BAB II HUBUNGAN HUKUM ANTARA PASIEN DAN DOKTER SERTA TANGGUNG JAWAB DOKTER DALAM UPAYA PELAYANAN MEDIS
A. Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien Dalam Upaya Pelayanan Medis 1. Pola Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien
Hubungan hukum antara dokter dengan pasien telah terjadi sejak dahulu (zaman Yunani kuno), dokter sebagai seorang yang memberikan pengobatan terhadap orang yang membutuhkannya. Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat pribadi karena didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap dokter yang disebut dengan transaksi terapeutik. 23Transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dan pasien berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban kedua belah pihak. Objek dari perjanjian ini adalah berupa upaya atau terapi untuk menyembukna pasien. 24 Hubungan hukum antara dokter dengan pasien ini berawal dari pola hubungan vertikal paternalistik seperti antara bapak dengan anak yang bertolak dari prinsip “father knows best” yang melahirkan hubungan yang bersifat paternalistik. Hubungan hukum timbul bila pasien menghubungi dokter karena ia merasa ada sesuatu yang dirasakannya membahayakan kesehatannya. Keadaan psikobiologisnya memberikan peringatan bahwa ia merasa sakit, dan dalam hal ini 23
Endang Kusumah Astuti, 2003, Hubungan Hukum Antara Dokter Dan Pasien Dalam Upaya Pelayanan Medis, Semarang, hal 3 24
Bahder Johan Nasution,2005, Hukum Kesehatan Pertanggung Jawaban Dokter, Jakarta:Rineka Cipta,hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
dokterlah yang dianggapnya mampu menolongnya dan memberikan bantuan pertolongan. Jadi, kedudukan dokter dianggap lebih tinggi oleh pasien dan peranannya lebih penting daripada pasien. 25Dalam praktik sehari-hari, dapat dilihat berbagai hal yang menyebabkan timbulnya hubungan antara pasien dengan dokter, hubungan itu terjadi terutama karena beberapa sebab antara lain karena pasien sendiri yang mendatangi dokter untuk meminta pertolongan mengobati sakit yang dideritanya. Dalam keadaan seperti ini terjadi persetujuan kehendak antara kedua belah pihak, artinya para pihak sudah sepenuhnya setuju untuk mengadakan hubungan hukum. 26 Hubungan hukum ini bersumber pada kepercayaan pasien terhadap dokter sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan tindakan medis (informed consent), yaitu suatu persetujuan pasien untuk menerima upaya medis yang akan dilakukan terhadapnya. Hal ini dilakukan setelah ia mendapat informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, termasuk memperoleh informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi. Di Indonesia informed consent dalam pelayanan kesehatan, telah memperoleh pembenaran secara yuridis melalui Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia
No.585/Menkes/1989.
Walaupun
dalam
kenyataannya
untuk
pelaksanaan pemberian informasi guna mendapatkan persetujuan itu tidak sesederhana yang dibayangkan, Namun setidak-tidaknya persoalan telah diatur
25
Endang Kusumah Astuti, Log. Cit
26
Bahder Johan Nasution,Op.Cit.,hal .28.
Universitas Sumatera Utara
secara hukum, sehingga ada kekuatan bagi kedua belah pihak untuk melakukan tindakan secara hukum. 27 Alasan lain yang menyebabkan timbulnya hubungan antara pasien dengan dokter, adalah karena keadaan pasien yang sangat mendesak untuk segera mendapatkan pertolongan dari dokter, misalnya karena terjadi kecelakaan lalu lintas, terjadi bencana alam, maupun karena situasi lain yang menyebabkan keadaan pasien sudah gawat, sehingga sangat sulit bagi dokter yang menangani untuk mengetahui dengan pasti kehendak pasien. Dalam keadaan seperti ini dokter langsung melakukan apa yang disebut dengan zaakwaarneming sebagai mana diatur dalam pasal 1354 KUHPerdata, yaitu suatu bentuk hubungan hukum yang timbul karena adanya “persetujuan tindakan medis” terlebih dahulu, melainkan karena keadaan yang memaksa atau keadaan darurat. Hubungan antara dokter dengan pasien yang terjadi seperti ini merupakan salah satu cirri transaksi terapeutik yang membedakannya dengan perjanjian biasa sebagaimana diatur dalam KUHPerdata.28 Dari hubungan pasien dengan dokter yang demikian tadi, timbul persetujuan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 1601 KUHPerdata. Bagi seorang dokter hal ini berarti bahwa ia telah bersedia untuk berusaha dengan segala kemampuannya memenuhi isi perjanjian itu, yakni merawat atau menyembuhkan pasien. Sedang pasien berkewajiban untuk mematuhi aturan-aturan yang ditentukan oleh dokter termasuk memberikan imbalan jasa. 27
Ibid
28
Ibid
Universitas Sumatera Utara
2. Saat Terjadinya Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien Hubungan hukum kontraktual yang terjadi antara pasien dan dokter tidak dimulai dari saat pasien memasuki tempat praktek dokter sebagaimana yang diduga banyak orang, tetapi justru sejak dokter menyatakan kesediaannya yang dinyatakan secara lisan (oral statement) atau yang tersirat (implied statement) dengan menunjukkan sikap atau tindakan yang menyimpulkan kesediaan, seperti misalnya menerima pendaftaran, memberikan nomor urut, menyediakan serta mencatat rekam medisnya dan sebagainya. Dengan kata lain hubungan terapeutik juga memerlukan kesediaan dokter. Hal ini sesuai dengan asas konsensual dan berkontrak. 29 3. Sahnya Transaksi Terapeutik
Mengenai syarat sahnya transaksi terapeutik didasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa untuk syarat sahnya perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat sebagai berikut:30
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (toestemming van degene die zich verbinden) Secara yuridis, yang dimaksud adanya kesepakatan adalah tidak adanya kekhilafan, atau paksaan, atau penipuan (Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Saat terjadinya perjanjian bila dikaitkan dengan Pasal 1320 Kitab Undang29
Endang Kusumah Astuti, Op.Cit., hal. 4
30
Djanius Djamin, dan Syamsul Arifin, 1993, Bahan Dasar Hukum Perdata, Medan:Akademi keuangan dan perbankan, hal. 26.
