1
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Selain berkewajiban menjalankan rukun Islam yang lima (syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji), seorang muslim juga diperintahkan untuk memiliki kepekaan sosial atas orang lain yang tinggal di sekitarnya. Zakat yang menjadi bagian dari rukun Islam sebenarnya juga dimaksudkan untuk membangun kepekaan sosial seorang muslim atas muslim yang lain.1 Namun, jika zakat bersifat wajib, Islam juga memerintahkan melakukan kebaikan dengan maksud serupa tetapi bersifat sunnah (voluntary), yakni berupa qurban, infaq/shadaqah (derma), hibah dan wakaf.
2
Lima hal
Sholat disebut sebanyak 95 kali dalam al-Quran, sedangkan zakat, infaq dan shodaqoh masing-masing sebanyak 32, 76 dan 14 kali. Kewajiban sholat dan zakat, baik dalam bentuk perintah maupun dalam kalimat afirmatif, pada 26 ayat disebutkan dalam satu kata yang berkesinambungan „wa aqiimusshalaata wa „aatuzzakaata‟ (Dan dirikanlah shalat serta tunaikan zakat). Lihat: Ahmad Syafii Ma‟arif, “Filosofi di balik Perintah Berderma”, dalam www.lazismu.org, diakses 14 November 2013, 16.15. 1
Dalam Islam, ada lima hukum yang dikenal: 1) wajib, jika dikerjakan berpahala dan jika ditinggalkan berdosa, 2) sunnah/mandauw/mushab, jika dikerjakan berpahala dan jika 2
2
tersebut (zakat, sedekah, infaq, qurban, hibah dan wakaf) inilah yang kemudian dikonsepsikan oleh para akademisi sebagai kedermawanan Islam (Islamic charity)3. Istilah charity yang diterjemahkan menjadi „kedermawanan‟ sebenarnya bukan berasal dari konsep Islam, tetapi dari konsep Kristen. Konsep charity dalam terminologi Barat bermakna “a part of the spiritual devotions and asceticism of pious personalities who dedicate themselves to loving God by keeping their distance from material matters”4 (sebuah bagian dari ketaatan spiritual dan bentuk
ditinggalkan tidak berdosa, 3) mubah, boleh dikerjakan dan tidak berpahala ataupun berdosa, 4) makruh, jika ditinggalkan mendapatkan pahala dan jika dikerjakan tidak berdosa, dan 5) haram, jika dikerjakan berdosa dan jika ditinggalkan berpahala. Hukum ini mengikat pada setiap perintah dan larangan yang keduanya menjadi hakekat dari iman (menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya). Lihat: Aboebakar Atjeh, Ilmu Fikih Islam dalam Lima Madzhab, (Jakarta: Islamic Research Institute, 1977), hlm 16. Terminologi charity juga digunakan oleh beberapa akademisi, antara lain Michael Bonner, Adam Sabra, Murat Cizakca, Richard Van Leeuwen, Yaacov Lev, Amy Singer dan Hilman Latief. Lihat: Hilman Latief, “Islamic Charities and Social Activism: Welfare, Dakwah and Politics in Indonesia”, Dissertation, (Netherland: Leiden Universiteit, 2012), hal 36. Selain itu, Ondrej Beranek juga menggunakan term ini. Lihat: Ondrej Beranek, “The (Mis)use of Islamic Charity: Past, Present, and Future”, dalam Oriental Archive, 78, 2010. 3
4
Hilman Latief, op.cit., hal 25.
3
asketis yang muncul dari watak kesalehan yang dimiliki individu yang mendedikasikan dirinya untuk mencintai Tuhan dengan menjaga jarak dari hal-hal yang bersifat materi).5 Hilman Latief dalam disertasinya mencontohkan bagaimana biarawan yang menjauhkan dirinya dari kehidupan duniawi dan berfokus menyantuni orangorang miskin adalah bagian dari charity.6 Whalen Lai juga menyebut aktivitas orang-orang Chinese Buddhist dan Chinese Christian dalam pekerjaan belas kasih (works of mercy) antara lain memberi makanan, menyediakan pakaian, pelayanan rumah sakit, mengunjungi yang sakit dan dipenjara, serta menguburkan jenazah adalah bagian dari charity.7 Beberapa
nilai
yang
universal
dari
charity
antara
lain
menganjurkan menolong orang miskin, bersifat spiritualitas, menjadi cita-cita
keberagamaan
yang
ideal,
memiliki
perhatian
sosial,
membangun hubungan sosial dan bersifat kemanusiaan. Satu hal yang utama tentunya dari charity yakni diekspresikan dengan pemberian/penyantunan, pertolongan, dan pendistribusian kembali 5
Ibid., hal 25.
6
Ibid.
Whalen Lai, “Chinese Buddhist and Christian Charities: A Comparative History”, Buddhist-Christian Studies, Vol. 12 (1992), pp. 5-33, University of Hawai‟I Press, via Jstor.org. 7
4
kesejahteraan. 8 Secara umum bisa dikatakan bahwa ada konsep yang universal dalam charity yang berlaku di seluruh agama, termasuk
Islam.
9
Maka,
dari
konsep
charity
yang
universal
memungkinkan untuk meturunkan konsep Islamic charity. Berbicara Islamic charity atau kedermawanan Islam tentu akan berbicara pula tentang harta dan hak kepemilikan. Meski tidak menutup
kemungkinan
orang
yang
melakukan
aktivitas
kedermawanan berupa zakat, qurban, infaq/shadaqah (derma), hibah maupun wakaf adalah orang yang tidak mempunyai kelebihan harta (surplus of wealth). Namun realitas sosial historis menunjukkan bahwa orang-orang mempunyai kelebihan harta lah yang melakukan aktivitas kedermawanan ini, apalagi wakaf yang nilai asetnya tinggi. Sebagai salah satu bentuk Islamic charity, sekilas wakaf dipahami tidak berbeda dengan bentuk kedermawanan yang lain
8
Hilman Latief, op.cit., hal 36 dan 1.
Terminologi Charity juga berdekatan dengan konsep philantrophy (kecintaan kepada sesama manusia) ataupun social activism. Konsep ini dikenal universal oleh semua agama. Seperti istilah yang digunakan Merle Curti untuk menggambarkan kegiatan filantropi di Amerika Serikat yang diinisiasi komunitas JudaeoChristian. Lihat: Merle Curti, “Tradition and Innovation in American Philanthropy”, dalam Proceedings of the American Philosophical Society, Vol. 105, No. 2 (Apr. 21, 1961), pp.146-156, via Jstor.org dan Hilman Latief, Dakwah, hlm 1. 9
5
seperti zakat, qurban, infaq/shadaqah (derma) maupun hibah. 10 Namun,
jika
dilihat
lebih
dalam,
wakaf
ternyata
mempunyai
perbedaan dengan yang lain (terutama dengan hibah yang maknanya berdekatan). Perbedaan yang paling terlihat yakni hadirnya kekuatan yang mampu mendorong perubahan sosial-ekonomi di sebuah masyarakat dikarenakan wakaf tidak diberikan kepada personal, tetapi kepada institusi keagamaan yang memungkinkan dijadikan modal sosial secara kolektif oleh institusi tersebut untuk kepentingan masyarakat (ummat) yang lebih luas. 11 Dengan demikian institusi keagamaan
tersebut
berkesempatan
menjadi
institusi
yang
melembagakan wakaf yang menjadi bagian dari kedermawanan Islam tersebut.
