34
BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA PERCERAIAN DILUAR PENGADILAN
A. Hakikat Talak Menurut Hukum Islam. Apabila ditelusuri sumber hukum Islam, al-Quran (QS.al-Baqarah [2]:227237,Q.S.al-Nisa’[4]:19,34,35,128,130, Q.S.al-Ahzab[33]: 28,29,39, QS. Al Thalaq [65]:1,2,4,6,7) dan Sunnah shahih, yang mengatur tentang talak dan berbagai aspek hukum di dalamnya, maka dapat ditarik beberapa garis hukum tentang perceraian sebagai berikut: 1.
2.
3.
4.
Perceraian adalah dibolehkan dalam Islam sebagai jalan terakhir untuk menyelamatkan suami isteri dan anak-anak dalam kondisi rumah tangga yang tidak mungkin dipertahankan lagi. Meskipun perceraian dibolehkan, namun perbuatan tersebut sangat dibenci oleh Allah SWT mengingat besarnya dampak negatif yang akan timbul akibat perceraian. Meskipun perceraian dibolehkan dalam kondisi dharurat, namun perceraian harus dilakukan dengan cara-cara ihsan (baik). Makna ihsan mencakup asas keadilan, persamaan dan pemeliharaan hak dan kewajiban serta harus didasari oleh alasan atau alasan-alasan yang dibenarkan hukum. Perceraian merupakan salah satu perbuatan hukum yang tidak boleh dilakukan semena-mena (serampangan) untuk menjaga sakralitas institusi perkawinan. Berdasarkan beberapa pokok pikiran tersebut, maka yang menjadi nilai-nilai
mutlak dan tidak mungkin diubah dalam ajaran Islam tentang perceraian (nilai-nilai kategori Syari’ah) adalah kebolehan perceraian dalam kondisi tertentu, sedangkan tata cara pelaksanaannya secara “ihsan” adalah bersifat umum dan dinamis serta berkembang sesuai dengan tuntutan kemaslahatan masyarakat. Sebagai contoh, dalam hadis riwayat Ibnu Abbas r.a disebutkan bahwa talak pada masa Rasulullah SAW dan
34
Universitas Sumatera Utara
35
Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq serta dua tahun masa kekhalifahan Umar ibn alKhaththab, yang dijatuhkan tiga kali sekaligus dihitung satu, setelah itu di saat masyarakat mulai mempermain-mainkan talak, maka Khalifah Umar ibn alKhaththab menetapkan talak yang dijatuhkan tiga kali sekaligus dihitung tiga. 60 Ketetapan Umar tersebut secara zhahir terlihat bertentangan dengan ayat alQuran (ath-thalaqu marrataini) yang menyatakan talak itu dua kali serta berbeda dengan praktek hukum pada masa Rasulullah dan Abu Bakar. Namun oleh karena substansi talak pada hakikatnya adalah untuk memelihara institusi perkawinan, maka Umar selaku penguasa pada waktu itu berani menetapkan hukum yang tidak sama dengan praktek pada zaman Rasul dan Abu Bakar. Apabila dilihat dari segi rentang waktu terjadinya perubahan hukum di sekitar talak pada masa Umar tersebut kurang lebih hanya empat tahun setelah Rasulullah SAW wafat terjadi perubahan kondisi masyarakat sehingga Umar memandang perlu adanya perubahan hukum karena mempertahankan ketentuan yang lama dalam kondisi masyarakat yang suka mempermain-mainkan talak akan berakibat tidak tercapainya tujuan pensyari’atan talak sebagai proteksi untuk melindungi institusi perkawinan. Apalagi apabila dibandingkan dengan situasi dan kondisi masyarakat modern sekarang yang rentang waktunya sudah lebih kurang 14 abad yang silam tentu mengalami perubahan dan perkembangan yang jauh lebih besar dan sudah pasti menuntut kajian hukum yang lebih dalam pula untuk dapat menerapkan hukum sesuai dengan tuntutan perubahan. 60
Muhammad Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, (Bandung: Dahlan, 2019.), jil.3, hal. 171.
Universitas Sumatera Utara
36
Pada masa lalu, sebagian ulama berpendapat bahwa hak talak merupakan hak mutlak suami sehingga suami dapat menggunakan haknya tersebut kapan, dimana dan dengan alasan apapun. Akibat dari persepsi tersebut banyak terjadi perceraian yang merugikan pihak perempuan dan anak-anak selaku pihak yang paling banyak menderita akibat putusnya perkawinan. Apabila kembali dikaji kembali dasar-dasar hukum Al-Quran dan Sunnah yang menempatkan hak talak pada suami, ternyata tidak ada suatu ayat atau hadis yang secara tegas mengungkapkan hal itu. Pemberian hak talak kepada suami adalah berbentuk fikih atau pemahaman dari tekstual ayat dan praktek pada masa Nabi. Namun apabila dicermati lebih jauh, praktek talak pada masa Nabi dan para sabahat pun tidak terlepas dari peran dan fungsi penguasa dalam menentukannya. Seperti campur tangan Nabi SAW yang memerintahkan Ibn Umar untuk kembali kepada isterinya yang dijatuhkan talak disaat haid, marahnya Nabi ketika seorang laki-laki menjatuhkan talak tiga sekaligus, campur tangan Umar ibn al-Khaththab untuk menetapkan talak tiga sekaligus dijatuhkan tiga, tindakan Umar yang memukul punggung seorang laki-laki yang menjatuhkan talak terhadp isterinya secara semenamena. Menurut ketentuan Hukum Islam yang berlaku di Indonesia pada saat ini bahwa, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Tahun 1991.
Universitas Sumatera Utara
37
Adapun dasar dari ketentuan tersebut berdasarkan kajian terhadap isi kandungan, makna dan tujuan (maqashid) dari seluruh ayat al-Quran dan hadis-hadis Rasulullah SAW yang berkaitan dengan masalah perceraian, yang intisarinya dapat dijelaskan sebagai berikut: a.
