BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Demokrasi modern terwujud melalui demokrasi perwakilan. Dalam demokrasi perwakilan, terdapat sebuah lembaga yang menjadi pilar berdirinya demokrasi yaitu partai politik. Partai politik memiliki peran penting karena membawa kewajiban demi tujuan demokrasi. Partai politik memiliki dua tujuan utama, yaitu merebut kekuasaan dan dengan kekuasaan itu partai terlibat dalam proses perumusan kebijakan publik. Dua tujuan itu sejatinya saling berkaitan. Partai menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk membuat kebijakan. Sementara itu kebijakan yang dibuat juga harus
mempertimbangkan
kebutuhan
rakyat
sehingga
mereka
bisa
mempertahankan kekuasaannya. Dalam membuat kebijakan publik, partai bekerja melalui fungsi tiga wajah organisasinya. Pertama partai melakukan proses artikulasi kepentingan yang dijalankan oleh organisasi partai di tingkat akar rumput. Proses selanjutnya ialah agregasi kepentingan yang dilakukan oleh organisasi partai di tingkat pusat. Terakhir partai terlibat dalam proses advokasi kebijakan melalui wakil-wakil mereka yang duduk dalam organisasi jabatan publik seperti lembaga legislatif maupun eksekutif. Pentingnya peran partai politik dalam menunjang pelaksanaan demokrasi suatu negara membuat keberadaannya sedikit banyak menentukan kualitas 1
demokrasi sebuah negara. Perbaikan kualitas demokrasi tidak terletak pada keberadaan jumlah partai, tetapi dilihat dari sejauh mana kekokohan dan adaptabilitas sistem kepartaian yang sedang berlangsung (Huntington, 2004 dalam Pamungkas, 2011). Salah satu indikator kokoh tidaknya sebuah partai dapat dilihat dari sistem kelembagaannya. Huntington (2004, dalam Pamungkas 2011) lebih lanjut mengatakan terdapat dua kriteria sebuah sistem kepartaian yang kokoh. Pertama, partai politik harus mampu meningkatkan peran dan fungsi politiknya melalui jalur partai, yang artinya tidak menggunakan cara-cara radikal maupun revolusioner. Kedua, partai harus mampu mencakup dan menyalurkan partisipasi sejumlah kelompok yang baru dimobilisasi agar mengurangi kadar tekanan yang dihadapi oleh sistem politik. Berkaitan dengan kriteria kedua diatas, maka partai politik memiliki fungsi yang strategis dihadapan masyarakat. Partai politik menjadi jembatan untuk menyalurkan aspirasi masyarakat. Oleh karena itu partai politik memegang fungsi representasi kepentingan. Meskipun demikian, tidak semua aspirasi masyarakat dapat diserap oleh partai politik. Selain karena kepentingan kelompok masyarakat yang berbeda-beda, aspirasi yang diserap dan diperjuangkan juga harus sesuai dengan platfom maupun progam partai yang memang sudah diagendakan. Oleh karena itu dalam fungsi representasi tercakup beberapa fungsi lain seperti fungsi artikulasi, agregasi, bahkan bisa juga mengadvokasi kepentingan. Untuk melihat seberapa kokoh sistem kepartaian di Indonesia berjalan, maka penting untuk melihat bagaimana cara partai politik memperjuangkan kepentingannya menjadi sebuah kebijakan. Bukan hanya kepentingan bagi dirinya 2
sendiri, namun juga kepentingan dari warga negara yang menjadi konstituennya. Dalam fungsi representasi kepentingan ini, perlu dilihat apakah kepentingan tersebut benar-benar representasi dari rakyat yang sejalan dengan platfom partai ataukah kepentingan tersebut tidak ubahnya seperti transaksi jual beli. Jika politik transaksional yang menjadi tren saat ini maka bisa jadi dimensi ideologi dalam partai sudah mulai meluntur. Oleh karena itu penting untuk melihat cara partai politik memperjuangkan kepentingan. Salah satu kepentingan yang menarik untuk diteliti adalah mengenai politik pangan. Sebagai sebuah negara yang kental dengan sejarah agrarisnya, terlebih lagi dengan populasi masyarakat yang bekerja di sektor pertanian yang masih banyak maka partai politik tidak bisa melepaskan perhatiannya terhadap masalah pangan. Pemerintah maupun partai politik memegang andil besar pada kemana para petani menjaga tanah-tanah yang sudah memberikan penghidupan kepada rakyat Indonesia selama ratusan tahun. Setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi partai politik untuk mengambil posisi dalam kebijakan pangan. Pertama, pangan memang dijadikan isu politik yang strategis menyangkut ideologi partai. Partai politik memiliki ketertarikan memperjuangkan politik pangannya karena sesuai dengan platfom yang diusung partai. Kedua, politik pangan mendapat perhatian dari partai politik karena pangan bisa menjadi salah satu isu yang diangkat untuk memperoleh suara. Pangan bisa menjadi isu yang strategis untuk diperjuangkan karena ada banyak stakeholder yang berkepentingan dengan pangan.
