BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Setiap
tahun
kenakalan
anak
selalu
terjadi.
Apabila
dicermati
perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi, pelanggaran yang dilakukan anak tersebut dirasakan telah meresahkan semua pihak khususnya para orang tua. Fenomena meningkatnya perilaku tindak kekerasan yang dilakukan anak seolah-olah tidak berbanding lurus dengan usia pelaku. Oleh karena itu, berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak, perlu dilakukan.1 Batasan umur anak menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menjelaskan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Sementara itu hukum Perdata meletakkan batas usia anak berdasarkan Pasal 330 ayat (1) KUHPerdata yaitu (a) batas antara usia belum dewasa dengan telah
1
Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Graha Ilmu,Yogyakarta, 2010, hlm. 103
1
2
dewasa, yaitu 21 (dua puluh satu) tahun; dan (b) seorang anak yang berada dalam usia dibawah 21 (dua puluh satu) tahun yang telah menikah dianggap telah dewasa. Berdasarkan batasan usia yang sangat bervariatif tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dapat dikategorikan sebagai anak apabila seseorang yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Kenakalan anak atau dalam istilah asingnya disebut dengan Juvenile Delinquency. Juvenile Delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak usia muda.2 Sedangkan Juvenile Delinquency menurut Romli Atmasasmita merupakan perbuatan atau tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.3 Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Selain itu anak yang kurang atau tidak memperoleh
kasih
sayang,
asuhan,
bimbingan
dan
pembinaan
dalam
pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua,
2 3
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, PT Refika Aditama Bandung, 2007, hlm.11. Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, Armico, Bandung, 2003, hlm. 40.
3
wali, atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya. Dalam tata kehidupan, anak masih berada dalam masa perkembangan atau pertumbuhan fisik dan mental yang belum stabil/matang. Pada umumnya anak mengalami krisis identitas pada tahap kehidupannya. Krisis identitas anak tergantung pada lingkungan yang ikut menentukan pembentukan identitas atau pribadinya bila lingkungan yang menentukan akan memungkinkan dia menjadi seorang yang matang pribadinya sedang lingkungan buruk biasanya mendorong ke hal-hal yang negatif. Oleh sebab itu dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah laku anak nakal, perlu dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas tersebut. Secara psikologis, kejahatan anak berangkat dari terputusnya harapan anak dalam mencari identitas diri. Anak-anak demikian sering terjebak dalam pergaulan yang melanggar hukum, seperti minum-minuman keras, narkotika dan tindak pidana serta perbuatan kriminal lainnya. Sikap dan perilaku anak yang melanggar ketertiban, melanggar hukum disertai tindak kriminal, selalu berakhir berurusan dengan aparat penegak hukum. Anak kurang memahami bahwa hukum ada dalam kehidupan masyarakat, dan dijunjung tinggi sebagai bagian kehidupan dalam masyarakat. Umumnya anak kurang memahami bahwa tujuan pokok diadakan hukum, termasuk hukum pidana adalah untuk melindungi individu atau warga negara Indonesia dari kemungkinan tindak kejahatan. Jika ditindak karena anak melanggar hukum berarti berusaha memberi perlindungan kepada warga masyarakat dari gangguan pelanggaran hukum seperti : pencurian, pemerasan,
4
ancaman dan tindak pidana lainnya yang terjadi dalam masyarakat. Tindakan anak melakukan
pencurian
termasuk
tindakan
yang
melanggar
hukum,
dan
menimbulkan kerugian pada masyarakat lingkungannya serta keluarga. Dalam menghadapi masalah anak nakal, orang tua dan masyarakat sekitarnya seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan dan pengembangan perilaku anak tersebut. Mengingat ciri dan sifat anak yang khas, maka dalam menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap pelaku kejahatan di bawah umur diupayakan agar anak yang dimaksud jangan sampai dipisahkan dari orang tuanya, seperti yang dikatakan Soeaidy Sholeh : Bilamana hubungan antara orang tua dan anak kurang harmonis atau karena sifat perbuatannya sangat merugikan masyarakat sehingga perlu memisahkan anak dari orang tuanya, hendaklah tetap di pertimbangkan bahwa pemisahan tadi adalah semata-mata demi pertumbuhan dan perkembangan anak itu sendiri secara sehat dan wajar.4 Perbedaan perlakuan dan ancaman pidana tersebut dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak agar dapat menyongsong masa depan yang masih panjang dengan baik. Perbedaan itu dimaksudkan pula untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya guna menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab dan berguna bagi keluarga dan masyarakat. Dalam kehidupan yang dipengaruhi oleh arus globalisasi ini, pengaruh negatif bisa saja masuk melalui pergaulan baik secara tradisional (off line) ataupun secara moderen (on line) melalui situs jejaring sosial facebook ataupun twitter. Salah satu pengaruh negatif dari pergaulan global tersebut adalah perkenalan anak
