BAB II GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASI
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai dasar teori yang dianggap relevan dengan permasalahan yang diteliti, yaitu untuk menjelaskan hubungan antara gegar budaya dengan motivasi berprestasi pada mahasiswa perantau di Jurusan Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia angkatan 2009 dan 2010.
A. Gegar Budaya Pada umumnya individu tidak menyadari secara nyata budaya yang mengatur dan membentuk kepribadian dan perilakunya, karena budaya termasuk dalam konstruk psikologis. Ketika individu dipisahkan dari budayanya, baik secara fisik maupun psikis dan menghadapi kondisi yang berbeda atau bertolakbelakang dengan gambaran dan asumsi yang dipercaya sebelumnya, maka pada saat itulah individu menjadi sepenuhnya sadar akan sistem kontrol dari budayanya yang selama ini tersembunyi (Gudykunst dan Kim, 2003). Memasuki budaya yang berbeda membuat individu menjadi orang asing dibudaya tersebut, dimana individu dihadapkan pada situasi yang kebiasaankebiasaannya menjadi diragukan. Hal ini dapat menimbulkan keterkejutan dan stres bahkan depresi. Keterkejutan akan menyebabkan terguncangnya konsep diri dan identitas kultural individu sehingga mengakibatkan kecemasan. Kondisi seperti ini akan menyebabkan individu mengalami gangguan mental dan fisik, setidaknya untuk jangka waktu tertentu. Reaksi terhadap situasi tersebut oleh
12
13
Oberg disebut dengan istilah gegar budaya, sehingga dapat dikatakan bahwa frame pertemuan antar budaya sebagai sumber ketidakpastian dan kecemasan (Gudykunst dan Kim, 2003).
1. Definisi Gegar Budaya Istilah gegar budaya pertama kali dikenalkan oleh seorang antropolog bernama Kalervo Oberg di akhir tahun 1960, yaitu sebagai penyakit yang diderita oleh individu ketika hidup di luar lingkungan kulturnya yang amat berbeda dari kulturnya yang lama dalam usaha untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan barunya tersebut. Istilah ini mengandung pengertian timbulnya rasa frustrasi yang ditandai dengan adanya perasaan cemas, hilangnya arah dan timbul perasaan bingung apa yang harus dilakukan atau tidak tahu bagaimana harus melakukan sesuatu karena ia kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan sosial. Tanda-tanda tersebut meliputi seribu satu cara yang ia lakukan dalam mengendalikan diri sendiri pada saat menghadapi situasi sehari-hari, seperti kapan berjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang, kapan dan bagaimana menerima tip, kapan membuat pernyataan dengan sungguhsungguh dan kapan sebaliknya demikian seterusnya. Dan hal ini terjadi saat individu tersebut tinggal di lingkungan yang memiliki budaya baru dalam jangka waktu relatif lama (Oberg dalam Mulyana dan Rakhmat, 2003). Tanda-tanda yang dimaksud ini dapat berbentuk pola berkomunikasi yang diungkap dalam bentuk kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah, pakaian, kebiasaan-kebiasaan, tradisi atau norma-norma bahkan cara berfikir yang
14
diperoleh sepanjang perjalanan hidup individu tersebut sejak kecil. Bila individu memasuki suatu budaya asing, maka semua atau hampir semua tanda-tanda ini akan lenyap. Hal ini terjadi karena semua simbol-simbol tersebut berbeda antara budaya yang satu dengan yang lainnya, sehingga individu tersebut bagaikan ikan yang keluar dari air dan ia akan kehilangan pegangan dan shock lalu mengalami frustasi bahkan dapat menjadi depresi (Oberg dalam Mulyana dan Rakhmat, 2003). Hal ini juga selaras dengan pernyataan Adler (1975) yang menekankan bahwa gegar budaya adalah suatu rangkaian reaksi emosional sebagai akibat dari hilangnya penguatan (reinforcement) yang selama ini diperoleh dari kulturnya yang lama, diganti dengan stimulus dari kultur baru yang terasa tak memiliki arti, dan karena adanya kesalahpahaman pada pengalaman yang baru dan berbeda. Perasaan ini mungkin meliputi rasa tak berdaya, mudah tersinggung, perasaan takut bahwa orang lain akan berbuat curang padanya karena ketidaktahuannya, perasaan terluka dan perasaan diabaikan oleh orang lain. Gudykunst dan Kim (2003) mengemukakan bahwa gegar budaya adalah reaksi-reaksi yang muncul terhadap situasi dimana individu mengalami keterkejutan dan tekanan karena berada dalam lingkungan yang berbeda, yang menyebabkan terguncangnya konsep diri, identitas kultural dan menimbulkan kecemasan temporer yang tidak beralasan. Dari pernyataan-pernyataan yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa gegar budaya adalah kondisi keterkejutan yang menimbulkan stres atau frustrasi bahkan sampai depresi yang dialami seseorang dalam rangka
15
penyesuaiannya di lingkungan baru yang memiliki kultur berbeda, di mana kebiasaannya yang lama terasa tidak memiliki arti di lingkungan barunya sehingga dapat menurunkan kualitas hidup individu yang bersangkutan. Hal ini tentu juga disebabkan oleh perbandingan jumlah emik yang lebih besar dibanding jumlah etik di lingkungan yang barunya tersebut.
2. Jenis-jenis Perantau Dalam membedakan pengunjung asing (perantau) yang mendatangi suatu lingkungan yang secara kultur berbeda dengan tempat asalnya menurut lamanya ia tinggal diberikan istilah sojourners (pengunjung sementara) dan imigran (orang yang mengambil tempat tinggal tetap).