Bahwa menurut ajaran Islam yang bersumber dari ayat al-Quran dan Hadis Nabi SAW., ikatan perkawinan adalah suatu ikatan yang sangat sakral (suci) dan sangat kokoh (mitsaqan ghalizan). Ikatan perkawinan disebut Allah SWT sebagai ikatan yang sangat kuat (mitsaqan ghalizan) sebagaimana tersebut dalam surat An-Nisa’ [4] ayat 21 yang artinya: Artinya: “...Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.(Q.S An-Nisa:21). Ikatan perkawinan disebut sebagai ikatan yang sangat kuat karena di dalam ikatan perkawinan tersebut tersimpul hak dan kewajiban yang sangat banyak dan mulia, tujuannya untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (Pasal 2 KHI). Dalam al-Quran Allah SWT hanya tiga kali menyebutkan kalimat mitsqan ghalizan masing-masing: 1. Ketika menyebutkan ikatan perkawinan (surat An-Nisa’[4] ayat 21) 2. Ketika menyebutkan perjanjian antara Nabi Musa dengan kaumnya (surat an Nisa[4] ayat 154) 3. Ketika menyebutkan perjanjian yang diikatkan oleh para Nabi untuk menyampaikan ajaran agama kepada umat (surat al-Ahzab[33] ayat 7). Oleh karena ikatan perkawinan adalah sesuatu yang sangat kuat, maka ikatan perkawinan menurut ajaran Islam tidak mungkin diputuskan melalui perceraian, kecuali dalam kondisi yang tidak dapat dihindarkan (darurat) saja.
Universitas Sumatera Utara
38
b.
Bahwa oleh karena perceraian adalah jalan yang boleh ditempuh untuk menyelesaikan kemelut rumah tangga dalam kondisi “darurat” saja, maka perceraian haruslah merupakan jalan (alternatif) terakhir yang dapat ditempuh untuk menyelamatkan suami isteri dan keturunan mereka, di saat perpecahan rumah tangga suami isteri tersebut tidak mungkin lagi dipertahankan. Apabila rumah tangga mereka tetap dipertahankan dalam kondisi yang demikian, besar kemungkinan akan timbul kemudaratan dan kerusakan (mafsadat) yang lebih besar, baik terhadap kedua belah pihak maupun terhadap anak-anak mereka. Sementara kaidah fikih menyatakan: “Menolak kemudharatan lebih utama daripada mengambil manfaat”. Apabila kondisi rumah tangga masih dalam keadaan biasa dan belum sampai ke tahap dharurat, maka perceraian sangat dilarang mengingat besarnya dampak atau akibat yang akan diderita oleh kedua belah pihak, terutama oleh anak-anak mereka setelah perceraian.
c.
Meskipun perceraian hanya dibolehkan dalam kondisi darurat, namun perceraian merupakan jalan keluar yang sangat dibenci oleh Allah SWT, sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW. yang artinya: Artinya: “Perbuatan halal yang sangat dimurkai oleh Allah adalah thalaq (perceraian)” (HR. Abu Daud). Perceraian merupakan jalan keluar yang sangat dibenci Allah SWT karena dapat menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan masing-masing suami isteri, apalagi bagi anak-anak mereka.
Universitas Sumatera Utara
39
d.
Mengingat perceraian merupakan “jalan terakhir”, maka perceraian tidak boleh dilakukan secara “sewenang-wenang”, “serampangan” atau “sesuka hati”. Perceraian wajib dilakukan secara “baik” yang dalam bahasa al-Quran disebut dengan secara “ma’ruf” , sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam surat AthThalaq ayat 2 yang artinya: Artinya: ….“(apabila kamu ingin bersatu kembali) maka penganglah para isteri itu secara baik, namun apabila kamu ingin bercerai, ceraikanlah para isteri itu secara baik pula”. Persaksikanlah dengan dua orang saksi di antara kamu, dan tegakkanlah kesaksian itu karena Allah…(QS. At-Thalaq:2) Sebagaimana tuntutan Allah SWT dimana perceraian harus dilakukan secara ma’ruf atau ihsan (baik) tersebut, maka perceraian harus diatur pelaksanaanya agar tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Apabila pintu perceraian dibuka secara luas, maka suami isteri yang sedang bertengkar dalam rumah tangga akan sangat mudah melakukan perceraian itu, akibatnya rumah tangga akan menjadi kacau. Apabila kehidupan rumah tangga menjadi kacau, dampaknya sudah pasti akan sangat buruk terhadap kehidupan bermasyarakat secara umum, termasuk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, baiknya kehidupan suatu bangsa apabila masyarakatnya baik, baiknya kehidupan masyarakat apabila keluarga-keluarga sudah baik. Sebaliknya jika kehidupan keluarga kacau balau, maka masyarakat juga akan menjadi kacau, halmana pasti tidak dikehendaki oleh ajaran Islam. Dalam konteks inilah, maka secara siyasah syar’iyah, persoalan talak perlu diatur pelaksanaannya oleh negara.