Universitas Sumatera Utara
Undang Hukum Perdata merupakan saat terjadinya kesepakatan antara dokter dengan pasien yaitu pada saat pasien menyatakan keluhannya dan ditanggapi oleh dokter. Di sini antara pasien dengan dokter saling mengikatkan diri pada suatu perjanjian terapeutik yang obyeknya adalah upaya penyembuhan. Bila kesembuhan adalah tujuan utama maka akan mempersulit dokter karena tingkat keparahan penyakit maupun daya tahan tubuh terhadap obat setiap pasien adalah tidak sama. Obat yang sama tidak pasti dapat hasil yang sama pada masing-masing penderita. b. Kecakapan untuk membuat perikatan (bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan)
Secara yuridis, yang dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan adalah kemampuan seseorang untuk mengikatkan diri, karena tidak dilarang oleh undang-undang. Hal ini didasarkan Pasal 1329 dan 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 31 Menurut Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Kemudian, di dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan orang-orang yang dinyatakan tidak cakap yaitu orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undangundang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang dibuat perjanjian tertentu. c. Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp)
31
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Kedua belah pihak harus mengetahui secara pasti dan jelas apa yang diperjanjikan serta tujuan perjanjian itu. Dalam hubungan dokter-pasien, objeknya adalah suatu usaha penyembuhan oleh dokter terhadap pasiennya , bukanlah sembuh atau tidaknya pasien. 32 d. Suatu sebab yang halal (geoorloofde oorzaak) Suatu sebab yang halal yaitu suatu sebab yang diizinkan atau lazim, tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, ketertiban umum atau masyarakat. Pasal 1335 KUHPerdata menyebutkan “suatu perjanjian tanpa sebab atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau sebab yang tidak diizinkan, apabila dilarang oleh undang-undang, atau bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum”. 33 4. Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent ) Persetujuan atas dasar informasi atau dikenal dengan istilah Informed Consent pada hakikatnya merupakan alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri berfungsi didalam praktik dokter. Penentuan nasib sendiri adalah nilai, sasaran dalam informed consent, dan inti sari permasalahan informed consent adalah alat. Secara konkrit persyaratan informed consent adalah untuk setiap tindakan baik yang bersifat diagnostic maupun terapeutik, pada asanya senantiasa diperoleh persetujuan pasien yang bersangkutan.34 Didalam Pasal 2 Peraturan Mentri Kesehatan No.585/Men.Kes/Per/IX/1989 dinyatakan bahwa 32
Chrisdiono M. Achadiat, 2006, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam tantangan zaman, Jakarta:EGC, hal. 31. 33
Ibid
34
Veronica Komalawati, 1999, peran informed consent dalam transaksi terapeutik, Bandung:Citra Aditya Bakti, hal. 103.
Universitas Sumatera Utara
semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan dimaksud diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat tentanng perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risiko yang dapat ditimbulkannya. 35 Persetujuan tindakan medis
bisa dibicarakan dari dua sudut, pertama
membicarakan persetujuan tindakan medis dari dari pengertian umum dan kedua membicarakan persetujuan tindakan medis dari pengertian khusus. Dalam pelayanan kesehatan sering pengeertian kedua lebih dikenal yaitu persetujuan tindakan medis yang dikaitkan dengan persetujuan atau izin yang didapat dari pasien atau lebih sering dari keluarga pasien untuk melakukan tindakan opertaif atau tindakan invasive yang biasanya mempunyai risiko. Oleh karena itu dulu persetujuan tindakan medis jenis ini sering disebut surat izin operasi, surat persetujuan pasien, surat perjanjian dan lain-lain istilah yang dirasa sesuai oleh Rumah Sakit atau Dokter yang merancang surat persetujuan atau surat izin operasi ini. 36 Dari pandangan dokter atau rumah sakit tujuan dari surat ini adalah agar pasien atau keluarga pasien mengetahui bahwa operasi dan tindakan medis ini harus ditempuh dan dokter telah diberi izin untuk melakukan tindakan tersebut. 37Jika pasien sudah mengerti sepenuhnya dan memberikan persetujuan (izinnya) maka barulah dokter spesialis itu boleh melaksanakan tindakannya. Demikian pula tindaka medic lain yang
35
Veronica Komalawati, Op.Cit., hal 104.
36
Amri Amir, DSF, 1997, Bunga rampai hukum kedokteran, Jakarta:Widya Medika, hal.
37
Amri Amir, DSF, Op.Cit., hal 30.
29.
Universitas Sumatera Utara
mengandung risiko, misalnya aortografi. Sebagai lanjutan kepada pasien akan dimintakan untuk menandatangani suatu formulir sebagai tanda bukti persetujuannya. Harus diadakan perbedaan antara: 38 a. Persetujuan atau izin pasien yang diberikan secara lisan pada saat dokter dan pasien berdialog dan memperoleh kesepakata, dan b. Penandatanganan formulir tersebut oleh pasien (yang sebenarnya merupakan pelaksanaan kelanjutan dari apa yang sudah disepakati bersama dan sudah diperoleh pada waktu dokter memberikan penjelasannya.
Oleh karena itu sebelum pasien memberikan persetujuannya diperlukan beberapa masukan sebagai berikut: 39 a. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan medis tertentu (yang masih berupa upaya, percobaan) yang diusulkan oleh dokter serta tujuan yang ingin dicapai (hasil dari upaya, percobaan), b. Deskripsi mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tak dinginkan yang mungkin timbul, c. Diskripsi mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh pasien, d. Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur berlangsung, e. Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali persetujuan tanpa adanya prasangka (jelek) mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaganya.
