BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Buta huruf adalah permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia dari
sejak zaman kemerdekaan hingga saat ini. Buta huruf (BH) menjadi masalah yang sangat penting dan genting, sehingga perang melawan Buta huruf harus mendapat perhatian serius dengan mengambil langkah-langkah khusus diluar program yang dicanangkan pemerintah. Bentuknya bisa merupakan sebuah gebrakan dari Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli terhadap penuntasan buta huruf di Indonesia. Berbagai macam program telah dilaksanakan,
mulai dari presiden
pertama RI Soekarno pada jaman orde lama, dengan Komando Pemberantasan Buta Hurufnya (PBH).1 Dilanjutkan oleh Presiden RI kedua Soeharto pada masa pemerintahan orde baru, dengan penyelenggaraan program Kejar Paket ”A”. 2 Program Kejar Paket ”A” didukung dengan menggalakkan gerakan wajib belajar 9 tahun dengan mendirikan SD-SD inpres dan program GNOTA (Gerakan Nasional Orang Tua Asuh). 3 Hingga ke zaman presiden ke-6 Indonesia, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY)
masalah
buta huruf masih menjadi pekerjaan
1
Indonesia belum terbebas dari buta huruf :http://www.berdikarionline.com/opini/20130809/indonesia-belum-merdeka-dari-butahuruf.html /di akses pada tanggal 23 mei 2014 jam 23.00 2 Program kejar paket apemberantasan buta huruf tahun 1974-1979 : http://www.scribd.com/doc/142042293/PROGRAM-KEJAR-PAKET-A-DALAMEMBERANTASAN-BUTA-HURUF-TAHUN-1974-1979#download / di akses pada tanggal 23 Mei 2014 jam 23.00 3
Pelaksanaan HAM pada masa orde baru & Orde Reformasi :http://filsafat.kompasiana.com/2012/01/22/pelaksanaan-ham-pada-masa-orde-barudan-orde-reformasi-429487.html / Akses 23 mei 2014
1
2
rumah. Permasalahan buta huruf belum tuntas. Angka buta huruf Indonesia terbilang tertinggi dibandingkan Negara-negara di dunia seperti Vietnam, Laos, dan Kamboja. Indonesia hanya sejajar dengan delapan negara lainnya, yakni India, Pakistan, Cina, Meksiko, Bangladesh, Mesir, Brasil, dan Nigeri. 4 Beberapa hal yang menjadi penyebab tingginya buta huruf di Indonesia, antara lain adalah; tingginya angka putus Sekolah Dasar (SD), beratnya kondisi geografis Indonesia, munculnya penyandang buta huruf baru, pengaruh faktor sosiologis masyarakat dan kembalinya seseorang menjadi buta huruf setelah ia mampu menulis baca. Sementara hambatan dan kendala yang dihadapi dalam pemberantasan buta huruf di lapangan adalah: 1. Dari peserta didik itu sendiri; Sebagian mereka berbahasa daerah sehingga menghambat proses kegiatan belajar megajar (KBM), kurang aktif dan malu-malu, bosan dan malas, sudah mengikuti kegiatan belajar tapi belum mampu membaca, anak usia sekolah tapi tidak bersekolah, putus sekolah, penyandang buta huruf dewasa yang sudah terlalu tua untuk menyerap ilmu dan memiliki gangguan penglihatan. 2. Dari anggaran biaya; Kemampuan pemerintah dalam penyediaan dana yang terbatas dan dana yang sering diselewengken. 3. Dari program yang berjalan: program pemberantasan buta huruf seharusnya adalah sebuah program Nasional yang simultan berkelanjutan
4
Buta aksara masih menghantui: http://www.beritaindonesia.co.id/berita/khas/2004-butaaksara-masih-menghantui?format=pdf / Akses 23 Mei 2014
3
