BAB I PENGANTAR
A. Latar belakang Kabupaten Pacitan merupakan salah satu wilayah paling Selatan di Jawa Timur dan berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Tengah. Di bagian Utara Kabupaten Pacitan berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Ponorogo, bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Trenggalek, bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri dan bagian Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia. Posisi koordinat Kabupaten Pacitan terletak antara 7΄55°8΄17°
Lintang
Berdasarkan
Selatan
topografiya
dan
110΄55°-111΄25°
Kabupaten
Pacitan
Bujur
Timur.1
dikelilingi
oleh
pegunungan dan perbukitan yang menjadikan daerah ini tenang dan damai. Kabupaten Pacitan memilki potensi tujuan wisata dengan asset wisata dan beragam budaya yang tidak kalah menarik dengan wilayah atau kota lain. Potensi pariwisata yang ada di Kabupaten Pacitan meliputi wisata Pantai, Goa, Budaya/Religius, Rekreasi dan Industri. Wisata pantai meliputi: Pantai Klayar, Pantai Watu Karung, Pantai Tamperan, Pantai Taman, Pantai Sidomulyo, dan Pantai Teleng 1 Pacitan Dalam Angka 2013 (Pacitan: Badan Pusat Statistik Kabupaten Pacitan, 2013), 4.
1
2
Ria. Wisata goa meliputi: Goa Gong, Goa Tabuhan, Goa Putri, dan Luweng
Jaran.
Wisata
sejarah/budaya
meliputi:
Monumen
Panglima Jendral Soedirman dan Monumen Tumpak Rinjing. Wisata spiritual meliputi: Makam Kanjeng Jimat dan Padepokan Gunung
Limo.
Hangat/Banyu
Wisata Anget.
rekreasi
Wisata
berupa
industri
yang
Pemandian
Air
berkembang
di
Kabupaten Pacitan meliputi: batu mulia, gerabah seni, batik tulis, anyaman bambu, mainan anak, dan terasi, walaupun kegiatan dalam bidang industri ini masih skala menengah dan kecil. Seni pertunjukan di Indonesia tumbuh dan berkembang di berbagai tempat dan lingkungan etnik yang berbeda serta memiliki keberagaman sesuai dengan potensi daerahnya. Keberagaman seni pertunjukan itu terwujud dalam hal adat-istiadat, bahasa, aturan, dan memiliki maksud serta tujuan. Tujuan dari seni pertunjukan tersebut
diharapkan
mampu
memberikan
manfaat
bagi
masyarakatnya, begitu juga kesenian yang berada di Kabupaten Pacitan. Kegiatan atraksi wisata di Kabupaten Pacitan meliputi: Ceprotan, Wayang Beber, Rontek, Reog, Kethek Ogleng, dan lainlain. Ceprotan merupakan kegiatan di Desa Sekar Kecamatan Donorojo yang dilakukan setiap tahun pada bulan Dzulqaidah (kalender Islam) atau longkang (kalender Jawa). Tradisi Ceprotan dimaksudkan untuk mengenang legenda rakyat Desa Sekar yaitu Dewi Sekartaji dan Panji Asmarabangun melalui kegiatan bersih
3
Desa.2 Wayang beber di Kabupaten Pacitan berada di Desa Gedompol Kecamatan Donorojo. Seni Wayang Beber memadukan berbagai ragam seni, yaitu seni lukis, seni suara, sastra, seni pentas, dan seni musik.3 Kesenian lain yang menjadi agenda wisata budaya adalah kesenian Rontek yang dilaksanakan pada bulan Ramadhan yang digunakan untuk membangunkan warga untuk
melaksanakan
sahur.
Kesenian
Rontek
merupakan
kesenian dari musik bambu yang dipadukan dengan tarian. Kesenian Reog juga menjadi primadona di Kabupaten Pacitan sebagai
hiburan
dalam
acara-acara
penyambutan
maupun
peringatan hari besar Nasional. Salah satu kesenian yang menjadi fokus perhatian peneliti adalah seni pertunjukan Kethek Ogleng yang berada di Desa Tokawi Kecamatan Nawangan Kabupaten Pacitan. Kehidupan masyarakat di Desa Tokawi masih tergolong rendah dengan pendidikannya dan sebagain besar mata pencahariannya adalah petani. Akan tetapi, masyarakatnya memiliki semangat untuk menjaga
eksistensi
keseniannya.
Pigeaud
dalam
Javaanse
Volksvertoningen menjelaskan bahwa Kethek Ogleng merupakan
2 Desitha Beauty Widyasari, “Laporan Kuliah Kerja Nyata Desa Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan Jawa Timur” (Surakarta: Fakultas Seni Rupa Dan Desain Institut Seni Indonesia Surakarta, 2014), 29. 3 Warto, “Wayang Beber Pacitan: Fungsi, Makna, Dan Usaha Revitalisasi”. Paramita. Vol 22, 2012 (0nline), 57.
4
kesenian rakyat dan termasuk pertunjukan topeng yang tersebar di Pulau Jawa.4 Kabupaten Pacitan merupakan salah satu wilayah yang menjadi tempat pelestarian kesenian Kethek Ogleng. Kesenian Kethek Ogleng di Desa Tokawi Kabupaten Pacitan diperkenalkan publik oleh Mbah Soekiman pada tahun 1963. Kesenian ini pada awalnya hanya berupa tarian kera yang dirintis oleh Mbah Soekiman dan diberi nama Kethek Ogleng, kemudian berkembang menjadi dramatari Kethek Ogleng yang didalamnya membawakan cerita Panji. Pigeaud menyebutkan bahwa cerita Panji berkembang di pesisir Jawa Timur pada abad ke-16 sampai abad ke-17 sebelum masa kesusastraan Islam.5 Kethek Ogleng yang berkembang di Desa Tokawi merupakan kesenian rakyat yang masih diakui dan dinikmati oleh masyarakat Pacitan sampai saat ini. Kesenian ini dikemas dalam bentuk dramatari dengan
mengambil cerita Panji
(Jawa Timur). Cerita Panji berasal dari sebuah cerita Kerajaan Jenggala dan Kediri, seperti halnya wayang topeng yang menggambarkan episode-episode dari siklus Panji.6 Kisah Panji yang ada dalam dramatari Kethek Ogleng bercerita tentang kepahlawanan dan
4 Periksa Th. Pigeaud, Javaanse Volksvertoningen : Bijdrage Tot De Beschrijving Van Land En Volk (Batavia : Volkslectuur, 1938), 42. 5 Periksa Th. Pigeaud, 1938. 6 James R. Brandon, Jejak-Jejak Seni Pertunjukan di Asia Tenggara. Terj. R.M. Soedarsono, (Bandung: P4ST UPI, 2003), 67.
