BAB I PENGANTAR
A. LATAR BELAKANG Kabupaten
Blora
merupakan
salah
satu
Kabupaten
di Propinsi Jawa Tengah yang letaknya berada di sebelah timur kota Semarang. Jarak tempuh dari kotaSemarang ke Blora kurang lebih 127 kilometer. Kabupaten Blora berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Timur.Wilayah kabupaten Blora terdiri atas dataran rendah dan perbukitan dengan ketinggian 200-280 meter diatas permukaan air laut.Bagian utara merupakan kawasan perbukitan, bagian dari rangkaian pegunungan kapur utara.Bagian selatan juga berupa perbukitan kapur yang merupakan bagian dari pegunungan Kendeng yang membentang dari timur Semarang hingga Kabupaten Lamongan Jawa Timur.Separuh dari wilayah kabupaten Blora merupakan kawasan hutan dan perbukitan. Ibu kota Kabupaten Blora sendiri terletak di cekungan pegunungan kapur utara. Separuh
dari
wilayah
Kabupaten
Blora
merupakan
kawasan hutan, terutama dibagian timur, utara, dan selatan. Dataran rendah dibagian tengah umumnya merupakan areal persawahan. Sebagian besar wilayah Kabupaten Blora merupakan daerah krisis air, baik untuk air minum maupun untuk irigasi
1
2
pada
musim
kemarau.
Krisis
air
biasa
melanda
daerah
pegunungan kapur. Sementara pada musim hujan rawan banjir dan tanah longsor. Kali Lusi merupakan sungai terbesar di daerah Blora. Kali Lusi bermata air di daerah pegunungan kapur utara Rembang. Airnya mengalir kearah timur yang akhirnya bergabung dengan Kali Serang. Sektor pertanian merupakan salah satu sumber mata pencaharian tertinggi dan merupakan gantungan hidup utama penduduk di Kabupaten Blora. Daerah Blora lebih dikenal sebagai daerah yang menjadi lokasi perang antara Arya Penangsang dengan Sutawijaya yang biasa diceritakan pada legenda Arya Jipang. Selain legenda Arya Penangsang dengan Kuda Gagak Rimangnya, Kabupaten Blora juga terkenal dengan kesenian Tayubnya. Satu hal yang menarik dari daerah Blora adalah adanya komunitas manyarakat Samin dengan ajaran Saminismenya. Masyarakat Samin adalah kelompok masyarakat yang menganut ajaran Saminisme. Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi terhadap pemerintah Kolonial Belanda yang sewenang-wenang terhadap orang-orang pribumi. Perlawanan dilakukan
tidak
secara
fisik,
tetapi
berwujud
penentangan
terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda atau pemerintah dalam negeri, misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang
3
menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat, dan kebiasaan tersendiri. Masyarakat Samin memiliki tiga unsur gerakan Saminisme, pertama adalah gerakan yang mirip organisasi proletariat yang menentang sistem feodalisme dan Kolonial dengan kekuatan agraris terselubung; kedua, gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok; dan ketiga, gerakan yang berdiam diri
dengan
tenaganya
tidak
untuk
membayar negeri,
pajak,
menjegal
tidak
menyumbangkan
peraturan
agraria
dari
pengejewantahan diri sendiri sebagai dewa suci. Setelah ditelusuri ternyata
penyebab
utama
perlawanan
orang
Samin
yaitu
merefleksikan kejengkelan penguasa pribumi setempat dalam menjalankan
pemerintahannya
di
Randublatung.
Tindakan
perlawanan ini dalam bentuk gerakan mogok membayar pajak, menebang kayu di hutan dengan sembarangan, bepergian tanpa membayar karcis kereta dan sebagainya, sehingga Belanda marah dan berusaha untuk melawan pada semua pihak yang sudah tidak patuh pada aturan.1 Dahulu orang-orang Samin hidup mengasingkan diri di tengah hutan yang jauh dari keramaian agar dapat menjalankan segala ajaran dan adat istiadatnya dengan leluasa, tetapi dalam
1 Titi Mumfangati,Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora Jawa Tengah(Yogyakarta: Jarahnitra, 2004), 32-33.
4
kehidupan yang sekarang, masyarakat Samin sudah tidak tinggal di tengah hutan melainkan dipinggiran kampung dan letaknya agak
jauh
terpisah
dengan
masyarakat
non
Samin.
Mata
pencaharian sehari-harinya mengandalkan pada sektor pertanian. Mereka membuka lahan pertanian di tengah hutan untuk ditanami padi dan palawija. Masyarakat Samin juga banyak yang memelihara hewan ternak yang dipelihara seperti sapi, yang mereka gunakan untuk membantu membajak sawah, meskipun demikian kambing, ayam, dan hewan ternak yang lain juga banyak dijumpai di sana. Hewan ternak sangat dipuja oleh orang Samin, karena mereka menganggap bahwa hewan tersebut adalah raja kaya yaitu yang membantu bekerja di ladang dan memberi penghidupan kepada mereka. Tempat tinggal di tengah hutan dan jauh dari keramaian menimbulkan perilaku orang Samin cenderung tertutup. Sikap ketertutupan ini dapat dilihat pada penggunaan bahasa Jawa Kawi ditambah dengan dialek setempat, sehingga menjadi bahasa Kawi desa yang kasar.2 Orang Samin memiliki cara yang berbeda dalam
mengungkapkan
kalimat.
Mereka
sedikit
dalam
mengungkapkan kata- kata, berkata secara singkat dan langsung pada maksud serta tujuannya, dan terkesan memiliki maksud terselubung. Cara mengenakan pakaian pun mereka memiliki ciri 2
Titi Mumfangati, 2004, 32-33.
5
khas yang tidak dimiliki oleh masyarakat pada umumnya. Orang Samin memakai celana komprang sebatas lutut, berbaju longgar masing-masing berwarna hitam dan mengenakan ikat kepala atau udheng. Mereka tidak mau berdagang karenamenganggap bahwa dalamaktivitas
jual
beli
terjadikebohongan-
kebohongan yang merupakan perilaku yang sangat dibenci oleh orang Samin.3 Orang Samin memiliki kepribadian yang polos dan jujur. Polos dan jujur artinya bahwa mereka terbuka pada siapa pun termasuk kepada orang-orang yang belum dikenalnya. Jujur dan terbuka pada perilaku atau sikapnya dan jujur dan terbuka pada kata-katanya. Apa yang mereka katakan sesuai dengan kenyataan. Segala sesuatu yang mereka lakukan tidak pernah dibuat-buat. Jujur merupakan salah satu wujud dari ajaran yang mereka anut. Orang Samin sangat memegang „Solat‟ yang berarti Solahing ilat (gerak lidah). Lidah harus dijaga agar tetap mengucapkan katakata yang jujur dan tidak pernah menyakiti orang lain. Lidah
adalah
sumber
dari
segala
masalah.
Jangan
menyakiti orang lain kalau kita merasa sakit ketika disakiti, jangan membohongi orang lain kalau kita merasa sakit ketika
3Wawancara dengan mbah Nyamu (tokoh Samin di Desa Kedung Tuban Blora) pada bulan April tahun 2009.
6
dibohongi, jangan mencelakai orang lain kalau kita merasa sakit ketika dicelakai orang lain dan masih banyak lagi.4 Orang-orang
Samin
sebenarnya
kurang
suka
apabila
disebut dengan sebutan „Wong Samin‟. Sebutan tersebut terkesan mengandung arti tidak terpuji yaitu dianggap sebagai sekelompok orang yang tidak taat pada aturan pemerintah pada kewajiban membayar pajak, sering membantah pada kebenaran, sering keluar masuk penjara karena mencuri kayu jati di hutan, perkawinannya tidak dilaksanakan menurut hukum Islam. Para pengikut ajaran Samin lebih suka disebut dengan sebutan „Wong Sikep‟, artinya orang yang bertanggung jawab dan berkonotasi baik serta jujur.5 Sesungguhnya sebutan Samin berasal dari kata sami-sami yaitu sama-sama. Mereka menganggap bahwa semua makhluk hidup yang ada di dunia ini adalah sama-sama ciptaan Tuhan. Wanita yang satu memiliki ciri-ciri sama dengan wanita yang lainnya, laki-laki yang satu memiliki ciri-ciri sama dengan laki-laki yang lainnya dan sebagainya.6Sebutan Samin sendiri berasal dari nama tokoh pembawa ajaran Samin yaitu Samin Surosentiko. Wawancara dengan mbah Nyamu (tokoh Samin di Desa Tanduran Kedung Tuban Blora) pada bulan April tahun 2009. 5 Wawancara dengan Bapak Setyo Agus Widodo yang menjabat sebagai Kepala Desa Klopoduwur Kabupaten Blora pada bulan April 2009. 4
6 Wawancara dengan mbah Nyamu (tokoh Samin di Desan Tanduran Kedung Tuban Blora) pada bulan April tahun 2009.
7
Samin Surosentiko adalah Raden Surowijoyo yaitu anak dari Pangeran Kusumaniayu (Bupati Sumoroto, yaitu kawasan distrik pada
Kabupaten
Tulungagung
Jawa
Timur).