38
J. Gunawandi, 1995, persetujuan tindakan medis ( informed consent) ,Jakarta:FK UI,
39
Endang Kusumah Astuti,Op.Cit., hal. 7.
hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
f. Prognosis mengenai kondisi medis pasien bila ia menolak tindakan medis tertentu (percobaan) tersebut. Pernyataan tanda setuju secara tertulis dengan penandatanganan formulir hanya untuk memudahkan pembuktian jika pasien kelak menyangkal telah memberikan persetujuannya. Dengan sudah ditandatanganinya formulir tersebut maka jika pasien menyangkal, pasien harus membukikan bahwa ia tidak diberikan informasi. Namun jika hanya ditandatangani saja oleh pasien tanpa diberikan informasi yang jelas terlebih dahulu oleh dokternya, maka secarik kertas itu secara yuridis tidak merupakan bukti kuat bagi sang dokter. Karena pasien dianggap belum “informed” sehingga belum terdapat suatu kesepakatan dalam arti yang sebenarnya. Dengan perkataan lain belum ada “consent” yang “informed” dari pasien sebagai mana sudah diatur didalam PerMenKes No. 585 tersebut. 40 a. Bentuk persetujuan tindakan medic Ada dua bentuk persetujuan tindakan medis yaitu: 41 1. Implied Consent (dianggap diberikan) 2. Express Consent (dinyatakan) Implied consent umumnya diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang dilakukan atau diberikan pasien. Misalnya kalau dokter mau mengatakan mau menginjeksi pasien, dia menyingsingkan lengan baju atau menurunkan celananya. Express Consent dintyatakan secara ;lisan dan dapat pula dinyatakan secara tertulis dalam 40 41
J. Gunawandi, Log.Cit Amri Amir, DSF, Op.Cit.,hal. 31.
Universitas Sumatera Utara
tindakan medis invasive dan mengendung risiko, dokter sebaiknya mendpatkan persetujuan tindakan medis secara tertulis. Sebetulnya inilah yang umum dikenal di rumah sakit surat izin operasi. b. Informasi Hal lain yang perlu diketahui adalah informasi atau penjelasan apa sebaiknya yang disampaikan kepada pasien sebelum tindakan medis dilakukan. Dalam PermenKes tentang persetujuan tindakan medis hal ini dinyatakan bahwa dokter harus menyampaikannya kepada pasien diminta atau tidak diminta. Artinya harus disampaikan, informasi itu meliputi : 42 1.Diagnose 2.Terapi dan kemungkinan alternative terapi lain 3.Cara kerja dan pengalaman dokter yang melakukannya 4.Kemungkinan perasaan sakit atau perasaan lain 9misalnya gatal-gtal) 5.Risiko 6.Keuntungan terapi 7.Prognosa c. Persetujuan Berpedoman kepada PerMenKes tentang persetujuan tindakan medis maka yang menadatangani perjanjian adalah pasien sendiri yang sudah dewasa (diatas 21 tahun atau telah menikah) dan dalam keadaan sehat mental. Dalam banyak perjanjian tindakan medis yang ada selama ini, penandatanganan persetujuan ini sering tidak dilakukan oleh pasien sendiri, tetapi oleh keluarganya. Hal ini mungkin berkaitan dengan kesangsian terhadap persiapan mental pasien untuk 42
Ibid
Universitas Sumatera Utara
menerima penjelasan tindakan opersi dan tindakan medis ynang invasive tadi serta keberanian untuk menandatangani surat tersebut, sehingga beban demikian diambil alih oleh keluarga pasien. 43 Untuk pasien dibawah umur 21 tahun, dan pasien penderita gangguan jiwa yang menadatanganinya adalah orangtua/wali/keluarga terdekat. Untuk pasien dalam keadaan tidak sadar, atau pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medis berada dalam keadaan gawat atau darurat yang memerlukan tindakan medis segera, maka tidak diperlukan persetujuan dari siapapun (pasal 11 BAB IV PerMenKes No.585). d. Saksi Mengenai saksi untuk keamanan sebaiknya dalam persetujuan tindakan medis dari kalangan keluarga pasien dan dari kalangan rumah sakit turut serta menadatangani persetujuan ini. Mengenai banyaknya saksi tidak terdapat pedoman, begitu pula dengan hubungan atau kedudukan saksi. Dalam konsep yang diajukan, jumlah saksi sebanyak 2 orang dengan pertimbangan satu mewakili pihak pasien dan satu lagi mewakili pihak dokter atau rumah sakit. 44 Jadi, pada hakekatnya informed consent adalah untuk melindungi pasien dari segala kemungkinan tindakan medis yang tidak disetujui atau tidak diizinkan oleh pasien tersebut, sekaligus melindungi dokter (secara hukum) terhadap kemungkinan akibat yang tak terduga dan bersifat negatif. Yang tidak boleh dilupakan adalah dalam memberikan informasi tidak boleh bersifat memperdaya, 43 44
Amri Amir, DSF, Op.Cit.,hal. 34. Ibid
Universitas Sumatera Utara
menekan atau menciptakan ketakutan sebab ketiga hal itu akan membuat persetujuan yang diberikan menjadi cacat hukum. Sudah seharusnya informasi diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan medis tertentu, sebab hanya ia sendiri yang tahu persis mengenai kondisi pasien dan segala seluk beluk dari tindakan medis yang akan dilakukan.
45
Lagi pula dalam proses mendapatkan
persetujuan pasien, tidak menutup kemungkinan terjadi diskusi sehingga memerlukan pemahaman yang memadai dari pihak yang memberikan informasi. Ada sebagian dokter menganggap bahwa informed consent merupakan sarana yang dapat membebaskan mereka dari tanggung jawab hukum jika terjadi malpraktek. Anggapan seperti ini keliru besar dan menyesatkan mengingat malpraktek adalah masalah lain yang erat kaitannya dengan pelaksanaan pelayanan medis yang tidak sesuai dengan standar. Meskipun sudah mengantongi informed consent tetapi jika pelaksanaannya tidak sesuai standar maka dokter tetap harus bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi. 46 Hubungan antara pasien dengan rumah sakit, dalam hal ini terutama dokter, memang merupakan hubungan antara penerima dengan pemberi jasa. Hubungan antara dokter dan pasien pada umumnya berlangsung sebagai hubungan biomedis aktif-pasif. Namun perlu disadari bahwa dokter tidak bisa disamakan dengan pemberi/penjualan jasa pada umumnya. Hubungan ini terjadi pada saat pasien mendatangi dokter/pada saat pasien bertemu dengan dokter dan
45
Endang Kusumah Astuti, Op.Cit.,hal. 8.
