BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus ditujukan untuk menjaga tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomi dan bermartabat. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan penyandang cacat untuk tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial ekonomi (Depkes, 2009). Pada Keputusan Bersama Menteri No. 1067/Menkes/SKB/VII/2003 menyebutkan bahwa Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) sebagai salah satu usaha kesehatan di sekolah yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan prestasi belajar peserta didik melalui peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sehingga memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan yang harmonis dan optimal dalam rangka pembentukan manusia Indonesia seutuhnya dan berkualitas. UKS diselenggarakan melalui sekolah formal dan informal atau melalui lembaga pendidikan lain. Oleh karena itu pelayanan kesehatan terhadap anak penyandang cacat yang ada di Sekolah Luar Biasa (SLB) harus dilaksanakan sama dan setara seperti yang diberikan pada anak lain (Depkes, 2010). UKS adalah segala usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kesehatan peserta didik pada setiap jalur, jenis, dan jenjang pendidikan mulai dari TK/ RA sampai SMA/ SMK/ MA (Kemendikbud, 2012). UKS merupakan salah satu usaha kesehatan pokok yang dilaksanakan oleh puskesmas dan juga usaha kesehatan masyarakat yang dijalankan
1
di sekolah-sekolah dengan anak didik beserta lingkungan sekolah sebagai sasaran utama. UKS berfungsi sebagai lembaga penerangan agar anak tahu bagaimana cara menjaga kebersihan diri, menggosok gigi yang benar, mengobati luka, merawat kuku, dan memperoleh pendidikan seks yang sehat (Effendi, 2009). Dalam Kepmenkes RI Nomor 279/MENKES/SK/IV/2006 tentang pedoman penyelenggaraan upaya
keperawatan kesehatan masyarakat
di
puskesmas
menyatakan bahwa Keperawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) adalah suatu bidang dalam keperawatan kesehatan yang merupakan perpaduan antara keperawatan dan kesehatan masyarakat dengan dukungan aktif dari masyarakat. Perkesmas mengutamakan pelayanan promotif, preventif secara berkesinambungan tanpa mengabaikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif secara menyeluruh dan terpadu. Hal ini ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat sebagai suatu kesatuan yang utuh, melalui proses keperawatan untuk meningkatkan fungsi kehidupan manusia secara optimal dan mandiri dalam upaya kesehatannya. Perkesmas sering disebut Public Health Nursing (PHN) namun akhir-akhir ini disebut Community Health Nursing (CHN). Pelayanan perkesmas dilaksanakan di sekolah, dimana perawat sekolah dapat melakukan perawatan sesaat (day care) di berbagai institusi pendidikan. Perawat sekolah melaksanakan program screening kesehatan, mempertahankan kesehatan, dan pendidikan kesehatan (Menkes RI, 2006). Pendidikan kesehatan pada Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) dilaksanakan sesuai dengan kurikulum, materi, dan metode pengajaran. Hal ini disesuaikan dengan kebutuhan, tingkat kemampuan peserta didik, tingkat
2
