BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan ekosistem laut dangkal tropis yang paling kompleks dan produktif (Odum dan Odum, 1955). Secara alami, terumbu karang merupakan habitat bagi banyak spesies laut untuk melakukan pemijahan, peneluran, pembesaran anak, dan mencari makan (Guntur, 2011: 3). Terumbu karang
juga
berperan
sebagai
gudang
keanekaragaman
hayati
yang
menjadikannya sumber penting bagi berbagai bahan bioaktif yang diperlukan di bidang medis dan farmasi (Nontji, 1999: 20). Strukturnya yang kokoh berfungsi sebagai pelindung pantai dan pemukiman pesisir dari hantaman gelombang, badai dan erosi pantai (Ekologi Laut Tropis, 2007). Ditinjau dari aspek produksi, keberadaan ekosistem terumbu karang memberi manfaat yang besar bagi pemenuhan kebutuhan pangan, bahan baku industri dan menopang mata pencaharian masyarakat pesisir melalui kegiatan perikanan (Cesar, 2003: 1). Sementara itu, ditinjau dari aspek rekreasi dan pariwisata, ekosistem terumbu karang memberi kontribusi yang signifikan bagi kemajuan pembangunan pariwisata khususnya pariwisata bahari (Pemerintah Provinsi Bali, 2011). Terumbu karang memiliki fungsi ekosistem penting yang menyediakan barang dan jasa yang dapat membentuk sumber pendapatan penting bagi penduduk lokal serta memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah dan devisa karena mampu menciptakan daya tarik wisata (Cesar dan Chong, 2004: 14).
1
2
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia terdiri dari 13.466 pulau (National Geographic, 2012) dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, yaitu sekitar 81.791 km (Supriharyono, 2009: 17). Indonesia diakui sebagai pusat keanekaragaman hayati dunia untuk biota-biota laut dan pesisir, di mana salah satunya adalah terumbu karang. Daerah karang di Indonesia berkisar dari 50.000100.000 km (Cesar, 1996: 11). Diperkirakan 75.000 km2 atau seperdelapan dari luas terumbu karang yang ada di dunia hidup di perairan Indonesia (Cesar, 1996: 1). Menurut Pet-Soede et al. (2002) seluruh dari 15 suku karang yang ada dunia juga hidup di perairan Kepulauan Nusantara, dengan total sekitar 80 marga dan 452 jenis yang sudah diidentifikasi sampai saat ini (lihat Dirhamsyah, 2006: 22). Ini membuktikan bahwa Indonesia sebagai salah satu pemilik sumber daya terumbu karang terkaya di dunia. Namun sayangnya, pengelolaan yang kurang bijaksana telah menyebabkan banyaknya terumbu karang di Indonesia mengalami kerusakan hingga pada kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan data tahun 2011, dihimpun dari 1.076 stasiun pengamatan oleh Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan hanya 5,58 persen terumbu karang dalam kondisi sangat baik dan 26,95 persen baik. Sisanya sebanyak 36,90 persen berkondisi cukup dan 30,76 persen kurang baik. Kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Zainal Arifin, mengatakan bahwa, kerusakan terumbu karang di Indonesia sebagian besar diakibatkan oleh para nelayan yang masih menggunakan teknik-teknik penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, seperti bubu, lampara dasar, kelong, gillnet, racun, dan bom (Vivanews, 1 November 2012).
3
Sebagai salah satu daerah tujuan wisata terkemuka di Indonesia, Bali memiliki kawasan pariwisata maupun Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) yang sebagian besar terletak di wilayah pesisir. Wilayah pesisir Provinsi Bali yang meliputi Pulau Bali dan pulau-pulau kecil merupakan salah satu wilayah penyebaran terumbu karang di dunia, dan sekaligus menjadi bagian dari pusat keanegakaraman hayati terumbu karang dunia. Sebagaimana diketahui, terumbu karang wilayah Bali merupakan bagian paling barat dari The Coral Triangle (The Coral Triangle and Marine Biodiversity).