Wakaf secara bahasa bermakna menahan. Secara umum bisa dijelaskan bahwa wakaf adalah sebuah kedermawanan Islam yang diekspresikan dengan menyerahkan kekayaan yang dimiliki bisa berupa tanah, bangunan, ataupun buku untuk kepentingan umat. Institusi yang dapat menerima antara lain masjid, lembaga keagamaan ataupun ummat Islam secara umum, namun mensyaratkan ada nadzir yang jelas. Penjelasan lebih detail tentang makna, syarat, tujuan dan hukum wakaf lihat: Ahmad Azhar Basyir. Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah dan Syirkah. (Bandung: AlMa‟arif. 1987), hal 2-23 atau Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Kitab Wakaf. (Jogjakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 1970), hal 3-4. 10
Mohammad Yousuf Farooqi, “The Institution of Waqf in Historical Perspective”, dalam Hamdard Islamicus. Vol XIII No. 1 Spring 1990, hal 25-30. 11
6
Sebagai ilustrasi adalah dua wilayah di Yogyakarta yakni Kotagede dan Karangkajen di awal abad XX. Terdapat sebidang tanah seluas 1042 m2 yang diwakafkan di Kotagede pada akhir 1920an. Lahan tersebut kemudian dikembangkan menjadi sebuah klinik dan poliklinik
kesehatan
dengan
mengakumulasi
derma
dari
masyarakat.12 Begitu juga sebidang tanah wakaf seluas 1566 m2 di Karangkajen pada kurun yang sama yang dikembangkan menjadi sekolah dengan pengumpulan derma dari masyarakat.
13
Kedua
fasilitas publik itu punya makna bagi bumiputera di Yogyakarta pada kurun itu, di tengah diskriminatifnya kebijakan Politik Etis di awal abad XX. Selain menunjukkan makna sosial di tengah terbatasnya pelayanan
pendidikan
kedermawanan
yang
dan
kesehatan
dihadirkan
pada
untuk
kurun
bumiputera,
1920-an-1930-an
Mitsuo Nakamura. Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin: Studi tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983), hal 111. Sedangkan data luas wakaf di dapatkan dari Data Wakaf Semester I Tahun 2009 Kecamatan Kotagede. (Kota Yogyakarta: Departemen Agama). 12
Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), hal 91. Sedangkan data luas wakaf di dapatkan dari Data Wakaf Semester I Tahun 2009 Kecamatan Mergangsan. (Kota Yogyakarta: Departemen Agama). 13
7
tersebut tentu saja mempunyai makna politis yang menunjukkan eksistensi bumiputera melakukan ranah-ranah yang seharusnya dilakukan oleh negara. Selain klinik, poliklinik dan sekolah, hadirnya lembaga pelayanan-pelayanan sosial di Yogyakarta seperti armen-huis (rumah miskin) dan weeshuis (rumah yatim) pada 1931 yang biaya operasionalnya dijalankan dengan mengakumulasi kedermawanan menjadi tonggak penting lain yang juga terjadi di Yogyakarta pada kurun 1920-an-1930-an. Dampak panjang dari ekspansi perkebunan, meski kemudian telah digulirkan kebijakan Politik Etis pada September 1901, perubahan sosial ekonomi di Yogyakarta pada khususnya atau Hindia-Belanda
pada
umumnya
belum
terjadi
sesuai
yang
diharapkan. Masih terdapat kesenjangan kelas sosial di tengah masyarakat. Sebagian dari kalangan bumiputera memang telah terakomodir
untuk
mendapatkan
akses
pendidikan,
pelayanan
kesehatan dan sosial, namun hanya menyentuh kaum elite.
14
Sedangkan bumiputera kelas bawah masih belum mendapatkan
Robert van Niel. Munculnya Elite Modern Indonesia. (Jakarta; Pustaka Jaya. 2009), hal 76-80. Lihat juga Yahdan Ibnu Human Saleh, “Colonial Educational Policy and Muhammadiyah‟s Education”. Al-Jami‟ah, No. 47 Yh. 1991, (Yogyakarta: Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga), hal 75-76. 14
8
kesempatan untuk meraih akses untuk memperbaiki nasibnya, terlebih kaum wanita.
15
Bahkan hingga akhir 1920an, catatan
Sartono Kartodirjo yang dikutip Kuntowijoyo menyatakan baru 2,93% penduduk Jawa yang mengenyam pendidikan sekolah rendah.16 Data lain dari catatan Abdurrachman Surjomihardjo menyatakan bahwa di Yogyakarta ketika itu terdapat 70 sekolah, 30 sekolah milik pemerintah, sedangkan sisanya milik swasta seperti Misi (9), Zending (9), Netral (9), Muhammadiyah (6), Taman Siswa (2), Budi Utomo (2), Adidharmo (2), Tionghoa (2) dan lain-lain (3). Menurut data tahun 1924, sekolah-sekolah tersebut baru mampu menampung 11.372 siswa dengan tenaga pendidik sebanyak 423 orang.17 Jika menurut data Volkstelling 1920 penduduk bumiputera di Gewest Yogyakarta yang usianya di bawah 15 tahun sebanyak 556.227 jiwa, berarti baru
Terkait kondisi sosial wanita di Yogyakarta di awal abad XX, lihat: Lailatul Huda, “Wanita dan “Malam”: Aisyiyah di Kauman Yogyakarta 1914-1942”, Tesis, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1998). 15
Kuntowijoyo, Pagadigma (Bandung: Mizan. 1991), hal 79. 16
17
Islam Intepretasi untuk
Abdurrachman Surjomihardjo, op.cit., hal 75.
Aksi.