5
cinta yang berpusat pada dua orang tokoh utamanya, yaitu Panji Asmarabangun dan Dewi Sekartaji. Jenis kesenian ini hidup dan berkembang di kalangan rakyat, sehingga mempunyai bentuk yang sangat sederhana pada elemen pertunjukannya. Sejalan dengan Arnold Hauser dalam bukunya The Sociology of Art yang menjelaskan bahwa folk art merupakan kesenian yang muncul dari kesenian rakyat yang memiliki wujud sederhana, karya yang diciptakan untuk kebutuhan sendiri tanpa adanya contoh sebelumnya dan merupakan karya individu yang menjadi milik banyak orang.7 Pementasan kesenian Kethek Ogleng dengan menggunakan iringan gamelan yang dipentaskan selama 20 menit atau 10 menit, bahkan bisa sepanjang hari. Kesenian ini tidak ada pakem waktu, oleh karena itu untuk mengantisipasi kejenuhan dipentaskan dengan durasi yang lebih pendek. Pertunjukan bisa dilakukan di dalam gedung ataupun di tempat umum. Kesenian ini pada umumnya sebagai tontonan dan sering tidak ada pungutan biaya bagi penontonnya. Seni tradisi lahir dari kebutuhan masyarakat yang terus berkembang sesuai tuntutan sosial pada zamannya. Sesuai perkembangan zaman, peradaban pun mengalami perkembangan yang
luar
biasa.
Menurut
Sumaryono
dan
Endo
Suanda
menjelaskan bahwa yang melatari perkembangan kebudayaan 7 Arnold Hauser, The Sociology Of Art . Terj. Kenneth J. Northcott (Chicago dan London: The University of Chicago Press, 1985), 562-575.
6
nusantara dan perkembangan dalam dunia tari adalah terjadinya perkembangannya teknologi, transportasi, komunikasi, informasi dan sistem politik, ekonomi dan pendidikan.8 Kesenian Kethek Ogleng di Desa Tokawi merupakan bentuk kesenian rakyat yang saat ini masih mampu bertahan. Seiring berjalannya waktu kesenian Kethek Ogleng mengalami perkembangan dengan melahirkan beberapa bentuk penyajian Kethek Ogleng. Dramatari Kethek Ogleng sebagai salah satu seni pertunjukan rakyat yang terwujud sebagai ekspresi masyarakat melalui gerakan yang dirangkai dengan kata. Keberadaan seni pertunjukan ini memiliki latar belakang sosial budaya seperti agama, politik, pendidikan, ekonomi, pariwisata, dan sebagainya.9 Seni pertunjukan Kethek Ogleng
mempunyai makna dan
fungsi dalam kehidupan masyarakat yang akan dilestarikan oIeh generasi penerusnya. Sebuah seni pertunjukan tidak akan ada tanpa masyarakat, oleh karenanya seni juga mempunyai fungsi yang
menjadikannya
tetap
hidup
dan
dibutuhkan
oleh
masyarakat. Seni pertunjukan Kethek Ogleng di Desa Tokawi ditampilkan
untuk
penyambutan
dan
sebagai
hiburan
masyarakat. Sejalan dengan fungsi seni pertunjukan menurut R. M. Soedarsono yang dikelompokkan menjadi dua yaitu fungsi primer 8 Sumaryono dan Endo Suanda, Tari Tontonan: Buku Pelajaran Kesenian Nusantara, (Jakarta: Lembaga Pendidikan Seni Nusantara, 2006), 144. 9 Y. Sumandiyo Hadi, Kajian Tari Teks dan Konteks (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), 98.