kemampuan guru, situasi atau kondisi sekolah dan peserta didik, serta sarana atau fasilitas pendidikan yang tersedia (Kemendikbud, 2012). Ruang lingkup UKS di SLB sama seperti di sekolah-sekolah umum, hal ini tercermin dalam Trias UKS yang meliputi: 1) Pendidikan Kesehatan; 2) Pelayanan Kesehatan; dan 3) Pembinaan Lingkungan Sekolah Sehat (Depkes, 2010). Pelaksanaan Trias UKS diperlukan sistem pendukung yang meliputi ketenagaan, pendanaan, sarana prasarana, serta penelitian dan pengembangan. Tim pelaksana UKS adalah kepala sekolah, guru, komite sekolah, organisasi siswa, puskesmas, orang tua, serta unsur lain yang relevan. Pembiayaan dan pengembangan UKS berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi dan kabupaten/kota serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah serta sumber lain yang sah dan tidak mengikat (SKB, 2003). Penelitian dari Tim Pembina (TP) UKS menunjukkan bahwa prinsip hidup sehat dan derajat kesehatan peserta didik belum sesuai dengan yang diharapkan (TP UKS, 2007). Hal ini terlihat dari masalah kesehatan yang menimpa peserta didik, meliputi sanitasi dasar berupa jamban dan air bersih belum memenuhi syarat, meningkatnya pecandu narkoba, meningkatnya HIV/AIDS melalui hubungan seksual, munculnya penyakit diare, cacingan, caries gigi karena PHBS yang belum maksimal (Kemendikbud, 2012). Sasaran pelaksanaan UKS ditinjau dari cakupan sekolah, peserta didik, tenaga kependidikan, dan sarana prasarana juga belum memadai. Hal ini didukung dengan masalah sumber daya manusia berkaitan dengan kurangnya guru yang mengajar pendidikan kesehatan atau guru pembina yang khusus menangani UKS dan kader kesehatan sekolah yang belum dilatih mengenai
3
bidang kesehatan. Masih terbatasnya sarana prasarana, seperti UKS kit, ruang UKS, media penyuluhan seperti poster, leaflet, lembar balik, serta buku-buku pedoman pelaksanaan dan pendidikan kesehatan dan penyakit. Sekretariat TP UKS belum berfungsi optimal dalam melaksanakan pembinaan dan pengembangan sehingga kerja sama lintas program dan lintas sektoral, monitoring dan evaluasi mengalami hambatan. Hal ini nampak dari pencatatan dan pelaporan kegiatan oleh setiap TP UKS yang belum terpenuhi. Pelaksanaan program UKS masih banyak tantangan sehingga pembinaan harus ditingkatkan (TP UKS Pusat, 2007). Keadaan sosial, ekonomi, dan lingkungan individu dan masyarakat dimana mereka tinggal mempengaruhi perilaku hidup sehat. Peningkatan pengetahuan kesehatan dapat membantu individu mengatasi kesehatan yang lebih baik karena dapat membangun keterampilan pribadi, kognitif dan sosial yang menentukan kemampuan individu untuk mendapatkan akses, dan menggunakan informasi untuk menjaga kesehatan yang baik. Sekolah sangat penting dalam membantu siswa untuk mencapai kesehatan. Konsep promosi kesehatan sekolah merupakan suatu pendekatan yang efektif untuk meningkatkan kesehatan siswa di sekolah. Pendekatan secara holistik oleh sekolah, pendidikan kesehatan yang dimasukkan dalam kurikulum, serta dukungan lingkungan sekolah merupakan langkah yang perlu dilakukan (Lee et al, 2007). Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kegiatan UKS di sekolah. Kepala sekolah yang mempunyai perhatian dan kepedulian serta bisa menggerakkan bawahan dalam hal ini adalah guru, orang tua atau wali siswa, dan seluruh civitas akan lebih baik dalam pengembangan program UKS (Nuetbeam, 2006). Sekolah merupakan
4
lingkungan terdekat yang mendukung atau menghambat siswa untuk terlibat dalam perilaku sehat, begitu pun keluarga dan lingkungan sekitar. Masyarakat yang lebih besar merupakan sumber daya bagi individu, pendidik kesehatan, sekolah dan sistem sekolah (Lorhmann, 2009). Dalam studi di Selandia Baru, sekolah enggan untuk melarang pemilihan makanan di kantin sekolah. Orang tua menyalahkan pihak sekolah atas pilihan makanan anak-anak mereka. Orang tua berpikir masalah pilihan makanan menjadi tanggung jawab sekolah, termasuk pelarangan makanan tertentu. Hal ini juga penting
bahwa
sektor
pendidikan
dan
kesehatan
bekerja
sama
untuk