2.1 Sojourners Menurut Martin and Nakayama (2007), sojourners merupakan pengunjung yang memilih pergi ke lingkungan yang secara budaya berbeda dalam priode waktu yang terbatas dengan maksud dan tujuan tertentu, seperti mahasiswa (pelajar), turis, diplomat, tentara yang sedang ditugaskan ke negeri lain, expatriate bisnis dan missionaris. Lamanya sojourners tinggal di lingkungan barunya tersebut secara umum berkisar antara 6 bulan sampai 5 tahun.
2.2 Imigran Istilah imigran digunakan kepada mereka yang memilih meninggalkan kampung halamannya dengan maksud untuk menetap di negara lain karena alasan
16
tertentu, seperti adanya reunian keluarga, diskriminasi rasial dan demi pengembangan karir (Martin and Nakayama, 2007).
Menurut Bochner (dalam Samovar, 2000), karena respek mereka terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda, maka reaksi mereka pun berbeda. Imigran berada dalam proses membuat komitmen tetap pada masyarakat barunya, sedangkan sojourners berada dalam landasan sementara, meskipun kesementaraannya bervariasi antara turis dalam beberapa hari sampai mahasiswa dalam beberapa tahun dan mereka belum tentu berada dalam proses membuat komitmen tetap pada masyarakat barunya.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gegar Budaya Parrillo (2008) menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi gegar budaya yaitu: 1) Faktor intrapersonal, diantaranya keterampilan komunikasi, pengalaman dalam setting lintas budaya, trait personal (mandiri atau toleransi), dan akses ke sumber daya. Karakteristik fisik seperti penampilan, umur, kesehatan, kemampuan
sosialisasi juga mempengaruhi. Penelitian
menunjukkan umur dan jenis kelamin berhubungan dengan gegar budaya. Individu yang lebih muda cenderung mengalami gegar budaya yang lebih tinggi dari pada individu yang lebih tua dan wanita lebih mengalami gegar budaya daripada pria (Kazantzis dalam Pederson, 1995).
17
2) Variasi budaya mempengaruhi transisi dari satu budaya ke budaya lain. Gegar budaya terjadi lebih cepat jika budaya tersebut semakin berbeda, hal ini meliputi sosial, perilaku, adat istiadat, agama, pendidikan, norma dalam masyarakat dan bahasa. Pederson (1995) menyatakan bahwa semakin beda antar dua budaya, maka interaksi sosial dengan mahasiswa lokal akan semakin rendah. 3) Manifestasi sosial politik juga mempengaruhi gegar budaya. Sikap dari masyarakat setempat dapat menimbulkan prasangka, stereotype dan intimidasi.
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa geger budaya dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal yang ada pada diri individu yang bersangkutan. Faktor internalnya adalah adanya pengaruh intrapersonal dalam diri individu sedangkan faktor eksternalnya antara lain adanya variasi antar budaya yang berbeda dan manifestasi sosial politik yang meliputi prasangka, stereotype dan intimidasi.
4. Dinamika Munculnya Gegar Budaya Ada berbagai macam variasi reaksi terhadap gegar budaya dan perbedaan jangka waktu dalam penyesuaian diri di lingkungan barunya (Oberg dalam Mulyana dan Rakhmat, 2003), menurut Oberg (1960) biasanya sojourners akan melewati empat tahapan utama gegar budaya sebagai sebuah proses penyesuaian
18
diri terhadap budaya asing. Keempat tahapan ini juga dapat digambarkan sebagai kurva U, sehingga disebut juga u-curve: 1) Fase Kegembiraan dan Optimistik (Honeymoon). Fase yang pertama ini divisualisasikan berada di ujung sebelah kiri dalam kurva U, dan berlangsung setidaknya dalam jangka waktu beberapa hari hingga beberapa bulan. Pada fase ini segala sesuatunya tampak baru, menarik dan mengagumkan. Biasanya penuh dengan rasa gembira, harapan-harapan dan euforia seperti yang dialami individu pada saat baru memasuki lingkungan baru. Penduduk asli begitu terasa bersikap sangat santun, ramah dan sangat menerima terhadap para pendatang baru. 2) Fase Gegar Budaya (Crisis). Fase kedua ini dimulai ketika individu menyadari akan kenyataan dari ruang lingkup yang berbeda dan beberapa masalah awal mulai berkembang. Tahap ini merupakan periode munculnya masa krisis, sehingga kesulitan dalam beradaptasi dan komunikasi mulai muncul. Individu menemukan dirinya dalam situasi kekecewaan atau penolakan dari budaya baru sebagai hasil dari ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan, hal ini terutama terjadi kerena adanya perbedaan dalam bahasa, nilai, keyakinan atau simbol sosial dari budaya tuan rumah sehingga individu mulai merasa bingung, cemas dan heran dengan lingkungan yang baru ini. Rasa frustrasi yang muncul ini dapat membuat individu tersebut gampang tersinggung, tidak sabar, mudah marah, memiliki sikap bermusuhan atau menolak terhadap
19
budaya tuan rumah, dan bahkan tidak mampu mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik (tidak kompeten). 3) Fase Penyesuaian dan Pemulihan (Adjustment). Apabila seseorang telah melalui fase kedua dengan baik, maka tahap yang akan ia lalui selanjutnya adalah fase penyesuaian dan pemulihan (adjustment). Dalam fase ini individu mulai mengerti elemen kunci dari budaya barunya yang mencakup nilai-nilai, pola komunikasi, keyakinan, prilaku dan lain sebagainya, sehingga ia mulai merasa nyaman dan dapat berfungsi secara efektif di lingkungan barunya tersebut. 4) Fase Penguasaan (Mastery). Fase terakhir ini divisualisasikan berada di ujung sebelah kanan kurva U. Tahap ini ditandai dengan adanya perasaan puas, mandiri dan menikmati pada diri individu yang bersangkutan. Pada tahap ini individu juga telah menyadari bahwa antara budaya yang satu dengan yang lainnya tidak lebih baik atau lebih buruk dari yang lainnya, yang terjadi hanya karena pada setiap budaya memiliki ciri berbeda yang berbeda pula dalam menangani setiap masalah dalam kehidupannya. Biasanya individu yang telah melewati tahap ini menjadi memiliki kemampuan untuk hidup dalam 2 budaya yang berbeda (budaya asalnya dan budaya yang baru). Namun beberapa hal menyatakan bahwa untuk dapat hidup dalam 2 budaya tersebut individu akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya yang lama.