9
2,05 persen penduduk bumiputera usia di bawah 15 tahun yang menempuh pendidikan.18 Tumbuhnya gerakan kedermawan Islam yang tertransformasi dalam pelayanan-pelayanan sosial di Yogyakarta pada dekade kedua abad XX seakan menjadi antiklimaks atas kondisi sosial yang terjadi ketika itu. Kehadiran pelayanan-pelayanan sosial yang dilakukan oleh organisasi-organisasi Islam ketika itu juga bisa dilihat sebagai respon kalangan bumiputera muslim atas kolonialisme.19 Bersamaan dengan itu, modernisasi yang terjadi di perkotaan Yogyakarta serta berkembangnya paradigma
wacana
masyarakat,
keislaman
ketika
termasuk
itu
turut
kesadaran
merubah pentingnya
menciptakan gerakan sosial baru di masyarakat perkotaan guna merespon kondisi sosial yang terjadi. Perkembangan wacana keislaman yang terjadi pada kurun tersebut diduga turut mempengaruhi berkembangnya gerakan sosial baru yang berwujud pelayanan-pelayanan sosial keagamaan. Jika Volstelling 1920, (Batavia, Drukkerijen Ruyorok & Co., 1922), hlm. 180. 18
De Indische Courant, 30 Desember 1930 memberitakan bahwa CK Elout, Residen Yogyakarta, mengungkapkan ketakutannya atas menguatnya gerakan anti-kristen sebagaimana disampailkan Menteri De Graff. Muhammadiyah dengan segala aktivitas sosialnya di Yogyakarta enam tahun terakhir dianggap juga menjadi salah satu aktor. 19
10
Sartono Kartodirjo menyebut bahwa hadirnya kolonialisme membawa serta proses Westernisasi dan modernisasi yang kemudian direspon dengan cara-cara yang tradisionalistik seperti pemberontakan, maka hadirnya gerakan sosial baru dengan mengelola kedermawanan Islam di kalangan bumiputera ini barangkali merupakah bentuk lain respon atas kolonialisme yang turut mengundang hadirnya zending dan missie namun dengan cara yang modern dan elegan.20
B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup
Awal abad XX khususnya pada dasawarsa kedua dan ketiga mencatat signifikansi pertumbuhan dan transformasi kedermawanan Islam di Yogyakarta, mulai dari infaq/shadaqah (derma) hingga wakaf. Untuk itu, penelitian ini ingin melihat lebih lanjut dua hal. Pertama, seperti apakah bentuk transformasi kedermawanan yang terjadi
di
Yogyakarta
bagaimana
kemudian
Yogyakarta
pada
pada
kurun
gerakan-gerakan
kurun
tersebut
1920-an-1930-an. Islam
Kedua,
yang tumbuh di
mengakumulasikan
aset-aset
kedermawanan yang mereka terima sehingga menjadi modal sosial
Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, (Yogyakarta: Ombak, 2014), hlm.137. 20
11
bagi mereka dalam menunjukkan eksistensi sebagai masyarakat sipil yang melakukan aktivitas di luar ranah negara kolonial? Rumusan masalah tersebut dijabarkan menjadi beberapa pertanyaan penelitian berikut: a) Bagaimana latar belakang ekonomi dan sosial masyarakat Yogyakarta sebelum 1920an, termasuk di dalamnya
penguasaan
tanah
dan
konsepsi
keagamaan
yang
berkembang? b) Siapa saja sebenarnya golongan menengah baru yang
menjadi
aktor-aktor
dalam
transformasi
kedermawanan
tersebut? c) Momentum apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan dan
transformasi
kedermawanan
tersebut?
d)
Apa
saja
yang
dikembangkan dari kedermawanan Islam yang berkembang dan mengapa hal itu menjadi pilihan logis organisasi-organisasi Islam ketika itu sebagai institusi penerima kedermawanan? e) Mengapa Muhammadiyah mempunyai peran yang menonjol dalam proses transformasi kedermawanan yang terjadi dan bagaimana posisi tawarnya sebagai masyarakat sipil dalam melakukan aktivitas kedermawanan? Locus penelitian ini adalah kota tradisional Yogyakarta. Alasan utama mengapa hanya berfokus di Yogyakarta dan tidak di wilayah Vorstenlanden yakni reorganisasi sistem kepemilikan tanah di Kasultanan Yogyakarta yang terjadi di kurun 1917-1925 berada
12
dalam satu kurun dengan kelahiran dan tumbuhnya organisasiorganisasi Islam di Yogyakarta yang menjelma menjadi institusi penerima kedermawanan. Selain itu, pada kurun itulah aktor-aktor wakaf yang terdiri dari golongan kelas menengah baru di perkotaan Yogyakarta bermunculan menggeser kelas para priyayi yang masih terlelap dengan feodalisme sistem penyewaan tanah yang terbukti mematikan Meskipun Yogyakarta,
kreatifitasnya penelitian hal
ini
ini tidak
dalam lebih
mengembangkan
banyak
dimaksudkan
mengulas menafikan
ekonomi. Kasultanan eksistensi
Kadipaten Pakualaman yang juga cukup mempunyai pengaruh terhadap tata kehidupan masyarakat Yogyakarta. Temporal studi ini antara 1912 hingga 1931. Kurun itu mencatat beberapa tonggak penting terkait dinamika sosial-ekonomi di Yogyakarta, salah satunya yakni kembalinya para pelajar dari Timur Tengah yang dengan gagasan pembaruan Islam mereka menstimulus kelahiran berbagai organisasi Islam di Yogyakarta dan memperkuat kelompok santri perkotaan. Perspektif global yang hadir dalam benak mereka mendorong untuk merubah kondisi daerah asalnya dengan ide-ide pembaruan yang didapatkan dari negara tempat mereka belajar. Sebagai contoh, didirikannya sekolah-sekolah Islam milik swasta. Selain itu, kehadiran golongan kelas menengah
13
baru, termasuk para santri itu, mulai tampak di permukaan dengan usaha yang dikembangkannya seperti batik dan perak di Yogyakarta dan Laweyan serta rokok di Kudus. Bisa dikatakan golongan kelas menengah itu mempunyai dua kekuatan yakni pengetahuan agama dan
surplus
ekonomi.
Dua
hal
inilah
yang
memungkinkan
mendorong terjadinya transformasi kedermawanan oleh organisasiorganisasi Islam yang mereka bentuk.
C. Tujuan
Jika dilihat dan diperbandingkan dengan topik lain dalam Islamic studies ataupun kajian tentang organisasi-organisasi Islam, kajian mengenai wakaf dan kedermawanan Islam yang menjadi modal tumbuh berkembangnya gerakan sosial berbasis agama di Indonesia dengan pendekatan historis memang masih sedikit dibahas para sejarawan.21 Penelitian ini diharapkan bisa mengisi kekosongan
Mayoritas model penelitian tentang wakaf menggunakan pendekatan fiqh (Islamic jurisprudency) yang melihat sah atau tidaknya sebuah proses wakaf yang diselenggarakan ataupun pendekatan hukum positif yang ingin melihat apakah sebuah proses wakaf itu melanggar ketentuan undang-undang yang berlaku atau tidak. Selain itu, model penelitian wakaf juga didominasi oleh, tata cara pelaksanaan dan potensi wakaf. Lihat: Monzer Kohf, “The Role of Waqf in Improving the Ummah Welfare”, Makalah Seminar Waqf as 21
14
kajian sejarah tentang wakaf dan kedermawanan Islam tersebut. 22 Selain itu, penelitian ini ingin mengatakan bahwa lahirnya Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik serta Undangundang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan juga Undang-undang No. 14 tahun 2014 tentang Zakat bisa dikatakan cukup terlambat dalam
merespon
berkembangnya
kedermawanan
yang
menjadi
kekuatan sosial-ekonomi masyarakat. Namun, meskipun begitu satu hal yang bisa dilihat dari lahirnya perundagan tersebut bahwa wakaf dan zakat sebagai kekuatan sosial-ekonomi berbasis agama mulai diperhitungkan termasuk pengembangannya di masa mendatang.
Private Legal Body, di Universitas Islam Sumatera Utara, 6-7 Januari 2003; Anas Budiarjo, “Pengelolaan Wakaf Produktif di Pondok Modern Darussalam Gontor tahun 2010 Perspektif Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf”, Skripsi, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2010); dan Abdullah Syukri Zarkasyi, “Pengelolaan Wakaf di Pondok Modern Darussalam Gontor”, Makalah pada Workshop Internasional Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, di Wisma Haji Batam 7-8 Januari 2002. Aminuddin Kasdi pernah menawarkan model penelitian wakaf dengan pendekatan sosial politik sehingga tampak perbedaan dari penelitian yang hanya menggunakan pendekatan aspek yuridis Islam maupun hokum positif semata. Lihat: Aminuddin Kasdi, Kaum Merah Menjarah: Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965, (Yogyakarta: Jendela, 2001). 22
15
Secara umum, penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah penelitian sejarah sosial-ekonomi di awal abad XX.
