25
BAB II AKIBAT HUKUM TERHADAP HAK MILIK ATAS TANAH YANG BERADA DALAM KAWASAN HUTAN
A. Penataan Kawasan Hutan Secara yuridis normatif, Pengertian hutan menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 pasal 1 huruf (b) adalah : “Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan, berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”. Sedangkan yang dimaksud dengan kawasan hutan pada pasal 1 huruf (b) adalah “kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Menurut, A. Arief, Hutan adalah sutau masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang hidup dalam lapisan dan permukaan tanah yang terletak pada suatu kawasan serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan yang dinamis.26 Kemudian menurut, Hasanu Simon, Hutan adalah suatu asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan dan binatang yang didonimasi oleh pohon dan vegetasi berkayu yang mempunyai luasan tertentu sehingga dapat membentuk iklim mikrodan kondisi ekologi yang spesifik.27
26
Arief. A, Hutan, Hakikat Dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1994), hlm. 9. 27 Hasanu Simon, Hutan Jati dan Kemakmuran (Jogyakarta: Aditya Media, 1993), hlm.13-14.
25
Universitas Sumatera Utara
26
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, definisi hutan ialah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya dan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan. Sedangkan kawasan hutan diartikan sebagai wilayah-wilayah tertentu yang oleh menteri ditetapkan untuk dipertahankan sebagai hutan tetap. Yang dimaksud dengan menteri disini adalah menteri yang diserahi urusan kehutanan. Dalam penjelasan pasal 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 diuraikan bahwa hutan dalam undang-undang ini diartikan sebagai suatu lapangan yang cukup luas, bertumbuhan kayu, bambu dan/atau palem yang bersama-sama dengan tanahnya, beserta segala isinya baik berupa alam nabati maupun alam hewani, secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup yang mempunyai kemampuan untuk memberikan manfaat-manfaat produksi, perlindungan dan/atau manfaat-manfaat lainnya secara lestari. Dengan merujuk kepada pengertian dalam UU kehutanan 1967 tersebut, pengertian hutan tidak dianut pemisahan secara horizontal antara suatu lapangan (tanah) dengan apa yang diatasnya. Antara suatu lapangan (tanah), tumbuh-tumbuhan/alam hayati dan lingkungannya merupakan suatu kesatuan yang utuh; hutan yang dimaksud ini adalah dilihat dari sudut de facto yaitu kenyataan dan kebenarannya dilapangan. Disamping itu adanya suatu lapangan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan, dimaksudkan untuk menetapkan suatu lapangan (tanah) baik yang bertumbuhan pohon atau tidak sebagai hutan tetap. Dalam ketentuan ini dimungkinkan suatu lapangan yang tidak bertumbuhan pohon-pohon di luar kawasan hutan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan. Keberadaan hutan disini adalah de jure (penetapan pemerintah).28 28
Bambang Eko Supriyadi, Hukum Agraria Kehutanan (Jakarta: Rajawali Pers, Cetakan I, 2013), hlm. 68.
Universitas Sumatera Utara
27
Dari pengertian tentang hutan dan kawasan hutan sebagaimana tercantum dalam undang-undang kehutanan dapat disimpulkan bahwa, pengertian “hutan” adalah pengertian pisik atau ekologi, yaitu suatu hamparan lahan/tanah yang di dominasi pepohonan sebagai satu kesatuan ekosistem. Sedangkan pengertian “kawasan hutan” adalah pengertian yuridis atau status hukum, yaitu wilayah atau daerah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Penguasaan atas hutan oleh pemerintah di dasarkan kepada pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam tersebut dijabarkan dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang menegaskan tentang hak menguasai dari negara, dinyatakan bahwa Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk : a. Mengatur dan menyelenggarakann peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
Universitas Sumatera Utara
28
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Dengan demikian negara sebagai organisasi kekuasaan “mengatur” sehingga membuat peraturan, kemudian “menyelenggarakan” artinya melaksanakan (execution) atas penggunaan/peruntukan (use), persediaan (reservation) dan pemeliharaan (maintenance) dari bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Juga untuk menentukan dan mengatur (menetapkan dan membuat peraturan-peraturan) hak-hak apa saja yang dapat dikembangkan dari hak menguasai dari negara tersebut.29 Abrar Saleng berpendapat bahwa rumusan hak menguasai negara atas hutan artinya negara melalui pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan, pemanfaatan, dan hak atas sumber daya alam yang berupa hutan tersebut dalam lingkup mengatur (regelen), mengurus, mengelola (besturen, beheeren) dan mengawasi (toezichthouden) pengelolaan dan pemanfaatan hutan.30 Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan kepemilikan sebagaimana konsepsi Domein Verklaring yang ada pada zaman pemerintahan Kolonial Belanda.31 Sejarah lahirnya landasan hukum agraria nasional termasuk sejarah dari terbentuknya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) salah satu point penting dari UUPA adalah mencabut “Domein Verklaring” yang merupakan pelaksanan dari hukum agraria pada masa penjajahan Belanda yang biasa disebut “Agrarische Wet” (Staatsblad 1870 No. 55). Pernyataan dari “Domein Verklaring” itu berbunyi :
29 A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria (Bandung: CV. Mandar Maju, cetakan kesembilan, 2008), hlm. 44. 30 Abrar Sabeng, Hukum Pertambangan (Jakarta: UII Press, cet I, 2004), hlm. 18. 31 Noer Fauzi,“Petani Dan Penguasa : Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 72.
Universitas Sumatera Utara
29
“Semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikannya, bahwa itu eigendomnya adalah domein atau milik Negara.”32 Konsep
tersebut
dapat
dikatakan
sangat
tidak
menghargai
bahkan
mengganggu hak-hak rakyat atas tanah yang bersumber pada hukum adat. Karena hak-hak rakyat atas tanah yang sudah turun temurun akan tetapi tidak dapat dibuktikan eigendomnya dianggap domein atau milik negara. Dalam konteks penguasaan dan pengelolaan sumber daya hutan maka pasal 4 ayat 1 Undang-undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang kehutanan menyatakan
“Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Intinya adalah hutan sebagai sumber kekayaan alam Indonesia pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat, dan digunakan untuk mencapai kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia. Dalam pengertian ini hutan “dikuasai” tetapi bukan “dimiliki” oleh negara, melainkan suatu pengertian kewajiban-kewajiban dan pemegang amanah rakyat dalam lapangan hukum publik sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang menyatakan : “Penguasaan hutan oleh negara tersebut memberikan wewenang kepada pemerintah untuk : (a) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil 32
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
30
hutan, (b) menetapkan wilayah tertentu sebagai kawasan hutan dan bukan kawasan hutan, (c) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.” Jika dihubungkan dengan teori kewenangan maka pemerintah mendapat kewenangan untuk menguasai, mengatur dan mengurus hutan berdasarkan wewenang atribusi yang diberikan oleh pembentuk undang-undang kehutanan.33 Dari sudut pandang Hukum Administrasi Negara, menurut H.D. Van Wijk dan Willem Konijnenbelt, setidaknya terdapat 3 (tiga) sumber kewenangan pemerintah yaitu : 1. Atribusi, adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undangundang (DPR) kepada suatu organ pemerintahan. 2. Delegasi, adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. 3. Mandat, adalah jika satu organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya, dalam hal ini tidak terjadi perubahan wewenang apapun yang terjadi hanyalah hubungan internal antara atasan dan bawahan. 34 Pemerintah atau eksekutif yang dipresentasikan oleh presiden dalam menjalankan tugas pemerintahannya dibantu oleh para menteri atau kementerian kehutanan. Pada dasarnya dalam undang-undang kehutanan tidak ditemukan rumusan yang menyatakan bahwa menteri atau kementerian kehutanan menguasai tanah 33
Bambang, Op Cit, hlm. 78. Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara (Jakarta:Raja Grafindo Perkasa, ed. I, 2006), hlm. 104-105. 34
Universitas Sumatera Utara
31
kawasan hutan, namun tidak berarti tanah kawasan hutan tidak ada yang menguasai. Jika merujuk pada konstruksi undang-undang kehutanan penguasaan hutan termasuk tanahnya adalah domain negara bukan pemerintah. Terdapat perbedaan pendapat mengenai status hutan dengan tanah hutan, dimana antara pepohonan dengan tanah memiliki pengaturan yang berbeda. Sehingga apabila pepohonan telah ditebang maka status hukum sebagai hutan akan berakhir dan tanahnya kembali menjadi tanah negara yang diurusi oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Salah satu pendapat yang berkenaan dengan ini adalah : Dengan adanya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 yang telah diganti dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (LNRI 1999-167, TLNRI 3587). Hukum Tanah Nasional (HTN) ditafsirkan sebagai tidak berlaku terhadap tanah-tanah yang berada di kawasan hutan. Padahal HTN berlaku untuk semua tanah diwilayah negara, seperti dapat disimpulkan dari Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1967 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas Keagrariaan dengan bidang tugas kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum. Hak penguasaan yang ada pada menteri yang membidangi kehutanan, sebenarnya hanya mengenai hutan, dalam arti tegakan-tegakan yang ada di kawasan hutan. Tidak meliputi kewenangan mengenai tanahnya. Kiranya kewenangan mengenai tanah dikawasan hutan yang sekarang kenyataannya dilaksanakan oleh menteri tersebut, dapat diberikan landasan hukumnya dengan diberikan hak pengelolaan kepada departemen yang bidangnya meliputi urusan kehutanan.35 Kembali melihat pengertian hutan menurut pasal 1 angka 2 dan angka 3 serta pasal 4 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999. Pada pasal 1 angka 2 disebutkan adanya suatu hamparan lahan. Lahan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
35
Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional (Jakarta: Universitas Trisakti, edisi revisi, 2007), hlm. 52-53.