Kyai
Samin
Surosentiko lahir di desa Ploso Kediren Kecamatan Randu Blatung Kabupaten Blora pada tahun 1859. Ia mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko karena sebutan Samin adalah sebuah nama yang bernafaskan wong cilik. Kyai Samin Surosentiko masih memiliki
pertalian
darah
dengan
Kyai
Keti
di
Rajegwesi,
Bojonegoro. Sejak dini kyai Samin Surosentiko dijejali dengan pandangan-pandangan
viguratif
mengenai
pewayangan
yang
sangat mengagungkan tapabrata, gemar prihatin, suka mengalah demi kemenangan akhir, dan mencintai keadilan. Ketika beranjak dewasa kyai Samin Surosentiko merasa prihatin melihat banyak rakyat kecil yang sengsara dan tertindas oleh pemerintah kolonial Belanda.7 Pemerintah kolonial Belanda melakukan privatisasi hutan jati dan rakyat kecil diwajibkan membayar pajak. Pada tahun 1890 Kyai Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora. Dalam waktu sekejap banyak rakyat kecil dari kalangan petani yang tertarik dengan ajaran ini, sehingga dalam waktu singkat sudah banyak orang menjadi pengikutnya, pada saat itulah Raden Surowijoyo atau Kyai Samin 7
Mumfangati, 2004, 25-26.
8
Surosantiko melakukan perampokan di rumah-rumah orang kaya dan hasilnya dibagi-bagi kepada rakyat kecil.8 Kyai keturunan bangsawan ini dikenal oleh masyarakat kecil sebagai Kyai Samin yang berasal dari kata sami-sami amin yang artinya rakyat sama-sama setuju dengan usaha Raden Surowijoyo
melakukan
langkah
membrandalkan
diri
atau
pembangkangan untuk kepentingan rakyat kecil. Kyai Samin Surosantiko juga melakukan ekspansi gagasan dan pengetahuan sebagai tertindas
bentuk dalam
pendekatan hal
ini
transintelektual petani
sebagai
kepada
kaum
rakyat
jelata.
Transintelektual dilakukan dengan cara mengadakan ceramah di pendopo-pendopo desa. 9 Adapun pesan substantif dari gerakan tersebut adalah mengajak pengikutnya untuk memiliki watak jatmiko (bijaksana) dalam kehendak, taat beribadah, selalu mawas diri, mengatasi bencana alam dengan sigap dan cepat, serta berpegang teguh pada budi pekerti. Daerah
persebaran
masyarakat
Samin
menurut
Sastroatmojo di antaranya di daerah Tapelan Bojonegoro, Nginggil dan Klopoduwur di Blora, Kutuk di daerah Kudus, Gunungsegara (Brebes),Kandangan(Pati),
dan
Tlogoanyar
Mumfangati, 2004, 25-26. Nur Syam,Madzab-Madzab Antropologi. (Yogyakarta: IAIN Sunan Ampel Press, 2007), 58. 8 9
9
(Lamongan).10Perkembangan yang sangat menggembirakan bahwa di daerah Blora sendiri persebaran ajaran Samin dijumpai tidak hanya di daerah Klopoduwur saja melainkan juga dibeberapa daerah lain seperti: Ploso Kediren atau Ploso Wetan sebagai tempat kelahiran Kyai Samin Surosantiko, Bapangan Menden, dan Tanduran daerah Kedung Tuban.
11
Inti ajaran Samin yang
berkembang di beberapa daerah di kabupaten Blora adalah perwujudan dasar sebuah gerakan meditasi dan mengerahkan kekuatan batiniah guna menguasai hawa napsu. Ajaran Samin tersebar pertama kali di daerah Klopoduwur Blora,
Jawa
Tengah.
Pada
tahun
1890
pergerakan
Samin
berkembang di dua desa tengah hutan kawasan Kecamatan Randublatung, dan Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur. Gerakan ini kemudian dengan cepat menjalar ke daerah-daerah lain, mulai dari kawasan pantai utara Jawa sampai ke sekitar hutan di pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan atau menurut peta sekarang yaitu di daerah perbatasan Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dua tempat penting dalam pergerakan Samin adalah desa Klopoduwur di Kabupaten Blora dan desa Tapelan Kecamatan Ngraho Bojonegoro. Kedua daerah ini memiliki jumlah
10 Sastroatmojo,“Ki Samin: Telaah Selintas Tentang Masyarakat Samin” dalam BeritaBuana (pada tanggal 11-12 Maret 1980),13. 11 Hasil Observasi pada tanggal 10 April 2009 dan wawancara dengan Kepala Desa Klopoduwur, dan Modin Kelurahan Ploso Kediren Randublatung pada bulam Maret 2009.
10
pengikut Samin terbanyak.
12
Beberapa pikiran orang Samin
diantaranya menguasai adanya kekuasaan tertinggi (Sang Hyang Adi Budha), ramah, dan belas kasih terhadap sesama makhluk, tidak
terikat
kegembiraan
kepada (hiburan),
barang-barang kesejahteraan,
dunia
yang
serta
bersifat
memelihara
keseimbangan batin di kalangan antar warga.13 Daerah Klopoduwur dan Randublatung merupakan salah satu daerah di Kabupaten Blora yang dinyatakan sebagai basisnya penganut ajaran Saminisme dan di sana berkembang pula sebuah seni pertunjukkan tayub. Seni pertunjukan tayub adalah salah satu ciri seni pertunjukan rakyat Jawa yang berwujud tari berpasangan antara penari wanita dengan penari pria. Para penari wanita dalam pertunjukan tayubsering disebut tledhek, taledhek, atau ledhek. Masyarakat Blora, termasuk juga masyarakat Samin, menyebutnya dengan istilah joged. Seni
pertunjukan
tayub
merupakan
ciri
khas
dari
masyarakat pedesaan yang mata pencaharian sehari-harinya sebagai petani. Awalnya tayub biasa dipentaskan pada acara bersih desa. Istilah di daerah Blora termasuk di daerah Samin untuk menyebut bersih desa adalah Tegas Desa atau sering disingkat dengan sebutan Gas Desa. Acara bersih desa dilakukan
12 Dalam Website,http://id.wikipedia.org/wiki/ajaran_samin. tanggal 21 November 2008. 13 Mumfangati, 2004, 27-28.
11
setahun sekali. Tujuan pementasan tayub pada acara Tegas Desa adalah untuk menghormati Dewi Sri sebagai Dewi Padi atau Dewi Kesuburan. Selain untuk menghormati Dewi Padi juga sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta pada hasil panen tahun itu dan berharap supaya hasil panen pada tahun berikut tetap melimpah seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Alasan lain yang sangat mendasar, bahwa dengan melihat latar belakang letak geografis yang menyebabkan kondisi wilayah Kabupaten Blora sering mengalami krisis air, maka para petani mengadakan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selalu diberi limpahan air sehingga tanaman-tanamannya menjadi subur dan hasil panennya melimpah. Permohonan tersebut diwujudkan melalui pertunjukan tayub. Keberadaan
tayubsebagai
sarana
ritual
kesuburan
sepertinya telah menjadi banyak perhatian dari para pakar dan pemerhati seni budaya untuk mengadakan penelitian. Terbukti banyak sekali diadakannya penelitian-penelitian tayubdi berbagai tempat di Jawa Tengah seperti di Banyumas, Wonogiri, Grobogan, Pati, Gunung Kidul, dan Blora. Diantaranya penelitian yang berupa disertasi dilakukan oleh Sri Rochana Widiastutiningrum tentang tayubBlora (Ritual kerakyatan), Ben Suharto tentang tayubsebagai ritual kesuburan, dan masih banyak lagi penelitianpenelitian lainnya.