7
dan fungsi sekunder. Fungsi primer, yaitu sebagai sarana ritual, sebagai
hiburan
pribadi,
dan
sebagai
presentasi
estetis.10
Sedangkan fungsi sekunder seni pertunjukan yaitu pembangkit rasa solidaritas masyarakat dan kelompok, pembangkit rasa solidaritas bangsa, media propaganda, media komunikasi, sarana meditasi, terapi, dan lain sebagainya. Banyaknya kesenian modern di zaman globalisasi menjadikan kesenian ini harus bersaing untuk mendapatkan tempat dalam masyarakat, baik dalam bentuk tariannya atapun dalam bentuk drama secara utuh. Kreativitas dibutuhkan dengan tujuan untuk memenuhi selera pasar atau penonton. Hal ini didukung dengan konsep ’art for mart’ (seni untuk pasar) yaitu penciptaan karya seni
didasarkan
atas
pertimbangan
calon
penonton
atau
pemesannya.11 Salah satu langkah untuk melestarikan dan mengembangkan kesenian tradisional adalah dengan cara menggali dan meneliti kesenian tradisional yang mempunyai potensi untuk dapat dikembangkan
lagi,
kemudian
dikembalikan
lagi
kepada
masyarakatnya. Begitu juga dengan kesenian Kethek Ogleng yang merupakan sebuah pertunjukan tarian rakyat yang harus tetap dijaga dan dilestarikan keberadaannya, karena setiap wilayah etnik memiliki adatnya masing-masing, dan adat inilah yang 10 R. M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), 121. 11 Timbul Haryono, Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi Seni (Surakarta: ISI Press, 2008), 129
8
menjadi alasan utama bagi terselenggaranya tari.12 Hal ini disebabkan karena pemahaman sebagian masyarakat umum terhadap kesenian Kethek Ogleng masih sebatas pertunjukan masyarakat urban, maka diperlukan dukungan penuh dari seni pertunjukan itu sendiri agar diakui keberadaannya dan tetap menjadi milik masyarakat. Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti mengangkat judul “Bentuk dan Perkembangan Fungsi serta Makna Kesenian Kethek Ogleng Di Desa Tokawi Kabupaten Pacitan”. B. Rumusan masalah Kethek
Ogleng
di
Desa
Tokawi
Kecamatan
Nawangan
Kabupaten Pacitan merupakan kesenian yang pada awalnya murni menirukan tingkah laku binatang kera. Kesenian Kethek Ogleng dalam perkembangan saat ini muncul dalam pementasan yang menggunakan cerita. Bentuk penyajian inilah yang sampai saat ini digunakan dalam pertunjukannya. Perkembangan
Zaman
sedikit
banyak
mempengaruhi
perkembangan sebuah seni pertunjukan, dalam hal ini kesenian Kethek Ogleng juga tidak dapat terhindar dari pengaruh modern seperti teknologi. Kesenian Kethek Ogleng merupakan kesenian rakyat yang bergelut dengan eksistensinya dalam era globalisasi. Oleh
karenanya
muncul
pertanyaan
bagaimana
bentuk
12 Edi Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan (Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan,2000), 113.
9
pertunjukan Kethek Ogleng di Desa Tokawi? Apakah perubahan sosial budaya mempengaruhi perkembangan teks dan konteks kesenian Kethek Ogleng di Desa Tokawi? Sesuai dengan uraian yang terdapat dalam latar belakang dan dalam buku Th. Pigeaud, Javaanse Volksvertoningen yang menjelaskan kesenian Kethek Ogleng sudah pada tahun 1930-an serta masalah-masalah yang dimunculkan dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Mengapa bentuk kesenian Kethek Ogleng masih bertahan di Desa Tokawi? 2. Bagaimana perkembangan fungsi dan makna kesenian Kethek Ogleng di Kabupaten Pacitan? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan antara lain sebagai berikut. 1. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang latar belakang dan eksistensi kesnian Kethek Ogleng di Kabupaten Pacitan. Menganalisis bentuk dan faktorfaktor yang mempengaruhi perkembangan fungsi dan makna kesenian Kethek Ogleng di Kabupaten Pacitan tetap bertahan. 2. Secara
khusus,
penelitian
ini
diharapkan
mampu
meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kesenian rakyat, serta dapat menumbuhkan kesadaran untuk melestarikannya, khususnya kesenian Kethek Ogleng.
10
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut. 1. Bagi peneliti sendiri, hasil penelitian akan sangat berguna untuk menambah pengetahuan yang berhubungan dengan kesenian Kethek Ogleng. Khususnya tentang bentuk dan perkembangan penyajian pertunjukan Kethek Ogleng serta faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya. 2. Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk meneliti objek sejenis, sehingga dapat menambah wawasan tentang kesenian Kethek Ogleng di Desa Tokawi Kecamatan Nawangan Kabupaten Pacitan. 3. Mendokumentasikan kesenian Kethek Ogleng yang masih dipandang sebagai seni pertunjukan yang belum memiliki kontribusi signifikan dalam perkembangan keilmuan. Tulisan dari
penelitian
ini
diarapkan
dapat
menambah
pembendaharaan tentang seni pertunjukan di Indonesia. D. Tinjauan Pustaka Penelitian ini membutuhkan berbagai kajian dari sumber tertulis maupun yang bukan tertulis. Sumber tertulis yang digunakan berasal dari buku, hasil penelitian, artikel, jurnal dan lain-lain,
sedangkan
bukan
tertulis
berassal
dari
hasil
dokumentasi seperti foto dan video, sehingga dapat digunakan untuk menjawab dan memahami serta menunjukkan kemurnian kajian penelitian. Suatu penelitian membutuhkan sumber pustaka
11
terkait sebagai acuan yang dapat membuktikan keabsahan suatu penelitian ilmiah. Buku karya R. M. Soedarsono, editor, yang berjudul Mengenal Tari-Tarian Rakyat Di Daerah Istimewa Yogyakarta diterbitkan pada tahun 1976. Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang berisi bentuk-bentuk tarian rakyat yang berkembang di daerahdaerah Kabupaten dan kecamatan DIY. Beberapa tulisan yang membahas Kethek Ogleng , yakni: (1) Kethek Ogleng di Dukuh Gunung
Kunir,
Kelurahan
Candireja,
Kecamatan
menjelaskan bahwa fungsi dramatari Kethek Ogleng
Semanu, di Dukuh
Gunung Kunir sebagai tontonan yang disajikan dalam bentuk dramatari dari cerita Panji yang pentaskan selama 5 jam pada siang hari. Ragam tariannya menggunakan kambeng, kalang kinantang, ngepel dan impur; (2) Kethek Ogleng di Kelurahan Semanu,
Kecamatan
Semanu,
menjelaskan
bahwa
fungsi
kesenian Kethek Ogleng di Kelurahan Semanu sebagai sarana upacara bersih Desa atau nadar dan sebagai tontonan. Kethek Ogleng disajikan dalam bentuk dramatari dari cerita Panji yang dipentaskan selama setengah sampai dua jam baik siang maupun malam hari. Ragam tarinya menggunakan nggruda, lampah kengser,
trisig,
kudangan.
Buku
ini
memberikan
informasi
mengenai bentuk penyajian dan fungsi kesenian Kethek Ogleng yang berkembang di daerah-daerah Kabupaten dan kecamatan DIY.