Universitas Sumatera Utara
32
pula tanah.36 Dengan demikian lahan dengan pepohonan merupakan bagian yang tidak terpisahkan, karena dalam rumusan tersebut dinyatakan sebagai “suatu kesatuan ekosistem” Menurut Otto Soemarwoto, suatu konsep sentral dalam ekologi adalah ekosistem, yaitu suatu sistim ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem terbentuk oleh komponen hidup dan tidak hidup di suatu tempat yang berinteraksi membuat satu kesatuan yang teratur.37 Selanjutnya pada pasal 1 angka 3 disebutkan adanya suatu “wilayah tertentu”, suatu wilayah menunjukkan adanya suatu daerah dimana tentunya berkaitan dengan tanah, karena tidak ada suatu daerah yang terpisah dari tanahnya. Akan tetapi Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 tentang Singkronisasi Pelaksanaan Tugas Keagrariaan Dengan Bidang Tugas Kehutanan, Pertambangan, Transmigrasi, dan Pekerjaan Umum, telah memisahkan penguasaan antara pepohonan dengan tanahnya tidak tepat. Penguasaan kawasan hutan oleh menteri yang ditetapkan melalui sebuah undang-undang lebih tinggi kedudukan hukumnya dari sebuah Instruksi Presiden sesuai dengan hirarki perundang-undangan di Indonesia pada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 pasal 7 ayat (1). Menurut Achmad Sodiki, inti masalahnya adalah pada hak menguasai negara yang diterapkan pada undang-undang sektoral tersebut tidak menunjukkan kesamaan 36
Kementerian Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Edisi keempat, PT. Gramedia Pustaka Utama. 37 Supriadi, Hukum Lingkungan Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 2.
Universitas Sumatera Utara
33
penafsiran tentang isi dan batas-batasnya. Sehingga terkesan adanya tumpang tindih kewenangan. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum.38 Perbedaan sudut pandang pada dasarnya disebabkan perbedaan cara pandang dan dasar hukum yang berbeda. Disatu sisi dasar hukum yang digunakan adalah UUPA dan peraturan pelaksananya, sedangkan disisi Kementerian Kehutanan didasarkan
kepada
ketentuan
undang-undang
kehutanan
beserta
peraturan
pelaksanaannya. Kementerian Kehutanan mengemban amanah untuk mengelola hutan di Indonesia sesuai dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, pasal 10 menyatakan: (1) Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat. (2) Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kegiatan penyelenggaraan : a) Perencanaan kehutanan, b) Pengelolaan hutan, c) Penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, dan d) Pengawasan. Pada pasal 11 Undang-undang nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan : (1) Perencanaan Kehutanan dimaksudkan untuk memberi pedoman dan arah yang menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3. (2) Perencanaan kehutanan dilaksanakan secara transparan, bertanggung gugat, partisipatif, terpadu serta memperhatikan kekhasan dan aspirasi 38
Achmad Sodiki, 40 Tahun Perjalanan UUPA, Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Brawijaya, Malang, 1999, hlm. 14.
Universitas Sumatera Utara
34
daerah. Kemudian pasal 12 menyatakan bahwa Perencanaan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a, meliputi : a. Inventarisasi hutan, b. Pengukuhan kawasan hutan, c. Penatagunaan kawasan hutan, d. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan e. Penyusunan rencana kehutanan. Penjelasan Pasal 12 menerangkan : “Dalam pelaksanaan dilapangan, kegiatan pengukuhan kawasan hutan tidak selalu mendahului kegiatan penatagunaan hutan, karena pengukuhan kawasan hutan yang luas akan memerlukan waktu yang lama. Agar diperoleh kejelasan fungsi hutan pada salah satu bagian tertentu, maka kegiatan penatagunaan hutan dapat dilaksanakan setidak-tidaknya setelah ada penunjukan”. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan, dimana dalam pasal 1 butir (1) dikatakan, “Perencanaan Kehutanan adalah proses penetapan tujuan, penentuan kegiatan dan perangkat yang diperlukan dalam pengurusan hutan lestari untuk memberikan pedoman dan arah guna menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan”. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004, mengemukakan : (1) Maksud perencanaan kehutanan adalah untuk memberikan pedoman dan arah bagi pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, masyarakat, pelaku usaha, lembaga profesi, yang memuat strategi dan kebijakan kehutanan untuk menjamin tercapainya tujuan penyelenggaran kehutanan.
Universitas Sumatera Utara
35
(2) Tujuan perencanaan kehutanan adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan kehutanan yang efektif dan efisien untuk mencapai manfaat fungsi hutan yang optimum dan lestari. Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004, menyatakan : (1) Perencanaan kehutanan meliputi kegiatan : a. Inventarisasi hutan, b. Pengukuhan kawan hutan, c. Penatagunaan kawasan hutan, d. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan e. Penyusunan rencana kehutanan. (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di dukung peta kehutanan dan atau data numerik. (3) Pedoman pemetaan kehutanan dan pengelolaan data numerik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan keputusan menteri. Pasal 4 menyatakan perencanaan kehutanan dilaksanakan : a. Secara transparan, partisipatif dan bertanggung-gugat; b. Secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor terkait dan masyarakat seta mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi, sosial budaya dan berwawasan global; c. Dengan memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah termasuk kearifan tradisional. Inventarisasi hutan adalah kegiatan pengumpulan dan penyusunan data dan fakta mengenai sumber daya hutan untuk perencanaan pengelolaan sumber daya tersebut. Ruang lingkup inventarisasi hutan meliputi : survei mengenai status dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Inventarisasi hutan wajib dilaksanakan karena hasilnya digunakan sebagai bahan perencanaan pengelolaan hutan agar diperoleh kelestarian hasil. Hierarki inventarisasi hutan adalah inventarisasi hutan tingkat nasional, inventarisasi hutan tingkat wilayah, inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai, inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan. Tujuan inventarisasi hutan adalah untuk mendapatkan data yang akan diolah menjadi informasi yang akan digunakan sebagai bahan perencanaan dan perumusan kebijaksanaan strategis jangka panjang, jangka menengah dan operasional jangka pendek sesuai dengan tingkatan dan kedalaman inventarisasi yang dilaksanakan.39 39
www.google.com - Inventarisasi Hutan - Bab II Inventarisasi Hutan. / lihat juga www.dephut.go.id/pranalogi kehutanan/bab2.pdf. Diakses pada tanggal 12 Nopember 2013.
Universitas Sumatera Utara
36
Pasal 13 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan, (1) Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap. (2) Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan survey mengenai status dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia serta kondisi sosial masyarakat di dalam dan sekitar hutan. (3) Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud ayat (2) terdiri dari : a. Inventarisasi hutan tingkat nasional, b. Inventarisasi hutan tingkat tingkat wilayah, c. Inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai dan d. Inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan. (4) Hasil inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) antara lain dipegunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca sumber daya hutan, penyusunan rencana kehutanan dan sistim informasi kehutanan . (5) Ketentuan lebih lanjut sebagimana dimaksud ayat (1) , ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penjelasan pasal 13 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) adalah : Inventarisasi hutan tingkat nasional menjadi acuan pelaksanaan inventarisasi hutan tingkat yang lebih rendah. Inventarisasi untuk semua tingkat, dilaksanakan terhadap hutan negara maupun hutan hak. Ayat (4) yang dimaksud neraca sumber daya hutan adalah suatu informasi yang dapat menggambarkan cadangan sumber daya hutan, kehilangan dan penggunaan sumber daya hutan, sehingga pada waktu tertentu dapat diketahui kecenderungannya, apakah surplus atau defisit jika dibandingkan dengan
Universitas Sumatera Utara
37
waktu sebelumnya. Ayat (5) Inventarisasi hutan merupakan bagian dari perencanaan kehutanan, sehingga materi pengaturannya akan dirangkum dalam peraturan pemerintah yang mengatur tentang perencanaan kehutanan. Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain : a. Tata cara, b. Mekanisme pelaksanaan, c. Pengawasan dan pengendalian, dan d. Sistim informasi. Menurut PP Nomor 44 Tahun 2004 paragraf 3, 4 dan 5 mengatur mengenai inventarisasi hutan tingkat wilayah. Pasal 8 menyatakan Gubernur menetapkan pedoman inventarisasi hutan berdasarkan
kriteria dan standar inventarisasi yang
ditetapkan menteri, sebagai acuan pelaksanaan inventarisasi hutan. Kemudian inventarisasi hutan pada tingkat propinsi, kabupaten/kota, tingkat wilayah dan pada tingkat unit pengelolaan dilakukan satu kali dalam lima tahun. Undang-undang
Kehutanan
dalam
pasal
18
mengamanatkan
bahwa
pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau, guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. Dalam penjelasan pasal 18 ayat (1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan penutupan hutan (forest coverage) adalah penutupan lahan oleh vegetasi dengan komposisi dan kerapatan tertentu, sehingga dapat tercipta fungsi hutan antara lain iklim mikro, tata air dan tempat hidup satwa sebagai satu ekosistem hutan. Sedangkan yang dimaksud dengan optimalisasi manfaat adalah kesinambungan antara manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekosistem secara lestari.
