengenai aspek utang piutang merupakan bagian dari pengetahuan tentang hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUHPerdata. Menurut Pasal 1233 KUHPerdata menyebutkan “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan maupun undang-undang”. Undang-undang tidak memberikan pengertian perikatan, menurut ilmu pengetahuan hukum perdata, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu. 78 Peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak yang lain. Dalam hubungan hukum tersebut, setiap pihak memiliki hak dan kewajiban timbal balik. Pihak yang berhak menuntut sesuatu, dinamakan kreditor atau si berpiutang, sedangkan yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitor atau si berutang. Perhubungan antara dua orang atau dua pihak ini, adalah perhubungan hukum, yang berarti hak si berpiutang itu dijamin oleh hukum atau undang-undang. 79 Prestasi sebagaimana dimaksud diatas adalah apa yang menjadi hak kreditor dan apa yang wajib dipenuhi oleh debitor yang merupakan obyek dari suatu perikatan. Objek perikatan berarti
prestasi dari perikatan
yang harus dipenuhi
78
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti,2001), hal.1. 79 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa,2001) hal.1.
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan perikatan itu. Demikian pula hal yang sama berlaku bagi prestasi yang berupa “ untuk berbuat sesuatu” dan “ untuk tidak berbuat sesuatu”. Ketentuan pasal 1233 KUHperdata sebagaimana disebut diatas dapat disimpulkan, timbulnya suatu perikatan dapat terjadi karena dikehendaki orang-orang dengan cara membuat perjanjian diantara mereka dan dapat pula terjadi tanpa dikehendaki oleh mereka melainkan undang-undang yang menentukan demikian adanya. Dalam persetujuan yang disebut perjanjian para pihak yang terlibat memang menghendaki adanya suatu perikatan. Bahkan perikatan tersebut alat untuk memperoleh seperangkat hak dan kewajiban hukum. Jadi dalam perjanjian para pihak menegaskan lewat persetujuannya, bahwa ia mengakui hak-hak dan kewajibannya yang tertuang dalam perikatan. 80 Dalam hukum perdata, disamping perjanjian, alat untuk menimbulkan hak dan kewajiban lainnya adalah undang-undang. Dalam hal ini para pihak terikat bukan karena adanya persetujuan, melainkan karena hukumnya telah menentukan demikian. Misalnya dalam Undang-undang Perseroan Terbatas yang menentukan bahwa hanya direktur yang dapat mewakili perbuatan hukum suatu perusahaan. Pasal 1352 KUHPerdata mengatur bahwa perikataan yang lahir dari undangundang dapat timbul dari “ undang-undang saja” atau dari ”undang-undang sebagai akibat perbuatan orang. Selanjutnya, perikatan yang lahir karena undang-undang
80
Ibid
Universitas Sumatera Utara
sebagai akibat perbuatan orang dibedakan menjadi akibat perbuatan orang” yang tidak melawan hukum” dan” yang melawan hukum. KUHPerdata, secara khusus mengatur utang piutang dapat dilihat dalam Bab XIII Buku Ke III tentang perjanjian pinjam meminjam ( Verbruiklening) yang oleh Pasal 1754 diberikan pengertian sebagai: “Persetujuan dengan mana pihak satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat pihak pihak yang memakai akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”. Bagi pinjam meminjam atau utang piutang yang terjadi karena peminjaman uang, besarnya jumlah utang hanyalah terdiri atas jumlah uang yang disebutkan dalam persetujuan. Jika, sebelum saat pelunasan, terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga atau perubahan nilai mata uang, pengembalian jumlah utang harus dilakukan dalam nilai mata uang yang berlaku pada saat itu. Ketentuan ini hanya akan tidak berlaku apabila mengenai suatu peminjaman jumlah mata uang tertentu, kedua belah pihak dengan tegas telah bersepakat, bahwa akan dikembalikan jumlah mata uang yang sama. Dalam hal ini, pihak yang menerima peminjaman diwajibkan mengembalikan jumlah mata uang yang tepat dari macam yang sama, tidak kurang dan tidak lebih (Pasal 1756 dan 1757 KUHPerdata).
