BAB II BENTUK-BENTUK PENGUNGKAPAN EPISTEMOLOGI MENURUT AL-QUR’AN
A. Makna Epistemologi dan Pengungkapannya Dalam Al-Qur’an a) Makna Epistemologi Pengertian epistemologi secara etimologi berasal dari kata episteme dan logos. Kata episteme memiliki makna pengetahuan sedang logos berarti ilmu atau teori. Jadi epistemologi adalah teori ilmu pengetahuan. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang berbicara secara khusus mengenai sifat keaslian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan. Makna lain epistemologi ialah suatu ilmu yang secara khusus membahas dan mempersoalkan apa itu pengetahuan, dari mana pengetahuan itu diperoleh dan bagaimana cara memperolehnya.1 Sementara itu The Liang Gie mendefinisikan, epistemologi adalah cabang filsafat yang terkait dengan masalah dasar ilmu pengetahuan, yakni dari mana pengetahuan itu diperoleh, dan bagaimana cara memperolehnya serta bagaimana tingkat validitasnya.2 Diterangkan pula bahwa epistemologi bersangkutan dengan masalah yang meliputi, filsafat yang berusaha mencari hakekat dan kebenaran pengetahuan, metode yang berusaha mengantarkan manusia untuk memperoleh pengetahuan, sistem yang bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan. Pendapat lain menyebutkan bahwa epistemologi sama dengan filsafat pengetahuan, yaitu suatu kajian yang membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dan metode-metode apa saja yang digunakan. Selain epistemologi ada dua bentuk asas lain yang ada dalam suatu ilmu, yaitu: ontologi dan aksiologi. Ontologi ialah suatu obyek yang 1
Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 25. 2 Ibid.
15
16
menjadi dasar kajian atau sebagai ojeknya. Sedangkan aksiologi, yaitu ilmu pengetahuan yang secara khusus membahas tentang nilai, manfaat, kegunaan serta fungsi ilmu itu sendiri. Dalam hal ini secara sederhana dapat dipahami bahwa sesuatu yang perlu dipikirkan disebut (ontologi), yakni ada objek yang jelas, kemudian bagaimana proses kerjanya yang disebut epistemologi, dan baru kemudian bagaimana manfaat atau kegunaannya yang disebut aksiologi. Dengan demikian pengetahuan yang benar yaitu harus memiliki unsur ontologis, epistemologis dan aksiologis.3 P. Hardono Hadi mendefinisikan epistemologi sebagaimana yang dikutip oleh Mujamil Qomar, epistemologi adalah bagian filsafat yang mempelajari dan menentukan kodrat dan arah pengetahuan. Jadi epistemologi adalah cabang filsafat yang berurusan mengenai hakikat dan ruang lingkup pengetahuan.4 Pengertian-pengertian di atas pada dasarnya hampir sama adapun yang membedakannya adalah pada kodrat dan hakikat pengetahuan. Kodrat pengetahuan itu berkaitan dengan keaslian sifat pengetahuan, sedangkan hakikat pengetahuan itu berkaitan dengan ciri-ciri pengetahuan sehingga menghasilkan suatu pengertian yang benar. Masalah epistemologi para ahli filsafat mempunyai pandangan berbeda walaupun pada dasarnya memiliki kesamaan tujuan. Adapun pandangan para ahli tersebut bisa dicermati sebagaimana berikut: 1.
Dagobert D. Runes; menyatakan epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode, dan validitas pengetahuan.
2.
Azyumardi Azra; mendefinisikan bahwa epistemologi adalah sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan.
3
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990), hlm. 105. 4 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Penerbit Erlangga, t. th), hlm. 3
17
3.
Mudlor
Achmad;
epistemologi
ialah
bagian
filsafat
yang
mempertanyakan, hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. 4.
M. Arifin; epistemologi yaitu cabang filsafat yang mempertanyakan asal pengetahuan yang meliput hakikat, sumber, dan validitas pengetahuan.
5.
A.M. Saefuddin menyebutkan epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab; apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai di manakah batasannya, yang dapat diringkan menjadi dua masalah pokok, yaitu masalah sumber ilmu dan masalah kebenaran ilmu.5 Dari berbagai pengertian di atas dapatlah digarisbawahi bahwa
epistemologi adalah cabang filsafat yang mempersoalkan bagaimana memperoleh pengetahuan, dengan apa pengetahuan itu di peroleh dan bagaimana hakekatnya yang dikajinya dengan menggunakan metode ilmiah, yaitu cara untuk menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang benar, sehingga secara akademik hasilnya dapat dipertanggung jawabkan. Jadi pengetahuan yang benar itu harus diperoleh melalui metode yang benar. Diketahui pula bahwa tidak semua ilmu itu disebut ilmiah, karena ada ilmu yang diyakini kebenarannya namun secara akademik tidak dianggap benar dan ilmiah karena secara akademik tidak mampu menunjukkan secara ilmiah, contoh ilmu magic. Sedangkan ilmu yang dianggap ilmiah ialah Ilmu yang mampu menjelaskan keberadaannya secara ilmiah, yakni memiliki metodologi yang jelas, sehingga secara akademik dia mampu membuktikan kebenaran secara benar dan ilmiah.
5
Ibid.,I hlm. 4.
18
Dengan demikian metode ilmiah dalam ilmu pengetahuan merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhinya.6 Dari kerangka pemikiran di atas dapat dipahami, epistemologi adalah salah satu sub sistem dari sistem filsafat (ontologi, epistemologi, dan aksiologi), sehingga epistemologi itu sendiri tidak bisa memisahkan diri dari filsafat. Dalam konteks ini epistemologi ialah segala bentuk pekerjaan dan pemikiran manusia yang selalu mempertanyakan dari mana ilmu pengetahuan itu diperoleh.7 Aktivitas-aktivitas dalam filsafat pengetahuan dapat ditempuh melalui kontemplasi atau perenungan-perenungan secara filosofis dan analitik. Kontemplasi atau perenungan ini dalam bahasa Arab disebut dengan istilah tafakkar, tadabbar, tadakkar, dan sebagainya. Masalah ini dalam Al-Qur’an disebutkan kurang lebih 130 ayat yang menyuruh manusia menggunakan akalnya untuk merenung dan berfikir. Sebagai contoh, Allah berfirman: Yang artinya: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan kejadian langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah AlQur’an”. (QS. al-A’raf: 185).8 Merenung dan berfikir yang telah diyakini sebagai cirikhas cara kerja berfikir filosofis, karena tidak akan ada filsafat tanpa melalui perenungan-peenungan (kontemplasi) itu. Filsafat selalu mengandalkan kontemplasi (berfikir mendalam), baik ketika menelaah wilayah kerja (kajian) ontology, axiology, maupun epistemology, walaupun tidak menutup kemungkinan menggunakan pendekatan lain, seperti analisis konsep, atau analisis bahasa. Epistemologi (teori ilmu pengetahuan) ialah inti sentral setiap keilmuan. Dalam konteks Islam epistemologi merupakan parameter yang
6
Jujun S. Suriasumantri, op. cit., hlm. 105. Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim; Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Modern, (Yogyakarta: Sipress, 1993), hlm. 53. 8 Zakiyah Daradjat, dkk, Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), hlm. 22. 7
19
bisa memetakkan apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin menurut bidang-bidangnya, yakni apa yang mungkin diketahui dan harus diketahui serta apa yang sama sekali tidak mungkin diketahui. Dengan demikian epistemologi dapat dijadikan sebagai filter terhadap objek-objek pengetahuan karena tidak semua objek mesti dapat dijelajahi oleh pengetahuan manusia. Epistemologi merupakan cara dan arah berfikir manusia untuk memperoleh dan menemukan ilmu pengetahuan dibangun melalui kemampuan rasio (akal), indera dan intuisi.9 b) Diskursus Epistemologi Dikalangan Ulama a. ULAMA’ FIQIH FIQIH,
SECARA BAHASA BERARTI FAHAM TERHADAP TUJUAN
SESEORANG PEMBICARA DARI PEMBICARAANNYA. FIQIH
IALAH
HUKUM-HUKUM
MENGETAHUI
MENURUT
SYARA’
ISTILAH
MENGENAI
PERBUATAN MANUSIA MELALUI DALIL-DALILNYA YANG TERPERINCI.
PENGERTIAN LAIN FIQIH ADALAH ILMU YANG DIHASILKAN OLEH PIKIRAN SERTA IJTIHAD (PENELITIAN).
OLEH
KARENA ITU
TUHAN
TIDAK BISA
DISEBUT SEBAGAI “FAQIH” (AHLI ILMU FIQIH), KARENA BAGINYA TIDAK ADA SESUATU YANG TIDAK JELAS.
DENGAN
DEMIKIAN FIQIH ADALAH
SUATU BIDANG KEILMUAN AGAMA, SECARA KHUSUS BERBICARA MENGENAI HUKUM (SYARI’AT
10
) AGAMA BERFUNGSI UNTUK MENGATUR
TATA KEHIDUPAN MANUSIA DIMANA BELUM DIKETAHUI ATAU BELUM JELAS
KEDUDUKAN 11
DIAMALKAN.
HUKUMNYA
YANG
BISA
DIJALANKAN
ATAU
. SEDANGKAN PARA ULAMA HUKUM ISLAM SECARA GARIS
BESAR MEMAKNAI FIQIH ADALAH SEBAGAI HUKUM-HUKUM SYARI’AH
9
Jujun S. Suria Sumantri, op. cit., hlm. 17. Syariat adalah apa (hukum-hukum) yang diadakan oleh Tuhan untuk hamba-hambanya, yang dibawa oleh salah seorang nabi-nya saw., baik hukum-hukum tersebut berhubungan dengan cara mengadakan perbuatan yaitu yang diebbut sebagai “hukum-hukum cabang dan amalan”, dan untuknya maka dihimpunlah ilmu fiqih; atau berhubungan dengan cara mengadakan kepercayaan (‘itikad), yaitu yang disebut sebagai “hukum-hukum pokok” dan kepercayaan, dan untuknya maka dihimpun ilmu kalam. Syari’at (syara’) disebut “agama”. 11 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 10. 10
20
YANG BERSIFAT AMALIAH, YANG TELAH DIISTINBATKAN OLEH PARA 12
MUJTAHID DARI DALIL-DALIL SYAR’I YANG TERPERINCI.
KAJIAN AGAMA,
DALAM ILMU FIQH ITU MELIPUTI SELURUH HUKUM
BAIK
YANG
BERHUBUNGAN
DENGAN
HUKUM-HUKUM
KEPERCAYAAN ATAU HUKUM-HUKUM PERBUATAN DAN ATAU HUKUMHUKUM AKHLAK.
PARA (FIQH)
ULAMA YANG BERKECIMPUNG DALAM HUKUM
ISLAM
ISLAM,
YAKNI
MEREKA SEPAKAT BAHWA SUMBER HUKUM
SUMBER
HUKUM
YANG
DIJADIKAN
PIJAKAN
DALAM
MENGURAI
PERSOALAN-PERSOALAN HUKUM YANG BELUM JELAS KETENTUAN HUKUMNYA.
MAKA YANG
(AL-QUR’AN/
TEKS
14
IJMA’
HUKUM
ISLAM,
13
WAHYU, HADITS, DAN IJTIHAD
15
DAN QIYAS
MENJADI LANDASAN HUKUM ISLAM ADALAH
). SECARA
ULAMA, SERTA
EPISTEMOLOGI SUMBER PENGETAHUAN
PERTAMA BERASAL DARI TEKS
(WAHYU). DALAM
FILSAFAT ISLAM HAL INI MENGACU PADA EPISTEMOLOGI BAYANI.