tapi yang sering terjadi adalah hanya merupakan sebuah program sesaat. Hal ini bisa terjadi karena pengajar dan peserta didik bosan dan bisa juga anggaran atau gaji untuk para pengajar tidak lagi turun. 4. Kurangnya Nasionalisme : Pemberantasan buta huruf hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dengan orientasi materi. Seyogyanya permasalahan ini dijadikan permasalahan nasional dengan menggerakkan semangat kebangsaan yang jauh lebih besar dari keuntungan materi yang didapat. 5. Data yang tidak akurat & lemahnya koordinasi; sering terjadi data dari satu lembaga dengan lembaga lain yang terkait tidak berkesesuaian (data dari diknas berbeda dari data bps. 5 Ketidakakurasian ini menunjukkan lemahnya koordinasi sehingga menyulitkan pihak yang membutuhkan data. Kurang koordinasi adalah permasalahan serius yang dihadapi kita sebagai bangsa Indonesia. Antar departemen dan kelembagaan kurang bekerja sama, ditambah sikap bangsa kita sendiri yang tercermin dalam birokrasi pemerintahan yang telah menjadi pemeo di masyarakat
“kalau bisa
dipersulit kenapa dipermudah” turut mempersulit pengumpulan data dan transfer informasi. 6. Adanya data yang tidak valid atau peserta fiktif, ,
tidak valid atau
fiktifnya sebuah data bisa terjadi dikarenakan aparat malas dan aparat yang menggunakan dana program tersebut untuk kepentingan pribadi6. 5
KEMDIKNAS Hadapi Tantangan Besar Menghadapi Buta Aksara, simpang-siur : http://www.ntbprov.go.id/baca.php?berita=24 6 Camat Korup Dicopot dari Jabatannya: http://www.antaranews.com/berita/163769/camatkorup-dicopot-dari-jabatannya/ Akses 23 Mei 2014
4
7. Waktu pengajaran yang terlalu panjang; pelaksanaan program yang terlalu panjang, tidak efisien bagi mahasiswa yang berperan aktif melalui KKN dan lain sebagainya. Masih dalam upaya pemberantasan buta huruf, pada tahun 2006 Presiden SBY mengeluarkan INPRES No. 5 Tahun 2006. 7 isinya mengenai
gerakan
nasional percepatan pendidikan dasar 9 tahun dan pemberantasan buta huruf. Presiden SBY dengan INPRES tersebut memerintahkan setiap jajaran departemennya untuk bertindak aktif membantu gerakan ini. INPRES ini dibuat sebagai hasil kesepakatan negara-negara yang tergabung dalam konferensi Dakkar-Senegal mengenai masalah pembangunan dan Literacy dimana Indonesia turut hadir didalamnya. Salah satu kesepakatannya adalah mengupayakan agar tahun 2015 menjadi tahun bebas buta aksara bagi negara-negara yang ikut dalam konferensi tersebut. Keaksaraan adalah permasalahan dunia dan saat ini menjadi suatu hal yang sangat penting untuk dientaskan. Fokus keaksaraan diangkat dalam laporan UNESCO pada tahun 2006, yaitu “ EFA (Education For All) Global Monitoring Report, Literacy for Life ".8 Indonesia menjanjikan
buta huruf akan turun menjadi hanya 5% dari
total penduduk Indonesia pada tahun 2009. Hasilnya rasio penduduk usia 15
7
8
INPRES NO.5 THN 2006 : http://www.presidentri.go.id/ Akses tgl.20 SMei 2014
Buta Aksara Penyakit Kronis Yang Harus Dihabisi: http://www.antaranews.com/berita/100894/buta-aksara-pta%20enyakit-kronis-yang-harusdihabisi /Akses 23 Mei 2014
5
tahun ke atas yang buta aksara menurun menjadi 12.881.080 orang. Dari jumlah tersebut 68,5 persennya adalah perempuan (Depdiknas, 2006), umumnya berdomisili di pelosok pedesaan maupun di daerah-daerah terpencil dan mayoritas berada di 10 provinsi yang meliputi : Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, Papua, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Banten.9 Banten termasuk salah satu provinsi di Indonesia yang terbanyak memiliki warga buta aksara atau dikenal dengan daerah merah buta huruf (data Badan Pusat Statistik).10 Sementara itu di Tangerang Selatan (Tangsel) yang secara administratif juga masuk ke dalam provinsi Banten (salah satu dari 8 kabupaten/kota), dinyatakan sebagai kota yang telah bebas dari buta huruf. 11 Maka dari itu LSM (Lembaga
Swadaya
Masyarakat)
Peremapuan
LIRA
Banten
(PL
Banten) sebagai lembaga wanita yang memiliki kepedulian terhadap masalahmasalah sosial, wanita dan anak, digandeng untuk membantu menanggulangi permasalahan ini dan
bertugas untuk mengkoordinasi segala bentuk kegiatan
sosialisasi dan pemberantasan buta huruf di Tangsel khususnya dan di arean Banten umumnya.