12
Kesekian tulisanyang paling menarik adalah ketika pidato pengukuhan jabatan Guru Besarnya R.M. Soedarsono pada Universitas Gadjah Mada tanggal 9 Oktober 1985 di Yogyakarta. Ia meletakkan
pembicaraannya
tentang
tayubpada
bagian
pendahuluannya. PidatoR.M. Soedarsono menceritakan tentang seorang pengemis bernama Partodikromo dari desa Poleng, Sragen, Jawa Tengah, sebagai berikut. Partodikromo yang walaupun hanya seorang pengemis, namun ia mampu merayakan perkawinan anak bungsunya Mulyono dengan Semi sangat meriah menurut ukuran di desanya. Perkawinan itu dimeriahkan dengan menanggap kesenian Tayuban, yang bukan saja merupakan sajian hiburan bagi para tamu yang diundang, tetapi juga merangsang daya tarik orangorang desa sekitarnya, yang berbondong-bondong membanjiri halaman rumah pak Parto untuk menyaksikan pertunjukan yang bernama Tayuban itu, meskipun mereka tidak diundang.14 Menurut Soedarsono, kasus seperti ini merupakan hal yang menarik untuk diteliti. Latar belakang Pak Partodikromo memilih Tayuban sebagai hiburan pada acara perkawinan anak bungsunya merupakan wujud kepercayaan bahwa dengan Tayuban, maka akan dapat memacu kekuatan magis agar kedua mempelai menjadi subur dan lekas punya anak.15
14 Lihat pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar yang berjudul “Peranan Seni Budaya Dalam Sejarah Kehidupan Manusia Kontinuitas dan Perubahannya” oleh R.M. Soedarsono pada Fakultas Sastra universitas Gadjah Mada, tanggal 9 Oktober 1985. 1-2 15R.M. Soedarsono, 1985, 2.
13
Masyarakat Blora yakin bahwa dengan menggunakan sarana tayub, apa yang menjadi permintaannya akan terkabulkan. Tayub diyakini oleh seluruh masyarakat Blora termasuk oleh masyarakat Samin sebagai lambang kesuburan. Perkembangan selanjutnya, seni pertunjukan tayub berfungsi sebagai seni hiburan. Wujud dari fungsi ini dapat dijumpai pada saat acara hajatan seperti upacara pernikahan, syukuran khitanan, dan lain sebagainya. Tayub sebagai sarana upacara ritual dapat dijumpai pada upacara Tegas Desa. Upacara Tegas Desa juga dilaksanakan di komunitas Samin. Tujuan utama melaksanakan upacara Tegas Desa sama dengan tujuan upacara Tegas Desa di daerah lain di Blora, yaitu untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Sang Pencipta terhadap hasil panen yang diperoleh tahun ini dan berharap dengan
ditahun-tahun diadakannya
memberikan
sesuatu
berikutnya.
Tegas
Desa,
yang
Mereka maka
baik
percaya
bumi
dan
akan
tetap
bahwa tetap terjaga
keseimbangannya. Bumi bagi masyarakat Samin adalah ibu pertiwi, artinya tanah memberikan penghidupan bagi mereka. Perilaku yang sangat arif pada masyarakat Samin adalah ketika mereka berpandangan positif pada lingkungan sekitarnya.
14
Sebuah pertunjukan yang kontroversial, ironis memang, satu sisi tayubdi masyarakat Samin berfungsi sebagai acara ritual kesuburan, sisi yang lain tayubmenunjukkan seni yang sering diikuti dengan adegan-adegan seronok, dan mabuk-mabukan. Saweran (Blora: suwelan) terkesan melecehkan penari wanita yang dianggap sebagai analog Dewi Sri dan dewi kesuburan yang sangat dipuja oleh masyarakat khususnya pada kalangan petani di pedesaan. Selain itu juga tampak gerak-gerak erotis diperlihatkan oleh joged, yang tak urung mengundang lelaki hidung belang untuk berbuat nakal. Pertunjukan semakin memanas apabila muncul minuman keras di tengah-tengah arena pentas. Kadangkadang dapat menimbulkan perkelahian karena memperebutkan sang joged. Banyak penelitian terdahulu yang membahas tentang Tayub Blora, seperti tesis Agus Cahyono yang berjudul “Kehidupan Seni Pertunjukan Tayub Di Blora dan Sistem Transmisinya” (2000) dan Desertasi Sri Rochana Widiyastutiningrum yang berjudul: “Tayub di Blora Jawa Tengah: Pertunjukan Ritual Kerakyatan” (2007). Buku ini Sri Rochana mengupas tentang perkembangan tayub,
fungsi
pertunjukan
tayub,
faktor-faktor
pendukung
pertunjukan tayub, ekses-ekses negatif dari pertunjukan tayub, tayub sebagai tari rakyat dan simbol kesuburan, erotisme, elemenelemen
pertunjukan
tayub,
sistem
produksi
pertunjukan
15
tayub,struktur pertunjukan tayub,interaksi antara joged dan pengibing, serta peran joged dalam kehidupan sosial dan budaya. Penelitian dilakukan di Kabupaten Blora.16 Hal-hal yang membedakan antara penelitian tentang tayub Blora sebelumnya adalah setting penelitian mengambil di daerah komunitas Samin. Tesis ini diberi judul “Nilai Etika dan Nilai Religi Pertunjukan Tayub di Masyarakat Samin Kabupaten Blora.” Meskipun secara umum kesenian tayub menjadi milik masyarakat Blora, namun masyarakat Samin sebagai bagian dari masyarakat Blora yang memiliki keunikan dalam ajaran dan pandangan hidupnya,
juga
ikut
memiliki
kesenian
tayubtersebut
dan
mendudukan fungsinya sebagai upacara ritual kesuburan seperti halnya masyarakat Blora menggunakan untuk fungsi yang sama pula. Masyarakat Samin merupakan bagian dari masyarakat Blora, tetapi karena mereka memiliki paham dan prinsip hidup, serta ajaran dan perilaku yang berbeda dari masyarakat Blora pada umumnya, maka meskipun difungsikan untuk kepentingan yang
sama,
pertunjukannya.
namun
ada
Perbedaan
perbedaan tersebut
perlakuan
dapat
terlihat
dalam pada
ketidakterlibatan pengibing dengan minuman keras, tidak ada
16 Periksa Sri Rochana W, Tayub di Blora Jawa Tengah: Pertunjukan Ritual Kerakyatan. (Surakarta: ISI Press, 2007).
16
suwelan kecuali jika ada upacara pelepas nadzar. Jika dilihat dari aspek religinya, tayub tersebut memiliki kekhasan seperti dalam pemilihan tempat, jumlah penari, penentuan waktu (siang dan malam), penentuan hari, jenis sesaji, dan yang semuanya itu merupakan wujud dari sebuah konsepsi bersama dari warga Samin mengenai hubungannya dengan „dunia bawah‟. Sesuatu yang menarik pada seni pertunjukan tayubyang dipentaskan di masyarakat Samin. Sebuah kebiasaan ajaran Samin yang menganut paham pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa suci dan tidak mau terikat pada barang-barang duniawi yang bersifat kegembiraan (hiburan), sehingga mereka kemungkinan memiliki alasan mendasar mengapa tayub dapat hidup dan berkembang di masyarakat Samin Kabupaten Blora. Timbul pertanyaan di benak peneliti, sehingga pertanyaan ini dapat dijadikan sebuah permasalahan penelitian yang harus dicari jawabannya yaitu tentang bagaimana bentuk nilai etika yang terkandung dalam pertunjukan tayub dan nilai religi dalam pertunjukan tayub di masyarakat Samin Blora.