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian pinjam meminjam uang merupakan perjanjian atau utang piutang yang bersifat riil, artinya perjanjian itu baru mempunyai kekuatan mengikat apabila telah dilakukan penyerahan uang oleh orang yang meminjam (kreditor). Tentang hal ini Soerjopratikno mengatakan: Hal itu ternyata dari definisi undang-undang yang mengatakan “afgeeft” dan yang berarti “melepaskan” atau “menyerahkan”. Selanjutnya hal itu ternyata dari, sistemnya, pada mana pihak yang menyerahkan (kreditor) tidak dibebani kewajiban apa-apa dan karena itu dari situ terlihat bahwa undang-undang berpangkal dari pikiran bahwa kewajiban pokok dari kreditor telah terjadi, dengan pelepasannya atau penyerahannya tadi. 81 Utang sebagai kata kunci dari kepailitan, oleh karena itu utang perlu didefinisikan secara jelas agar tidak menimbulkan kontroversi. Hal mana kontroversi tentang pengertian utang sering terjadi dalam pertimbangan dan putusan hakim sebelum dikeluarkannya UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan: ”utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan dikemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan debitor”. 81
Hartono Soerjopratikno, Hutang Pihutang, Perjanjian-perjanjian Pembayaran dan Jaminan Hypotik, ( Yogyakarta: Mustika Wikasana, 1994) hal.1.
Universitas Sumatera Utara
Meskipun Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 telah memberikan pengertian utang secara definif, dalam praktek peradilan sebagaimana dalam kasus yang dianalisis dalam penelitian ini, hakim dalam memeriksa dan memutus perkara kepailitan masih mempunyai pemahaman yang berbeda-beda tentang pengertian sebagaimana terjadi sebelumnya Praktek peradilan Indonesia, tentang permohonan pailit telah diwarnai dengan perdebatan mengenai pengertian utang. Perdebatan ini terjadi ditingkat Pengadilan Niaga demikian juga di Mahkamah Agung. Hal ini terlihat dari putusan yang tidak seragam mengenai penafsiran pengertian utang dalam kepailitan. Beberapa kasus permohonan pailit yang mempersoalkan utang antara lain, adalah putusan nomor 07/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst tertanggal 12 Oktober 1998 antara Drs. Husein Sani dan Johar Subekti (para pemohon) melawan PT.Modern Land Reality Ltd (termohon). Dimana dalam putusan ini dikatakan uang pembayaran angsuran satuan rumah susun merupakan utang karena termohon sebagai pengembang tidak menepati janji. 82 Namun dalam putusan Kasasi, putusan Pengadilan Niaga ini dibatalkan dengan putusan No. 03 K/N/1998. Dalam putusan Mahkamah Agung ini, Majelis hakim tidak sependapat dengan putusan judex factie yang menurutnya telah mengartikan utang secara luas. Menurut majelis hakim kasasi pengertian utang secara luas ini bertentangan dengan pengertian utang sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat
82
Putusan Nomor 07/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst, Tertanggal 12 Oktober 1998
Universitas Sumatera Utara
(1) UU No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan penjelasannya yaitu utang yang tidak dibayar oleh debitor sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah utang pokok dan bunganya. Terhadap putusan kasasi ini telah diajukan Peninjauan Kembali selanjutnya disenut PK, dan majelis hakim PK lewat putusan No.06 PK/N/1999, memutuskan menolak permohonan PK dengan alasan keberatan
pemohon PK tidak dapat
dibenarkan karena tidak ada kesalahan berat dalam penerapan hukum yang dilakukan oleh majelis hakim kasasi. Kasus kepailitan lainnya yang masih berkaitan dengan perdebatan pengertian utang adalah kasus PT. Jawa Barat Indah selaku pengembang atau developer tidak dapat menyerahkan satu unit rumah pada waktu jatuh waktunya dan tidak mau mengganti kerugian kepada Sumeini Omar Sanjaya dan Widiastuti. Akibat PT. Jawa Barat Indah tidak tidak mau menyerahkan satu unit rumah dan tidak mengganti kerugian pada Sumeini dan Widiastuti mengajukan permohonan pailit terhadap PT. Jawa Barat Indah. Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, kemudian membuat putusan atas kasus ini dalam Putusan Nomor 27/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst, tertanggal 12 Oktober 1998 dengan mengabulkan permohonan Sumeini Omar Sanjaya dan Widiastuti yang memutuskan bahwa harga rumah yang telah dibayar para pemohon merupakan utang, karena termohon tidak menyerahkan rumah. Terhadap putusan tersebut termohon pailit (debitor) yakni PT. Jawa Barat Indah mengajukan upaya hukum Kasasi. Majelis Hakim Kasasi dalam putusannya