3
Apabila partai politik melakukan fungsi representasi maka akan ada akomodasi kepentingan dari para aktor pangan. Partai akan menyerap (mengartikulasikan kepentingan) dari kelompok masyarakat yang berkepentingan terhadap pangan. Partai juga akan mengolah (agregasi kepentingan), hingga melakukan advokasi terhadap hasil proses representasi tersebut menjadi sebuah kebijakan. Penelitian ini tidak mengambil fokus pada bentuk kebijakan yang dikeluarkan. Analisis kebijakan mengenai pangan memang dilakukan untuk mengetahui politik pangan seperti apa yang dianut oleh partai politik yang diteliti. Namun menguak bagaimana partai politik bekerja dalam memformulasikan kebijakan sesuai fungsinya juga tidak kalah pentingnya. Oleh karena itu penelitian ini akan fokus pada cara partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mempengaruhi kebijakan pangan di Kabupaten Klaten. Klaten dipilih sebagai arena yang akan diteliti karena daerah ini menjadi salah satu basis produksi pangan, terutama beras. Selama puluhan bahkan ratusan tahun Klaten dikenal sebagai penyokong beras diwilayah Jawa Tengah. Keberadaan para produsen pangan di daerah ini menjadikan partai politik harus memperhatikan kepentingan mereka. Sementara itu PDIP dipilih sebagai partai yang akan diteliti karena PDIP memperoleh suara mayoritas di Kabupaten Klaten. PDIP tidak hanya memperoleh suara terbanyak pada saat pemilihan legislatif 2009, namun juga memenangkan pemilihan kepala daerah. Meskipun bupati H. Sunarna, SE, M.Hum dan wakilnya diusung bersama oleh partai PDIP, PKS, dan Partai Demokrat namun bupati 4
terpilih memiliki latar belakang sebagai kader PDIP. Oleh karena itu tidak salah jika menyebut PDIP menguasai struktur kekuasaan baik di tingkat legislatif maupun eksekutif. Sebagai partai penguasa di Kabupetan Klaten, sumber suara yang diperoleh PDIP salah satunya tentu disokong oleh para aktor pangan. Kemenangan PDIP dalam setiap pemilu di daerah ini diperoleh karena para petani menaruh kepercayaan pada partai berlambang kepala banteng ini. Terlebih lagi PDIP juga mengklaim dirinya sebagai partai yang peduli terhadap sektor pertanian yang ditunjukkan pada nilai-nilai idealime partai seperti Pancasila 1 Juni 1945, Trisakti, dan marhenisme. Salah satu permasalahan serius terkait pemenuhan pangan ialah berkaitan dengan keberadaan lahan-lahan pertanian. Semakin tumbuhnya sektor industri dan properti memaksa terjadinya alih fungsi dari lahan pertanian ke non pertanian. Konversi lahan marak terjadi untuk memenuhi kebutuhan sektor-sektor lain yang memakan lahan. Padahal sawah merupakan media utama untuk menanam tanaman pangan. Jumlah lahan pertanian yang semakin terkikis tentu berpengaruh pada produksi pangan dan menghambat proses menuju negara yang berdaulat dalam hal pangan. Angka konversi terhadap lahan pertanian berbeda-beda di setiap daerah, namun secara nasional jumlahnya mencapai 100.000 hektar per tahun. Di tingkat daerah sebagai contoh, Karawang yang bertrasformasi dari daerah pertanian menjadi daerah industri membuat sektor pertanian terpinggirkan. Lahan-lahan pertanian banyak dialihfungsikan untuk memenuhi kebutuhan industri terhadap 5
lahan. Akibatnya jika pada tahun 1990-an sumbangan pertanian dalam Produk Domestik Regional Broto (PDRB) sebesar 50 persen, maka kini tinggal tersisa 11 persen (Maryoto, 2011). Sementara itu angka konversi lahan di Kabupaten Klaten yang menjadi fokus dalam penelitian ini rata-rata sebesar 35,67 Ha per tahun atau menyedot 0,10% lahan pertanian secara keseluruhan (Kiswanto, 2014). Demi menghambat laju alih fungsi lahan pertanian, pemerintah pusat merumuskan kebijakan yang bertujuan menjaga keberadaan lahan pertanian abadi. Kebijakan ini selesai pada tahun 2009 dan dikenal sebagai Undang-Undang nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLPPB). Salah satu poin utama dalam kebijakan ini ialah memerintahkan daerah untuk menyediakan lahan pertanian abadi yang dituangkan dalam peraturan daerah tentang Rancangan Tata Ruang dan Wilayah di masingmasing daerah. Dalam perkembangannya upaya menjaga lahan pertanian ternyata tidak cukup hanya dengan menyediakan lahan yang tidak dapat dialihfungsikan. Faktor yang mendukung hal tersebut seperti kompensasi, insentif-disinsentif, sangsi, maupun pemberdayaan juga perlu dirumuskan oleh daerah. Untuk itu pemerintah pusat meminta daerah untuk membuat kebijakan serupa seperti dalam UU Nomor 41 Tahun 2009. Meski sudah menjadi keprihatinan di tingkat nasional, namun daerah menanggapi alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian secara beragam. Tidak semua daerah setuju jika sedang terjadi krisis lahan. Daerah-daerah yang memiliki lahan pertanian luas dengan angka konversi lahan yang dianggap kecil 6
belum
melihat bahwa
kebijakan perlindungan lahan
pertanian
pangan
berkelanjutan merupakan rencana kebijakan yang diperlukan saat ini. Sehingga meski pemerintah pusat telah mengamatkan kepada daerah untuk membuat kebijakan serupa dan diperkuat lewat peraturan provinsi, namun pada kenyataannya pemerintah di tingkat kabupaten/kota belum mengeksekusi rencana kebijakan tersebut. Hal inilah yang terjadi di Kabupaten Klaten. Raperda tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLPPB) menjadi salah satu rancangan produk kebijakan yang gagal disahkan menjadi peraturan daerah. Meski sudah dimasukkan dalam program legislasi daerah (prolegda) kabupaten Klaten tahun 2013 dan diperpanjang pada prolegda 2014, namun pemerintah daerah tidak juga bergerak untuk mendiskusikan rancangan kebijakan ini. Raperda yang mengatur keberadaan sawah lestari ini pada akhirnya justru dihapuskan dari prolegda 2014. Keengganan pemerintah daerah untuk membahas rancangan kebijakan ini tentu tidak dapat dilepaskan dari PDIP sebagai partai penguasa di kabupaten Klaten. Sebagai partai yang dominan dan dianggap memiliki keberpihakan disektor pangan, tentu menjadi sebuah tanda tanya besar mengapa PDIP tidak bergairah dalam membahas isu sawah lestari. Selain itu menjadi penting juga untuk melihat apakah dalam membuat keputusan terkait kebijakan yang akan dibahas di pemerintahan, PDIP melibatkan tiga wajah organisasi partai beserta fungsinya masing-masing.