20
Gambar 2.1 U-Curve (Oberg, 1960)
5. Reaksi pada Gegar Budaya Perubahan dapat menyebabkan stres seperti ketika seseorang memasuki budaya baru hingga akhirnya ia mengalami gegar budaya. Perubahan dan ketidakfamiliaran
yang
dialami
akan
mempengaruhi
penyesuaian
psikologis
(psychological adjustment) dan keikutsertaan mereka terhadap lingkungan barunya tersebut. Perasaan bingung dan ketidaknyamanan akan memiliki dampak negatif bagi keadaan psikis seseorang dan berpotensi memunculkan berbagai simptom psikologis. Meskipun tidak semua orang akan mengalami simptomsimptom tersebut, tetapi hampir setiap orang akan mengalami berbagai simptomsimptom psikologis ini. Simptom yang sering muncul antara lain ialah depresi,
21
kecemasan dan perasaan akan ketidakberdayaan (Mio, 1999). Lebih lanjut lagi Irwin (2007) menyebutkan bahwa segala bentuk distres mental maupun fisik yang dialami di lokasi asing disebut sebagai gejala gegar budaya. Apabila dampak negatif dari gegar budaya ini tidak segera ditangani, maka individu yang bersangkutan akan terus mengalami kesulitan dalam mempelajari kultur barunya sehingga dapat mengalami psychological disorientation. Psychological disorientation merupakan keadaan ketidakmampuan seseorang untuk menyesuaikan diri pada aspek spatial, temporal dan contextual
di
lingkungannya. Dalam banyak kasus psychological disorientation dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam membuat keputusan dan memecahkan masalah sehingga menurunkan minat seseorang tersebut untuk mempelajari kultur barunya (Ferraro, 2009). Individu yang mengalami ini biasanya akan cenderung mencari perlindungan dengan berkumpul bersama teman-temannya setanah air atau yang sebudaya dengannya, dan di dalam perkumpulan-perkumpulan seperti ini sering menjadi sumber tuduhan-tuduhan emosional yang disebut stereotype pada budaya tuan rumah dengan cara negatif (Mulyana, 2006). Guanipa (1998) menambahkan bahwa perasaan tidak nyaman akibat gegar budaya tidak hanya melulu reaksi emosioanal, tetapi juga meliputi reaksi fisik yang diderita individu ketika mereka berada di tempat yang berbeda dari tempat asalnya. Pengalaman ini juga bisa disebabkan bukan saja karena budaya, dan norma-norma masyarakat yang berbeda, tetapi juga karena iklim, makanan bahkan teknologi yang berbeda dari tempat asal dengan tempat yang didatanginya.
22
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, maka secara umum reaksi-reaksi yang mungkin terjadi terhadap individu yang mengalami gegar budaya, antara lain: 1) Perasaan sedih, kesepian, melankolis, merasa frustasi, kemarahan, kecemasan dan disorientasi yang mengakibatkan munculnya stereotype negatif terhadap lingkangan barunya. 2) Menjadi lebih khawatir tentang kesehatan. Pada orang-orang yang datang dari negara yang lebih maju, biasanya menjadi lebih sensitif terhadap masalah kebersihan di tempat yang baru. Tidak bersedia makan atau minum dari makanan setempat, karena ketakutan akan berbagai penyakit dan sangat kuatir akan kehigienisan makanan dan penduduk setempat. 3) Menderita rasa sakit akibat psikosomatis di berbagai areal tubuh seperti muncul berbagai alergi, serta gangguan-gangguan kesehatan lainnya, seperti diare, maag, sakit kepala dll. 4) Adanya perubahan temperamen, rasa depresi, merasa diri lemah, rapuh dan merasa tidak berdaya. 5) Perasaan marah, mudah tersinggung, penyesalan, tidak bersedia untuk berinteraksi dengan orang lain. 6) Selalu membanding-bandingkan kultur asalnya, mengidolakan kultur asal secara berlebihan. 7) Kehilangan kemampuan untuk belajar dan bekerja secara efektif. 8) Homesick/ rindu pada rumah/ lingkungan lama.