12
Buku karya R. M. Soedarsono dengan judul Seni Pertunjukan Indonesia Dan Pariwisata diterbitkan pada tahun 1999. Buku ini berisi hasil penelitian yang berlangsung selama tiga tahun di enam daerah wisata, yaitu Bali, Yogyakarta, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Jakarta, dan Hawaii. Pemilihan daerah ini berdasarkan peranannya dalam menanggapi hadirnya industri pariwisata. Enam wilayah tersebut menjadi tujuan wisata para wisatawan dan sebagai contoh dalam mengemas seni pertunjukan wisata. Selain itu, buku ini di dalamnya terdapat tulisan yang menjelaskan mengenai cerita Panji. Cerita Panji muncul di Jawa Timur pada abad
ke-13,
merupakan
cerita
kepahlawanan
yang
disertai
percintaan antara tokohnya yang bernama Panji Asmarabangun dari kerajaan Jenggala dan Dewi Sekartaji dari kerajaan Daha. Cerita Panji merupakan wiracerita yang ditampilkan dalam bentuk pertunjukan
drama atau sendratari. Buku ini membantu
memberikan informasi mengenai cerita Panji di Jawa Timur. Buku
karya
Th.
Pigeaud
yang
berjudul
Javaanse
Volksvertoningen tahun 1938. Buku ini menguraikan mengenai bentuk-bentuk seni pertunjukan tradisional yang tersebar di berbagai daerah khususnya Jawa yang berkembang sekitar tahun 1930-an dan mendeskripsikan bahwa pertunjukan sudah ada sejak dulu dan pertunjukan tersebut didasarkan atas pertunjukan ritual keagamaan. Sebuah dongeng dengan tokoh Panji yang menjadi pertunjukan rakyat di antaranya Ande-Ande Lumut,
13
Ludruk, Sronen, Kethek Ogleng, Timun Mas, Jaka Kendil, Dan Jaka Bodo.
Walaupun
tidak
menjelaskan
secara
rinci
mengenai
kesenian Kethek Ogleng, namun buku ini memberikan informasi bahwa kesenian Kethek Ogleng sudah berkembang sekitar abad ke-19 dengan latar cerita Panji yang melakukan penyamaran. Dalam artikel yang berjudul “Revitalisasi Kesenian Kethek Ogleng Untuk Mendukung Pengembangan Pariwisata di Kabupaten Wonogiri pada tahun 2014” yang dimuat di jurnal Paramitha Vol.24, No.1 yang terbit Januari tahun 2014, Warto menguraikan tentang usaha merevitalisasi kesenian Kethek Ogleng sebagai warisan budaya untuk mendukung pariwisata di Kabupaten Wonogiri. Kesenian Kethek Ogleng di Wonogiri diperkenalkan pada tahun 1960 an. Bentuk penyajian Kethek Ogleng dalam bentuk pethilan (fragmen tarian Kethek Ogleng) dan sajian secara utuh dalam cerita Panji, serta menjadi bagian dari seni taledhek mbarang yang biasanya berkeliling dari satu tempat ke tempat lain.
Kesenian Kethek Ogleng semakin kehilangan
basis
pendukungnya
alasan.
sosial
Usaha
yang
merevitalisasi
disebabkan
kesenian
berbagai
itupun
perlu
dilakukan oleh seluruh komponen supaya mengapresiasi dan menghargai kekayaan budayanya. Salah satu cara dengan
usaha
melestarikan
kesenian
tersebut
melalui
pengembangan paiwisata yang bertumpu pada kekayaan
14
budaya lokal. Karya tulis dalam jurnal ini memberikan informasi
mengenai
bentuk
penyajian
kesenian
Kethek
Ogleng dan usaha merevitalisasi kesenian Kethek Ogleng sebagai
ikon
budaya
dan
pariwisata
di
Kabupaten
Wonogiri. Artikel yang berjudul “Nilai-Nilai Sosial Kesenian Kethek Ogleng Di Desa Tokawi Kecamatan Nawangan Kabupaten Pacitan” yang dimuat di Jurnal Pendidikan Seni Tari S1 Vol 2, No 2 pada tahun 2013, Criza Asri Suseno, Saptomo, dan Supriyadi yang menguraikan nilai-nilai sosial dalam kesenian Kethek Ogleng di Desa Tokawi kecamatan Nawangan Kabupaten Pacitan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesenian Kethek Ogleng tercipta, tumbuh dan berkembang di Desa Tokawi Kecamatan Nawangan Kabupaten Pacitan dengan mengangkat cerita Panji dengan penyajian kesenian Kethek Ogleng berupa dramatari yang di dalamnya mengandung unsur gerak, iringan, rias, busana, dan tempat pementasan. Kesenian Kethek Ogleng mengandung nilainilai sosial yang sangat melekat dalam kehidupan masyarakat Desa Tokawi, seperti kebersamaan, komunikasi, kerohanian, hiburan, kesetiaan, ekonomi, dan pendidikan. Tulisan dari jurnal ini memberikan informasi mengenai nilai-nilai dalam kesenian Kethek Ogleng di Desa Tokawi. Penelitian ini lebih menekankan mengenai
nilai-nilai sosial yang terdapat pada kesenian Kethek
Ogleng, sehingga akan berbeda
ketika peneliti menulis tentang
15
bentuk dan perkembangan fungsi dan maknanya pada kesenian Kethek Ogleng di Desa Tokawi. Dalam artikel yang berjudul “Cerita Panji Antara Sejarah Mitos Dan Legenda” yang dimuat di Jurnal Mudra Vol. 26, No. 1 yang terbit Januari tahun 2011, Sumaryono menguraikan tentang
munculnya
bebagai
versi
cerita
Panji
dan
memperkenalkan kembali cerita ini yang disertai dengan kisahkisah pengembaraan dan penyamaran yang dilakukan oleh kedua tokoh utamanya yaitu Panji Asmarabangun dan Candrakirana. Berbagai versi cerita Panji mengandung potensi dramatik yang menjadi sumber atau ide kreatif para seniman dalam menicptakan karya-karyanya, baik karya seni sastra maupun karya seni pertunjukan. Cerita Panji yang merupakan cerita asli Indonesia, khususnya Jawa diperkenalkan kembali kepada masyarakat, baik melalui media seni tradisional maupun bentuk karya seni modern. Cerita Panji sebagai sumber kreatif melalui seni modern dapat menunjukkan bahwa cerita ini begitu adaptif terhadap situasi dan perkembangan zaman. Selain itu, cerita Panji merupakan bagian dari nilai-nilai peradaban yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, khusunya bersumber dari kebudayaan di Jawa. Artikel ini memberikan informasi berbagai versi cerita Panji di Indonesia khususnya di Jawa dan dari berbagai versi tersebut bersisi kisah pengembaraan dan penyamaran yang dilakukan oleh kedua tokoh utamanya.