17
B. RUMUSAN MASALAH Berpijak dari uraian pada latar belakang, maka muncul masalah yang patut diangkat dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana bentuk nilai etika yang terkandung dalam seni pertunjukan tayub di masyarakat Samin kabupaten Blora? 2. Bagaimana bentuk nilai religi pada seni pertunjukan tayubdi masyarakat Samin Blora yang berfungsi sebagai sarana upacara ritual kesuburan?
C. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk mengetahui bentuk nilai etika yang terkandung dalam seni pertunjukan tayub di masyarakat Samin kabupaten Blora. 2. Untuk mengetahui bentuk nilai religi yang terdapat dalam seni pertunjukan tayub di masyarakat Samin yang berfungsi sebagai sarana upacara ritual kesuburan?
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Bagi peneliti,
dapat memahami dan memperoleh informasi
tentang keberadaan sebuah seni pertunjukan tayub di daerah Samin kabupaten Blora. 2. Bagi masyarakat samin di Kabupaten Blora, yaitu memberikan wawasan
kepada
mereka
tentang
bagaimana
caranya
18
memelihara
tayub
agar
tetap
hidup
di
tengah-tengah
komunitasnya. 3. Bagi Dinas Pariwisata dan Pemerintah Daerah setempat, supaya mendapatkan informasi lebih jauh tentang keberadaan seni pertunjukan tayub di daerah Samin, sehingga dapat dilindungi dan dilestarikan keberadaannya untuk selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai aset wisata dan budaya di kabupaten Blora.
E. TINJAUAN PUSTAKA
Banyak
sekali
penelitian-penelitian
yang
menyoroti
masalah Samin di Blora dan sekitarnya. Jika berbicara masalah Samin di Blora, maka akan selalu ingat dengan keberadaan seni tayub yang sudah tersohor kemana-mana. Samin dan tayub adalah dua obyek penelitian yang ada di daerah Blora. Telah banyak kita ketahui bahwa Blora sangat terkenal dengan seni pertunjukan tayubnya. Tayub merupakan seni yang sudah terintegrasi
dengan
kehidupan
masyarakat
di
Kabupaten
Blora,tidak menutup kemungkinan jika masyarakat Samin juga mengambil
bagian
untuk
melibatkan
seni
Tayub
dalam
kehidupannya. Hal yang menarik penulis untuk meneliti tentang
19
masyarakat Samin adalah adanya aktivitas seni dalam kehidupan masyarakat Samin di Kabupaten Blora. Dibalik
sikap
hidupnya
yang
pasif,
penuh
dengan
kesederhanaan, tidak menyukai hal-hal yang bersifat kegembiraan, masyarakat Samin masih peduli dengan keberadan tayub di lingkungannya. Alasan penulis untuk mengangkat topik penelitian tentang Samin dan seni pertunjukan tayub di Blora adalah dengan melihat beberapa pustaka acuan berupa buku-buku dan hasil penelitian, belum ada yang membicarakan tentang Samin dan seni pertunjukan tayub di Blora. Pustaka acuan tersebut banyak membantu penulis dalam mencari data-data tentang keberadaan Samin serta tayub di Blora. Kajian budaya yang dinamis, selalu berkembang seiring dengan
perkembangan
dinamika
kehidupan
masyarakat,
mendorong pula adanya penelitian yang berkesinambungan. Beberapa penelitan kebudayaan (etnogrqfi) yang mengangkat masalah Samin dan tayub di antaranya adalah sebagai berikut. Moh Rosyid, Samin Kudus: Bersahaja di Tengah Asketisme Lokal, Pustaka Pelajar, 2008. Buku ini membahas tentang berbagai kehidupan masyarakat Samin di Kudus. Moh Rosyid juga menuliskan bahwa masyarakat Samin yang berkembang di daerah Kudus merupakan sempalan dari Samin Blora. Adat istiadat, upacara-upacara ritual, dan kearifan lokalnya mengacu pada
20
ajaran Samin Blora. Masyarakat Samin Blora dengan Samin Kudus tidak banyak perbedaan. Deden
Faturrahman,
Hubungan
Pemerintahan
dengan
Komunitas Samin, LkiS, 2003. Tulisan ini membahas masalah interaksi masyarakat Samin dengan pihak pemerintah. Dikatakan sering
terjadi
kesalahpahaman
antara
pemerintah
dengan
masyarakat Samin. Kesalahpahaman itu ditimbulkan oleh karena sikap waspada masyarakat Samin terhadap segala kebijakan pemerintah yang tidak memihak pada masyarakat kecil, sebab lain adalah
adanya
suasana
yang
menimbulkan
sikap
yang
terkondisikan dan terstruktur pada masa penjajahan Belanda. Sikap ini diantisipasi oleh pemerintah daerah dengan cara melakukan pendekatan persuasif. Pendekatan secara persuasif diyakini dapat membangun interaksi antara masyarakat Samin dengan pemerintah menjadi lebih baik. Warsito, “Pergeseran Sosial Budaya Masyarakat Samin”. Tesis UMM
Malang, 2001.
Tulisan Warsito berisi masalah
perubahan kehidupan sosial dan budaya masyarakat Samin pada era modern ini. Sikap keterbukaan telah ditunjukkan oleh masyarakat Samin dalam menghadapi tantangan modernitas. Sikap keterbukaan tersebut ditunjukkan melalui sikap mau bersekolah di sekolah formal, meyakini ajaran agama yang telah disahkan
oleh
pemerintah
meskipun
belum
sepenuhnya
21
menjalankan semua ajaran-ajarannya, dan sebagian dari mereka sudah memiliki kemauan keluar dari daerahnya untuk mencari nafkah sebagai buruh. Kadu, P, etal. Kultur Kehidupan Masyarakat Samin di Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarrejo Kabupaten Blora, Malimpa, UMS Surakarta, 2000. Tulisan ini memberikan informasi tentang budaya masyarakat Samin di daerah Banjarrejo Klopoduwur. Disebutkan
bahwa
kultur
merupakan
bagian
dari
masyarakat
kearifan
lokal
Samin yang
Klopoduwur dimiliki
oleh
masyarakat Samin pada umumnya. Mereka sangat menghargai alam dan isinya, sangat mengutamakan kepentingan bersama, mempertahankan tradisi lisannya sebagai sumber dari ajaran kehidupan. Sikap kaku dan terkesan membangkang adalah sebagai wujud dari perlawanan masyarakat Samin Klopoduwur terhadap segala kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang tidak memihak rakyat kecil. Hasan Anwar, “Pola Pengasuhan Anak Orang Samin Desa Margomulyo, Jawa Timur”dalam Prisma nomor. 10 bulan Oktober. 1979. Sebuah tatanan kehidupan yang arif telah ditanamkan oleh orang tua dalam masyarakat Samin kepada anak-anaknya. Ajaran hidup yang sejati menjadi pedoman ajaran mereka. Orang tua adalah guru bagi anak-anaknya. Melalui tradisi lisan yang berupa pitutur,
orang
tua
mengarahkan
anak-anaknya
agar
dapat
22
menjalani
hidup
yang
baik
dan
berguna
bagi
keluarga
dan masyarakat di sekitarnya. Mereka tidak mengenal adanya sekolah formal, melainkan ajaran orang tua di rumah mereka masing-mmasinglah anak-anak mereka mendapat pendidikan. Moh. Ali Aziz, Dakwah pada Masyarakat Samin, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1994. Buku ini berisi tulisan mengenai upaya
pemerintah
masyarakat
Samin
untuk dalam
memberikan hal
penyuluhan
kehidupan
kepada
beragama
dan
bermasyarakat. Perlahan-lahan pemerintah mengajak masyarakat Samin untuk merubah keyakinan mereka dan memeluk agama yang ditetapkan sebagai agama yang sah oleh pemerintah. Nur Syam, “Pergeseran Masyarakat Samin: Prespektif Budaya”,Jurnal IAIN Sunan Ampel Surabaya, Edisi ke XV, 1999. Artikel ini membahas berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat Samin dalam menghadapi perubahan jaman. Semua serba modern, sehingga menyebabkan dari sebagian masyarakat Samin untuk mengikuti perubahan jaman tersebut. Sebagian masyarakat Samin, terutama yang berasal dari golongan tua, mereka tetap mempertahankan ajaran dan tata aturan pergaulan demi mempertahankan kearifan lokalnya. Joko Susilo, Bahasa Samin Suatu Bentuk Perlawanan Sosial, LkiS, 2003. Tulisan Joko Susilo berisi tentang tata cara masyarakat Samin dalam berbahasa sehari-hari. Bahasa yang
23
mereka gunakan adalah bahasa ngoko dan penuh arti dan makna yang terselubung, sehingga untuk memahami kalimat yang diucapkan perlu analisis yang mendalam. Menggunakan bahasa yang seperti itu, maka masyarakat Samin lebih leluasa dalam berkomunikasi
dengan sesama penganut ajarannya. Awal
mulanya bahasa ini digunakan untuk mengelabuhi interogasi yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Sugeng Winarno, Samin: Ajaran Kebenaran yang Nyleneh, LkiS, 2003. Buku ini membahas tentang ajaran Samin yang nyleneh. Ajaran hidup orang Jawa sejati direfleksikan dalam kehidupannya. Agar memperoleh kesempurnaan hidup, maka mereka sangat berhati-hati dalam bersikap, seperti: tidak boleh drengki srei, tidak boleh berbohong, tidak boleh mengambil yang bukan menjadi hak miliknya, jujur, tidak menyakiti hati orang lain, suka bergotong-royong saling membantu satu sama lain termasuk juga kepada masyarakat di luar komunitas Samin. Oman Sukmana, Perubahan Sosial Budaya Masyarakat Samin,
LkiS,
perubahan
2003. Buku budaya
ini
mengupas berbagai masalah
masyarakat
Samin
seiring
dengan
perkembangan jaman. Pada era modern ini ada beberapa dari keturunan Samin yang enggan lagi disebut sebagai orang Samin. Pola hidup mereka telah banyak berubah. Sudah banyak dari generasi muda Samin yang bersekolah sampai jenjang pendidikan
24
tinggi. Mereka juga sudah mulai terbuka dalam berinteraksi dengan dunia luar. Sudah banyak alat komunikasi yang masuk dalam kehidupan masyarakat Samin, seperti: televisi dan radio. Alat transportasi seperti sepeda dan kendaraan roda dua sudah sebagian dimiliki oleh orang Samin. Suhernowo, dkk, “Research Golongan Masyarakat Samin”, Fakultas Fisipol, UGM, Yogyakarta, 1952. Membahas tentang keberadaan Masyarakat Samin yang menyebar di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti: Blora, Grobogan, Pati, Kudus,
Brebes,
Sragen,
dan
Bojonegoro.