mengembangkan strategi yang konsisten dengan kebutuhan masing-masing komunitas sekolah (Cushman, 2008). Kolaborasi intersektoral dapat memfasilitasi kelengkapan program dan berpotensi untuk kepentingan kesehatan yang signifikan. Saat ini tampak bahwa setiap sektor memiliki pemahaman yang buruk tentang cara kerja sektor lain dan apa yang dapat mereka kontribusikan. Perlu ada kerja sama dari sektor kesehatan dan pendidikan di tingkat pemerintah untuk melaksanakan gerakan usaha promosi kesehatan sekolah (Grant, 2005 cit Cushman, 2008). American Association on Intellectual and Developmental Disabilities (AAIDD) (2010) mendefinisikan disabilitas intelektual sebagai keterbatasan pada fungsi intelektual dan perilaku adaptif. Perilaku adaptif mengkaji mengenai keterampilan konseptual (bahasa serta konsep tentang uang dan waktu), keterampilan sosial (keterampilan interpersonal dan pemecahan masalah sosial), dan keterampilan praktik (aktivitas hidup sehari-hari dan okupasi). WHO memperkirakan kurang lebih 3 % populasi di dunia merupakan individu dengan disabilitas intelektual (WHO, 2001). Namun menurut Maulik et al (2011) populasi
5
anak atau remaja dengan disabilitas intelektual menunjukkan prevalensi yang paling tinggi yakni 18 dari 1000 populasi. Keterlambatan perkembangan menjadikan penderita disabilitas intelektual tidak bisa menjaga kesehatan diri, sehingga kemungkinan besar terjadi masalah kesehatan gigi dan mulut. Semakin meningkatnya usia, meningkat pula masalah kesehatan gigi dan mulut pada individu dengan disabilitas intelektual, sehingga kebutuhan akan perawatan kesehatan gigi dan mulut semakin meningkat sejalan dengan usianya (Mawardiyanti, 2012). Namun begitu, anak dengan disabilitas intelektual juga mempunyai perjalanan penyakit yang sama dengan anak normal. Akan tetapi diet, pola makan, pengobatan yang dilakukan, dan keterbatasan fisik berperan besar atas terjadinya keparahan suatu penyakit (Kote, 2005). Oleh karenanya anak dengan disabilitas intelektual memerlukan jenis pelayanan kesehatan yang lebih dari yang dibutuhkan oleh anak secara umum. Menurut data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik (2003) jumlah penyandang cacat di Indonesia sebesar 0,7% (1.480.000 jiwa) dari jumlah penduduk sebesar 211.428.572. Dari jumlah tersebut 24,45% (361.860 jiwa) diantaranya adalah anak-anak usia 0-18 tahun. Anak penyandang cacat dapat digolongkan menjadi
beberapa
kelompok antara
lain
tunanetra, tunarungu/tunawicara,
tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, Attention Deficit and Hyperactivity Disorder (ADHD), autisme, dan tunaganda, yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda dan memerlukan penanganan dan pelayanan yang berbeda pula. SLB merupakan sekolah khusus yang diperuntukkan bagi anak penyandang cacat yang dapat dikelompokkan menjadi SLB-A yakni sekolah tunanetra (anak yang mengalami hambatan penglihatan), SLB-B yakni sekolah tunarungu dan wicara
6
(anak yang mengalami hambatan pendengaran dan bicara), SLB-C yakni sekolah tunagrahita (anak yang mengalami disabilitas intelektual), SLB-D yakni sekolah tunadaksa (anak yang mengalami cacat tubuh), SLB-E yakni sekolah tunalaras (anak yang mengalami penyimpangan emosi dan sosial), SLB-F yakni sekolah khusus untuk autis, dan SLB-G yakni sekolah tunaganda (Anak yang mengalami lebih dari satu hambatan). Data siswa penyandang cacat yang terdaftar di SLB menurut Kemendikbud (2009) adalah: 1) SLB tunanetra: 1.105 orang; 2) SLB tunarungu/tunawicara: 5.610 orang; 3) SLB tunagrahita: 4.253 orang; 4) SLB tunadaksa: 229 orang; 5) SLB tunalaras: 487 orang 6) SLB Autis: 638 