D. Tinjauan Pustaka dan Keaslian
Selosoemardjan
dalam
Perubahan
Sosial
di
Yogyakarta
menggambarkan kondisi pemerintahan Kasultanan Yogyakarta pada masa Kolonial Belanda masih menduduki Hindia Belanda termasuk Vorstenlanden. 23 Intervensi yang besar pada Kasultanan Yogyakarta salah satunya mengakibatkan bergesernya model penguasaan tanah. Tujuan Pemerintah Kolonial Belanda tentu hanya terdorong faktor ekonomi
dalam
rangka
untuk
memberi
kesempatan
kepada
perusahaan-perusahaan perkebunan asing untuk berinvestasi dan menguasai lahan di Yogyakarta khususnya untuk penanaman tebu, nila dan indigo. Implikasi
dari
kepentingan
ekonomi
Pemerintah
Kolonial
Belanda adalah lahirnya kebijakan Kasultanan Yogyakarta yang bernama
Reorganisasi
Tanah
Sistem
Kepemilikan
Tanah
sebagaimana yang dijelaskan Nur Aini Setiawati (2011) dalam Dari Selosoemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), hal 17-18. 23
16
Tanah Sultan menuju Tanah Rakyat. Pelaksanaan kebijakan yang berlangsung dari 1917-1925 ini bertujuan untuk “menata kembali sistem kepemilikan dan penguasaan tanah di Yogyakarta yang pada mulanya merupakan hak milik dan kekuasaan raja”.
24
Hal ini
disebabkan tanah-tanah raja tersebut tidak memiliki status hukum yang jelas, sehingga tidak ada peraturan yang mengatur tentang pemidahan hak kepemilikan seperti jual beli, sewa menyewa, hibah dan termasuk juga wakaf. Paparan historis mengenai tanah dan bangunan wakaf di Yogyakarta, terutama di seputar tonggak bekembangnya wakaf di Yogyakarta pada 1920-an-1930-an memang belum ada yang secara komprehensif menulis.25 Namun tidak halnya dengan kedermawanan secara umum. Abdurrachman Surjomihardjo (2008) dalam Kota Yogyakarta Tempo Doeloe yang menyatakan bahwa pada 1923 Nur Aini Setiawati, Dari Tanah Sultan menuju Tanah Rakyat, (Yogyakarta: STP Press, 2011), hal 112. 24
Farid Wadjdy dan Mursyid pernah menulis dalam Bab III bukunya tentang perkembangan regulasi wakaf di Indonesia. Dia menulis regulasi wakaf di zaman Hindia-Belanda. Selain sumber Bijblad tahun 1905 No. 6196, Bijblad tahun 1931 No. 1253, Bijblad tahun 1934 No. 13390, dan Bijblad tahun 1935 No. 13480, sumber lain untuk menyatakan wakaf sudah mulai ada sejak abad XVI menurut saya meragukan. Lihat: Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Ummat Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal 38-43. 25
17
Muhammadiyah telah memiliki sebuah Kweekschool dan HIS di Notoprajan,
sekolah
Ongko
Loro
di
Bausasran,
Kauman
dan
Karangkajen dengan total jumlah guru 40 orang dan murid 974 orang. 26 Berpijak dari data tersebut, penelitian ini memungkinkan untuk melacak lebih lanjut asal muasal bangunan tersebut, yang sangat
mungkin
berasal
dari
wakaf
yang
dikelola
dengan
melembagakan kedermawanan. Begitu juga berdasarkan catatan Bambang Purwanto bahwa PKO milik Muhammadiyah di Yogyakarta pada pertengahan 1920an yang telah mengelola sebuah rumah miskin, dua panti asuhan dan satu klinik kesehatan juga bisa ditelusur hal yang sama dalam rangka melacak tonggak transformasi kedermawanan Islam di Yogyakarta oleh organisasi-organisasi Islam yang tumbuh pada kurun tersebut.27 Amelia Fauzia dengan desertasinya “Faith and the State: a History of Islamic Philantrophy in Indonesia”, mengisi ruang kajian historis mengenai wakaf dan filantropi Islam di Indonesia. Meksi temporal periodenya sangat panjang dan kajiannya cukup luas yakni 26
Abdurrachman Surjomihardjo, op.cit., hal 75.
Bambang Purwanto, “Capitalizing Charity in Indonesian Muslim Community: The History of PKU Muhammadiyah-Aisyiah Hospital”, International conference on “Indigenous Charities: Historical Studies of Institutions Across Culture”, Hongkong 6-7 November 2008. 27
18
mencakup Hindia-Belanda, namun secara spesifik Fauzia juga menyinggung pertumbuhan kegiatan filantropi dan kedermawanan di Yogyakarta, terutama yang dikelola oleh Muhammadiyah. Dalam salah satu bagian desertasinya, Fauzia memaparkan perbandingan filantropi Islam yang dikelola di masa kolonial dengan setelah kemerdekaan. Di masa sebelum kemerdekaan, Amelia mencoba memetakan bagaimana peran pemerintah kolonial dalam mengatur regulasi kegiatan filantropi dan bagaimana perkembangan institusi yang bersinggungan dengan sedekah dan wakaf yakni masjid dan pesantren. Pembahasan tentang kontestasi Muhammadiyah dan Nahdahatul Ulama dalam mengelola zakat dan fitrah juga disinggung Fauzia. Sedangkan setelah kemerdekaan, pembahasaan Fauzia mencakup
perkembangan
filantropi
Islam
selama
perang
kemerdekaan dan juga bagaimana modernisasi pengelolaan wakaf setelah kemerdekaan. Dibandingkan dengan disertasi Fauzia, tesis ini masih mempunyai ruang untuk mengembangkan wacana khususnya pada transformasi kedermawanan pada kurun 1920-an-1930-an. Berbeda dengan apa yang ditulis Fauzia, Hilman Latief yang menulis desertasi Islamic Charities and Social Activism: Welfare, Dakwah and Politics in Indonesia lebih menyajikan secara konseptual bahwa kedermawanan Islam memiliki dimensi kesejahteraan, dakwah
19
dan politik dengan temporal yang lebih kontemporer. Dari sisi kesejahteraan,
Latief
memaparkan
model
berkembangnya
kedermawanan melalui klinik gratis, rumah sakit, program pelayanan kesehatan dari tiga organisasi kedermawanan Islam yakni Dompet Dhuafa, Rumah Zakat Indonesia dan Muhammadiyah. Selain itu, dalam aspek kesejahteraan itu Hilman juga mengulas tentang kedermawanan dalam upaya pemberdayakan perempuan dengan salah satu isu perdagangan perempuan. Dalam sisi dakwah, Latief mencoba menganalisis sebuah aktivitas dakwah Islam di lokasi yang muslim menjadi minoritas, yakni Pulau Nias. Terakhir, dalam sisi politik, Latief mencoba memaparkan bahwa dalam banyak kasus kedermawanan juga dibangun atas sentiment politik, sebagai contoh isu pembebasan Palestina, Anti-Yahudi dan Anti-Amerika. Jika dikomparasikan dengan literatur-literatur di atas, tesis ini masih memungkinkan mengisi ruang kosong kajian historis tentang kedermawanan di Yogyakarta pada kurun 1920-an-1930-an. Dimulai dari memetakan secara sosio-historis kondisi Yogyakarta di akhir abad
XIX
dan
bertransformasinya
awal
XX
gerakan
kemudian
melihat
kedermawanan
di
tumbuh
dan
Yogyakarta
oleh
organisasi Islam di Yogyakarta termasuk dari kalangan perempuan.