7
B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian singkat diatas, penelitian ini menitikberatkan pada pertanyaan utama “Bagaimana PDIP di Klaten bekerja dalam proses perumusan kebijakan pangan (PLPPB) melalui peran partai politik pada tiga wajah organisasinya?”
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui politik pangan seperti apa yang diperjuangkan oleh PDIP di Kabupaten Klaten. 2. Mengetahui cara PDIP bekerja dalam proses perumusan kebijakan terkait perlindungan lahan pertanian pangan yang menjadi agenda kebijakan di kabupaten Klaten lewat fungsi tiga wajah organisasi partai.
D. Kerangka Teori D.1. Perumusan Kebijakan Melalui Fungsi Tiga Wajah Organisasi Partai Politik Sebagai sebuah institusi penting dalam demokrasi perwakilan, partai politik mengemban beberapa fungsi. Apabila dikelompokkan berdasarkan kerangka organisasinya, maka fungsi partai politik dapat terbagi ke dalam tiga bagian. Menurut Key (1964, dalam Pamungkas 2011) partai politik dapat dibagi menjadi partai di pemilih (party ini electorate), partai sebagai sebuah organisasi (party organization), dan partai di institusi pemerintahan (party in the 8
government). Katz dan Mair juga membagi partai ke dalam tiga bagian yang relatif sama dengan konsep kerangka bagian yang dirumuskan Key. Ketiga kerangka bagian partai politik (disebut tiga wajah organisasi partai) menurut Katz dan Mair (1993) ialah; 1. The party in public office (organisasi partai di jabatan publik, bisa berupa lembaga legislatif maupun lembaga eksekutif). 2. The party on the ground (organisasi partai di tingkat akar rumput yang bersentuhan langsung dengan masyarakat). 3. The party in central office (partai di tingkat organisasi pusat).
Partai di masing-masing wajah memiliki fungsi yang berbeda. Organisasi partai di tingkat akar rumput adalah level terkecil dari partai politik sehingga menjadi organisasi partai yang bersentuhan langsung dengan konstituen. Mereka menjadi organisasi partai yang menjaga suara di level akar rumput. Fungsi organisasi partai di tingkat akar rumput menunjuk pada penampilan partai politik dalam menghubungkan individu dalam proses demokrasi. Partai di level ini mengemban fungsi menyederhanakan pilihan bagi pemilih, pendidikan warga negara, membangkitkan simbol identifikasi dan loyalitas, serta memobilisasi rakyat untuk berpartisipasi (Pamungkas, 2011). Karakteristik utama dari wajah organisasi partai ini adalah keanggotaan sukarela yang dapat berisi aktivis biasa, pendukung loyalis, maupun orang-orang tidak terdaftar secara resmi sebagai anggota partai (Katz and Mair, 1993).
9
Organisasi partai di tingkat pusat menurut para ahli menjadi pusat dari kegiatan partai politik. Partai di tingkat organisasi pusat berperan pada fungsifungsi yang melibatkan partai sebagai organisasi politik, atau proses-proses di dalam organisasi partai itu sendiri. Untuk itu partai di tingkat organisasi pusat memiliki fungsi rekruitmen kepemimpinan politik dan mencari pejabat pemerintahan, pelatihan elit politik, pengartikulasian kepentingan politik, dan pengagregasian kepentingan politik (Pamungkas, 2011). Sumber daya utama dari organisasi partai di tingkat pusat adalah sentralitas, keahlian, dan posisi formal di puncak organisasi partai. Organisasi partai di level ini bisa berisi pemimpinpemimpin wajah organisasi partai yang lain sehingga secara idealnya organisasi partai di pusatlah yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan. Organisasi partai di jabatan publik merupakan organisasi partai yang diisi oleh orang-orang yang memenangkan pemilihan. Partai di jabatan publik adalah inti klasik dari partai yaitu mereka yang memperoleh basis legitimasi atas kesuksesan pemilu. Dalam partai di jabatan publik, terdapat dua arena yang tersedia yaitu legislatif dan eksekutif. Orang-orang partai yang duduk di jabatan lembaga legislatif membentuk organisasi berbentuk fraksi. Biasanya satu fraksi diisi oleh orang-orang dari partai yang sama, namun satu fraksi bisa juga terdiri dari berbagai partai politik. Jabatan lain di organisasi publik adalah lembaga eksekutif. Lembaga ini diisi oleh bupati maupun gubernur di tingkat daerah, serta presiden di tingkat nasional. Lembaga eksekutif di tingkat daerah bisa berasal dari orang partai politik, bisa juga berasal dari orang non partai politik yang memenangkan pemilihan. 10