46
Ibid
Universitas Sumatera Utara
dokter pun memberikan pelayanan maka sejak itulah terjadi suatu hubungan hukum. 47 Hubungan pasien dengan dokter adalah suatu Perikatan Berusaha (Inspanningsverbintenia) yaitu dimana dalam melaksanakan tugasnya dokter berusaha untuk mnyembuhkan atau memulihkan kesehatan pasien. Dalam memberikan jasa ini dokter tidak boleh dan tidak mungkin dapat memberikan jaminan/garansi kepada pasiennya. Dan dokter juga tidak dapat dipersalahkan begitu saja apabila hasil usahanya itu tidak sesuai dengan yang diharapkan, sepanjang dalam melakukannya dokter telah mematuhi standart profesi dan menghormati hak-hak pasien. Pasien umumnya hanya dapat menerima saja segala sesuatu yang dikatakan dokter tanpa dapat bertanya apapun. Dengan kata lain, semua keputusan sepenuhnya berada ditangan dokter. Dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hak-haknya, maka pola hubungan demikian ini juga mengalami perubahan yang sangat berarti. Pada saat ini secara hukum dokter adalah partner dari pasien yang sama atau sederajat kedudukannya, pasien mempunyai hak dan kewajiban teertentu seperti halnya dokter. 48 Berbicara mengenai hak-hak pasien dalam pelayanan kesehatan, secara umum hak pasien tersebut dapat dirinci sebagai berikut: 49 1.Hak pasien atas perawatan 47
Syafitri Haryani,2005, Sengketa Medik: Alternatif Penyelesaian Antara Dokter Dengan Pasien,Jakarta:Diadit Media,hal. 10. 48
Chrisdiono M. Achadiat,Op.Cit., hal. 2.
49
Bahder Johan Nasution, Op.Cit.,hal. 33.
Universitas Sumatera Utara
2.Hak untuk menolak cara perawatan tertentu 3.Hak untuk memilih tenaga kesehatan dan rumah sakit yang akan merawat pasien 4.Hak Informasi 5.Hak untuk menolak perawatan tanpa izin 6.Hak atas rasa aman 7.Hak atas pembatasan terhadap pengaturan kebebasan perawatan 8.Hak untuk mengakhiri perjanjian perawatan 9.Hak atas twenty-for-a-day-visitor-rights. 10.Hak pasien menggugat atau menuntut 11.Hak pasien mengenai bantuan hukum 12.Hak pasien untuk menasihatkan mengenai percobaan oleh tenaga kesehatan atau ahlinya. Berbarengan dengan hak tersebut pasien juga mempunyai kewajiban, baik kewajiban secara moral maupun secara yuridis. Secara moral pasien berkewajiban memelihara kesehatannya dan menjalankan aturan-aturan perawatan sesuai dengan nasihat dokter yang merawatnya. Beberapa kewajiban pasien yang harus dipenuhinya dalam pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut: 50 1. Kewajiban memberikan informasi medis 50
Chrisdiono M. Achadiat,Op.Cit.,hal .11.
Universitas Sumatera Utara
2. Kewajiban melaksanakan nasihat dokter atau tenaga kesehatan 3. Kewajiban memenuhi aturan-aturan pada kesehatan 4. Kewajiban untuk berterus terang apabila timbul masalah dalam hubungannya dengan dokter atau tenaga kesehatan 5. Kewajiban memberikan imbalan jasa 6. Menyimpan rahasia pribadi dokter yang diketahuinya Berdasarkan pada perjanjian terapeutik yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak, dokter juga mempunyai hak dan kewajiban sebagai pengemban profesi. Hak-hak dokter sebagai pengemban profesi dapat dirumuskan sebagai berikut: 51 1. Hak memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan sejujur-jujurnya dari pasien yang akan digunakannya bagi kepentingan diagnosis maupun terapeutik. 2. Hak atas imbalan jasa atau honorarium terhadap pelayanan yang diberikannya kepada pasien. 3. Hak atas itikad baik dari pasien atau keluarganya dalam melaksanakan transaksi terapeutik. 4. Hak membela diri terhadap tuntutan atau gugatan pasien atas pelayanan kesehatan yang diberikannya. 5. Hak untuk memperoleh persetujuan tindakan medic dari pasien atau keluarganya. Disamping hak-hak tersebut, dokter juga mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu sebagai berikut: 52
51
Bahder Johan Nasution,Op.Cit.,hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
1. kewajiban untuk memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi, yaitu dengan cara melakukan tindakan medis dalam suatu kasus yang konkret menurut ukuran tertentu yang didasarkan pada ilmu medis dan pengalaman. 2. Kewajiban untuk menghormati hak-hak pasien, antara lain rahasia atas kesehatan pasien bahkan setelah pasien meninggal dunia. 3. Kewajiban untuk memberikan informasi pada pasien dan/atau keluarganya tentang tindakan medis yang dilakukannya dan risiko yang mungkin terjadi akibat tindakan medis tersebut. 4. Kewajiban merujuk pasien untuk berobat ke dokter lain yang mempunyai keahlian/kemampuan yang lebih baik 5. Kewajiban untuk memberikan pertolongan dalam keadaan darurat sebagai tugas perikemanusiaan.
B. Tanggung Jawab Hukum Dokter Terhadap Pasien Dokter sebagai tenaga professional bertanggung jawab dalam setiap tindakan medis yang dilakukan terhadap pasaien. Dalam menjalankan tugas profesionalnya didasarkan pada niat baik yaitu berupaya dengan sungguh-sungguh berdasarkan pengetahuannya yang dilandasi dengan sumpah dokter, kode etik kedokteran dan standar profesinya untuk menyembuhkan atau menolong pasien. Antara lain adalah: 53 1.Tanggung Jawab Etis
52
Y.A Triana Ohoiwutun, 2007, bunga rampai hukum kedoteran, Malang:BayuMedia Publishing, hal. 17. 53
Endang kusumah Astuti, Op.Cit.,hal. 83.
