BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 「(省略)…その字面、その音韻から、私の心が描きだした金閣 は、...(省略)」 ...Kinkaku yang digambarkan oleh perasaanku, dari sisi huruf, dari bunyi pelafalannya,… (Mishima, 1956: 6) Novel Kinkakuji 「 金 閣 寺 」 karya Yukio Mishima (1956) bercerita tentang kekaguman seorang biksu muda terhadap bangunan menara emas dalam kompleks kuil1 Rokuon, yang dikenal dengan nama「金閣」kinkaku. Kemegahan Kinkaku mempesonakan semua mata yang memandangnya hingga menyebabkan kompleks kuil tersebut lebih dikenal dengan Kuil Kinkaku. Namun kekaguman biksu muda itu, yang bernama Mizoguchi, justru muncul jauh sebelum dirinya melihat langsung kuil tersebut. Lebih tepatnya, dimulai sejak nama Kuil Kinkaku terdengar di telinganya, yang membekas di hatinya seperti pada kutipan di awal. Kuil Kinkaku termasuk salah satu kuil kuno umat Buddha yang terletak di Kyoto, Jepang. Kisah dalam novel ini mengangkat kembali insiden pembakaran 1
「寺」tera adalah penyebutan tempat beribadah umat Buddha di Jepang, yang berbeda dengan「神社」jinja atau tempat beribadah umat Shinto (kepercayaan tradisional Jepang). Hasil wawancara dengan Dewi Yana (25 April 2016), menyatakan umat Buddha di Indonesia mengenal tempat puja bakti yaitu dharmasala, cetiya, wihara dan kuil. Dharmasala atau ruang dharma adalah tempat puja bakti dan pembabaran dharma (doktrin atau pokok ajaran), ruang khusus yang terdapat dalam sebuah wihara. Cetiya adalah tempat puja bakti umat Buddha yang lebih kecil serta sederhana berupa dharmasala dan altar, umumnya khusus digunakan oleh keluarga tertentu. Wihara adalah tempat puja bakti yang terdiri dari dharmasala, uposathagara (gedung pesamuan para biksu), kuti (tempat tinggal para biksu), dan perpustakaan. Kuil sendiri merupakan tempat puja bakti yang lebih luas dari wihara, umumnya memiliki taman luas yang ditumbuhi pepohonan. Secara khusus, penamaan wihara dan kuil ini juga bergantung dari keberadaan biksu dan jumlah jemaat (Arya: 2013).
1
2
bangunan menara emas, oleh biksu muda yang tinggal dalam kuil tersebut. Selain nilai historis yang dimiliki kuil ini, secara faktual motif dibalik pembakaran kuil tersebut masih menyimpan banyak tanda tanya. Hal ini yang menyebabkan perhatian besar dari pembaca, baik pembaca di Jepang maupun di luar Jepang untuk membaca dan meneliti karya Mishima ini. Yukio Mishima adalah salah satu sastrawan Jepang yang produktif dan berpengaruh dalam aliran「戦後派文学」sengoha bungaku atau ‘kesusastraan pasca-perang’2. Tercatat dia menghasilkan 35 novel, 25 naskah, 200 cerpen dan delapan volume esai serta tiga kali masuk dalam nominasi Nobel Sastra (Scrader: 1985). Dari sekian banyak karya ini, novel Kinkakuji dianggap sebagai karya puncak kematangan karirnya3, karya Mishima yang agung (Iwamoto, 1988: 219)4 serta paling artistik dan patut dikenang (Varley, 2000: 340). Adapula yang menganggap Kinkakuji termasuk novel Mishima yang sulit dipahami
karena
Mishima masih mengikuti ortografi tradisional, banyak terinspirasi dan menyinggung karya sastra kuno atau nilai-nilai tradisi (Keene, 2003: 59). Terlepas dari pendapat-pendapat ahli sebelumnya, novel Kinkakuji ini mengambil kisah biksu muda dan insiden pembakaran Kuil Kinkaku pada tahun
2
Salah satu aliran yang muncul dengan kecenderungan filsafat eksistensialisme (Aminah, ------: 10), kadang memadukan masalah politik dan seksual dengan sastra, serta menolak tradisi「私小 説」shishosetsu ‘Novel-Aku’. Aliran 「私小説」shishosetsu ‘Novel-Aku’ adalah bentuk karya sastra yang berpusat pada ego-psikologis (Karatani, 1993:96). Umumnya karya sastra dari aliran ini adalah otobiografi penulis, pengungkapan sisi gelap dirinya. Aliran ini 3 Ishihara dan Nosaka dalam Majalah JapanEcho (musim semi, 1996: 76). Perjalanan karir Mishima mulai menurun ketika Mishima lebih banyak menghabiskan waktu dengan membentuk badannya agar tampak lebih atletis. Menurut Ishira, penulis sekaligus sahabat Mishima, karyakarya yang terbit setelah itu tidak lagi menampakkan kejeniusannya sebagai penulis muda berbakat. Bahkan tetralogi terakhirnya, Sea of Fertility, hanya merupakan repetisi tokoh-tokoh dari novel sebelumnya. 4 http://www.jstor.org/stable/40143531
3
1950 sebagai tokoh dan latar narasi. Berbeda dengan novel sebelumnya, seperti 「 仮 面 の 告 白 」 Kamen no Kokuhaku (1948) 5 , yang mengungkap diri dan perilaku seksual Mishima. Meski demikian, pada novel Kinkakuji tetap terasa kehadiran sosok penulis melalui tokoh dalam novel. Dengan kata lain, novel Kinkakuji ini secara bentuk tidak lagi mengikuti Novel-Aku, namun pada isi cerita kehadiran ide-ide penulis sangat terasa. Selain itu, pada karya lainnya Mishima banyak mengangkat hubungan manusia dan manusia. Sedangkan pada teks Kinkakuji lebih pada hubungan manusia dalam hal ini Mizoguchi sebagai tokoh sentral, dengan sebuah bangunan yang bernama Kinkaku. Isu yang dijadikan topik dalam novel Kinkaku-ji oleh Mishima adalah pembakaran kuil. Di satu sisi, Mishima dinilai seorang yang menjaga nilai-nilai nasionalisme dan tradisional kaum samurai. Namun di sisi lain, kuil Kinkaku-ji sebagai simbol keindahan dan kejayaan samurai itu kemudian dibakar. Inilah yang menarik penelitian ini untuk menelusuri lebih jauh posisi Kinkaku dan isu pembakarannya. Berbeda dengan huruf alfabetis, huruf Kanji tidak sekedar melambangkan bunyi tetapi juga memiliki arti atau「表意文字」hyoo i moji (Renariah, 2002)6. Selain melambangkan makna, 「 字 面 」 jizura
7
sebagai impresi (citra) atau
penampilan suatu tulisan, adalah aspek penting dalam membangun visualisasi tanda Kuil Kinkaku pada novel ini. Hal ini dimungkinkan karena setiap Kanji pada dasarnya merupakan penyederhanaan bentuk/gambar dari alam, baik itu 5
Diterjemahkan dalam Bahasa Inggris oleh Meredith Weatherby dengan judul “Confessions of a Mask”. Novel ini melejitkan nama Mishima sebagai penulis berbakat di Jepang dan di luar negeri. 6 http://www.researchgate.net/publication/265078121_Bahasa_Jepang_dan_karakteristiknya 7 impression derived from or apperance of Kanji (WakanDictionary)
4
konkrit maupun abstrak, yang dapat ditelusuri dari mnemonik Kanji tersebut. Di titik ini pulalah, Kanji memainkan peran sebagai tanda visual baik secara ikonis maupun indeksikal. Penggunaan Kanji dalam novel ini lebih banyak apabila dibandingkan dengan novel Yukiguni karya Yasunari Kawabata (Tomatsu, 2006) 8 . Hal ini mengindikasikan penggunaan tanda-tanda visual dalam novel Kinkakuji sengaja digunakan untuk mengarahkan pembaca turut ikut membayangkan, memikirkan dan merasakan “dunia” tokoh utama, yaitu Mizoguchi. Hal ini senada dengan pendapat Yamanouchi (1974: 6-7) 9 yang mengganggap bahwa Mishima dalam novel Kinkakuji hendak menunjukkan konsistensi logis dari tindakan pembakaran kuil tersebut. Penelitian-penelitian pada novel Kinkakuji karya Mishima, kebanyakan lebih berfokus subjek, baik itu pengarang ataupun tokoh narasi. Hal ini dapat mengiring pada argumentum ad-hominem 10 . Kecenderungan ini terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh Triyati (2005), Astuti (2007), Annisa (2010) dan Prameswari yang berfokus pada aspek psikologis tokoh Mizoguchi. Penelitian Starss (1991), Rungka (2005) dan Fadli (2014) lebih berfokus pada pengarang. Kekeliruan yang paling sering terdapat pada penelitian yang berfokus pada persona adalah pengabaian pada hal-hal yang tidak nampak di permukaan namun penting menjadi tidak tergarap secara maksimal.