20
Dinamika
tersebut
merupakan
aktivitas
filantropi
masyarakat
perkotaan Yogyakarta pada kurun dekade kedua dan ketiga abad XX.
E. Kerangka Konseptual
Dalam perspektif Islam, kedermawanan terdiri dari beberapa unsur, antara lain infaq, shadaqah, hibah, zakat, qurban dan juga wakaf. Infaq diambil dari bahasa Arab nafaqo. Makna bahasanya yakni
menafkahkan
dan
membelanjakan
harta.
baik
untuk
kebutuhan pribadi/keluarga, agama dan umum. 28 Jadi, infaq lebih bermakna luas. Infaq berdekatan maknanya dengan shadaqah (sedekah).
Sama
halnya
dengan
infaq,
bentuk,
nominal,
dan
waktunya shodaqoh tidaklah ditentukan secara spesifik.29 Hukumnya secara agamapun tidak wajib. Artinya tidak ada tuntunan Islam untuk menuntut pemeluknya bershadaqah ataupun berinfaq dengan
Dalam al-Qur‟an ada perintah khusus berinfaq, yakni pada surat al-Baqarah (2) 195, 254 dan 267. Lihat: Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Vol 2, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hal 223. 28
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Vol 4. (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hal 259. Ada juga yang mengatakan bahwa sedekah adalah infaq yang spesifik dibelanjakan untuk kepentingan agama. 29
21
nominal tertentu, hanya sebatas anjuran yang menjadi keutamaan. Secara umum, infaq dan sedekah juga berdekatan dengan konsep hibah yang bermakna pemberian kepada orang lain secara sukarela tanpa mengharap imbalan apapun. Hibah diberikan tanpa syarat apapun.30 Berbeda dengan terminologi infaq, shadaqah, dan hibah, kedermawanan zakat lebih mempunyai bentuk, nominal, dan waktu yang spesifik.31 Secara umum, bentuk zakat dalam perspektif Islam dibagi menjadi dua: zakat harta (zakatul maal) dan zakat makanan pokok (zakatul fitrah).32 Nominalnya pun spesifik berdasarkan berapa properti (uang, hewan ternak, hasil pertanian) yang dimiliki dengan ketentuan tempo kepemilikan maksimal yang telah ditentukan. Begitu juga dengan waktu mengeluarkannya yang ditentukan, untuk zakat makanan pokok (fitrah) dikeluarkan menjelang hari raya Idul
Makna hibah adalah berhembusnya atau berlalunya angin. Lihat: Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi, Vol 2., hal 106. 30
Berasal dari kata zakaa. Tuntunan wajib berzakat dalam alQur‟an terdapat dalam surat at-Taubah 103 yang diawali dengan kata “ambillah” yang bermakna tuntutan untuk mengeluarkan zakat. Lihat: Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Vol 5, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hal 224. 31
Selain itu, ada juga zakat pertanian, zakat peternakan dan yang paling kontemporer adalah zakat profesi. 32
22
Fitri (setelah bulan Puasa berakhir), sedangkan untuk zakat harta tidak
ditentukan waktu layaknya zakat makanan pokok tapi
berdasarkan jumlah harta dan berapa lama dia memiliki harta. Sama dengan zakat, qurban/kurban juga merupakan salah satu kedermawanan yang spesifik. Pelaksanaanya diperintahkan dengan memotong hewan yang telah ditentukan agama, seperti kambing/domba, sapi, kerbau, atau onta. 33 Waktu pelaksanaannya hanya pada hari raya Idul Adha dan Tasyriq (10, 11, 12, 13 Dzulhijjah).
Melihat
hewan
yang
harus
dipersiapkan
untuk
melaksanakan kedermawanan ini, qurban hanya bisa dikerjakan oleh orang yang mempunyai ekonomi yang lebih karena hewan-hewan tersebut bernilai ekonomis tinggi. Kedermawanan terakhir, wakaf, seperti yang sudah dijabarkan pada latar belakang, merupakan kedermawanan Islam yang utama jika dikaitkan dengan jumlah kuantitas, nilai ekonomis dan nilai kemanfaatan propertinya. 34 Tanah, bangunan, uang/emas tentulah
Dasar diperintahkannya charity ini adalah Surat Al-Kautsar (108) ayat 1-3. Hukumnya menurut mayoritas ulama (Malik, Syafii, Ahmad) sunnah muakkad. Sedangkan menurut Hanafi wajib. Lihat: Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Vol 3, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hal 81. 33
Berasal dari kata waqf. Hukumnya sunnah, berbeda dengan zakat yang wajib. Perintah tentang wakaf terdapat dalam al-Qur‟an 34
23
bukan properti bernilai ekonomis kecil dan hanya bisa diberikan oleh orang yang punya surplus ekonomi besar. Satu hal lain yang membedakan wakaf dengan kedermawanan lain adalah persyaratan harus diterima oleh sebuah intansi keagamaan, yakni masjid, lembaga pendidikan, organisasi atau yang lain. Institusi penerima tersebut wajib mengambangkan properti wakaf tersebut untuk kemanfaatan bagi ummat dan masyarakat. Inilah alasan untuk mengatakan bahwa wakaf adalah kedermawanan yang lebih panjang dampak sosialnya, dibandingkan kedermawanan lain yang lebih berjangka pendek. Jika melihat perbandingan wakaf dengan kedermawanan Islam yang lain (dalam tabel 1) dapat dikatakan bahwa wakaf menjadi yang utama dibandingkan yang lain. Selain faktor benda yang diwakafkan adalah benda yang bernilai ekonomis tinggi, seperti tanah, bangunan, uang, kendaraan ataupun kitab, diserahkannya wakaf ke institusi menjadikan wakaf menjadi kedermawanan yang memungkinkan untuk
dihadirkan
produktifitas
turunannya.
Sedangkan
infaq/shodaqoh (derma), zakat, hibah dan qurban cenderung minim kesempatan untuk bisa ditingkatkan produktifitasnya.
surat Ali-Imran 92. Lihat: Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi, Vol 5, hal 189.