Partai di jabatan publik berperan dalam pengelolaan persoalan-persoalan pemerintahan. Peran ini terbagi ke dalam tujuh fungsi yaitu menciptakan mayoritas pemerintahan, pengorganisasian pemerintahan, implementasi tujuan kebijakan, mengorganisasikan ketidaksepakatan dan oposisi, menjamin tanggung jawab tindakan pemerintah, kontrol terhadap administrasi pemerintahan, dan memperkuat stabilitas pemerintahan (Pamungkas, 2011). Apabila diperhatikan, masing-masing wajah partai memiliki fungsi yang berkaitan dengan peran partai sebagai penyalur kepentingan. Di tingkat akar rumput, partai bertugas menghubungkan individu pada proses demokrasi. Partai berupaya mempengaruhi warga untuk menyederhanakan pilihan ketika proses pemilihan berlangsung. Sebagai konsekuensi dari dukungan individu terhadap salah satu partai, maka individu dapat berpartisipasi dalam proses demokrasi, diantaranya menyuarakan kepentingannya kepada partai, atau disebut artikulasi kepentingan dari rakyat. Partai di tingkat akar rumput merespon dengan menyerap artikulasi kepentingan masyarakat. Untuk itu pada organisasi partai level ini, partai berperan memobilisasi rakyat untuk berpartisipasi, baik partisipasi dalam pemilihan maupun dalam menyuarakan kepentingannya. Organisasi partai di tingkat pusat (the party in central office) juga melakukan proses artikulasi kepentingan. Namun sebelum melakukan fungsi tersebut, kepentingan yang hendak disuarakan terlebih dahulu harus melalui proses agregasi kepentingan. Agregasi
kepentingan
menunjuk
pada
aktivitas
partai
untuk
menggabungkan dan menyeleksi tuntutan kepentingan dari berbagai kelompok 11
sosial ke dalam alternatif-alternatif kebijakan atau program pemerintahan (Pamungkas, 2011). Senada dengan definisi sebelumnya, Putra (2003) juga menjabarkan bahwa agregasi kepentingan adalah cara bagaimana tuntutantuntutan yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda, digabungkan menjadi alternatif-alternatif pembuatan kebijakan publik. Ketika proses artikulasi dan agregasi kepentingan usai, maka giliran orgnisasi
partai
di
jabatan
publik
(pemerintahan)
yang
berusaha
mengimplementasikan tujuan kebijakan. Organisasi partai di pemerintahan, baik yang berbentuk eksekutif maupun legislatif merupakan aktor sentral yang menentukan output kebijakan pemerintahan. Dalam fungsinya ini institusi partai di pemerintahan memperjuangkan kepentingan berdasarkan manifesto partai (platfom partai), janji kampanye, dan yang sejalan dengan kepentingan masyarakat konstituennya. Apabila diringkas pada organisasi partai level ini partai memperjuangkan kepentingan hasil artikulasi dan agregasi kepentingan menjadi kebijakan. Katz dan Mair menggunakan teori tiga wajah partai dalam lingkup politik skala nasional di negara Eropa. Jika diimplementasikan dalam bingkai politik Indonesia maka yang disebut sebagai organisasi partai di tingkat pusat adalah organisasi partai yang berkedudukan di ibukota negara. Dalam struktur organisasi partai PDIP, maka yang disebut sebagai organisasi partai di tingkat pusat ialah Dewan Pengurus Pusat (DPP) PDI Perjuangan. Sementara itu yang dimaksud dengan organisasi partai di tingkat akar rumput ialah organisasi PDIP di tingkat kabupaten/kota atau Dewan Pengurus Cabang (DPC). Sedangkan yang dimaksud 12
dengan organisasi partai di dalam jabatan publik merupakan kumpulan anggota legislatif (DPR) dan eksekutif (presiden dan atau wakil presiden). Dengan
meminjam
logika
tiga
wajah
organisasi
partai
yang
diperkenalkan oleh Katz dan Mair, peneliti ingin memasukkan wajah-wajah organisasi tersebut dalam tataran lokal. Jika melihat fungsi dan perannya, teori ini tidak saja bisa digunakan untuk melihat bagaimana partai bekerja dalam merumuskan kebijakan di tingkat nasional, namun juga dapat dibahas di tingkat lokal. Hal ini karena partai di tingkat lokal juga memiliki wajah-wajah organisasi yang sama dengan struktur partai skala nasional. Mengacu pada hal tersebut maka peneliti melakukan penyesuaian terhadap tiga wajah organisasi partai di tingkat lokal. Di tingkat kabupaten/kota, PDI Perjuangan juga memiliki organisasi yang berhak membuat keputusan dalam lingkup kabupaten/kota. Untuk itu dalam penelitian ini yang dimaksud dengan organisasi partai di tingkat pusat adalah DPC PDIP Kabupaten Klaten. DPC membawahi struktur organisasi partai di tigkat kecamatan (anak cabang), desa (ranting), hingga pedukuhan (anak ranting). Organisasi partai di tingkat inilah yang bersentuhan langsung dengan rakyat sehingga dalam konteks penelitian ini yang dimakud dengan organisasi partai di tingkat akar rumput adalah strukrur partai di tingkat ranting maupun anak ranting. Partai juga dapat memasukkan wakilnya pada organisasi jabatan publik lewat lembaga DPRD maupun eksekutif (bupati-wakil bupati). Peran kedua lembaga ini sama seperti peran legislatif-eksekutif di tingkat pusat. Mereka berfungsi menyelenggarakan pemerintahan dan terlibat dalam proses perumusan 13
kebijakan. Untuk itu yang dimaksud dengan organisasi partai dalam jabatan publik dalam penelitian ini adalah kader-kader PDI Perjuangan kabupaten Klaten yang duduk dalam lembaga eksekutif (bupati) dan legislatif (fraksi PDIP di DPRD kabupaten Klaten).