Universitas Sumatera Utara
Putusan Nomor 04 K/N/1999 tertanggal 3 Maret 1999, dalam perkara PT. Jawa Barat Indah sebagai Pemohon Kasasi melawan Sumeni Omar Sanjaya
dan Widiastuti
selaku termohon kasasi. Dalam perkara ini hakim Mahkamah Agung memberikan pengertian “utang adalah suatu hak yang dapat dinilai dengan sejumlah uang tertentu yang timbul karena perjanjian atau undang-undang, termasuk tidak hanya kewajiban debitor untuk membayar, akan tetapi juga hak dari kreditor menerima dan mengusahakan pembayaran”. Lebih lanjut majelis hakim kasasi mengatakan, meskipun perjanjian yang terjadi antara termohon kasasi dengan pemohon kasasi berupa perjanjian jual beli antara konsumen dengan produsen tetap berlaku asas perjanjian pada umumnya. Perjanjian timbul karena adanya tindakan atau perbuatan hukum para pihak yang mengadakan perjanjian. Disatu pihak memperoleh hak, dan pihak lain, mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasi. Pihak yang berhak atas suatu prestasi berkedudukan sebagai kreditor, sedangkan pihak lain yang wajib memnuhi prestasi berkedudukan sebagai debitor. Terhadap putusan kasasi yang membenarkan putusan Pengadilan Niaga, majelis hakim Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung sebagaimana dalam putusannya No.05PK/N1999 mengatakan majelis hakim Pengadilan Niaga maupun majelis hakim Kasasi telah melakukan beberapa kesalahan berat dalam pendapat hukum dalam memeriksa kasus. Untuk mengulas tentang pengertian utang yang berbeda-beda dalam praktek kepailitan, disini dikemukakan kasus yang lain yakni Helena Melindo Sujotomo
Universitas Sumatera Utara
melawan PT.Intercon Enterprises. Perkara ini menyangkut hubungan hukum jual beli tanah antara Helena Melindo Sujotomo sebagai penjual dan PT. Intercon Interprises sebagai pembeli. Dalam perkara tersebut uang muka telah dibayar oleh pembeli tetapi ternyata tanah tersebut tidak diserahkan oleh penjual. Oleh karena tanah tidak diserahkan oleh penjual , penjual kemudian membuat surat penyataan yang isinya menyatakan kalau tanah tidak diserahkan dalam tenggang waktu 90 hari, maka penjual akan menyerahkan kembali seluruh uang muka ditambah ganti rugi. Ternyata tanah tidak diserahkan sampai batas waktu 90 hari lewat. Sehubungan dengan tidak diserahkannya tanah oleh penjual dan penjual juga tidak menyerahkan uang muka yang telah dibayar oleh pembeli ditambah ganti rugi sebagaimana surat pernyataan tersebut, sehingga PT Intercon Interprises telah mengajukan pailit terhadap Helena Melindo Sujotomo. Pengadilan Niaga telah mengabulkan permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Intercon Interprises terhadap Helena Melindo Sujotomo. Pengadilan Niaga dalam pertimbangan hukumnya menyatakan hubungan hukum antara pemohon dan termohon adalah hubungan perikatan yang terletak dalam lapangan hukum harta benda yaitu satu pihak berhak atas sesuatu (kreditor) serta mempunyai subjek dan objek tertentu, dimana pihak yang mempunyai kewajiban tidak melaksanakan kewajibannya akan menimbulkan apa yang disebut utang, yaitu sesuatu yang dituangkan oleh seseorang kepada orang lain baik berupa uang, barang maupun jasa. Terhadap putusan ini, PT. Intercon Enterprises kemudian mengajukan permohonan Kasasi. Majelis hakim kasasi menerima permohonan kasasi pemohon
Universitas Sumatera Utara
dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga dan berpendapat, bahwa karena hubungan hukum yang terjadi antara pemohon kasasi dengan termohon kasasi adalah hubungan jual beli bukan hubungan hutang piutang sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat(1) UU No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan. Disi lain majelis Hakim kasasi berpendapat, apa yang dilakukan termohon kasasi (PT. Intercon Interprises) adalah wan prestasi dan wan prestasi bukanlah merupakan kompetensi majelis hakim pengadilan niaga. Termohon Kasasi/Pemohon Pailit kemudian mengajukan PK. Sehubungan dengan permohonan PK tersebut, majelis hakim PK membenarkan alasan-alasan yang diajukan
oleh
pemohon
PK.