8
http://espace.library.uq.edu.au/view/UQ:7704 http://www.jstor.org/stable/311983 10 Argumentum ad hominem adalah salah satu bentuk sesat pikir (fallacy) yang membangun argumen dan pembuktiannya hanya berdasar pada karakter-karakter dari pribadi seseorang (Blackburn, 2013: 54). Pada konteks sebuah karya sastra, kekeliruan ini dapat berupa penilaian baik-buruk karya berdasar pribadi pengarang tanpa ada pembuktian kuat berdasarkan karya. 9
5
Beragam pendekatan yang dilakukan pada penelitian di atas pada dasarnya hendak mengurai persoalan yang muncul dari novel Kinkakuji baik dari tokoh itu sendiri maupun motif dari tindakan tokoh membakar Kuil Kinkaku. Penelitian yang berfokus pada kejiwaan tokoh mengasumsikan tokoh dan tindakan pembakaran kuil sebagai sebuah penyimpangan yang disebabkan faktor kejiwaan. Penelitian ini lebih menyederhanakan pokok persoalan yang diangkat teks. Apabila kita membaca teks secara mendalam khususnya alam pikiran tokoh, justru yang didapati argumentasi logis dari tindakan tokoh. Hal yang berbeda ketika kita membaca novel Kappa karya Ryonosuke Akutagawa (1927) yang pada dasarnya menyinggung gejala psikis yang menyimpang, seperti halusinasi tokoh dan histeria. Pada penelitian yang berfokus terhadap karya dan pengarang sendiri pada dasarnya mengasumsikan bahwa novel Kinkakuji merupakan refleksi pandangan atau filosofi hidup Mishima. Pandangan atau filosofi hidup Mishima itu antara lain Nihilistik-Nietzche (Starrs, 1991), anti-westernisasi (Rungka, 2005) dan ultranasionalis (Fadli, 2014). Kekurangan dari penelitian ini adalah analisis terhadap teks tidak terlalu dalam sehingga hubungan antara pandangan hidup dan teks tidak terlalu jelas kaitannya. Ditambah pula, pandangan atau filosofi dari Jepang sendiri yang ada dalam teks tidak dielaborasi, padahal teks ini “eksotis” (Iwamoto, 1988: 219) dengan menyinggung tradisi-tradisi Jepang seperti kouan-Zen11.
11
「公案」kouan atau pertanyaan Zen untuk meditasi; persoalan Zen. Kouan ini dihadirkan dalam bentuk narasi yang berisi enigma, namun bukan untuk dijawab menggunakan akal, tetapi sebagai bahan renungan untuk pencerahan diri (Varley, 2000: 103)
6
Penelitian terkait teks dan wacana sendiri dinilai lebih optimal dalam menyelisik wacana-wacana dari teks, khususnya penelitian yang dilakukan Pollack (1985). Penelitian ini mengasumsikan teks secara otonom memiliki kemampuan memproduksi makna lewat struktur dan bahasa yang digunakannya. Namun penelitian ini belum menyentuh aspek dari Kuil Kinkaku itu sendiri serta tindakan tokoh membakar kuil tersebut, padahal inilah yang menjadi pokok persoalan pada novel Kinkakuji. Penelitian ini sendiri hendak melihat dari perspektif yang berbeda dengan memfokuskan pada Kinkaku. Hal ini dikarenakan penonjolan Kinkaku pada teks novel, dari judul hingga pada narasi teks yang dibangun sangat bergantung pada eksistensi Kinkaku. Narasi dimulai dari kesan mental (citrawi) atas nama Kinkaku, kemudian narasi berakhir dengan musnahnya Kinkaku setelah terbakar habis menjadi abu. Nomen est omen, bila ‘nama adalah tanda’ maka Kinkaku (sebagai nama bangunan) pada teks novel Kinkakuji menjadi tanda penting yang dalam mengurai nalar teks. Dalam hal ini, model representasi Kinkaku sebagai sebuah tanda yang dimunculkan, dibangun lalu dihilangkan dalam narasi teks dapat menunjukkan argumen logis yang dibangun teks sendiri. Bentuk representasi dari tanda Kinkaku tidak dapat dilepaskan dari jizura yang terdapat pada Kanji atau visualisasi Kanji tersebut. Dalam hal ini, Kanji「金 閣時」kinkakuji sebagai suatu simbol atau huruf konvensional, juga memiliki unsur ikonis dan indeksikal terhadap objek yang diacunya. Sebagai tanda yang memiliki aspek visual maka penelitian ini memilih pendekatan semiotika Peirce,
7
khususnya ikonisitas dan indeksikalitas tanda yang berkaitan dengan Kinkaku. Sehingga dari representasi yang ditemukan dapat mengarahkan pada suatu interpretasi dari tanda dan relasinya yang terdapat pada teks novel Kinkakuji karya Mishima.
1.2 Rumusan Masalah Sebagaimana latar belakang yang sudah dipaparkan di atas, masalah yang akan diteliti dalam tesis ini adalah representasi tanda Kuil Kinkaku pada teks novel Kinkakuji. Sehingga dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana ikonisitas Kuil Kinkaku dalam novel Kinkaku-ji karya Yukio Mishima? 2. Bagaimana indeksikalitas Kuil Kinkaku dalam novel Kinkaku-ji karya Yukio Mishima?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Mendeskripsikan relasi tanda Kuil Kinkaku dengan objek yang diacunya berdasarkan aspek kemiripannya. Bentuk representasi tanda ikonis ini akan dilihat berdasarkan kualitas persamaan secara sederhana (citra), analogi (diagram) dan metaforis.