Universitas Sumatera Utara
40
Apabila direnungkan secara filosofi, bahwa pertengkaran dan perselisihan dalam suatu rumah tangga adalah sesuatu hal yang lumrah dan mungkin terjadi serta bersifat alami. Hal itu sangat mungkin terjadi karena suami dan isteri adalah dua insan yang memang berbeda, baik dari segi latar belakang pendidikan, keluarga, lingkungan sosial, karakter dan sifat masing-masing, maupun perbedaan status sosial dan lain sebagainya. Perbedaan-perbedaan itulah yang secara alami menyebabkan suami isteri memiliki pola pikir berbeda, akibatnya suami isteri akan sering berbeda pandangan dalam menyelesaikan suatu masalah, termasuk dalam hal menempuh “cara” untuk menyelesaikan masalah tersebut. Perbedaan-perbedaan latar belakang kehidupan itu juga sering menimbulkan perbedaan harapan dan cita-cita. Kondisi yang memang sudah tercipta secara alami tersebut kemudian disatukan dalam sebuah ikatan yang kokoh disebut dengan rumah tangga, dalam perbedaan-perbedaan itu tentu saja besar kemungkinan akan menimbulkan pergesekan-pergesekan kepentingan, sehingga berwujud dalam bentuk perselisihan dan pertengkaran. Apabila masing-masing suami dan isteri memahami hakikat perkawinan tersebut, maka besar kemungkinan kedua suami isteri itu akan saling menerima setiap perbedaan itu, baik berupa kelebihan maupun kelemahan masing-masing secara ikhlas. Karena perbedaan-perbedaan itu tercipta bukanlah atas kehendak masing-masing untuk menciptakannya, melainkan kehendak Allah SWT lah yang paling menentukan tentang siapa orangtua yang melahirkan kita, dimana
Universitas Sumatera Utara
41
lingkungan tempat kita tinggal, keluarga dan masyarakat kita sehingga sejak kecil hingga dewasa membentuk sifat dan karakter kita masing-masing. Meskipun perselisihan dan pertengkaran dalam kehidupan rumah tangga adalah sesuatu hal yang tidak mungkin dihindarkan. Namun tidak berarti semua perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga itu harus diakhiri dengan jalan perceraian. Hanya perselisihan dan pertengkaran yang sangat memuncak dan besar kemungkinan akan menimbulkan kemudaratan saja yang boleh diselesaikan dengan perceraian dan itupun harus dilakukan secara baik (ma’ruf) agar tidak menimbulkan akibat yang sangat buruk bagi kedua belah pihak, apalagi bagi anak-anak mereka. Mengingat besarnya dampak negatif yang akan muncul dari suatu perceraian itu, maka masalah “perceraian” menurut pendapat ulama dan pakar hukum Islam untuk masa sekarang ini tidak lagi semata-mata merupakan urusan pribadi seorang suami atau isteri, melainkan telah menjadi urusan pemerintah/negara (publik) untuk mengaturnya. Pemerintah selaku pihak yang wajib mengayomi dan melindungi warga negaranya mempunyai kewajiban untuk mengatur tertibnya rumah tangga setiap warga negaranya agar terjamin ketertiban kehidupan masyarakat, yang pada gilirannya akan mewujudkan ketertiban hidup berbangsa dan bernegara. Pemerintah Indonesia selaku “Ulil Amri” yang wajib ditaati setelah kewajiban mentaati Allah dan Rasul-Nya bagi seluruh umat Islam di Indonesia, telah mengeluarkan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam bahwa perceraian hanya
Universitas Sumatera Utara
42
dapat terjadi di depan pengadilan setelah pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk mengatur masalah perceraian dalam kehidupan masyarakat tersebut telah sejalan dengan kaidah hukum yang menyatakan:“Kebijakan pemerintah untuk rakyatnya adalah mengacu kepada kemaslahatan”. Oleh karena ketentuan yang ditetapkan pemerintah itu bertujuan untuk kemashlahatan umum, maka ketetapan pemerintah tersebut sangat patut dan wajib didukung oleh semua masyarakat, terutama masyarakat Islam karena telah sejalan dengan maksud dan tujuan hukum Islam itu sendiri. Dari kacamata alQuran,
sepanjang
ketentuan
yang
dibuat
pemerintah
bertujuan
untuk
kemashalahatan hidup masyarakat, maka ketentuan tersebut wajib ditaati sebagai perwujudan dari kewajiban mengikuti perintah Allah dan Rasulnya. e.
Untuk menghindari agar perceraian tidak dijatuhkan secara sewenang-wenang dan sesuka hati, maka pihak yang patut dan layak menilai kondisi “darurat” tersebut bukanlah suami atau isteri yang sedang terlibat pertikaian itu, karena dikhawatirkan mereka akan salah dalam menilai (subjektifivitas), apalagi mereka adalah pihak-pihak yang sedang bertikai. Suami atau isteri yang sedang bertikai atau berselisih cendrung menilai suatu masalah secara emosional dan kurang pertimbangan. Dalam keadaan bertengkar setiap suami isteri cendrung melihat sisi buruk dari masing-masing pasangannya sehingga mudah untuk terjerumus dalam perceraian. Sementara Rasulullah SAW telah menyatakan dalam sebuah hadis yang artinya: “Perceraian tidak sah
Universitas Sumatera Utara
43
apabila dijatuhkan dalam keadaan marah, dendam dan penuh kebencian” (Hadis). Bahkan, dalam ajaran Islam perceraian tidak boleh dilakukan hanya atas dasar pemufakatan kedua belah pihak suami isteri karena kemufakatan untuk bercerai adalah kemufakatan yang bertentangan dengan kehendak hukum Islam itu sendiri. Oleh karena perceraian adalah sesuatu yang dimurkai Allah SWT, maka permufakatan bercerai adalah permufakatan untuk mencari kemurkaan Allah SWT. Oleh sebab itu, pihak yang patut dan layak menilai kondisi rumah tangga apakah sudah sampai ke tahap darurat atau belum, haruslah pihak yang netral (independen), yaitu pihak yang mampu berlaku adil, yang tidak memiliki kepentingan apa-apa terhadap salah satu pihak, baik kepada suami ataupun isteri, pihak ini hanya berpihak kepada kemashlahatan rumah tangga mereka, baik terhadap suami, isteri dan anak-anak mereka. Dalam hal ini, pemerintah telah menetapkan bahwa pihak yang layak menilai kondisi darurat itu adalah Pengadilan Agama (bagi umat Islam) di Indonesia. Pengadilan Agama secara hukum bertugas dan berwenang menyelesaikan sengketa-sengketa umat Islam termasuk di dalamnya masalah perceraian. Pengadilan Agama (dalam hal ini Hakim) akan memeriksa apakah perceraian tersebut telah beralasan hukum. Penilaian