23
9) Kehilangan identitas, mempertanyakan kembali identitas diri yang selama ini diyakininya. Misalnya sebelumnya meyakini bahwa dirinya adalah orang yang cerdas, tiba-tiba kini merasa menjadi orang yang paling bodoh, aneh, tidak menarik dll. 10) Mencoba terlalu keras untuk menyerap segala sesuatu yang ada di lingkungan barunya (karena rasa cemas ingin menguasai/memahami lingkungannya) yang justru bisa menimbulkan perasaan kewalahan. 11) Kehilangan kepercayaan diri. 12) Adanya keinginan untuk terus bergantung kepada orang yang sekultur dengannya.
Pengalaman gegar budaya ini sebenarnya dianggap hal wajar dan banyak dialami oleh individu ketika sedang berada di dalam lingkungan yang secara kultur berbeda dari lingkungan asalnya (Guanipa, 1998). Hanya saja, tingkat gangguan yang dialami oleh individu tersebut berbeda dari satu orang ke orang yang lain, tergantung dari beberapa faktor yang ada dalam diri individu tersebut. Gegar budaya yang dialami oleh para pendatang baru ini merupakan bagian dari proses adaptasi rutin terhadap stres kultural dan merupakan manifestasi dari kerinduan terhadap lingkungan yang lebih dapat diprediksi, lebih stabil dan lebih dapat dimengerti seperti yang dialami sebelumnya. Selanjutnya menurut Oberg (1960) dalam jurnal ilmiahnya menyimpulkan paling sedikit ada enam karakteristik negatif pada seseorang yang mengalami gegar budaya, yaitu:
24
1) Ketegangan karena adanya usaha untuk beradaptasi secara psikis. 2) Perasaan kehilangan dan kekurangan teman, status, profesi dan kepemilikan. 3) Perasaan tertolak atau menolak terhadap masyarakat dari budaya yang baru tersebut. 4) Adanya kebingungan mengenai peran, harapan terhadap peran tersebut, nilai yang dianut, perasaan dan identitas diri. 5) Keterkejutan, kecemasan, bahkan rasa jijik setelah menyadari adanya perbedaan antara kedua budaya. 6) Adanya perasaan tidak berdaya termasuk perasaan bingung, frustrasi dan depresi karena ketidakmampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang baru.
6. Gegar Budaya pada Mahasiswa Perantau Rantauan secara harfiah berasal dari kata perantau yang dalam kamus besar bahasa Indonesia didefinisikan sebagai orang yang mencari penghidupan, ilmu dan lain sebagainya di negri lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, 2008). Sedangkan
mahasiswa
rantauan
dapat
diartikan
sebagai
seorang
mahasiswa yang berasal dari lingkungan yang secara kultur berbeda, lalu ia mengunjungi lingkungan perkuliahan baru untuk menetap dalam jangka waktu beberapa tahun yang termotivasi untuk menyelesaikan studinya di lingkungan barunya tersebut. Mereka dapat dikatagorikan sebagai sojourners yang dimana
25
menurut Bochner (dalam Samovar, 2000), mereka berada dalam landasan rentang waktu yang sementara, meskipun kesementaraannya bervariasi hingga beberapa tahun dan mereka belum tentu berada dalam proses membuat komitmen tetap pada masyarakat barunya. Sebagai makhluk sosial mereka harus dituntut untuk mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitarnya yang baru. Dalam lingkungan yang baru tersebut akan memungkinkan terdapatnya tuntutan-tuntutan dimana mereka tidak memahami respon yang tepat bagi budaya yang berlaku dan respon yang mereka berikan tidak menunjukkan hasil yang dikehendaki dikarenakan adanya bahasa, adat-istiadat, tata cara dalam berhubungan atau berkomunikasi yang berbeda dan kurang dapat dipahami, Hal inilah yang menimbulkan gegar budaya bagi mereka. Sehingga dapat menghasilkan sejumlah reaksi yang berpotensi mengakibatkan masalah. Paling tidak, gegar budaya dapat menyebabkan perasaan putus asa, lelah dan tidak nyaman (Smith dalam Samovar, 2010). Mahasiswa yang mengalami gegar budaya biasanya dialami oleh mahasiswa perantau yang masih berkatagori mahasiswa baru, dimana mereka berada diantara transisi budaya yang berbeda dan dituntut untuk harus benar-benar bisa beradaptasi dengan lingkungan dalam kondisi yang benar-benar baru, hanya saja tingkat gegar budaya ini berbeda-beda tergantung seberapa bedanya sistim nilai yang dimilikinya terhadap kebiasaan yang berlaku di lingkungan yang ia datangi. Bagi sebagian mahasiswa rantauan, masalah transisi ini dapat diatasi dengan baik setelah beberapa waktu. Mereka mampu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kebudayaan baru yang ditemuinya, sehingga mereka dapat
26
hidup normal. Adapun sebagian lainnya tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik, sehingga mempengaruhi kondisi mentalnya. Selanjutnya menurut Huang (dalam Furnham & Bochner, 1986), mengidentifikasikan 4 area masalah yang paling umum dihadapi oleh mahasiswa perantau, yaitu: 1) Hambatan dalam berkomunikasi, yang disebabkan aspek-aspek linguistik dan paralinguistik yang kompleks dan unfamiliar. 2) Mengubah patokan-patokan budaya, karena mahasiswa perantau dipaksa untuk berpindah dari nilai-nilai budaya yang lama ke nilai budaya yang baru. 3) Mengganti jaringan sosial yang selama ini dekat dengannya seperti keluarga, teman-teman lama dan tetangga, di tempat baru dimana mereka dianggap sebagai orang asing. 4) Harus bertanggung jawab kepada banyak pihak, seperti keluarga, pihak yang mendanai dan penasihat akademis.