E. Definisi Konseptual E.1. Politik Pangan Politik pangan adalah kebijakan sebuah negara dalam menyediakan pangan bagi warga negaranya. Penyediaan pangan ini bisa dilihat dalam dua perspektif yang bermuara pada tujuan politik pangan tersebut. Pertama, politik pangan yang dianut bertujuan hanya pada penyediaan pangan kepada masyarakat. Darimana produk pangan tersebut dihasilkan tidaklah penting karena negara fokus pada ketahanan pangan. Kedua, politik pangan yang memiliki tujuan akhir pada kedaulatan pangan, dimana produk pangan berupaya dipenuhi oleh produk-produk dalam negeri. Oleh karena itu kedaulatan pangan tidak hanya fokus pada ketersediaan pangan namun juga darimana produk pangan tersebut dihasilkan.
E.2. Partai Pemerintah Partai pemerintah adalah partai yang memperoleh suara dan atau kursi terbanyak dalam lembaga legislatif dan menjalankan pemerintahan. Partai penguasa dapat terdiri dari satu partai atau gabungan partai (koalisi) yang kemudian membentuk pemerintahan. Tugas partai pemerintah adalah mendukung
14
jalannya pemerintahan yang dilakukan lembaga eksekutif, oleh karena itu partai penguasa juga dapat berafiliasi dengan pimpinan eksekutif.
E.3. Tiga Wajah Organisasi Partai dan Fungsinya dalam Mempengaruhi Kebijakan E.3.1. Organisasi Partai di Tingkat Akar Rumput Organisasi partai di tingkat akar rumput adalah struktur terkecil dari partai politik yang berinteraksi langsung dengan masyarakat. Tugas dari organisasi partai di tingkat akar rumput adalah menjaga suara dari para konstituen partainya dengan melakukan mobilisasi partisipasi masyarakat baik ketika pemilihan maupun ketika akan menyampaikan aspirasinya, serta menyerap artikulasi kepentingan yang disampaikan masyarakat. E.3.2. Partai di Organisasi Pusat Partai di organisasi pusat adalah struktur tertinggi partai yang berhak membuat keputusan strategi partai. Partai di organisasi pusat biasanya terletak di ibukota berisi para pimpinan wajah-wajah organisasi partai yang lain. Organisasi partai di tingkat ini melakukan artikulasi kepentingan kepada wakilnya di jabatan pemerintahan. Selain itu di level ini partai merumuskan kepentingan-kepentingan yang akan diangkat menjadi sebuah tawaran kebijakan bagi pemerintah. Dalam merumuskan kepentingannya, partai politik berlandaskan pada keinginan konstituen yang sejalan dengan platfom partai. E.3.3. Organisasi Partai di Jabatan Publik (Pemerintahan)
15
Organisasi partai di jabatan publik adalah jabatan legislatif dan jabatan eksekutif. Jabatan legislatif diemban oleh orang partai yang memenangi pemilihan sehingga dirinya berhak duduk di lembaga parlemen. Kumpulan orang-orang dalam satu partai yang berhasil menduduki jabatan di legislatif ini kemudian membentuk organisasi yang disebut fraksi. Sementara itu jabatan eksekutif adalah jabatan yang diemban oleh calon presiden-wakil presiden, atau calon kepala daerah-wakil kepala daerah yang memenangi pemilihan untuk menduduki lembaga
eksekutif.
Jabatan
eksekutif
dan
legislatif
memiliki
fungsi
mengimplementasikan tujuan kebijakan berdasarkan platfom partai yang sudah disesuaikan dengan kepentingan konsituennya.
E.4. Fungsi Artikulasi Kepentingan Artikulasi kepentingan adalah suatu proses penginputan berbaga kebutuhan, tuntutan dan kepentingan melalui wakil-wakil kelompok yang masuk dalam lembaga legislatif, agar kepentingan, tuntutan, dan kebutuhan kelompoknya dapat terwakili dan terlindungi dalam kebijaksanaan pemerintah (Putra, 2003). Berdasarkan definisi
ini, partai
politik melakukan proses
penginputan
(penyerapan) aspirasi yang disuarakan oleh masyarakat. Artikulasi kepentingan dilakukan oleh pihak yang memiliki kepentingan dan diutarakan kepada pihak yang memiliki kekuasaan untuk membuat kebijakan. Artikulasi kepentingan dapat dilaksanakan oleh kelompok kepentingan atau masyarakat kepada wakil rakyatnya langsung maupun lewat perantara partai politik.
16
Sementara itu menurut Pamungkas (2011), pada fungsi artikulasi kepentingan partai politik menyuarakan kepentingan-kepentingan pendukungnya melalui pilihan posisi dalam berbagai isu politik dan dengan mengekspresikan pandangan pendukungnya dalam proses pemerintahan. Dalam hal ini artikulasi kepentingan lebih diarahkan pada proses partai politik ketika menyuarakan kepentingan partai yang terintegrasi dengan kepentingan rakyat kepada para wakilnya di lembaga legislatif. Oleh karena itu artikulasi kepentingan dapat dilakukan oleh dua aktor, yaitu masyarakat yang ditujukan kepada partai politik, serta partai politik yang ditujukan kepada wakilnya di lembaga legislatif.