itu
wajib
berdasarkan
alat-alat
bukti
yang
dapat
dipertanggungjawabkan di depan persidangan. Dalam rangkaian sejarah umat Islam, turut campurnya pemerintah dalam mengatur kehidupan masing-masing pribadi masyarakatnya bukanlah sesuatu hal
Universitas Sumatera Utara
44
yang baru. Pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a, beliau pernah mengambil kebijakan untuk memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat, padahal tidak ada satu ayat atau hadispun yang memerintahkan untuk memerangi orang yang tidak membayar zakat. Kewajiban membayar zakat sebenarnya adalah urusan masing-masing peribadi kepada Allah SWT., namun ketika hal itu bertujuan untuk memelihara kepentingan umum, maka pemerintah dapat mengaturnya agar kemashlatan umum masyarakat dapat terwujud. Demikian pula halnya dengan masalah perceraian. Ayat-ayat al-Quran dan Hadis-hadis yang berkaitan dengan perceraian tidak akan pernah diubah dan berubah sampai kapanpun, namun teknis pelaksanaannya dapat saja berubah sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat. Kalau pada masa lalu, para pakar hukum Islam berpendapat bahwa hak talak adalah hak mutlak suami yang dapat dijatuhkan kapan, dimana dan dengan cara apapun, maka pendapat tersebut untuk situasi dan kondisi pada saat ini dirasakan kurang tepat karena akan menimbulkan perceraian-perceraian secara sewenang-wenang dan sesuka hati dari pihak suami. Apabila pendapat ini dipakai untuk situasi dan kondisi saat ini, maka pihak wanita (isteri) dan anak-anak akan terzalimi, padahal Islam adalah agama yang menyelamatkan dan agama yang mementingkan keadilan bagi siapapun. Kepentingan suami dan isteri harus dipelihara secara adil dan seimbang, demikian juga kepentingan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Oleh sebab itu para pakar hukum Islam di Indonesia setelah mempertimbangkan berbagai segi dan mempertimbangkan kokohnya ikatan
Universitas Sumatera Utara
45
perkawinan dan tujuan perceraian akhirnya menetapkan bahwa perceraian harus diatur oleh negara agar terlaksana secara ma’ruf (baik). Pengaturan negara dalam masalah perceraian itu semata-mata bertujuan untuk menyelamatkan kehidupan keluarga dan masyarakat secara umum, sejalan dengan tujuan Syari’at Islam. Berdasarkan uraian tersebut, maka perceraian suami isteri yang dilakukan di luar pengadilan, dari kaca mata hukum Islam yang berlaku saat ini di Indonesia dipandang tidak sah dan tidak berkekuatan hukum. Perceraian seperti itu tidak dapat dibuktikan secara sah dengan akta cerai. Apabila suami isteri telah berpisah akibat melakukan perceraian di luar pengadilan, maka dari kaca mata hukum Islam yang berlaku saat ini di Indonesia dipandang masih terikat suami isteri. Sebagaimana telah ditegaskan di atas, bahwa perkawinan adalah ikatan yang sangat kokoh (mitsaqan ghalizan) yang tidak dapat diputuskan kecuali dengan cara-cara yang dibenarkan hukum Islam Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 113 disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena: (1) kematian, (2) perceraian, dan (3) atas putusan pengadilan. Yang dimaksud dengan putusnya ikatan perkawinan karena kematian adalah berakirnya ikatan suami isteri disebabkan wafatnya salah seorang dari mereka. Adapun yang dimaksud dengan putusnya perkawinan karena perceraian adalah berakhirnya ikatan perkawinan karena perceraian yang dilangsungkan di pengadilan. Perceraian yang dilaksanakan di pengadilan ini adakalanya berbentuk cerai talak, yaitu perceraian yang dilaksanakan oleh suami di depan sidang pengadilan, atau berbentuk cerai gugat yaitu cerai yang dijatuhkan oleh
Universitas Sumatera Utara
46
pengadilan karena adanya gugatan dari pihak isteri. Sedangkan yang dimaksud dengan putusan pengadilan adalah putusnya ikatan perkawinan yang didasarkan atas putusan pengadilan selain cerai talak dan cerai gugat, seperti pembatalan perkawinan (fasakh). Oleh karena perceraian yang diakui secara hukum adalah yang dilakukan di depan sidang pengadilan, maka perceraian yang dilakukan secara liar atau di luar pengadilan, dinilai tidak memiliki kekuatan hukum. Oleh sebab itu, perceraian yang demikian tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap perkawinan. Antara suami isteri tersebut secara hukum masih terikat dalam sebuah perkawinan, keduanya dapat hidup bersama sebagai suami isteri karena hak dan kewajiban masing-masing masih tetap berjalan sampai adanya putusan pengadilan yang menceraikan mereka. Memang dalam kitab-kitab fikih pada masa lalu ada pendapat yang menyatakan bahwa perceraian itu merupakan hak suami secara mutlak yang boleh dijatuhkan kapan, dimanapun dan dengan cara apapun dikehendakinya. Pendapat ini berlandaskan kepada ketentuan umum ayat al-Quran dan hadis Nabi SAW. di antaranya yang artinya : “Tiga perkara yang tidak boleh dipermainmainkan, yakni nikah, talak dan rujuk” (HR. an-Nasa’i). Setelah dilakukan pen-takhrij-an (penelitan) terhadap sanad hadis di atas, para pakar hadis menilai bahwa hadis di atas hanya memiliki kualitas paling tinggi hasan gharib (hadis yang dikuatkan oleh hadis yang lain). Bahkan, Ibnu Majjah menilai hadis ini sebagai hadis mungkar. Apabila dilihat dari segi teks (matan)
Universitas Sumatera Utara
47