4
Soeaidy Sholeh, Dasar Hukum Perlindungan Anak, CV. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2001, hlm. 24
5
dengan narkotika dan obat-obatan terlarang. Ditambah dengan maraknya peredaran narkotika yang semakin bebas di tengah masyarakat, maka tidak aneh lagi bila ada sebagaian anak yang terjerumus kedalam perbuatan penyalahgunaan narkotika. Penyalahgunaan narkotika di Indonesia merupakan masalah yang mulai timbul sejak ± 26 tahun yang lalu. Masalah ini makin besar dan meluas sehingga pada
akhirnya
dinyatakan
sebagai
masalah
nasional
yang
dalam
penanggulangannya perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak. Berdasarkan penelitan dan pengamatan berbagai pihak didapatkan data bahwa mereka yang menyalahgunakan narkotika kebanyakan tergolong dalam usia muda (anak-anak). Survei yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional terdapat 8 % (delapan persen) anak usia 12-19 tahun pernah mencoba narkotika. Satu dari empat anak yang pernah mencoba narkotika menyatakan terus memakai atau menjadi pecandu.5 Menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa penyalah guna narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Berdasarkan ketentuan tersebut maka pengertian penyalahgunaan narkotika adalah penggunaan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Seorang anak yang melakukan atau diduga melakukan suatu tindak pidana seperti
halnya
penyalahgunaan
narkotika,
sangat
membutuhkan
adanya
perlindungan hukum. Masalah perlindungan hukum bagi anak merupakan salah satu cara melindungi tunas bangsa di masa depan. Perlindungan hukum terhadap
5
Sadar BNN Maret 2011/Maulani KSG IV, “Terapi dan Rehabilitasi Korban Narkoba,” http://www.ham.go.id/artikel.htm, (Diakses pada tanggal 30 Maret 2013, 17:47 WIB)
6
anak menyangkut semua aturan hukum yang berlaku. Perlindungan ini perlu, karena anak merupakan bagian masyarakat yang mempunyai keterbatasan secara fisik dan mentalnya. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan, perawatan dan penanganan khusus. Upaya memberikan perlindungan terhadap kepentingan dan hak-hak anak yang
berhadapan
dengan
hukum
tersebut,
Pemerintah
Indonesia
telah
mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan terkait, antara lain Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Perspektif peradilan pidana anak, dalam sistim peradilan anak mempunyai kekhususan, dimana terhadap anak sebagai suatu kajian hukum yang khusus, membutuhkan aparat-aparat yang secara khusus diberi wewenang untuk menyelenggarakan proses peradilan pidana terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Sama halnya dengan orang dewasa, ketika seorang anak berhadapan dengan hukum maka kepadanya juga diancam dengan hukuman pidana. Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka peraturan yang dipergunakan adalah berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu Pasal 45, 46 dan 47. Pidana yang dijatuhkan sama dengan pidana orang dewasa hanya dikurangi sepertiganya dengan pengecualian pidana mati. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, maka Pasal 45, 46 dan 47 dicabut berdasarkan ketentuan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.6
6
Lihat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
7
Setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka terhadap anak pelaku tindak pidana memiliki sanksi pidana pokok yang dapat dijatuhkan antara lain : 1. Pidana penjara 2. Pidana kurungan 3. Pidana denda 4. Pidana pengawasan. Sedangkan pidana tambahan yang dapat dikenakan pada anak pelaku tindak pidana adalah : 1. Perampasan barang-barang tertentu; 2. Pembayaran ganti rugi. Selain pidana pokok dan pidana tambahan yang dapat dikenakan pada anak pelaku tindak pidana, maka terdapat tindakan yang dapat dijatuhkan adalah : 1. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; 2. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja; 3. Menyerahkan kepada Departemen Sosial atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Pidana perampasan kemerdekaan yang berupa pidana penjara ini dapat dijatuhkan kepada anak nakal paling lama adalah 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Jika tindak pidana yang dilakukan anak nakal tersebut diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan adalah paling lama 10 tahun.