Universitas Sumatera Utara
38
Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan oleh pemerintah adalah minimal 30 % (tiga puluh persen) dari luas aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.40 Luas hutan yang hendak dipertahankan oleh pemerintah tidak selamanya dapat diterapkan pada wilayah-wilayah tertentu, seperti pulau Jawa. Luas areal kawasan hutan di pulau Jawa dan Madura pada kenyataannya kurang dari 20 % dan tidak selururuhnya dapat digunakan sesuai peruntukannya. Hal ini disebabkan oleh terdapat tanah-tanah yang diduduki pihak ketiga tanpa izin, pembuatan wadukwaduk, irigasi dan jalan-jalan. Luas hutan Indonesia di tiap provinsi merupakan data luas hutan yang terdapat di masing-masing provinsi di Indonesia. Luas seluruh hutan di Indonesia adalah 133.300.543,98 ha. Ini mencakup kawasan suaka alam, hutan lindung, dan hutan produksi. Data luas hutan Indonesia ini merupakan data de jure, data di atas kertas berdasarkan SK Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan. Mengenai jumlah riil luas hutan di lapangan kemungkinan dapat berbeda. Data ini kemungkinan besar bukan luas riil hutan di Indonesia. Dengan SK penunjukkan kawasan hutan yang dikeluarkan beberapa tahun lalu tentunya tidak mencakup berbagai kerusakan hutan yang terjadi akibat kebakaran hutan, pembalakan liar, maupun berbagai alih fungsi hutan lainnya. 40
Loc.cit, Bambang Eko, hlm. 119.
Universitas Sumatera Utara
39
Dengan demikian setiap kebijakan pemerintah terhadap hutan harus tetap mempertimbangkan setiap kepentingan yang berkaitan dengan hutan tersebut dan tidak mengutamakan kepentingan sekelompok orang tertentu yang justru dapat menyebabkan kerusakan hutan. Sesuai dengan pemaparan di atas maka pemerintah dalam hal ini Menteri Kehutanan yang memperoleh kewenangan untuk mengelola hutan di Indonesia harus lebih agresif dan selektif seperti dalam hal penetapan dan pengelolaan hutan. Namun yang paling utama adalah lebih bijaksana dalam mengeluarkan produk-produk hukum yang sangat besar pengaruhnya bagi masa depan hutan dan rakyat Indonesia. Hal ini sesuai dengan Asas dan Tujuan Pasal 2 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang berisi “Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan.” Dalam Penjelasan Pasal 2 tersebut dinyatakan bahwa Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, dimaksudkan agar : Setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kerakyatan dan keadilan, dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh karena itu, dalam pemberian wewenang pengelolaan atau izin pemanfaatan hutan harus dicegah terjadinya praktek monopoli, monopsoni, oligopoli, dan oligopsoni. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kebersamaan, dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin saling keterkaitan dan saling ketergantungan secara sinergis antara masyarakat setempat dengan BUMN atau BUMD, dan BUMS Indonesia, dalam rangka pemberdayaan usaha kecil, menengah, dan koperasi. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterbukaan dimaksudkan agar setiap kegiatan penyelenggaraan kehutanan mengikut-
Universitas Sumatera Utara
40
sertakan masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterpaduan, dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor lain, dan masyarakat setempat. Tahapan terakhir dalam penataan kawasan hutan adalah penyusunan rencana kehutanan, hal ini dilakukan setelah di dapat inventarisasi hutan setelah mempertimbangkan mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan dan kondisi sosial masyarakat, pemerintah menyusun rencana kehutanan. Menurut Lampiran Peraturan Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 36/MENHUT-II/2013 Tanggal : 3 Juli 2013 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kehutanan Tingkat Kabupaten/Kota di dalam latar belakang menyatakan : Rencana kehutanan terdiri dari rencana kawasan hutan dan rencana pembangunan kehutanan. Berdasarkan skala geografis, rencana kawasan hutan terdiri dari Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN), Rencana Makro Penyelenggaraan Kehutanan, Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi (RKTP), Rencana Kehutanan Tingkat Kabupaten/Kota (RKTK) dan Rencana Kehutanan Tingkat Pengelolaan Hutan (RKPH). Jenis dan tata hubungan rencana-rencana kehutanan telah diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.42/Menhut-II/2010 tentang Sistem Perencanaan Kehutanan. Rencana Kawasan Hutan mempertimbangkan rencana tata ruang dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional dan daerah, dan selanjutnya merupakan acuan spasial dalam penyusunan Rencana Pembangunan Kehutanan. Pengertian Rencana Kehutanan adalah produk perencanaan kehutanan yang dituangkan dalam bentuk dokumen rencana spasial dan numerik serta disusun menurut skala geografis, fungsi pokok kawasan hutan dan jenis-jenis pengelolaannya serta
dalam
jangka
waktu
pelaksanaan
dan
dalam
penyusunannya
telah
memperhatikan tata ruang wilayah dan kebijakan prioritas pembangunan yang terdiri dari rencana kawasan hutan dan rencana pembangunan kehutanan.
Universitas Sumatera Utara
41
Selanjutnya tata cara penyusunan rencana kehutanan menurut Lampiran Peraturan Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 36/MENHUT-II/2013 pada bagian F No. 2 dilakukan dengan tata cara : a. Persiapan. b. Kondisi dan Potensi Kawasan Hutan Saat Ini. c. Analisis Kawasan. Berdasarkan Rencana Kehutanan tersebut diatas, maka apabila semua prosedur dilaksanakan sesuai dengan petunjuk undang-undang kemungkinan akan didapatkan hasil maksimal dalam pengurusan hutan di Indonesia
dalam rangka
memberikan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. B. Prosedur Penerbitan Sertipikat Hak Milik Oleh Nasional
Badan Pertanahan
Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air, dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana yang dicita-citakan. Untuk mencapai cita-cita Negara tersebut, maka dibidang agraria perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara. Rencana umum (national planning) yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus (regional planning) dari tiap-tiap daerah. Dengan adanya planning itu maka penggunaan tanah dapat
Universitas Sumatera Utara
42
dilakukan secara terpimpin dan teratur sehingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi Negara dan rakyat. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang biasa disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengisyaratkan bahwa tanah itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi seluruh rakyat. 41 Hal ini juga diperkuat Secara konstitusional dalam Pasal 33 ayat(3) UUD 1945. Dari ketentuan dasar ini, dapat diketahui bahwa kemakmuran rakyatlah yang menjadi tujuan utama dalam pemanfaatan fungsi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.42 Untuk melaksanakan hal tersebut, di bidang pertanahan telah dikeluarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dari penjelasan umum UUPA dapat diketahui bahwa Undang Undang ini merupakan unifikasi di bidang Hukum Pertanahan. Dalam rangka menjamin kepastian hak dan kepastian hukum atas tanah, UUPA telah menggariskan adanya keharusan untuk melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia, sebagaimana diamanatkan Pasal 19 UUPA. Pasal tersebut mencantumkan ketentuan-ketentuan umum dari pendaftaran tanah di Indonesia, yaitu: 1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 Pasal ini meliputi : a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah; b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; 41 42
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 50 Ibid, hlm. 50
Universitas Sumatera Utara
43
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria. 4. Dalam peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (2) diatas, denganketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut. Ketentuan dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA tersebut merupakan ketentuan yang ditujukan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia, yang sekaligus juga merupakan dasar hukum bagi pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka memperoleh surat tanda bukti hakatas tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Untuk menindak lanjuti hal tersebut, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, sebagai penyempurnaan dari Peraturan Pemerintah sebelumnya. Penyelenggaran pendaftaran tanah dalam masyarakat merupakan tugas Negara yang diselenggarakan oleh Pemerintah bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan status hak atas tanah di Indonesia. Tanah menurut Pasal 4 ayat (1) UUPA adalah “permukaan bumi yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baiksendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum”. Pasal 4 ayat (2) UUPA menegaskan bahwa tanah-tanah yang dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang untuk mempergunakan tanah
yang bersangkutan sekedar diperlukan untuk kepentingan
langsung
Universitas Sumatera Utara
44
berhubungan dengan penggunaan tanah dalam batas-batas menurut UUPA danperaturan yang lebih tinggi.43
1. 2. 3. 4.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tanah adalah: 44 Permukaan bumi atau lapisan bumi yang atas sekali;. Keadaan bumi disuatu tempat;. Permukaan bumi yang diberi batas. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas, napal, dan sebagainya). Dengan dikeluarkannya UUPA dapat menghilangkan sifat dualistis dalam
lapangan agraria dan semua aturan-aturan lama mengenai konversi, dihapuskan dan diganti dengan hak-hak baru yang sesuai dengan UUPA. Hukum agraria yang baru tersebut didasarkan pada hukum adat yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia serta merupakan hukum rakyat Indonesia yang asli. Sesuai dengan amanat Pasal 19 UUPA maka setiap tanah harus didaftarkan pada kantor pertanahan setempat. Dengan adanya pendaftaran tanah tersebut seseorang dapat dengan mudah memperoleh keterangan berkenaan dengan sebidang tanah, seperti hak apa yang dipunyai, berapa luas lokasi tanah, apakah dibebani hak tanggungan dan yang terpenting adalah tanah tersebut akan mendapatkan sertipikat sebagai alat bukti hak. Pendaftaran tanah memiliki arti penting dalam memberikan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia seperti yang ditegaskan dalam Pasal 19 UUPA bahwa pemerintah mengadakan pendaftaran tanah yang bersifat recht cadastre45 43
Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2002) , hlm.111. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, Edisi Ketiga, 2002), hlm.1132. 44
Universitas Sumatera Utara
45
diseluruh wilayah Republik Indonesia. Perbuatan hukum pendaftaran tanah menyangkut dengan hak keperdataan seseorang. Hak keperdataan merupakan hak asasi seorang manusia yang harus kita junjung tinggi dan hormati oleh sesama manusia lainnya yang bertujuan untuk adanya kedamaian dalam kehidupan masyarakat. UUPA menganut sistem negatif, sehingga keterangan yang tercantum didalam surat bukti hak mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima oleh hakim sebagai keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak ada alat pembuktian lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Jika terjadi hal demikian maka pengadilan akan memutuskan alat pembuktian mana yang benar. Pendaftaran tanah tidak menyebabkan mereka yang tidak berhak menjadi berhak atas suatu bidang tanah hanya karena namanya keliru dicatat sebagai yang berhak. Mereka yang berhak dapat menuntut diadakannya pembetulan dan jika tanah yang bersangkutan sudah berada didalam penguasaan pihak ketiga, ia berhak menuntut penyerahan kembali kepadanya.46 Badan
Pertanahan
Nasional
(BPN)
adalah
lembaga
pemerintah
nonkementerian di Indonesia yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. BPN dahulu dikenal dengan sebutan Kantor Agraria. BPN diatur melalui Peraturan
45
Recht Cadaster adalah pendaftaran tanah yang bertujuan memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah, sedangkan bagi tanah-tanah yangtunduk pada hukum adat didaftarkan dengan tujuan menetapkan siapa yang berkewajiban membayar pajak atas tanah. 46
Hasan Wargakusumah, Hukum Agraria I (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 77.