Meskipun
mereka
terpisah keberadaannya, tetapi merupakan sebuah komunitas besar yang memiliki kekhasan dalam berpandangan hidup dan bersikap. Nur Syam, Saminisme di Tengah Perubahan: Prespektif Perubahan Budaya, LkiS, 2007. Buku ini membahas seperangkat keyakinan, paham keagamaan sebagai pola sebagai tindakan dan berbagai upacara keagamaan yang merupakan pola dari tindakan. Pola dari tindakan itu tampak dengan konsepsi animisme sebagai pola dari tindakan kaum abangan yang berpusat pada kaum tani pedesaan. Islam sebagai pola tindakan kaum santri yang berpusat di sektor perdagangan atau pusat dan konsepsi Hindu yang menyelimuti tindakan kaum priyayi yang berpusat di sektor pemerintahan.
25
Salah satu di antara ini ritual kaum abangan ialah slametan dengan berbagai macam variasi bentuk, hitungan (numerologi) dan konsep ruang dimana slametan tersebut di selenggarakan,
sehingga
pandangan
dunia
atau
paradigma
kehidupan kejawen relatif masih sangat dominan sehingga pola ritual slametan juga dominan, seirama dengan dominannya idiologi abangan dalam kehidupan keagamaan dan sosial politik di Jawa.Saminisme
merupakan
sebutan
yang
diberikan
oleh
masyarakat Samin sendiri untuk menandai adat istiadat dan tindakan
yang
mereka
nyatakan
sebagai
berbeda
dengan
masyarakat sekitarnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari tradisi upacara perkawinan yang sering disebut sebagai adang akeh. Pada umumnya komunitas Samin hanyalah merupakan perkumpulan (sami-sami) yaitu
orang
yang
merasa
senasib
seperjuangan serta sama rata dan sama rasa. Masyarakat Samin bisa
diidentifikasikan
sebagai
masyarakat
yang
ingin
membebaskan dirinya dari ikatan tradisi besar yang dikuasai elitpenguasa
dan
kemudian
membetuk
persekutuan
untuk
melawan secara damai dengan menggunakan tradisi rakyat jelata, seperti penggunaan bahasa Jawa ngoko, pemaknaan konsepkonsep agama yang berbeda, penolakan terhadap pejabat agama yang tidak diperlukannya, menutup diri dengan dunia luar, sehingga daerah kelompok (komunitas) Samin sangat lokal. Dalam
26
rangka pelestarian ajaran Samin sebagai pedoman tingkah laku, digunakan pewarisan nilai-nilai pada anak-anak kecil, bahkan kepada orang dewasa. Ben Suharto, Tayub: Pertunjukan dan Ritus Kesuburan, MSPI bekerjasama dengan arti.line dan Ford Fondantion, 1999. Buku tulisan Ben Suharto ini mengupas tentang tayub sebagai tari kesuburan dan tari pergaulan. Ben Suharto juga memberikan contoh kemasan pertunjukan tayub di Kecamatan Semin Gunung Kidul Yogyakarta. Ben Suharto mengawali penelusurannya dengan melacak keberadaan tayub pada masa lampau. Disebutkan bahwa, tayub sebagai tari ritual kesuburan tumbuh-tumbuhan atau tanaman secara umum dapat diketahui berawal dari ritual kesuburan manusia itu sendiri. Upacara kesuburan adalah tari gembira
yang
mengungkapkan
tidak
menggambarkan
gerakan
wadag
sebagai
sesuatu,
tidak
penuangan
tanda
semata-mata, tetapi lebih dari itu berusaha mencapai sikap mistis tentang pengertian seksual dengan jalan saling mendekatkan dua jenis seks maupun dengan cara berjalan melingkar. Tari yang menggambarkan pengungkapannya hubungan
kesuburan yang
seksual,
persetubuhan.
murni
yaitu
manusia
di
dapat
dibagi
pertemuan
dan
dalam dalam sentuhan,
bentuk tingkat serta
27
Malarsih, 2004, “Aplikasi Teori Struktural Fungsional Redclife-Brown
dan
Talcott
Parsons
pada
Penyajian
Tari
Gambyong Tayub di Blora Jawa Tengah, dalam Jurnal Harmonia Vol. V No. 1 Januari-April 2004. Tulisan Malarsihmembahas tentang komposisi dan pola lantai, serta rias dan busana yang dikenakan oleh para penari. Rias yang digunakan oleh penari tayubadalahrias cantik, dimaksudkan agar tarian dapat menjadi sebuah pertunjukan yang menarik dan memikat. Begitu pula dengan busana para penari tayubyang menggunakan busana yang sesuai dengan rias dan bentuk geraknya, yaitu mengunakan busana yang coraknya berwarna-warni dan pemakaiannya dibuat sedemikian rupa sehingga secara fisik tertata rapi dan tidak mengganggu
gerak
tarinya
dan
juga
secara
estetika
tidak
mengurangi keindahan busana yang ingin ditonjolkan untuk mendukung tampilannya. Agus Maladi, I. Tayub Antara Ritualitas dan Sensualitas (Erotika Petani Jawa Memuja Dewi), Lengkong Cilik Press, 2005. Buku ini mengupas tentang perubahan seni tayub dari ritual kesuburan menjadi fungsi hiburan. Tayub dipercaya memiliki kekuatan magi-simpatetis. Maka tayub sering dipertontonkan dalam upacara perkawinan, tetapi dalam perkembangannya tayub sering dijumpai pada acara-acara lain seperti: khitanan, puputan, dan lain sebagainya. Tayub sebagai salah satu bentuk ekspresi
28
estetis kaum masyarakat petani pedesaan di Jawa, karena tayub memiliki nilai murah atau ekonomis. Sri Rochana, W, Tayub di Blora Jawa Tengah: Pertunjukan Ritual Kerakyatan, Pasca Sarjana ISI Surakarta dan ISI Press Surakarta,
2007.Sri
Rochana
mengupas
tentang
perkembangan tayub, fungsi pertunjukan tayub, faktor-faktor pendukung
pertunjukan
pertunjukan
tayub,
tayub
tayub, sebagai
ekses-ekses tari
negatif
rakyat
dan
dari
simbol,
kesuburan, erotisme, elemen-elemen pertunjukan tayub, sistem produksi pertunjukan tayub, struktur pertunjukan tayub,interaksi antara joged dan pengibing, serta peran joged dalamkehidupan sosial
dan
budaya.