Sumber: The Coral Triangle Initiative 2009
Gambar 1.1 The Coral Triangle Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali, luas terumbu karang yang telah teridentifikasi dan dipetakan di wilayah pesisir Bali tahun 2011 mencapai 7.765 hektare. Terumbu karang tersebut menyebar di Kabupaten Buleleng, Karangasem, Klungkung, Badung, Gianyar, Kota Denpasar, dan Kabupaten Jembrana. Kabupaten Tabanan tidak memiliki
4
sebaran terumbu karang karena wilayah pesisirnya merupakan muara sungaisungai besar, sehingga tidak sesuai dengan habitat terumbu karang, sedangkan pada Kabupaten Bangli juga tidak ditemukan gugusan terumbu karang karena Kabupaten Bangli tidak memiliki wilayah pesisir. Tabel 1.1 Sebaran Terumbu Karang di Wilayah Pesisir Provinsi Bali No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kabupaten/Kota/Kawasan Kabupaten Buleleng Kabupaten Klungkung Kabupaten Badung Kabupaten Jembrana Kabupaten Karangasem Kota Denpasar Kabupaten Gianyar Total
Luas (Ha) 3.054 1.419 1.328 868 720,4 300,6 75 7.765
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali 2011.
Dari tabel di atas, dapat kita lihat bahwa Kabupaten Buleleng merupakan kabupaten yang memiliki luasan terumbu karang yang paling dominan di Bali. Dengan luas 3.054 Ha, tentunya Kabupaten Buleleng memiliki potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang cukup besar. Hanya saja hingga saat ini pemanfaatan sumber daya tersebut kurang diperhatikan kelestariannya, sehingga berakibat pada menurunnya kualitas serta keanekaragaman hayati yang dimiliki. Dari segi status kondisinya, dapat dilihat bahwa ekosistem terumbu karang di Kabupaten Buleleng mengalami degradasi yang paling buruk di antara wilayah lainnya.
5
Sumber: Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Bali 2011.
Gambar 1.2 Peta Kondisi Terumbu Karang Provinsi Bali Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa titik-titik merah dan kuning paling banyak tersebar di Kabupaten Buleleng. Titik-titik tersebut menunjukkan bahwa terumbu karang yang tersebar di wilayah pesisir Kabupaten Buleleng lebih banyak didominasi dengan status kondisi yang sedang bahkan buruk. Hal ini diakibatkan dari dominasi tingginya aktivitas destructive fishing, khususnya penangkapan ikan (hias) dengan menggunakan bahan peracun potasium sianida (Pemerintah Provinsi Bali, 2011). Aktivitas tersebut umumnya dilakukan oleh nelayan yang berasal dari luar Bali karena sumber daya perikanan dan kelautan yang ada di daerah asal mereka sudah sangat sulit ditemukan. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk menanggulangi keadaan tersebut. Salah satu bentuk upaya yang dapat dilakukan adalah dengan membentuk Kawasan Konservasi Perairan
6
(KKP). Untuk itu pada tahun 2009, Bupati Buleleng menetapkan Peraturan Bupati Buleleng Nomor: 32 Tahun 2009 tentang Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Buleleng, di mana salah satu bagian dalam kebijakan khusus pada kebijakan pembangunan wilayah pesisirnya menyatakan, “melakukan upaya konservasi demi menjamin pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya wilayah pesisir secara berkelanjutan”. Oleh karena kebijakan untuk melakukan upaya konservasi di Kabupaten Buleleng masih dalam bentuk perencanaan, maka hingga saat ini kawasan untuk pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya pesisir belum dapat disebut sebagai kawasan konservasi, namun masih disebut dengan istilah pencadangan kawasan konservasi. PP No.60 Pasal 8 ayat 3 menyebutkan bahwa ekonomi merupakan salah satu kriteria minimal dalam pemilihan lokasi KKP. Mengacu pada peraturan tersebut dan berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan maka perlu diadakan sebuah penelitian mengenai nilai ekonomi dari ekosistem terumbu karang yang terletak di pencadangan kawasan konservasi di Kabupaten Buleleng. 1.1.1 Rumusan masalah Pulau Bali adalah sebuah pulau kecil yang luas wilayahnya 5.636,66 km2 (BPS Provinsi Bali, 2012), tidak memiliki hasil tambang dan lahan pertanian yang terbatas, namun Bali memiliki keindahan alam dan budaya yang sangat mempesona, yang telah dikenal, dikagumi oleh dunia serta banyak pula dikunjungi wisatawan (BTDC, 2013). Di tahun 2011, sejumlah kekhawatiran muncul akibat memburuknya ekonomi negara-negara kontributor utama kepariwisataan Bali. Namun dari data yang diperoleh, sampai dengan Desember