BAYANI
ADALAH
METODE
PEMIKIRAN
KHAS
ARAB
YANG
MENEKANKAN OTORITAS TEKS (NASH), SECARA LANGSUNG ATAU TIDAK 12
Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), hlm.14-15. Ijtihat artinya mencurahkan segala kemampuan intelektual untuk memperoleh hukum syara’ dari dalil-dalilnya. Hasby Ash Shiddiqi mengemukakan ijtihad adalah menggunakan segala kesanggupan untuk mencari suatu hukum syara’ dengan jalan praduga (zhan). 14 Ijma’ adalah setiap pendapat yang didukung oleh hujah, sekalipun pendapat itu muncul dari seseorang. Al-Ghozali mendefinisikan bahwa ijma’ adalah kesepakan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama. Sedangkan As-Syafi’i berpendapat bahwa ijma’ harus dilakukan dan dihasilkan oleh seluruh umat islam, karena suatu pendapat yang dapat terhindar dari suatu kesalahan hanyalah apabila disepakati oleh seluruh umat. Sementara Jumhur ulama berpendapat ijma’ adalah ke sepakan seluruh mujtahid islam dalam suatu massa, sesudah wafat rasulullah, akan suatu hukum syari’at yang amali. Dalam hal ini ijma’ dibedakan dalam dua bentuk, yaitu ijma’ qath’i, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu malah tanpa ada bantahan di antara mereka. Ijma’ ini dapat dijadikan dalil (alasan) dalam menetapkan hukum suatu masalah. Kedua, ijma’ sukuti, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah, kesepakatan yang mendapat tantangan (hambatan) doa antara mereka atau salah seorang diantara mereka tenang (diam) saja dalam mengambil suatu keputusan. 15 Menurut bahasa qiyas artinya ukuran atau mengukur, mengetahui ukuran sesuatu, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Dengan demikian qiyas dapat diartikan menggunakan sesuatu atas yang lain, agar diketahui persamaan antara keduanya. Pengikut as-Syafi’i berpendapat bahwa qiyas adalah membawa (hukum) yang (belum) diketahui kepada (hukum) yang diketahui untuk menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, karena adanya sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat. Dan jumhur ulama pun sepakat dengan definisi yang dikemukakan oleh kaum safiiyah, yakni bahwa qiyas adalah menemukan hukum yang belum diketahui untuk dicarikan kesamaan dengan hukum yang sudah diketahui. 13
21
LANGSUNG, DAN DI JUSTIFIKASI OLEH AKAL KEBAHASAAN YANG DIGALI LEWAT INFERENSI (ISTIDLAL).
SECARA
LANGSUNG BERARTI MEMAHAMI
TEKS SEBAGAI PENGETAHUAN HUKUM, DAN TIDAK LANGSUNG BERARTI MENGETAHUI TEKS SEBAGAI PENGETAHUAN MENTAH SEHINGGA PERLU TAFSIR DAN PENALARAN.
JADI
DALAM PERSPEKTIF KEAGAMAAN,
SASARAN BIDIK METODE BAYANI ADALAH ASPEK EKSOTERIK (SYARIAT).
DALAM (EKSPLANASI),
BAHASA
ARAB
BAYANI
BERARTI
PENJELASAN
SEDANGKAN DALAM KAMUS LISAN AL-ARAB BAYANI
MENGANDUNG BEBERAPA ARTI, DIANTARANYA: AL-FASHL WA INFISHAL
(MEMISAHKAN
DAN TERPISAH), DAN AL-DHUHUR WA AL-IDHAR (JELAS
DAN PENJELAS).
PADA
16
MASA
SYAFII (767-820 M),
YANG DIANGGAP SEBAGAI
PELETAK DASAR JURISPRUDENCE ISLAM, BAYANI BERARTI NAMA YANG MENCAKUP MAKNA-MAKNA YANG MENGANDUNG PERSOALAN USHUL
(POKOK)
DAN YANG BERKEMBANG HINGGA KE CABANG
(FURU’).
SECARA METODOLOGI SYAFII MEMBAGI BAYAN INI DALAM LIMA BAGIAN DAN TINGKATAN.
(1) BAYAN YANG TIDAK BUTUH PENJELASAN LANJUT,
BERKENAN DENGAN SESUATU YANG TELAH JELAS HUKUMNYA (SUDAH ADA PENJELASAN DARI
QUR’AN
TUHAN),
YAKNI YANG TERTERA DALAM AL-
SEBAGAI KETENTUAN BAGI MAKHLUKNYA.
(2)
BAYAN YANG
BEBERAPA BAGIAN MASIH GLOBAL SEHINGGA BUTUH PENJELASAN SUNNAH,
(3)
BAYAN
YANG
KESELURUHANNYA
SEHINGGA BUTUH PENJELASAN SUNNAH,
(4)
MASIH
GLOBAL
BAYAN SUNNAH, SEBAGAI
URAIAN ATAS SESUATU YANG TIDAK TERDAPAT DALAM AL-QUR’AN,
(5)
BAYAN IJTIHAD YANG DILAKUKAN DENGAN QIYAS ATAS SESUATU YANG TIDAK TERDAPAT DALAM AL-QUR’AN MAUPUN SUNNAH.
DARI
KELIMA
HAL TERSEBUT AS-SYAFII MENYATAKAN BAHWA, YANG POKOK (USHUL) SEBAGAI BENTUK SUMBER PENGETAHUAN DALAM HUKUM
16
dan 24.
ISLAM
Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huduri, terj, Ahsin M, (Bandung: Mizan, 1994), hlm, 47-48
22
AL-QUR’AN, SUNNAH
ADALAH
QIYAS,
DAN
KEMUDIAN DITAMBAH
17
IJMA’.
SEBAGAI BAYANI
SUMBER PENGETAHUAN HUKUM ISLAM EPISTEMOLOGI
SEBAGAI
BENTUK
EPISTEMOLOGI
HUKUM
SYARIAT), SELALU BERPIJAK PADA TEKS (NASH).
ISLAM (FIQH/
DALAM
USHUL FIQIH
YANG DIMAKSUD NASH SEBAGAI SEMBER PENGETAHUAN HUKUM ISLAM AL-QUR’AN
ADALAH
DAN
18
HADITS.
MAKA,
DALAM
HAL
INI
EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM MENARUH PERHATIAN BESAR DAN TELITI PADA PROSES TRANSMISI TEKS DARI GENERASI KE GENERASI.
HAL
INI
MUTLAK DIPERLUKAN KARENA TEKS SEBAGAI SUMBER PENGETAHUAN BENAR TIDAKNYA TRANSMISI TEKS MENENTUKAN BENAR SALAHNYA KETENTUAN HUKUM YANG DIAMBIL.
JIKA
TRANSMISI TEKS BISA
DIPERTANGGUNG JAWABKAN BERARTI TEKS TERSEBUT BENAR DAN BISA DIJADIKAN
DASAR
DIRAGUKAN,
HUKUM.
MAKA
SEBALIKNYA,
KEBENARAN
JIKA
TEKS
TRANSMISINYA TIDAK
BISA
DIPERTANGGUNGJAWABKAN DAN ITU BERARTI IA TIDAK BISA DIJADIKAN 19
LANDASAN HUKUM.
ADAPUN ISLAM
DENGAN MENEMPUH DUA JALAN MENEMPUH DUA JALAN.
PERTAMA, BAHSA
CARA MEMPEROLEH PENGETAHUAN DALAM HUKUM
BERPEGANG PADA REDAKSI
ARAB
KEDUA,
(LAFAT)
TEKS DENGAN KAIDAH
SEPERTI NAHWU, DAN SHARAF SEBAGAI ALAT ANALISA.
MENGGUNAKAN METODE QIYAS (ANALOGI) DAN INILAH PRINSIP
UTAMA EPISTEMOLOGI
HUKUM ISLAM (FIQH/
SYARIAT).
ADA
BEBERAPA
SYARAT YANG HARUS DIPENUHI DALAM MELAKUKAN QIYAS; (1) ADANYA 20
AL-ASHL
, YAKNI NAS SUCI YANG MEMBERIKAN HUKUM DAN DIAPAKAI
SEBAGAI UKURAN,
17
178-179.
18
(2)
AL-FAR; SESUATU YANG TIDAK ADA HUKUMNYA
Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.
Abd Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Masdar Helmi, (Bandung: Gema Risalah Pres, 1996), hlm. 22. 19 Khudori Soleh, Ibid., hlm. 182. 20 Al-Ashl, adalah objeks yang telah ditetapkan hukumnya oleh ayat-ayat al-Qur’an, hadist Rasulullah, atau ijma’.
23
DALAM NAS, OLEH ASH,
(3) HUKUM AL-ASHL, KETEPATAN HUKUM YANG DIBERIKAN
(4)
ILLAT, KEADAAN TERTENTU YANG DIPAKAI SEBAGAI 21
DASAR PENETAPAN HUKUM ASHL.
MENURUT JABIRI,
METODE QIYAS SEBAGAI CARA MENDAPATKAN
PENGETAHUAN DALAM HUKUM ISLAM TERSEBUT DIGUNAKAN DALAM TIGA ASPEK.
PERTAMA
QIYAS DALAM KAITANNYA DENGAN STATUS DAN 22
DERAJAT HUKUM YANG ADA PADA ASHL MAUPUN FURU’ MENCAKUP TIGA HAL
(1)
BAGIAN
INI
QIYAS JALI, DI MANA FAR MEMPUNYAI
PERSOALAN HUKUM YANG KUAT DIBANDING ASHL, (2) QIYAS FI MA’NA ALNASH, DI MANA ASHL DAN FAR MEMPUNYAI DERAJAT HUKUM SAMA,
(3)
QIYAS AL-KHAFI, DI MANA ILLAT ASHL TIDAK DIKETAHUI SECARA JELAS DAN HANYA MENURUT PERKIRAAN MUJTAHID, CONTOH MEMUKUL ORANG TUA, PERSAMAAN HUKUMNYA DALAM AL-QURAN HANYA ADA LARANGAN BERKATA “AH”.
KEDUA, YANG BERKAITAN DENGAN ILLAT23
YANG ADA PADA ASHL DAN FAR, ATAU MENUNJUKKAN KE ARAH SITU
(QIYAS BI I’TIBAR BINA AL HUKUM ALA DZIKR AL-ILLAH AU BI ‘ITIBAR DZIKR MA YADULL ‘ALAIHA). BAGIAN INI MELIPUTI DUA HAL: (1) QIYAS AL-ILLAT, YAITU MENETAPKAN ILLAT YANG ADA ASHL KEPADA FAR,
(2)
QIYAS AL-
DILALAH, YAITU MENETAPKAN PETUNJUK (DILALAH) YANG ADA PADA 24
ASHL KEPADA FAR, BUKAN ILLAHNYA. DENGAN
POTENSI
ATAU
. KETIGA,
KECENDERUNGAN
QIYAS BERLKAITAN
UNTUK
MENYATUKAN
ANTARA ASHL DAN FAR. YANG OLEH AL-GHOZALI DIBAGI DALAM EMPAT TINGKATAN:
(1) ADANAYA
PERUBAHAN HUKUM BARU
(2) KESERASIAN,
25
(3) KESERUPAAN, (4) MENJAUHKAN (THARD). MENURUT ABB MUKTAZILAH, 21
AL-JABABAR,
SEORANG
SEBAGAIMANA YANG DIPAHAMI
PEMIKIR
TEOLOGI
ABD WAHAB KALAF,
Chaerul Umam, dkk, op. cit., hlm. 97-99. Furu’ adalah objek yang akan ditentukan hukumnya, yang tidak ada nas atau ijma’ yang tegas dalam menentukan hukumnya. 23 Illat, adalah sifat yang menjadi motif dalam menentukan hukum. 24 Abd Wahab Khalaf, op. cit.,hlm. 106. 25 Fathur Rahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 134-141. 22
24
METODE
QIYAS
TERSEBUT
TIDAK
HANYA
UNTUK
MENGGALI
PENGETAHUAN DARI TEKS TETAPI JUGA BISA DIKEMBANGKAN DAN DIGUNAKAN UNTUK MENGUNGKAPKAN PERSOALAN-PERSOALAN NONFISIK (GHAIB).