Penelitian
dilakukan
di
Kabupaten
Blora. Soetarno, dkk. “Tari Tayub dalam Upacara Bersih Desa di Desa
Sugihan
Kecamatan
Bendosari
Kabupaten
Sukoharjo”Laporan Penelitian pada STSI Surakarta, 1994. Tulisan ini memaparkan secara deskriptif tentang tayub sebagai sarana upacara ritual bersih desa atau Rassulan di desa Sugihan yang dilaksanakan setahun sekali setelah panen gadhu. Upacara ini sebagai ungkapan rasa syukur dan permohonan perlindungan serta keselamatan dari para penunggu punden atau danyang serta dewi Sri (Dewi Padi). Tulisan Soetarno menyimpulkan adanya komunikasi dua arah, yaitu secara vertikal hubungan manusia
29
dengan Tuhannya, Nabi, dan para leluhur, serta danyang, sedangkan hubungan horizontal yaitu hubungan antar manusia yang
memungkinkan
adanya
kebersamaan
dan
kerukunan.
Upacara itu secara universal berfungsi sebagai aktivitas untuk menumbuhkan kembali semangat dalam kehidupan sosial mereka antar warga masyarakat. Kesimpulannya tayub dalam ritual bersih desa memiliki fungsi ritual, sosial, tontonan, dan hiburan. Tulisan Suripan Sadi Hutomo yang berjudul Tayuban: Tradisi Perkembangan dalam Tradisi dari Blora tahun 1996 memberikan penjelasan tentang tayub sebagai salah satu seni dan budaya
masyarakat
Blora
yang
berkembang
menjadi
seni
pertunjukan khas. Tayub sering dipertontonkan sebagai sarana hiburan dan upacara ritual yang memiliki citra buruk. Informasi yang tidak kalah pentingnya bahwa proses terjadinya perubahan tayub
di
Blora
adalah
adanya
upaya
pemerintah
melalui
pembinaan-pembinaan. Beberapa tulisan mengenai tayub dan masyarakat Samin khususnya di Blora belum ada yang mengangkat menjadi sebuah objek penelitian. Untuk itu kiranya topik yang akan penulis angkat ini dapat menambah khasanah seni dan budaya bagi kita semua khususnya bagi masyarakat Samin di Blora.
30
F. LANDASAN TEORI Cara
mengupas
beberapa
komponen
yang
menjadi
kesatuan atas terbentuknya seni dan budaya di masyarakat Samin, maka penulis berusaha untuk membatasi aspek-aspek yang terdapat di dalamnya agar topik kajian tidak meluas. Ada lima komponen yang menjadi bahan pembicaraan pada topik "Nilai Etika dan Nilai Religi Seni Pertunjukan Tayub di Masyarakat Samin Kabupaten Blora", di antaranya adalah batasan mengenai pengertian kebudayaan, batasan mengenai falsafah Jawa, batasan mengenai definisi masyarakat terasing, batasan mengenai kegiatan upacara ritual, serta batasan mengenai teori fungsi seni. Membedah sebuah konsep ajaran hidup masyarakat Samin beserta perilakunya di dalam kehidupan bermasyarakat yang erat kaitannya dengan ajaran-ajaran Jawa, penulis menggunakan teori dari Franz Magnis Suseno tentang etika Jawa. Franz Magnis Suseno
mengambil
menyebutkan
bahwa
dari
pendapat
kaidah
Hildred
mengenai
Geertz
pergaulan
yang dalam
masyarakat Jawa yaitu kaidah yang menekankan pada prinsip kerukunan dan kaidah yang menekankan pada prinsip hormat. Dua kaidah tersebut dalam prespektif Jawa akan membawa ketenangan dan keselarasan sosial.
31
Franz Magnis Suseno juga menyebutkan tentang kegiatan orang Jawa yang bersifat ritus religius (khususnya mereka yang menganut kejawen). Kegiatan orang Jawa yang bersifat ritus religius adalah acara slametan yaitu suatu perjamuan makan secara seremonial sederhana, semua tetangga harus diundang dan keselarasan diantara para tetangga dengan alam raya dipulihkan kembali. Slametan menimbulkan suatu perasaan kuat bahwa semua warga desa adalah sama derajatnya satu sama lain, kecuali ada yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi seperti lurah, pegawai pemerintahan, dan orang-orang yang lebih tua dan perlu didekati dengan menunjukkan sikap hormat menurut tata krama yang ketat.17 Franz Magnis Suseno juga menyebutkan tentang kesadaran petani Jawa pada keselarasan hidup. Tulisan ini relevan dengan sebuah
aktivitas
masyarakat
Samin
yang
memiliki
mata
pencaharian hidup sebagai petani. Kesadaran petani Jawa yang menyelami diri dalam keselarasan dengan masyarakat, alam, dan roh-roh halus. Bagi petani, ukuran keberhasilan kehidupan adalah pengalaman slamet yaitu ketentraman batin yang tenang, ketiadaan ancaman, konflik, dan kekacauan.18
17Franz
Magnis Suseno, 1993. Etika Jawa (Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa). Jakarata: PT. Gramedia Pustaka Utama, 15-16. 18
Franz Magnis Suseno, 1993, 133.
32
Sebuah pernyataan Franz Magnis Suseno mengenai logika etika Jawa mendasari adanya perilaku Samin yang njawani yaitu "Jangan engkau merugikan masyarakat, maka jagalah selalu keselarasan".
Etika
Jawa
mengemukakan
tuntutannya
berdasarkan dua gagasan dasar tentang struktur realitas yang erat hubungannya satu sama lain yaitu adanya takdir serta adanya kekuatan yang tidak dapat merubah takdir. Apabila manusia
yang
kelakuannya
mengganggu
keselarasan
dalam
masyarakat dan alam, maka ia juga akan menggangu kosmos yang akan membawa bahaya bagi keselarasan masyarakat.19 Peneliti mengambil teori Clifford Geertz yang menyatakan bahwa kaum petani khususnya di Jawa memiliki dan membentuk kelompok-kelompok hubungan sosial antar anggota masyarakat dan kaum petani yang terikat tanah, untuk mengupas secara kontekstual seni pertunjukan tayub di masyarakat Samin Blora yang berfungsi sebagai sarana upacara ritual bersih desa.
.
Upacara itu memproyeksikan kepada mereka suatu dunia makna yang simbolik, dimana semua pekerjaan yang mereka lakukan, kehidupan yang mereka tempuh, dan nilai-nilai yang mereka pegang, semuanya itu membentuk pengertian kosmis.20
Franz Magnis Suseno, 1993, 227. Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. (Jakarta: PT. Pustaka Jaya. 1981) Copy Right tahun 1960 dengan judul asli Religion of Java. 307. 19
20Clifford
33
Kupasan seni pertunjukan tayub secara tekstual, penulis menggunakan pendapatnya Winangun Wartaya yang mengambil interpretasi Victor Turner terhadap data-data ritual disebutkan beberapa
unsur
dalam
upacara:
(1)
upacara
mampu
mengintegrasikan dan menyatukan rakyat dengan memperkuat dan nilai utama kebudayaan melampaui di atas individu dan kelompok;
(2)
upacara
mampu
membiarkan
orang
mengungkapkan perasaan dan emosinya, khususnya yang negatif seperti kemarahan dan dendam; (3) menempatkan paksaan pada tatanan sosial. Tekanan-tekanan yang dilakukan supaya orang melaksanakan norma-norma sosial dialami oleh anggota-anggota masyarakat, di dalam ritus itu tekanan-tekanan dilepaskan; (4) Energi afektif yang dibuat dari simbolisme dan tingkah laku yang secara sosial negatif dipindah ke yang secara sosial positif; (5) upacara merupakan alat untuk mengkondisikan secara sosial. Upacara menggunakan kekuatan permusuhan yang berkembang untuk meningkatkan penyatuan kembali. Upacara itu dapat menyatukan kembali rakyat dan memperkuat struktur.21 Teori fungsi seni secara umum dan fungsi seni tradisi kerakyatan
serta
ciri-ciri
khususnya,
penulis
menggunakan
pendapatnya Soedarsono mengenai teori fungsi. Berikut beberapa
21 Victor Turner dalam Winangun Wartaya,Masyarakat Bebas Struktur (Liminalitas dan Komunitas Menurut Victor Turner). (Yogyakarta: Kanisius. Anggota IKAPI, 1990), 28-29.