24
Tabel 1. Perbandingan Kedermawanan dalam Islam Charity Infaq Shadaqah Hibah Zakat
Qurban
Wakaf
Spesifikasi Benda Uang Benda/Makanan pokok Makanan pokok, hewan, hasil panen dan uang tunai Hewan kambing, sapi, kerbau, unta Tanah, bangunan, uang, kitab
Spesifkasi Kuantitas -
Spesifikasi Waktu -
Min. 2,5 kg (makanan pokok), 2,5% dari harta pertahun -
Sebelum shalat Ied Batas dimilikinya harta setahun Idul Adha (10, 11, 12, 13 Dzulhijah) -
-
Objek Charity Person/Institusi Person Person/Institusi Person/Institusi (dianjutkan ke institusi pengelola) Person
Institusi
Sumber: Diolah dari: Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Vol 1-5, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994) Secara terminologi, Farid Wadjdy dan Mursyid menulis bahwa definisi
wakaf
adalah
“menahan
harta
yang
dapat
diambil
manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah
serta
dimaksudkan
untuk
mendapatkan
keridhaan
Allah”. 35 Wakaf merupakan kedermawanan Islam yang bertujuan untuk menghadirkan kemanfaatan sosial dari sebuah properti.
35
Farid Wadjdy dan Mursyid, op.cit., hal 29-30.
25
Dalam rangka menjaga agar kemanfaatan sosial itu terus mengalir, Islam mengatur konsep penguasaan wakaf dikelola oleh lembaga keagamaan, meskipun tidak menutup kemungkinan wakaf juga ada yang diberikan kepada personal.36 Makna wakaf secara bahasa yakni „menahan‟ juga bisa dipahami bahwa harta yang sudah diwakafkan tidak bisa diwariskan, atau dijual, atau dihibahkan. Artinya, properti tersebut bersifat tetap dan tidak bisa dipindah kepemilikannya. 37 Bisa dikatakan bahwa wakaf bersifat abadi. Melihat sifat wakaf yang abadi itu, proterti yang ditentukan oleh Islam untuk diwakafkan tentu yang memungkinkan bertahan lama, seperti tanah, bangunan (langgar, sekolah, dll). Selain contoh-contoh tersebut buku, mesin pertanian, binatang ternak, saham dan aset serta uang tunai juga bisa menjadi properti wakaf, namun belum terjadi pada kurun 1912-1931 yang menjadi tempus tesis
ini.
Sifat
wakaf
yang
tetap
sangat
mendukung
proses
institusionalisasi kedermawanan Islam pada kurun tersebut.
Kiai dan ulama disinyalir menerima banyak wakaf secara personal. Lihat: Ibid., hal 62. 36
Madzhab Syafii (madzah mayoritas yang dianut muslim di Indonesia) mengatakan demikian, tetapi Hanafi menyatakan bahwa harta wakaf bisa ditukarkan atau dijual dalam rangka untuk mendapatkan kemanfaatan lebih yang akan diperoleh oleh ummat. Lihat: Ibid., hal 61. 37
26
Apabila melihat tujuan dari kedermawanan Islam yang ingin menghadirkan nilai tambah ekonomi atas harta yang didermakan, maka akan tampak bahwa ada peluang kesejahteraan (prosperity) yang akan dihadirkan oleh kedermawanan. Pada kurun 1912-1931 di Yogyakarta, berbagai kedermawanan baru muncul yang kemudian bertransformasi menjadi klinik dan poliklinik, rumah miskin, rumah yatim, sekolah dan langgar. Tidak berhenti di sana, kedermawanan tersebut kemudian dijadikan modal sosial oleh Serikat Islam, Muhammadiyah, Aisyiyah dan beberapa organisasi Islam lain sebagai penerima, yang kemudian mengoperasionalkannya dengan mengelola derma dan sokongan sehingga menghasilkan nilai tambah. Luaran dari kedermawanan berupa nilai tambah inilah yang menjadikan kedermawanan berfungsi sebagai wahana sharing prosperity. 38 Di tengah kondisi sosial yang timpang, kedermawanan hadir dengan pelayanan-pelayanan
yang
mengembuskan
optimisme
akan
peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat kelas menengah dan
Rosina S. Miller juga menggunakan konsep Sharing Prosperity untuk mengelaborasi aktivitas sosial di North Central Philadelphia yang cukup tinggi angka kemiskinan, kriminalitas, pengangguran dan kualitas kesehatan. Lihat: Rosina S. Miller, “Sharing Prosperity: Critical Regionalism and Place-Based Social Change”, Western Folklore, Vol. 66, No. 3/4 (Summer - Fall, 2007), pp. 351-381, via Jstor.org. 38
27
bawah. Kehadiran kedermawanan dapat menjadi pintu gerbang memasuki tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Serikat Islam, Muhammadiyah dan Aisyiyah, selaku organisasi penerima kedermawanan tersebut melakukan proses pengelolaan kedermawanan
tersebut
secara
berkesinambungan
dan
rutin.
Meminjam Max Weber, rutinitas dalam pengelolaan kedermawanan oleh organisasi Islam tersebut sebagai routinization (rutinisasi).39 Jika sebelumnya
kedermawanan
yang
terbelenggu
oleh
feodalisme
Kasultanan Yogyakarta dengan Kawedanan Pengulon sebagai otoritas tertinggi dalam pengelolaannya belum terkelola dengan dinamis, kehadiran organisasi-organisasi Islam di Yogyakarta
pada dekade
kedua abad XX mencoba melakukan rutinisasi tersebut. Routinization akan
terlaksana
jika
organisasi
karismatik (charismatic authority).
tersebut 40
membangun
otoritas
Organisasi-organisasi Islam
Lihat: Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization, (California: University of California Press, 1978). 39
Charismatic authority yang dikonsepsikan oleh Max Weber sebenarnya menggambarkan personal yang dengan karisma yang dimilikinya bisa menggerakkan orang-orang yang menjadi pengikutnya. Namun konsep yang sebenarnya digunakan untuk menggambarkan personal Max Weber dipinjam untuk menjelaskan otoritas karismatik yang melekat pada organisasi Muhammadiyah, Serikat Islam dan lainnya dalam tesis ini sehingga menjadi “authority in organization”, sebagaimana ditulis oleh Robert V. Presthus yang mendasarkan pada empat hal: technical expertise, formal role, 40
28
tersebut menjelma sebagai otoritas karismatik yang bisa menjaga loyalitas
anggotanya
untuk
terus
dapat
berpartisipasi
mengembangkan kedermawanan yang sudah terlembaga menjadi lembaga-lembaga pelayanan sosial tersebut. Meskipun sebelumnya Kawedanan Pengulon juga mampu membangun
otoritas
karismatik
dengan
ikatan
feodalistik,
Muhammadiyah, Serikat Islam, Aisyiyah dan organisasi-organisasi Islam lainnya di Yogyakarta mampu membangun otoritas karismatik baru yang lebih rasional yang berimbas kepada loyalitas yang ditunjukkan oleh anggota mereka dalam mendukung organisasi dengan memberikan sokongan, derma ataupun wakaf. Otoritas karismatik
inilah
yang
kemudian
menggerakkan
proses
rapport, and a generalized deference to authority. Lihat: Robert V. Presthus, “Authority in Organizations”, Public Administration Review, Vol. 20, No. 2 (Spring, 1960), pp. 86-91, via Jstor.org. Pendapat Presthus dikritik oleh Golembiewski yang berpendapat bahwa empat hal tersebut belum cukup karena perlu melihat juga proses hadirnya authority tersebut, yang menurutnya ada empat: 1) prescribed or attributed authority (otoritas yang ditentukan) , 2) achieved authority (otoritas yang didapatkan), 3) perceived authority (otoritas yang dirasakan), dan 4) desired and undesired authority (otoritas yang diinginkan/tidak diinginkan). Robert T. Golembiewski, “Some Notes on Presthus: „Authority in Organizations‟", Public Administration Review, Vol. 21, No. 3 (Summer, 1961), pp. 171-175, via Jstor.org. Muhammadiyah dan Serikat Islam menurut saya terkategorikan memiliki achieved authority (otoritas yang didapatkan).
