BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kenakalan anak dan remaja dirasakan semakin meningkat, terlebih di kota seperti Yogyakarta. Kenakalan anak dan remaja terjadi karena kurangnya saluran bagi potensi anak seperti sanggar atau komunitas yang dapat membina anak-anak untuk mengembangkan bakat. Padahal, anak-anak membutuhkan ruang interaktif dan kreasi untuk menyalurkan kreatifitas mereka ke arah yang positif. Salah satu wilayah yang rentan melahirkan kenakalan anak dan remaja adalah perkampungan kumuh perkotaan. Rendahnya kesejahteraan ekonomi, kurangnya pendidikan, dan sempitnya area publik bagi tumbuh kembang anak sejak usia dini mengakibatkan berkembangnya anak dan remaja yang ekspresi kreatifnya kurang tersalurkan dan tidak memiliki saluran lain, kecuali melalui jalur-jalur kenakalan anak dan remaja. Jika tidak dicegah dengan pemberdayaan melalui pendidikan karakter sejak dini, kenakalan anak dan remaja dapat berkembang menjadi tindakan kriminalitas yang pada akhirnya merugikan mereka sendiri pada khususnya dan masyarakat sekitar pada umumnya. Salah satu saluran yang diasumsikan dapat menyalurkan energi kreatif anak dan remaja adalah kegiatan seni dan budaya bagi anak-anak sebagai media positif pemberdayaan komunitas berbasis pendidikan karakter anak. Anak adalah potensi dan aset yang hak-hak dasarnya harus dipenuhi agar mereka dapat berkembang menjadi pribadi yang berkualitas dan bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun daerahnya. Pihak yang paling bertanggungjawab dalam pemenuhan hak anak adalah keluarga dan lingkungan sekitar. Untuk mempercepat
1
pencapaian pemenuhan hak-hak anak, maka perlu dikembangkan lingkungan yang ramah anak. Lingkungan seperti ini berfungsi memberdayakan komunitas berbasis pendidikan karakter, sehingga nantinya keluarga maupun masyarakat sekitarnya dapat menghormati, menjamin dan memenuhi hak-hak anak; melindungi anak dari tindak kekerasan, eksploitasi, pelecehan seksual dan diskriminasi, dan mendengar pendapat anak dalam rangka pembinaan karakter anak yang direncanakan secara sadar, menyeluruh dan berkelanjutan. Di perkampungan perkotaan, keluarga dan masyarakat umumnya kurang mampu melaksanakan fungsi pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasar anak. Di antara hak dasar anak yang harus dipenuhi dan dilindungi adalah hak sipil dan kebebasan, di antaranya hak untuk mendapatkan hak menyatakan pendapat, yang dapat diwujudkan dengan memberikan kemerdekaan berfikir, berhati nurani dan beragama; kemerdekaan berserikat dan kemerdekaan berkumpul dengan damai; mendapatkan lingkungan keluarga dan penghasuhan anak alternatif; mendapatkan bimbingan orang tua, tidak dipisahkan dari orangtua, dan penyatuan kembali anak dengan keluarga; pemulihan pemeliharaan anak dan diberikannya dukungan dari lingkungan; penjauhan dari perdagangan, penyalahgunaan dan penelantaran anak. Selain itu, anak juga memerlukan kelangsungan hidup dan pengembangan potensi secara layak. Anak berhak mendapat kesehatan dan pelayanan kesehatan, jaminan sosial dan pelayanan perawatan anak serta fasilitasi. Anak juga berhak atas pendidikan serta pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya. Pendidikan informal perlu diberikan, yang meliputi bimbingan dan pelatihan keterampilan. Pemanfaatan waktu luang dapat dilakukan melalui kegiatan rekreasi dan budaya,
2
di mana anak berhak untuk istirahat, bersantai,dan bermain. Anak juga berhak atas perlindungan khusus, terutama dalam situasi darurat, konflik dengan hukum, dan dalam situasi eksploitasi. Akhirnya, anak dari kalangan minoritas berhak untuk mengakui dan menikmati kehidupannya. Dalam praktik, banyak kendala dan rintangan yang dihadapi dalam proses pendidikan belajar-mengajar bagi anak di wilayah perkampungan perkotaan yang biasanya kumpul dan memiliki ruang publik yang terbatas. Pemberdayaan sosial berbasis pendidikan karakter anak sering sulit dilakukan karena relawan pengajar tidak digaji dan tidak mendapat sokongan dana dari pihak manapun. Keluarga dan masyarakat juga sering tidak memiliki kesadaran dan prakarsa untuk membangun lingkungan yang kreatif dan ramah anak. Sulitnya membentuk karakter anak ini perlu disikapi secara positif agar pendidikan informal yang diberikan bagi anak di perkampungan perkotaan akhirnya mampu mengubah karakter mereka ke arah yang lebih baik dan mengarahkan mereka menuju kehidupan yang lebih layak lagi dibandingkan kehidupan sebelumnya. Tanpa pembinaan yang memadai, anak dapat berkembang menjadi remaja yang kurang berkepribadian. Di antara mereka dapat berkembang menjadi anak jalanan dan anak miskin yang meminta-minta kepada penguna jalan di jalan-jalan, termasuk di Kota Yogyakarta. Kondisi ini menimbulkan keprihatinan dalam hati banyak warga masyarakat yang menyaksikan. Anak-anak di bawah umum sering sudah harus bekerja dengan menanggung beban kehidupan yang sejatinya belum saatnya mereka tanggung. Mereka termasuk anak telantar dan tidak mendapatkan perhatian yang memadai dari kebijakan peningkatan kesejahteraan dari Negara.