26
ADA SEMACAM PERBEDAAN POLA PIKIR MENGENAI EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM (FIQH), YAITU POLA PIKIR ZHAHIRIYYAT, (TEKSTUALIS), BATHINIYYAT, MAKNAWIYYAT (KONTEKSTUALIS), DAN GABUNGAN ANTARA TEKTUALIS DAN KONTEKSTUALIS. HUKUM ISLAM (FIQH), YAITU
SEMENTARA
MAZHAB BESAR DALAM
MALIKI, HAMBALI,
DAN SYAFII, MEREKA
SEPAKAT BAHWA SUMBER UTAMA HUKUM ISLAM YAITU NASH (TEKS/ WAHYU, AL-QUR’AN, DAN AS-SUNNAH/ HADITS).
JADI
ULAMA FIQIH BERSEPAKAT BAHWA SUMBER PENGETAHUAN
HUKUM ISLAM (FIQIH), SEMUA BERASAL DARI
(AL-HADITS)
DAN
KESEPAKATAN
PARA
ALLAH, SUNNAH NABI
(IJMA’
ULAMA)
MELALUI
BEBERAN METODE ANALOGI (QIYAS).
b. Ulama’ Kalam Islam sebagai agama mempunyai dua dimensi, yaitu keyakinan atau akidah dan sesuatu yang diamalkan atau amaliah. Amal perbuatan tersebut merupakan perpanjangan dan impemenasi dari akidah itu. Keimanan dalam Islam merupakan dasar atau fondasi dalam keberagaman. Keimanan atau akidah dalam dunia keilmuan (Islam) dijabarkan melalui suatu disiplin ilmu yang sering diistilahkan dengan ilmu tauhid, ilmu aqaid, ilmu kalam, dan sebagainya. Dengan demikian, maka aspek pokok dalam ilmu tauhid atau kalam adalah keyakinan akan adanya eksistensi Allah yang Maha sempurna. Ilmu kalam merupakan cabang ilmu keIslaman yang berdiri sendiri, yang secara khusus membicarakan mengenai keberadaan Tuhan dan segala kekuasaannya. Ilmu ini berkembang sejak pada masa khalifah al-Ma’mun (813-833) dari Bani Abbasiyah. Sebelum itu 26
Abd Wahab Khalaf, op. cit.,hlm. 142.
25
pembahasan terhadap kepercayaan Islam disebut al Fiqhu Fiddin sebagai lawan dari Fiqhu Fil ‘Ilmi. Ilmu ini lahir karena adanya khilafiyah dikalangan ulama mengenai persoalan, diantaranya apakah kalam Allah (al-Qur’an) itu qadim atau hadits, bagaimana wujud Allah, Sifat-sifat Allah, kekuasaan Allah dan lain sebagainya. Ibnu Khaldun (1333-1378) dalam bukunya Muqaddimah, yang dikutip Sahilun A Nasir menjelaskan, ilmu kalam adalah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman, dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dan berisi bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan salaf dan ahli sunnah.
27
Disebut ilmu kalam karena pembahasannya mengenai
eksistensi Tuhan dan hal-hal yang berhubungan dengan-Nya digunakan argumentasi-argumentasi filosofis dengan menggunakan logika atau mantik. 28 Prof. Dr. Hasbi Ash-Shiddieqy sebagaimana yang dilangsir Muhammad Ahmad, ia menyebutkan bahwa disebut ilmu kalam karena: 1. Problem yang diperselisihkan para ulama dalam ilmu ini yang menyebabkan umat Islam terpecah ke dalam beberapa golongan adalah masalah kalam Allah atau al-Qur’an apakah ia diciptakan (makhluk) atau tidak (qadim) 2. Materi-materi ilmu kalam adalah teori-teori (kalam); tidak ada yang diwujudkan ke dalam kenyataan atau diamalkan dengan anggota. 3. Ilmu ini, di dalam menerangkan cara atau dalam menetapkan dalil pokok-pokok akidah serupa dengan mantik. 4. Ulama-ulama mutakalimin membicarakan di dalam ilmu ini hal-hal yang tidak dibicarakan oleh ulama salaf, seperti penakwilan ayatayat mutasyabihat, pembahasan tentang qada, kalam dam lainlain.29 Penamaan ilmu kalam ini sebenarnya hanya dimaksudkan untuk membedakan antara mutakallimin dengan filosof Islam. Bedaya 27
Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hlm. 3 Muhamamd Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 9. 29 Ibid., hlm. 10 28
26
hanya pada landasan awal berpijak, mutakallimin lebih dahulu bertolak dari al-Qur’an dan hadits, sementara filosof berpijak pada logika.30 Para Mutakallimin31 memiliki ciri khas khusus dalam memecahkan persoalan kalam (aqidah/ tauhid), mereka lebih banyak menggunakan otoritas akal atau logika (mantiq) dalam memecahkan persoalan aqidah. Meskipun para mutakallimin dapat menggunakan otoritas akal dalam mencari kebenaran, akan tetapi mereka tidak pernah puas, karena ada hal-hal yang diluar jangkauan akalnya. Objek kajian dalam ilmu ini adalah hal-hal yang tidak dapat di indera dan juga hal-hal yang tidak mungkin bisa dijangkau dengan akal, nalar atau rasio. Tetapi bisa dipikirkan dan ditemukan dengan bantuan akal, nalar dan rasio. Sebab akal manusia dalam mengenal Allah hanya mampu sampai pada bata mengetahui bahwa Zat Tuhan Yang Maha Kuasa itu ada. Dan ketika merenung dan memikirkan ketika tidak mampu menjangkaunya mereka (para mutakallimin kembali pada wahyu). Menurut akal, kebenaran sesuatu dapat diamati, diteliti (dianalisis) dan dicapai melalui bantuan akal. Landasan ini muncul karena ada sebagian ayat al-Qur’an yang perlu penjelasan, yang disebut ayat mutasyabihat. Jadi ilmu kalam itu selalu berlandaskan pada al-Qur’an (nas-nas agama), dipertemukan dengan dalil-dalil pikiran dalam membahas aqidah dan ibadah. Para
ulama
mutakallimin
berpendapat
bahwa
sumber
pengetahuan itu semua berasal wahyu (al-Qur’an) kemudian diperjelas melalui analogi-analogi yang berasal pemikiran akal dan pemahaman indera. Dalam hal ini (ilmu kalam) juga terjadi khilafiyah, sebagai contoh kaum Khawarij memandang, sumber segala ilmu itu hanya berasal dari kalam Tuhan, dan kaum ini mendapat julukan sebagai kaum tekstualis, kemudian kaum Murjiah dikenal sebagai kaum mengikuti faham rasionalisme, kaum Qadariah, dikenal sebagai kaum 30 31
Ibid. Mutakallimin adalah seorang ulama yang ahli dalam bidang ilmu kalam.
27
yang mengikuti faham realisme, dan kaum Jabariah dikenal sebagai kaum yang mengikuti faham idealisme.32 Sebagai mana pengertiannya tauhid adalah sebagai ilmu yang secara khusus membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat-Nya dan as’al-Nya (Allah), adalah bersumber pada al-Qur’an dan hadist sebagai sumber kedua. Untuk menerima al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber Tauhid, harus menggunakan akal. Jadi dalil yang dipakai dalam ilmu kalam itu berdasarkan dalil naqli, yaitu yang bersumber dari teks atau nas al-Qur’an dan Hadits, dan berdasarkan dalil aqli, yaitu berdasrkan pemahaman akal (nalar). Jadi landasan epistemologi kalam, para mutakallimin sepakat bahwa pengetahuan kalam itu berdasarkan wahyu (al-Qur’an ) sebagai sumber pertama dan al-Hadits sebagai sumber kedua, kemudian akal sebagai sumber ketiga, ketika sumber pertama dan kedua belum menunjukkan kejelasan (mutasyabihat).33 c. SUFISTIK/ TASAWUF Sebagaimana ilmu fiqih, ilmu kalam, tasawuf adalah merupakan bagian dari ilmu filsafat yang berbicara tentang kesatuan wujud, yang disebut juga dengan istilah mistik. Istilah tasawuf dipopulerkan oleh Islam, di mana ajaran-ajarannya bersandarkan pada ajaran Islam. Tasawuf adalah nama lain dari mistisisme dalam Islam. Di kalangan orientalis Barat menyebutnya dengan sebutan Sufisme. Kata sufisme itu merupakan istilah khusus mistisisme dalam Islam. Sehingga kata sufisme itu tidak ada pada mistisisme sebagaimana dalam agama-agama lain. Tasawuf adalah aspek ajaran Islam yang paling penting, karena peranan tasawuf merupakan jantung atau urat nadi pelaksanaan ajaran-ajaran Islam. Tasawuf inilah yang merupakan kunci kesempurnaan amaliah ajaran Islam. Memang di samping 32
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hlm. 29-42. 33 Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 4-5.
28
aspek tasawuf, dalam Islam ada aspek lain yaitu apa yang disebut dengan akidah dan syari’ah, atau dengan kata lain bahwa yang dimaksud “ad-din” (agama) adalah terdiri dari Islam, iman dan ihsan, di mana ketiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan. Oleh orientalis Barat tasawuf disebutnya dengan istilah Sufisme34 ini juga memiliki pengertian secara khusus yang telah menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para ahli. Secara etimologi Kata tasawuf diambil dari kata shafa yang memiliki berarti bersih. Disebut sufi karena hatinya tulus dan bersih di hadapan Tuhannya. Pendapat lain mengatakan bahwa kata tersebut diambil dari kata shuffah yang berarti serambi mesjid Nabawi di Madinah yang ditempati oleh sahabat-sahabat Nabi yang miskin dari golongan Muhajirin. Mereka ini disebut ahl al-Suffah walaupun miskin namun memiliki hati mulia dan memang sifat tidak mementingkan dunia dan berhati mulia adalah sifat-sifat kaum sufi. Teori lainnya menegaskan bahwa kata sufi diambil dari kata suf yaitu kain yang dibuat dari bulu atau wool dan kaum sufi memilih memakai wool yang kasar adalah sebagai bentuk simbol kesederhanaan.35 Dari berbagai teori di atas, dapat dipahami bahwa istilah sufi dapat dihubungkan dengan dua aspek, yaitu aspek lahiriyah dan aspek batiniyah. Teori yang menghubungkan orang yang menjalani kehidupan tasawuf dengan orang-orang yang berada di serambi mesjid dan berpakaian bulu domba merupakan tinjauan aspek lahiriyah dari sufi. Ia dianggap sebagai orang yang telah meninggalkan dunia dan hasrat jasmani, dan menggunakan bendabenda dunia ini hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti berpakaian dan makan untuk sekedar menghindarkan diri dari kepanasan, kedinginan, serta kelaparan. Sementara teori yang melihat
hlm. 56.
34
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam,( Jakarta: Bulan Bintang, 1973,
35
K. Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm. 25-27.