8
b. Mendeskripsikan relasi tanda Kuil Kinkaku dengan objek yang diacunya berdasarkan hubungan eksistensial atau referensialnya. Bentuk representasi indeksikal ini memiliki aspek yang luas karena dapat merujuk objek yang berada di dalam teks (intratekstual), di luar teks (ekstratekstual) dan teks yang lainnya (intertekstual). Impelentasi penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dari segi praktis dan teoritis. Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan konstribusi kepada studi sastra Jepang, khususnya karya sastra yang hadir sebagai bahan reflektif, merekam realitas dan menawarkan solusi alternatif, meminjam istilah Zoest berupa “dunia mungkin”12. Karya sastra semacam ini dapat menjadi pemantik perubahan wacana yang berkembang sehingga memberi dorongan ke dunia yang lebih baik. Secara teoritis,penelitian ini diharapkan mampu menjadi referensi penelitian karya sastra dan Kanji Jepang berbasis semiotika Peirce.
1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian-penelitian terkait novel Kinkakuji karya Yukio Mishima telah banyak dilakukan dengan beragam pendekatan teori. Secara garis besar, penelitian tersebut berputar pada tokoh, wacana teks, pengarang dan nilai budaya yang terkandung dalam novel tersebut. Pembahasan secara khusus terkait Kuil Kinkaku sendiri menjadi minor dalam analisis. Begitu pula terkait pendekatan semiotika, sejauh pengamatan saya, belum ada yang mengaplikasikan teori semiotika Peirce pada novel ini. 12
“Dunia mungkin” adalah dunia yang dibentuk dalam suatu karya, memiliki kemiripan dengan dunia yang kita jalani sehari-hari, namun mengandung impian dan harapan untuk melihat atau bahkan memiliki sebuah dunia yang lebih baik (Zoest, 1990: 34).
9
Pertama, penelitian Stella Stevanni Rungka (2005) berjudul Novel Kinkakuji: Analisis Struktural Genetik mendiskusikan tentang fakta kemanusiaan, subjek kolektif dan pandangan dunia pengarang. Kondisi masyarakat Jepang pada masa Perang Korea dan Perang Dunia Kedua, telah mengalami perkembangan dari sisi pendidikan dan kesetaraan gender, namun secara moral merosot. Mishima dalam hal ini sebagai subjek kolektif, berpandangan sangat menyesalkan mudahnya menerima masyarakat Jepang meniru segala sesuatu yang kebaratbaratan (westernisasi) secara berlebihan. Kedua, Ekspresi Thumos Mishima Yukio dalam Novel Kinkakuji oleh Zaki Ainul Fadli (2014)13. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap pemikiran dan ideologi pengarang yang dikaitkan dengan teks di dalam novel Kinkakuji dengan konteks sosial Jepang pada masa itu. Kesimpulan penelitian adalah kritik Mishima terhadap kondisi sosial masyarakat Jepang setelah kekalahan PD Kedua. Thomus Mishima terhadap pandangan ultranasionalis terekspresi pada tokoh Mizoguchi yang memiliki ketidak bermaknaan hidup lagi setelah hilangnya kekuasaan Kaisar sebagai penyatu Jepang, tanpa Kaisar maka tak ada Jepang dan itu berarti dia sendiri bukan siapa-siapa, manusia tanpa asal. Ketiga, Pengaruh Wacana Keindahan terhadap Perilaku Seksual Tokoh Mizoguchi dalam Novel Kinkakuji Karya Mishima Yukio oleh Mega Dian Pramita 14 (2013). Penelitian ini menggunakan konsep wacana Foucault untuk mengidentifikasi wacana yang mengonstruksi pemikiran tokoh yang kemudian dapat menjelaskan bagaimana relasi kuasa bekerja lewat wacana sebagai kontrol 13 14
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/izumi/article/view/7952 http://journal.unair.ac.id/article_6630_media44_category8.html
10
perilaku seksual tokoh dalam novel Kinkakuji. Hasil penelitian ini menemukan bahwa wacana wabi-sabi (ketenangan dan kekosongan) dalam konsep Zen menguasai tokoh Mizoguchi. Keindahan kuil yang muncul dalam pikiran tokoh mengalahkan bentuk keindahan lain seperti wanita, sehingga dia tidak tertarik melakukan hubungan seksual dengan wanita. Perlawanan tokoh Mizoguchi terhadap wacana itu adalah dengan membakar kuil tersebut. Penelitian lainnya menggunakan pendekatan psikologi tokoh Mizoguhi dalam novel Kinkakuji yaitu Analisis Psikologis Tokoh Utama Novel “Kinkakuji” karya Mishima Yukio (Prameswari: 2010); Paradigma Keindahan menurut Mizoguchi dalam Novel Kinkakuji karya Mishima Yukio: Tinjauan Psikologi (Annisa: 2010); Analisis Gangguan Kepribadian Tokoh Utama Novel Kuil Kencana (Kinkakuji) karya Mishima Yukio: Sebuah Kajian Psikologis (Astuti: 2007); Konsep Diri Tokoh Utama dalam Novel Kinkakuji Karya Mishima Yukio: Suatu Tinjauan Psikologis (Triyati: 2005). Meski menggunakan pendekatan yang sama, namun hasil temuan mereka beragam. Gangguan kejiwaan Mizoguchi misalnya disebabkan karena kegagapannya (Triyati, 2005); pengaruh dari luar seperti kemiskinan, ajaran Zen dan pergaulan (Annisa, 2010); gagap memperkuat Id, trauma masa kecil dan doktrinasi (Prameswari: 2010); hubungan buruk dengan ibu (Astuti, 2007). Dampak dari gangguan kejiwaan itu berupa perlawanan fisik dengan membakar kuil tersebut. Tujuh penelitian yang disebutkan sebelumnya menunjukkan penelitian yang berfokus pada aspek tokoh secara psikologis, wacana keindahan yang mempengaruhi tokoh dan hubungan tokoh sebagai pembawa ide pengarang.
11
Novel Kinkakuji pada dasarnya menggunakan sudut pandang orang pertama, sehingga mengarahkan kita untuk fokus pada tokoh utama dalam novel. Begitu pun dengan penelitian yang fokus pada gangguan kejiwaan tokoh, tidak lain adalah asumsi yang terburu-buru dalam usaha menemukan titik temu antara tokoh (alam sadar) dan tindakan tokoh. Penelitian lain yang fokus pada aspek ideologi menemukan nilai Zen dan pandangan ultra-nasionalis pengarang masih kurang menjelaskan kaitannya dengan teks dari dalam novel. Namun kesamaan dari penelitian-penelitian tersebut adalah tidak mengeksplorasi secara mendalam terkait topik Kuil Kinkakuji dalam penelitiannya. Penelitian lain yang terkait novel Kinkakuji dari luar Indonesia sendiri lebih beragam dari segi pendekatan dan lebih relevan dengan penelitian ini. Pollack (1985)15 menggali lebih jauh tentang bahasa dan simbol yang digunakan Mishima dalam novel Kinkakuji. Pada dasarnya, Mishima selalu mengangkat topik cinta, keindahan dan kematian dalam karya-karyanya. Mishima sering bermain dengan kata dan nilai-nilai tradisi kuno yang diakui sudah hilang di masa paska Perang Dunia Kedua (ibid: 388). Permainan kata berupa emblem/metafor dari Kanji samurai 16 dan nama tokoh. Selain itu, Pollack juga menemukan beberapa nilai budaya kuno yang dimunculkan kembali seperti bushido, tsukomogami dan koan Zen.