hadis, terlihat bahwa makna yang dikehendaki oleh hadis itu adalah tiga hal yang tidak boleh dipermain-mainkan, yaitu nikah, talak dan rujuk. Sementara selama ini, sebagian ulama dan masyarakat memahami makna hadis itu secara tekstual, yaitu tiga perkara yang apabila dilakukan main-main atau sungguh-sungguh hukumnya adalah sungguh-sungguh, yaitu nikah, talak dan rujuk. Namun anehnya pemahaman masyarakat secara tektual itu dibatasi pada talak saja, tidak untuk nikah dan rujuk. Padahal teks hadis itu secara jelas dan terang menyatakan tiga perbuatan, yaitu nikah, talak dan rujuk tanpa ada perbedaan. Semestinya apabila talak yang dijatuhkan main-main itu dianggap sah, maka nikah secara main-main seharusnya juga dianggap sah, demikian pula rujuk yang dilakukan main-main semestinya juga dianggap sah. Tetapi para ulama menyatakan bahwa nikah dan rujuk itu harus memenuhi rukun dan syarat tertentu yang tidak boleh dilanggar supaya perkawinan menjadi sah. Terlihat bahwa pemahaman terhadap hadis seperti demikian tidak konsisten dan tidak tepat. Perubahan hukum dalam tataran fikih merupakan sebuah kemutlakan agar hukum tersebut dapat diterapkan sesuai dengan perubahan zaman. Sedangkan hukum dalam kategori syariah merupakan hukum yang bersifat tetap dan abadi sepanjang zaman serta tidak terpengaruh oleh situasi dan kondisi apapun. Adanya perubahan hukum menghendaki perubahan paradigma berpikir masyarakat Islam sebagai habitat hukum Islam tersebut, termasuk di bidang hukum perkawinan, khususnya perceraian. Perceraian tidak lagi merupakan hak mutlak suami, namun sudah menjadi bagian dari hak masyarakat umum sehingga perlu diatur
Universitas Sumatera Utara
48
pelaksanaannya oleh pemerintah. Tujuan pengaturan perceraian oleh pemerintah tersebut semata-mata untuk terwujudnya kepastian hukum sehingga ketentraman dan kedamaian kehidupan masyarakat dapat diwujudkan. Oleh sebab itu, kebijakan pemerintah yang sangat mulai itu tentu saja sejalan dengan tujuan pensyariatan hukum sehingga wajib dipatuhi sebagai wujud kepatuhan kepada Allah dan RasulNya. Berdasarkan hal itu, maka perceraian yang dijatuhkan di luar pengadilan menurut ketentuan hukum Islam di Indonesia dinilai tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum. B. Faktor-faktor Penyebab Utama Perceraian Perceraian terjadi didahului dengan banyaknya konflik dan pertengkaran yang terjadi antara suami dan isteri. Kadang-kadang pertengkaran tersebut masih bisa ditutup-tutupi sehingga anak tidak mengetahuinya, namun tidak jarang anak bisa melihat dan mendengar secara jelas pertengkaran tersebut. Pertengkaran orang tua, apapun alasan dan bentuknya, akan membuat anak merasa takut. Pertengkaran berakibat negatif terhadap psikis anak, hal tersebut akan membuatnya merasa takut, sedih dan bingung sehingga bisa membuatnya menjadi anak yang pemurung. Adapun yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya perceraian diluar pengadilan dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Ekonomi. Perceraian karena masalah ekonomi dapat terjadi karena menganggap pasangan tidak mampu memenuhi kebutuhan materi keluarga, sehingga meninggalkan pasangannya dengan cara bercerai. Hal ini bisa dialami oleh
Universitas Sumatera Utara
49
siapa saja baik dari keluarga yang ekonominya lemah atau yang sudah mapan sekalipun. Mengatur keuangan dengan bijaksana dan tetap hidup sederhana tanpa bermewah-mewahan jauh lebih baik demi kelangsungan hidup berumah tangga. 61 2. Kurang Komunikasi. Setiap orang memiliki permasalahannya sendiri. Begitupun dengan sebuah rumah tangga yang berisi suami, istri dan anak, tentu tidak luput dari konflik. Konflik yang terjadi di dalam rumah tangga sering kali terjadi karena masalah komunikasi yang tidak lancar antara suami dengan istri. 62 3. Tidak Mau Mengalah. Tidak mau mengalah bukan hanya terjadi pada pasangan suami isteri baru atau dalam masa-masa penyesuaian. Namun karakter dan sifat ini bisa terjadi pada pasangan yang sudah “senior” atau tua. Dalam setiap perbedaan pendapat dan pertengkaran antara suami isteri biasanya dipicu oleh perasaan yang menganggap diri selalu benar
dan pasangannya yang salah, sehingga
keduanya tidak mau mengalah dan saling mempertahankan keinginan serta pendapatnya.63 4. Campur Tangan Orang Tua.
61
Hasil wawancara nyonya X (nama samaran, tanggal 13 Oktober 2013, di Banda Aceh. Hasil wawancara nyonya Y(nama samaran, tanggal 13 Oktober 2013, di Banda Aceh. 63 Hasil wawancara dengan Muhammad Irham, tokoh agama masyarakat Kecamatan Ulee Kareng, tanggal 5 Oktober 2013. 62
Universitas Sumatera Utara
50
Turut campur orang tua dalam rumah tangga anak memang sering terjadi, karena orang tua merasa menjadi orang tua dari anaknya sehingga ikut campur dalam urusan rumah tangga anaknya. Ada pula bahkan sampai mengatur kehidupan anaknya sehingga anaknya tertekan. Problem inilah yang menjadi masalah, batasan dari orang tua yang mencampuri urusan rumah tangga anaknya.64 5. Perbedaan Prinsip dan Keyakinan. Dalam hidup berumah tangga diperlukan persamaan visi. Apabila dalam berumah tangga tidak ada persamaan visi dan tujuan dunia maupun akhirat, lambat laun keluarga tersebut pasti akan mengalami kerapuhan. Karena itu, dalam Islam baik muslim maupun muslimah dianjurkan untuk menikahi pasangan bukan karena faktor kecantikan, ketampanan, harta kekayaan, dan keturunan saja, tetapi yang lebih utama adalah faktor agama. Untuk itulah dianjurkan untuk menikah dengan pemeluk agama yang sama.65 6. Perselingkuhan. Perselingkuhan terjadi karena ketidakharmonisan berumah tangga dengan berbagai macam alasan seperti penuaan, kondisi tubuh istri atau suami tak lagi puas terhadap pasangannya. Sedangkan sebagian lagi perceraian terjadi karena faktor umum, seperti suami yang tidak punya pekerjaan tetap atau tidak
64
Hasil wawancara dengan Muhammad Irham, tokoh agama masyarakat Kecamatan Ulee Kareng, tanggal 5 Oktober 2013. 65 Hasil wawancara dengan Muhammad Irham, tokoh agama masyarakat Kecamatan Ulee Kareng, tanggal 5 Oktober 2013.