29
sufi sebagai orang yang mendapat keistimewaan di hadapan Tuhan tampak lebih menitik beratkan pada aspek batiniah. Tetapi sebagian ahli bahasa menyebutkan bahwa perkataan Sufi bukan berasal dari bahasa Arab, tetapi bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Asal katanya adalah theosofie yang bererti ilmu ketuhanan. Kemudian di-Arabkan dan diucapkan dengan lidah Arab sehingga berubah menjadi tasauf (tasawuf), yang biasa disebut Sophos (kebijaksanaan). Kata Sophos, berasal dari bahasa Yunani yang berarti hikmah atau bijaksana. Kata ini sering dinilai dari asal kata tasawuf. Karena salah satu sifat para sufi adalah bijaksana atau kebijaksanaan.36 Dengan demikian tasawuf dari segi Linguistik (kebahasaan) ini dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sebagai sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana untuk memcapai hakekat akhlak yang mulia.37 Adapun Secara terminologi, pengertian tasawuf sangat variatif,
akan
tetapi
secara
garuis
besarnya
(inti
tasawuf)
sebagaimana penjelasan Prof. Dr. Harun Nasution tasawuf adalah kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung antara mansuia dengan Tuhannya. Tasawuf juga menekankan pada kesadaran fitrah yang dapat menggerakkan jiwa kepada kegiatan-kegiatan tertentu untuk memperoleh sesuatu perasaan bersatu atau hubungan dengan wujud Tuhan yang Mutlak (al-Haq). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Badar bin Al-Husain, “ sufi adalah orang-orang yang telah memilih Al-Haq (Allah) semata-mata untuk dirinya”.38
36
Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Sumatra: IAIN Sumatra Utara, 1982), hlm. 2. 37 Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Tasauf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1999) hlm. 1 38 Ibid., hlm. 81.
30
Makna lain dari tasawuf yaitu sebagaimana yang dikemukan oleh M. Amin Al-Kurdy yang dilangsir oleh A. Mustofa, “tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari (sifat-sifat) yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju (keridhaan) Allah dan meninggalkan larangan-Nya menuju pada perintah-Nya39 dan Abu Muhammad AlJariri yang dilangsir Amin Syukur, mengartikan tasawuf dengan “masuk ke dalam akhlak yang mulia dan keluar dari semua akhlak yang hina.40 Tasawuf sebagaimana disebutkan dalam artinya di atas bahwa ajaran tasawuf itu bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan, dan intisari dari sufisme itu adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhal.l dengarl cara mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihat, hulul, wahdatul wujud, atau menyatu dengan Tuhan. Tasawuf sebagai aspek esoterik Islam, secara epistemologik dalam memperoleh kebenaran dan ilmu memakai intuisi, atau dalam istilah teknisnya memakai dzauq dan wujdan. Apabila intuisi tersebut diartikan sebagai sumber kebenaran/ilmu, terdiri dari pertimbangan tanpa mengambil jalan berfikir logis berdasarkan fakta yang timbul dari sumber yang tidak dikenal atau belum diselidiki, maka dalam tasawuf perolehan intuisi itu tidak terjadi serta merta, tetapi melalui proses panjang dengan apa yang disebut mujahadah dan riyadlah serta tafakur dan tadabbur. Yakni suatu upaya yang pencerahan hati nurani agar bisa menangkap cahaya kebenaran. Dan setelah 39
memperolehnya
dirumuskan
dalam
kerangka
berfikir
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 202-203. Amin Syukur, dan Masyaruddin , MA, Intelektualisme Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) hlm. 15. 40
31
sistematis, sebagaimana tersebut dalam Tasawuf Falsafi dan Mistik Falsafi. Tasawuf Falsafi ialah suatu model tasawuf yang proses dan produknya memadukan antara visi tasawuf dan filsafat. Di satu pihak memakai term-term filsafat, namun di pihak lain memakai metode pendekatan dzauq/wujdan atau intuisi. Sedang mistik filsafat (istilah ini sekedar membedakan dengan yang pertama) ialah suatu model pendekatan dengan Yang Hak dengan sarana rasio. Tasawuf ini tidak bersifat spiritual semata yang hanya berlandaskan pada sikap memerangi jasmani dan mensucikan jiwa, tetapi bersifat teoritis yang berdasarkan pada studi dan analisis. Kesucian jiwa tidak akan sempurna hanya melalui amalan jasmaniah, tetapi secara primer dan esensial harus melalui akal dan pemikiran tertentu seseorang bisa mencapai Yang Hak. Secara konvensional, tasawuf telah dibakukan dalam jenjangjenjang spiritual berupa maqamat dan ahwal, sebagai fase-fase menuju kesempurnaan spritual yang harus dilalui dengan tahapan takhalli, tahalli, dan tajalli.41 Sebagai ilmu keIslaman yang berdiri sendiri, dalam aspek epistemologis tasawuf menggunakan intuisi/wujdan/ dzauq itu dengan qalb sebagai sarananya, bukan indera dan akal. Dalam tasawuf, qalb diumpamakan sebagai cermin, ia bisa menangkap gambar di depannya apabila ia terbebas dari hijab. Ini perlu diupayakan melalui rnujahadah dan riyadlah. mujahadah dan riyadlah ini tidak keluar dari bingkai yang telah ditentukan tadi sebagai proses (takhalli dan tahalli) untuk mencapai tujuan tasawuf, yakni ma'rifatullah (Tajalli). Meskipun pengetahuan intuitif tasawuf dikatakan tidak menggunakan rasio, tetapi pada hakikatnya antara keduanya mempunyai hubungan interaktif. Pengetahuan intuitif sama dengan 41
Abuddin Nata, op. cit., hlm.153.
32
pengetahuan imajinatif. Perbedaan antara keduanya hanya dalam metodologi dan sistematikanya, sebab keduanya ikut membentuk bangunan pengetahuan dan filsafat. Pengetahuan intuitif dapat membuka pemahaman tanpa ada suatu metodik yang terarah, dan sistematika yang runtut sebagaimana lazimnya dalam pengetahuan rasional. Sedang akal dalam menangkap pengetahuan melalui pemahaman yang sistematis dan metodis. Menurut Iqbal misalnya, akal dan intuisi berasal dari akar yang sama dan saling mengisi, yang pertama menangkap kebenaran secara sepotong-potong, sedang yang kedua menangkapnya secara utuh.42 Menurut Bergson, obyek akal pada yang rasional, sedang intuisi terhadap yang meta/ supra-rasional. Dengan kata lain intuisi adalah jenis akal yang lebih tinggi daripada akal biasa, atau yang oleh Javad Nurbakh disebut dengan Akal Kulli (Universal).43 Oleh karena itu Iqbal menyatakan bahwa pengetahuan intuitif lebih tinggi daripada pengetahuan rasional dan empirikal, karena akal dan indera adalah instrumen yang lebih kompeten untuk menghadapi obyek materi serta hubungan kuantitatif, atau materi. Intuisi dapat menuntun pada kehidupan (immateri). Lebih tegas lagi dikatakan oleh Bergson bahwa sebenarnya intuisi bersifat intelektual dan sekaligus supraintelektual. Bukti adanya hubungan interaktif antara keduanya ialah bahwa ilham dan illuminasi secara psikologis timbul dari akal ketika melakukan aktifitas secara intens. Ketika seseorang berfikir dan belum menemukan pemecahannya, maka dia mengendapkannya dalam beberapa waktu (inkubasi). Pada saat inilah pikiran dapat dijernihkan dan selanjutnya akan terjadi ide-ide yang seakan-akan
42 43
Danusiri, Epistemologi Tasawuf Iqbal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 68 Javad Nurbakhsy, Psikologi Sufi, (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001) hlm. 5.
33
datang secara tiba-tiba, tanpa disadari. Namun sesungguhnya melalui proses berfikir silogistik, dengan suatu proses yang samar-samar.44 Dengan kata lain, pengetahuan intuitif itu adalah hasil penumpukan pengalaman dan pemikiran seseorang. Intuisi yang benar adalah proses pemendekan terhadap pengetahuan yang seharusnya diungkap oleh indra dan pemikiran relektif. Pengetahuan intuitif adalah hasil kerja silogistik di bawah sadar. Karena dalam suatu bidang, akan lebih mudah memperoleh intuisi yang baik dalam bidangnya masing-masing. Apabila analisis psikologis tersebut dikaitkan dengan tasawuf, maka masa inkubasi itu sama dengan kondisi terbebaskan pikiran dan perasaan seseorang dari materi, sehingga dia bisa berkonsentrasikan terhadap suatu persoalan, ketika itu dia akan mendapat pengetahuan intuitif atau ma'rifatullah. Materi dan dosa itulah yang disebut penghalang (hijab) qalb dari persoalan metafisis. Dalam tasawuf seseorang akan memperoleh pengetahuan sejenis tersebut apabila telah mencapai maqam tertentu, dan disiplin yang tepat, serta terkonsentrasikan dalam bidang tertentu. Di sisi lain dalam teori emanasi sufistik, seseorang bisa mencapai ilmu tertentu atau alma'rifah setelah dia menghilangkan kegandaan sehingga terjadi ittihad Dalam filsafat Islam pengetahuan dalam tasawuf masuk pada epistemologi Irfani, kata irfani berasal dari kata dasar bahasa Arab 'arafa semacam dengan makrifat, berarti pengetahuan. Tetapi ia berbeda dengan ilmu (‘ilm). Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman (experience), sedang ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (aql). Karena itu, secara terminologis, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan 44
Amin Syukur, op. cit., hlm. 204.