15 16
http://www.jstor.org/stable/2384823 Samurai 「侍」terdiri dari dua Kanji dasar yaitu ‘manusia’ 「人」dan ‘kuil’「寺」, apabila diartikan secara literal berarti ‘orang yang menyatu dengan kepercayaannya’ (Pollack, 1985: 388)
12
Berbeda dengan Pollack yang menganggap Mishima sangat ortodoks atas nilai-nilai dalam kepercayaan kuno Jepang, Starrs (1991) 17 menilai karya-karya Mishima mengandung dialektika Nietzchean, karena “pengaruh” oleh penulis Jepang lainnya yaitu Mori Ogai (ibid: 19). Pada novel Kinkakuji, Mishima mencoba menuangkan pandangan hidupnya secara rasional, militeristik dan selalu tidak puas dengan sikap pasif atas keadaan sekitarnya. Pembakaran kuil itupun sendiri menggambarkan doktrin Zen dan nihilisme aktif dari Mishima (ibid: 27). Namun, keduanya tidak mengeksplorasi lebih jauh tentang kuil Kinkaku, kecuali Pollack yang sedikit mengangkat sejarah kuil tersebut. Adapun penelitian relevan dari segi objek formal terhadap penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Juli Highfill yang berjudul Reading at Variance: Icon, Index and Symbol in Cinco Horas Con Mario 18. Penelitian ini menggunakan konsep semiotika Peirce yang bertujuan untuk menganalisis ikon, indeks dan simbol dalam novel Cinco Horas Con Mario karya Miguel Delibe. Pembacaan ikonik, tokoh Carmen menunjukkan dia sebagai ibu dan wanita Spanyol dari stereotipe, tuturan dan fisiknya. Pembacaan ikonik ini memposisikan Carmen sebagai korban dari kelas sosialnya yang didominasi pria dan rezim totaliter yang berkuasa di Spanyol. Kebalikan dari itu, pembacaan secara simbolik justru memposisikan Carmen sebagai penjahat karena irasionalitas dan kemunafikannya, hal yang membuat Spanyol masih sulit menerima kebebasan, ilmu pengetahuan dan stagnansi pembangunan.
17 18
http://www.uni-hamburg.de/oag/noag/noag_1991_3.pdf http://www.jstor.org/stable/27741293?origin=JSTOR-pdf
13
Apabila pembacaan ikonik dan simbolik diotorisasi oleh teks, pembacaan indeksikal tidak demikian. Hasil pembacaan indeksikal menunjukkan, Carmen menyuarakan wacana kolot yang tidak berasal dari dirinya dalam domain domestiknya (yang tidak akan didengar orang lain). Hal ini menunjukkan karakter Carmen mengalami ketidakutuhan (pengetahuan dan kuasa), feminim yang mencoba menjadi maskulin dalam area maskulinitas. Hasil pembacaan Highfill ini menunjukkan bagaimana peneliti melihat dan mengungkap proses penandaan dalam teks. Hal ini berada pada semantik semiotis yang melihat relasi objek yang mengacu pada tanda dan konsekuensinya pada interpretasi. Hal yang sama juga akan dilakukan pada penelitian ini tetapi lebih pada bagaimana objek tertentu direpresentasikan oleh tanda dan apa konsekuensinya pada interpretasi. Secara garis besar, analisis karya sastra dengan pendekatan semiotika bukanlah hal baru dalam dunia akademik sebagai suatu kritik sastra. Namun pada kajian sastra Jepang bagi peneliti yang tidak berlatar belakang budaya Kanji atau 「非漢字圏」hikanjiken seperti Indonesia, pendekatan semiotika masih jarang digunakan. Penelitian ini hendak mengembalikan analisis karya sastra berfokus pada teks, tanpa mengabaikan keunikan Kanji Jepang yang memiliki unsur visual bukan sebatas penanda wicara. Penelusuran model representasi, relasinya terhadap objek acuan dan konsekuensinya pada interpretasi, akan mengurai penalaran yang dibangun teks. Dengan pendekatan semiotika Peirce pada novel Kinkakuji karya Mishima, penelitian ini akan memberikan model penerapan analisis teks pada karya sastra dengan medium Kanji Jepang.
14
1.5 Landasan Teori Teori merupakan seperangkat konstruk (atau variabel) yang saling berhubungan, yang berasosiasi dengan proposisi atau hipotesis yang memerinci hubungan antar-variabel (Cresswell, 2009: 79). Dengan kata lain, pada penelitian ini teori menjadi alat bantu yang menjelaskan suatu fenomena yang muncul. Karya sastra sendiri merupakan suatu fenomena dari kehidupan kita, lebih tepatnya fenomena penandaan. Melalui teks sastra, ide pengarang, realitas masyarakat atau permainan bahasa direpresentasikan dengan tujuan untuk mengugah pikiran dan perasaan pembacanya. Semiotika sebagai ilmu tentang tanda secara garis besar terbagi atas dua perspektif yaitu diadik dan triadik. Perspektif semiotika diadik digagas oleh Saussure (1857-1913) yang menganggap tanda sebagai kesatuan antara penandapetanda. Sedangkan perspektif semiotika triadik sendiri digagas oleh Charles S. Peirce (1839-1914), mengangap tanda sebagai relasi antara representamen, objek dan interpretan. Hanya saja, sub-bahasan ini akan mengurai lebih dalam konsepkonsep semiotika Peirce yang akan digunakan sebagai landasan teoritis dalam menganalisa objek penelitian. Pilihan teori ini sendiri dikarenakan medium bahasa yang digunakan pada objek penelitian adalah bahasa Jepang khususnya Kanji yang tidak sekedar melambangkan bunyi, tetapi memiliki arti di tiap aksaranya 19. Menurut Rowley (1998:7), aksara Kanji Jepang memiliki unsur pictograph 20 ,
19
Ada dua jenis huruf yaitu hyoo on moji「表音文字」atau huruf yang hanya melambangkan bunyi tanpa arti (hiragana, katakana, dan romaji/alfabet); dan hyoo i moji「表意文字」atau aksara yang tiap hurufnya menyatakan arti (Takebe via Renariah, 2002). 20 Penyesuaian model representasi objek dengan penampakan aktualnya.