Universitas Sumatera Utara
51
berpenghasilan rutin tapi harus berbagi dengan keluarga orangtuanya sendiri.66 C. Praktek Cerai di Luar Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh Tokoh masyarakat yang dikenal sebagai sosok yang sering menangani proses perceraian di kalangan masyarakat Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh.67 Praktek cerai diluar pengadilan ini menurut beliau tidak dapat dilepaskan dari adanya keinginan masyarakat untuk bercerai yang berkesesuaian dengan hukum Fikih Islam serta proses cepat dan murah. Pria berusia 38 tahun yang masih aktif sebagai perangkat desa/tokoh masyarakat ini juga merupakan tokoh keagamaan masyarakat. Pemahaman beliau akan ilmu agama-lah yang menjadikan beliau sebagai panutan masyarakat dalam hal permasalahan agama. Di samping menjadi hakam dalam proses perceraian yang dilakukan oleh masyarakat. juga menjadi pihak yang mengawinkan pasangan laki-laki dan perempuan dalam perkawinan sirri atau di luar ketentuan perkawinan resmi di Indonesia.68
66
Hasil wawancara dengan nyonya M (nama samaran), tanggal 15 Oktober 2013 di Banda
Aceh. 67
Hasil wawancara dengan Muhammad Marzuki, salah seorang tokoh masyarakat Desa Ceurih, Ulee Kareng, tanggal 27 Oktober dan 7 Nopember 2013 68 Hasil wawancara dengan Muhammad Marzuki, salah seorang tokoh masyarakat Desa Ceurih, Ulee Kareng, tanggal 27 Oktober dan 7 Nopember 2013.
Universitas Sumatera Utara
52
Tabel 1 Perceraian di Luar Pengadilan di Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh pada tahun 2012-2013 No
Nama
1
Rubiah
Umur (Tahun) 35
Alamat (Kec. Ulee Kareng Desa Ilie
Status Cerai
Status sekarang Menikah lagi
Keterangan
Menikah lagi
Nikah Sirri
Menikah lagi
Nikah Sah
Menikah lagi
Nikah Sirri
Diluar
Tidak
-
Pengadilan
menikah lagi
Diluar
Menikah lagi
Nikah Sirri
Menikah lagi
Nikah Sirri
Diluar
Nikah Sirri
Pengadilan 2
Mauliawati
45
Desa Pango Raya
Diluar Pengadilan
3
4
Mawardi
Misthafiah
40
38
Desa
Diluar
Lamglumpang
Pengadilan
Desa Ie Masen
Diluar Pengadilan
5
Sri
41
Desa Ceurih
Ratnawati 6
Hasan
43
Desa Pango Raya
Pengadilan 7
Abdul Hadi
47
Desa Doi
Diluar Pengadilan
Sumber: Dari Tokoh masyarakat/ Geuchik Gampong/Desa Dalam Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh.
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa, dari 25 orang sampel didapat hasil penelitian bahwa terdapat ada 7 kasus perceraian yang dilakukan diluar pengadilan yang terjadi di Kecamatan Ulee Kareng sepanjang tahun 2012-2013, 6 kasus diantaranya menikah lagi secara sirri/bawahtangan. Semua kasus perceraian tersebut dilakukan didepan tokoh agama masyarakat yang ada di desa setempat.
Universitas Sumatera Utara
53
Tabel 2 Perceraian di Pengadilan di Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh pada tahun 2012-2013 No
1
Nama
Farma
Umur
Alamat (Kec.
(Tahun)
Ulee Kareng)
39
Desa Ceurih
Status Cerai
Status
keterangan
Sekarang Di
Janda
-
Menikah lagi
Nikah Sirri
Menikah lagi
Nikah Sah
Duda
-
Menikah lagi
Nikah Sah
Menikah lagi
Nikah sah
Duda
-
Menikah lagi
Nikah sah
Janda
-
Menikah lagi
Nikah sah
Pengadilan 2
Yusra Aini
38
Desa Lamteh
Di Pengadilan
3
Yulidar
38
Desa Pango Deah
Di Pengadilan
4
5
Saiful
Fadli
45
35
Desa
Di
Lamglumpang
Pengadilan
Desa Doi
Di Pengadilan
6
Sukmawati
37
Desa Doi
Di Pengadilan
7
Burhan
47
Desa Doi
Di Pengadilan
8
Zubir
40
Desa Ceurih
Di Pengadilan
9
Ratnawati
42
Desa Ie Masen
Di Pengadilan
10
Adam
45
Desa Ie Masen
Di Pengadilan
Sumber: Dari Tokoh masyarakat/ Geuchik Gampong/Desa Dalam Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh.
Universitas Sumatera Utara
54
Dari tabel diatas dapat dilihat ada 10 kasus perceraian yang dilakukan di pengadilan yang terjadi di Kecamatan Ulee Kareng sepanjang tahun 2012-2013, 1 kasus menikah lagi secara sirri/bawahtangan, 5 kasus menikah lagi secara sah, dan 4 kasus tidak menikah lagi. Berdasarkan data diatas, dari 7 perceraian yang dilakukan diluar pengadilan ada 6 kasus perceraian yang melakukan perkawinan berikutnya dengan tidak mencatatkan perkawinannya tersebut pada Kantor Urusan Agama setempat. Dengan demikian praktek cerai diluar pengadilan dikecamatan Ulee Kareng Banda Aceh, banyak dilakukan oleh masyarakat setempat. D. Penyebab Perceraian diluar Pengadilan di kecamatan Ulee kareng Kota Banda Aceh. Berdasarkan kasus-kasus perceraian yang dilakukan di luar pengadilan pada masyarakat Kecamatan Ulee kareng Kota Banda Aceh, maka terdapat beberapa faktor penyebab, yaitu : 1. Faktor Ekonomi Praktek cerai di luar Pengadilan Agama juga didasarkan pada kenyataan bahwasanya proses yang dilalui lebih mudah dan tidak memerlukan biaya yang banyak. Biasanya proses perceraian di Pengadilan Agama berlarut-larut karena harus menjalani beberapa persidangan. Berbeda dengan perceraian yang dilakukan di depan penghulu yang langsung dapat diputuskan jika pasangan suami-isteri yang akan bercerai telah benar-benar menginginkan perceraian. Meskipun ada upaya
Universitas Sumatera Utara
55