7
2011, kunjungan wisatawan terutama wisatawan mancanegara ke Bali ternyata meningkat sebesar 9,73 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya (BPS Provinsi Bali, 2012), sehingga dapat dikatakan bahwa kekhawatiran tersebut tidak terbukti. Buleleng merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Bali yang terletak di belahan utara Pulau Bali. Kabupaten ini memiliki panjang pantai 157,05 km (BPS Kabupaten Buleleng, 2012), sehingga bila dikelola secara optimal maka akan menghasilkan potensi yang besar dalam memberikan kontribusi tidak hanya bagi penduduk di sekitarnya namun juga bagi pariwisata di Bali secara keseluruhan. Beberapa desa yang terdapat di Kabupaten Buleleng merupakan desa dengan tujuan wisata utamanya adalah untuk menikmati keindahan bawah laut. Contohnya adalah Desa Kalibukbuk yang terdapat di Kecamatan Buleleng dan Desa Pemuteran yang terdapat di Kecamatan Gerokgak. Kedua desa ini juga termasuk dalam pencadangan kawasan konservasi karena ekosistem terumbu karang yang dimilikinya. Kembali pada kekhawatiran yang terjadi di tahun 2011, ternyata hal tersebut juga tidak terbukti untuk Desa Kalibukbuk dan Desa Pemuteran. Untuk Desa Pemuteran jumlah kunjungan wisatawan baik domestik dan mancanegara tetap mengalami peningkatan walaupun hanya 1 persen, sedangkan untuk Desa Kalibukbuk mengalami peningkatan sebanyak 13 persen (BPS Kabupaten Buleleng, 2010 dan 2011). Dari rumusan masalah di atas, dapat disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut.
8
1. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi jumlah kunjungan ke daerah pencadangan kawasan konservasi ekosistem terumbu karang di Kabupaten Buleleng? 2. Berapakah nilai ekonomi ekosistem terumbu karang dengan menggunakan konsep Total Economic Valuation (TEV)? 1.2 Keaslian Penelitian Penelitian-penelitian yang terkait dengan penilaian ekonomi ekosistem terumbu karang yang pernah dilakukan dapat dilihat pada tabel 1.2. Tabel 1.2 Penelitian Terkait Penilaian Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang No.
Peneliti (Tahun)
Metoda
Hasil
1.
Cesar (1996)
Fishery, Tourism, Coastal Protection, Poison Fishery, Blast Fishing, Coral Mining, Sedimentation and Pollution, Overfishing.
Penelitian ini membahas mengenai fungsi penting terumbu karang, ancaman-ancaman yang terjadi, serta pengelolaan yang akan diterapkan untuk menghadapi ancaman-ancaman yang terjadi pada ekosistem terumbu karang di Indonesia.
2.
Nam dan Son (2001)
Travel Cost Method, Contingent Valuation Method.
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi nilai rekreasi dari karang yang mengelilingi Pulau Hon Mun. Penelitian ini menggunakan metoda travel cost dan metoda contingent valuation untuk mengukur dan menganalisis pengaruh nilai rekreasi terhadap pulau tersebut. Hasil penelitian menyatakan bahwa dengan menggunakan metoda travel cost, estimasi nilai rekreasi dari Pulau Hon Mun adalah sebesar VND259,8 milar per tahun, sedangkan dengan CVM, Willingness to pay untuk pendanaan proyek Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Pulau Hon Mun diperkirakan sebesar VND6 milyar per tahun.
9
3.
Seenprachawong (2001)
Travel Cost Method, Contingent Valuation Method.
Fokus penelitian ini adalah penilaian terumbu karang dan bagaimana informasi ini digunakan untuk memperbaiki perencanaan dan pengelolaan terumbu karang di Thailand. Penelitian ini menggunakan metoda travel cost dan contingent valution untuk menilai terumbu karang di Laut Andaman. Hasil penelitian menyatakan bahwa nilai terumbu karang di Laut Andaman dengan menggunakan metoda travel cost adalah sebesar 8,216.4 juta Baht (US$205.41 juta) per tahun, sedangkan dengan menggunakan CVM diketahui nilai per tahunnya adalah sebesar 19,895 juta Baht (US$497.38 juta).
4.
Cesar dan Chong (2004)
Studi literatur.