29
pelembagaan.41 Institusi-institusi tersebut
merupakan
penerima
dan
pengelola
organisasi-organisasi
Islam
kedermawanan yang
tumbuh
dinamis pada kurun 1912-1931 di Yogyakarta dan menjelma menjadi kekuatan
baru
Muhammadiyah,
dalam Serikat
perubahan Islam
sosial-ekonomi
dan
masyarakat.
organisasi-organisasi
kecil
lainnya dalam aktivitas wakaf dan kedermawanan ini memainkan gerakan
sosial
baru
(new social
movement)
yang
belum
ada
sebelumnya. Jika konsep Karl Marx yang menjabarkan bahwa gerakan sosial sarat akan pertentangan kepentingan kelas yang merebutkan proses produksi dan hal tersebut disebut oleh Buechler sebagai old social movement, gerakan sosial baru lebih mendasarkan pada aksi logis (logics action) yang mendasarkan pada kondisi politik, ideologi, budaya sebagai basis gerakan bersama. 42 Hal inilah yang
Robinson berpendapat bahwa proses pelembagaan atau institusionalisasi sering kali harus bersaing dengan ketidakstabilan dan kontradiksi yang berasal dari dialektika karisma yang menggabungkan kepemimpinan mahakuasa dengan keterlibatan populer dalam tujuan teleologis. Lihat: Jean C. Robinson, “Institutionalizing Charisma: Leadership, Faith & Rationality in Three Societies”, Polity, Vol. 18, No. 2 (Winter, 1985), pp. 181, via Jstor.org. 41
Steven M. Buechler, “New Social Movement Theories”, The Sociological Quarterly, Vol. 36, No. 3 (Summer, 1995), pp. 442, via Jstor.org. 42
30
dilakukan
oleh
Serikat
Islam,
Muhammadiyah,
Aisyiyah
dan
organisasi Islam lainnya di Yogyakarta 1920-an-1930-an. Di antara gerakan Islam tersebut, Muhammadiyah cukup menonjol dengan aktivitas pelayanan sosial dan pendidikannya. Menurut catatan Ricklefs, sampai 1925, Muhammadiyah telah memiliki 55 sekolah, 4000 murid,
juga balai pengobatan di
Yogyakarta dan Surabaya, sebuah panti asuhan dan sebuah rumah miskin 43 . Kuantitas sekolah, balai pengobatan ditambah lembaga pelayanan sosial seperti rumah miskin dan rumah yatim yang dimiliki Muhammadiyah juga guru dan murid yang berada di dalam institusi tersebut jika dilihat secara politik merupakan keberhasilan Muhammadiyah dalam melakukan proses pelembagaan. Menariknya, proses pelembagaan yang dilakukan Muhammadiyah cukup stabil dikarenakan kuatnya bangunan sistem keorganisasian yang telah dibangunnya. Salah satunya adalah dimilikinya seluruh aset oleh organisasi dan bukan perseorangan pemimpin/pengurus. Hal ini menunjukkan otoritas karisma dalam Muhammadiyah tidak terletak pada perseorangan namun pada sistem keorganisasiannya. Berkembangnya secara signifikan aset-aset kedermawanan MC Riclefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. (Jakarta: Serambi, 2005), hlm 356. 43
31
yang
dikelola
Muhammadiyah
pada
kurun
1920-an-1930-an
kemudian tertransformasikan dalam berbagai pelayanan, misalnya penerbitan, penyiaran agama, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial untuk
anak
pendidikan
yatim mulai
kedermawanan
dan frobel
ini
masyarakat hingga sekaligus
miskin,
kweekschool.
penyelenggaraan 44
Transformasi
menunjukkan
eksistensi
Muhammadiyah pada kurun 1912-1931 yang menjadi kekuatan yang diperhitungkan
oleh
Pemerintah
Kolonial
Belanda.
45
Berkat
kedermawanan yang dikelolanya, Muhammadiyah bersama Sarekat Islam menjadi dari masyarakat sipil yang punya peran penting dalam perubahan sosial-ekonomi pada kurun 1912-1931 sekaligus berhasil merespon gagalnya negara kolonial mendistribusikan kesejahteraan Konsep “Transformasi Kedermawanan” juga digunakan oleh Conrad Edick Wrigh dalam karyanya The Transformation of Charity in Postrevolutionary New England (Boston: Northeastern University Press. 1992) yang mengisahkan aktivitas kedermawanan yang digalang masyarakat menjelang revolusi, pada saat konflik hingga pasca revolusi di New England yang menunjukkan peran citizenship masyarakat New England di awal terbentuknya sistem republic di sana. Lihat: Eric Nellis, “review”, The New England Quarterly, Vol. 66, No. 1 (Mar., 1993), pp. 134-137, via Jstor.org. 44
Salah satu konsep transformasi kedermawanan dalam penelitian ini mendekati konsep yang ditulis oleh Wendy L. Schultz yakni transformasi kedermawanan dari jangka pendek menjadi jangka panjang. Lihat: Wendy L. Schultz, “Philantropy Transformed: Emerging Change and Change in Charities”, Journal of Futures Studies, February 2009, 13(3): 1 – 18. 45
32
kepada masyarakat bumiputera secara luas.46
F. Metode dan Sumber
Penelitian ini termasuk dalam kajian sejarah sosial yang menggunakan pendekatan sosial-ekonomi dan metode penelitian
Menurut Azyumardi Azra, terminologi masyarakat sipil (civil society) diambil dari konsep masyarakat madaniyyah (madani) yang dinisbatkan dari masyarakat muslim Madinah di masa Rasulullah. Lihat: Azyumardi Azra, “Civil Society and Democratization in Indonesia – Transition During Presidents Habibie, Wahid, Megawati, and Beyond”, dalam Toward Good Society: Civil Society Actors, the State, the Business Class in Southeast Asia- Facilitators of or Impediments to a Strong, Democratic, and Fair Society?, (Berlin: Heinrich Boll Foundation, 2005), hlm. 154. Ulil Abshar Abdalah menambahkan, terminologi masyarakat sipil berkembang di masa Orde Baru yakni organisasi sosial kemasyarakatan orang yang mengambil peran-peran di luar negara, salah satunya aktivitas filantropi yang dilakukan oleh Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama. Lihat: Ulil Abshar Abdalah, “Variation on Civil Society in Indonesia”, dalam Toward Good Society: Civil Society Actors, the State, the Business Class in Southeast AsiaFacilitators of or Impediments to a Strong, Democratic, and Fair Society?, (Berlin: Heinrich Boll Foundation, 2005), hlm. 69. Jika merujuk konsep Ulil Abshar Abdallah tersebut dan ditarik hingga masa kolonial, maka Muhammadiyah, Serikat Islam dan organisasi lain yang notabene berada di luar negara kolonial yang melakukan aktivitas wakaf dan kedermawanan juga bisa disebut masyarakat sipil yang melakukan aktivitas-aktivitas di luar state (negara kolonial). 46
33
sejarah 47 Menurut Kuntowijoyo, penelitian sejarah memiliki lima tahap, yakni (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verifikasi
berupa
kritik
sejarah
dan
keabsahan
sumber,
(4)
intepretasi, analisis dan sistesis, dan (5) penulisan. 48 Topik terkait kedermawanan
Islam
dipilih
untuk
penelitian
ini.