Majelis
Hakim
PK
dalam
putusannya
Nomor.13PK/N/1999 tertanggal 2 Agustus 1999 mengatakan utang yaitu segala bentuk kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu baik yang timbul karena perikatan maupun undang-undang. Selain mengemukakan beberapa putusan mengenai pengertian utang, disini juga dikutip beberapa pendapat para sarjana tentang pengertian utang. Menurut Sutan Remy Sjahdeini mengatakan: Pengertian utang dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan tidak seyoyanya diberi dalam arti sempit, yaitu tidak seharusnya hanya diberi arti berupa kewajiban membayar utang yang timbul karena perjanjian utang piutang saja, tetapi merupakan setiap kewajiban debitor yang berupa kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada kreditor, baik kewajiban itu timbul karena perjanjian apapun juga (tidak terbatas hanya kewajiban utang piutang saja), maupun timbul karena ketentuan undangundang, dan timbul karena putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. 83 83
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening,
Universitas Sumatera Utara
Kemudian Syamsudin Manan Sinaga mengemukakan: Utang adalah suatu kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dengan sejumlah uang, baik yang sudah ada maupun yang aka nada dikemudian hari, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang, yang wajib dibayar oleh debitor kepada kreditor, dan jika tidak dibayar, kreditor berhak mendapatkan pembayaran dari kekayaan debitor”. 84 Kontroversi rumusan tentang pengertian utang berakhir setelah diundangkan UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, tertanggal 18 Oktober 2004 yang dalam ketentuan umumnya telah menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan utang. Adanya definisi ini sangat penting karena merupakan salah satu syarat yang wajib dipenuhi dan dibuktikan. Rumusan utang yang dimuat dalam UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pada hakikatnya sama dengan definisi utang sebagaimana dimuat dalam putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 62/ Pilit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst tertanggal 4 Oktober 1999. 85 Adapun definisi utang dalam putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 62/ Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst tertanggal 4 Oktober 1999 mengatakan: Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan
( Jakarta: Grafiti, 2002) hal.110. 84 Syamsudin Manan Sinaga, Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Problematikanya, Seminar Hukum Perbankan yang dilaksanakan PT. Bank Rakyat Indonesia, Jakarta, 23 Oktober 2001, hal.5. 85 Syamsudin M. Sinaga, Op. Cit, hal.14
Universitas Sumatera Utara
bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.” 86 Sedangkan menurut Pasal 1 angka 6 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan bahwa: Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan debitor”. 87
Dari beberapa pengertian utang sebagaimana diatas dapatlah disimpulkan bahwa pengertian utang dalam kepailitan menganut pengertian utang dalam arti yang luas khususnya setelah dikeluarkannya Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menganut pengertian utang adalah utang dalam arti yang luas. Pengertian tafsir utang secara luas disini karena utang diartikan bukan hanya setiap kewajiban apapun juga dari debitor kepada kreditor karena adanya perikatan diantara mereka, tetapi hanya sepanjang kewajiban itu berupa kewajiban untuk membayar sejumlah uang, baik kewajiban itu timbul karena perjanjian ataupun karena ditentukan oleh undang-undang, atau karena berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.