8
Apabila usia anak pelaku tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati atau seumur hidup belum mencapai usia 12 (dua belas) tahun maka terhadap anak nakal tersebut dikenakan tindakan untuk diserahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Namun terhadap perbuatan yang tidak diancam dengan pidana mati atau seumur hidup, anak yang belum berusia 12 (dua belas) tahun maka terhadapnya dapat dikenakan salah satu tindakan yang tersebut dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Penjatuhan pidana pada anak-anak menurut Jonkers, bahwa titik beratnya bukan pada pembalasan atau kehendak penguasa untuk memberi nestapa, tetapi adanya keinginan untuk memberikan kesempatan yang baik pada anak yang berbakat sebagai penjahat, untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna, apabila ditempatkan diluar lingkungan yang jahat atau tidak mengenal tata tertib. 77 Alternatif sanksi pidana tersebut di atas, nampaknya belum diakomodasi oleh Pengadilan Negeri Klas I-A Medan. Seperti terlihat pada data di bawah ini, pada umumnya hakim di Pengadilan Negeri Klas I-A Medan cenderung menjatuhkan putusan pidana penjara bagi anak yang tersangkut perkara penyalahgunaan narkotika. Terkait dengan putusan hakim terhadap kasus-kasus kenakalan anak penyalahguna narkotika di Medan, data statistik menunjukkan bahwa pada tahun 2013, ada contoh 8 kasus anak pelaku penyalahguna narkotika yang telah diselesaikan pada Pengadilan Negeri Klas I-A Medan, sementara pada tahun 2014 (bulan Januari s/d Agustus 2014) terdapat 22 (dua puluh dua) kasus
7
Jonkers, Buku Pedoman Pidana Hindia Belanda, Bina Aksara, Jakarta, 2007, hlm. 330
9
yang telah diselesaikan dan mendapat putusan, sebagaimana diperlihatkan dalam tabel berikut : Tabel I Putusan Pengadilan Negeri Klas I-A Medan terhadap Kasus Penyalahgunaan Narkotika yang dilakukan Anak, Tahun 2013-2014 Putusan Pengadilan (Pidana Penjara) 1 bulan 3 bulan 4 bulan 5 bulan 6 bulan 7 bulan 8 bulan 10 bulan 1 tahun 2 tahun Jumlah
Tahun 2013 (kasus)
1 2
Tahun 2014 (kasus) 2 3 4 3
1 3 1 8 kasus
3 5 2 22 kasus
Sumber: Pengadilan Negeri Klas I-A Medan Tahun 2013-2014
Berdasarkan data pada tabel di atas, terlihat adanya perbedaan lamanya putusan pidana penjara bagi penyalahgunaan narkotika oleh anak. Dalam dunia hukum terjadinya perbedaan mencolok dalam proses penjatuhan putusan pidana terhadap pelaku dalam perkara yang sama atau berkarakter sama, biasa disebut Disparitas Pidana. Adanya disparitas pidana penjatuhan putusan hakim pada tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak ini menjadi sangat menarik untuk diteliti lebih dalam. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Disparitas Penjatuhan
10
Putusan Pidana Oleh Hakim Pada Penyalahgunaan Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anak”.