Universitas Sumatera Utara
Peraturan yang mengatur tanggung jawab etis dari seorang dokter adalah Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Lafal Sumpah Dokter. Kode etik adalah pedoman perilaku. Kode Etik Kedokteran Indonesia dikeluarkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan no. 434 / Men.Kes/SK/X/1983. Kode Etik Kedokteran Indonesia disusun dengan mempertimbangkan International Code of Medical Ethics dengan landasan idiil Pancasila dan landasan strukturil Undang-undang Dasar 1945. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini mengatur hubungan antar manusia yang mencakup kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter dengan pasiennya, kewajiban dokter terhadap sejawatnya dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri. 54Pelanggaran terhadap butir-butir Kode Etik Kedokteran Indonesia ada yang merupakan pelanggaran etik sematamata dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik dan sekaligus pelanggaran hukum. Pelanggaran etik tidak selalu berarti pelanggaran hukum, sebaliknya pelanggaran hukum tidak selalu merupakan pelanggaran etik kedokteran. Berikut diajukan beberapa contoh : 55 a.Pelanggaran etik murni 1. Menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan jasa dari keluarga sejawat dokter dan dokter gigi. 2. Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya. 3. Memuji diri sendiri di depan pasien. 4. Tidak pernah mengikuti pendidikan kedokteran yang berkesinambungan. 54
Ibid
55
Ibid
Universitas Sumatera Utara
5. Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri. b.Pelanggaran etikolegal 1.
Pelayanan dokter di bawah standar.
2.
Menerbitkan surat keterangan palsu.
3.
Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter.
4.
Abortus provokatus.
2. Tanggung Jawab Profesi Tanggung jawab profesi dokter berkaitan erat dengan profesionalisme seorang dokter. Hal ini terkait dengan: 56 a. Pendidikan, pengalaman dan kualifikasi lain Dalam menjalankan tugas profesinya seorang dokter harus mempunyai derajat pendidikan yang sesuai dengan bidang keahlian yang ditekuninya. Dengan dasar ilmu yang diperoleh semasa pendidikan di fakultas kedokteran maupun spesialisasi dan pengalamannya untuk menolong penderita. b.Derajat risiko perawatan Derajat risiko perawatan diusahakan untuk sekecil-kecilnya, sehingga efek samping dari pengobatan diusahakan seminimal mungkin. Di samping itu mengenai derajat risiko perawatan harus diberitahukan terhadap penderita maupun keluarganya, sehingga pasien dapat memilih alternatif dari perawatan yang diberitahukan oleh dokter tetapi informasi mengenai derajat perawatan timbul kendala terhadap pasien atau
56
Ibid
Universitas Sumatera Utara
keluarganya dengan tingkat pendidikan rendah, karena telah diberi informasi tetapi dia tidak bisa menangkap dengan baik. 57 c.Peralatan perawatan Perlunya
dipergunakan
pemeriksaan
dengan
menggunakan
peralatan
perawatan, apabila dari hasil pemeriksaan luar kurang didapatkan hasil yang akurat sehingga diperlukan pemeriksaan menggunakan bantuan alat. Namun tidak semua pasien bersedia untuk diperiksa dengan menggunakan alat bantu, hal ini terkait erat dengan biaya yang harus dikeluarkan bagi pasien golongan ekonomi lemah.
3. Tanggung Jawab Hukum
Tanggung jawab hukum dokter adalah suatu “keterikatan” dokter terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya. Tanggung jawab seorang dokter dalam bidang hukum terbagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu: 58
a. Tanggung jawab Hukum Dokter Dalam Bidang Hukum Perdata 1.Tanggung Jawab Hukum Perdata Karena Wanprestasi Pengertian wanprestasi ialah suatu keadaan dimana seseorang telah lalai memenuhi kewajibannya yang diharuskan oleh Undang-undang perikatan hukum. Jadi Wanprestasi merupakan akibat dari pada tidak dipenuhinya perikatan hukum. 59
57
Ibid
58
Ninik Maryati, 1998,Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana Dan Perdata,Jakarta:PT Bina Aksara, hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
Ada 4 macam bentuk Wanprestasi yaitu: 60 1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali 2. Terlambat memenuhi prestasi 3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sempurna 4. Melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban atau isi perikatan Apakah yang dapat dituntut dari seorang yang lalai? 61 Siberpiutang dapat memilih antara berbagai kemungkinan: Pertama, ia dapat memilih pelaksanaan perjanjian, meskipun pelaksanaan ini sudah terlambat. Kedua, ia dapat meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang dideritanya, karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya. Ketiga, ia dapat menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan penggantian kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian. Keempat, dalam hal suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal balik, kelalaian satu pihak memberikan hak pada pihak lainnya untuk meminta pada hakim supaya perjanjian dibatalkan, disertai dengan permintaan penggantian kerugian. Pada
dasarnya
pertanggungjawaban
perdata
itu
bertujuan
untuk
memperoleh ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh pasien akibat adanya
59
Komariah, 2008, Hukum Perdata, Malang:UMM Press, hal. 149.
60
Ibid.,hal 150.
61
Subekti, 1994, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta:PT Intermasa, hal. 147.
Universitas Sumatera Utara
Wanprestasi atau perbuatan melawan hukum dari tindakan dokter.
62
Menurut
pasal 1426 KUHPerdata ganti rugi yang dapat dibebankan jika terjadi Wanprestasi adalah: 63 1. Kerugian yang nyata-nyata diderita kreditur yang disebut dengan Damnun Emergens; 2. Keuntungan yang seharusnya diperoleh yang disebut Lucrum Cegans; Pada asasnya bentuk dari ganti rugi yang lazim dipergunakan ialah uang, oleh karena menurut ahli-ahli hukum perdata maupun yurisprudensi, uang merupakan alat yang paling praktis, yang paling sedikit menimbulkan selisih dalam menyelesaikan suatu sengketa. Selain uang masih ada bentuk-bentuk lain yang diperlukan sebagai bentuk ganti rugi yaitu pemulihan keeadaan semula (innatura) dan larangan untuk mengulangi. Keduanya ini kalau tidak ditepati dapat diperkuat dengan uang paksa. Jadi harus diingat bahwa uang paksa bukan merupakan bentuk atau wujud ganti rugi. 64 Gugatan untuk membayar ganti rugi atas dasar persetujuan atau perjanjian yang terjadi hanya dapat dilakukan bila memang ada perjanjian dokter dengan pasien. Perjanjian tersebut dapat digolongkan sebagai persetujuan untuk melakukan atau berbuat sesuatu. Perjanjian itu terjadi bila pasien memanggil dokter atau pergi ke dokter, dan dokter memenuhi permintaan pasien untuk mengobatinya. Dalam hal ini pasien akan membayar sejumlah honorarium. 62
Endang Kusumah Astuti, Op.Cit.,hal .11.