9
Indonesia Terlilit Buta Huruf: http://surabayapagi.com/index.php?read=Indonesia-Terlilit-ButaHuruf;3b1ca0a43b79bdfd9f9305b8129829623978dda1b759d4dacafd6c40d81a83ee/Akses 23 mei 2014 1010 (Pengentasan Buta Huruf Tidak Optimal: http://kabanten.com/news/detail/16428/Akses 23 mei 2014 11 Puluhan Ribu Warga Banten Masih Buta Huruf: http://www.tempo.co/read/news/2011/11/23/058368142/Puluhan-Ribu-Warga-Banten-MasihButa-Huruf /Akses 23 Mei 2014
6
PL Banten akan menjadi penggerak dari sosialisasi gerakan Peduli Penyandang Buta Huruf melalui jalur advertising above the line yaitu dengan pembuatan Spanduk, Poster dan Flyer
Melihat permasalahan yang ada, peneliti tertarik untuk meneliti dan melakukan observasi beberapa daerah di Tangerang selatan yang menjadi bagian dari provinsi Banten. Social marketing dapat memberikan kontribusi dalam menciptakan atmosfer kesadaran di masyarakat untuk peningkatkan penyandang buta
kepedulian terhadap
huruf. beban yang harus ditanggung oleh negara akibat
permasalahan buta huruf yang berlarut dapat dibagi kepada masyarakat
Lebih khususnya, peneliti
ingin meneliti
BH di Tangsel, pendataan
mengenai keberadaan mereka dan mengobservasi situasi kota Tangsel apakah buta huruf benar-benar telah tiada.
Pilihan
format
Perancangan
strategi
program
sosialisasi
menggunakan model SOSTAC 3M Dengan penjabaran dimana situasi buta huruf yang sedang diteliti saat ini, Kemana permasalahan buta huruf mau dibawa, Apa strategy yang mau diambil, bagaimana mengiplementasikan strategi yang direncanakan, Apa-kapan-bila dan siapa yang melakukan aksi dan yang terakhir penerapan dari control adalah berupa penerapan konsistensi dan pengevaluasi. Dimulai dari analisis situasi, kemudian penjelasan identifikasi audiens (target market), anggaran dan alokasinya, tujuan komunikasi yang ingin dicapai. Setelah mengetahui
hal-hal
tersebut,
kemudian
akan
ditentukan strategi marketing communication dengan penggunaan berbagai ala
7
t-alat promosi, beserta dengan taktiknya; setelah itu proses implementasi dan evaluasi dari program yang direncanakan
Disini penulis melakukan pengujian terhadap pernyataan tersebut melalui observasi dan survey lapangan di beberapa tempat pemukiman di Tangsel. Ada 3 lokasi di Tangerang Selatan yang kami ambil sebagai tempat penelitian yaitu Desa Parung Beunying, Kelurahan Sawah dan Desa Sawah Baru Ciputat. Dilokasi tersebut dilakukan aktifitas tanya jawab dan wawancara. Aktualnya dari hasil survey yang dilakukan terhadap beberapa subjek penelitian, Tangsel belum dapat dikatakan bebas buta huruf sama sekali, karena masih ditemukan adanya penderita buta huruf. Penderita buta huruf yang ditemukan oleh peneliti adalah masyarakat yang berumur diatas 35 tahun. Peneliti jarang menemukan anak usia sekolah di Tangsel yang belum mampu membaca hal ini antara lain disebabkan karena Tangsel
kala tergabung dalam Kabupaten Tangerang telah menggalakkan
aktifitas pemberantasan buta huruf dan kini setelah terpisah dari Kabupaten Tangerang, sejak awal pendiriannya telah memfokuskan diri dalam bidang pendidikan terutama terhadap pendidikan anak usia dini. . Pada suatu kesempatan peneliti bertemu dengan beberapa orang anak berusia 7-8 tahun. Dari hasil Tanya jawab peneliti mereka mengatakan 1-2 orang dari mereka belum lancar membaca namun telah mengenal huruf.