15
symbol 21 , ideograph 22 dan phono-ideograph 23 . Unsur visual teks ini dianggap lebih tepat dielaborasi dengan pendekatan semiotika triadik yang dikemukakan oleh Peirce. 1.5.1. Konsep Dasar Semiotika Peirce Semiotika, atau logika menurut Peirce merupakan kuasi-esensial atau formal, doktrin tentang tanda (Innis, 1985: 4). Logika yang dibangun Peirce dalam melihat tanda seperti penjelasan matematis yang memungkinkan menuju suatu kesimpulan bersandar pada keilmiahan yaitu pengamatan observatif dan penalaran. Titik tolak logika Peirce yaitu aksioma bahwa kognisi, pikiran bahkan manusia secara esensinya merupakan semiotika. Pikiran, seperti tanda, mengacu pada pikiran lain dan pada objek-objek di dunia, yang berkaitan dengan dimensi waktu pada masa lalu, kini dan masa depan (Noth, 1995: 41). Secara jelas diuraikan pada kutipan berikut ini: “The term ‘logic’ is unspecientifically by me employed in two distinct sense. In its narrow sense, it is the science of the necessary conditions of attainment of the truth. In its broader sense, ot os the science of the necessary laws of thought, or, still better (thought always taking place by menas of signs), it is general semeiotics, treating not merely of truth, but also of the general conditions of signs being signs.... Our method must be observe how ligc requires us to think and specially toreason, and to attribute to the conception of dyad those character which it must have in order to answer the requirement of logic” (CP24 1.242) “Istilah ‘logika’ saya letakkan secara tidak ilmiah dalam dua pengertian yang berbeda. Dalam arti sempit, itu adalah ilmu tentang kondisi yang diperlukan dalam pencapaian kebenaran. Dalam arti yang lebih luas, logika merupakan ilmu dari hukum pemikiran, atau, masih lebih baik (pikiran selalu muncul melalui makna tanda-tanda), merupakan semiotik 21
Menggunakan desain logis untuk mengindikasikan hal yang sifatnya abstrak. Gabungan Kanji pictograph dan/atau symbol untuk menciptakan hubungan ide. 23 Kombinasi dari elemen yang memberikan petunjuk pengucapan dan elemen yang mengisyaratkan makna pokok (subject matter) dari Kanji itu 24 Singkatan dari buku Collected Papers of Charles Sanders Peirce. 22
16
umum, tidak hanya memperlakukan kebenaran, tetapi juga kondisi umum dari tanda menjadi tanda. Metode kami harus mengamati bagaimana logika mengharuskan kita untuk berpikir dan berorientasi untuk mencari alasan, dan untuk menghubungkan pada konsepsi dari dua sifat tersebut yang harus dimiliki untuk menjawab persyaratan logika.”
Peirce sebenarnya mengungkapkan proses kesadaran dan berpikir terkait dunia fenomena yang kita hadapi dalam kehidupan kita sehari-hari. Dasar logika atau semiotika Peirce terbangun dari phaneroscopy25 (atau fenomenologi) sebagai sebuah deskripsi tentang phaneron 26 , yang dalam defenisi lain adalah tanda (Buchler, 1955: 74). Berdasarkan modal valensinya, terdapat tiga kategori universal dari phaneron yang kita temui dalam kehidupan yaitu firstness (the mode of being as first), secondness (the mode being as second) dan thirdness (the mode being as third) (Deledalle, 2000: 15). Kategori ini dapat diilustrasikan dengan bagan berikut ini:
1
12
12-3
firstness
secondness
thirdness
Bagan 1.1. Fenomenologi Peirce27 First adalah elemen dari fenomena yang sifatnya berupa kemungkinan kualitatif dan positif ‘positive qualitative possibility’ (Buchler, 1955: 75). First berkait pada kualitas dari sesuatu hal atau objek ketika kita mengindera, mengingat atau 25
Secara etimologi, phaneros berasal dari bahasa Yunani yang harfiahnya berarti “terlihat (visible); nampak (showable)”. Secara terminologi, phaneros secara esensial merupakan dunia nyata yang disaring dengan hasil penginderaan kita, baik itu melalui penglihatan, pendengaran, sentuhan ((essentially the real world filtered by our sensory input (sight, hearing, touch))”. Peirce menggunakan istilah ini untuk membedakan fenomenologi Hegel (Buchler, 1955: 74). 26 The collective total of all that is in any way or any sense present to mind, quite regardless of whether it corresponds to any real thing or not (CP 1.284) 27 Deledalle, 2000: 15
17
membayangkannya. Kualitas ini tidak harus muncul, melainkan sebuah kemungkinan yang positif,
tidak membutuhkan analisis atau perbandingan
dengan yang lain, semata-mata hanya objek itu saja (self-containedness). Hal ini berlaku umum, kita tidak membicarakan tentang ingatan atau kenangan yang spesifik dari pengalaman pribadi, tetapi suatu kualitas yang mungkin tercerap akan suatu hal atau objek atau kejadian (resultant impression). Warna kuning, wangi parfum, rasa jeruk nipis, suara musik atau perasaan cinta dapat menunjukkan firstness, selama dia hadir dalam kesadaran secara langsung, tidak berhubungan dengan yang lain. Kualitas tersebut baik heterogen maupun kompleks, sifatnya monadik dan sui generis (ibid: 87). Berbeda dengan first yang hanya membatasi pada objek itu semata, maka second lebih pada fakta aktual (CP 1.419) yang tidak dapat berdiri sendiri. Kualitas adalah bagian dari fakta, tetapi tidak dapat mengaktualisasikan sendiri. Di sini, kita melihat fakta yang hadir tidak lepas dari kaidah kausal, sebab-akibat dan/atau aksi-reaksi. Namun dalam hal ini, kita tidak membahas kausalitas second secara tuntas dari hulu hingga hilir. Cukup sampai pada titik kita menyadari keberadaan yang lain (entah itu objek atau kejadian tertentu sebelumnya) yang menyebabkan adanya first, tanpa harus berusaha mencari kepastian penyebab tersebut. Jejak kaki, lubang bekas tembakan atau asap adalah contoh umum dari secondness, bahkan perasaan benci atau senang pun merupakan reaksi kita dari stimulus tertentu. Kesadaran dan pikiran manusia senantiasa mencari “kebenaran” entah itu sebagai sebuah meaning atau reason (ibid: 91). Dalam hal ini proses tersebut tidak
18
berhenti pada first dan second saja, diperlukan mediasi antara kedua kategori tersebut, yaitu third. Pada third ini yang berperan tidak lain adalah kegiatan mental atau kognisi. Di titik ini pula, baik itu ide atau informasi awal, kaidah, norma, hukum dan kebiasaan terlibat aktif dalam kognisi yang memediasi first dan second. Dengan kata lain, keberadaan third tidak dapat lepas dari second dan first. Begitu pula, keberadaan second tidak lepas dari first. 1.5.2. Tanda dan Elemen Tanda Tanda, menurut Peirce, adalah sesuatu yang merepresentasikan sesuatu yang lain pada pikiran seseorang. Sesuatu yang bertugas merepresentasikan disebut
representamen
atau
first
dalam
relasi
triadik. Sesuatu
yang
direpresentasikan merupakan second yang dikenal sebagai objek. Semuanya mengarah pada pikiran seseorang atau third yang disebut interpretan, tidak dalam semua kualitas yang dimiliki objek tetapi hanya dalam beberapa hal atau kapasitas yang disebut ground (CP 2.228). Ground ini dapat berlaku umum (konvensi) atau disebut kode, tetapi ada juga ground yang sifatnya individual (Noth, 1995: 42). Intinya tanpa ground kita akan mustahil menemui suatu tanda, apalagi mengolah tanda tersebut. Istilah ‘tanda’ atau sign, digunakan Peirce pada dua hal yaitu sign-action dan sign-object. Sign-action merupakan proses penandaan atau semiosis, sedangkan sign-object yaitu representamen. Hal paling mendasar dari tanda sehingga dapat dikatakan tanda adalah ‘standing for’, yang dapat diartikan ‘mewakili’,
‘mengacu’,
‘mengganti’,
‘menghubungkan
dengan’
atau
‘merepresentasikan’. Sehingga penting dipahami bahwa tanda dalam konsep
19
Peirce lebih pada berfungsinya relasi triadik antara representamen, objek dan interpretan. Selama relasi yang terbangun masih sampai pada relasi diadik maka itu dianggap sebagai tanda yang potensial. Relasi triadik ini dapat digambarkan dengan bagan di bawah ini:
Representamen
Objek
Interpretan
Bagan 1.2. Elemen Tanda28 Secara epistemologis, relasi triadik pada tiga elemen tanda yaitu representamen, objek dan interpretan, tidak dapat disederhanakan lagi. Ketiganya terjalin dalam relasi atau fungsi representasi, yang bukan sekedar “istilah” semata. Dengan kata lain, ketiganya tidak akan pernah memiliki relasi atau berfungsi selain dalam semiosis. Pada faktanya, ketiganya bersiklus. interpretan pada satu semiosis akan menjadi representamen pada semiosis lainnya (ad infinitum).