Universitas Sumatera Utara
46
Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional yang kemudian diubah menjadi Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2012. Jenis sertipikat kepemilikan hak atas tanah yang dapat dimohonkan di Kantor Pertanahan ditentukan oleh subjek hak atas tanah dan tujuan penggunaan objek atas tanah sepanjang dibolehkan undang-undang, sehingga dapat memiliki hak atas tanah sesuai dengan ketentuan pasal 16 Undang-undang Pokok Agraria sebagai berikut : 1. Hak milik. 2. Hak guna usaha. 3. Hak guna bangunan. 4. Hak pakai. Berbagai sertifikat hak milik yang dikeluarkan oleh BPN telah sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UUPA menyatakan : “Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud pasal 2 ditemukan macam-macam hak atas tanah pemukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”. Syarat dan prosedur permohonan sertipikat hak milik atas tanah yang dalam kawasan hutan, ternyata sama saja dengan permohonan hak pertama kali di Kantor BPN. Karena lambatnya sosialisasi dan pengurusan hutan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten tentang keberadaan hutan di daerah Kabupaten Padang Lawas Utara mengakibatkan BPN tidak tahu wilayah mana saja yang telah diklaim menjadi kawasan hutan sesuai dengan SK 44 tersebut. Diterbitkannya sertipikat hak milik diatas kawasan hutan didasari pada fungsi tanah tersebut. Dimana tanah tersebut
Universitas Sumatera Utara
47
merupakan tanah adat pada masing-masing daerah Kabupaten Padang Lawas Utara, yang merupakan warisan dari masyarakat adat setempat dan kemudian sekarang masih tetap dikuasai oleh keturunan dari masyarakat tersebut.47 Eksistensi tanah adat pada saat ini sangatlah berbeda dengan zaman dulu. Zaman dulu, tanah adat dikuasai secara bersama-sama oleh masyarakat hukum adatnya. Sehingga sangat terlihat jelas adanya hubungan antara tanah adat dengan masyarakat adatnya. Pada saat sekarang ini, seiring perkembangan zaman yang semakin modern tanah adat telah dikuasai secara individu oleh masyarakat adat. Para pengetua adat telah membagi-bagi tanah adat kepada masing-masing masyarakat adat, yang kemudian tanah adat yang telah dikuasai secara individu ini diwariskan kepada keturunannya. Namun walau demikian, bukan berarti bahwa masyarakat adat itu telah hilang. Dalam kehidupan sehari-hari di Kabupaten Padang Lawas Utara, keberadaan masyarakat adatnya dapat dilihat dari sistim “Dalihan Na Tolu“ dan upacara-upacara “Margondang”. Sistim ini masih dijunjung tinggi dalam kehidupan masyarakat Padang Lawas Utara.48 Dengan melihat sistim adat Dalihan Na Tolu diatas maka Kantor Pertanahan beranggapan masyarakat adat masih ada di daerah Kabupaten Padang Lawas Utara. Oleh karena itu Kantor Pertanahan berhak untuk melakukan pendaftaran hak atas tanah terhadap tanah-tanah adat yang telah dikuasai secara individu itu. Ternyata terbitnya sertipikat atas tanah tersebut menimbulkan ketidakpastian terhadap pemegang hak dan berimbas kepada kreditur ketika sertipikat tersebut dijadikan
47 Hasil wawancara dengan Aladdin Harahap, Kepala Seksi II Bidang Pendaftaran dan Peralihan Tanah Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tapanuli Selatan, pada tanggal 20 Nopember 2013. 48 Hasil wawancara dengan Baginda Natigor Siregar, masyarakat Padang Lawas Utara, pada tanggal 25 Januari 2014.
Universitas Sumatera Utara
48
jaminan hutang, karena hak atas tanah tersebut tidak bisa dilakukan perbuatan hukum berdasarkan SK.44/Menhut-II/2005. Pemohonan hak petama kali yang diajukan kepada Kantor Pertanahan dapat berupa : a.
Penegasan hak atas tanah. Penegasan hak atas tanah merupakan keputusan Badan Pertanahan Nasional,
yaitu penegasan hak atas tanah yang berasal dari tanah milik adat, ditegaskan untuk pemohon melalui prosedur peolehan sertipikat hak atas tanah di kantor pertanahan dengan pemenuhan persyaratan permohonan sebagai berikut :49 1. Surat pemohonan. 2. Fotocopi KTP atau identitas diri pemohon. 3. Fotocopi KTP atau identitas dii penerima kuasa disetai dengan surat kuasa, jika permohonannya dikuasakan. 4. Fotocopi SPPT PBB tahun berjalan. 5. Bukti tertulis hak atas tanah yang asli, yakni : 1) Surat bukti hak milik yang terbit berdasarkan praturan swapraja. 2) Sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan PMA No. 9/1959. 3) Surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang. 4) Petuk pajak bumi/Landrente, Girik, Pipil, Kikitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya PP N. 10/1961.
49
Chandra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah (Jakarta:Grasindo, 2005), hlm. 51-52.
Universitas Sumatera Utara
49
5) Akta pemindahan hak yang di buat dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian
yang
dibubuhi
tanda
kesaksian
kepala
adat/kepala
desa/kelurahan disertai alas hak. 6) Akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan. 7) Akta ikrar wakaf/akta pengganti ikrar wakaf/surat ikrar wakaf disertai alas hak wakafnya. 8) Risalah lelang yang dibuat pejabat lelang berwenang yang tanahnya belum dibukukan disertai alas hak yang dialihkan. 9) Surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil pemerintah daerah. 10) Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan disertai alas hak atas tanah yang dialihkan. Sehubungan dengan penegasan hak atas tanah tersebut, maka prosedurnya mengajukan surat permohonan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat melalui loket penerimaan, dengan persyaratan sebagai berikut :50 a. Setiap fotocopi yang dipersyaratkan sudah dilegalisir oleh pejabat yang berwenang. b. Setelah surat keputusan penegasan hak atas tanah diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, maka dimohonkan penerbitan sertipikat hak atas tanah. 50
Ibid. hlm. 50.
Universitas Sumatera Utara
50
Setelah persyaratan tersebut terpenuhi maka Pegawai Kantor Pertanahan yang bertugas dalam kegiatan pengukuran atau biasa disebut dengan Petugas Ukur/Juru Ukur akan melakukan pengukuran kelapangan. Terbitnya sertipikat dalam kawasan hutan dalam wilayah Kabupaten Padang Lawas Utara, terjadi karena kurangnya koordinasi antar-instansi penyelenggara pembebasan tanah dengan Kantor Pertanahan setempat, juga diakibatkan tidak adanya batas hutan yang kelas di lapangan serta kurangnya pengawasan tanah hutan secara intensif oleh Dinas Kehutanan. Akibatnya timbul asumsi bahwa Kantor Pertanahan berhak menyelenggarakan pendaftaran tanah atas tanah-tanah yang saat ini bukanlah berfungsi sebagai hutan lagi.51 Namun, sebagai lembaga pemerintahan yang bergerak dalam bidang pertanahan, alasan-alasan diatas bukanlah sesuatu yang seharusnya diutarakan oleh Kantor Pertanahan, karena dalam kegiatan pendaftaran tanah, pengukuran tanah yang dilakukan oleh Petugas Ukur/Juru Ukur pastinya menggunakan GPS (Global Positioning Systim).52 Penggunaan GPS tentunya dapat memperkuat hasil pengukuran untuk pengambilan dan pengolahan data fisik, karena GPS dapat memastikan letak suatu tanah, salah satunya apakah tanah tersebut merupakan tanah negara atau tidak. Bila dikaji lebih dalam, apabila diterbitkannya sertipikat dalam kawasan hutan, maka dapat menimbulkan pertanyaan besar bagaimana kepastian hukum atas sertipikat
tersebut.
Kantor
Pertanahan
yang
menerbitkan
sertipikat
tanpa
memperhatikan letak wilayah hutan kemungkinan besar dapat menimbulkan 51
Hasil wawancara dengan Aladdin Harahap, Kepala Seksi II Bidang Pendaftaran dan Peralihan Tanah Kantor Badan Pertanahan Nasionak Kabupaten Tapanuli Selatan, pada tanggal 20 Nopember 2013. 52 Global Positioning System (GPS) adalah sistem untuk menentukan letak di permukaan bumi dengan bantuan penyelarasan (synchronization) sinyal satelit. Sistem ini menggunakan 24 satelit yang mengirimkan sinyal gelombang mikro ke Bumi. Sinyal ini diterima oleh alat penerima di permukaan, dan digunakan untuk menentukan letak, kecepatan, arah, dan waktu.