63
Ibid., hal 150.
64
Mariam Darus Dadrulzaman, 1983, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Bandung:Penerbit Alumni, hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan dokter sebenarnya harus melakukan prestasi menyembuhkan pasien dari penyakitnya. Tetapi penyembuhan itu tidak pasti selalu dapat dilakukan sehingga seorang dokter hanya mengikatkan dirinya untuk memberikan bantuan sedapat-dapatnya, sesuai dengan ilmu dan ketrampilan yang dikuasainya. Artinya, dia berjanji akan berdaya upaya sekuat-kuatnya untuk menyembuhkan pasien. 65 Dalam gugatan atas dasar wanprestasi ini, harus dibuktikan bahwa dokter itu benar-benar telah mengadakan perjanjian, kemudian dia telah melakukan wanprestasi terhadap perjanjian tersebut (yang tentu saja dalam hal ini senantiasa harus didasarkan pada kesalahan profesi). Jadi di sini pasien harus mempunyai bukti-bukti kerugian akibat tidak dipenuhinya kewajiban dokter sesuai dengan standar profesi medis yang berlaku dalam suatu kontrak terapeutik. Tetapi dalam prakteknya tidak mudah untuk melaksanakannya, karena pasien juga tidak mempunyai cukup informasi dari dokter mengenai tindakan-tindakan apa saja yang merupakan kewajiban dokter dalam suatu kontrak terapeutik. Hal ini yang sangat sulit dalam pembuktiannya karena mengingat perikatan antara dokter dan pasien adalah bersifat inspaningsverbintenis. 2. Tanggung
Jawab
Perdata
Dokter
66
Karena
Perbuatan
Melanggar
Hukum
(onrechtmatige daad)
65 66
Endang Kusumah Astuti, Op.Cit., hal. 12. Ibid
Universitas Sumatera Utara
Tanggung
jawab
karena
kesalahan
merupakan
bentuk
klasik
pertanggungjawaban perdata. Berdasar tiga prinsip yang diatur dalam Pasal 1365, 1366, 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.yaitu sebagai berikut : 67 a.Berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pasien dapat menggugat seorang dokter oleh karena dokter tersebut telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum, seperti yang diatur di dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Didalam Pasal 1365 dinyatakan bahwa “Setiap perbuatan yang melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian. 68 Unsur-unsur yang tersimpul dari perumusan pasal 1365 adalah: 1. Adanya tindakan atau perbuatan 2. Perbuatan itu harus melawan hukum (onrecht matigedaad) 3. Pelakunya mempunyai unsur salah 4. Tindakan atau perbuatan itu menimbulkan kerugian b. Berdasarkan Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Seorang dokter selain dapat dituntut atas dasar wanprestasi dan melanggar hukum seperti tersebut di atas, dapat pula dituntut atas dasar lalai, sehingga menimbulkan kerugian. Gugatan atas dasar kelalaian ini diatur dalam Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang bunyinya sebagai berikut : “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena 67
Ibid
68
J.Satrio, 1993, Hukum Perikatan, Bandung:PT Citra Aditya Bakti, hal. 139.
Universitas Sumatera Utara
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”. 69 c.Berdasarkan Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Seseorang harus memberikan pertanggungjawaban tidak hanya atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakan orang lain yang berada di bawah pengawasannya. (Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). 70 Dengan demikian maka pada pokoknya ketentuan Pasal 1367 BW mengatur mengenai pembayaran ganti rugi oleh pihak yang menyuruh atau yang memerintahkan sesuatu pekerjaan yang mengakibatkan kerugian pada pihak lain tersebut. Apabila kita simpulkan maka dari segi hukum perdata, tanggung jawab tersebut dapat mengandung beberapa aspek yaitu dapat ditimbulkan karena “wanprestasi” (tidak memenuhi prestasi), karena perbuatan melanggar hukum (onrecht matigedaad), dapat juga karena kurang hati-hatinya mengakibatkan matinya orang (moedwillige/onrecht matigedoodslag) dan juga karena kurang hati-hatinya mengakibatkan cacat badan (het veroorzichtige van lichame lijke letsel). Apabila wanprestasi maka ketentuan peraturannya terdapat dalam pasal 1243-1289 KUHPerdata, sedangkan kalau Onrecht Matigedaad dalam pasal 1365-1366 KUHPerdata, karena kurang hati hati menyebabkan mati terdapat
69
Endang Kusumah Astuti,Op.Cit.,hal. 13.