16
Dalam artikel yang berjudul
“Keberadaan Dan Bentuk
Transformasi Cerita Panji” yang dimuat di Jurnal Litera Vol. 12, No. 1 yang terbit April tahun 2013, Ida Bagus Putera Manuaba, Adi Setijowati, dan Puji Karyanto menguraikan keberadaan, nilai, dan bentuk seni yang terinspirasi cerita Panji. Cerita Panji sebagai sumber cerita yang memiliki peran pengembangan seni dan budaya masyarakat Jawa. Nilai yang terkandung dalam cerita ini adalah nilai kesejarahan, edukatif, kepahlawanan, keteladanan, ekologis, budaya, moral, politis, kearifan lokal, dan sebagainya. Bentuk-bentuk karya baru seni dan budaya yang terinspirasi cerita Panji, di antaranya karya sastra, karya seni relief di Candi, karya seni tari, karya seni pertunjukan, dan seni lukis. Artikel ini memberikan sumbangan informasi mengenai keberadaan, nilai, dan bentuk seni yang terinspirasi cerita Panji, khususnya dalam tradisi tutur lisan rakyat dan kisah pengembaraannya
untuk
mencari Candrakirana menjadi sumber inspirasi berbagai dongeng rakyat. Bentuk persebaran
dan wilayah
Perkembangan kesenian
fungsi
dan
Kethek Ogleng
makna belum
serta banyak
menarik perhatian para peneliti untuk mendeskripsikannya. Oleh karena itu, penelitian ini akan mencakup aspek historis, gerak, bentuk
penyajian
dan
peranan,
serta
faktor-faktor
yang
mempengaruhi perkembangannya dalam masyarakat sehingga dapat memberikan pemahaman komprehensif terhadap seni
17
pertunjukan Kethek Ogleng di Kabupaten Pacitan. kesenian
Kethek
Ogleng
berpengaruh
pada
Keberadaan
nilai
budaya
masyarakat setempat. Karena minimnya kajian ilmiah terhadap seni pertunjukan Kethek Ogleng di Kabupaten Pacitan, maka keaslian kajian ini dapat dipertanggungjawabkan. E. Landasan Teori Penelitian
ini
merupakan
penelitian
kualitatif
dengan
pendekatan multidisiplin yang diarahkan pada kajian tekstual maupun
kontekstual.
Kajian
tekstual
untuk
mengungkap
kesenian Kethek Ogleng sebagai seni pertunjukan rakyat. Kajian kontekstual untuk menganalisis bagian yang tidak tentu dari dinamika sosaial budaya masyarakat dalam perkembangan fungsi dan makna yang terjadi pada kesenian Kethek Ogleng. Adapun paparan teori yang dipinjam sebagai pisau analisis yang
digunakan
untuk
membedah
pokok
bahasan
dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Pendekatan Etnokoreologi Penelitian Gertrude “Panorama
ini
Prokosch Of
menggunakan Kurath
Dance
dalam
Ethnology”
pendekatan artikelnya
etnokoreologi, yang
menjelaskan
berjudul
Choreology
merupakan cara untuk mengenali tari dan budaya termasuk kedudukan individu dalam budaya, gender, bentuk organisasi
18
sosial, dan aktivitas ekonomi.13 Dalam hal ini etnokoreologi merupakan segala sesuatu yang memiliki hubungan dengan kebudayaan dan fungsi-fungsi simbolismenya atau kedudukannya di dalam masyarakat. Hal
ini
Soedarsono
diperkuat bahwa
dengan
pendekatan
yang
diungkapkan
etnokoreologi
R.
M.
merupakan
pendekatan yang khas untuk tarian etnis dan merupakan kombinasi
antara
penelitian
tekstual
dengan
kontekstual.14
Pendekatan etnokoreologi dalam penelitian ini untuk mengetahui latar belakang tari, tari dan masyarakat, serta fungsi tari. Oleh karena itu materi penelitian meliputi aspek koregrafis, aspek struktural, dan fungsi yang melibatkan konsep sejarah dan sistem pencatatan tari. Penelitian ini memiliki inti permasalahan yang meliputi bentuk dan perkembangan fungsi serta makna pada kesenian Kethek Ogleng yang menggunakan disiplin etnokoreologi. Oleh karena itu dalam penelitian ini perlu memperhatikan konstruksi teoritis unuk mendekati permasalahan yaitu kajian tekstual dan kontekstual serta labanotation.
Gertrude Prokosch Kurath, Panorama Of Dance Ethnology dalam Current Anthropology, vol1, No.3 (Chicago Press on behalf ff Wenner-Gren Foundation for Anthropological Research, 1960), 235. 14 R.M. Soedarsono, Metodologi Seni Pertunjukan dan Seni Rupa 13
(Bandung: MSPI, 1999), 15.