34
kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya olah ruhani (riyadlah) yang dilakukan atas dasar cinta (love). Kebalikan dari epistemologi bayani, sasaran bidik irfani adalah aspek esoterik syariat, apa yang ada dibalik teks.45 Pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks atau keruntutan logika, tetapi dengan olah ruhani, di mana dengan kesucian hati, Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Dari situ kemudian dikonsep atau masuk dalam pikiran sebelum dikemulcakan kepada orang lain. Dengan demikian, sebagaimana
disampaikan
Suhrawardi,
secara
metodologis,
pengetahuan ruhani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan, baik dengan lisan atau tulisan.46 Tahap pertavna, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (khasyf,
seseorang yang biasanya disebut salik
(penempuh jalan spiritual) harus menyelesaikan jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Para tokoh berbeda pendapat tentang jumlah jenjang yang harus dilalui. Namun, setidaknya, ada tujuh tahapan yang harus dijalani, yang semua ini berangkat dari tingkatan yang paling dasar menuju pada tingkatan puncak di mana saat itu qalbu (hati) telah menjadi netral dan jernih sehingga siap menerima limpahan pengetahuan. (1) Taubat, meninggalkan segala perbuatan yang kurang baik disertai penyesalan yang mendalam untuk kemudian menggantinya dengan perbuatan-perbuatan baru yang terpuji. Perilaku taubat ini sendiri terdiri atas beberapa tingkatan. Pertama-tama, taubat dari perbuatan-perbuatan dosa dan makanan haram, kemudian taubat dari ghaflah (lalai mengingat Tuhan). Kedua, tahap penerimaan. Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan 45 46
Khudori Soleh, op. cit., hlm. 194 Ibid., hlm. 204
35
langsung dari Tuhan secara illuminatif atau noetic. Dalam kajian filsafat Mehdi Yazdi, pada tahap ini, seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf)47, sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyahadah)48 sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, karena bukan objek eksternal, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihad. Sedemikian rupa, sehingga dalam perspektif epistemologis, pengetahuan irfani (tasawuf) tidak diperoleh melalui representasi atau data-data indera apa pun, bahkan objek eksternal sama sekali tidak berfungsi dalam pembentukan gagasan umum pengetahuan ini. Pengetahuan ini justru terbentuk melalui univikasi eksistensial yang oleh Mehdi Yazdi disebut `ilmu huduri atau pengetahuan swaobjek (selfobject knowledge), atau jika dalam teori permainan bahasa (language game) Wittgenstein, pengetahuan irfani ini tidak lain adalah bahasa wujud itu sendiri.49 Ketiga pengungkapan. Ini merupakan tahap terakhir dari proses pencapaian pengetahuan irfani, di mana pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun demikian, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.50 Sesuai dengan sasaran bidik irfan yang esoterik, isu sentral irfan adalah zahir & batin, bukan sebagai konsep yang berlawanan 47
Dalam bahasa sufisme kasyf adalah kesadaran hati akan sifat-sifat kebenaran. Dalam bahasa sufisme Musyahadah penyaksian hati atas realitas kebenaran. 49 Mehdi Hairi Yazdi, op. cit.,hlm. 73-74 50 Ibid., hlm. 245-248 48
36
tetapi sebagai pasangan. Menurut Muhasibi (w. 857 M), al-Ghazali (w. 1111 M), Ibn Arabi (w 1240 M), juga para sufis yang lain, teks keagamaan (al-Qur’an dan hadits) tidak hanya mengandung apa yang tersurat (zahir ) tetapi juga apa yang tersirat (batin). Aspek zahir teks adalah bacaannya (tilawah) sedang aspek batinnya adalah takwilnya. Jika dianalogikan dengan bayani, konsep zahir-batin ini tidak berbeda dengan lafat-makna. Bedanya, dalam epistemologi bayani, atau epistemologi
barat,
dalam
epistemologi
barat
atau
dalam
epistemologi bayani seseorang berangkat dari lafat menuju makna; sedang dalam tasawuf atau irfani, seseorang justru berangkat dari makna menuju lafat, dari batin menuju zahir, atau dalam bahasa alGhazali, makna sebagai ashl, sedang lafat mengikuti makna (sebagai furu’). Pendapat zahir-batin di atas didasarkan, pertama, pada alQur'an, QS. Luqman, 20; al-An'am, 120 dan khususnya QS. alHadid, 3, yang sekaligus digunakan sebagai dasar pijakan metafisisnya. Kedua, hadits Rasul, “Tidak ada satu ayat pun dalam al-Qur'an kecuali di sana mengandung aspek zahir dan batin, dan setiap huruf mempunyai had (batas) dan. Matla’ (tempat terbit). Ketiga, pernyataan Imam Ali ibn Abi Thalib (w. 660 M). Menurut Ali ra, al-Qur’an mengandung empat dimensi, zahir, batin, had dan matla'. Aspek zahir al-Qur'an adalah tilawah, aspek batinnya adalah pemahaman, aspek had-nya ketentuan halal dan haram, dan matla’nya adalah apa yang dikehendaki Tuhan atas hamba-Nya. Persoalannya, bagaimana makna atau dimensi batin yang diperoleh dari kasyf tersebut diungkapkan Menurut Jabiri, makna batin ini, pertama, diungkapkan dengan cara apa yang disebut sebagai I'tibar atau qiyas irfani. Yakni analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks. Dengan demikian, qiyas irfani ini tidak sama dengan qiyas bayani atau silogisme. Qiyas irfani berusaha menyesuaikan konsep yang
37
telah ada atau pengetahuan yang diperoleh lewat kasyf dengan teks, qiyas al-ghaib 'ala al-syahid. Dengan kata lain, seperti dikatakan al-Ghazali di atas, zahir teks dijadikan furu' (cabang) sedang konsep atau pengetahuan kasyf sebagai ashl (pokok). Karena itu, qiyas irfani atau I'tibar tidak memerlukan persyaratan illat atau pertalian antara lafat dan makna (qarinah lafdziyah 'an ma'nawiyah) sebagaimana yang ada dalam qiyas bayani, tetapi hanya berpedoman pada isyarat (petunjuk batin). Pengetahuan dalam tasawuf biasanya diperoleh melalui apa yang disebut dengan pengetahuan kasyf, yaitu pengetahuan yang diungkapkan lewat apa yang disebut dengan syathahiat. Namun, berbeda dengan qiyas irfani yang dijelaskan secara sadar dan dikaitkan dengan teks, syathahat ini sama sekali tidak mengikuti aturan-aturan tersebut. Syathahat lebih merupakan ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdan) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan, seperti ungkapan “Maha Besar Aku” dari Abu Yazid Bustami (w 877 M), atau “Ana alHaqq” (Aku adalah Tuhan) dari al-Hallaj (w. 913 M). Ungkapanungkapan seperti itu keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu; sehingga, ia sering dihujat dan dinilai menyimpang dari ajaran Islam yang baku. Meski demikian, secara umum, syathahat sebenarnya diterima di kalangan sufisme, meskipun kalangan sufisme sunni ada yang membatasi diri pada aturan syari’at, yakni syarat bahwa syathahat tersebut harus ditakwilkan, ungkapannya harus terlebih dahulu dikembalikan pada makna zahir teks. Artinya, syathahat tidak boleh diungkapkan secara “liar” dan berseberangan dengan ketentuan syari’at
yang
ada.
Jadi
ajaran
atau
pengetahuan
yang
dikumandangkan para sufi adalah merupakan hasil pemaknaan dan
38
pemahaman mereka atas realitas yang ditangkap saat kasyf atau saat mereka mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam. Pengetahuan tasawuf (irfani) itu berbeda dengan pengetahuan pada umumnya yang digali dari objek eksternal (korespondesi). Pengetahuan tasawuf digali dari diri sendiri, tepatnya dari realitas kesadaran diri yang dalam bahasa tasawuf disebut kasyf. Objeknya tidak lain bersifat immaterial dan essensial, bersifat swaobjektif (self object-knowledge), sehingga apa yang disebut sebagai objectivitas objek tidak lain bersifat analitis dan terwujudkan dalam tindakan mengetahui itu sendiri. Namun, di sisi lain, dari sifatnya yang neotic dan objektif dalam hakekatnya, sebagaimana dikatakan Mehdi Yazdi, pengetahuan tasawuf juga bisa dikategorikan dalam kelompok korespondesi, meski tidak memiliki objelc transitif yang aksiden, sehingga
tidak
transubjektivitas,
ada apalagi
alasan
untuk
mengingkari
melakukan pengertian
semacam objektivitas
pengetahuan tasawuf semata karena tidak memiliki objek luar.51 Metode yang dilakukan untuk menggapai pengetahuan tersebut adalah lewat tahapan-tahapan laku spiritual (riydlah), yang di mulai dari taubat sebagai pensucian diri sampai tawakkal, ridla dan seterusnya. Pada puncaknya, yang bersangkutan akan memperoleh kesadaran diri dan kesadaran akan hal ghaib lewat noetic atau pencerahan atau emanasi. Proses pencerahan dan emanasi inilah yang menuntun seseorang untuk menemui dan mampu menjelaskan rahasia-rahasia realitas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengetahuan intuitif/ kasyf dalam tasawuf itu termasuk pengetahuan rasional. Keraguraguan epistemologi Barat terhadap pengetahuan intuitif hanya karena metode ini tidak bisa diuji coba sebagaimana yang lain. Namun keragu-raguannya itu bisa dieliminir dengan tiga hal sebagai kriteria untuk mengujinya, yakni moralitas subyek, akal sehat sebagai 51
Khudori Soleh, op. cit., hlm. 213.
39
alat melihat, dan keahlian subyek secara tepat. Memang pengetahuan ini tidak memiliki rumus yang pasti, tetapi secara realitas ada. Adanya hanya bisa dirasakan oleh yang bersangkutan dan sulit untuk diungkapkan dalam bentuk kata dan ucapan. Sehingga tidak tepat jika dikatakan bahwa pengetahuan tasawuf adalah hasil abstraksi atau kontemplasi belaka. Dan pengetahuan yang dihasilkan dianggap tidak masuk akal. B. TERM-TERM
YANG
LANGSUNG
DAN
TIDAK LANGSUNG MERUJUK PADA
EPISTEMOLOGI a) Term-Term yang Langsung Merujuk Pada Epistemologi Akal (ratio) adalah merupakan salah satu dari perangkat anugerah (hidayah) yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. petunjuk akal yang dikhususkan kepada manusia itu mempunyai makna bahwa manusia yang diberikan tugas untuk memikul amanat sebagai pengatur kehidupan di muka bumi ini. Dengan kemampuan akalnya manusia mampu menemukan dan mencipta hal-hal baru yang dapat dimanfaatkan bagi kemakmuran dan kemaslahatan manusia itu sendiri. Dengan kemampuan akalnya pula manusia mampu mengubah dan membentuk alam (nature) menjadi kebudayaan (kultur), membuka dan menciptakan sarana penghidupan yang bermanfaat untuk eksistensinya. Yakni manusia dengan kecerdasan akalnya manusia mampu merubah keberadaannya yang asal mulanya terbelakang menjadi maju dan modern.52 Hal ini menunjukkan bahwa akal (rasio), nalar yang dimiliki manusia merupakan anugerah dari Tuhan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat dalam bentuk yang bervariasi baik langsung maupun tidak langsung, menyuruh manusia untuk menggunakan akalnya dengan baik dan benar, yakni untuk memikirkan ciptaan dan mengingat (berdzikir) Tuhan. 52
Mahmud Ayub, Al-Qur’an dan Para Penafsirnya, terj, Syu’bah Asa, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), hlm. 98.
40
Akal yang dimiliki manusia merupakan sarana untuk mengetahui dan memperoleh suatu pengetahuan (al-ilm). Hal ini bisa dilakukan melalui daya pikir (nalarnya) terhadap apa yang diketahui, untuk dikembangkan menjadi suatu pengetahuan baru, maupun yang belum diketahuinya. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang secara langsung bisa merujuk pada epistemologi, yang dapat dijadikan dalil argumentative dalam pengetahuan Islam. Adapun ayat-ayat (term-term) yang merujuk pada hal tersebut yaitu; 1. Tafakkarun: Yang berarti berfikir. Dalam kitab lisan al-Arab kata ini diambil dari kata al-fikr yang bermakna ( ﺍﻋﻤﻞ ﺍﳋﺎﻃﺮ ﻓﺎﺷﻴﺊmelakukan sesuatu dengan keinginan hati), al-fikr juga bisa bermakna sibawaih (pandangan atau angan-angan), makna lain al-Jauhari (berfikir dan berangan-angan), dan al-Khajjah (kepentingan). Jadi maksud al-fikr disini adalah orang yang menggunakan pikirannya untuk memprediksi terhadap apa yang belum diketahui. 53 Sementara itu berfikir adalah tingkah laku yang menggunakan ide, yakni suatu proses simbolis dalam memikirkan suatu hal.54 Dalam pengertian yang lain berfikir adalah merupakan aktivitas psikis yang itensional, dan terjadi apabila seseorang menjumpai suatu persoalan (problem) yang harus dipecahkan, seperti berfikir tentang kejadian alam, berpikir untuk membuat pesawat terbang, dan lain sebagainya. Dengan demikian bahwa prose dalam berfikir itu seseorang akan menghubungkan pengertian satu dengan pengertian lainya dalam rangka memperoleh pemecahan (jalan keluar) atas apa (problem) yang dihadapi. Dalam proses berfikir seseorang akan memunculkan suatu pertanyaan dalam dirinya yaitu; mengapa, untuk apa, bagaimana, di mana, kenapa dan lain sebagainya. Para ahli, 53
Imam al’Alamah Abil Fadhal Jamaludin Muhammad bin Mukarom Ibnu Mandhur Ila Fariqil Misri, Lisanul ‘arabi, (Beirud: Dar Shodr, t.th), hlm. 64-65. 54 Ahmad Fauzi, Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 47.