Sejumlah penelitian terdahulu telah mengungkapkan adanya dampak kesulitan penyesuaian diri ini terhadap kesehatan jasmani dan psikis. Munculnya perasaan kesepian, merasa terasing, kelelahan fisik yang berkelanjutan, frustrasi, kecemasan yang berlebihan, stres, kecurigaan akan lingkungan sekitar (paranoia), psikosomatik, kecenderungan untuk menarik diri dan depresi adalah beberapa akibat yang sering dikeluhkan oleh mahasiswa perantau yang tidak mampu untuk beradaptasi (Adelegan dan Park, 1985; Lee dkk., 1981; Searle dan Ward, 1990).
27
Klineberg dan Hull (1979), juga mengungkapkan dalam analisisnya, mereka menemukan bahwa depresi adalah salah satu masalah yang paling sering dialami oleh mahasiswa perantau. Dan tentu saja depresi dapat mengakibatkan kualitas hidup mahasiswa tersebut manjadi menurun.
B. Motivasi Berprestasi 1. Definisi Motivasi Motivasi berasal dari kata-kata “movere” yang berarti dorongan. Dalam istilah bahasa inggrisnya disebut “motivation”. Motivasi dapat didefinisikan sebagai suatu usaha karena adanya dorongan (motif) pada individu atau kelompok agar bertindak melakukan sesuatu. Istilah ini biasanya digunakan untuk menunjukkan suatu pengertian, yang melibatkan tiga komponen utama, yaitu: (1) pemberi daya pada tingkah laku manusia (energizing); (2) pemberi arah pada tingkah laku manusia (directing); (3) bagaimana tingkah laku itu dipertahankan (sustaining). Daya atau kekuatan tersebut memiliki intensitas tertentu yang sesuai dengan apa yang ingin dicapai. Apabila sudah terarah pada tujuan, maka tingkah laku tersebut tetap dipertahankan secara gigih agar tujuan dapat tercapai (Suryana Sumantri 1995). Sedangkan menurut Robbins (2006) motivasi juga merupakan akibat dari interaksi individu dengan situasi. Situasi yang menimbulkan suasana menyenangkan
akan
cenderung
digandrungi,
sedangkan
situasi
yang
menimbulkan suasanan tidak menyenangkan/menjemukan bagi individu akan cenderung dihindari atau tidak dilakukan. Sedangkan pengertian motivasi menurut para ahli, antara lain:
28
1) Menurut Sternberg (2001) adalah suatu proses psikologis yang memberikan suatu dorongan atau keinginan ke arah tujuan dan energi. 2) Menurut Sardiman (1994) mengemukakan “Motive is defined as a tendency to activity, started by a drive and ended by an adjustment. The adjustment is said to satisfy the motive”. Motif didefinisikan sebagaisuatu kecenderungan untuk beraktivitas, dimulai dari dorongan dalam diri (drive) dan diakhiri dengan penyesuaian diri. Penyesuaian diri dikatakan untuk memuaskan motif. 3) Robbins (2006) motivasi itu merupakan suatu proses yang menghasilkan suatu intensitas, tujuan dan ketekunan dalam mencapai sasaran. 4) Luthans (2002) mengemukakan “motivation is a process that starts with a psychological deficiency or need a drive that is aimned at a goal or incentive”. Motivasi merupakan sebuah proses yang muncul karena adanya keadaan kesenjangan (kekurangan) psikis atau kebutuhan akan sebuah gerakan yang ditujukan untuk mencapai suatu tujuan (goal) atau pendorong.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah aktivitas dalam mengarahkan kekuatan, tenaga dan kesiap-sediaan dalam diri individu untuk bergerak ke arah tujuan tertentu karena terdapat keadaan psychological deficiency demi memenuhi kebutuhannya baik disadari ataupun tidak disadari. Sehingga motivasi juga dipengaruhi oleh suatu sikap yang terdapat dalam diri orang itu. Sikap yang bisa positif atau negatif itu timbul lantaran adanya
29
persepsi atau pemberian makna terhadap suatu objek atau peristiwa. Persepsi atau pemberian makna tersebut ditentukan oleh suatu sistem nilai, yakni suatu patokan untuk berperilaku yang berlaku pada suatu lingkungan tertentu. Sistem nilai yang tertanam dalam diri seseorang ini dipengaruhi oleh budaya, masyarakat, dan orang tua.
2. Proses Motivasi Proses motivasi menurut Luthans (2002), adalah proses interaksi dari tiga elemen utama dalam diri manusia. Ketiga elemen tersebut adalah: 1) Kebutuhan (need), yaitu suatu keadaan kekurangan (deficiency) dalam diri, kebutuhan muncul dari adanya ketidak-seimbangan, baik fisiologis maupun psikologis. 2) Dorongan (drive), yaitu dorongan untuk meredakan keadaan deficiency. 3) Tujuan (goal), merupaka akhir dari proses motivasi, tujuan dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat mengurangi kebutuhan dan dorongan. Dengan tercapainya tujuan akan meredakan keadaan ketidak-seimbangan dalam diri individu.