19
a. Kajian Tekstual dan Kontekstual Analisis
secara
tekstual
merupakan
suatu
fenomena
pertunjukan yang dikaitkan pada sebuah kejadian. Sebuah teks tidak dapat diketahui secara jelas tanpa adanya konteks pada sebuah pertunjukan kesenian. Analisis tekstual dalam seni pertunjukan berbeda dengan tekstual dalam linguistik. Marco De Marinis
dalam
bukunya
yang
berjudul
The
Semiotics
Of
Performance mengatakan teks dalam bahasa terdiri dari satu lapis (single layer) sedangkan teks dalam seni pertunjukan multi lapis (multi layers).15 Menurut Hadi, ada dua pokok pendekatan dalam penelitian terhadap tari; secara
bentuk
atau
pertama memandang karya seni tari
teks,
atau
lebih
melihat
pada
faktor
intraestetik; kedua, melalui penjelajahan konteks di mana ekspresi tari dipandang atau konteksnya dengan disiplin ilmu pengetahuan lain atau lebih pada faktor ekstraestetik.16 Pendekatan teks dari kesenian tari dapat dilakukan dengan menganalisis bentuk, tehnik, koreografis, struktural maupun analisis simbolik.17 Bentuk sendiri adalah wujud dari kesenian Kethek Ogleng yang diartikan sebagai hasil dari berbagai elemen tari yang mencakup gerak, ruang dan waktu. Dalam hal ini bentuk
15 Marco de Marinis, The Semiotic of Perfomance. Terj. Aine O’Healy (Bloomington and Indianapolis : Indiana University Press, 1993), 56. 16 Y. Sumandiyo Hadi, 2007, 21. 17 Y. Sumandiyo Hadi, 2007, 23.
20
sebagai wujud karya seniman dari ungkapkan isi dan tanggapan dalam bentuk fisik yang dapat diterima oleh indera. Teks dalam seni pertunjukan tari yaitu lapisan yang terdiri dari penari, busana tari, rias tari, koreografi, musik tari, panggung pertunjukan, sound system, lighting, dan penonton.18 Kajian tekstual
dilakukan
untuk
mengungkap,
menguraikan
atau
mendeskripsikan secara rinci komponen pertunjukan Kethek Ogleng, kajian kontekstual dilakukan untuk mengungkapkan keberadaan tarian dalam dinamika masyarakat pendukungnya, termasuk fungsi dan kedudukannya dalam masyarakat. Kesenian tradisional memiliki ciri yang sederhana dan bersifat spontan kemudian dihayati oleh masyarakat pendukungnya. Kethek Ogleng merupakan jenis seni tradisional kerakyatan yang lahir di tengah masyarakat yang hidup dan dikembangkan dalam masyarakat pedesaan. Seiring dengan perkembangan masyarakat, kesenian sebagai unsur kebudayaan juga ikut berkembang. Sedyawati dalam bukunya yang berjudul
Pertumbuhan Seni
Pertunjukan menjelaskan ada dua jenis perkembangan yang terjadi yaitu perkembangan secara kualitatif dan perkembangan secara kuantitatif. Perkembangan dalam arti kualitatif yaitu dengan mengolah dan memperbaharui wajah serta meningkatkan kualitas estetis dari bentuk pertunjukan itu, sedangkan perkembangan
18
R.M. Soedarsono, 1999, 159.
21
kuantitatif
dengan
membesarkan
volume
penyajian
dan
meluaskan wilayah pengenalannya.19 b. Labanotation Dalam menganalisis gerak tari kesenian Kethek Ogleng menggunakan buku yang berjudul Labannotation: The System Of Analyzing
And
Recording
Movement
yang
ditulis
oleh
Ann
Hutchinson edisi ke 3 tahun 1977. Analisis gerak melalui sistem tersebut menjadi mutlak dilakukan karena penelitian ini berada di bawah payung disiplin etnokoreologi. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mempelajari Labanotation yaitu, 1) pencatatan gerak dititiberatkan pada arah atau tujuan dari gerak. Misalnya gerak maju, mundur, kanan, kiri, serong depan kanan, serong depan kiri, serong belakang kanan, serong
belakang
kiri,
atas,
tengah,
bawah,
berputar
dan
sebagainya; 2) tubuh manusia secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu bagian kanan dan bagian kiri, yang masing-masing dibagi lagi berdasarkan jenis anggota badan misalnya tungkai, lengan, badan, kepala dan sebagainya; 3) pencatatan didasarkan atas arah hadap dari penari dan pembaca; dan 4) Labanotation ditulis dan dibaca dari bawah ke atas, kemudian dilanjutkan ke kanan.20
19 Edi Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), 50. 20 R. M. Soedarsono, Living Traditional Theaters In Indonesia (Yogyakarta: Akademi Seni Tari Indonesia, 1974), 53
22
Gerak-gerak tari pada kesenian Kethek Ogleng dianalisis menggunakan sistem pencatatan tari atau labanotation. Hal ini di gunakan untuk menulis dan mencatat gerakan tari dari yang sulit maupun yang sederhana. Pada gerakan tari Kethek Ogleng meliputi gerak kaki, lengan, torso, pinggul, kepala, dan lain sebagainya. Kethek Ogleng merupakan sebuah karya tari yang gerakannya menirukan tingkah laku kethek (kera), yaitu menggambarkan gerak-gerik kelincahan,
kebersamaan, semangat, kelucuan dan
gerakan atraktif seekor kera. Cerita kesenian Kethek Ogleng yang dibawakan adalah kisah Panji, yang merupakan cerita rakyat produk Jawa Timur yang mulai muncul pada masa kerajaan Kediri di abad ke-12 dan berkembang subur di abad ke-14 pada masa Majapahit.21 Isinya mengenai kepahlawanan dan cinta yang berpusat pada dua orang tokoh utamanya, yaitu Raden Panji Assmarabangun dan Dewi Sekartaji dari kerajaan Jenggala dan Kediri. 2. Teori Fungsi Kethek Ogleng yang merupakan pertunjukan rakyat tidak terlepas dari pesan atau makna. Oleh karena itu menggunakan pandangan antropologi Anya Peterson Royce yang mengungkapkan bahwa
antropologi
tari
memandang
tari
dari
segi
bentuk,
21 R.M. Soedarsono & Tati Narawati, Dramatari di Indonesia, Kontinuitas dan Perubahan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011), 63.