86
Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 62/ Pilit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst tertanggal 4 Oktober 1999 87 Undang-undang No. 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op.Cit
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bukan semata-mata kewajiban “untuk berbuat sesuatu” atau “ untuk tidak berbuat sesuatu” itu yang merupakan utang sebagaimana diatur dalam KUHPerdata melainkan kewajiban membayar yang ditetapkan oleh undang-undang atau ditetapkan oleh putusan hakim itulah yang diartikan sebagai utang. D. Hak-hak Normatif Tenaga Kerja/Buruh Sebagai Utang Dalam Arti Luas Pengertian utang dalam arti luas bukan saja hanya kewajiban debitor untuk membayar sejumlah uang yang timbul dari perjanjian utang piutang saja, tetapi juga kewajiban debitor untuk membayar sejumlah uang yang timbul dari perjanjian atau undang-undang. Kartini Muljadi, dalam tulisannya yang berjudul “ Pengertian dan PrinsipPrinsip Kepailitan” menulis bahwa istilah utang harus merujuk pada hukum perikatan dalam hukum perdata. Dalam tulisannya itu, Kartini Muljadi mengaitkan pengertian utang itu dengan Pasal 1233 dan 1234 KUHPerdata. Dari uraiannya disimpulkan utang sama dengan pengertian kewajiban. Kewajiban dimaksud adalah kewajiban karena suatu perikatan, yang menurut Pasal 1233 KUHPerdata dilahirkan baik karena persetujuan
maupun
karena
undang-undang. 88Selanjutnya
Kartini
Muljadi
menghubungkan perikatan yang dimaksud dalam Pasal 1233 itu dihubungkan dengan ketentuan 1234 KUHPerdata
yang menentukan bahwa tiap-tiap
perikatan
88
Rudhy.A.Lontoh, Denny Kailimang & Benny Ponto, Penyelesaian Utang-piutang: Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran, (Bandung: Alumni,2001) Hal. 78
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan kewajiban untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Dengan demikian Kartini berpendapat bahwa pengertian utang yang dimaksud dalam Undang-undang kepailitan adalah setiap kewajiban debitor kepada setiap kreditornya baik kewajiban itu untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Oleh karena itu dia menganut pengertian utang secara luas Mengacu pada pendapat ini, jika dihubungkan dengan kasus permohonan pailit buruh yang diajukan Rohani,dkk dalam permohonan Pailit Tenaga Kerja terhadap PT. Indah Pontjan, maka putusan pengadilan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap namun tidak terlaksana berupa hak-hak normatif buruh pasca pemutusan hubungan kerja yang terdiri dari uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan upah proses yang tidak dibayarkan oleh PT. Indah Pontjan selaku termohon dapat dikualifikasikan sebagai utang dalam arti luas. Oleh karena itu dapatlah dikatakan menyangkut kewajiban membayar utang bukan hanya karena perjanjian utang-piutang saja tetapi merupakan setiap kewajiban debitor yang berupa membayar sejumlah uang kepada kreditor baik yang timbul karena perjanjian maupun yang timbul karena undang-undang dan timbul karena putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Dilihat dari presfektif kreditor, kewajiban membayar debitor berupa pembayaran hak-hak normatif pekerja buruh dalam hal ini PT. Indah Pontjan dan disi lain buruh merupakan orang yang berhak untuk memperoleh sejumlah uang
Universitas Sumatera Utara
sebagaimana disebut dalam putusan. Utang debitor dalam hal ini telah ada ketika putusan tersebut berkekuatan hukum tetap. Pengadilan hubungan industrial dalam hal ini, telah menetapkan kewajiban membayar debitor tersebut dan sebaliknya hak dari kreditor yakni berupa pembayaran uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan upah proses. Beranjak dari hal tersebut maka kewajiban debitor berupa pembayaran hakhak normatif pekerja buruh dalam hal ini berupa pembayaran uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan upah proses adalah
untuk
berbuat sesuatu berupa kewajiban membayar uang. Dengan demikian hak-hak normatif merupakan salah satu bentuk utang dalam arti luas berupa kewajiban debitor kepada kreditor yang timbul karena ketentuan undang-undang berupa keputusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Hakhak normatif buruh yang yang dikualifikasikan sebagai utang dalam arti luas ini juga telah memenuhi kewajiban yang dapat dinyatakan dalam jumlah uang karena putusan PHI tersebut juga telah menentukan besarnya jumlah uang yang menjadi kewajiban debitor kepada para pemohon pailit sebesar Rp.125.552.931,- (seratus dua puluh lima juta lima ratus lima puluh dua ribu sembilan ratus tiga puluh satu rupiah). Dari penjelasan ini jika dikaitkan dengan permohonan pailit tenaga kerja/ buruh (Rohani,dkk) terhadap PT. Indah Pontjan, buruh yang mengajukan permohonan pailit memenuhi kriteria sebagai kreditor. Dimana menurut Pasal 1 angga 2 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Universitas Sumatera Utara