Akan halnya penyandang buta huruf dewasa perlu dipikirkan sebuah cara atau solusi bagi keberadaan mereka. Mereka masih produktif berusia antara 30-55 tahun. Keberadaan mereka dengan kondisi buta huruf tidak boleh diabaikan dan
8
dimasukkan dalam angka toleransi bebas buta huruf Tangsel dengan alasan apapun. Peneliti ingin mengangkat temuan ini sebagai sebuah fokus perhatian yang dapat dibawa kepada sebuah aktifitas
perubahan yang lebih baik. Hak
membaca adalah hak hidup semua manusia, baik dicapai dengan kesadaran sendiri untuk mencapainya maupun melalui kesadaran yang dipersuasikan untuk didapatkan. Pada akhirnya diharapkan akan tercipta Tangsel yang benar-benar bebas buta huruf 100% Berfungsi sebagai observer dan researcher keberadaan penderita buta huruf di area Tangsel, peneliti ingin turut mencari jalan keluar dan solusi bagi mereka, mencari tau apa yang bisa dilakukan agar mereka mendapatkan hak melek aksaranya. Namun yang pertama-tama harus dilakukan adalah menemukan keberadaan mereka. Siapa yang buta huruf dan di mana mereka tinggal. Kedua pertanyaan tersebut memberikan ide bagi penelita untuk melakukan 3 (tiga) gerakan aktifitas yaitu : 1. “ Mengidentifikasi ” (identifying - keberadaan mereka.) Mereka terlihat tidak ada di Tangsel, namun ada. Para penyandang Buta huruf cenderung menarik dan menutup diri mengenai situasi mereka yang buta huruf. Dalam sebuah tanya jawab antara peneliti dan warga yang bermukim di suatu area di Tangsel yang masuk dalam Kelurahan Serua, penulis tidak menyadari warga yang penulis ajak berbicara tersebut adalah seorang penyandang buta huruf. Fakta tersebut baru terungkap setelah penulis berbincang
9
sedikit agak lama menggali insight dari warga. Informasi juga tidak didapat langsung dari sang penyandang buta huruf yaitu seorang wanita berusia 45 tahun, melainkan dari seorang wanita berusia 24 tahun yang saat itu turut berbincang dengan penulis yang ternyata adala putri dari wanita berumur 45 tahun tersebut . Dikatakan masih terdapat dua orang penyandang buta huruf lainnya yaitu adik dari wanita tersebut berusia sekitar 43 tahun dan seorang kerabat pria lainnya berusia sepantar yang juga masih buta huruf, tinggal di area sekitar. Disini penulis melihat sesuatu yang unik dengan cara mereka menyembuyikan keberadaan mereka. Mereka tidak ingin orang lain tahu bahwa mereka masih buta huruf, tidak dari mulut mereka mengatakan bahwa mereka masih belum mampu membaca, namun mereka tidak marah bila fakta tersebut diungkapkan oleh orang terdekat mereka membuat penulis berpikir kalau tipikal wanita ini ada dihadapan penulis, maka diluaran sana kemungkinan banyak penderita buta huruf lain yang memiliki kecenderungan perilaku yang sama. Mereka perlu ditolong, dimotivasi dan ditumbuhkan pemahaman apa manfaat dari kemampuan membaca bagi diri mereka. Mereka perlu dibujuk dan dibina untuk mau segera membebaskan diri
dari jeratan buta huruf yang membuat
mereka malu dan tidak ada kata terlambat. Maka langkah berikut yang diupayakan setelah “Mengidentifikasi” (identifying) adalah 2. .“Menginformasi“ (informing). Karena sebagian besar penyandang buta huruf tidak akan sukarela melaporkan diri dengan alasan
10
malu,
maka
tugas
wargalah
yang
harus
melaporkan
(menginformasikan). Diharapkan bantuan warga yang memiliki tetangga, saudara, kerabat dan kenalan yang masih buta huruf untuk menginformasikan keberadaan mereka kepada aparat pemerintahan terdekat, seperti Ketua Rukun Tetangga (RT), Ketua Rukun Warga (RW), Kepala Desa atau bahkan LSM setempat. Menginformasi disini dimaksudkan dengan menyebutkan secara jelas nama, usia, alamat lengkap penyandang buta huruf untuk didata dan ditindak lanjuti. Tindak lanjut dari
kegiatan
Mengidentifikasi (Identifying) dan Menginformasikan (informing) ini adalah memberikan bantuan nyata melalui sebuah 3.
“aktifitas pengajaran” (Teaching) yang diupayakan baik
dilakukan perorangan (each one teach one) maupun berkelompok (in group). Diharapkan setiap warga masyarakat dalam area sosialisasi melakukan salah satu dari tiga aktifitas tersebut atau ketiga-tiganya.