Pada dasarnya setiap manusia tentu saja memiliki berbagai kebutuhan, yaitu terjadi bila terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Dan karena adanya kebutuhan pada setiap manusia, tentu saja setiap manusia ingin memenuhi kebutuhannya termasuk kebutuhan berprestasi. Demikian juga dengan anak
30
remaja karena prestasi menjadi hal yang sangat penting bagi remaja (Henderson dan Dweek dalam Santrock, 2003). Dengan kata lain motivasi dapat dijadikan sebagai alat penggerak yang mendorong seseorang untuk berprestasi, sehingga menimbulkan rasa percaya akan dirinya, melakukan sesutau dengan sebaik-baiknya, lebih cepat dan lebih efisien dengan hasil akhir yang maksimal bila dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan sebelumnya.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Motivasi sebagai proses psikologis dalam diri seseorang sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Gouzaly (2000) mengelompokkan faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi seseorang kedalam dua kelompok diantaranya yaitu: 1) Faktor ekstern, yaitu: lingkungan kerja yang menyenangkan atau mendukung, tingkat kompensasi, supervisi yang baik, adanya penghargaan atas prestasi, status dan tanggung jawab. 2) Faktor intern, yaitu: tingkat kematangan pribadi, tingkat pendidikan, keinginan dan harapan pribadi, kebutuhan, kelelahan dan kebosanan.
4. Teori Motif Sosial dan Need of Achievment Telah disebutkan sebelumnya bahwa faktor yang memunculkan motivasi adalah adanya proses interaksi dari tiga elemen utama dalam diri manusia. Ketiga elemen tersebut adalah need, drive dan goal (Luthans, 2002). Karena adanya need
31
of achievement (kebutuhan untuk berprestasi) pada diri seseorang maka orang tersebut akan melakukan suatu tindakan (drive) untuk memenuhi kebutuhannya tersebut hingga mencapai target (goal) yang ia inginkan. Sehingga orang tersebut dapat dikatakan melakukan motivasi untuk berprestasi atau memiliki motivasi berprestasi. Motivasi berprestasi merujuk pada dorongan yang menggerakkan seseorang untuk melakukan keinginan yang dilandasi adanya tujuan pencapaian prestasi yang baik, dengan demikian motivasi berprestasi dapat mendorong usahausaha pencapaian hasil belajar yang maksimal (Sardiman, 1994). Teori motivasi yang paling komprehensif mengenai motivasi berprestasi adalah teori yang dikemukakan oleh David McClelland. McClelland (1961) mengartikan bahwa motivasi berprestasi adalah dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan dengan perangkat standar dan berusaha untuk mendapatkan keberhasilan. Konsep tentang motif berprestasi diperkenalkan dan dipopulerkan pertama kali oleh David McClelland dari istilah “N-Ach”, yang merupakan singkatan dari need for achievement. Penelitian McClelland tersebut bertitik tolak dari pertanyaan, mengapa suatu bangsa lebih maju dari bangsa lainnya, atau mengapa suatu bangsa dalam kurun waktu tertentu lebih maju dibandingkan dengan kurun waktu lainnya? Hasil penelitian McClelland menunjukan bahwa kemajuan tersebut disebabkan karena adanya semacam “virus mental” sebagaimana dikemukakan oleh Weiner (1966), yaitu…”A certain way of thinking that was relatively are but which, when it occurred in an individual, tended to make him behave in a peculiarly energetic way”. Virus mental yang ada pada suatu bangsa
32
atau perorangan itu disebut need for achievement yang lazim disebut “motif berprestasi”. McClelland berpendapat bahwa motif berprestasilah yang membuat para industriawan dan pelaku bisnis lainnya menjadi lebih kompetitif bekerja dan lebih tekun. Teori motivasi berprestasi ini lahir dari seperangkat teori motif sosial yang dicetuskan oleh David McClelland (1961). Dalam teori tersebut ia mengidentifikasikan tiga jenis kebutuhan dasar dalam diri manusia yang diperoleh dan dikembangkan dari lingkungan, yaitu need of achievment (N-Ach)/motif berprestasi, need of affiliation (N-Aff)/motif beraffiliasi dan need of power (NPower)/motif berkuasa. Motif-motif tersebut akan mempengaruhi tingkah laku individu dalam interaksinya dengan lingkungan sosial. Tiga kunci motif atau kebutuhan utama dalam teorinya tersebut adalah: 1) Need for Achievement – yaitu dorongan yang menggerakkan seseorang menuju suatu keberhasilan dan untuk mengerjakan pekerjaan dengan baik. Individu yang memiliki kebutuhan berprestasi yang tinggi adalah mereka yang menyukai tantangan dalam setiap pekerjaannya. Mereka didorong oleh hasrat untuk menjadi yang terdepan, untuk menyelesaikan permasalahan, dan untuk menampilkan performa kerja yang luar biasa. Kebutuhan berprestasi juga dikaitkan dengan sikap task-oriented, dimana individu dengan sikap ini lebih menyuikai situasi yang menawarkan risiko kesulitan yang menengah dan mereka sangat mengharapkan umpan balik berkaitan dengan pencapaian tujuan mereka. Tingkah laku individu yang
33