E.5. Fungsi Agregasi Kepentingan Fungsi agregasi kepentingan menunjuk pada aktivitas partai untuk menggabungkan dan menyeleksi tuntutan kepentingan dari berbagai kelompok sosial ke dalam alternatif-alternatif kebijakan atau program pemerintahan (Pamungkas, 2011). Dalam fungsi ini, partai politik melakukan penyaringan kepentingan yang masuk dari masyarakat, memilih dan kemudian mengolahnya tanpa menghilangkan platfom-platfom partai. Untuk itu idealnya proses agregasi kepentingan menghasilkan tawaran kebijakan yang sesuai dengan kepentingan masyarakat dan tidak melenceng dari manifesto partai. Sebuah partai yang berusaha mengintegrasikan suatu sistem tanpa memperhatikan kepentingan kelompok-kelompok yang terlibat, mungkin akan berakhir dengan kehancuran dirinya sendiri (Macridis, dalam Amal 1988). Suatu partai yang berusaha memproses tuntutan yang jauh dari harapan kepentingan 17
kelompok-kelompok yang terlibat akan segera mendapati dirinya kehabisan tenaga. Partai politik akan kehilangan suara dalam pemilihan sebagai hukuman karena tidak mengindahkan kepentingan konstituennya. Analogi ini sama seperti mesin yang akan mogok apabila ia mencoba terus menarik muatan dengan persediaan bahan bakar yang terbatas. Oleh karena itu partai politik harus senantiasa melihat kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan masyarakat dengan tetap berpegang pada garis-garis besar haluan partai.
F. Definisi Operasional F.1. Politik Pangan Politik
pangan
berbicara
mengenai
kebijakan
pemerintah
untuk
menyediakan ketersediaan pangan, yang apakah berupa ketahanan pangan atau kedaulatan pangan. Politik pangan lebih menitikberatkan pada bagaimana partai pemerintah di kabupaten Klaten melaksanakan fungsi artikulasi, agregasi, dan advokasi kebijakan dalam hal pangan, utamanya menyangkut proses perumusan kebijakan tentang rancangan peraturan daerah tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang menjadi fokus dalam penelitian ini.
F.2. Tiga Wajah Partai PDIP Klaten Teori tiga wajah organisasi partai akan digunakan dalam konteks daerah di kabupaten Klaten. Karena fokus penelitian ini ada di daerah, maka ada penyesuaian dengan yang wajah-wajah di organisasi partai. Dalam penelitian ini yang dimaksud organisasi partai di jabatan publik adalah wakil-wakil PDIP yang 18
menduduki lembaga DPRD Kabupaten Klaten dan Bupati Klaten. Di wilayah Klaten, PDIP adalah partai yang memenangi suara mayoritas baik ketika pemilihan legislatif maupun eksekutif, oleh karena itu PDIP dalam kasus ini disebut partai pemerintah. Sementara itu partai di tingkat akar rumput yang dimaksud dalam penelitian ini adalah organisasi partai di tingkat ranting maupun anak ranting. Organisasi ini basisnya berdasarkan wilayah desa/keluarhan untuk ranting, dan dusun/pedukuhan untuk anak ranting. Organisasi partai di tingkat akar rumput juga dapat berbentuk organisasi intra partai (underbow) yang fokus pada suatu isu dan kelas masyarakat tertentu. Sedangkan partai di organisasi pusat adalah DPC PDIP Kabupaten Klaten. DPC PDIP Kabupaten Klaten merupakan struktur organisasi PDIP tertinggi di Klaten yang dilekati fungsi merumuskan tawaran kebijakan sehingga disebut sebagai organisasi partai di tingkat pusat.
F.3. Fungsi Artikulasi, Agregasi, dan Implementasi Tujuan Kebijakan Fungsi artikulasi kepentingan dilakukan oleh dua aktor yaitu dari masyarakat kepada partai politik dan dari partai politik kepada wakil-wakilnya di lembaga eksekutif dan legislatif. Artikulasi kepentingan yang berasal dari masyarakat berupa aspirasi-aspirasi dari para produsen pangan maupun stakeholder lain yang memiliki kepentingan terhadap alat-alat produksi dan produksi pangan di Kabupaten Klaten. Sementara itu artikulasi kepentingan yang dilakukan partai sudah melalui proses agregasi sehingga bisa disampaikan kepada wakilnya yang duduk pada jabatan pemerintahan. 19
Fungsi agregasi kepentingan dilakukan oleh organisasi partai yang berwenang membuat tawaran kebijakan. Dalam konteks PDIP di Kabupaten Klaten, fungsi ini melekat pada organisasi partai di tingkat cabang (DPC PDIP Klaten). Agregasi kepentingan dilakukan dengan menyeleksi kepentingan yang terjaring dari masyarakat maupun underbow partai untuk kemudian diproses menjadi tawaran kebijakan dengan tetap berpegang pada platfom maupun program kerja partai tentang pangan. Fungsi implementasi tujuan kebijakan dilakukan oleh wakil-wakil partai yang memperoleh jabatan di pemerintahan baik anggota DPRD maupun bupati dan wakil bupati. Mereka melakukan negosiasi dengan para pengambil kebijakan lain di pemerintah daerah tentang pangan yang sudah diagregasikan oleh organisasi partai di tingkat pusat.