34
pernyataan
Soedarsono
mengenai
fungsi
seni
dan
ciri-ciri
khususnya: Seni pertunjukan merupakan salah satu wujud budaya yang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat pendukungnya. Seiring dengan perkembangan jaman, seni pertunjukkan memiliki fungsi yang sangat kompleks dalam kehidupan masyarakat pendukungnya, contoh di negara-negara yang sedang berkembang yang tata kehidupannya masih banyak mengacu pada budaya agraris, seni pertunjukan memiliki fungsi ritual yang sangat beragam. Sebaliknya di negara-negara maju yang tata kehidupannya sudah mengacu ke budaya industrial dan segala sesuatunya sudah diukur dengan uang, maka bentuk seni pertunjukkan
berubah
fungsi
menjadi
sebuah
penyajian
pertunjukkan.22 Soedarsono
mengklasifikasikan
berbagai
fungsi
pertunjukkan dalam kehidupan masyarakat adalah
seni
sebagai
berikut: satu, seni pertunjukkan berfungsi sebagai sarana ritual, contohnya wayang wong, Pakarena, gamelan ritual Keraton dan wayang kulit ruwatan; kedua, seni pertunjukan berfungsi sebagai hiburan pribadi, contohnya tari Jaipong, Tanjidor, Kliningan, Ronggeng Melayu dan Tayub; ketiga, fungsi sebagai presentasi estetis, seperti Ketoprak, Ludruk, tari modern, musik modern, dan teater modern. 22 R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), 123
35
Seni pertunjukkan dilihat dari segi penikmatnyayang berfungsi sebagai sarana
ritual, maka
penikmatnya
adalah
kekuatan. Kekuatan yang tidak kasat mata misalnya seperti dewadewa atau roh-roh nenek moyang. Seni pertunjukan yang berfungsi
sebagai
presentasi
estetis
apabila
penikmatnya
mengutamakan fungsi uang sebagai alat untuk membeli karcis, sehingga dapat digunakan untuk menikmati sajian pertunjukkan tari khususnya. Fungsi seni presentasi menuntut koreografer untuk
menyajikan
karyanya
dengan
penggarapan
pribadi,
keterlibatan penikmat yang diutamakan, biasanya bentuk seni pertunjukkan ini ditarikan oleh penari wanita, sedangkan prianya hanya ingin mendapatkan hiburan. Mereka menari bersama secara berpasangan. Seni pertunjukan seperti ini sering kita jumpai pada tayuban.23 Pada
tata
kehidupannya,
manusia
selalu
mengalami
perubahan sesuai dengan kepentingannya. Hal itu mengakibatkan pergeseran
nilai-nilai
budaya
maupun
perkembangan
ilmu
pengetahuan dan teknologi. Demikian pula orang menari selalu mempunyai
tujuan
yang
berubah-ubah.
Perubahan
tujuan
disebabkan karena tari diciptakan oleh individu atau kelompok yang dipengaruhi oleh lingkungan budayanya yang khas, misalnya, tujuan orang primitif dalam menari adalah untuk memperoleh 23
R.M. Soedarsono,2002,123.
36
kekuatan atau persembahan kepada dewa yang disembahnya. Hal itu juga berarti, bahwa orang menari pada awalnya bukan bertujuan untuk mengekspresikan kehendaknya. Bentuknya yang tradisional
merupakan
ekspresi
kerakyatan
yang
bersifat
komunal.24 Seiring dengan keyakinan tayub yang memiliki daya kekuatan
magi-simpatetik,
kemudian
tayub
tidak
hanya
dipentaskan di area persawahan, tetapi merambah pada dunia pesta perkawinan atau bahkan pada pesta khitanan. Soedarsono mengklasifikasikan
berdasarkan
fungsi
ritualnya,
seni
pertunjukan memiliki ciri-ciri khusus yaitu: (1) diperlukan tempat pertunjukan yang terpilih, yang biasanya dianggap sakral; (2) diperlukan pemilihan hari serta saat yang terpilih yang biasanya juga dianggap sakral; biasanya
mereka
yang
(3) diperlukan pemain yang terpilih, dianggap
suci
atau
yang
telah
membersihkan diri secara spiritual; (4) diperlukan seperangkat sesaji yang kadang-kadang sangat banyak jenis dan macamnya; (5) tujuan lebih dipentingkan dari pada penampilannya secara estetis; dan (6) diperlukan busana yang khas.25 Tari Tayub merupakan ciri-ciri dari wujud ekspresi estetis rakyat jelata (rakyat pedesaan). Maka tayub dapat digolongkan sebagai tarian rakyat. Menurut Soedarsono dalam bukunya 24 25
R.M. Soedarsono,2002,32. R.M. Soedarsono,2002,125-126.
37
Pengantar Apresiasi Seni (1992) dikatakan bahwa tarian rakyat merupakan tarian yang hidup dan berkembang dikalangan rakyat. Tarian rakyat disusun untuk kepentingan rakyat setempat dengan komposisi, iringan, tata pakaian, dan tata rias yang sederhana. Kesederhanaan ini rupa-rupanya karena dalam pementasannya mereka memang tidak mementingkan presentasi estetis yang tinggi
ataupun
menuntut
perhatian
khusus
dan
serius.
Kehadirannya lebih didasari oleh adanya dorongan kebutuhan rohani yang berhubungan dengan kepercayaan adat dan lainnya. Mereka mengadakan kegiatan tari sebagai pelengkap kebutuhan dalam
kehidupan
sosial
dan
bukan
semata-mata
untuk
mendapatkan hiburan. Tayub sebagai tarian upacara, dalam penyajiannya tidak mengalami perubahan bentuk, dari dulu hingga sekarang kita masih dapat menyaksikan keasliannya. Ini merupakan salah satu ciri khas bentuk tari tradisonal, baiktradisional Klasik (Istana) maupun tari tradisional kerakyatan. Tari tradisional klasik, banyak kita jumpai di dalam tembok istana seperti: bedaya, serimpi
dan
golek,
sedangkan
tari
tradisional
kerakyatan
misalnya: sintren, ndolalak, jathilan, dan tayuban. Tarian sebagai bagian dari upacara adat biasanya memiliki bentuk yang tidak berubah sepanjang tradisi adat berlangsung, sehingga tarian tersebut sering juga disebut sebagai tari tradisional, terutama
38
karena
bentuknya
yang
relatif
tidak
banyak
berubah
dan
diwariskan sebagai bagian yang terpadu di dalam kehidupan kultural masyarakat secara turun temurun.
G. METODE PENELITIAN Metode Penelitian yang penulis pakai bersifat deskriptif kualitatif, karena data yang penulis peroleh dalam penelitian diuraikan dengan kata-kata, tidak dengan menggunakan angkaangka statistik. Tulisan yang bersifat deskriptif kualitatif ini selain didasarkan pada data tertulis juga didasarkan pada data yang bersifat lisan, sedangkan untuk mengupas tentang pertunjukan Tayub secara tekstual dan kontekstual, penulis menggunakan pendekatan
etnokoreologi,
sosiologi,
dan
antropologi,
serta
dilengkapi dengan notasi Laban agar dalam perkembangan bentuk kemasan pertunjukan khususnya gerak dapat dipaparkan secara jelas. Telaah terhadap buku-buku hasil penelitian, jurnal, dan beberapa babad sebagai sumber pustaka, penulis maksudkan untuk memperoleh data primer dan data sekunder. Berdasarkan sumber mengenai
tertulis
tersebut,
sejarah
penulis
keberadaan
tayub
Pengumpulan data-data yang
berasal
pengamatan
dapat
secara
berkala
dapat
memperoleh
dimasa-masa dari
penulis
data silam.
sumber lisan dan gunakan
untuk
39
merperoleh informasi tentang perkembangan bentuk, fungsi, dan persebaran tayub di masyarakat Samin.