23
sedangkan
fungsi
memandang
tari
dari
segi
konteks
dan
sumbangannya pada konteks tersebut. Landasan lain yang digunakan adalah teori fungsional, bahwa semua hal yang ada memiliki fungsi membentuk hal yang baru dan berfungsi pada setiap unsurnya dengan saling melengkapi.22 R. M. Soedarsono dalam bukunya yang berjudul Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi mengelompokkan fungsi seni pertunjukan menjadi fungsi primer dan fungsi skunder.23 Fungsi primer seni pertunjukan yaitu sebagai sarana ritual, sebagai hiburan pribadi, dan presentasi estetis. Sedangkan fungsi sekunder seni pertunjukan yaitu untuk tujuan lain seperti pembangkit
rasa
solidaritas
masyarakat
dan
kelompok,
pembangkit rasa solidaritas bangsa, media propaganda, media komunikasi, sarana meditasi, terapi, dan lain sebagainya. Konsep tentang fungsi itu sendiri merupakan saling ketergantungan antar unsur karya sastra lisan dan tertulis, tanpa membedakan apakah unsur tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, maupun memelihara keutuhan dan sistematik struktur sosial.24 Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Sejarah Teori Antropologi I, menjelaskan bahwa kesenian dan aktivitas suatu
kebudayaan dimaksudkan untuk memuaskan suatu rangkaian
22 Anya Peterson Royce, Antropologi Tari, Terj. F.x Widaryanto (Bandung: Sunan Ambu Press, 2007), 68. 23 R. M. Soedarsono, 2010, 122. 24 Suripan Sadi Hutomo, Cerita Kentrung Sarahwulan Di Tuban (Jakarta: Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, 1993), 9.
24
dari kebutuhan naluri manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya.25 Keberadaan Kethek Ogleng menekankan makna
pada
bentuk,
fungsi,
dan
penyajian.
Unsur
yang
terkandung dalam kesenian Kethek Ogleng tidaklah berdiri sendiri dalam membentuk pertunjukan sebagai sebuah kesenian, tetapi dalam konteksnya peran nilai agama, penggunaan teks dan gamelan dihubungkan dengan gerakan sebagai nilai budaya. Suatu kajian tentang tari mempunyai tujuan untuk mengenal dan memahami tari sehingga seseorang dapat menghayati suatu gaya tari dengan sebaik-baiknya, dan
mempelajari tari untuk
mendapatkan apa yang disebut sebagai kebenaran ilmiah.26 Menurut Heddy Shri Ahimsa Putra seni dan kesenian dapat difokuskan pada dua bentuk kajian yaitu 1) memandang fenomena kesenian seperti musik, tari, sastra, sastra lisan dsb, sebagai suatu teks yang relatif berdiri sendiri; 2) menempatkan fenomena tersebut dalam konteks yang lebih luas yaitu konteks sosial budaya masyarakat tempat fenomena seni tersebut muncul dan hidup.27 Seni pertunjukan Kethek Ogleng memanfaatkan sumber daya budaya sebagai unsur mendasar dari kesenian Kethek Ogleng yaitu budaya lokal. Kisah Panji menjadi bagian penting dalam perkembangan dramatari Kethek Ogleng, walaupun dalam kisah Panji yang digunakan dalam kesenian Kethek Ogleng mengalami 25 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: Universitas Indonesia press, 1987), 171. 26 Edi Sedyawati, Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), 296. 27 Heddy Shri Ahimsa Putra, ed, “Wacana Seni Dalam Antropologi Budaya: Tekstual, Kontekstual Dan Post-Modernistis” dalam “Ketika Orang Jawa Nyeni” (Yogyakarta: Galang Press, 2000) 400.
25
transformasi cerita. Hal ini dipengaruhi oleh pencerita yang terlibat
dalam
ruang
dan
waktu
melalui
proses
kreatif.
Perkembangan yang terjadi mungkin dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Di dalam suatu masyarakat proses perkembangan terjadi tidak
terlepas
dari
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya.
Perkembangan juga terjadi pada kesenian Kethek Ogleng yang dipengaruhi oleh perkembngan sosial yang berkaitan dengan perubahan budaya. Era globalisasi saat ini memberi kemungkinan bahwa keseniaan rakyat Kethek Ogleng bisa saja tidak dinikmati oleh masyarakat Indonesia, khususnya di Desa Tokawi sendiri yang
menjadi
salah
satu
tempat
berkembangnya
kesenian
tersebut. Menurut R. M. Soedarsono bahwa arus globalisasi memungkinkan bangsa Indonesia menikmati berbagai bentuk seni pertunjukan,
baik
secara
langsung
maupun
melalui
media
rekam.28 Akibat arus globalisasi yang berkembang cepat dan terjadinya perubahan-perubahan kondisi sosial masyarakat memacu proses kreatif dalam mengembangkan kesenian Kethek Ogleng. Hal ini sejalan dengan yang diutarakan Bagong Kussudiardja dalam buku yang berjudul Perjalanan Kesenian Indonesia Sejak Kemerdekaan: Perubahan Dalam Pelaksanaan, Isi dan Profesi yang menjelaskan perubahan 28
dan
pergeseran
R.M. Soedarsono, 2010, 100.