G. Metode Penelitian Penelitian kualitatif memiliki banyak metode seperti studi kasus, etnografi, histotiografi, grounded theory, maupun biografi. Pemilihan metode dalam penelitian tergantung pada beberapa hal. Pertama tipe pertanyaan penelitian. Kedua, kontrol yang dimiliki peneliti terhadap peristiwa perilaku yang akan ditelitinya. Ketiga, fokus terhadap fenomena penelitiannya (fenomena kontemporer ataukah fenomena historis) (Yin, 2012: 1). Studi kasus menjadi metode yang dipilih dalam penelitian ini dengan mempertimbangkan kriteria diatas. Dari tipe pertanyaan penelitiannya, peneliti menggunakan kata tanya kunci how dan why. Selain itu peneliti juga hanya 20
memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki. Sementara jika ditilik berdasarkan konteks yang diteliti, penelitian ini mengacu pada peristiwa kontemporer (saat ini) yang terjadi pada kehidupan nyata. Penelitian ini akan menggunakan metode single case study. Single case study dipilih karena penelitian ini fokus pada satu kasus saja. Peneliti tidak membandingkan dengan proses perumusan kebijakan yang lain maupun di tempat yang berbeda. Dinamika proses perumusan kebijakan pangan di kabupaten Klaten oleh partai penguasa disana, PDIP dianggap cukup untuk memahami proses berjalannya fungsi artikulasi hingga advokasi kepentingan di level partai politik. Penelitian akan difokuskan pada dinamika perumusan kebijakan pangan di ranah partai politik PDIP di kabupaten Klaten. Dalam metode studi kasus terdapat beberapa cara yang bisa digunakan sebagai teknik pengumpulan data yaitu wawancara, observasi, dan telaah dokumen. Dalam penelitian ini, sumber data utama yang diperoleh berasal dari wawancara mendalam dan telaah dokumen. Wawancara penelitian akan melibatkan banyak aktor diantaranya pihak dari dinas pertanian, para produsen pangan, organisasi partai yang mengurusi masalah pangan, elit politik PDIP di Kabupaten Klaten, dan orang-orang yang berada di dalam struktur organisasi PDIP. Langkah pertama yang akan dilakukan adalah menghubungi dinas pertanian kebupaten Klaten dalam rangka mencari produk peraturan yang mengatur kebijakan pangan di daerah Klaten. Dari penelusuran produk kebijakan tersebut sekaligus menanyakan siapa saja pihakpihak yang turut terlibat dalam proses pembuatan kebijakan tersebut, mengingat mungkin produk kebijakannya tidak dilahirkan oleh pemerintahan periode saat ini. 21
Ketika terjun ke lapangan, hal pertama yang dilakukan adalah mencari siapa yang menginisiasi kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pertanian. Peneliti mengambil jalan untuk menghubungi Dinas Pertanian Kabupaten Klaten. Namun sesampainya di sana ternyata mereka tidak tahu tentang raperda yang dibahas pada tahun 2013 yang berkaitan dengan masalah pertanian. Kemudian peneliti disarankan untuk mencari raperda yang dimaksud ke BAPPEDA Kabupaten Klaten. Di BAPPEDA, peneliti memperoleh daftar program legislasi daerah (prolegda) yang menjadi program kerja badan legislasi dan pemerintah pada tahun 2013. Berdasarkan data prolegda tersebut, peneliti memperoleh data yang dimaksud yaitu proses pembahasan raperda mengenai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan terdapat pada prolegda 2013 yang rencananya akan dibahas pada triwulan III bulan Juli-September 2013. Selain itu peneliti juga bertemu dengan Himawan, Kepala Sub Bidang (Kasubid) Pertanian BAPPEDA Kabupaten Klaten yang merupakan penyusun draft awal raperda Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Untuk memperkaya data, peneliti diminta untuk bertanya juga pada bagian Fisik Sarana dan Prasarana BAPPEDA Kabupetan Klaten karena rencana kebijakan ini ada kaitannya dengan zona penggunaan lahan. Dari hasil wawancara dengan Hutanto, staff bidang fisik sarana dan prasarana, peneliti memperoleh banyak data berkaitan dengan kebijakan lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam kaitannya dengan penggunaan lahan dan potensi kesulitan dalam implementasi di lapangan.
22
Dari BAPPEDA, peneliti melanjutkan pencarian data pada Bagian Hukum Pemerintah Daerah sebagai instansi tempat raperda lahan pertanian pangan berkelanjutan dibahas di dalam internal eksekutif. Di instansi tersebut, peneliti bertemu dengan Yayuk dan Bambang Srigiyanto sebagai birokrat yang mengurusi persoalan hukum sebuah raperda. Dalam kesempatan-kesempatan selanjutnya peneliti banyak melakukan diskusi dengan bagian hukum pemerintah daerah untuk mengetahui progres kebijakan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Selain mencari sumber dari pihak eksekutif, peneliti juga membandingkan data yang dipeoleh dengan data yang dimiliki lembaga legislatif. Dari sini, peneliti bertemu dengan Budi Wardani, Sektretaris Dewan Bagian Perundangan DPRD Kabupaten Klaten. Dari hasil wawancara tersebut, semakin menguatkan data mengenai siapa inisiator raperda lahan pertanian berkelanjutan dan juga siapa yang berwenang menyusun draft kebijakan tersebut. Dalam perkembangan penelitian, peneliti merasa perlu untuk mengetahui hal-hal umum mengenai pertanian di Kabupaten Klaten. Hal ini membuat peneliti kembali melakukan wawancara dengan Dinas Pertanian. Dari wawancara tersebut peneliti memperoleh banyak data yang diperlukan untuk memperkuat proses analisa seperti masalah produksi, masalah alih fungsi, serangan hama yang meporakporandakan sektor pertanian di Klaten pada tahun 2011 maupun data-data statistik lain. Dalam penelitian ini keterlibatan partai sangat penting untuk diketahui. Untuk itu peneliti melakukan wawancara dengan pengurus di DPC PDI Perjuangan sebagai representasi organisasi partai di tingkat pusat. Peneliti 23
bertemu dengan Sutarjo, bendahara DPC PDI Perjuangan yang menjadi salah satu narasumber utama dalam penelitian ini. Peneliti melakukan beberapa kali wawancara
dengan
Sutarjo.