1.5.3. Trikotomi Tanda: Ikon, Indeks dan Simbol Peirce membagi tanda ke dalam beberapa kelas berdasar aspek elemen tanda dan mode keberadaannya (CP 2.243). Kelas tanda pertama berdasar representamen tanda itu sendiri (firstness) berupa semata-mata kualitas (qualisign), eksistensi aktual (sinsign) dan sebagai kaidah umum (legisign). Kelas tanda kedua berdasar pada relasi representamen dan objeknya (secondness) berupa kesamaan pada beberapa sifat (ikon), hubungan ekstensial (indeks) dan 28
http://www.digitalpeirce.fee.unicamp.br/hoffmann/p-sighof.htm
20
hubungannya dengan interpretan (simbol). Dan kelas tanda ketiga pada interpretan yang dihadirkan (thirdness) berupa tanda sebagai sebuah kemungkinan (rhema), fakta (dicisign atau dicent sign) dan alasan (argument). Pada sub bahasan ini, akan lebih banyak mengurai konsep tanda paling fundamental dari Peirce yaitu ikon, indeks dan simbol. Tanda dapat berfungsi sebagai tanda ketika mampu menghadirkan interpretan pada pikiran seseorang, representamen baru memiliki kemampuan ini ketika telah terhubung dengan objek. Terlepas dari interpretan apa yang kemudian dihadirkan
representamen,
pada
mode
secondness
ini
kemampuan
merepresentasikan (representative quality) dari suatu representamen menjadi penting untuk diamati. Hal inilah yang menyebabkan ikon, indeks dan simbol dikatakan sebagai tanda yang fundamental dari konsep tanda Peirce (CP 2.275). 1.5.3.1.Ikon dan Tanda Ikonis Pada ikon, representamennya merepresentasikan “firstness of it as a first” (2: 276). Dari defenisi ini, sebuah tanda dikatakan ikon (pure icon) berupa representamen yang menampilkan kualitasnya sendiri dan objeknya hanya dapat berupa firstness atau citra mental (image) objek itu sendiri. Tetapi sebuah tanda dapat saja bersifat ikonis, ketika merepresentasikan objek kebanyakan atas dasar keserupaan
(similarity),
tanpa
mempedulikan
mode
keberadaannya.
Representamen ikonis seperti ini disebut hypoicon (CP 2.276). Sebuah lukisan, yang dalam mode keberadaanya kebanyakan berupa konvesional, apabila tanpa label atau keterangan lain dapat dikatakan sebagai hypoicon.
21
Lebih lanjut, Peirce mengklasifikasikan hypoicon berdasarkan mode firstness-nya, dijelaskan dalam kutipan berikut ini: “Those whoch partake of simple qualities, or First Firstness, are images; those which represent the relations, mainly dyadic, or so regarded, of the parts of one thing by analogous relations in their own parts, are diagrams; those which represent the representative character of a representamen by representing a parallelism in something else, are metaphors. (CP 2.277)” “(Tanda ikonis) yang memiliki kualitas yang sederhana (first firstness), yaitu citra (images); (tanda ikonis) yang menyatakan relasi, umumnya diadik, atau dianggap, bagian dari satu hal (lain) melalui relasi analogis ke dalam bagian pada dirinya, yaitu diagram; (tanda ikonis) yang menyatakan sifat representatif dari satu representamen dengan merepresentasikan kesesuaian (parallelism) pada suatu hal yang lain, disebut metafor (metaphors).” Kualitas sederhana pada ikon citra menyiratkan kesamaan antara representamen dan objek yang cepat ditangkap indera dan mudah dipersepsi. Umummnya persamaan secara fisik atau bentuk atau spasial (Zoest, 1993: 92) seperti lukisan, foto atau patung. Rumus aljabar sebagai kumpulan tanda konvensional, tidak lain adalah penyederhanaan yang dapat dimasukkan pada klasifikasi ini. Begitu pula aksara Kanji dari kelompok shookei moji29「象形文字 」juga menunjukkan gejala ikonis citra seperti yang terlihat pada gambar berikut ini:
Gambar 1.1. Mnemonik Kanji Dasar30 29
Kanji yang dibentuk dengan cara menirukan bentuk-bentuk benda yang terlhat oleh mata dan juga merupakan penyederhanaan dari gambar-gambar. 30 Nihon-E Toki Jiten, 1990: 16.
22
Selain Kanji dasar, seperti ki「木」’pohon’ juga mengalami penggabungan yang dikelompokkan dalam Kanji kai i moji 31 「 会 意 文 字 」 seperti Kanji 「 林 」 hayashi: ’pepohonan; semak’, dan Kanji「森」mori: ‘hutan’. Ikon diagram tidak menampilkan kualitas sederhana seperti kesamaan spasial,
namun
pada
hubungan
analogi
(CP
1.370)
atau
persamaan
relasional/struktur (Zoest, 1996:14). Misal pada garis yang menghubungkan turunan generasi pada family-tree atau pada contoh berikut: Ikon Tanda
Indeks Simbol
Relasi yang menghubungkan beberapa jenis berbeda dalam termasuk dalam satu himpunan tertentu. Catatan penting dari persamaan relasional ini adalah kehadiran hirarki atau urutan tertentu yang menyatukan mereka. Pada teks, relasional ini dapat terlihat dari slogan vini vidi vici32. Dari sisi spasial, kesamaan pada awalan huruf (v) dan penggunaan vokal (i) menunjukkan kualitas sederhana dari penulisan teks tersebut. Sedangkan dari sisi relasional, urutan teks menunjukkan urutan proses kejadian yang berlangsung dalam jangka waktu yang cepat, seperti ketika diucapkan. Sisi relasional ini akan hilang secara otomatis ketika slogan tersebut dinarasikan kronologisnya. Pada aksara Kanji, kelompok shiji moji33「指
31
Kanji yang dibentuk dari gabungan dua atau lebih shokei moji ataupun shiji moji yang semuanya menunjukkan arti baru. 32 Slogan Jerman pada masa Perang Dunia II, mengutip perkataan Julius Caesar, yang secara harfiah berarti (saya) datang (saya) lihat (saya) kuasai (bahasa Latin). 33 Kanji yang dibuat dari bentuk yang menunjukkan hal-hal yang abstrak, digambarkan dengan tanda berupa bantuan garis atau titik.