Universitas Sumatera Utara
51
sangkaan bahwa Kantor Pertanahan melakukan pelanggaran dalam melaksanakan tugasnya. Karena setiap tugas yang diemban oleh Petugas Ukur dilapangan pasti berpatokan kepada alat GPS tersebut untuk mendapatkan hasil yang akurat. Ketika hasil GPS menunjukkan bahwa tanah tersebut berada dalam kawasan hutan, namun pegawai Kantor Pertanahan tetap menerbitkan sertipikat atas tanah maka pegawai Kantor Pertanahan diduga melakukan “Maladministrasi”53 dalam prosedur penerbitan sertipikat. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, indikator maladministrasi yang dilakukan oleh pegawai Kantor Pertanahan adalah berupa penggunaan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk penggunaan kewenangan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang dapat menimbulkan kerugian meteriil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan, serta penyimpangan prosedur dalam penerbitan sertipikat. Akan tetapi perbuatan maladministrasi ini dapat dihukum apabila ada laporan dari pihak yang dirugikan. Karena delik maladministrasi adalah harus ada pelaporan dari pihak yang dirugikan tentang telah terjadinya suatu perbuatan yang dianggap maladministrasi. Pegawai Kantor Pertanahan yang melakukan maladministrasi dapat dikenakan sangsi administrasi, seperti : pemecatan dari jabatan, penurunan jabatan atau pemindahan tugas. 53
Maladministrasi juga dapat diartikan adalah penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh para administrator negara dalam praktek administrasi negara. Penyimpangan ini diukur dari standar nilai yang diakui sebagai etika administrasi negara.
Universitas Sumatera Utara
52
Disamping itu, apabila terbukti adanya tindakan pemalsuan sertipikat diatas tanah hutan negara, yaitu seperti penerbitan sertipikat tanpa adanya buku tanah dan surat ukur, maka pegawai Kantor Pertanahan yang melakukan perbuatan tersebut dapat dipidana sesuai pasal 263 KHUPidana, dimana tindakan pemalsuannya dibuktikan berdasarkan Pasal 183 KHUPidana. Untuk sertipikat yang dikeluarkan setelah adanya keputusan menteri kehutanan, Kantor Pertanahan tidak mau membatalkannya ataupun menarik kembali sertipikat yang telah beredar dengan alasan bahwa sertipikat tersebut berada diatas tanah
ulayat
maupun
tanah
permukiman
masyarakat
setempat,
lahan
pertanian/perkebunan yang telah ditempati sekian lamanya sebelum dikeluarkannya peraturan yang mengatur untuk itu.54 Namun semenjak Dinas Kehutanan Paluta sudah mulai menjalankan tugas dan fungsinya serta telah mempertegas letak wilayah hutannya, maka Kantor Pertanahan Tapanuli selatan yang mengurus seluruh penguasaan tanah di daerah Kabupaten Padang Lawas Utara, tidak mengeluarkan lagi sertipikat hak milik apabila menurut Peta kehutanan ternyata tanah tersebut berada dalam kawasan hutan.55 C. Status Hukum Sertipikat Hak Milik Setelah SK-44/Menhut-II/2005 Pengertian “zaak” atau “thing” menurut Soebekti adalah segala sesuatu yang dapat dihaki seseorang.56 Sri Soedewi menyebutnya sebagai segala sesuatu yang
54
Hasil wawancara dengan Aladdin Harahap, Kepala Seksi II Bidang Pendaftaran dan Peralihan Tanah Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tapanuli Selatan, pada tanggal 20 Nopember 2013. 55 Hasil wawancara dengan Aladdin Harahap, Kepala Seksi II Bidang Pendaftaran dan Peralihan Tanah Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tapanuli Selatan, pada tanggal 20 Nopember 2013. 56 Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 1998), hlm.60.
Universitas Sumatera Utara
53
dapat menjadi objek eigendom.57 Objek hak merupakan lawan dari subjek hak yaitu orang atau badan hukum dan benda tersebut dapat dihaki atau dimiliki oleh orang karena objek dari hukum atau atau objek hak. Istilah “zaak” dalam arti objek hak dalam B.W. mengandung dua arti yaitu : Pertama, sebagai barang berwujud (Pasal 500 dan 520 BW). Kedua, sebagai barang tidak berwujud (hak) dan merupakan bagian dari harta kekayaan (pasal 501, pasal 503, pasal 508 dan pasal 511 BW). Dengan demikian, dapat dibedakan kapan suatu barang dikategorikan dalam lapangan zakenrecht
dan
kapan
suatu
barang
dikategorikan
dalam
lapangan
verbintennissenrect. Benda menurut Vollmar diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat menjadi objek daripada hukum (objek hukum).58 Akan tetapi tidak semua benda dapat dihaki atau dikategorikan menjadi objek hukum seperti bulan, bintang, laut dan udara. Dalam sistim hukum perdata (BW) yang berkaitan dengan benda terdapat pada Buku II yang membagi benda relatif lebih banyak dan rinci, garis besar jenis benda dalam BW dibagi sebagai berikut : 1. Benda berwujud dan benda tidak berwujud (lichamelijke zaken onlichamelijke zaken, pasal 502 BW). 2. Benda bergerak dan benda tidak bergerak (roerende zaken onroerende zaken, Pasal 504 BW). 3. Benda habis pakai dan benda tidak habis pakai (verbruikbaar zakenonverbruikbaar zaken, Pasal 505 BW). 4. Benda dalam perdagangan dan benda di luar perdagangan (zaken in de handel zaken buiten de handel, Pasal 1332 BW). 57
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Pedata, Hukum Benda (Yogyakarta: Liberty, 2004), hlm.13. 58 Vollmar, terjemahan, dalam Chaidir Ali, Hukum Benda, (Menurut KUHPerdata) (Bandung: Transito, 1990), hlm.32.
Universitas Sumatera Utara
54
5. Benda yang sudah ada dan benda yang masih akan ada (tegenwoordige zakentoekomstige zaken, Pasal 1334 BW). 6. Benda yang dapat dibagi dan benda yang tidak dapat dibagi (deelbaar zaken ondeelbaar zaken, Pasal 1163 BW). 7. Benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat diganti (vervangbaar zaken onvervangbaar zaken, Pasal 1694 BW). Tanah dalam BW digolongkan sebagai benda tidak begerak. Pembentuk undang-undang secara tegas membedakan tiga golongan atas benda tidak bergerak, Pertama, benda tidak bergerak karena sifatnya memang tidak bergerak dan tidak dapat dipindahkan karena kodrat alamiah dari benda itu sendiri, misalnya tanah. Tanah termasuk segala sesuatu yang melekat dia atasnya menjadi bagian dari tanah, seperti pohon atau tumbuhan yang melekat pada tanah tersebut (Pasal 506 BW). Kedua, benda tidak bergerak karena tujuannya atau peruntukannya, secara alamiah benda ini dapat dipindah-pindahkan atau benda yang bergerak. Namun karena tujuannya atau peruntukannya tertentu benda tersebut dengan sengaja dilekatkan menjadi bagian dari pokoknya, sehingga benda tersebut kehilangan sifat alamiahnya dan berubah menjadi benda yang tidak bergerak, misalnya mesin pabrik. Ketiga, benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang. Dibentuk ketentuan bahwa suatu objek hukum tertentu dimasukkan ke dalam atau dijadikan benda tidak bergerak, misalnya hak pakai (gebruik) atas benda tidak bergerak, hak memungut hasil (vruchtgebruik) atau hipotek (pasal 508 BW). Setelah diberlakukannya UUPA, pengertian hak milik dalam KUHPerdata terbatas hanya pada pengertian hak milik atas kebendaan bukan tanah, sebab pengertian hak milik atas tanah telah diatur di dalam UUPA. Pasal 20 ayat (1)
Universitas Sumatera Utara
55
menyatakan : “Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6”. Meninjau Pasal 6 yaitu : “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Pengertian sosial menurut Leon Duguit adalah : “tidak ada hak subyektif yang ada hanyalah fungsi sosial”.59 Fungsi sosial yang dimaksud adalah ditafsirkan bahwa fungsi sosial dari hak milik primair diartikan hak milik itu tidak boleh dibiarkan merugikan kepentingan masyarakat. Dengan kata lain tanah tersebut selain bermanfaat bagi pemiliknya akan tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya, harus dapat serta menikmatinya bahkan jika diperlukan pemerintah dapat turut campur agar tanah tersebut tidak ditelantarkan. Dengan berlakunya azas hak menguasai dari negara maka tanah-tanah yang ada di Indonesia terbagi kepada :60 a. Tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau lebih populer dengan sebutan tanah negara yaitu tanah-tanah yang di atasnya belum ada diberikan hak/pengakuan hak kepada siapapun, baik kepada orang maupun badan hukum dan kekuasaan negara atas tanah negara tersebut penuh. b. Tanah yang dikuasai tidak langsung oleh negara atau lebih populer dengan sebutan tanah hak yaitu tanah-tanah yang di atasnya sudah ada hak seseorang atau badan hukum, baik hak adat maupun hak lain berdasarkan ketentuan 59
AP. Parlindungan, Op.Cit, hlm. 65 Tampil Anshari Siregar, Mempertahankan Hak Atas Tanah (Medan: Multi Grafik, Cet Pertama, 2005), hlm 17. 60
Universitas Sumatera Utara
56
UUPA dan kekuasaan negara dimaksud telah dibatasi leh hak yang diberikan kepada orang dan/atau badan hukum. Ciri hak milik sebagaimana disebutkan pada Pasal 20 UUPA adalah hak turun temurun yang mempunyai fungsi sosial. Hak milik merupakan hak yang paling kuat yang tidak dibatasi oleh waktu dan dalam pemanfaatannya memiliki nilai yang lebih tinggi daripada hak milik lainnya, memiliki nilai jual paling mahal dan akan memperoleh ganti kerugian tinggi apabila ada pelepasan tanah. 61 Dengan demikian pemegang hak atas tanah berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Seperti menanami, mendirikan bangunan dan kegiatan-kegiatan lainnya yang tidak bertentangan dengan hukum dan kepentingan masyarakat. Keluarnya Surat Keputusan 44/Menhut-II/2005 tentang penunjukan kawasan hutan di Propinsi Sumatera Utara tanggal 16 Februari 2005 yang dikeluarkan berdasarkan Perda Propinsi Sumatera Utara No. 7 Tahun 2003 tanggal 28 Agustus 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara Tahun 20032018, telah dialokasikan kawasan hutan Provinsi Sumatera Utara dan Gubernur Sumatera Utara melalui surat Nomor 522/779 tanggal 11 Pebruari 2004 mengajukan kepada Menteri Kehutanan Penetapan Kawasan Hutan Propinsi Sumatera Utara. Penunjukan kembali kawasan hutan di wilayah Provinsi Sumatera Utara seluas ± 3.742.120(tiga juta tujuh ratus empat puluh dua ribu seratus dua puluh) hektar yang dimaksud terinci menurut fungsi hutan dengan luas sebagai berikut: 61
Ibid. hlm. 28.