didorong oleh kebutuhan berprestasi atau motif berprestasi (N-Ach) ini adalah: a) Melakukan sesuatu dengan cara-cara baru dan kreatif. b) Menyukai umpan balik. Individu dengan motif berprestasi tinggi sangat terbuka terhadap umpan balik, karena melalui umpan balik, ia dapat mengetahui hal-hal positif dan negatif dalam dirinya yang harus dipertahankan, ditingkatkan atau diperbaiki untuk dapat mencapai hasil kerja yang lebih baik dikemudian hari. c) Menyukai tantangan, menetapkan tujuann yang cukup sulit, tetapi masih mungkin dicapai sesuai dengan kemampuannya. d) Lebih
suka
memikul
tanggung
jawab
pribadi
dalam
menyelesaikan pekerjaan. 2) Need for Power – yaitu kebutuhan untuk mengarahkan dan mengontrol aktivitas orang lain dan menjadi orang yang berpengaruh. Individu dengan kebutuhan kekuasaan yang tinggi adalah mereka yang cenderung statusoriented dan lebih termotivasi oleh kesempatan untuk memperoleh pengaruh dan prestise dibandingkan untuk memecahkan beberapa masalah secara pribadi atau untuk mencapai prestasi yang diinginkan. Adapun tingkah laku individu yang didorong oleh kebutuhan akan motif kekuasaan (N-Power) ini adalah:
34
a) Berusaha menolong orang lain walaupun tidak diminta. b) Sangat aktif dalam menentukan arah kegiatan organisasi dimana ia berada. c) Mengumpulkan Barang-barang atau menjadi anggota suatu perkumpulan yang dapat mencerminkan prestise. Sangat peka terhadap struktur pengaruh antar pribadi dalam kelompok atau organisasi. 3) Need for Affiliation – yaitu keinginan untuk disukai dan diterima oleh orang lain. Individu yang termotivasi oleh kebutuhan berafiliasi sangat memperjuangkan persahabatan. Mereka sangat peduli dengan hubungan interpersonal pada pekerjaan dan lebih menyukai mengerjakan suatu tugas dengan orang lain. Mereka termotivasi oleh situasi kerja yang kooperatif dibandingkan dengan situasi kerja yang kompetitif. Adapun tingkah laku individu yang didorong oleh kebutuhan beraffiliasi (N-Aff) adalah sebagai berikut: a) Menyukai interaksi interpersonal. b) Lebih memperhatikan segi hubungan pribadi yang ada dalam pekerjaannya, dari pada segi tugas-tugas yang ada pada pekerjaan itu. c) Melakukan pekerjaannya lebih efektif apabila bekerja sama dengan orang lain dalam suasana yang lebih kooperatif. d) Mencari persetujuan atau kesepakatan dari orang lain. e) Lebih suka bersama orang banyak dari pada sendirian.
35
Setiap orang akan mengembangkan N-Ach, N-Aff, atau N-Power berdasarkan sosialisasi dan pengalaman hidupnya yang berbeda dominasinya dengan yang lainnya. Pada umumnya hanya satu motif yang paling kuat saja yang mendominasi tingkah laku seseorang. Dengan demikian, maka perbedaan tingkah laku pada setiap orang dikarenakan oleh adanya perbedaan dominasi motif dalam dirinya. Dalam teori motif sosial ini juga disebutkan bahwa motif dalam diri manusia terbentuk dari hasil belajar terhadap lingkungannya. Seiring dengan adanya pengalaman tersebut maka akan muncul perasaaan tertentu, yaitu perasaan yang manyenangkan atau yang tidak menyenangkan. Situasi atau tingkah laku tertentu kemudian akan diasosiasikan dengan perasaan tertentu, sehingga untuk selanjutnya pengasosiasian ini akan memberikan kekuatan atau menjadi motif bagi individu untuk memunculkan tingkah laku tertentu. Dengan kata lain proses belajar motif sosial mengikuti prinsip hedonistik. Tingkah laku yang mengakibatkan sesuatu yang menyenangkan akan cenderung untuk diulangi, sebaliknya tingkah laku yang mengakibatkan sesuatu yang tidak menyenangkan cenderung untuk tidak diulangi. Jika seseorang memperoleh hasil yang menyenangkan sebagai akibat dari usahanya tersebut, maka ia akan semakin terdorong untuk terus berusaha dengan harapan mengalami lagi hal yang menyenangkan tersebut, Seperti pengakuan, penghargaan, kesempatan dan lain-lain. Sebaliknya, jika hanya memperoleh perasaan tidak menyenangkan dari usahanya, misalnya perasaan lelah, gagal, hasil kerjanya
36
dinilai buruk, dan lain-lain, maka ia tidak akan terdorong untuk berprestasi. Jadi, dengan semakin orang yakin bahwa dengan berusaha ia akan berhasil memperoleh prestasi, maka semakin besarlah harapan untuk meraihnya dan semakin besar pula motif berprestasinya (McClelland, 1961). Demikian juga halnya yang terjadi pada motif beraffiliasi dan pada motif berkuasa. Jadi, dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi adalah suatu konsep yang digunakan untuk menerangkan dorongan yang ada pada individu guna melakukan suatu aktivitas atau pengorganisasian tujuan dan perilaku yang berorientasi pada tujuan untuk meningkatkan dan mencapai keunggulan dan prestasi pribadi dimana ukuran keunggulan dan prestasi ini harus semaksimal mungkin dan lebih baik dari prestasi yang pernah dicapai sebelumnya dan prestasi yang dicapai oleh orang lain. Karena pada umumnya hanya satu motif yang paling kuat saja yang banyak mendominasi tingkah laku individu maka dalam penelitian ini motif berafiliasi dan motif power tidak diteliti, peneliti hanya meneliti motivasi berprestasi.