Menurut
Kuntowijoyo, topik yang dipilih dalam penelitian sejarah seharusnya berdasarkan kedekatan emosional dan intelektual.
49
Sejauh ini,
beberapa aspek dalam penelitian ini cukup dekat secara emosinal dan intelektual dengan penulis. Tema-tema
tentang
kajian
sosial-ekonomi
tentang
kedermawanan dalam Islam belum banyak dikerjakan oleh para peneliti.
Itulah
mengapa
peneliti
tertarik
mengisi
kekosongan
historiografis tentang kajian Islam tertama yang terkait dengan kekuatan masyarakat sipil di periode kolonial ini. Dengan bekal
Terkategorikan sejarah sosial di karenakan mengkaji aspekaspek sosial dari kehidupan sosio-religius masyarakat di Yogyakarta kurun 1912-1931. Lihat: Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm 39 dan Bambang Purwanto. “Dimensi Ekonomi Lokal dalam Sejarah Indonesia”, dalam Sejarah Indonesia Perspektif Lokal dan Global: Persembahan untuk 70 Tahun Prof. Dr. Djoko Suryo, (Yogyakarta: Ombak, 2010), hlm 495. 47
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang, 2005), hlm 90. 48
49
Ibid., hlm 90.
34
beberapa penelitian sebelumnya yang telah dikerjakan terkait dengan kegiatan kedermawanan dan Islam, peneliti mencoba akan meneliti tema kedermawanan ini. Tahapan berikutnya adalah pencarian sumber. Dimulai dari penentuan tema dan kemudian pengumpulan sumber baik primer dan sekunder disertai kritik sumber. Sumber primer didapatkan dari arsip
Hoofdbestuur
Muhammadijah,
berita
resmi
tahunan
Muhammadiyah, Majalah Soeara Muhammadijah serta beberapa koran kolonial yang terbit pada kurun 1912-1931 (De Indische Courant, Soerabaijasch Handelsblad, De Sumatra Post, Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie, Algemeen Handelsblad, dll) yang diakses dari laman kranten.delpher.nl. Selain itu, laporan resmi kolonial seperti Kolonial Verslag, Jaarboek overzicht van Nederlandsch Indie, Dagregister dan Regering Almanaak juga dipakai untuk menyelesaikan penelitian ini. Koleksi koran di Library Centre maupun Perpustakaan Nasional RI juga menambah referensi penelitian ini. Arsip-arsip di Badan Pertanahan Nasional Kota Yogyakarta, Perpustakaan Sonobudoyo dan Widya Pustaka Puro Pakualaman membantu melengkap data penelitian ini. Selain arsip, upaya penggalian lebih dalam mengenai dinamika pergeseran tendensi dan identitas wakaf di Yogyakarta ini dilakukan
35
melalui penggalian sejarah lisan (oral history) dengan wawancara kepada nara sumber baik wakif atau keluarga yang hidup pada kurun
itu
sebatas
memungkinkan.
Wawancara
tersebut
dikembangkan dengan metode snowball dengan menanyakan kepada narasumber yang berhasil diwawancarai narasumber lain yang dia tahu yang sekiranya juga bisa menjelaskan seputar kedermawanan di Yogyakarta pada periode masing-masing. Untuk sumber sekunder berupa buku, tesis, desertasi dan jurnal memanfaatkan fasilitas perpustakaan di Jakarta maupun Yogyakarta. Referensi berupa buku-buku sebagian besar diperoleh dari Unit Perpustakaan Terpadu (UPT) UGM, Hatta Corner UGM, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya, Perpustakaan Jurusan Sejarah UGM, dan Perpustakaan St. Ignatius Kotabaru. Referensi jurnal online dari berbagai portal juga menjadi pengaya pustaka penelitian ini. Selain, beberapa koleksi pribadi penulis juga menjadi sumber sekunder penelitian ini. Tahapan berikutnya adalah intepretasi dan penulisan sesuai metode penulisan tesis.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian
ini
menyajikan
kajian
historis
tentang
36
kedermawanan di Yogyakarta dimulai dari pendahuluan (Bab I) yang mengulas latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan, metode, kerangka konseptual dan pendekatan, tinjauan pustaka dan sistematika
penulisan.
Bagian
berikutnya
(Bab
II)
akan
mendiskripsikan pertumbuhan Kota Yogyakarta, kehidupan sosial ekonomi
bumiputera
muslim
di
Yogyakarta
dan
gerakan
kedermawanan yang telah berkembang hingga 1914. Bagian
selanjutnya
(Bab
III)
mencoba
merekonstruksi
bagaimana dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan politik di Yogyakarta yang mempengaruhi menguatnya aktivitas wakaf dan kedermawanan
pada
kurun
itu.
Dimulai
dari
tumbuhnya
perkebunan, reorganisasi tanah 1917-1925 yang menjadi pintu gerbang privatisasi agraria, lahirnya organisasi-organisasi Islam dan tumbuhnya muslim kaum menenggah baru di Yogyakarta. Bagian selanjutnya (Bab IV) menyajikan bagaimana proses transformasi kedermawanan Islam oleh organisasi-organisasi Islam di Yogyakarta.
Pergeseran
konsep
wakaf
dan
model
aktivitas
kedermawanan serta hadirnya kedermawanan baru dalam bentuk klinik kesehatan, rumah yatim, rumah miskin dan sekolah dibahas dalam bab ini. Mulai diambilnya sebagian peran Kawedanan Pengulon
sebagai
institusi
yang
paling
otoritatif
menyangkut
37
keagamaan di Kasultanan Yogyakarta oleh gerakan-gerakan Islam yang secara tidak langsung mendobrak sitem feodalisme dalam pengelolaan kedermawanan di Yogyakarta sebagai bagian dari tranformasi yang terjadi juga dibahas dalam bab ini. Bab ini menyertakan pembahasan bahwa ada inspirasi dari zending dan missie yang mempengaruhi perkembangan kedermawanan Islam di Yogyakarta pada kurun 1920-an-1930-an. Bab V mengulas Serikat Islam dan Muhammadiyah di sekitar 1920an yang menjelma sebagai otoritas karismatik. Berikutnya adalah
posisi
Hoofdbestuur
Muhammadiyah
bagian
PKO
yang
memerankan masyarakat sipil dan aktivitas „Aisyiyah dalam mengisi ruang-ruang kedermawanan perempuan di Yogyakarta. Bab ini ditutup dengan aktor-aktor di balik aktivitas kedermanan Islam di Yogyakarta yang terdiri dari anggota dan simpatisan organisasi yang mayoritas telah menjalankan haji. Secara umum bab ini mengulas hadirnya lembaga baru yang melembagakan kedermawanan Islam pada kurun tersebut. Sedangkan penutup akan bagian terakhir dari tesis ini (bab VI).