41
mengemukakan ada tiga fungsi dari berfikir, yakni membentuk pengertian, kesimpulan.
membentuk
pendapat
(opini)
dan
membentuk
55
Membentuk pengertian dapat dipahami yaitu sebagai suatu perbuatan dalam proses berfikir (dengan memanfaatkan isi dan ingatan) bersifat riil, abstrak dan umum serta mengandung sifat hakikat sesuatu. Sementara itu membentuk pendapat adalah sebagai bentuk hasil pekerjaan pikir dalam meletakkan hubungan antara tanggapan yang satu dengan lainnya, yakni antara pengertian yang satu dengan pengertian lainnya dan dinyatakan dalam bentuk bahasa (kalimat). Dan membentuk kesimpulan adalah sebagai bentuk hasil dari proses berpikir dan pendapat-pendapat lain yang hasilnya dapat dipahami dan dimengerti atau sebagai bentuk jawaban atas apa yang sedang dipikirkan, yakni jawaban atas problem yang belum terpecahkan.56 Dengan
demikian
berpikir
adalah
suatu
proses
untuk
memperoleh pengetahuan yang belum diketahui jawabannya atau sebagai bentuk proses pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Berpikir
merupakan
kunci
pokok
dalam
menjawab
segala
pengetahuan yang belum jelas atau sebagai prose untuk memperoleh pengetahuan baru. Dengan berpikir seorang akan menemukan jawaban atas apa yang belum diketahuinya. Dalam al- Qur'an kata yang mengandung pengertian perintah untuk menggunakan pikiran (berpikir), yakni yang senada dengan kata tafakkarun tersebut sebanyak l5 kali, yaitu terdapat dalam Q.S.: 13:3. 16:11, 69. 30:21. 39: 42. 45:13. 59:21. 34:46. 2:219, 266. 7:184. 30:8. 7:176. 10:24. 16:44. 57
hlm. 81.
55
Patty. F, dkk, Pengantar Psikologi Umum, (Surabaya: Penerbit Usaha Nasional, 1982),
56
Ibid. 82-83. Departemen Agama, al-Qur'an, Juz 1 s/d 30.
57
42
Ayat-ayat di atas, 7 ayat menerangkan tentang adanya kekuasaan Allah yaitu adanya bumi, makhluk yang berada di antara langit dan bumi, hujan yang menumbuhkan tanaman, lebah yang menghasilkan madu dan lain sebagainya. Sedangkan ayat yang lain berisi perintah untuk berfikir tentang larangan dan perintah Allah, kebenaran nabi Muhammad, judi dan khamer yang lebih banyak dosa dart pada manfaatnya dan lain sebagainya. Misal, ayat-ayat yang mengandung makna al-fikr sebagaimana keterangan diatas dapat dicermati dalam Q.S: al-Hasyr: 21
ﻴ ِﺔ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪﺸ ﺧ ﻦ ﻣ ﻋﹰﺎﺼﺪ ﺘﻣ ﺎﺷِﻌﹰﺎ ﺧﺘﻪﻳﺮﹶﺃ ﺒ ٍﻞ ﻟﱠﺟ ﻋﻠﹶﻰ ﺁ ﹶﻥﻫﺬﹶﺍ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﺮ ﺎﺰﹾﻟﻨ ﻮ ﺃﹶﻧ ﹶﻟ ﻭ ﹶﻥﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺮﻳ ﻢ ﻌﻠﱠﻬ ﺱ ﹶﻟ ِ ﺎﺎ ﻟِﻠﻨﺑﻬﻀ ِﺮ ﻧ ﻣﺜﹶﺎ ﹸﻝ ﻚ ﺍﹾﻟﹶﺄ ﻭِﺗ ﹾﻠ "Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. (QS. AlHasyr: 21).58 Pada ayat lain yang senada dengan ayat di atas, menyuruh manusia untuk menggunakan daya fikirnya yaitu sebagaimana firman Allah:
ﻨﻜﹸﻢﻴﺑ ﻌ ﹶﻞ ﺟ ﻭ ﺎﻴﻬﻮﺍ ِﺇﹶﻟﺴ ﹸﻜﻨ ﺘﺍﺟﹰﺎ ﻟﱢﺯﻭ ﻢ ﹶﺃ ﺴﻜﹸ ِ ﻦ ﺃﹶﻧﻔﹸ ﻣ ﻖ ﹶﻟﻜﹸﻢ ﺧﹶﻠ ﺎِﺗ ِﻪ ﹶﺃ ﹾﻥﻦ ﺁﻳ ﻭ ِﻣ .ﻥ ﻭ ﹶﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺮﻳ
ﻮ ٍﻡ ﺕ ﱢﻟ ﹶﻘ ٍ ﺎﻚ ﻟﹶﺂﻳ ﻤ ﹰﺔ ِﺇﻥﱠ ﻓِﻲ ﹶﺫِﻟ ﺣ ﺭ ﻭ ﺩ ﹰﺓ ﻮ ﻣ
Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benarbenar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum: 21).59
58
Departemen Agama RI, Al-Qur’an, (Semarang: CV ALWAAH, t. th, hlm. 919. Ibid., hlm. 644.
59
43
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata tafakkarun mengandung
pengertian
untuk
mengfungsikal
akalnya
untuk
memikirkan dan menemukan jawaban atas apa yang belum diketahui, serta merenungkan segala kekuasaan Allah agar manusia mau beriman. 60 Sementara itu pengertian lain mengenai fungsi akal dalam alQur'an yang menggunakan kata tafakkarun sebagaimana tercermin pada sebagian ayat-ayat di atas, yaitu
(a) Untuk berfikir tentang
kekuasaan Allah, (b) Untuk berfikir tentang: perintah dan larangan Allah, kebenaran nabi Muhammad, dan lain sebagainya. Jadi kata tafakkarun dalam konteks epistemologis merupakan satu bentuk sumber epistemologi, secara langsung merujuk pada fungsi akal. 2. Tadabbarun: yaitu yang mengandung arti “merenungkan”. Seperti dalam surat dalam surat Shad: 29, QS. Muhammad: 24. Disamping itu ayat tersebut mengandung perintah untuk berfikir tentang kebenaran al-Qur’an,
dengan
memperhatikannya
maka
akan
mendapat
pelajaran dari al- Qur’an tersebut. 61 Dalam kamus Bahasa Arab (al-Munawwir) kata tadabbarun itu berasal dari kata dabara yang mempunyai makna ﺗﺪﺑﺮ اﻻﻣﺮ memikirkan, mempertimbangkan, dan menelaah atas segala sesuatu.62 Merenung dalam filsafat merupakan salah metode untuk menemukan pengetahuan. Jadi secara epistemologis, kata tadabbarun yang terdapat dalam ayat al-Qur’an merupakan bagian dari epistemologi. Dan kata inilah menurut al-Qur’an sebagai bentukan dari fungsi akal yang merupakan sarana untuk memperoleh ilmu. Sebagai contoh penyebutan kata tadabbarun dalam al-Qur'an seperti firman Allah sebagai berikut:
60
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), volume.11, hlm. 349-350 dan 358. 61 Achmad Mubarok, Jiwa dalam al-Qur'an (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 120. 62 A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir; Arab-Indonesia, edisi II.
44
ﺎﺏ ﹶﺃ ﹾﻗﻔﹶﺎﹸﻟﻬ ٍ ﻋﻠﹶﻰ ﹸﻗﻠﹸﻮ ﻡ ﺁ ﹶﻥ ﹶﺃﻭ ﹶﻥ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﺮﺑﺮﺪ ﺘﻳ ﹶﺃﹶﻓﹶﻠﺎ "Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad: 24)63
ﺎِﺗ ِﻪﺮﻭﺍ ﺁﻳ ﺑﻴﺪﻙ ﻟﱢ ﺭ ﺎﻣﺒ ﻚ ﻴ ِﺇﹶﻟﺎﻩﺰﹾﻟﻨ ﺏ ﺃﹶﻧ ﺎِﻛﺘ “Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat”. (QS. Shad: 29) 64 Dalam tafsir al-Qur'anul Majid, kata tadabbarun di jelaskan bahwa manusia diserukan untuk menyadari dan serta berfikir, kalau segala apa yang ada di bumi atau segala ilmu pengetahuan itu berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Hal ini sebagaimana keterangan Hasbi AshShiddiqi: “Allah sendiri yang mentadbirkan segala urusan dunia, menyusun segala urusannya dan segala keadaan yang terjadi di dunia itu. Segala yang tersebut sesuai dengan ketetapan-Nya, berlaku menuurt kehendak-Nya. Pentadbiran segala urusan itu dimulai dari langit hingga sampai ke bumi. Kemudian segala urusan dunia itu naik kembali kepada Allah”. 65 Mengenai kata tadabbarun juga bisa di telah dalam surat asSajadah ayat 5. Allah berfirman:
ﻒ ﻩ ﹶﺃﹾﻟ ﺭ ﺍﻮ ٍﻡ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ِﻣ ﹾﻘﺪ ﻳ ﻴ ِﻪ ﻓِﻲ ِﺇﹶﻟﺝﻌﺮ ﻳ ﺽ ﹸﺛﻢ ِ ﺭ ﺎ ِﺀ ِﺇﻟﹶﻰ ﺍﹾﻟﹶﺄﺴﻤ ﻦ ﺍﻟ ﺮ ِﻣ ﻣ ﺮ ﺍﹾﻟﹶﺄ ﺪﺑ ﻳ ﻭ ﹶﻥﻌﺪ ﺗ ﺎﻣﻤ ﻨ ٍﺔﺳ “Dia menetapkan segala urusan dari langit ke bumi, kemudian naik urusan itu kepada-Nya pada suatu hari yang ukurannya 1000 tahun dari tahun-tahun yang kamu hitungkan ini.” (QS. AsSajadah: 5). 66 63
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 833. Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 736 65 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqi, Tafsir al-Qur'anul Majid, Jilid 4, (Semarang: Pustaka RizkiPutra, t.th), hlm. 3131. 66 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 660. 64
45
Adapun fungsi akal dalam al-Qur'an yang menggunakan kata tadabbarun yaitu: (a). Untuk berfikir dan merenungkan tentang kebenaran al- Qur’an. (b). Untuk mengambil pelajaran dart apa Yang ada dalam al- Qur'an. Dengan manusia dituntut menggunakan akalnya untuk merenung atas apa yang diketahui dan atas apa yang belum diketahui (makna yang terkandung dalam suatu obyek) yang belum bisa dipahami. 67 3. Tadakkarun: yang berarti “mengingat” (berfikir) di dalam al-Qur’an kata ini disebut sebanyak 16 kali yaitu QS: 19:67. 6:80. 32A. 7:57. 10:3. 16:90. 24:1,27. 2:221. 14:25. 39:27. 44:58. 6:126. T:26,130. 16:13. Ayat-ayat tersebut diterangkan bahwa orang yang ingat (berfikir).
Mengingat
merupakan
salah
satu
metode
untuk
menemukan pengetahuan, karena dengan mengingat apa yang telah diketahui dengan didukung data-data yang ada, maka kebenaran yang diperoleh tidak akan menimbulkan suatu keraguan. Dan mengingat adalah merupakan salah satu fungsi akal. Dan karena ingatan yang lemah akan menyebabkan pengetahuan yang diperoleh akan diragukan kebenarannya. Ayat yang menjelas tentang kata ini bisa dicermati, seperti dalam firman Allah QS Maryam ayat 67
ﺌﹰﺎﺷﻴ ﻳﻚ ﻢ ﻭﹶﻟ ﺒﻞﹸﻩ ﻣِﻦ ﹶﻗ ﺎﺧﹶﻠ ﹾﻘﻨ ﺎﺎﻥﹸ ﹶﺃﻧ ﺍﹾﻟﺈِﻧﺴﻳ ﹾﺬﻛﹸﺮ ﻭﻟﹶﺎ ﹶﺃ "Dan tidakkah manusia itu memikirkan bahwa sesungguhnya kami telah menciptakannya dahulu, sedang ia tidak ada sama sekali.(QS. Maryam: 67). 68 Uraian di atas menerangkan, bahwa fungsi akal dalam alQur’an yang menggunakan kata Tadzakkara yaitu: (a). Untuk memahami tentang asal usul manusia. (b). Untuk memahami 67 68
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqi, op.cit.,hlm.3131-3132. Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 470.