Intinya adalah bagaimana mengatasi persoalan
buta huruf yang mulanya hanyalah tanggung jawab pemerintah semata, segera dapat dipindah alihkan menjadi tanggung jawab masyarakat untuk sama-sama berbuat. Ide inilah yang ingin disampaikan dan disosialisasikan menjadi sebuah gerakan dalam masyarakat. Dan untuk sebuah gerakan dapat diikuti tentu saja perlu keterlibatan dan dukungan banyak pihak.
11
Sosialisasi adalah upaya dalam rangka memasyarakatkan ide, buah pikir, nilai-nilai, norma, budaya yang diharapkan dapat memberikan berubahan dan perbaikan dalam masyarakat. Gerakan sosial adalah tindakan kolektif yang diorganisir secara longgar, tanpa cara terlembaga untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat.12 Kedua hal tersebut menyertakan agen-agen perubahan (agent of change). wujud agen perubahan sosial bermacam-macam, bisa berasal dari keluarga, diri sendiri, lingkungan maupun dari perkembangan tekhnologi . Di era modern ini agen perubahan sosial yang terbesar dan yang paling menonjol adalah tayangan televisi, 13 di dalamnya banyak disiarkan iklan. Maka iklan dan periklanan termasuk agen perubahan yang paling menonjol. Iklan dapat mensosialisasikan pesan dan ide kepada khalayak luas. Kedua hal tersebut diatas yaitu ide/buah pikir dan aktifitas sosialisasi dapat dimediasi salah satunya dengan menggunakan bantuan agen perubahan dalam hal ini adalah advertising above the line, untuk itu diupayakan sebuah bentuk perancangan advertising Above the Line berikut sosialisasinya. Aktifitas sosialisasi pemberantasan buta huruf melalui perancangan advertising ATL diharapkan dapat menjadi sebuah solusi dan jalan keluar bagi penderita buta huruf di Tangsel. Hak bisa baca bagi setiap orang akan disosialisasikan dengan membangun gerakan perduli penderita buta huruf melalui pemasaran sosial dengan perancangan advertising ber-Tag Line Identifikasikan – Informasikan – Ajarkan (Identifying-Informing-Teaching). 12 13
Sztompka,Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada, 2007 Sztompka,Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada, 2007
12
Sosialisasi perlu dilakukan agar pesan dan programnya secara sistematis menyebar dan dimengerti. Sosialisasi dan Komunikasi Pemasaran (marketing communication) dapat menjadi paket yang sinergi dalam aktifitas penanganan persoalan buta huruf di Indonesia umumnya dan Tangsel khususnya. Dipilihya Tangsel sebagai area sosialisasi didasari dengan pertimbangan antara lain; terdapatnya informasi publik yang berbeda mengenai Tangsel yang telah bebas buta huruf dan Tangsel yang masih memiliki penduduk buta huruf walaupun dalam prosentase kecil. Kecamatan yang tercatat masih memiliki penduduk buta huruf adalah kecamatan Setu. (Pada kecamatan lain, tidak tercatat penduduk yang tidak lulus SD atau penduduk buta huruf namun di Setu masih ada dengan angka sebesar 0,52%). 14 Dalam kenyataanya, pada survey yang dilakukan di luar kec.Setu, masih ditemukannya keberadaan penyandang buta huruf. Tangsel merupakan area pemekaran baru yang mengalami transisi pemerintahan dan peralihan administrasi dari Kabupaten Tangerang kepada Tangerang Selatan. Peralihan pemerintahan berarti pelimpahan tanggung jawab dan administrasi dari pemerintah lama kepada pemerintah baru. Tentunya dengan iklim birokrasi pemerintahan dan ciri khas kinerja PNS kita yang buruk banyak data yang perlu disusun, dikumpulkan dan diuji ulang. Tangerang Selatan dipilih sebagai area observer dan penelitian juga didasarkan sebagai tolak ukur dari kemajuan masyarakat di provinsi Banten, dimana di Tangerang Selatan terdapat dua buah kota satelit mandiri yaitu BSD 14
Pendidikan : http://www.tangerangselatankota.go.id/main/page/pendidikan/ Akses 25 agustus 2014
13