Pembayaran Utang yang dimaksud dengan “kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih dimuka pengadilan”. Sebagai konsekuensi dari ketentuan ini, harta-harta debitor dalam hal ini PT. Indah Pontjan, baik yang ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi jaminan pembayaran utangnya kepada para kreditor (buruh), jika dimohonkan pailit. Permohonan pailit yang dimohonkan kreditor sebagaimana disebut diatas dari sisi kedudukan buruh sebagai kreditor telah memenuhi kualifikasi. Namun dalam penelitian ini perlu diurai lebih jauh kedudukan buruh sebagai kreditor dalam pengajuan pailit. Berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, maka hak buruh dalam kepailitan adalah hak atau piutang yang di istimewakan. Lebih lanjut dalam penjelasan ayat (4) ini bahwa yang dimaksudkan didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja buruh harus dibayar terlebih dahulu dari pada utang lainnya. Ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ini dikaitkan dengan penjelasannya, terlihat ada kerancuan. Dimana dalam Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa upah dan hak-hak lainnya dari pekerja buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya, sementara dalam penjelasannya utang yang didahulukan pembayarannya hanyalah upah pekerja/buruh. Dengan demikian hak-hak lainnya bukanlah utang yang didahulukan pembayarannya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
menyebutkan
“Sejak tanggal pernyataan pailit diucapkan, upah yang yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit. Upah yang dimaksud dalam pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini adalah upah akibat pengakhiran hubungan kerja baik yang dilakukan oleh buruh itu sendiri maupun oleh kurator”. Perihal tentang upah ini didasarkan pada ketentuan Pasal 39 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyebutkan : Pekerja yang bekerja pada debitor dapat memutus hubungan kerja dan sebaliknya kurator dapat memberhentikannya dengan mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan pengertian hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan paling singkat 45 (empat puluh lima) hari sebelumnya.
Sehubungan dengan hal tersebut dalam hubungannya dengan penelitian ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 165 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dalam hal pengusaha melakukan PHK terhadap pekerja/ buruh karena perusahaan pailit maka pekerja buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Universitas Sumatera Utara
Namun demikian didasarkan pada penjelasan dari Pasal 95 ayat (4) UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sebagaimana dikemukakan diatas, hak-hak pekerja/buruh akibat dari pemutusan hubungan kerja dengan alasan perusahaan pailit, kecuali upah hak-hak lainnya bukanlah hak yang didahulukan pembayarannya. Dengan kata lain kedudukan pekerja buruh menjadi kreditor konkuren. Pembahasan selanjutnya, bagaimana kalau perusahaan tersebut tidak dalam kondisi pailit, namun dipailitkan oleh buruh karena tidak melakukan kewajibannya berdasarkan putusan pengadilan?. Mengacu pada ketentuan sebagaimana disebut diatas kiranya dapat diambil alih ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tersebut bahwa hak-hak buruh akibat PHK yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap meskipun bukan karena perusahaan pailit tetap menjadi utang namun kedudukan para pekerja/buruh bukan sebagai kreditor yang didahulukan melainkan sebagai kreditor konkuren. Namun demikian dalam penelitian ini disampaikan untuk menguatkan kedudukan buruh dalam perkara kepailitan yang diajukan kepada pihak perusahaan sebagai debitor perlu kiranya meningkatkan kedudukan
terhadap hak-hak buruh
tersebut. Hal ini untuk menghindari agar segala hak-hak pekerja/buruh tidak sematamata menunggu belas kasihan kreditor lain yakni kreditor yang di istimewakan. Karena jika kedudukan buruh masih tetap sebatas kreditor konkuren dalam perkara kepailitan tidak ada jaminan bahwa hak-hak buruh dalam perkara pailit akan terpenuhi.
Universitas Sumatera Utara
Untuk itu diperlukan suatu kebijakan ataupun aturan yang memberikan kepastian, khususnya kepastian bagi pekerja/ buruh untuk mendapatkan hak-haknya bilamana pekerja buruh akan diputus hubungan kerjanya dengan alasan-alasan tertentu seperti perusahaan pailit atau perusahan dipailitkan. Dari berbagai uraian diatas dapatlah dikatakan bahwa hak-hak normatif buruh merupakan utang dalam arti luas yang lahir karena undang-undang maupun karena putusan hakim. Akan tetapi tentang kedudukan pekerja buruh masih terdapat perbedaan pandangan dimana menurut Pasal 95 ayat ( 4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan merupakan utang yang didahulukan pembayarannya sementara dalam penjelasannya disebut hak-hak yang timbul dari pemutusannya hubungan kerja bukan utang yang didahulukan pembayarannya, sehingga kedudukan buruh menjadi kreditor konkuren atau kreditor bersaing.
Universitas Sumatera Utara