46
kekuasaan Allah. Disamping itu dalam konteks ini akal diberi kebebasan untuk memahami atas apa yang diragukan, yakni untuk menemukan pemahaman yang pada akhirnya timbullah satu keyakinan. Dengan demikian kata tadzakkara yang merupakan fungsi akal, secara epistemologis, menurut al-Qur’an merupakan sarana untuk memahami pengalaman-pengalaman yang belum dapat dipecahkan maknanya. Dengan mengingat seseorang akan dapat mengambil pelajaran dari apa yang telah diketahuinya. Dalam tafsir al-Maraghiy kata “tadakkarun” mengandung pengertian berfikir, memikirkan, merenungkan, dan mengandaikan. Hal ini sebagai penjelasan dalam surat ar-rum: 4. Dalam ayat terakhir dijelaskan mengenai teguran pada orang yang tidak menggunakan akal dan fikirannya, adapun penggalan ayat tersebut yaitu: ﺍﻓﻼ ﺗﺘﺬﻛﺮﻭ.69 Dalam Tafsir al- Mizan kata tadakkarun mengandung pengertian “hikmah”, dan hikmah itu hanya terdapat pada orang yang ingat, sedangkan orang yang ingat adalah orang yang berakal, maka tidak akan ditemukan hikmah bagi orang yang tidak berakal. Orang yang ingat adalah orang yang menghendaki perubahan menuju kearah kebenaran.70 4. Ta’qilun : Yang berarti berakal. Kata ini berasal daru ‘aqala atau akal. Kata akal dalam bahasa indonesia berasal dari bahsa Arab ( ﺍﻟﻌﻘﻞaL‘Aql) yang mengandung arti mengikat atau menahan, tapi secara umum akal dipahami sebagai potensi yang disiapkan untuk menerima ilmu pengetahuan
ﺍﻟﻘﻮﺓﺍﳌﻬﻴﺔ ﻟﻘﺒﻮﻝ ﺍﻟﻌﻠﻢ. Dalam al-Qur'an kalimat al-‘aql
tidak pernah disebut dalam kata benda, tetapi selalu dalam bentuk kata kerja, baik kata kerja f’iil madhi maupun fi’il muddhari’. Dalam al69
Ahmad Musthafa al-Marghiy, Tafsir al-Maraghiy, terj. Anwar Rsyid, (Semarang: Toha Putra, 1898), hlm. 198. 70 Muhamamd Husein Thabata’i, Tafsir al-Mizan Darul al-Kuttub al-Islamiyah, (Beirut; Dar Fikr, 1991), Juz 2, hlm. 400.
47
Qur'an kata ini disebut sebanyak 49 kali yaitu satu kali dalam bentuk kalimat ﻋﻘﻠﻮﻩ.24 kali dalam bentuk kalimat ﺗﻌﻘﻠﻮﻥ, satu kali ﻧﻌﻘﻞ, satu kali ﻳﻌﻘﻠﻬﺎdan 22 kali dalam bentuk kalimat ﻳﻌﻘﻠﻮﻥ71 Ayat-ayat
yang
tersebut
di
atas,
7-ayat
diantaranya
menerangkan tentang orang yang tidak berakal yaitu orang yang: Bisu, tuli dan buta akan seruan Allah, bila disuruh sembahyang mereka mengejek c. Membuat kedustaan atas nama Allah, Tidak mau mendengar dan memahami kebenaran e. Kalau berbicara dengan suara yang keras ,Meminta syafa’at kepada selain Allah, dan dua ayat menerangkan tentang orang yang berakal yaitu orang yang: Jika bertamu mereka mengucapkan salam ,dan tidak berbuat keji. Kemudian 22 ayat lainnya menerangkan tentang fungsi akal yaitu untuk: Untuk memahami adanya kekuasaan Allah, untuk memahami tentang hukum Allah, untuk memahami bahwa kehidupan dunia ini tidaklah main-main, untuk memahami bahwa alam akhirat lebih utama daripada
alam
dunia,
untuk
mengetahui
bahwa
syaitan
itu
menyesatkan, untuk memahami proses kejadian manusia, untuk mengambil pelajaran dari kisah yang ada dalam al-Qur’an. Menurut Lisan al ‘Arab kata al-‘aql juga berarti ﺍﳊﺠﺮyang artinya menahan, sehingga yang dimaksud dengan orang berakal ﺍﻟﻌﺎ
ﻗﻞadalah, ﺫﻯ ﺣﺠﺮorang yang menahan dan mengekang hawa nafsu kata tersebut. Jadi orang berakal adalah orang yang bisa mencegah atau menahan. Kata ‘aqala juga mengandung pengertian konsen terhadap suatu pikiran. Jadi ‘aqala adalah suatu potensi kejiwaan yang dimiliki
71
Lih. Al-Qur'an. Juz 1 s/d 30
48
oleh manusia yang memiliki fungsi untuk berfikir, menalar dan merenung. 72 Sebagai contoh penyebutan al-‘aql dalam al-Qur'an adalah seperti dalam Surat an-Nahl ayat 12.
ﻣ ِﺮ ِﻩ ِﺇﻥﱠ ﺕ ِﺑﹶﺄ ﺮﺍ ﺨ ﺴ ﻣﻮﻡﻨﺠﺍﹾﻟﺮ ﻭ ﻤ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﺲ ﻭ ﻤ ﺸ ﺍﻟﺭ ﻭ ﺎﻨﻬﺍﹾﻟﻴ ﹶﻞ ﻭ ﺍﻟﻠﱠﺮ ﹶﻟﻜﹸﻢ ﺨ ﺳ ﻭ ﻌ ِﻘﻠﹸﻮ ﹶﻥ ﻳ ﻮ ٍﻡ ﺕ ﱢﻟ ﹶﻘ ٍ ﺎﻚ ﻟﹶﺂﻳ ﻓِﻲ ﹶﺫِﻟ "Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan binatang-binatang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahaminya. (QS. An-Nahl: 12). 73 Dalam surat al-Baqarah 164.
ﻚ ﺍﱠﻟﺘِﻲ ِ ﺍﹾﻟ ﹸﻔ ﹾﻠﺎ ِﺭ ﻭﻨﻬﺍﻟﻴ ِﻞ ﻭﻑ ﺍﻟﻠﱠ ِ ﻼ ﺧِﺘ ﹶ ﺍﺽ ﻭ ِ ﺭ ﺍ َﻷﺕ ﻭ ِ ﺍﺎﻭﺴﻤ ﺧ ﹾﻠ ِﻖ ﺍﻟ ِﺇﻥﱠ ﻓِﻲ ﺎﺣﻴ ﺎﺀ ﹶﻓﹶﺄﺎ ِﺀ ﻣِﻦ ﻣﺴﻤ ﻦ ﺍﻟ ﻪ ِﻣ ﺰ ﹶﻝ ﺍﻟﻠﹼ ﺎ ﺃﹶﻧﻭﻣ ﺱ ﺎ ﺍﻟﻨﻨ ﹶﻔﻊﺎ ﻳﺤ ِﺮ ِﺑﻤ ﺒﺠﺮِﻱ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟ ﺗ ﺏ ِ ﺎﺴﺤ ﺍﻟﺡ ﻭ ِ ﺎﺮﻳ ﻒ ﺍﻟ ِ ﺼﺮِﻳ ﺗﻭ ﺑ ٍﺔﺁﺎ ﻣِﻦ ﹸﻛﻞﱢ ﺩﺑﺚﱠ ﻓِﻴﻬﻭ ﺎﻮِﺗﻬ ﻣ ﺪ ﻌ ﺑ ﺽ ﺭ ِﺑ ِﻪ ﺍﻷ ﻌ ِﻘﻠﹸﻮ ﹶﻥ ﻳ ﻮ ٍﻡ ﺕ ﱢﻟ ﹶﻘ ٍ ﺎﺽ ﻵﻳ ِ ﺭ ﺍ َﻷﺎﺀ ﻭﺴﻤ ﻦ ﺍﻟ ﻴﺑ ﺨ ِﺮ ﺴ ﺍﹾﻟﻤ “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera-bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan (suburkan) bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi: (pada semua itu) sungguh terdapat tandatanda bagi kaum yang berakal”. (QS; Al-Baqarah: 164) 74
72
Imam al’Alamah Abil Fadhal Jamaludin Muhammad bin Mukarom Ibnu Mandhur Ila Fariqil Misri, op.cit., hlm. 458-459. 73 Departemen Agama, op. cit., hlm. 403. 74 Ibid., hlm. 40.
49
Dalam tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab, dijelaskan bahwa ayat tersebut mengajak manusia untuk berfikir dan merenungkan tentang banyak hal (ciptaan Allah). Hanya dengan akal manusia dapat menemukan jawabannya. Dalam surat AlBaqarah: 171, menerangkan bahwa manusia dituntut untuk menggunakan akalnya dalam memikirkan, menalar, mencermati, dan melihat suatu hal. Sebagaimana firman Allah SWT ”Dan perumpamaan orang-orang kafir adalah kafir seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka itu bisu, tuli, dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak berakal”. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang tidak menggunakan, telinganya untuk mendengar, indera nya untuk melihat, akalnya untuk berfikir, sehingga mereka tidak dapat mengerti tentang kekuasaan dan ciptaan Allah. Orang yang tidak berakal di sini juga bermakna mereka tidak ada kendali yang menghalanginya melakukan keburukan, kesalahan dan mengikuti orang-orang yang dianggap benar namun sebenarnya dia salah, hal ini karena mereka tidak mau menggunakan akalnya.
75
Berfungsi
tidaknya akal pada manusia diungkapkan al-Qur'an dengan kalimat tanya ﺍﻓﻼ ﺗﻌﻘﻠﻮﻥatau yang sejenisnya. Dari 49 ayat yang menyebut al-Aql kata ‘aql mengandung pengertian mengerti, memahami dan berpikir. Akan tetapi al-Qur'an tidak menjelaskan bagaimana proses berpikir, namun hanya tersirat tentang begitu besarnya fungsi akal dalam memahami, berfikir, menelaah, merenungkan dan lain sebagainya, terhadap segala
75
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), hlm. 349-350 dan 358.
50
pengetahuan yang ada di alam semesta ini, baik yang sudah diketahui maupun yang belum diketahuinya.
B. Term-Term yang Tidak Langsung Merujuk Epistemologi Dalam al-Qur’an secara implisit (tidak langsung) juga terdapat ayatayat yang menerangkan tentang fungsi akal dengan menggunakan beberapa istilah yaitu: 1.
Ulul Albab Ulul Albab berarti, “orang yang berfikir”. Dalam al- Qur'an disebut sebanyak 11 kali yaitu Q. S.: 2:179. 28:29. 2:269. 3:7. 12:111. 13:19. 14:52. 38:43. 39:9, 8, 21.76 Dalam ayat-ayat tersebut dua di antaranya menerangkan tentang orang yang berakal yaitu mereka yang: Di beri hikmah oleh Allah dan Beribadah di waktu malam dengan sujud dan berdiri, takut pada azab akhirat dan dapat membedakan mana orang yang tahu dan orang yang tidak tahu. Kemudian ayat yang lainnya berbicara tentang fungsi akal yaitu: Untuk mengambil pelajaran dari adanya qishash, untuk mengambil pelajaran dari adanya ayat muhkamat dan mutsyabihat, untuk mengambil pelajaran dari kisah-kisah terdahulu, untuk memahami kebenaran nabi Muhammad, untuk mengetahui adanya Tuhan, untuk berfikir kritis dari apa yang dilihat dan didengar, untuk memahami adanya kekuasaan Allah. Ulul Albab juga mengandung makna orang yang mengetahui hal ini sesuai dengan firman Allah “adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan mereka yang tidak mengetahui” (QS. Az-Zumar/ 39: 9). M. Shihab memberikan pengertian, ulul albab itu menekankan pada seseorang bahwa begitu besar nilai ilmu pengetahuan dan kedudukan orang yang berilmu. Demikian juga ayat “inilah kamu (wahai ahl al-kitab), kamu ini membantah tentang hal-hal yang kamau
76
Departemen Agama, al-Qur’an, Juz 1 s/d 30..