dan Bintaro, juga di Tangerang terdapat Bandar udara international terbesar di Indonesia setelah KNIA yaitu Soekarno Hatta. Alasan-alasan tersebut diatas menjadi alasan dilakukannya penelitian dan observasi di Tangsel. Sosialisasi aksi melalui marketing komunikasi diharapkan membantu memastikan kota tersebut dan seluruh individu yang tinggal di dalamnya dapat membaca. Harapan akhirnya menjadikan Tangsel sebuah kota yang benar-benar 100% terbebas dari buta huruf tidak saja sekedar dari laporan kertas namun juga dalam fakta aktual. Marketing Komunikasi melalui sosialisasi advertising ATL adalah sebuah pilihan baik untuk menggaungkan sebuah program kegiatan publik untuk kenyamanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. W. Smith dari Academy for Educational Development menyebutkan bahwa pemasaran sosial adalah “a process of influencing human behavior on a large scale, using marketing principles for the purpose of societal benefit rather than commercial profit.” (John Cahill) 15 , dan sosialisasi dapat mengantarkan ide dan pesannya masuk kepada masyarakat lebih dalam agar program yang dicanangkan dapat didukung dan diapresiasi bersama-sama. Dalam perannya Marketing komunikasi melalui sosialisasi advertising ATL mengajak masyarakat agar aware mengenai permasalahan buta huruf dan adanya Inpres No. 5 Tahun 2006 yang menargetkan Indonesia bebas buta huruf pada tahun 2015, dan mengajak menuntaskan permasalahan buta huruf bersamasama dengan cakupan yang lebih luas. 15
Ricardi S.Adnan, Target Adopter Transformasi Pemasaran Sosial yang Mengubah Wajah Indonesia/Ricardi S.Adnan-Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2012.
14
Persoalan buta huruf
bukanlah persoalan pemerintah semata namun
persoalan bangsa. Dimasa lalu program yang berjalan menargetkan hanya kepada penyandang buta huruf dan tenaga pengajarnya saja, namun dalam kesempatan kali ini potensi target sasarannya dapat menjadi sebagai berikut : target sasaran primer adalah seluruh anggota masyarakat yang mampu baca tulis, berusia antara 15-45 tahun, berada di area sosialisasi maupun tidak dengan target sasaran sekundernya adalah penyandang buta aksara tersebut sendiri dengan usia tertarget 15-55 tahun, yang berada di lokasi sosialisasi. Marketing komunikasi melalui pemasaran sosial dapat dijadikan alat untuk mengajak dan memengaruhi masyarakat merubah prilaku dan berbuat seperti yang diharapkan dalam sebuah sosialisasi pesan. Pesan yang dimaksudkan adalah bagaimana dapat menumbuhkan rasa Nasionalisme, kebersamaan dan sikap proaktif dalam masyarakat terhadap permasalahan buta huruf di Indonesia untuk berpartisipasi aktif mengindentifikasi, menginformasi bahkan bersedia ikut sebagai volunteer tenaga pemberantasan buta huruf. Dengan cara ini diharapkan akan tercapai percepatan pemberantasan buta huruf seperti yang tercantum dalam Inpres No. 5 Tahun 2006 yang dicanangkan Presiden Bambang Susilo Yudhoyono untuk gerakan nasional pendidikan 9 tahun dan percepatan pemberantasan buta aksara. Keterlibatan pihak-pihak terkait seperti RT, RW, Lurah, Kepala Desa, Camat, Bupati/Walikota, Organisasi kemasyarakatan, LSM, Universitas, aparatur pemerintahan, Ibu-ibu pengajian, Ibu-ibu PKK, Tokoh Keagamaan, Public Figure, perorangan dan lain-lain dalam mensosialisasikan gerakan ini, turut menentukan
15
keberhasilan program sebagai sebuah gerakan yang masif dan bersinergi. Enam puluh sembilan tahun adalah waktu yang sangat lama untuk membuktikan bahwasanya persoalan buta huruf adalah sebuah persoalan yang harus ditangani oleh pemerintah saja tanpa campur tangan masyarakat. Untuk itu pemerintah perlu menggerakkan massa. Dan sosial marketing adalah alat
“penyuara” dan
pembangkit semangat nasionalisme gerakan ini. Menggerakkan kesadaran dan kesediaan masyarakat, Anis Baswedan telah memberi contoh melalui gerakan panggilan Indonesia Mengajar. Selama tiga tahun dengan strategi campaign ATL (Above the Line) yang dilakukannya bersama relawan lain, gerakan ini telah berhasil memanggil banyak pihak yang perduli terhadap perkembangan pendidikan anak Indonesia untuk