B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan dalam suatu pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam memutus perkara tindak pidana narkotika terhadap anak? 2. Faktor-faktor apasajakah yang menjadi pertimbangan hakim sehingga menimbulkan disparitas putusan pidana pada penyalahgunaan narkotika oleh anak?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hakim dalam memutus perkara tindak pidana narkotika terhadap anak. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim sehingga menimbulkan disparitas putusan pidana pada penyalahgunaan narkotika oleh anak.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis
11
a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum tindak pidana mengenai narkotika dan psikotropika khususnya yang terjadi pada anak serta dapat menambah bahan-bahan kepustakaan. b. Menambah
pustaka
dibidang
ilmu
hukum
khususnya
dalam
penyalahgunaan narkotika. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan teori tambahan dan informasi khususnya pada pihak-pihak yang mengalami kasus tindak pidana mengenai narkotika. b. Sebagai wawasan untuk memahami dan menganalisis penerapan sanksi pidana yang dikeluarkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Klas I-A Medan terhadap anak pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran studi kepustakaan, belum ditemukan penulisan hukum tentang disparitas penjatuhan putusan pidana oleh hakim pada penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak. Namun dalam penelusuran studi kepustakaan tersebut, ada beberapa penulisan hukum yang terkait dengan tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh anak dan disparitas penjatuhan pidana, yaitu : 1. Zahru Arqom/08/276003/PHK/5136 (Program Pascasarjana Magister Hukum Litigasi Universitas Gadjah Mada)
12
”Pelaksanaan Penegakan Hukum Terhadap Delinkuen Anak dalam Perkara Anak Nakal Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak di Kota Yogyakarta dan Pengembangan Konsep Keadilan Pidana Anak di Indonesia”. Tesis ini membahas tentang pelaksanaan penegakan hukum terhadap delinkuen anak. Zahru Arqom berusaha untuk menejelaskan secara sistematis proses penanganan terhadap delinkuen anak yang diproses di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Zahru Arqom juga mengkaji tentang pengembangan metode dimensi sebagai bagian dari konsep restorative justice. 2. Indang Sulastri/07/259211/PHK/4298 (Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada) ”Penjatuhan Seleksi Pidana Terhadap Penyalahgunaan Narkoba oleh Remaja Usia Sekolah di Kota Yogyakarta”. Tesis ini menekankan pada efektifitas dari penjatuhan sanksi pidana, dan tidak terbatas pada kasus narkotika saja melainkan kasus psikotropika yang melibatkan Remaja Usia Sekolah sebagai pelakunya, dengan lokasi penelitian di Kota Yogyakarta. 3. Denny Agung Prakoso, dari Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Surabaya, pada tahun 2011 melakukan penelitian dengan judul ”Tinjauan Yuridis Disparitas dalam Penjatuhan Pidana pada Perkara Korupsi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang korupsi. Pokok permasalahan yang diteliti adalah bagaimana disparitas itu dapat dijatuhkan untuk perkara korupsi.
13
Berdasarkan penulisan hukum tersebut di atas, penelitian yang dilakukan oleh penulis apabila diperbandingkan substansi dan pokok bahasannya adalah berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan di atas. Tesis ini membahas 2 (dua) pokok bahasan yakni Pertimbangan hakim dalam memutus perkara tindak pidana narkotika terhadap anak; dan faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya disparitas dalam penjatuhan putusan pidana pada penyalahgunaan narkotika oleh anak. Dengan demikian tesis ini berbeda dengan penulisan-penulisan hukum yang dikemukakan di atas. F. Sistematika Penulisan Adapun sistematika dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Dalam Bab ini akan dikemukakan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan hukum. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Dalam Bab ini akan diuraikan tentang tinjauan pustaka yang menjadi literatur pendukung dalam pembahasan penulisan hukum ini. Tinjauan pustaka dalam penulisan hukum ini meliputi pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh anak, konsep disparitas, putusan hakim, konsep perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum dan tujuan pemidanaan anak. BAB III : METODE PENELITIAN Dalam Bab ini akan diuraikan tentang sifat penelitian, jenis data yang
14
dianalisa yang terdiri dari data dokumen, ata lapangan, cara pengumpulan data yang terdiri dari pengumpulan data pustaka dan pengumpulan data lapangan, analisis data yang bersifat deskriptif kualitatif. BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada Bab ini diuraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan yaitu mengenai disparitas penjatuhan putusan pidana oleh hakim pada penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak. BAB V : PENUTUP Pada bagian penutup memuat pokok-pokok yang menjadi kesimpulan dan saran. Pokok-pokok kesimpulan adalah jawaban dari pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Pokok-pokok kesimpulan diuraikan secara padat, ringkas dan spesifik. Pada bagian saran merupakan sumbangan pemikiran dalam praktik peradilan, khususnya bagi para hakim yang menangani perkara penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak.