ASPEK HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK ANTARA DOKTER DAN PASIEN* Oleh: Bismar Nasution**
P
ertemuan Ilmiah dalam “Seminar Aspek Hukum Penyelesaian Sengketa Medik Dokter dan Pasien” hari ini merupakan wacana satu sisi dari bagian dua disiplin yang tertua, yaitu antara Hukum (themis) dan Medis (Aesculapius), sekaligus mengkaji jalan keluar atas sengketa antara dokter dan pasien menurut “Hukum Medis” (“Medical Law”), yaitu “the study of the judicial relations to which the doctor is party, is a part of health law”.1 Dalam Konteks ini “Hukum Kesehatan” (“Health Law”) dapat dirumuskan semua peraturan hukum yang berhubungan langsung pada pemberian pelayanan kesehatan dan penerapannya kepada hukum perdata, hukum administrasi dan hukum pidana.2 Berdasarkan batasan hukum kesehatan di atas, terlihat hukum berkenaan dengan kesehatan belum menyatu secara utuh. Sebab peraturannya tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Akibatnya hukumnya yang berlaku sekarang masih terlalu umum serta belum dapat menjangkau secara menyeluruh masalah-masalah berkaitan dengan praktek kedokteran. Bila diamati dari aspek hukum perdata (K.U.H.Perdata), hukum administrasi, hukum pidana (K.U.H.P), dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1992 tentang Kesehatan, bahkan juga Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, belum cukup mengatur praktek kedokteran. Khususnya pengaturan hubungan antara dokter sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan (health care provider) dengan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan (health care receiver). Tambahan lagi, ketidakcukupan pengaturannya dapat pula dilihat dari tidak adanya ketentuan “penyelesaian sengketa alternatif” ( “alternative dispute resolution” – “ADR”) bagi penyelesaian sengketa medik antara dokter dan pasien. Padahal, kehadiran ADR dalam berbagai transaksi di masyarakat sebagaimana terlihat di negeri ini telah diatur. Apalagi kehadiran ADR itu berkembang pesat setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Selanjutnya, dari sisi kelembagaan telah ada “Badan Arbitrase Nasional Indonesia” (“BANI”), “Badan Arbitrase Muamalat Indonesia” (“BAMUI”), “Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia” (“BAPMI”). Kehadiran ADR itu dapat pula diamati dari upaya Pemerintah mendirikan Prakarsa Jakarta dengan pola mediasi sebagai dasar utama restrukturisasi. Pola mediasi itu pula telah diterapkan dalam penyelesaian sengketa perburuhan melalui sistim tri partit. Juga telah muncul Penyelesaian Perselisihan antara Nasabah dan Pialang Berjangka dalam kaitannya dengan tuntutan ganti rugi Nasabah terhadap Dana Kompensasi yang dapat diajukan kepada Bursa Berjangka Jakarta. Dalam dunia asuransi, Dewan Asuransi Indonesia dan Menteri Keuangan telah membuat pola mediasi dalam penyelesaian sengketa antara nasabah dan perusahaan asuransi. Sementara itu, dalam dunia perbankan Bank Indonesia telah menetapkan lembaga mediasi untuk menyelesaikan sengketa antara nasabah dan bank, yang sekarang ini akan kita tingkatkan menjadi lembaga mediasi yang independen. * Disampaikan pada Seminar Aspek Hukum Penyelesaian Sengketa Medik Dokter dan Pasien, diselenggarakan oleh Universitas Sumatera Utara dalam rangka Dies Natalis USU ke 54, Senin, 14 Agustus 2006. ** Mendapat Sarjana Hukum dari USU (1983), Magister Hukum dari Universitas Indonesia (1994), Doktor dari Universitas Indonesia (2001), Guru Besar Hukum Ekonomi Fakultas Hukum USU (2004), Dosen Fakultas Hukum USU Medan, tahun 1987– sekarang, Dosen Pascasarjana Hukum USU Medan, tahun 1999–sekarang, Dosen Magister Manajemen Pascasarjana USU Medan, tahun 2002, Dosen Magister Kenotariatan Pascasarjana USU Medan, tahun 2002-sekarang, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Univ. Pancasila Jakarta, tahun 2001–sekarang, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Univ. Krisnadwipayana Jakarta, tahun 2001–2002, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM), Jakarta, tahun 2003-sekarang. Magister Hukum Pascasarjana Universitas Islam, Jakarta, tahun 2004-sekarang. Dosen Magister Hukum Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta, 2005. Dosen Penguji dan Pembimbing Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, tahun 2002-sekarang. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Tahun 2006-sekarang 1 Van der Mijn, Medical Liability (Issues of Health Law), (Jakarta: BPHN, 1987), hal. 1 2 H.J.J. Leenen, Gezondheidszorg en Recht, (Alphen aan den Rijn: Samson Uitgevery, 1981), hal. 1
1
ADR itu telah dikenal sejak dahulu, Pasal 130 HIR menentukan setiap sidang perdata, hakim terlebih dahulu mengupayakan adanya perdamaian (dading) oleh dan antara para pihak yang bersengketa. Sekarang ini telah keluar Peraturan Mahkamah Agung (PERMA MA) yang mendukung Hakim sebagai mediator aktif. Oleh karena itu kita harus membuat wacana lahirnya ADR atau lembaga mediasi dalam penyelesaian sengketa medik antara dokter dan pasien. Hal itu perlu, mengingat munculnya beberapa sengketa medik atau permasalahan hukum dalam hubungan antara dokter dan pasien. Mengingat pula ADR itu bersifat universal dan di dukung budaya hukum berbagai bangsa di dunia.
PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF Syariah Islam telah menentukan penyelesaian sengketa alternatif melalui mediasi. Bila terjadi sengketa para pihak dalam suatu keluarga, maka Qur’an menetapkan keluarga kedua belah pihak yang bersengketa mengambil inisiatif untuk menyelesaikan sengketa tersebut, dimana ditunjuk hakam (mediator) sebagai wakilwakil kedua belah pihak. Allah SWT berfirman, “Bila kalian khawatir perpecahan di antara mereka berdua, maka utuslah seorang hakam (wasit) dari pihak keluarga pria dan seorang hakam dari pihak keluarga wanita. Bila keduanya menginginkan perdamaian perdamaian, maka Allah akan memberikan taufik kepada mereka berdua. Allah itu sesungguhnya Maha Tahu, Maha Adil.”3 Berkenaan dengan itu, menarik untuk diamati sikap Umar bin Khattab yang menyuruh menunjuk seseorang untuk menjadi hakam yang akan bertindak sebagai mediator di antara dirinya dengan penjual kuda yang bersengketa dengan dirinya. Bila diamati pula sikap Umar itu, terlihat filosofi tindakannya adalah untuk berdamai agar tidak muncul rasa benci di antara para pihak yang bersengketa. Di Jepang pada zaman Tokugawa, telah menerapkan konsiliasi (chotei) sebagai penyelesaian sengketa alternatif. Selanjutnya dituangkan dalam bentuk Undang-Undang Konsiliasi Perdata atau “Minji Chotei Ho” pada tahun 1951.4 Di samping itu, baik Cina dan Jepang sejak lama mengenal mediasi juga sebagai penyelesaian sengketa alternatif. Hal ini sejalan dengan kultur masyarakat Cina tidak suka kepada Pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa. Di sini sengketa-sengketa perdata diselesaikan melalui mediator. Untuk priode yang cukup panjang di zaman Cina kuno terdapat kontroversi antara kaum Confucius dan Legalist mengenai bagaimana mengatur masyarakat. Di satu pihak, kaum Confucius menekankan pentingnya ditegakkan prinsip-prinsip berdasarkan moral (LI). Sedangkan kaum Legalist memandang perlunya aturanaturan hukum tertulis yang pasti (FA).5 Rakyat kebanyakan sadar dan menerima ikatan-ikatan moral yang berlaku lebih banyak akibat pengaruh sanksi sosial daripada karena dipaksakan oleh hukum yang berlaku. Oleh karenanya clan, gilda, dan kelompok golongan terkemuka (gentry) menjadi institusi hukum yang informal dalam menyelesaikan sengketa-sengketa dalam masyarakat Cina tradisional. Kepala clan, gilda dan tokoh masyarakat menjadi penengah (mediator) dalam sengketa-sengketa yang timbul dan bila perlu mengenakan sanksi disipliner dan denda. Confuciusnisme yang mengartikan FA sebagai hukuman (HSING), bukan merupakan cara yang baik untuk menjaga ketertiban sosial. Oleh karena itu, masuk akal , jika masyarakat Cina tradisional enggan membawa persengketaan di antara mereka ke depan pengadilan yang resmi, karena hubungan yang harmonis bukan konflik mendapatkan tempat yang tinggi di masyarakat.6 Pengalaman Jepang setelah Tokugawa, tepatnya pada era Restorasi Meiji tahun 1868 Jepang telah berhubungan dengan dunia Barat, dimana orang-orang Jepang berangkat untuk belajar, misalnya ke Jerman mempelajari antara lain perdagangan maritim. Tahun 1895 Jepang menjadi negara modern dan telah menganut sistim hukum modern. 7 Namun, pada saat sekarang ini Jepang dihadapkan dengan gelombang globalisasi, yang merupakan gelombang ketiga reformasi hukum secara besar-besaran setelah modernisasi Meiji. Globalisasi ekonomi Jepang membuat ‘sistim’ tradisional menjadi besar dan juga kini membutuhkan sistim baru yang menunjukkan standar global. Aktivitas perdagangan dan bisnis Jepang, baik di dalam dan
Qur’an, (an-Nisa 35). Hideo Tanaka, ed, The Japanese Legal System, (Tokyo: University of Tokyo Press, 1988), hal. 492. 5 Lihat. Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama, 2000), hal. 105. Lihat juga. Derk Bodle dan Clarence Morris, Law In Imperial China, (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1973), hal. 23. 6. Lihat. Chung-Li Chang, The Chinese Centry: On Their Role In 19TH Century Chinese Society, (Seatle: University of Washington Press, 1955), hal. 63. Lihat juga. Erman Rajagukguk, Op. cit, hal. 105-106 7 Lihat. Dan Fenno Henderson, Conciliation and Javanese Law: Tokugawa and Modern, (Tokyo: University of Tokyo Press, 1965), hal. 47. 3
4
2
luar Jepang, telah membuat makin banyak sengketa perdagangan dalam lingkup cross-border. Oleh karena itu, metode penyelesaian sengketa dalam perdagangan harus dikaji sesuai dengan standar global.8 Salah satu model penyelesaian sengketa yang berkembang adalah arbitrase, tetapi konsep arbitrase dapat ditafsirkan secara berbeda oleh setiap kultur dan arbitrasi tidak dapat ditujukan menyelesaikan sengketa yang melibatkan konflik kultural.9 Tradisi Jepang bersama dengan Cina dan negara-negara Asia Timur lainnya yang dipengaruhi oleh filosofi Confucian, memiliki kultul konsiliatori (conciliatory culture), dimana mediasi atau konsiliasi sudah lama diakui sebagai mekanisme yang lebih cocok untuk penyelesaian sengketa.10 Hal ini sejalan dengan kultur Jepang yang menekankan keharmonisan, yang pada gilirannya mempengaruhi untuk mengutamakan mediasi dan konsiliasi dan bukan litigasi.11 Menurut pengamatan Yosunobu Sato, efisiensi penyelesaian sengketa yang lain, seperti arbitrase, sekarang ini dipertanyakan keberadaannya. Sebab sama dengan litigasi, tidak fleksibel, mahal dan memakan waktu lama.12 Dengan demikian menurut Sato, sekarang ini tipe mediasi dan konsiliasi yang biasanya ditemukan dalam tradisi Asia Timur telah diambil sebagai alternatif atau pelengkap terhadap proses arbitrase sebagai suatu pola ADR. Cina, Hongkong, Korea dan Singapore secara formal telah mengadopsi sistim konsiliasi. Bahkan, bukan saja negara-negara Asia Timur, tetapi juga beberapa negara lain, termasuk negara-negara yang menganut common law telah memadukan penyelesaian mediasi dan konsiliasi tersebut.13 Penerapan ADR di Amerika Serikat yang pada umumnya merujuk kepada alternatif-alternatif adjudikasi pengadilan atas konflik, seperti negosiasi, mediasi, arbitrasi, mini-trial dan summary jury trial,14 dilatarbelakangi oleh faktor-faktor gerakan reformasi pada awal tahun 1970, dimana saat itu banyak pengamat dalam bidang hukum dan masyarakat akademis mulai merasa keprihatinan serius mengenai efek negatif yang semakin meningkat dari litigasi. Legislasi yang dilaksanakan pada tahun 1960 telah menjamin berbagai perlindungan individu dari hak-hak konsumen sampai hak sipil. Namun, perjuangan untuk mendapatkan hakhak tersebut melalui sistim hukum sudah menjadi beban yang rumit. Oleh karena itu, orang mulai mencari alternatif terhadap adjudikasi pengadilan atas konflik, seperti court coungestion, biaya hukum yang tinggi dan waktu menunggu di pengadilan telah menjadi cara hidup bagi orang Amerika yang mengupayakan sistim jusial baik secara sukarela (voluntarily) maupun tidak sukarela (involuntarily).15 Istilah ADR yang pertama kalinya lahir di Amerika Serikat seiring dengan pencarian alternatif pada tahun 1976, yaitu ketika “Chief Justice Warren Burger mengadakan the Roscoe E. Pound Conference on the Causes of Popular Dissatisfaction with the Administration of Justice” (“Pound Conference”) di Saint Paul, Minesota. Para akademisi, para anggota pengadilan, dan para public interest lawyer, secara bersama-sama mencari caracara baru dalam menyelesaikan konflik. Pada tahun 1976 itu pula American Bar Association (ABA) mengakui secara resmi gerakan ADR dan membentuk satu Komisi Khusus untuk Penyelesaian Sengketa (Special Committee on Dispute Resolution). Selanjutnya, Fakultas Hukum (Law School) di Amerika Serikat telah menambahkan secara bertahap ADR di dalam kurikulumnya dan sekarang ini Law School tersebut telah memberikan kursus ADR dalam bidang, seperti mediasi dan negosiasi. Beberapa kajian hukum diarahkan untuk studi ADR. Perkembangan ADR itu telah terjadi pula dalam graduate dan business schools.16 Berdasarkan latarbelakang munculnya ADR, baik di Amerika yang didasarkan atas ketidakpuasan (dissatisfaction) masyarakat pada administrasi pengadilan, maupun di negara-negara Asia Timur yang didasarkan pada kultur yang menekankan keharmonisan, seperti kultur Jepang dan Indonesia yang juga mempunyai kultur yang mendukung ADR tersebut. Hal itu telah membuat ADR semakin populer, bahkan berbagai negara telah mengaturnya melalui undang-undang. Misalnya, Indonesia mempunyai Undang8 Yasunobu Sato, “The Japanese Model of Dispute Processing,” Proceedings of the Roundtable Meeting, “Law, Development and Socio-Economic Changes in Asia II,” 19-20 November 2001, Bangkok, hal. 152. 9 Ibid, hal. 156. 10 Ibid. 11 Miwa Yamada, “A Perspective On Comparative Study of DisputeSettlement Institutions and Sicioeconomic Development,” Proceedings of the Roundtable Meeting, “Law, Development and Socio-Economic Changes in Asia II,” 19-20 November 2001, Bangkok, hal. 12Yasunobu Sato, Op. cit, hal. 157. 13 Ibid. 14 Jacqueline M. Nolan-Haley, Alternative Dispute Resolution In A Nutshell, (ST. Paul, Minn: West Publishing Co, 1992), hal. 2. 15 Ibid, hal. 4. 16 Ibid, hal. 5.
3
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 199917 menyebutkan, bahwa alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara komunikasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
METODE ADR Pada umumnya metode ADR sebagai berikut: 1.
Negosiasi, yaitu proses bekerja untuk mencapai suatu perjanjian dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan komunikasi yang sama dinamis dan variasi, serta halus dan bernuansa, sebagaimana keadaan atau yang dapat dicapai orang. Orang melakukan negosiasi dalam situasi yang tidak dapat dihitung, dimana mereka perlu atau ingin sesuatu yang pihak lain dapat memberi dan menahannya; bila mereka ingin untuk mencapai kerja sama, bantuan atau persetujuan dari pihak lain; atau ingin menyelesaikan atau mengurangi sengketa atau konflik.18
2.
Arbitrase, yaitu suatu institusi hukum ADR di luar pengadilan. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menentukan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Menurut pengamatan Sandra Day O’Connor, arbitrase tersebut barangkali adalah bentuk ADR yang paling populer.19 Dalam proses arbitrase, pihak ketiga atau para pihak yang bersifat netral dan akan bertindak sebagai adjudicator atau decision-maker atas suatu kasus. Selanjutnya Ia mengatakan, proses arbitrase tersebut lebih informal dibandingkan dengan pengadilan biasa. Arbitrase sering dilaksanakan di kantor arbiter dan pada umumnya hanya memerlukan waktu dua jam.20
3.
Mediasi, yaitu seperangkat proses yang membantu para pihak yang bersengketa untuk sepakat dengan masalah-masalah tertentu.21 Gary Goodpaster mengatakan bahwa mediasi merupakan proses negosiasi penyelesaian masalah di mana suatu pihak luar, tidak berpihak, netral tidak bekerja bersama pihak yang bersengketa untuk membantu mereka guna mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan. Tidak seperti halnya dengan para hakim dan arbiter, mediator mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara pihak; malahan para pihak memberi kuasa pada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan problem diantara mereka. Selanjutnya Ia mengatakan pula “Asumsi … adalah bahwa pihak ketiga akan dapat mengubah dinamika kekuatan dan sosial atas hubungan konflik dengan mempengaruhi pendapat dan perilaku dari masing-masing pihak, dengan menyediakan pengetahuan atau informasi, atau dengan menggunakan suatu proses negosiasi yang lebih efektif dan dengan itu membantu para peserta untuk menyelesaikan masalah yang sedang diperebutkan.”22 Dalam tahun-tahun belakangan ini pengadilan, masyarakat dan industri semakin mengarah pada mediasi sebagai suatu metode yang lebih disukai dalam penyelesaian jenis sengketa tertentu.23
4.
Konsilisi, yaitu suatu aliansi dari dua pihak atau lebih yang sepakat untuk bergabung dalam tindakan bersama atau terkoordinasi melawan pihak atau koalisi lain.24 Dalam hal ini koalisi mengumpulkan, mengkatalisasi, memediasi dan meneruskan kepentingan.25 Gary Goodpaster mengatakan koalisasi ibaratnya halnya sel otak dalam suatu jaringan netral, koalisi merupakan prosesor titik waktu komunikasi dan juga informasi, dan lewat interaksi, koneksi. Dan efek lapangan mereka, menjadi persilangan pengaruh dan keputusan.26
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Gary Goodpaster, Panduan Negosiasi dan Mediasi, (Jakarta: ELIPS, 1999), hal. 1. 19 Sandra Day O’Connor, “Alternative Dispute Resolution (ADR),” hal, 1, http/igm-07.nlm.nih.gop/egi-biin/VERSON A/10696 O.igm. 20 Ibid. 21 Richard Hill, “Mediation and Lean Arbitration,” hal. 2, http://www. Sover.net/-bieder1/adr.html. 22 Gary Goodpaster, Op. Cit, hal. 241-242. 23 Ibid, hal. 242. 24 Ibid, hal. 165. 25 Ibid, hal. 163. 26 Ibid. 17
18
4
SENGKETA Sengketa terjadi karena adanya perbedaan kepentingan masing-masing para pihak, yaitu bila ada interaksi antara dua orang atau lebih, dimana salah satu pihak percaya bahwa kepentingannya tidak sama dengan kepentingan yang lain.27 Untuk sengketa tersebut, cara terbaik mencegahnya, agar sengketa tidak terjadi adalah menjamin bahwa masing-masing pihak mengetahui apa yang diinginkan pihak lain dan menangkap dengan jelas, misalnya perjanjian tertulis diantara para pihak. Di samping itu, meningkatkan pengetahuan masing-masing pihak tentang kepentingan orang lain akan dapat menurunkan peluang terjadinya suatu sengketa. Perlu diingat bahwa sengketa dapat dengan mudah terjadi, apabila masing-masing pihak tidak saling mengenal antara satu sama lain dan bila mereka memaksakan format bisnisnya yang baru atau bila mereka berasal dari budaya yang berbeda.28 Setidak-tidaknya ada empat cara untuk menyelesaian sengketa. Pertama, satu pihak atau lebih sepakat untuk menerima suatu situasi, dimana kepentingan mereka tidak terpenuhi seluruhnya. Kedua, pihak-pihak mengajukan situasi atau persyaratan secara lengkap kepada orang atau panel, yang akan memutuskan kepentingan mana yang harus dipenuhi dan kepentingan mana yang tidak dipenuhi. Pada umumnya, orang atau panel yang tidak memihak tersebut akan merujuk kepada aturan-aturan atau pedoman yang telah ada dan yang telah disepakati oleh semua pihak atau sedikitnya sudah diketahui oleh semua pihak. Ketiga, persepsi satu pihak atau pihak lain berubah, sehingga tidak ada perbedaan kepentingan. Keempat, kepentingan satu pihak atau pihak yang lain berubah, sehingga tidak ada perbedaan kepentingan.29
ADR DALAM SENGKETA MEDIK Sadar atau tidak sadar, suka atau tidak suka, sengketa medik tidak terlepas dari praktek kedokteran (sengketa medik antara dokter dan pasien). Sengketa medik antara dokter dan pasien mengemuka pembicaraannya di masyarakat setelah terjadinya kasus dr. S di Pati pada tahun 1981. Walaupun kasus-kasus berkenaan dengan medik sudah muncul sejak dahulu, antara lain kasus Djainun, pada tahun 1923 (kelebihan dosis obat), kasus Raad van Justitie, pada tahun 1938 (salah obat), kasus Dr. Blume, pada tahun 1960 (masalah aborsi), kasus Dr. The Fong Lan, pada tahun 1968 (pasca bedah). Sedangkan kasus yang sampai ke pengadilan, antara lain, kasus bayi Wong (salah obat), kasus Andirani, pada tahun 1986 (operasi mata sampai harus amputasi kaki), kasus Pluit, pada tahun 1987 (bedah plastik) dan kasus Chandra, pada tahun 1988 (bedah plastik, anafilaktik shock).30 Di samping itu masih terungkap berbagai kasus yang mengemuka di masss media, yang tidak sampai ke tingkat pengadilan. Sengketa medik antara dokter dan pasien harus diatasi atau diselesaikan, misalnya melalui ADR. Namun, kita harus mengakui adakalanya penyelesaian sengketa medik antara dokter dan pasien melalui ADR tidak berjalan sebagaimana diinginkan. Misalnya dalam sengketa medik, dimana tindakan seorang dokter termasuk mala in se atau perbuatan melawan hukum dan setelah ditelusuri pula terdapat unsur mens rea (guilty mind), yaitu niat untuk berbuat dan terdapat unsur actus reus, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Dengan itu pula sengketa medik tersebut telah dapat dikategorikan sebagai medical malpractice.31 Sebaliknya, penyelesaian sengketa medik antara dokter dan pasien melalui ADR akan dapat berjalan sebagaimana diinginkan, bila tindakan seorang dokter hanya termasuk mala in prohibita, yaitu perbuatan yang dinyatakan melanggar hukum hukum apabila ada aturan yang melarangnya. Sebab sengketa medik demikian hanya dikategorikan sebagai kelalaian (“culva” – “negligence”).32 Penerapan ADR dalam penyelesaian sengketa medik antara dokter dan pasien sangat besar peranannya. Sebab kasus medical malpractice tidak banyak yang sampai ke pengadilan. Pengalaman pula di luar negeri tuntutan dalam sengketa medik tersebut pada umumnya bersifat perdata atau ganti rugi. Di Negara maju, Richard Hill, “Overview of Dispute Resolution,” hal. 1, http/www batnet com/oikoumene/arbined3 html./ Ibid. 29 Ibid. 30 J. Guwandi, Hukum Medik (Medical Law), (Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005), hal. 10. 31 Lihat. Joseph H. King. Jr, The Law of Medical Malpractice, (St. Paul, Minn: West Publishing Co, 1986), hal. 3. 32 Bandingkan. J. Douglas Peters et. al. Anesthesiology and the Law, (Washington: Health Administration Press), hal. 30-31 27
28
5
seperti Amerika Serikat adakalanya pasien dan dokter saling sepakat untuk membawa perkara medical malpractice ke Arbitrase, bukan ke Pengadilan. Bahkan di berbagai Negara Bagian mempunyai UndangUndang yang khusus dirancang untuk perjanjian mengajukan perkara medical malpractice kepada Arbitrase. Hal ini menandakan kesempatan menerapkan ADR dalam penyelesaian sengketa antara dokter dan pasien tersebut diyakini dapat terlaksana. Oleh karena ADR dapat didasarkan pada perjanjian antara dokter dan pasien, selain ditentukan oleh peratruran perundang-undangan melalui lembaga ADR. Pasal 39 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran menyatakan, bahwa “Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.” Dengan ketentuan itu mewajibkan dokter dan pasien mempunyai perjanjian dalam upaya medik atau praktik kedokteran. Perjanjian antara dokter dan pasien dalam praktik kedokteran itu harus dibuat secara tertulis dengan menetapkan satu klausula “Penyelesaian Sengketa, “ biasanya ditentukan bahwa sengketa para pihak diselesaikan melalui “musyawarah,” “mediasi” dan/atau “arbitrase.” Dengan demikian bila terjadi sengketa antara dokter dan pasien akan diselesaikan melalui pengadilan, tetapi melalui musyawarah, mediasi atau arbitrase. Sebab perjanjian antara dokter dan pasien itu wajib mereka patuhi (pacta sunt servanda) dan perjanjian itu merupakan undang-undang bagi dokter dan pasien.
REKOMENDASI Penyelesaian sengketa, melalui sarana pengadilan, memaksa, melihat masalah kebelakang dengan memperhatikan ciri sengketa dan apa yang mendasarkan hak-hak. Dalam hal ini para pihak yang melitigasi suatu sengketa harus melalui prosedur pemutusan perkara yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang ketat dan hak serta kewajiban hukum para pihak. Tambahan lagi, sekarang ini mengemuka berbagai pendapat bahwa demi pemberian kesempatan yang sempurna bagi pencari keadilan, sistim peradilan menjadi kompleks dan panjang, yang kemudian kerap disalahgunakan. Pemberian kesempatan yang luas bagi pencari keadilan sebagai pilar demokrasi, nyaris tidak berhasil mencapai tujuannya. Sukar sekali kita melihat orang yang legowo menerima putusan pengadilan atas dasar bahwa “memang saya salah.” Yang mengemuka adalah “pokonya saya punya hak untuk banding, bahkan kasasi,” Celakanya kasasipun tidak cukup, lalu digunakan sarana peninjauan kembali (“PK”). Padahal PK adalah sarana yang hanya dapat digunakan secara selektif.33 Itulah sebabnya dalam penyelesain sengketa di masyarakat, termasuk transaksi bisnis nasional dan internasional dikembangkan alternatif terhadap sistim peradilan tersebut. Bagi penyelesaian sengketa medik antara dokter dan pasien tepat mengembangkan ADR itu, disamping alasan lemahnya sistim peradilan dari sudut struktural, alasan lainnya adalah perkara sengketa medik tersebut dalam kacamata hukum sangat rumit. Sebab penyelesaian sengketa medik itu tidak terlepas dari pandangan hukum kesehatan yang mencakup dua disiplin sekaligus dan bekerjanya harus memadukan