Universitas Sumatera Utara
57
a. Kawasan Suaka Alam/KawasanPelestarian Alam : ± 477.070 Ha. b. Hutan Lindung
: ± 1.297.330 Ha
c. Hutan Produksi Terbatas
: ± 879.270 Ha.
d. Hutan Produksi Tetap
: ± 1.035.690 Ha.
e. Hutan Produksi yang dapat dikonversi
:±
Jumlah Namun
52.760 Ha.
: ± 3.742.120 Ha. dengan
terbitnya
SK
44/Menhut-II/2005
timbul
beberapa
permasalahan antara lain: perbedaan luas hutan versi TGHK, RTRWP dan SK 44 itu sendiri, seperti halnya beberapa kawasan hutan tidak tepat fungsinya, ada yang telah berubah menjadi permukiman, sawah dan perladangan (tanah adat) di dalam kawasan hutan, penataan batas kawasan yang lamban dan usulan dari pemerintah kabupaten untuk melepaskan beberapa wilayah kawasan menjadi non kawasan atau APL. Oleh karena itu, kabupaten melalui surat Bupati dengan persetujuan DPRD yang didorong 2 surat Dinas Kehutanan Propinsi ke Dinas terkait di seluruh kabupaten/kota dan juga oleh SK Gubernur no. 522/5597 tanggal 22 Agustus 2007 tentang pemberian ijin kabupaten/kota mengajukan permasalahan kawasan hutan dengan data dan informasi kondisi kawasan hutan yang sebenarnya untuk diusulkan dalam revisi keputusan penetapan kawasan hutan.62 Sejarah perkembangan penunjukkan kawasan hutan dimulai pada zaman Belanda (sekitar Tahun 1930-an) dimana kawasan ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan hutan didaftar atau diregistrasi serta ditata batas, hasilnya 62
xa.yimg.com/..../Laporan+workshop+review+rencana+tata+ruang+sumatera,Pelatihan Pemetaan Partisipatif, diakses tanggal 30 Desember 2013.
Universitas Sumatera Utara
58
kita kenal dengan Peta REGISTER. Kemudian lama berselang selama setengah abad, Pemerintah Indonesia menetapkan TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan) pada tahun 1982. Kawasan hutan di dalam TGHK merupakan Hutan REGISTER ditambah perluasannya. Khusus di propinsi Sumatera Utara setelah TGHK, tata ruang kawasan hutan sebenarnya sudah diinisiasi perubahannya di dalam RTRWP 2003. Setelah dibuat RTRWP 2003, terbitlah SK Menhut no. 44/Menhut-II/2005 tentang penunjukkan kawasan hutan berdasarkan RTRWP 2003. Seperti propinsi yang lain, SK Menhut tiap propinsi berlainan. Luas kawasan hutan Sumatera Utara pada SK 44 2005 adalah seluas 3.742.120 ha. Luas ini telah direvisi lagi dalam Peta Dasar Tematik Kehutanan (PDTK) seluas 3.735.235,98 ha atau 52,15% dari luas wilayah propinsi.63 Namun kenyataannya sampai dengan hari ini revisi kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh Sk 44/Menhut-II/2005 belum terlaksana juga, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap tanah-tanah yang masuk kualifikasi kawasan hutan. SK 44/Menhut-II/2005 mengacu kepada RTRWP yang telah diajukan oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Utara seharusnya tidak menyebabkan permasalahan di lapangan karena pembuatan RTRWP sudah berdasarkan fakta yang ada di dalam masyarakat. Akan tetapi dalam jangka waktu beberapa tahun dari tahun 2003 sampai 2005 telah terjadi perubahan yang signifikan terhadap letak wilayah hutan menjadi permukiman sehingga ketika timbulnya SK 44/Menhut-II/2005 justru menyebabkan permasalahan.64 Keberadaan SK Menhut ternyata juga menyebabkan keresahan masyarakat sebagai pemegang sertipikat hak milik atas tanah, dimana tanah berstatus sertipikat hak milik atau tanah-tanah yang telah dikuasai secara turun temurun masuk dalam kawasan hutan yang ditetapkan oleh menteri kehutanan. Termasuk tanah-tanah adat 63 64
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
59
pada kabupaten Padang Lawas Utara mengalami permasalahan terkait dengan surat keputusan tersebut.65 Dalam pasal 1 angka 6 UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Bunyi pasal ini jelas mengandung otoriter suatu keputusan Menteri dalam penguasaan hutan. Karena berdasarkan bunyi pasal tersebut dapat dikatakan bahwa hutan adat berada dalam kekuasaan negara, dalam hal ini adalah Menteri Kehutanan. Tentunya pernyataan ini juga akan merampas hak-hak masyarakat adat untuk memanfaatkan dan memungut hasil hutan adatnya. Dalam Pasal 4 ayat (3) menjadi : Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Sebenarnya negara menghormati dan mengakui hak-hak warga masyarakat desa yang bersifat tradisional yang tunduk pada hukum adat. Buktinya terlihat dalam Pasal 18-B UUD 1945 (perubahan-II tahun 2000) yang menyatakan bahwa “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan pada prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Namun isi pasal 1 angka 6 UU Kehutanan tersebut sangat bertentangan dengan UUD 1945. 65
Hasil wawancara dengan Astro Simamora, Kepala Bidang Rehabilitas Dan Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Padang Lawas Utara pada tanggal 20 Nopember 2013.
Universitas Sumatera Utara
60
Disamping itu, sesuai dengan hierarki perundang-undang menurut UU No. 12 Tahun 2011 pada pasal 7 ayat (1) maka peraturan yang dibawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya baik secara materil ataupun instansi yang mengeluarkannya. Dengan demikian sangat diperlukan revisi/peninjauan kembali SK 44/Menhut-II/2005 dikarenakan peraturan ini telah melanggar hak-hak masyarakat. Dimana pemukiman, persawahan dan kebun-kebun penduduk setempat telah masuk dalam kawasan hutan. Padahal proses usulan revisi kawasan hutan telah ditandatangani gubernur pada awal Oktober tahun 2009. Kemudian akan segera ditindaklanjuti oleh Dinas Kehutanan Propinsi untuk mengekspose di depan Menteri Kehutanan dan selanjutnya di proses sesuai PP 28 /Menhut-II/2009 tanggal 20 April 2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konsultasi dalam rangka pemberian persetujuan substansi kehutanan atas rancangan Perda tentang Rencana Tata Ruang Daerah. Sehingga nantinya akan diperoleh SK Menhut yang baru untuk merevisi SK 44/Menhut-II/ 2005.66 Adanya penetapan kawasan hutan yang melanggar hak-hak masyarakat mengakibatkan masyarakat pemilik sertipikat tidak dapat melakukan tindakan apapun, khususnya pada kondisi sertipikat tersebut telah dijadikan jaminan kepada pihak bank. Maka ketika terjadi kredit macet yang mengakibatkan debitur wanprestasi justru kreditur tidak dapat melakukan eksekusi dan sebaliknya pemilik sertifikat juga tidak dapat melakukan kegiatan apapun terhadap tanah miliknya karena akan menimbulkan akibat hukum. Seperti pengambilan kayu yang merupakan milik 66
xa.yimg.com, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
61
masyarakat akan tetapi telah dinyatakan sebagai kawasan hutan, akibatnya terjadi kriminalisasi kepada masyarakat dan menimbulkan ketidakpastian hukum.67 Keadaan
ini
menyebabkan
peraturan/perundang-undangan
yang
kehilangan menginginkan
tujuan
dari
pembuatan
tercapainya
keamanan,
ketentraman dan kepastian hukum itu sendiri di dalam masyarakat. Dengan demikian sertipikat hak milik yang dimiliki individu seolah-olah tidak memiliki kekuatan hukum. Selain dari itu juga menyebabkan rusaknya perekonomian seseorang dan merusak mental seseorang karena tidak ada pengakuan dari pihak manapun siapa yang menjadi pemilik tanah dan bagi masyarakat yang nyata menguasai tanahnya bertahun-tahun juga ditindak oleh aparat yang membuat masyarakat benar-benar tidak nyaman dan tersakiti oleh SK tersebut.68 Sesuai dengan penjelasan tersebut diatas maka upaya percepatan revisi Sk 44 Menhut-II/2005 sangat diharapkan oleh seluruh masyarakat Propinsi Sumatera Utara khusunya masyarakat Padang Lawas Utara sehingga tidak ada lagi pihak-pihak yang dirugikan atau dikriminalisasi. Meninjau SK 44/Menhut-II/2005 ditemukan beberapa kelemahan yaitu : 69 1.