70
Ibid
Universitas Sumatera Utara
dalam pasal 1370 KUHPerdata, dan apabila mengakibatkan cacat badan pasal 1371 KUHPerdata. 71 b.Tanggung jawab Hukum Dokter Dalam Bidang Hukum Pidana
Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, dalam perkembangan selanjutnya timbul permasalahan tanggung jawab pidana seorang dokter, khususnya yang menyangkut dengan kelalaian, hal mana dilandaskan pada teori-teori kesalahan dalam hukum pidana. Tanggung jawab pidana di sini timbul bila pertama-tama dapat dibuktikan adanya kesalahan profesional, misalnya kesalahan dalam diagnosa atau kesalahan dalam cara-cara pengobatan atau perawatan. 72 Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai criminal malpractice apabila memenuhi rumusan delik pidana yaitu : Perbuatan tersebut harus merupakan perbuatan tercela dan dilakukan sikap batin yang salah yaitu berupa kesengajaan, kecerobohan atau kelapaan. Kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan dapat terjadi di bidang hukum pidana, diatur antara lain dalam : Pasal 263, 267, 294 ayat (2), 299, 304, 322, 344, 347, 348, 349, 351, 359, 360, 361, 531 Kitab UndangUndang Hukum Pidana. 73 Ada perbedaan penting antara tindak pidana biasa dengan ‘tindak pidana medis’. Pada tindak pidana biasa yang terutama diperhatikan adalah ‘akibatnya’, 71
Hermien Hadiati Koeswadji, 1984, Hukum dan Medik, Surabaya:Airlangga University Press, hal. 36. 72
Endang Kusumah Astuti, Op.Cit., hal .14
73
Ibid
Universitas Sumatera Utara
sedangkan pada tindak pidana medis adalah ‘penyebabnya’. Walaupun berakibat fatal, tetapi jika tidak ada unsur kelalaian atau kesalahan maka dokternya tidak dapat dipersalahkan. 74 Beberapa contoh dari criminal malpractice yang berupa kesengajaan adalah melakukan aborsi tanpa indikasi medis, membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan seseorang yang dalam keadaan emergency, melakukan eutanasia, menerbitkan surat keterangan dokter yang tidak benar, membuat visum et repertum yang tidak benar dan memberikan keterangan yang tidak benar di sidang pengadilan dalam kapasitas sebagai ahli. Dalam literatur hukum kedokteran negara Anglo-Saxon antara lain dari Taylor dikatakan bahwa seorang dokter baru dapat dipersalahkan dan digugat menurut hukum apabila dia sudah memenuhi syarat 4 – D, yaitu : Duty (Kewajiban), Derelictions of That Duty (Penyimpangan kewajiban), Damage (Kerugian), Direct Causal Relationship (Berkaitan langsung). 75 Duty atau kewajiban bisa berdasarkan perjanjian (ius contractu) atau menurut undangundang (ius delicto) adalah kewajiban dokter untuk bekerja berdasarkan standar profesi serta kewajiban dokter untuk memperoleh informed consent, dalam arti wajib memberikan informasi yang cukup dan mengerti sebelum mengambil tindakannya. Informasi itu mencakup antara lain : risiko yang melekat pada tindakan, kemungkinan timbul efek sampingan, alternatif lain jika ada, apa akibat jika tidak dilakukan dan sebagainya. Peraturan tentang persetujuan tindakan medis
74
Chrisdiono M. Achadiat,Opcit., hal. 23
75
Endang Kusumah Astuti,Op.Cit., hal .15
Universitas Sumatera Utara
(informed consent) sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585 Tahun 1989. 76 Penentuan bahwa adanya penyimpangan dari standar profesi medis (Dereliction of The Duty) adalah sesuatu yang didasarkan atas fakta-fakta secara kasuistis yang harus dipertimbangkan oleh para ahli dan saksi ahli. Namun sering kali pasien mencampur adukkan antara akibat dan kelalaian. Bahwa timbul akibat negatif atau keadaan pasien yang tidak bertambah baik belum membuktikan adanya kelalaian. Kelalaian itu harus dibuktikan dengan jelas. Harus dibuktikan dahulu bahwa dokter itu telah melakukan ‘breach of duty’. 77 Damage berarti kerugian yang diderita pasien itu harus berwujud dalam bentuk fisik, finansial, emosional atau berbagai kategori kerugian lainnya, di dalam kepustakaan dibedakan : Kerugian umum (general damages) termasuk kehilangan pendapatan yang akan diterima, kesakitan dan penderitaan dan kerugian khusus (special damages) kerugian finansial nyata yang harus dikeluarkan, seperti biaya pengobatan, gaji yang tidak diterima. 78 Sebaliknya jika tidak ada kerugian, maka juga tidak ada penggantian kerugian. Direct causal relationship berarti bahwa harus ada kaitan kausal antara tindakan yang dilakukan dengan kerugian yang diderita.
c.Tanggung jawab Hukum Dokter Dalam Bidang Hukum Administrasi
76
Ibid
77
Ibid., hal. 16.
78
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Dikatakan pelanggaran administrative malpractice jika dokter melanggar hukum tata usaaha negara. Contoh tindakan dokter yang dikategorikan sebagai administrative malpractice adalah menjalankan praktek tanpa izin, melakukan tindakan medis yang tidak sesuai dengan izin yang dimiliki, melakukan praktek dengan menggunakan izin yang sudah daluwarsa dan tidak membuat rekam medis. 79Tindakan administrative dapat berbentuk tegoran (lisan atau tertulis), mutasi, penundaan kenaikan pangkat, penurunan jabatan, skorsing bahkan sampai pemecatan. 80 Menurut peraturan yang berlaku, seseorang yang telah lulus dan diwisuda sebagai dokter tidak secara otomatis boleh melakukan pekerjaan dokter. Ia harus lebih dahulu mengurus lisensi agar memperoleh kewenangan, dimana tiap-tiap jenis lisensi memerlukan basic science dan mempunyai kewenangan sendirisendiri. Tidak dibenarkan melakukan tindakan medis yang melampaui batas kewenangan yang telah ditentukan. Meskipun seorang dokter ahli kandungan mampu melakukan operasi amandel namun lisensinya tidak membenarkan dilakukan tindakan medis tersebut. Jika ketentuan tersebut dilanggar maka dokter dapat dianggap telah melakukan administrative malpractice dan dapat dikenai sanksi administratif, misalnya berupa pembekuan lisensi untuk sementara waktu.81
79
Ibid
80
Amrah Muslim, 1985, Beberapa azas dan pengertian pokok tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Bandung, hal 140 81
Endang Kusumah Astuti,Op.Cit., hal .15
Universitas Sumatera Utara
Pasal 11 Undang-Undang No. 6 Tahun 1963, sanksi administratif dapat dijatuhkan terhadap dokter yang melalaikan kewajiban, melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang dokter, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai dokter, mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh dokter dan melanggar ketentuan menurut atau berdasarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 1963. 82
d.Tanggung jawab Hukum Dokter Menurut UU Perlindungan Konsumen Sebagai pihak penerima pelayanan kesehatan pasien dapat dikategorikan sebagai konsumen pengguna jasa yang diberikan oleh tenaga kesehatan (dalam hal ini dokter). Sementara itu, dokter dapat dikategorikan sebagai pelaku usaha di bidang jasa, yaitu jasa dalam pelayanan kesehatan.