antara bidang hukum dan bidang medis, yang tentunya satu sama lainnya akan mempertahan wilayah keilmuan masing-masing. Apalagi disiplin medis merupakan pelengkap yang harus ada dalam hukum kesehatan. Untuk itu, mulailah penyelesaian sengketa medik antara dokter dan pasien melalui ADR (mediasi dan arbitrase) dari USU (Fakultas Kedokteran), tentunya dengan merangkul IDI dan Menteri Kesehatan RI. Sebab pembenaran lahirnya lembaga mediasi atau arbitrase tersebut dapat dilakukan dengan Peraturan Menteri Kesehatan. Pasal 43 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran menyatakan, bahwa “Ketentuan Lebih Lanjut mengenai pelaksanaan praktik kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.” Melalui ADR dalam sengketa medik itu, yang sifatnya tidak formal, sukarela, melihat kedepan, kooperatif dan berdasar kepentingan, kita yakini sang keadilan akan bisa kita gapai. Amin.*
33 Lihat. Achmad Zen Umar Purba, “Bapmi dan Penyelesaian Sengketa Pasar Modal,” makalah disampaikan pada Ceramah Umum di Program Pascasarjana Ilmu Hukum USU, Medan, tanggal 5 Juli 2003, hal. 1. Lihat juga. Jacqueline M. Nolan-Haley, Alternative Dispute Resolution In A Nutshell, (ST. Paul, Minn: West Publishing Co, 1992), hal. 2.
6
DAFTAR PUSTAKA Achmad Zen Umar Purba, “Bapmi dan Penyelesaian Sengketa Pasar Modal,” makalah disampaikan pada Ceramah Umum di Program Pascasarjana Ilmu Hukum USU, Medan, tanggal 5 Juli 2003, hal. 1. Lihat juga. Jacqueline M. Nolan-Haley, Alternative Dispute Resolution In A Nutshell, (ST. Paul, Minn: West Publishing Co, 1992). Chung-Li Chang, The Chinese Centry: On Their Role In 19TH Century Chinese Society, (Seatle: University of Washington Press, 1955) Dan Fenno Henderson, Conciliation and Javanese Law: Tokugawa and Modern, (Tokyo: University of Tokyo Press, 1965) Derk Bodle dan Clarence Morris, Law In Imperial China, (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1973) Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama, 2000 Gary Goodpaster, Panduan Negosiasi dan Mediasi, (Jakarta: ELIPS, 1999) H.J.J. Leenen, Gezondheidszorg en Recht, (Alphen aan den Rijn: Samson Uitgevery, 1981) Hideo Tanaka, ed, The Japanese Legal System, (Tokyo: University of Tokyo Press, 1988) J. Douglas Peters et. al. Anesthesiology and the Law, (Washington: Health Administration Press) J. Guwandi, Hukum Medik (Medical Law), (Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005) Jacqueline M. Nolan-Haley, Alternative Dispute Resolution In A Nutshell, (ST. Paul, Minn: West Publishing Co, 1992). Joseph H. King. Jr, The Law of Medical Malpractice, (St. Paul, Minn: West Publishing Co, 1986) Miwa Yamada, “A Perspective On Comparative Study of DisputeSettlement Institutions and Sicioeconomic Development,” Proceedings of the Roundtable Meeting, “Law, Development and Socio-Economic Changes in Asia II,” 19-20 November 2001, Bangkok Qur’an, (an-Nisa 35). Richard Hill, “Mediation and Lean Arbitration,” hal. 2, http://www. Sover.net/-bieder1/adr.html. ____,“Overview of Dispute Resolution,” hal. 1, http/www batnet com/oikoumene/arbined3 html./ Sandra Day O’Connor, “Alternative Dispute Resolution (ADR),” hal, 1, http/igm-07.nlm.nih.gop/egi-biin/VERSON A/10696 O.igm. Van der Mijn, Medical Liability (Issues of Health Law), (Jakarta: BPHN, 1987) Yasunobu Sato, “The Japanese Model of Dispute Processing,” Proceedings of the Roundtable Meeting, “Law, Development and Socio-Economic Changes in Asia II,” 19-20 November 2001, Bangkok. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa http/igm-07.nlm.nih.gop/egi-biin/VERSON A/10696 O.igm. http://www. Sover.net/-bieder1/adr.html.
7
8