pendamaian, namun hal itu tidak berlarut-larut dan tidak melibatkan banyak orang melainkan hanya terpusat pada pasangan yang akan bercerai.69 2. Faktor Agama Masyarakat menilai bahwa perceraian tersebut sah menurut agama, walaupun tanpa melalui Pengadilan. Dengan cara ini sangat mudah dan biayanya murah. Faktor-faktor pendorong praktek perceraian dalam Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh. Masalah cerai di luar Pengadilan/Mahkamah Syar”iyah yang dilakukan oleh masyarakat Ulee Kareng tidak lepas dari pemahaman masyarakat terhadap posisi hukum dalam kehidupan mereka. Pada umumnya, masyarakat memiliki pandangan bahwasanya hukum Islam adalah hukum dasar yang menjadi pijakan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Oleh sebab itu, sekali lagi, bagi mereka pelaksanaan hukum agama lebih penting dan lebih utama daripada pelaksanaan hukum lainnya.70 3. Faktor Sosial dan Kebiasaan Masyarakat Setempat Praktek cerai di Luar Pengadilan di Ulee Kota Kareng Banda Aceh merupakan praktek yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Pada dasarnya, proses perceraian yang dilaksanakan di depan tokoh agama masyarakat ini dilaksanakan melalui tiga tahapan dengan penjelasan sebagai berikut:71
69
Hasil wawancara dengan hasbuh, tanggal 6 Oktober 2013 Hasil wawancara dengan Muhammad Irham, tokoh agama masyarakat Kecamatan Ulee Kareng, tanggal 5 Oktober 2013. 71 Hasil wawancara dengan Hasbuh tanggal 6 Oktober 2013. 70
Universitas Sumatera Utara
56
a. Tahapan “pendaftaran” Maksud dari pendaftaran ini tidak sama dengan pendaftaran pada proses perceraian
di Pengadilan. Pendaftaran dalam proses perceraian
cukup
pemberitahuan kepada penghulu perihal keinginan suami isteri yang akan bercerai. Pendaftaran tersebut dilakukan secara lisan kepada tokoh agama masyarakat, hasil dari proses pendaftaran tersebut tidak dibuktikan melalui hitam di atas putih melainkan hanya berlandaskan pada saling percaya antara masyarakat dengan tokoh agama masyarakat. Dalam proses “pendaftaran” juga disertakan kesepakatan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Umumnya, jangka waktu antara penyampaian keinginan dari suami-isteri yang akan bercerai dengan penyelesaian masalah tidak lebih dari 1 (satu) minggu. Biaya untuk proses perceraian ini tidak ditentukan, namun umumnya, para pelaku memberikan uang tanda jasa kepada tokoh agama masyarakat, rata-rata sebesar Rp. 100.000,00-Rp. 250.000,00. b. Tahapan “mediasi” Proses ini terdiri dari dua proses, yakni proses penjelasan alasan-alasan yang menyebabkan suami-isteri ingin bercerai dan proses pemberian konsultasi Muhammad dan rekan kerja Muhammad kepada pasangan suami-siteri tersebut. Pada proses yang pertama, Muhammad akan mempertanyakan hal-hal yang menjadi penyebab suami-isteri menginginkan perceraian.
Universitas Sumatera Utara
57
Hal ini penting karena menurut Islam, perceraian harus didasarkan pada sebabsebab yang diperbolehkan oleh agama. Menurutnya, alasan-alasan yang diperbolehkan oleh agama Islam di antaranya adalah: 1. Salah satu pasangan murtad. 2. Terjadi perselisihan yang tidak dapat didamaikan dan apabila dipaksakan akan menimbulkan madharat bagi salah satu atau bahkan keduanya. 3. Beda Agama. 4. Tidak ada kejelasan kabar dari salah satu pasangan suami isteri dalam jangka waktu tertentu. 5. Adanya cacat permanen yang dapat mengganggu produktifitas keluarga, isteri tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai isteri. 6. Isteri melakukan zina (li’an).72 7. Isteri meninggalkan rumah suaminya tanpa izin dari suami dan tidak ada alasan syara’ atau suami terhalang memasuki rumah isteri yang ditempati berdua (nusyuz). Alasan-alasan di atas yang mayoritas dijadikan alasan untuk melakukan talak adalah nomor 2, 3dan 4 yang tidak lain disebabkan karena mayoritas yang meminta perceraian adalah pihak laki-laki. Setelah adanya pemaparan tentang permasalahan yang dialami oleh pasangan suami-isteri, kemudian Muhammad akan memberikan
72
Li’an dalam arti bahasa berasal dari kata laa’ana-yulaa’inu-li’aanan yakni masingmasing melaknat pihak yang lain. Sedangkan menurut arti syara’ ialah kalimat-kalimat khusus dipergunakan sebagai alasan bagi pihak yang memerlukan untuk menuduh orang lain yang menodai kehormatannya atau tidak mengakui anak. Lih. Ulaudin, Badaiush Shana’iek, Jilid 3, Mesir, Cet. ke-1, 1910, hal. 237.
Universitas Sumatera Utara
58
konsultasi terkait dengan permasalahan yang dialami kecuali untuk permasalahan murtad. Muhammad beranggapan bahwa: “Masalah agama merupakan masalah pribadi yang sangat privasi bagi setiap orang. Saya tidak berhak memaksakan salah satu pasangan untuk kembali kepada agama asal demi menyelamatkan perkawinan mereka. Hal ini tentu akan bertentangan dengan konsep Islam kaffah”. 73 Sementara menurut KUH Perdata mengenai putusnya perkawinan diatur dalam Pasal 199, 200-206b, 207-232a dan 233-249. Pasal 199 menerangkan putusnya perkawinan disebabkan: a. karena meninggal dunia; b. karena keadaan tidak hadirnya salah seorang suami isteri selama sepuluh tahun diikuti dengan perkawinan baru isterinya / suaminya sesuai dengan ketentuanketentuan dalam bagian ke lima bab delapan belas; c. karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur dan pendaftaran putusnya perkawinan itu dalam register catatan sipil, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian kedua bab ini; d. karena perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga bab ini. Kemudian dalam Pasal 209 KUH Perdata menyebutkan beberapa alasan yang mengakibatkan terjadinya perceraian, yaitu: a. zinah; b. meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat; 73
Hasil wawancara dengan Hasbuh, Tanggal 6 Oktober 2013.