Selain
itu
untuk
mempekuat
sekaligus
mengkonfirmasi data yang diperoleh, peneliti juga melakukan wawancara dengan beberapa pengurus ranting sebagai pembanding data. Selain teknik pengumpulan data berbentuk wawancara, penelitian ini juga akan menggunakan studi pustaka. Studi pustaka yang pertama adalah produk kebijakan mengenai pangan yang sudah dihasilkan. Data ini diperoleh dengan melakukan pencarian data di Dinas Pertanian, Badan Ketahanan Pangan, BAPPEDA, DPC PDI Perjuangan, serta Kantor DPRD Klaten. Data-data yang diperoleh dari berbagai instansi tersebut banyak membantu peneliti dalam melakukan analisa sekaligus memperkaya data dalam penyusunan skripsi. Studi pustaka kedua adalah buku atau jurnal yang mendukung dalam penggunaan teori seperti buku/jurnal/tulisan yang membahas partai politik di tiga wajah, buku yang menjabarkan politik pangan, dan buku yang membahas mengenai perspektif pilihan rasional (rational choice). Studi pustaka yang kedua ini digunakan sebagai basis untuk memperkuat bab pertama penelitian. Studi pustaka terakhir yang digunakan adalah buku/tulisan yang membahas mengenai PDIP, terutama dalam dimensi ideologisnya untuk mengetahui apakah ideologi yang dibangun dengan kenyataan dilapangan sama atau tidak. Selain itu juga untuk membuktikan bahwa kebijakan pangan yang dilahirkan
merupakan
hasil
pemikiran
ideologis
transaksional diantara partai dengan konstituennya. 24
partai
ataukah
hanya
H. SISTEMATIKA PENULISAN Penelitian ini direncanakan terbagi ke dalam enam bab. Bab kesatu berisi pemaparan gagasan-gagasan yang akan digunakan pada bab-bab selanjutnya. Dalam bab pertama dijelaskan latar belakang penelitian ini, tujuan, serta teori yang digunakan. Penjelasan pada bab pertama dimaksudkan sebagai pembuka dalam menjelaskan proses perumusakan kebijakan pangan di PDIP pada bab-bab selanjutnya. Bab kedua dibuka dengan pembahasan mengenai partai dan pertanian pangan secara umum. Bab ini dianggap penting karena usulan tentang adanya kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjuan berasal dari tingkat nasional, untuk itu perlu dilihat juga bagaimana kondisi partai dan pertanian secara nasional. Bab ketiga pembahasan dilanjutkan pada sejarah pangan di Kabupaten Klaten. Penelusuran sejarah pangan ini digunakan sebagai pengantar sekaligus menunjukkan seberapa penting keberadaan para produsen pangan dari tahun ke tahun. Selain itu juga akan dipaparkan bagaimana kondisi produk pangan yang dihasilkan oleh masyarakat Klaten saat ini. Ketika peneliti sudah mengetahui pentingnya keberadaan produk pangan di Klaten, maka pembahasan berlanjut pada produk hukum apa yang digunakan pemerintah daerah untuk melestarikan keberadaan produk pangan yang dihasilkan di Klaten. Pada bab keempat peneliti memulainya dengan membahas kebijakan yang menjadi fokus dari penelitian ini. Analisa tentang proses perjalanan 25
perumusan kebijakan dan potensi bagaimana implementasi kebijakan tidak luput dari pembahasan di dalam bab ini. Ketika sudah selesai, pembahasan berlanjut dengan menguraikan proses representasi kepentingan dalam pangan berjalan. Pembahasan ini diperlukan untuk mencari tahu apakah ada tiga wajah organisasi partai berdasarkan teori yang digunakan dan bagaimana mereka berperan dalam proses akomodasi kepentingan. Bab kelima dimulai dengan penjelasan apa yang mendasari keputusankeputusan yang diambil terkait rencana kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Selain itu dilihat juga bagaimana peran masing-masing stekeholder kebijakan terkait kebijakan ini. Dari sinilah peneliti mengetahui alasan-alasan dibalik dinamika yang terjadi selama proses perumusan kebijakan. Dari keseluruhan proses inilah kemudian dapat diperoleh kesimpulan yang menjadi pengisi Bab keenam. Kesimpulan berisi jawaban atas pertanyaan penelitian yang telah dijelaskan pada bab pertama, yaitu menjawab pertanyaan bagaimana peran tiga wajah organisasi partai bekerja dalam proses perumusan kebijakan pangan di Kabupaten Klaten. Selain itu akan disimpulkan pula bahwa apakah kebijakan pertanian yang dilahirkan PDI Perjuangan berasal perjuangan ideologis atau hanya transaksi untuk menancapkan kekuasaannya di Klaten.
26