C. Hubungan Gegar Budaya dengan Motivasi Berprestasi Muchlas (dalam Wulandari, 2004) menjelaskan bahwa meskipun seseorang mempunyai kemampuan dan kemauan, tapi mungkin saja ada penghalang yang bisa menghambat prestasinya. Jadi seseorang yang menunjukkan prestasi yang tidak baik, maka harus dilihat lingkungan luarnya apakah sudah cukup membantu, seperti apakah memiliki kelengkapan peralatan dan bahan,
37
kondisi belajar yang favorable, teman kerja yang membantu, peraturan yang mendukung dan prosedur kerja dengan alokasi waktu yang cukup. Jika semua tidak ada maka jangan diharapkan muncul suatu prestasi kerja yang minimal sekalipun. Penghalang disini dapat juga berupa perbedaan kebiasaan, sikap, nilai yang dirangkum dalam sebuah budaya. Selanjutnya (Jayasuriya et al., 1992) mengungkapkan bahwa pendidikan dan pekerjaan dipertimbangkan sebagai faktor-faktor yang dipengaruhi oleh penyesuaian
lintas-budaya
(sosio-cultural
adjusment).
Pendidikan
sangat
berhubungan erat dengan penyesuaian diri yang baik dan level stres yang rendah pada lingkungan belajar. Dan selama pendidikan atau pekerjaan tersebut dihubungkan dengan sumber lain seperti memiliki pengetahuan tentang budaya yang spesifik (culture-specific knowledge) dan kemampuan beradaptasi di budaya tersebut. Apabila seseorang mengalami kesulitan dalam memahami kultur barunya di lingkungan belajar yang baru, tentu saja hal ini dapat menyebabkan tekanan dan akan berdampak negatif apabila keadaan ini tidak diatasi, dalam hal ini ia akan gagal untuk meyesuaikan dirinya dengan lingkungan barunya dan berpotensi menjadi depresi hingga memungkinkan berakibat pada kompetensi akademik siswa tersebut sehingga mempengaruhi motivasi berprestasinya. Dengan kata lain gegar budaya dapat menjadi suatu penghalang pada seseorang yang ingin meraih prestasi yang baik. Jadi dalam hal ini penulis berpendapat bahwa gegar budaya berhubungan dengan motivasi berprestasi individu.
38
Gegar Budaya
Apakah terdapat hubungan negatif?
Motivasi Berprestasi
Mahasiswa Perantau di Jurusan Psikologi UPI Angkatan 2009 dan 2010 Gambar 2.2. Bagan Kerangka Berfikir
D. Penelitian-penelitian Terdahulu Terdapat penelitian-penelitian terdahulu yang juga mengindikasikan bahwa terdapat hubungan antara gegar budaya dengan motivasi berprestasi. Diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Ediana (2009) mengenai Gegar Budaya Yang Dialami Mahasiswa Perantau FISIP UAJY Angkatan 2008 Dan Pengaruhnya Terhadap Motivasi Kuliah di FISIP UAJAY, yang menyimpulkan bahwa: 1) Sebagian besar mahasiswa perantauan FISIP UAJY angkatan 2008 megalami fase optimistic di mana mereka merasa senang dan tertantang ketika awal berpindah ke Jogja. 2) Sebagian besar mahasiswa, sekitar 83,33%, mengalami gegar budaya. Mereka mengalami beberapa masalah kultural baik secara fisik maupun emosional. Dari perasaan tidak nyaman ringan hingga depresi. Dari pola makan yang tidak teratur hingga mengalami sakit.
39
3) 16,67 mahasiswa yang tidak mengalami masalah kultural (gegar budaya) yang berarti berasal dari daerah sekitar Jogja yang tidak terlalu berbeda budayanya dengan budaya di Jogja. Sehingga, dapat disimpulkan semakin mirip dan dekat budaya antara budaya asal dengan budaya baru maka kemungkinan terjadinya gegar budaya pun semakin kecil. 4) Setengah sample dari populasi (52%) yang diamati mengaku terganggu motivasi
belajarnya
karena
mengalami
gegar
budaya
sementara
setengahnya tidak. Data yang fifti-fifti menunjukan bahwa pengaruh terhadap motivasi belajar relatif tidak terlalu besar tetapi juga tidak kecil. Namun, untuk dijadikan catatan, 12 orang yang mengaku tidak terganggu motivasi kuliahnya mengaku telah beradaptasi dengan budaya di Jogja. Jadi, ketika mahasiswa mulai meyesuaikan dirinya dengan budaya baru di Jogja, maka motivasi kuliah pun tidak menjadi persoalan. 5) Gangguan motivasi belajar/kuliah mahasiswa ada beberapa macam. Dari malas dan bolos kuliah hingga tidak ingin ikut kuliah lagi. Dari tidak bisa konsentrasi belajar hingga nilai atau IP jeblok. 6) Dari 92% (23 orang) yang mengaku telah beradaptasi dengan budaya baru di Jogja mengaku tidak lagi mengalami gangguan motivasi belajar/kuliah. Sementara 8% (2 orang) yang mengaku belum mampu beradaptasi dengan budaya baru di Jogja mengaku masih mengalami gangguan kuliah dan merasa tidak nyaman hidup di Jogja.
40
Selanjutnya menurut Ebbin, A.J & Blakenship, E.S. (1986) dalam penelitiannya yang berjudul A Longitudinal Health Care Study: International Versus Domestik Students mengemukakan bahwa depresi pada mahasiswa internasional
(asing) yang
muncul
sebagai
hasil
akhir
dari
stres
berhubungan positif dengan kesulitan melakukan penyesuaian diri di lingkungan barunya. Dari hasil penelitian terdahulu diatas, penulis berpendapat bahwa terdapat hubungan antara gegar budaya dengan motivasi berprestasi.