23
示文字」menunjukkan gejala diagramatis (analogi) seperti Kanji「中」naka: ‘tengah; dalam’ menunjukkan sebuah bentuk ruang yang terbagi di tengahnya. Ikon metafor sendiri tidak jauh berbeda dengan apa yang kita pahami sebagai metafora, yaitu adanya dua hal yang berbeda tetapi diacu oleh tanda yang sama, atas suatu persamaan tertentu di antara keduanya, baik secara langsung maupun tidak langsung (Zoest, 1993: 92), misal alegori, parabel atau metafisik. Berbeda dengan ikon citra maupun diagram, ikon metafor umumnya dihadirkan dalam bentuk narasi, bahkan pada teks sastra, cerita kecil yang disisipkan seringkali berpotensi metaforis untuk sesuatu yang lain pada teks itu sendiri. Dalam kelompok Kanji keisei moji 34 「 形 声 文 字 」 juga ditemukan gejala metaforis seperti pada Kanji「晴」hare ‘cerah’ gabungan dari bushu hihen 「日 」menunjukkan makna ‘matahari’ dan Kanji「青」aoi berarti ‘biru’. hi「日」. Karena ada matahari dan (langit) biru maka dikatakan cerah. Pada intinya, ikonisitas baik itu citra, diagram maupun metafora tidak sebagai klasifikasi yang kaku, pada teks kita dapat mengidentifikasi ini berdasarkan unsur-unsur dan penonjolan gejala tektualnya (Zoest, 1996: 22). 1.5.3.2.Indeks dan Tanda Indeksikal Indeks merupakan representamen yang karakter representatifnya ada pada invidual second (CP 2.283). Pada defenisi lain, Peirce menjelaskan bahwa indeks adalah tanda atau representasi atas dasar hubungan dinamikal (termasuk spasial) antara individual objek di satu sisi, serta penginderaan atau ingatan seseorang di 34
Kanji yang dibentuk dari kombinasi dua Kanji yang salah satu bagiannya adalah bushu menunjukkan makna dan bagian lainnya menunjukkan bunyi/ucapan, sementara itu keisei moji sering disebut sebagai Kanji yang terbentuk dari bunyi dan bentuk. Menurut Takebe, 80% Kanji Jepang termasuk dalam kategori ini (Renariah, 2004)
24
sisi lainnya (CP 2.305). Kita melihat terdapat dua kemungkinan secondness di sini, yaitu dapat terwujud pada relasi eksistensial atau referensial (acuan; turunan). Kedua kemungkinan tersebut mengharuskan representamen dan objek masingmasing sebagai eksistensi individual (baik benda atau fakta) dan menghadirkan secara langsung interpretan dengan karakter yang sama. Tanda indeksikal atau subindices merupakan tanda yang pada prinsipnya berfungsi atas dasar hubungan aktual (actual connection) terhadap objeknya (CP 2.284). Sebuah nama, kata ganti orang, kata tunjuk atau huruf pada sebuah diagram memiliki hubungan langsung dengan objek, tetapi ini tidak dapat dikatakan indeks karena bukan individual35, namun berfungsi secara indeksikal. Seorang wanita berhijab adalah indeks, yang menunjukkan dia wanita muslim. Angka pada jam menunjukkan waktu pada saat itu. Pada aksara Kanji, bushu 36 「部首」 yang muncul dalam kombinasi Kanji pada kelompok Kanji keisei moji ataupun tenchuu moji37 indeksikal terhadap makna dasar atau cara baca Kanji tersebut. Misal pada bushu hihen pada Kanji hare「晴」 yang dibahas sebelumnya, keberadaan bushu hihen merujuk pada ‘matahari’ atau hi「日」. Peirce menjelaskan beberapa ciri-ciri dari tanda ini, seperti di bawah ini: Three characteristics marks of indices: (1) that they have no significant resemblance to their objects; (2) that they refer to individuals, single units, single collections of units, or single continua; (3) that they direct the attention to their objects by blind compulsion (CP 2.306)
35
Individual yang dimaksud Peirce aalah benda atau fakta yang memiliki karakter, dengan keberadaan karakter pada indeks maka dia mengandung firstness. Sedangkan pada deiksis, semata-mata hanya berfungsi untuk mereferen terhadap suatu hal (benda atau kejadian). 36 Bushu atau radikal atau karakter dasar (Nelson, 1993) berupa bentuk penyederhanaan Kanji dasar yang apabila dikombinasikan dengan Kanji lainnya, bushu inilah yang menentukan artinya. 37 Gabungan dua Kanji yang menyatakan perluasan arti.
25
Tiga ciri yang menandai indeks: (1) bahwa mereka (representamen) tidak memiliki kesamaan nyata terhadap objeknya; (2) bahwa mereka (representamen) mengarah pada individual, (baik itu) satu unit, satu kumpulan unit, atau satu continua; (3) bahwa mereka (representamen) mengarahkan perhatian (kita) pada objeknya dengan dorongan yang buta (kabur). Sebuah seruan “hei!” akan membuat kita berbalik, karena kita merasa itu adalah panggilan buat kita. Atau teriakan “awas!” akan membuat kita segara sadar akan adanya bahaya di sekitar kita. Bahkan suara dentuman keras akan menunjukkan bahwa telah terjadi sebuah hantaman atau ledakan, meski kita tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Inilah yang dimaksud dengan blind compulsion, saat di mana pengalaman terhadap sesuatu terhubung dengan kejadian di saat itu. Pertemuan antara masa lalu serta entah itu seruan atau suara keras inilah yang menjadi titik pertemuan dua pengalaman yanag berbeda (secondness). Hal ini menjadi catatan juga, bahwa indeks secara ekslusif merujuk pada objek dari pengalaman (CP 2.305) 1.5.3.3.Simbol Menurut Peirce, ikon dan indeks adalah tanda yang sifatnya alamiah. Sifat alamiah dari tanda ikon dan indeks terkandung pada kualitas (firstness) dan pengalaman (objek referen) adalah sesuatu yang kita dapati dari kehidupan seharihari kita. Berbeda dengan simbol yaitu tanda yang terbangun semata-mata atau umumnya dengan fakta yang digunakan dan dipahami dari kebiasaan atau konvensional, dan tanpa memandang motif awal pemilihan pembentukannya (CP 2.307). Elemen fenomena third, seperti yang dijelaskan sebelumnya yaitu pikiran (thought) memegang peranan utama, sehingga untuk memahami tanda yang
26
termasuk dalam simbol dibutuhkan pengetahuan awal berupa konvensi atau kaidah atau hukum dari objek yang dimaksud. Misal pada aksara Kanji, kelompok kasha moji38「仮借文字」seperti Kanji「米国」beikoku ’Amerika Serikat’ dan Kanji 「 印 度 」 indo ’India’ dan Kanji 「 英 語 」 eigo ’Bahasa Inggris’. Pada kelompok tenchuu moji pun didapati unsur simbolis yang diketahui dari penggunaan Kanji-Kanji tertentu, seperti Kanji「薬」kusuri ‘obat’ dibentuk dari gabungan bushu kusa kanmuri「草」dan Kanji 「楽しい」tanoshii ‘senang’. Bushu kusa kanmuri「草」digunakan untuk mewakili jenis rerumputan, seperti pada Kanji「草」kusa ‘rumput’ yang terdiri dari gabungan bushu kusa kanmuri dan Kanji「早い」hayai: ‘cepat’ karena rerumputan yang paling cepat tumbuh adalah rumput (Renariah, 2004). Dari kombinasi beberapa Kanji ini pada Kanji kusuri, dapat diartikan sebagai rumput yang membuat orang senang, karena pada jaman dahulu ketika orang sakit mereka diberi jenis rumput tertentu untuk menyembuhkan penyakit itu. Hal ini sukar untuk diketahui tanpa diperoleh dari pembelajaran terlebih dahulu. Sebagaimana indeks mengandung firstness, pada simbol juga mengandung secondness dan firstness. Atau dengan kata lain, dalam suatu simbol juga memiliki tanda indeksikal dan tanda ikonis, yang berperan dan berfungsi sesuai dengan karakternya. Prinsip penting yang harus selalu diingat terkait tanda adalah berfungsinya sebuah relasi antara representamen, objek dan interpretan. namun selain yang telah dijelaskan sebelumnya, nulla regula sine exceptione, ada 38
Kanji yang hanya dipinjamkan bunyinya tanpa memperhatikan dan mempedulkan hubungan arti dari setiap Kanji nyang digunakan, umumnya digunakan untuk nama tempat, negara dan lainlain.