bergerak
secara
sukarela mengajar dan mengispirasi anak sekolah dasar hingga ke pelosok tanpa bayaran memenuhi panggilan itu. Berlatar belakang hal-hal tersebut diatas penulis melihat peluang mengaplikasikan ilmu yang didapat dari Fakultas Marketing Komunikasi Universitas Mercu Buana untuk mendukung program pemerintah dalam sosialisasi pemberantasan buta huruf tahun 2015 dan untuk kepentingan pembuatan skripsi. Penulis yang tergabung dalam skripsi aplikatif yang terdiri dari Prima Utari dan Hane Induskat, menawarkan sebuah solusi melalui sosialisasi marketing komunikasi melalui perancangan advertising above the line dengan judul : “PERANCANGAN
PROGRAM
SOSIALISASI
DALAM
MENGINDENTIFIKASI PENYANDANG BUTA HURUF DI TANGSEL
16
SEBAGAI DUKUNGAN TERHADAP INPRES NO. 5 TAHUN 2006 TENTANG GERAKAN NASIONAL PERCEPATAN PEMBERANTASAN BUTA HURUF MELALUI ADVERTISING ABOVE THE LINE.” Tujuannya adalah melakukan perancangan sosialisasi mengidentifikasikan, menginformasikan, dan mengajarkan
dalam rangka
penyandang buta
huruf melalui “Above The Line “ dengan pembuatan Poster Spanduk sebagai media primer dan Flyer sebagai media skunder untuk menyampaikan pesan ajakan kepada masyarakat melalui sosial marketing. Karena ini adalah skripsi aplikatif yang sifatnya kelompok, maka pada bagian ini kapasitas penulis hanyalah sebagai researcher yang terbatas pada penjabaran pokok permasalahan dan pengumpulan data di lapangan. Point plus dari penjabaran pokok masalah dan pengumpulan data tersebut adalah peneliti dapat berkontribusi ide untuk penanggulangan masalah dan solusinya. Adapun aktifitas tehnis dan eksekusi kreatif dari perancangan advertising above the line yang berupa spanduk, poster dan flyer akan dilakukan dan dijabarkan oleh Hane Induskat sebagai partner Skripsi Aplikatif dari penulis.
1.2. Rumusan Masalah Bagaimana merancang sosialisasi
dalam rangka mengidentifikasikan,
menginformasikan, dan mengajarkan penyandang buta huruf melalui “Above The Line “ dengan pembuatan Spanduk, poster sebagai media primer dan Flyer sebagai media skunder untuk menyampaikan pesan ajakan kepada masyarakat melalui sosial marketing sebagai dukungan terhadap INPRES No,5 Tahun 2006,
17
mengenai gerakan Nasional percepatan pemberantasan buta huruf khususnya di daerah Tangsel.
1.3. Maksud dan Tujuan 1.3.1. Maksud Untuk merancang sosialisasi
dalam rangka mengidentifikasikan,
menginformasikan, dan mengajarkan penyandang buta huruf melalui “Above The Line “ dengan pembuatan Spanduk, poster sebagai media primer dan Flyer sebagai media skunder untuk menyampaikan pesan ajakan kepada masyarakat melalui sosial marketing sebagai dukungan terhadap INPRES No,5 Tahun 2006, mengenai gerakan Nasional percepatan pemberantasan buta huruf khususnya di daerah Tangsel.
1.3.2. Tujuan Tujuan dari pembuatan karya tulis ini adalah sebagai salah satu syarat kelulusan Sarjana Strata 1 (S1) di Universitas Mercu Buana pada Fakultas Ilmu Komunikasi, bidang studi Marcomm/Advertising.
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis/Akademis Penulis berharap aktifitas perancangan sosialisasi ini dapat menjadi referensi
akademis dalam bidang komunikasi pemasaran khususnya melalui
kegiatan komunikasi sosial dan Advertising.
18
1.4.2. Manfaat Praktis Penulis berharap aktifitas perencanaan dan perancangan iklan campaign ini dapat membantu LSM Perempuan LIRA Banten dalam upaya membantu program pemerintah untuk pemberantasan buta huruf di Tangse l khususnya dan area Banten umumnya.
1.5. Batasan Penelitian / Ruang Lingkup Lingkup penelitian dibatasi hanya pada area di Tangsel. Demikian juga hasil dari eksekusi kreatif yang dilakukan akan disosialisasikan Perempuan LIRA Banten sementara hanya di Tangsel saja.
oleh LSM