Tidak dilaksanakan perencanaan yang baik, penunjukan kawasan hutan dilakukan hanya berdasarkan penunjukan dengan pertimbangan RTRW serta
67 Hasil wawancara dengan Astro Simamora, Kepala Bidang Rehabilitas Dan Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Padang Lawas Utara pada tanggal 20 Nopember 2013. 68 Elviana Sagala, Loc. cit, hlm. 75. 69 Ibid, hlm. 75-78.
Universitas Sumatera Utara
62
tidak dilaksanakannya sosialisasi untuk mendapatkan umpan balik dari masyarakat. 2. Tidak melakukan inventarisasi hutan, tujuannya adalah untuk memperoleh data dan informasi yang akurat mengenai keberadaan hutan, sumber daya dan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. 3. Pertimbangan hukum, dalam hal ini dapat dilihat dari beberapa segi yaitu : a. Segi formal b. Segi Materil c. Segi dasar keputusan Selain direvisi, maka akibat dari SK No. 44/Menhut-II/2005 dapat dijadikan sebagai objek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara apabila mengakibatkan kerugian sesuai dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal ini baik Kantor Pertanahan, Kreditur atau Masyarakat sebagai salah satu pihak yang dirugikan dikarenakan sertipikat yang dikeluarkan tidak memiliki kekuatan hukum yang pasti. D. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi No.45/PUU-IX/2011 Terhadap Status Sertipikat Hak Milik Dalam Kawasan Hutan. 1.
Status Sertifikat Hak Milik Dalam Kawasan Hutan Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011. Suatu wilayah yang berstatus bukan kawasan hutan untuk kemudian menjadi
kawasan hutan dilakukan melalui proses yang dinamakan pengukuhan kawasan hutan. Kegiatan pengukuhan kawasan hutan ini dapat dibedakan dalam 2 priode, yaitu priode sebelum berlakunya Undang-undang No. 5 Tahun 1967 mengenai Pokokpokok Kehutanan dan setelah berlakunya UU No. 5 Tahun 1967. Pada zaman Pemerintah Hindia Belanda sampai dengan ditetapkannya UU No. 5 Tahun 1967 tentang ketentuan pkok-pokok kehutanan, suatu areal atau wilayah
Universitas Sumatera Utara
63
tertentu yang bukan hutan dapat dijadikan hutan/kawasan hutan melalui dua tahapan yaitu :70 1. Penunjukan (Aanwijzing), penunjukan ini dilakukan oleh Gubernur Jenderal atau Directeur van Landbow, Nijverheid en Handel atau Directeur van Economische Zaken (Departemen yang membawahi Jawatan Kehutanan dengan suatu keputusan Penunjukan. 2. Penataan batas, berdasarkan keputusan penunjukan maka diselenggarakan kegiatan penataan batas yang mencakup antara lain kegiatan pemancangan patok batas, pengukuran, pemancangan pal batas, pemetaan, pembuatan berita acara tata batas. Dengan ditandatanganinya Berita Acara Tata Batas (BATB) oleh Panitia Tata Batas dan disahkan oleh pejabat yang berwenang dalam hal ini Kepala Jawatan Kehutanan maka resmilah areal/wilayah tertentu yang sebelumnya bukan hutan menjadi kawasan hutan.71 Pada waktu Indonesia merdeka, status hukum tersebut tetap dipertahankan berdasarkan ketentuan : 1. UUD 1945, yaitu pasal II Aturan Peralihan : “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”. 2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yaitu pasal 20 ketentuan Peralihan bebunyi : “Hutan yang telah ditetapkan sebagai hutan tetap, cagar alam dan suaka margasatwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya undang-
70 71
Bambang Eko Supriyadi, Op.cit, hlm. 70. Tata Batas, http://bpkh1.com/tata-batas diakses pada tanggal 30 Desember 2013.
Universitas Sumatera Utara
64
undang ini, dianggap telah ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan peruntukan dan fungsi sesuai dengan penetapannya”. 3. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pada ketentuan Peralihan (pasal 81) menyatakan : “Kawasan hutan yang telah ditunjuk atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undangundang ini”. 4. Pada masa Indonesia medeka, yaitu dengan telah diundangkannya UU No. 5 Tahun 1967 yang diperbaharui dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan , suatu areal tertentu dapat dijadikan hutan melalui 4 tahap yaitu : a.
Penunjukan
b. Penataan batas. c.
Pemetaan dan
d. Penetapan. Penunjukan kawasan hutan yang dilakukan oleh Menteri Kehutanan secara sepihak tanpa mempertimbangkan kenyataan kondisi masyarakat yang sebenarnya telah berimplikasi buruk terhadap masyarakat. Padahal tujuan lahirnya Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 yang terdapat pada Pasal 2 yaitu “Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan”. Namun ternyata Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 44/Menhut-II/2005 dinilai menjadi penyebab konflik di tengah-tengah masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
65
Syafruddin Kalo mengatakan “Konflik yang terjadi di Kabupaten Simalungun, Tapanuli Selatan dan Labuhan Batu menyebabkan ribuan rakyat resah akibat disuruh keluar dari rumahnya karena dituduh menduduki kawasan hutan negara dan melanggar SK Menhut No. 44/Menhut-II/2005.” Dan menurut beliau “Keadaan ini menimbulkan kecemasan dan meresahkan masyarakat sehingga terjadi perseteruan antara BPN Sumut dengan Dinas Kehutanan di lapangan”.72 Menurut beliau, dilaporkan ada beberapa wilayah yang ditunjuk dalam SK tersebut sebagai kawasan hutan seperti Kawasan Register 1,2,3 dan 4 di wilayah Simalungun dan Register 38 dan 40 di wilayah Tapanuli Selatan serta sejumlah register lainnya di Labuhan Batu yang sudah berubah fungsi selama puluhan tahun sebagai areal pemukiman, perkebunan dan pertanian. Bahkan beberapa wilayah kawasan hutan telah dibangun berbagai fasilitas publik oleh Pemerintah, seperti Kantor Bupati Simalungun dan Mapolres Simalungun di Raya. Hal serupa juga terjadi di Tapsel dan Labuhan Batu dimana telah didirikan fasilitas sosial seperti masjid, gereja dan sekolah. Disamping itu juga dilaporkan bahwa telah dilakukan operasi hutan lestari (OHL) oleh Polres Simalungun yang sebagai akibatnya banyak petani ditangkap dan diproses melalui pengadilan dan divonis hingga lima bulan penjara karena melanggar SK Menhut.73 Seharusnya penunjukan kawasan hutan itu harus terlebih dahulu dilakukan melalui proses perencanaan yang meliputi inventarisasi hutan, penatagunaan kawasan hutan dan penyusunan rencana kehutanan.74 Hal ini sesuai petunjuk Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan Pasal 12 Perencanaan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a, meliputi: a. inventarisasi hutan, 72 SK Menhut No 44/2005 Penyebab Konflik Di Tengah Masyarakat, http://beritasore.com/2007/05/24/sk-menhut-no-442005-penyebab-konflik-di-tengah-masyarakat/ Diakses tanggal 27 Januari 2014. 73 Ibid. 74 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
66
b. pengukuhan kawasan hutan, c. penatagunaan kawasan hutan, d. pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan e. penyusunan rencana kehutanan. 2.
Status Sertifikat Hak Milik Dalam Kawasan Hutan Sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011. Pada tanggal 22 Juli 2011, enam pemohon mengajukan permohonan kepada
Mahkamah Konstitusi Perkara No. 45/PUU-IX/2011 (selanjutnya disebut MK.45), untuk meminta pengujian pada Pasal 1 (3) dari Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal ini menjelaskan mengenai proses penentuan Kawasan Hutan Indonesia. Enam pemohon tersebut, termasuk lima orang Bupati, mendesak bahwa area yang sangat luas yang termasuk dalam cakupan wilayah administratif kabupaten mereka, yang merupakan tempat tinggal bagi penduduk yang berjumlah mencapai ratusan ribu orang, telah ditunjuk sebagai Kawasan Hutan, sehingga harus tunduk pada Kementerian Kehutanan dalam hal meminta ijin untuk melakukan kegiatan pembangunan, dan karenanya tidak bisa menjalankan prosedur pemerintah daerah seperti yang telah disahkan oleh hukum dan disyaratkan dalam UUD 1945. Selain itu, pemerintah daerah dan masyarakat secara umum menghadapi sanksi kriminal atas
Universitas Sumatera Utara
67
pendudukan ilegal pada Kawasan Hutan dan resiko perampasan hak milik oleh negara.75 Pada tanggal 21 Februari 2012, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permintaan dari enam pemohon tersebut, menyatakan bahwa kata-kata “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 (3) inkonstitusional dan tidak dapat diterapkan. Pasal 1 (3) sekarang berbunyi : “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.” Dengan menghilangkan kata-kata “ditunjuk dan atau”. Sejak tanggal 21 Februari 2012, Kawasan Hutan mencakup sekitar 130,7 juta ha (68,4%) dari keseluruhan daratan Indonesia, namun hanya 14,2 juta ha yang telah ditetapkan secara formal. Secara sekilas hal ini menunjukkan bahwa 130,7 juta ha Kawasan Hutan yang ada sebelum putusan MK45 sekarang secara hukum berkurang menjadi sekitar 14,2 juta ha (wilayah yang telah ditetapkan secara formal), atau sekitar 10% dari luas yang sebelumnya. Interpretasi yang sedemikian menganggap bahwa putusan tersebut berlaku secara retroaktif terhadap putusan-putusan administratif yang terdahulu. Namun, peraturan yang terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi sangat cenderung berimplikasi bahwa putusan tersebut berlaku secara non-retroaktif (tidak berlaku surut). Dengan kata lain, Kawasan Hutan yang ditunjuk dan atau ditetapkan sebelum putusan tersebut diambil tetap merupakan Kawasan Hutan.76 Memperhatikan Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor : 3/Menhut-II/2012 tanggal 3 Mei 2012 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 45/PUUIX/2011 tanggal 21 Februari 2012, berkaitan dengan status kawasan hutan dan penjelasan-penjelasannya.