27
beberapa hal yang perlu menjadi catatan terkait ikon, indeks dan simbol seperti yang dijelaskan pada kutipan berikut ini: A sign is either an icon, an index, or a symbol. An icon is a sign which would possess the character which renders it significant, even though its object had no existence; ... An index is a sign which would, at once, lose the character which makes it a sign if its object were removed, but would not lose that character if there were no interpretant; ... A symbol is a sign which would lose the character which renders it a sign if there were no interpretant. Such is any utterance of speech which signifies what it does only by virtue of its being understood to have that signification (2.304) Dari kutipan di atas disebutkan pengecualian yang mungkin terjadi dari mode keberadaan suatu tanda. Ikon tidak akan kehilangan karakternya sebagai tanda ketika dia merujuk objek yang tidak konkrit atau abstrak. Pada indeks, posisi objek menjadi penting karena objek tersebut menjadi sebab keberadaan representamen, sebaliknya posisi interpretan tidak krusial, karena yang penting dari indeks adalah menarik perhatian meski kita tidak mengetahui secara jelas apa itu. Sedangkan pada simbol, keberadaaan interpretan lebih diutamakan, tanpa ini sebuah simbol tidak akan dapat dipahami.
1.6 Metode Penelitian Secara umum metode penelitian ini adalah observasi terhadap tanda Kuil Kinkaku pada teks novel Kinkakuji, yang mencakup dua prosedur utama yaitu pengumpulan data dan analisis data. Menurut Faruk (2012: 24-25), metode pengumpulan data merupakan seperangkat cara atau teknik untuk mendapatkan data-data empirik terkait masalah penelitian. Sedangkan metode analisis yakni seperangkat cara atau teknik menarik relasi antara satu data dan data lain yang bermuara pada suatu pengetahuan ilmiah.
28
Penelitian ini bersifat kualitatif karena bertujuan untuk memahami suatu fenomena, yaitu proses penandaan yang terjadi dalam novel Kinkakuji karya Yukio Mishima, khususnya terkait tanda Kuil Kinkaku. Objek penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu objek formal dan objek material. Objek formal penelitian ini adalah teori semiotika Peirce khususnya ikonisitas dan indeksikalitas tanda. Adapun objek materialnya adalah novel Kinkakuji karya Yukio Mishima. Penelitian ini menggunakan dua sumber data yaitu primer dan sekunder. Sumber data primer adalah novel Kinkakuji karya Yukio Mishima yang diterbitkan oleh Penerbit Shinchosha di Jepang pada tahun 1956. Sedangkan sumber data sekunder adalah buku, karya ilmiah berupa disertasi, tesiss, skripsi atau jurnal dan artikel yang terkait objek material dan formal dalam penelitian ini. 1.6.1 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan pembacaan terhadap sumber data baik itu primer maupun sekunder. Data primer adalah data utama dari sumber data primer terkait dengan data-data terkait Kuil Kinkaku, berupa arus kesadaran maupun tindakan yang dideksripsikan narator, dialog dan pola naratif teks. Data yang terkumpul akan dipilah berdasarkan bentuk relasi ikonis atau indeksikal. Sedangkan data sekunder adalah data-data lain dari sumber data primer yang berguna dalam analisis berupa tanda lain terkait tokoh dan pola naratif. Selain itu, data sekunder juga mencakup jurnal, artikel penelitian dan buku yang berkaitan dengan objek material dan formal. Data sekunder ini sebagai data pembanding atau pelengkap dalam analisis data primer.
29
1.6.2 Metode Analisis Data Analisis data dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: a. Data-data yang telah terpilah akan dikelompokkan berdasarkan model representasinya. b. Data ikonis Kuil Kinkaku adalah data yang mengacu pada objek Kuil Kinkaku semata. Pengamatan akan terarah pada posisi representamen dan objek serta aspek kemiripan yang mendasari relasi keduanya. c. Bentuk-bentuk representasi tanda ikonis Kuil Kinkaku akan disatukan berdasarkan kesamaan topik dari tanda tersebut menjadi sebuah proposisi (tanda disen). d. Data indeksikal Kuil Kinkaku adalah data yang terkait Kuil Kinkaku yang bersinggungan dengan tanda lain dalam hubungan eksistesial atau referensial.. Pengamatan akan terarah pada posisi representamen dan objek serta aspek kontiguitas atau referensial yang mendasari relasi keduanya. e. Bentuk-bentuk representasi tanda indeksikal Kuil Kinkaku akan disatukan berdasarkan kesamaan topik dari tanda tersebut menjadi sebuah proposisi (tanda disen). f. Pada akhirnya, dari proposisi-proposisi yang ada akan ditarik inferensi sebagai suatu argument terkait tanda Kuil Kinkaku dalam teks.
1.7 Sistematika Penyajian Tesis ini terdiri dari empat bab dan tiap bab dibagi ke beberapa subbab. Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri dari sembilan subbab yaitu latar
30
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, serta sistematika penyajian laporan. Bab II berisi deskripsi jizura Kanji kinkakuji「金閣寺」dan analisis ikonisitas Kuil Kinkaku dalam novel Kinkakuji. Bab III merupakan analisis indeksikalitas Kuil Kinkaku berupa relasi Kuil Kinkaku dengan Mizoguchi dan tindakan pembakaran kuil tersebut. Bab IV berisi kesimpulan dari tesis ini.