83
Hubungan antara konsumen
dengan pelaku usaha di Indonesia diatur dalam UU No.8 Tahun1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen). Hubungan antara dokter dengan pasien dalam perjanjian terapeutik merupakan pemberian jasa pelayanan di bidang kesehatan oleh dokter kepada pasien. Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Pasal 1 angka 5 UU Perlindungan Konsumen menentukan bahwa “Jasa adalah setiap layanan yang 82
83
Ibid Y.A. Triana Ohoiwutun,Op.Cit.,hal71.
Universitas Sumatera Utara
berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen”. 84 Jika dihubungkan dengan proses produksi di dunia usaha maka hubungan antara dokter dengan pasien merupakan hubungan antara produsen dengan konsumen. Mengingat sifat khas dalam perjanjian terapeutik yaitu bergerak dalam bidang pemberian jasa pelayanan kesehatan yang tidak pasti hasilnya maka sebagai konsumen penerima jasa pelayanan kesehatan, pasien berhak untuk menuntut dokter aras kerugian yang ditimbulkan akibat kesalahan yang dilakukan oleh dokter berdasarkan UU Perlindungan Konsumen. Pasal 19 ayat 1 UU Perlindungan Konsumen menetukan bahwa “pelaku usaha bertanggung jawab untuk memberi kan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Berdasarkan pasal 19 ayat 1 UU Perlindungan Konsumen, kerugian yang diderita pasien akibat tindakan medis yang dilakukan oleh dokter dapat dituntut berupa sejumlah ganti rugi. 85 Ganti kerugian yang dapat diminta oleh pasien menurut Pasal 19 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dari aspek hukum ketentuan pasal 19 ayat 2 UU Perlindungan Konsumen, sanksi berupa ganti kerugian merupakan sanksi di 84
Ibid
85
Ibid .,hal. 72.
Universitas Sumatera Utara
bidang hukum perdata. Dengan demikian, jika diselesaikan menurut jalur hukum, maka mmekanisme penyelesaiannya juga menurut hukum perdata. Pemberian sejumlah ganti rugi akibat kesalahan dalam pelayanan kesehatan seperti ditentukan dalam pasal 19 ayat 4 UU Perlindungan Konsumen, tidak secara langsung dapat menghilangkan sifat dapat dituntutnya menurut hukum pidana terhadap dokter sebagai pelaku usaha jasa. Dengan demikian, meskipun sejumlah ganti rugi yang dituntut oleh pasien telah dipenuhi oleh dokter, tetapi dokter tetap dapat dituntut secara pidana. Selengkapnya pasal 19 ayat 4 UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan 2 tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. 86 Meskipun demikian, dokter tidak dapat dituntut untuk memberikan ganti rugi apabila dokter dapat membuktikan bahwa kerugian yang diderta pasien bukan karena kesalahannya, melainkan karena kesalahan pasien. Hal ini diatur dalam pasal 19 ayat 5 UU Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan 2 tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
e.Tanggung Jawab Hukum Dokter Menurut UU Praktik Kedokteran Pasal 88 UU Praktik Kedokteran yang disahkan pada tanggal 6 Oktober 2004 menyatakan mulai berlaku satu tahun setelah diundangkan. Sementara itu
86
Ibid., hal 73.
Universitas Sumatera Utara
pasal 85 UU Praktik Kedokteran mencabut berlakunya Pasal 54 UU Kesehatan sebagai berikut: 87 1. Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin. 2. Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan. 3. Ketentuan mengenai pembentukan, tugas, dan tata kerja Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan ditetapkan dengan keputusan presiden. Pasal 63 UU Praktik Kedokteran menentukan bahwa pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dipilih dan ditetapkan oleh rapat pleno anggota. Tugas Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia ditentukan dalam pasal 64 UU Praktik Kedokteran sebagai berikut: 88 1. Menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan. 2. Menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi. Berdasarkan ketentuan pasal 64 UU Praktik Kedokteran, apabila terjadi kesalahan yang melibatkan pelayanan kesehatan oleh dokter maka pengaduan diajukan kepada Majelia Kehormatan Disiplinb Kedokteran Indonesia. Pengaduan berhubungan dengan kesalahan dalam pelaksanaan tugas dokter ditentukan dalam pasal 66 ayat 1 UU Praktik Kedoktreran yang menyatakan bahwa setiap orang 87
Ibid.,hal 74.
88
Ibid .,hal 75.
Universitas Sumatera Utara
yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. 89 Disamping dapat mengadukan kerugian yang dideritanya kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, pihak yang dirugikan atas kesalahan pelayanan dokter juga dapat melaporkan tentang adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian secara perdata ke pengadilan.Langkah-langkah yang dapat dilakukan menurut UU Praktik Kedokteran berhubungan dengan kesalahan pelayanan kesehatan yang dilakukan dokter terhadap pasien adalah sebagai berikut: 90 1.Pengaduan dapat dilakukan oleh setiap orang, yaitu orang yang secara langsung mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, termasuk korporasi yang dirugikan kepentingannya. 2.Pengaduan ditujukan kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia secara tertulis, namun apabila pihak pengadu tudak dapat mengajukan pengaduan secara tertulis maka pengaduan dapat dilakukan secara lisan. 3.Pengajuan pengaduan kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran dapat dilakukan bersamaan dengan penuntutan hukum secara pidana maupun digugat secara perdata ke pengadilan.
89
Ibid
90
Ibid .,hal 76.
Universitas Sumatera Utara
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran berwenang untuk memeriksa dan memberikan keputusan atas pengaduan yang diterima. Apabila ditemukan adanya pelanggaran etika berdasarkan kode etik maka Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran yang akan meneruskan pengaduan pada organisasi profesi. Meskipun demikian dugaan kesalahan yang dilakukan oleh dokter dalam menjalankan profesi tidak sekaligus menghilangkan proses verbal yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, baik secara perdata maupun pidana. 91
91
Ibid
Universitas Sumatera Utara