orang; 7) SLB Tunaganda: 171 orang; 8) SLB Campuran: 58.008 orang, dengan total: 70.501 orang. Survei cepat Kemenkes RI (2010) di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur menunjukkan hasil bahwa tidak ada pemeriksaan kesehatan secara rutin di sekolah; jika siswa sakit seperti pusing-pusing, influenza, panas, batuk pilek pada umumnya mereka berobat ke dokter swasta, puskesmas atau beli obat warung. Pelayanan rehabilitasi medik belum sesuai kebutuhan, misalnya untuk alat terapi jalan dan alat bantu dengar. Penyuluhan secara khusus tentang kesehatan yang dilakukan hanya terbatas pada penyuluhan tentang higienis perorangan seperti mencuci tangan pakai sabun dan menggosok gigi. Biaya pemeriksaan IQ yang mahal menyebabkan pemeriksaan hanya berdasarkan evaluasi manual. Kabupaten Bantul merupakan penyumbang terbanyak kedua setelah Kabupaten Sleman dalam hal jumlah SLB. Di Kabupaten Sleman terdapat 29 SLB baik negeri maupun swasta, sedangkan di Kabupaten Bantul terdapat 19 SLB. Dari 19 SLB tersebut 2 diantaranya merupakan SLB Negeri dan 17 lainnya adalah SLB
7
Swasta. Berdasarkan studi pendahuluan pada tanggal 17 September 2014 di SLB Dharma Bhakti, Piyungan, Bantul didapatkan gambaran bahwa: 1) tersedia ruangan khusus untuk pelayanan kesehatan berupa UKS namun ukuran belum ideal, 2) tersedia kotak dan peralatan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) seperti kasa dan betadin, 3) beberapa poster untuk mendukung perilaku hidup bersih dan sehat. Peneliti melihat bahwa tidak tersedia peralatan standar seperti termometer, tensimeter, dan obat-obatan standar yang dikelola dan dikontrol setiap saat. Pemeriksaan dan penyuluhan kesehatan yang hampir tidak pernah dilaksanakan, jadwal imunisasi yang tidak teratur, serta sistem rujukan yang belum jelas. Kerja sama dilakukan dengan Puskesmas melalui program imunisasi, belum ada kerja sama lintas sektoral dengan lembaga lain, belum tersedianya kantin sekolah, serta pemantauan yang belum maksimal terhadap jajanan siswa yang dijual di warung luar sekolah. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah bagaimanakah Pelaksanaan Program Trias Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di SLB C di Bantul ? C. Tujuan 1. Tujuan Umum Untuk mendapatkan gambaran mengenai Pelaksanaan Program Trias Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di SLB C di Bantul.
8
2. Tujuan Khusus a. Mengetahui pelaksanaan program Trias Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di SLB C di Bantul berdasarkan pedoman pelayanan kesehatan oleh Departemen Kesehatan. b. Mengetahui kendala pelaksanaan program Trias Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di SLB C di Bantul. c. Mengetahui faktor-faktor kurikulum, organisasi sekolah dan etos, serta kemitraan sekolah dengan orang tua dan penyedia layanan kesehatan mempengaruhi pelaksanaan program Trias Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di SLB C di Bantul. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat praktis Menambah wawasan dalam pengembangan ilmu pengetahuan tentang ketersediaan pelayanan kesehatan pada siswa SLB C di Bantul. 2. Manfaat teoritis a. Bagi Puskesmas setempat untuk mengevaluasi dan menyusun sistem pengelolaan pelayanan kesehatan di SLB. b. Bagi Dinas Kesehatan terkait untuk mengevaluasi ketersediaan SDM dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan di SLB. c. Bagi peneliti lain, sebagai bahan masukan untuk melaksanakan penelitian serupa dan lanjutan.
9
E. Keaslian Penelitian Tabel 1. Keaslian Penelitian No 1.
Peneliti Budiono et al, 2014
2.
Carmen et al, 2007
3.