Universitas Sumatera Utara
59
c. penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan; d. melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh si suami atau si isteri terhadap isteri atau suaminya, yang demikian sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya, atau sehingga mengakibatkan luka-luka yang membahayakan. Alasan-alasan perceraian diatur juga dalam pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal 39 ayat (2) menyatakan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagi berikut: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri. f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Universitas Sumatera Utara
60
Perceraian boleh dilakukan dengan satu alasan saja diantara beberapa alasan hukum yang ditentukan dalam pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974. Jadi secara yuridis, alasan-alasan perceraian tersebut bersifat alternatif, dalam arti suami atau isteri dapat mengajukan tuntutan perceraian cukup dengan satu alasan hukum saja. Selain hal tersebut, yang telah menjadi ketetapan hukum formal di negara Republik Indonesia, maka dalam Islam hal-hal yang menjadi sebab terjadinya perceraian itu menurut Sayuti Thalib adalah:74 1. Terjadinya Nusyuz isteri, dimana sumber hukum tentang hal ini ditemukan dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 34, yang artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian: mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka ditempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. Maksudnya adalah tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya. Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik. Nusyuz yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. Maksudnya untuk memberi pelajaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat oleh suaminya, bila
74
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, Cetakan 5, 1986), hal. 92.
Universitas Sumatera Utara
61
nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukulnya dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya. 2. Terjadinya Nusyuz suami, yang dasar hukumnya dalam Al-Qur’an Surat AnNisa ayat 128, yang artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara isterimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. 3. Terjadinya Syiqaq antara suami isteri, yang diatur dalam Al-Qur’an Surat AnNisa ayat 35, yang artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. 4. Bila salah satu pihak melakukan Fahisyah yang dasar hukumnya dalam AlQur’an, Surat An-Nisa ayat 15, yang artinya: “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya”. Dari kasus keinginan cerai pasangan suami-isteri yang ditangani oleh Muhammad dan Hasbuh, hanya ada beberapa kasus yang dapat didamaikan
Universitas Sumatera Utara
62
kembali pada proses mediasi. Namun tidak sedikit yang berakhir pada perceraian. Proses konsultasi hanya dilakukan satu kali dan apabila memang keputusan untuk bercerai dari pasangan suami-isteri telah bulat, maka kemudian melangkah pada tahap selanjutnya. Proses konsultasi tersebut tidak melibatkan keluarga dari masing-masing pasangan. Hal ini disebabkan keberadaan pasangan suami isteri telah dapat memberikan gambaran keadaan rumah tangga yang mereka alami. Jadi tidak perlu menghadirkan keluarga dalam proses konsultasi. Terlebih lagi, tidak jarang kehadiran keluarga malah akan menimbulkan keributan dalam proses konsultasi pasangan suami-isteri. c.
Tahapan “putusan” Apabila proses konsultasi gagal, maka kemudian Muhammad mempersilahkan pasangan tersebut untuk bercerai dengan adanya ikrar talak dari pihak suami. Pengucapan ikrar tersebut dilakukan di depan Muhammad dan hasbullah dan isteri. Namun jika tidak ada pihak isteri (isteri tidak diketahui kejelasan keberadaannya), maka ikrar talak tersebut dilakukan di depan Muhammad. Ikrar talak yang diucapkan merupakan ikrar talak dalam fiqih Islam. Ikrar talak yang diucapkan dalam proses perceraian di masyarakat Desa Ulee Kareng adalah sebagai berikut: “Saya talak isteri saya yang bernama.......binti....... dengan talak...... sejak....... karena...”.75
75
Hasil wawancara dengan Muhammad, Tanggal 30 Oktober 2013.
Universitas Sumatera Utara
63
Dalam pengucapan ikrar talak tersebut juga disebutkan kualitas talak yang diikrarkan. Hal ini untuk memperjelas posisi kemungkinan rujuk bagi pasangan suami-isteri atau hilangnya kemungkinan rujuk tersebut. d.
Tahapan “pencatatan” Setelah adanya pengucapan ikrar talak, maka tahapan berikutnya adalah pencatatan hasil perceraian. Catatan ini hanya berupa tulisan tangan dari Muhammad yang disertai dengan tanda tangan Muhammad sebagai legalitas perceraian. Catatan ini berfungsi untuk informasi tentang status baru yang dialami oleh pasangan suami-isteri yang telah bercerai. Selain itu, catatan tersebut juga berguna sebagai pedoman bagi pasangan suami-isteri dalam melaksanakan perkawinan yang baru. Meski demikian, catatan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum bagi pernikahan berdasar hukum negara. Dalam catatan perceraian tersebut harus tertera aspek-aspek berikut ini: 1. Nama suami-isteri yang bercerai. 2. Tanggal perceraian. 3. Tempat pelaksanaan perceraian. 4. Alasan perceraian. 5. Tanda tangan pasangan yang bercerai. 6. Tanda tangan Muhammad
e.
Tahapan “pemberian nasehat” Setelah selesai proses perceraian dengan adanya ikrar talak, maka kemudian memberikan nasehat kepada suami-isteri yang telah bercerai. Nasehat tersebut
Universitas Sumatera Utara
64
terkait dengan hak dan kewajiban yang diakibatkan dari adanya perceraian, baik yang menyangkut suami-isteri, harta benda, atau hak dan kewajiban kepada anak-anak mereka. Nasehat yang diberikan juga mencakup masalah masa iddah, hubungan kekeluargaan berbasis persaudaraan antara mantan suami dengan mantan istri. Materi ini sangat penting karena tidak jarang setelah adanya perceraian, hubungan persaudaraan antara keluarga mantan suami dan mantan isteri tidak baik dan bahkan cenderung bermusuhan. Kasus-kasus yang ditangani oleh Muhammad dan Hasbuh dalam proses perceraian antara lain adalah mencakup permasalahan nusyuz, syiqaq, hingga nikah hamil. Implikasi cerai di luar Pengadilan Agama dan implikasinya pada masyarakat yaitu setelah melakukan cerai di Luar Pengadilan, kemudian melaksanakan pernikahan kembali dengan jalan nikah sirri. Berdasarkan pemaparan di atas dapat diketahui bahwasanya pelaku cerai di luar Pengadilan berasal dari kelompok laki-laki dan wanita. Pada kelompok laki-laki, alasan yang digunakan untuk melakukan cerai di luar Pengadilan adalah karena telah ditinggal pergi oleh isteri. Sedangkan pada kelompok wanita tidak ada alasan selain karena faktor agama dan kemudahan dalam proses perceraiannya. Dari hasil perkawinan tersebut, ada yang memperoleh anak dan ada yang tidak memperoleh anak
Universitas Sumatera Utara