Rincian Waktu Penelitian Pengumpulan penelitian
data
etnografi.
di
lapangan
Pengumpulan
mengunakan
data
lapangan
metode meliputi
observasi dan wawancara yang penulis lakukan sesuai dengan rencana kurang lebih selama tiga tahun, terhitung mulai bulan Maret tahun 2010 sampai bulan April 2013, dengan rincian satu tahun pengamatan di lapangan, dua tahun kunjungan rutin secara berkala untuk mengamati proses persiapan acara ritual bersih
desa
dan
upacara
perkawinan
di
berbagai
daerah
komunitas Samin di Blora selama dua tahap pada tahun yang berbeda, dan lima bulan sisanya untuk melakukan pengamatan secara berkala dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan pertunjukan Tayub lebih lanjut.
H. TEKNIK PENGUMPULAN DATA Observasi Observasi penulis lakukan dengan dua cara yaitu sebagai pengamat dan sekaligus sebagai participant observer. Metode partisipan
observer
menjadi
metode
yang
penting
dalam
melakukan penelitian etnografi. Melalui metode ini, penullis dapat
40
merasakan secara langsung sebagai objek penelitian, sehingga pengamatan dan analisis penelitian dapat dilakukan secara rinci. Selain pada
pengamatan pertunjukan
dan tayub
keterlibatan dan
langsung
kehidupan
penulis
sehari-hari,
juga
melakukan perekaman audio visual selama terselenggaranya pertunjukan tayub, kemudian hasilnya penulis gunakan sebagai sumber alternatif untuk menganalisis pertunjukan tayub tersebut.
Wawancara Teknik wawancara penulis lakukan kepada nara sumber kunci yaitu perangkat desa seperti: kepala desa dan kamituwo, dan
sesepuh
Samin.
Wawancara
penulis
lakukan
untuk
mengetahui berbagai data yang belum terungkap, sedangkan wawancara
dengan
masyarakat
disekitarnya
untuk
mengkroscekkan informasi yang telah penulis peroleh dari nara sumber kunci agar mendapatkan informasi data yang lebih valid. Selain keempat nara sumber diatas masih ada nara sumber lain yaitu joged dan pengibing serta pramugari, untuk mengetahui tentang perbedaan keterlibatan mereka pada seni pertunjukan tayub di masyarakat Samin dengan di luar masyarakat Samin.
41
Studi Pustaka dan Studi Lapangan Data yang penulis kumpulkan dari studi pustaka dan studi lapangan, penulis seleksi dan dipilah-pilah dengan berorientasi pada konteksnya. Nilai etis dan religius yang terkandung di dalam seni pertunjukan tayub di masyarakat Samin, semua ini penulis tuangkan
dalam
bentuk
deskriptif.
Sikapmasyarakat
Samin
terhadap seni pertunjukan tayub, penulis amati melalui perilaku hidup sehari-hari dan diperkuat dengan pengambilan data melalui penyebaran angket pada sampel-sampel yang ada di berbagai tempat persebaran masyarakat Samin. Adapun isi angket tersebut secara
garis
mendukung
besar pada
mengenai seni
sikap
pertunjukan
mendukung tayub
dan
beserta
tidak
alasan-
alasannya yang mendasar.
Teknik Dokumentasi Selain menggunakan teknik wawancara, observasi, studi lapangan, dan studi pustaka, juga digunakan pengambilan data dengan menggunakan dokumentasi berupa foto-foto dan rekaman video mengenai lokasi penelitian, kondisi lingkungan, aktivitas sehari-hari warga Samin, sampai kepada perilaku yang berkenaan dengan aktivitas berkeseniannya. Soedarsono mengatakan bahwa untuk mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dan secermatcermatnya, seyogyanya seorang participant observer memiliki alat-
42
alat perekam yang baik yaitu sebuah handycam, photo camera, cassette recorder, dan sudah barang tentu juga buku catatan.26
Teknik Analisis Data Analisis data kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus menerus. Masalah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi menjadi gambaran keberhasilan secara berurutan sebagai rangkaian kegiatan analisis yang saling susul menyusul.
27
Adapun Komponen-komponen
Analisis Data yang dipakai adalah Model Interaktif yang dapat dilihat dalam bagan sebagai berikut:
Pengumpulan Data
Penyajian Data
Reduksi Data Penarikan Kesimpulan Verifikasi
26 R.M. Soedarsono,Metode Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. 2001),150. 27 Mattew B. Miles dan A. Michael Huberman,Analisis Data Kualitatif (Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru). (Jakarta: Universitas Indonesia Press. 2007), 20.
43
Data
kualitatif
dianalisis
dengan
menggunakan
tiga
tahapan, yaitu: mereduksi data, menyajikan data, dan penarikan kesimpulan
(verifikasi).
Reduksi
data
sebagai
cara
dalam
pemrosesan memilih dan memusatkan perhatian pada data-data yang signifikan dengan masalah-masalah yang terkait dengan asal-usul pertunjukan tayub, bentuk, fungsi, dan perilaku warga Samin
dalam
kehidupan
sehari-hari,
dan
perilaku
yang
ditunjukkan pada pertunjukan tayub. Penyajian data dilakukan untuk menggabungkan berbagai informasi agar
data
dapat
tersusun dengan rapi dan lebih sitematis. Penarikan kesimpulan penulis lakukan untuk memperoleh kesimpulan yang lebih terbuka dan dapat diuji kebenarannya.
I. OBYEK DAN TEMPAT PENELITIAN Obyek penelitian adalah tayub di masyarakat Samin yang tersebar dibeberapa daerah di Kabupaten Blora, diantaranya di daerah Klopoduwur, Bapangan Menden, Tanduran Kecamatan Kedung Tuban, dan Ploso Wetan Kelurahan Kediren Kecamatan Randublatung.
44
J. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan tesis ini terdiri dari Bab I berisi tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan Teori, Metode Penelitian (Rincian Waktu Penelitian), Teknik Pengumpulan Data (Observasi, Wawancara, Studi Pustaka dan Studi Lapangan, Teknik Dokumentasi, Teknik Analisis Data), Obyek dan Tempat Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Bab II Mengupas tentang kondisi dan letak Geografis Kabupaten Blora yang terbagi lagi menjadi beberapa pembahasan yaitu letak Geografis Kabupaten Blora, kampung Samin, sebaran masyarakat Samin di Kabupaten Blora (Samin Klopoduwur, Samin Ploso
Kediren
Kecamatan
Randublatung,
Samin
Tanduran
Kecamatan Kedung Tuban, dan Samin Bapangan Menden). Bab III membahas Ajaran samin sebagai wujud penolakan terhadap kebijakan pemerintah kolonial belanda yang terdiri dari dua sub bahasan yaitu sejarah munculnya ajaran Saminisme dan konsep ajaran Samin. Bab IV membahas tentang tradisi tayuban bagi masyarakat Samin. Pembahasan tradisi tayuban bagi masyarakat Samin dibagi menjadi
sembilan
sub
pokok
bahasan
mengenai
ciri-ciri
masyarakat Samin sebagai bagian masyarakat pedesaan di Jawa, tari bagian dari seni rakyat dan spiritualnya, seni pertunjukan
45
tayub sebagai sistem simbol bagi masyarakat Samin di Blora, bentuk seni pertunjukan tayub pada upacara ritual tegas desa di masyarakat Samin, nilai ritual pertunjukan tayub pada acara tegas desa di masyarakat Samin, unsur-unsur ritual pertunjukan tayub di masyarakat Samin, peran joged pada pertunjukan tayub tegas desa. Nilai
etika
pertunjukan
tayub
di
masyarakat
Samin
Kabupaten Blora pada upacara tegas desa, dan nilai religi pertunjukan tayub pada upacara tegas desa di masyarakat Samin diletakkan pada bab V, selanjutnya dibagian terakhir dari pembahasan tesis ini adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran, dilanjutkan dengan kepustakaan serta lampiranlampiran.