Lee et al, 2007
Judul Peran UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) dalam Penyampaian Informasi Kesehatan Reproduksi terhadap Siswa SMP Negeri X di Surabaya Changes in Attitudes, Knowledge and Behavior Associated with Implementing a Comprehensive School Health Program in a Province of China.
Metode Deskriptif observasional
Hasil Pelaksanaan trias UKS dilaksanakan dengan baik.
Persamaan Variabel penelitian, yakni tentang pelaksanaan trias UKS.
Perbedaan Jenis penelitian, sampel, teknik pengumpulan data dengan pemberian kuisioner.
Kualitatif
Pengetahuan, konsep, serta perilaku kesehatan yang baik yakni: meningkatkan aktivitas fisik, kebiasaan hidup bersih, mengurangi atau berhenti merokok, meningkatkan perilaku keselamatan, dan meningkatkan komunikasi orang tua dengan anak.
Variabel penelitian komponen Health Promoting Schools.
The Status of HealthPromoting Schools in Hong Kong and Implications for Further Development Health Promotion International
Kualitatif
Kurangnya kebijakan kesehatan di sekolah, sehingga pelayanan kesehatan sekolah sulit diakses siswa dan staf, serta kurangnya pelatihan staf dalam promosi kesehatan. Keberhasilan Health
Metode penelitian dan proses pengumpulan data.
Sampel penelitian, yakni level SD, SMP, SMA dan sekolah vokasi dengan mempertimbangkan antara daerah/lingkungan kaya dan daerah/ lingkungan miskin secara sosial ekonomi. Sedangkan peneliti mengambil di SLB tanpa memandang lingkungan sosial sekonomi. Tujuan penelitian (evaluasi terhadap framework tentang Health Promoting School (HPS)), penekanan masalah emosional siswa, kebiasaan makan yang tidak sehat, perilaku
10
4.
Lee et al, 2007
Can the Concept of Health Promoting Schools Help to Improve Student’s Health Knowledge and Practices to Combat the Challenge of Communicable Diseases: Case Study in Hong Kong?
Studi cross sectional dengan multistage random sampling.
5.
Rahayu, 2012
Pelaksanaan Program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan Perilaku Hidup Bersih Sehat Siswa Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) di Wilayah Kecamatan Pleret
Kualitatif dengan desain studi kasus
6.
Yudho, 2011
Kemitraan dan Kepemimpinan dalam Implementasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) di Kecamatan Mentawa Baru Ketapang Kabupaten Kotawaringin Timur
Kualitatif dengan rancangan studi kasus
Promoting School tergantung pemahaman guru tentang HPS. Ada hubungan signifikan antara siswa di sekolah HAS (Health School with Award) dan non HPS (Health Promoting Schools) dalam praktik kebersihan pribadi, pengetahuan tentang kesehatan dan kebersihan, serta akses informasi kesehatan. Pelaksanaan program Trias UKS di MIN Jejeran memiliki strata paripurna. PHBS siswa sudah baik dan peran serta masyarakat luar sekolah (puskesmas) mendukung pelaksanaan program UKS. UKS telah dilaksanakan di sebagian sekolah. Pelaksanaan dipengaruhi oleh kebutuhan yang menjadi motivasi, pengalaman dan kepemimpinan kepala sekolah.
berisiko, serta kejadian cedera pada siswa. Variabel yang diteliti, yakni tentang praktik kebersihan diri siswa.
Variabel yang diteliti, desain penelitian, teknik pemilihan sampel, dan teknik pengambilan data.
Metode penelitian dan rancangan penelitian.
Teknik pengambilan sampel membandingkan antara dua kelompok, kelompok sekolahsekolah yang mengadopsi HPS (Health Promoting Schools) dan tidak. Sedangkan peneliti tidak membandingkan antar SLB. Lokasi penelitian di tingkat SD, sedangkan peneliti mengambil di SLB
Variabel yang diteliti (kemitraan dan kepemimpinan), lokasi penelitian luas (TK, SD, SLTP, SLTA), sedangkan peneliti mengambil hanya di SLB
11
12