Memberikan gambaran valuasi ekonomi (total economic value, cost benefit analysis) dan teknik-teknik pendukung (contingent valuation, travel cost, effect on production, replacement cost, damage cost, dan lain-lain) yang diaplikasikan untuk ekosistem terumbu karang.
5.
Cesar dan Van Beukering (2004)
Recreational value, Amenity Value, Biodiversity Value, Fishery Value.
Berdasarkan recreational value, nilai terumbu karang yang diperoleh adalah sebesar $304juta per tahun. Amenity Value yang diperoleh sebesar $40 juta per tahun per tahun. Biodiversity Value sebesar $17 juta. Fishery value per tahun adalah sebesar $2,5 juta. Nilai total manfaat ekonomi dari terumbu karang di Hawai‘i adalah sebesar $363,6 juta per tahun.
6.
Ahmed, Chong, dan Balasubramanian (2005)
Studi literatur.
Menggambarkan bagaimana berbagai metoda untuk nilai dan menentukan kebijakan pengelolaan terumbu karang yang digunakan, dengan mengacu pada sejumlah makalah.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian sebelumnya, secara umum prinsip yang digunakan untuk mengestimasi nilai ekonomi ekosistem terumbu karang hampir memiliki kesamaan. Penelitian ini menggunakan penelitian-penelitian
10
sebelumnya sebagai acuan untuk menerapkan metode penilaian lingkungan yang sesuai untuk digunakan dalam penilaian ekosistem terumbu karang yang terletak pada pencadangan kawasan konservasi di Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu bahwa penelitian ini berfokus pada penilaian ekosistem terumbu karang yang terletak pada pencadangan kawasan konservasi. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1
Tujuan penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, maka
tujuan penelitian ini antara lain. 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah kunjungan ke daerah pencadangan kawasan konservasi ekosistem terumbu karang di Kabupaten Buleleng. 2. Mengestimasi nilai ekonomi ekosistem terumbu karang yang terletak pada pencadangan kawasan konservasi di Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali berdasarkan konsep Total Economic Valuation (TEV). 1.3.2
Manfaat penelitian Manfaat yang diharapkan dari adanya penelitian ini terdiri dari manfaat
akademik dan non-akademik, yaitu. 1.
Manfaat akademik yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai informasi bagi kalangan peneliti, akademisi dan mahasiswa yang menaruh perhatian terhadap aspek ekonomi ekosistem terumbu karang dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Melalui penelitian ini
11
diharapkan munculnya minat dari kalangan akademisi untuk membuat penelitian lebih lanjut mengenai ekosistem terumbu karang. 2.
Manfaat non-akademik yang diharapkan adalah penelitian ini memberikan gambaran terhadap pembuat kebijakan mengenai estimasi nilai ekonomi yang terdapat pada pencadangan kawasan konservasi, sehingga dapat membantu proses penetapan KKP dan juga sebagai masukan bagi strategi kebijakan dalam
pengelolaan
daerah
pencadangan
kawasan
konservasi.
Bagi
masyarakat luas, diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai pentingnya keberadaan terumbu karang melalui nilai ekonomi yang diestimasi berdasarkan konsep Total Economic Valuation (TEV), dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya terumbu karang diharapkan juga akan mendorong besarnya kepedulian dan upaya bersama untuk melestarikan ekosistem terumbu karang. 1.4 Sistematika Penulisan Sistematika dalam penulisan ini terdiri dari empat (4) bab sebagai berikut: Bab I Pendahuluan, pada bab I hal yang akan dibahas adalah mengenai latar belakang diadakannya penelitian ini, perumusan masalah, tujuan penelitian dan maanfaat penelitian yang dilakukan. Bab II Tinjauan Pustaka dan Alat Analisis, bab II dalam penelitian akan mengemukakan studi literatur sebagai dasar atas teori yang akan dikemukakan sebagai hipotesis yang akan diuji dalam penelitian, dan membahas alat analisis tentang bagaimana penelitian ini dilakukan. Bab III Analisis dan Pembahasan, dalam Bab III, hal yang akan dilakukan adalah analisis dari hipotesis yang diteliti mengenai uraian cara penelitian, pengujian hipotesis
12
dan hasil dari analisis yang dilakukan. Bab IV Kesimpulan dan Saran, kesimpulan dari hasil analisis yang telah dilakukan dimuat dalam Bab IV, kemudian dari hasil tersebut akan ada langkah yang harus dilakukan yang terangkum dalam saran penelitian.