yang
terjadi
dalam
dunia
seni
26
pertunjukan tari tidak terpisahkan dari perubahan sosial yang terjadi akibat perubahan politik, ekonomi, dan budaya masyarakat kita secara keseluruhan.29 F. Metode Penelitian Metode penelitian ini menggunakan
penelitian kualitatif
dengan pendekatan etnokoreologi yang melibatkan teori dari berbagai disiplin ilmu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode deskriptif analitis. Dalam hal ini digunakan untuk mengungkapkan “Bentuk dan Perkembangan Fungsi serta Makna Kesenian Kethek Ogleng Di Desa Tokawi Kabupaten Pacitan”. Artinya paparan mengenai bentuk kesenian Kethek Ogleng dari bentuk gerak tari, penyajian dan fungsinya, serta cakupan wilayah yang menjadi kelangsungan hidup kesenian tersebut. Tujuan dari penelitian ini menyangkut aspek historis dan aspek fungsional, untuk mencapai tujuan penelitian digunakan metode sejarah dan antropologi. Metode sejarah yang digunakan untuk mengetahui asal-usul Kethek Ogleng baik dari sumber tertulis maupun lisan, sedangkan pendekatan antropologi untuk mengetahui fungsi, makna dan struktur kesenian Kethek Ogleng,
29 Philip Yampolsky, Perjalanan Kesenian Indonesia Sejak Kemerdekaan: Perubahan Dalam Pelaksanaan, Isi Dan Profesi, (Jakarta: PT Equinox Publishing Indonesia, 2006), 126.
27
yaitu
dengan
menggunakan
teknik
observasi,
wawancara,
dokumentasi, dan studi pustaka. 1. Penentuan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terdapat di Kabupaten Pacitan, tepatnya di Desa Tokawi Kecamatan Nawangan. Data yang diperoleh dari lokasi
penelitian
pertunjukan
yaitu
Kethek
menyangkut
Ogleng.
Maka,
aktivitas
kegiatan
diperlukan
seni
pengamatan
langsung baik terhadap bentuk dan fungsinya. 2. Penentuan Informan Informan dalam penelitian ini adalah orang yang terlibat langsung dalam kegiatan kesenian Kethek Ogleng. Penelitian ini akan melibatkan beberapa informan, yaitu (1) Bapak Soekiman selaku seniman dan penari Kethek Ogleng, (2) Ratno, pelatih dan penari Kethek Ogleng, dan (3) Anardhi Arif, pelatih ekstra kesenian Kethek Ogleng. 3. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dalam berbagai sumber dan berbagai cara. Untuk memeroleh hasil penelitian yang lengkap dilakukan
beberapa
teknik
pengumpulan
data
dengan
menggunakan data primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang langsung memberikan informasi pada pengumpul data, sedangkan data sekunder merupakan data yang tidak langsung memberikan informasi pada pengumpul data, seperti dokumen atau melalui orang lain. Teknik pengumpulan data menggunakan
28
beragam
sarana
yang
meliputi
observasi
(pengamatan),
wawancara, dan dokumen.30 Langkah pertama adalah kepustakaan sebagai studi awal untuk mendapatkan informasi tertulis dari beberapa referensi seperti buku, jurnal, artikel, serta makalah yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan tema penelitian. a.
Observasi Pengumpulan data melalui observasi dilakukan melalui observasi
terstruktur
dan
tidak
terstruktur.
Observasi
dilakukan agar peneliti dapat mengetahui respon penonton dan pelaku kesenian selama pertunjukan dengan terlibat langsung dalam kegiatan. Selain itu observasi dilakukan dengan Participant observation untuk melihat sacara langsung aksi pentas pertunjukan Kethek Ogleng. Observasi yang dilakukan oleh peneliti pada acara bersih Desa di Desa Penggung Kecamatan Nawangan pada bulan Agustus 2015 dengan menampikan bentuk penyajian kudangan. Selain itu observasi juga dilakukan dengan mengamati pentas Kethek Ogleng dalam acara peringatan hari kemerdekaan RI pada tahun
2013
di
Monumen
Jenderal
Sudirman
dengan
menampilkan bentuk penyajian Kudangan yang di gunakan juga untuk penyambut kedatangan Bupati Pacitan. Pada karnaval peringatan hari kemerdekaan RI pada tahun 2015 30 Anselm Strauss & Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 5.
29
di Desa Pakis Baru dan Desa Penggung sedikit berbeda karena menghadirkan tokoh Kethek Ogleng atau Pethilan. b.
Wawancara Informasi yang diperoleh dari narasumber perlu dicatat dan dikaji secara mendalam. Wawancara dalam penelitian ini kepada informan yaitu Mbah Soekiman, Bapak Ratno, dan Anardhi Arief, kemudian wawancara juga kepada penonton dan pedagang di sekitar pertunjukan Kethek Ogleng serta Bapak Sugiano selaku ketua dusun yang mengadakan hajatan bersih Desa. Wawancara menggunakan wawancara terstruktur untuk mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh. Wawancara tidak terstruktur merupakan wawancara yang bebas yaitu peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang tersusun sistematis untuk pengumpulan data. Wawancara mendalam kepada penari maupun pendukungnya dilakukan guna memperoleh data mengenai pandangan mereka tentang kesenian yang dibahas.
c. Dokumentasi Pengumpulan data dilakukan
melalui dokumentasi memiliki
tujuan agar data yang diperoleh tidak hilang. Pengumpulan data dokumentasi dengan rekaman audio visual, foto-foto dan catatan
lapangan.
Informasi
dari
pengumpulan
data
30
dokumentasi digunakan untuk memperkuat bahwa proses penelitian benar-benar telah dilakukan. 4. Analisis data Teknis analisis data dalam penelitian ini adalah analisis sebelum datang ke lapangan dan analisis yang dilakukan ketika pengumpulan data di lapangan. Sebelum datang ke lapangan perlu
dilakukan
analisis
terhadap
data
hasil
dari
studi
pendahuluan. Fokus dari penelitian masih bersifat sementara, kemudian akan berkembang selama proses pengumpulan data dan
proses
penelitian
berlangsung.
Fokus
penelitian
akan
mengerucut sampai terfokus penelitian yang diharapkan. Analisis data di lapangan dalam penelitian ini diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dokumentasi, dan catatan lapangan, serta studi kepustakaan yang dianalisis secara kualitatif. Datadata yang terkumpul diseleksi dan dianalisis secara kualitatif yaitu berupa narasi-narasi yang disusun dalam bentuk teks.