75
Kajian Atas Keputusan Mahkamah Konstitusi Indonesia, forestclimatecenter.org/document_hit.php?cnt=international&lang, diakses tanggal 31 Desember 2013. 76 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
68
Sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana tersebut di atas serta penjelasan-penjelasan dalam surat edaran dimaksud, maka sejak tanggal 21 Februari 2012, kawasan hutan yang memiliki kepastian hukum secara operasional adalah kawasan hutan yang telah ditetapkan. Pada surat edaran tersebut, butir II Nomor 2 menyebutkan bahwa “Penunjukan kawasan hutan provinsi maupun parsial yang telah diterbitkan oleh Menteri Kehutanan serta segala perbuatan hukumnya tetap sah dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.” Sedangkan pada butir II Nomor 3, “penunjukan kawasan hutan provinsi maupun parsial yang diterbitkan Menteri Kehutanan setelah putusan MK tetap sah dan merupakan penetapan awal dalam proses pengukuhan.” Hal tersebut mengandung makna bahwa Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi maupun Parsial setelah putusan MK, dalam hal ini sebagai contoh adalah hasil revisi RTRWP, belum dapat menjadi landasan/dasar hukum dalam semua proses penggunaan/pemanfaatan Kawasan Hutan sebelum adanya penetapan melalui proses pengukuhan. Terkait dengan butir 1 di atas, apabila kita sandingkan dengan Permenhut Nomor : 50/Menhut-II/2011, pada pasal 55 ayat (5) yang menyatakan bahwa ketentuan ayat (1) s/d ayat (4) pasal tersebut (yakni proses penataan batas/proses pengukuhan), dinyatakan tidak berlaku apabila telah terbit Keputusan Menteri tentang Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi hasil perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan sejalan dengan proses revisi RTRWP serta pasal 57, yang senada dengan pasal
Universitas Sumatera Utara
69
55 ayat (5) tersebut, maka terdapat “disharmonisasi”77 kepastian penggunaan dasar hukum terhadap batas kawasan hutan, apakah langsung menggunakan penunjukan kawasan hutan hasil revisi RTRWP atau tetap menggunakan Berita Acara Tata Batas. Oleh karena itu, disarankan agar ada penyempurnaan/revisi terhadap permenhut tersebut sehingga tidak bertentangan dengan Putusan MK dimaksud. Permenhut Nomor : 50/Menhut-II/2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan serta Permenhut Nomor : 50/Menhut-II/2011 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan, secara operasional baru terbit dan dapat diimplementasikan pada tahun 2010. Sedangkan pada tahun 2001 – 2009, terdapat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan yang masih berlaku serta baru dinyatakan tidak berlaku setelah adanya Permenhut Nomor : 50/Menhut-II/2009 Pasal 16 ayat 1. Jika diperhatikan produk-produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti UU kehutanan dan SK Menhut tersebut tidak menyelesaikan permasalahan yang ada di dalam masyrakat sehingga tidak menyelesaikan permasalahan yang timbul selama ini. Meningkatnya konflik yang bersumber dari hak-hak masyarakat di Kawasan Hutan. Dalam program percepatan untuk menetapkan seluruh Kawasan Hutan yang tersisa sebelum tahun 2014, mungkin tidak cukup waktu dan sumberdaya untuk memetakan dan melindungi hak-hak masyarakat yang sudah tinggal disana secara memadai. Hal ini berpotensi menghasilkan ketegangan yang terus-menerus, 77
Disharmonisasi adalah tidak adanya keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, keseimbangan di antara norma-norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan sebagai sistem hukum dalam satu kesatuan kerangka sistem hukum nasional.
Universitas Sumatera Utara
70
peningkatan konflik dan potensi relokasi penduduk, melemahkan hak asasi manusia dan stabilitas jangka panjang dari penentuan tata guna lahan. Potensi perubahan positif yang sepenuhnya hanya bisa direalisasikan melalui pedoman kebijakan yang kuat dan jelas, dengan didukung kolaborasi efektif diantara seluruh pihak yang relevan. Dalam hal ini dapat dipertimbangkan : 1. Dibutuhkan pedoman kebijakan yang visioner untuk memastikan bahwa berbagai hasil bisa mendukung target-target pembangunan Indonesia. 2. Dibutuhkan peninjauan independen dan revisi lahan-lahan yang dialokasikan untuk kehutanan. 3. Kebutuhan untuk memfinalisasi rencana tata ruang provinsi. 4. Kebutuhan akan klarifikasi istilah Kawasan Hutan. 5. Kebutuhan akan penangguhan sementara dalam perijinan baru (termasuk ijin pertambangan dalam kawasan hutan) di wilayah-wilayah dimana terjadi persengketaan alokasi
antara
Kemenhut dan otoritas provinsi atau
kabupaten/kota. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 (MK 45) untuk mengubah UU Kehutanan, pada akhirnya akan meningkatkan kepastian hukum dan melindungi hak-hak konstitusional warga negara Indonesia. Biasanya, suatu putusan Mahkamah Konstitusi yang berhubungan dengan keputusan-keputusan administratif di masa lampau tidak diterapkan secara “retroaktif”78, karenanya batas-batas
78
Retroaktif adalah berlaku surut, yaitu suatu asas hukum yang dapat diberlakukan surut. Artinya hukum yang baru dibuat dapat diberlakukan untuk perbuatan melanggar hukum yang terjadi
Universitas Sumatera Utara
71
Kawasan Hutan tetap sama sebelum dan sesudah putusan MK 45 dan berbagai perijinan yang telah diterbitkan masih tetap berlaku. Namun, pasca putusan MK 45, wilayah yang ‘ditunjuk’ namun belum ‘ditetapkan’ bisa diterjemahkan sebagai : a.
Tidak lagi tunduk sepenuhnya kepada otoritas Kemenhut seperti yang diterapkan pada wilayah-wilayah yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Hutan atau,
b.
Jika kewenangan yang sedemikian berlaku, maka hal ini akan menciptakan kerentanan akan berbagai tuntutan hukum yang signifikan di Pengadilan. Dengan adanya ketidakpastian otoritas pengelolaan terhadap Kawasan Hutan, Kemenhut telah berkomitmen untuk mempercepat penyelesaian proses penetapan, sehingga menciptakan berbagai peluang maupun resiko yang bisa memajukan hasil-hasil positif yang tercipta dari putusan MK 45.
c.
Selain itu juga dengan adanya putusan ini secara otomatis dapat membatalkan penunjukan kawasan hutan dalam SK.44/Menhut-II/2005. Pada tanggal 9 September 2007, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sumatera Utara, akhirnya disahkan menjadi Peraturan Daerah (Perda), meskipun Kementerian Kehutanan (Kemenhut) belum mengeluarkan persetujuan mengubah kawasan hutan yang tercantun dalam SK. 44/MenhutII/2005.79 RTRW tahun 2013-2033 didasari dengan pemberlakuan UU No 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang. Menurut ketentuan pasal 78 ayat 4 huruf b UU No 26
pada masa lalu sepanjang hukum tersebut mengatur perbuatan tersebut, misalnya pada pelanggaran HAM berat. 79 Mandongar Siregar, Hasil wawancara dengan Kepala Bagian Hukum Kabupaten Padang Lawas Utara, tanggal 19 Nopember 2013.
Universitas Sumatera Utara
72
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa “semua peraturan daerah tentang perencanaan tata ruang disusun atau disesuaikan dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak diberlakukannya UU tata ruang nasional itu”. Selain itu juga, pasca Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011, juga diputus perkara mengenai hutan adat dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 1 angka 6 yang berbunyi “hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Pengujian Mahkamah Konstitusi terhadap pasal ini diputuskan dalam perkara No. 35/PUU-X/2012, yang menyatakan bahwa hutan adat bukanlah hutan negara. Sehingga bunyi Pasal 1 angka 6 UU kehutanan tersebut adalah “hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat adat”. Ini berarti bahwa hutan adat terlepas dari campur tangan pemerintah sepanjang masyarakat adatnya masih ada. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi memberikan
kewenangan
kepada
masyarakat
adat
No. 35/PUU-X/2012 untuk
mengatur
dan
menyelenggarakan pemanfaatan tanah. Termasuk di dalamnya kewenangan untuk mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah serta hubungan hukum yang berkaitan dengan tanah. Dengan demikian, Pemerintah Propinsi Sumatera Utara berdasarkan 2 putusan tersebut akan berupaya untuk menyelesaikan permasalahan yang ditimbulkan oleh SK.44/Menhut-II/2005 walaupun perda RTRW belum disahkan.
Universitas Sumatera Utara