51
ketahui, maka mengapalah membantah pula dalam hal-hal yang kalian tidak ketahui” (QS. 3:66). Ini merupakan kritik pedas terhadap mereka yang berbicara atau membantah suatu perkara tanpa adanya data objektif lagi ilmiah yang berkaitan dengan perkara tersebut. Inilah yang menjadikan inspirasi pra ilmuwan, karena dan penemuan dan pemikiran ilmu pasti tidak akan pernah berkembang. 77 Berbagai macam ayat al-Qur’an yang menerangkan fungsi akal, secara global dapat disimpulkan, fungsi akal dalam al- Qur’an adalah: a) Untuk
memperhatikan
adanya
kekuasaan
Allah,
sehingga
menambah tebalnya iman seseorang b) Untuk mengetahui adanya Tuhan c) Untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah d) Untuk mengambil pelajaran dari kisah-kisah terdahulu e) Untuk berfikir kritis f) Untuk menangkap kebenaran sejati yang dibawa nabi Muhammad g) Untuk memahami ayat muhkamat dan mutasyabihat h) Untuk berfikir segala sesuatu yang berguna untuk kebahagiaan manusia i) Untuk memahami dan memikirkan proses terciptanya manusia. Dari beberapa gambaran fungsi akal di atas, al-Qur’an juga memberikan gambaran, akal manusia itu mempunyai banyak kelebihan. Sebab akal tersebut manusia mampu memecahkan segala macam persoalan, dengan akal manusia menciptakan dan menemukan berbagai macam ilmu pengetahuan. Dan kata ulul-albab ini menunjukkan bahwa hanya orang yang berakal yang mampu memikirkan segala macam ciptaan Tuhan, dan menciptakan kebaikankebaikan di muka bumi. Sebagai contoh ayat yang menerangkan ulul-Albab. Allah berfirman: 77
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), hlm. 44.
52
ﻚ ﻭﹶﻟِﺌ ﻭﺃﹸ ﻪ ﻢ ﺍﻟﱠﻠ ﻫ ﺍﻫﺪ ﻦ ﻚ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ﻭﹶﻟِﺌ ﺃﹸﻨﻪﺴ ﺣ ﻮ ﹶﻥ ﹶﺃﺘِﺒﻌﻴﻮ ﹶﻝ ﹶﻓ ﻮ ﹶﻥ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﺘ ِﻤﻌﺴ ﻳ ﻦ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ﺏ ِ ﺎﻭﻟﹸﻮﺍ ﺍﹾﻟﹶﺄﹾﻟﺒ ﻢ ﹸﺃ ﻫ "Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS. Az-Zumar: 18)78 Asbabun nuzul ayat ini sebagaimana riwayat dari Jawahir berikut sanadnya melalui Jabir Ibn `Abdullah, la telah menceritakan bahwa ketika turun firman Allah surat al-Hijr ayat 44 tentang pintu Neraka Jahannam yang berjumlah tujuh pintu, maka seorang sahabat Anshor datang kepada Nabi dan berkata: Wahai Rasul, sesungguhya aku mempunyai tujuh orang hamba sahaya dan sesungguhnya aku telah memerdekakan untuk masing-masing pintu dari neraka Jahannam itu, seorang hamba sahaya sebagai tebusan atas diriku. Kemudian turunlah ayat sehubungan dengannya: yaitu Surat al- Zumar ayat 17 dan 18. Pada ayat 17 dijelaskan hanya yang tidak menyembah berhala (Thaghut) yang akan mendapat kabar gembira, dilanjutkan dengan ayat 18 yaitu orang yang bisa memilah mana perkataan yang baik dan mana yang buruk, semua itu dapat dilakukan hanya oleh orang yang berakal saja.79 Dalam hal ini jelas al-Qur'an mendorong manusia untuk menggunakan akal pikirannya serta menambah ilmu pengetahuan sebisa mungkin. Dengan potensi akal yang dimiliki manusia, manusia tertantang
untuk
menumbuh
kembangkan
segala
ilmu
yang
diketahuinya. Jadi kata ulul al-bab adalah seruan kepada manusia untuk menggunakan akalnya dalam mengungkap segala ilmu. 80
78
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 915. 748. Qomaruddin Saleh dan A. Dahlan, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV. Diponegoro, 1988), hlm. 18 dan hlm. 748. 80 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, op.cit., hlm. 44. 79
53
2.
Ulil Abshar Ulil Abshar; mengandung arti “orang yang mempunyai pandangan”. Kata ini di dalam al-Qur'an disebut sebanyak 3 kali yaitu Q.S.: 3:13. 24:44. 59:2. Ketiga ayat tersebut menerangkan bahwa fungsi akal adalah: (a) Untuk memahami adanya kekuasaan Allah (b) Untuk memahami kisah-kisah orang terdahulu. Dalam tafsir Al-Misbah
kata ulil
abshar
mengandung
pengertian orang yang memiliki penglihatan. Begitu juga dalam tafsir al-Maraghi juga ditafsirkan sebagai orang yang memiliki penglihatan atau pandangan.
ﺎﺭﺑﺼﺎ ﺃﹸﻭﻟِﻲ ﺍﹾﻟﹶﺄﻭﺍ ﻳﺘِﺒﺮﻋ ;ﻓﹶﺎ
jadikanlah pelajaran wahai
orang-orang yang mempunyai akal penglihatan yang terbuka dan akal yang kuat, atas segala fenomena alam yang mungkin tidak masuk akal (tidak dapat di nalar). Dengan bekal akal seseorang akan mampu melihat dan memahami secara bijak dan penuh rasa syukur. Akal dalam konteks abshar ini mengandung pengertian bahwa akal manusia itu tidak hanya berfungsi berfikir, akan tetapi juga berfungsi untuk menalar dan melogika terhadap segala fenomena atau kejadian-kejadian yang dijumpai, serta memahaminya dan memandangnya secara wajar dan penuh permikiran, pertimbangan, pemahaman dan pandangan yang baik dan benar. 81 Ayat yang mengandung unsur al-Abshar yaitu seperti dalam surat:
ﺎﺸ ِﺮ ﻣ ﺤ ﻭ ِﻝ ﺍﹾﻟ ﻢ ِﻟﹶﺄ ﺎ ِﺭ ِﻫﺏ ﻣِﻦ ِﺩﻳ ِ ﺎﻫ ِﻞ ﺍﹾﻟ ِﻜﺘ ﻦ ﹶﺃ ﻭﺍ ِﻣﻦ ﹶﻛ ﹶﻔﺮ ﺝ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ﺮ ﺧ ﻮ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﹶﺃ ﻫ ﻦ ﻪ ِﻣ ﻢ ﺍﻟﱠﻠ ﻫ ﺎﻦ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﻓﹶﺄﺗ ﻣ ﻢﻧﻬﻮﺣﺼ ﻢ ﻬﻌﺘ ﺎِﻧﻢ ﻣﻧﻬﻮﺍ ﹶﺃﻭ ﹶﻇﻨ ﻮﺍﺟﺨﺮ ﻳ ﻢ ﺃﹶﻥ ﺘﻨﹶﻇﻨ
81
Ahmad Musthafa al-Marghiy, Tafsir al-Maraghiy, 28, terj. Anwar Rsyid, (Semarang: Toha Putra, 1898), hlm. 54.
54
ﻢ ﻳﺪِﻳ ِﻬﻢ ِﺑﹶﺄﺗﻬﻮﺑﻴ ﻮ ﹶﻥﺨ ِﺮﺑ ﻳ ﺐ ﻋ ﺮ ﺍﻟﻑ ﻓِﻲ ﹸﻗﻠﹸﻮِﺑ ِﻬﻢ ﻭﹶﻗ ﹶﺬ ﻮﺍﺴﺒ ِ ﺘﺤ ﻳ ﻢ ﻴﺚﹸ ﹶﻟﺣ ﺎﺭﺑﺼﺎ ﺃﹸﻭﻟِﻲ ﺍﹾﻟﹶﺄﻭﺍ ﻳﺘِﺒﺮﻋ ﲔ ﻓﹶﺎ ﺆ ِﻣِﻨ ﻳﺪِﻱ ﺍﹾﻟﻤﻭﹶﺃ Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab82 dan kampung-kampung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama. Kamu tiada menyangka, bahwa mereka akan keluar dan mereka pun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah: maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah kejadian, untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang memiliki pandangan. (QS. Al-Hasyr: 2) 83 Surat al-Nur ayat 44;
.ﺎ ِﺭﺑﺼﻭﻟِﻲ ﺍﹾﻟﹶﺄ ﺮ ﹰﺓ ﱢﻟﹸﺄ ﺒﻚ ﹶﻟ ِﻌ ﺭ ِﺇﻥﱠ ﻓِﻲ ﹶﺫِﻟ ﺎﻨﻬﺍﻟﻴ ﹶﻞ ﻭﻪ ﺍﻟﻠﱠ ﺐ ﺍﻟﱠﻠ ﻳ ﹶﻘﻠﱢ "Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan." (QS. Al-Nur: 44).84 Dari beberapa ayat di atas menunjukkan bahwa hanya orangorang yang memiliki akal yang mampu mengambil suatu sikap yang dapat menyelamatkan dirinya. Jadi akal memiliki peran penting dalam diri seseorang, sebab dengan akal tersebut seseorang mampu berfikir hal yang terbaik untuk dirinya dan untuk orang lain. Dengan demikian bagi orang yang mau menggunakan akalnya, dia akan mampu mengarahkan dirinya, sehingga dia akan selamat dan keluar dari berbagai macam kesulitan yang dihadapi. Secara epistemologis kata ini merupakan bagian dari fungsi akal, yaitu untuk memahami sesuatu yang belum diketahuinya.
82
Yang dimaksud dengan ahli kitab ialah orang-orang Yahudi bani nadhir, merekalah yang mula-mula dikumpulkan untuk diusir keluar dari kota madinah. 83 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 915. 84 Departemen Agama Ri, op. cit., hlm. 552
55
Dalam hal ini dapat kita fahami bahwa akal manusia dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, dan mampu memilah-milah hal-hal yang seharusnya diambil untuk dilaksanakan dan mana hal-hal yang seharusnya ditinggalkan, dengannya pula manusia dapat menemukan kebenaran, walaupun kebenaran disini masih bersifat relatif karena kebenaran yang mutlak hanyalah kebenaran dari Allah semata, dengan akal juga, manusia mampu membedakan mana ukuran baik yang relatif dan ukuran baik yang pasti (qath’i). Dewasa ini diakui oleh para ilmuwan, sejarah, filsafat, sains, bahwa segala gejala yang dipelajari sebenarnya ditentukan oleh pandangan terhadap realitas atau kebenaran. Hal ini mustahil dapat tercapai apabila manusia tidak mau menggunakan akalnya untuk memahami dan menggunakan inderanya untuk melihat segala bukti (data empirik) yang telah diketahuinya. Dengan demikian “hanya orang-orang yang mau menggunakan penglihatan dan akalnyalah yang dapat menemukan ilmu dan mengembangkannya. 85
85
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, op. cit., hlm. 62.