3
Data Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah anak putus sekolah mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Memang APBN meningkat setiap tahun, yang berdampak pada peningkatan jumlah alokasi anggaran pendidikan. Namun, kenaikan jumlah anggran tersebut seringkali tidak berdampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan anak pada perkampungan perkotaan. Pada tahun 2009, misalnya, jumlah anak putus sekolah di Yogyakarta mencapai 52 orang, pada tahun 2010 meningkat menjadi 67 orang, dan pada tahun 2011 melonjak menjadi 433 orang (Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, 2012). Data ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tiga tahun terakhir jumlah anak putus sekolah yang terdata semakin banyak, padahal secara logikanya jika jumlah anggaran pendidikan tersebut dapat dikelola dengan benar oleh pemerintah jumlah ini semestinya semakin tahun akan semakin berkurang. Pihak dinas pendidikan sendiri mengatakan data mereka belum tentu sesuai dengan realitas sesungguhnya di masyarakat karena mereka sendiri hanya mendapatkan data tersebut melalui laporan dari sekolah. Jika demikian, data ini hanyalah data yang tampak dari permukaan, dan jumlah aslinya boleh jadi lebih banyak daripada jumlah yang dilaporkan kepada Dinas Pendidikan tersebut. Kondisi tersebut memicu keprihatinan salah satu elemen masyarakat, yaitu Anak Wayang Indonesia (AWI), sebuah lembaga swadaya masyarakat hadir untuk memberikan solusi alternatif pemberdayaan masyakat miskin di Kota Yogyakarta melalui pendekatan pendidikan berbasis karakter kepada anak-anak yang telantar di wilayah perkampungan perkotaan. Pendidikan yang diberikan oleh AWI adalah pendidikan informal dan sifatnya gratis, berkualitas, dan diakses oleh anak miskin
4
di Kota Yogyakarta. AWI beranggapan bahwa selama ini pendidikan formal yang disediakan pemerintah dirasakan berbiaya tinggi bagi masyarakat miskin, tidak memperhatikan bakat dan minat anak yang berbeda, serta kurang memperhatikan kualitas dari pendidikan itu sendiri. Inilah kondisi yang mendorong dilakukannya penelitian tentang peran lembaga AWI dalam pemberdayaan komunitas berbasis pendidikan karakter kepada anak-anak di masyarakat lingkungan perkampungan perkotaan Kota Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah tersebut, maka pertanyaan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana peran LSM AWI dalam pemberdayaan komunitas anak miskin melalui pengembangan pendidikan karakter di Kota Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian Dengan rumusan pertanyaan penelitian tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui eksistensi LSM AWI sebagai elemen masyarakat sipil dalam pemberdayaan komunitas anak miskin di Kota Yogyakarta. 2. Untuk menganalisis peran AWI dalam pemberdayaan komunitas anak miskin melalui pengembangan pendidikan karakter di Kota Yogyakarta. 3. Untuk mengidentifikasi implikasi dari pemberdayaan komunitas anak miskin terhadap peningkatan karakter anak miskin di Kota Yogyakarta.
5
D. Landasan Teori Dalam menjelaskan fenomena AWI sebagai salah satu elemen masyarakat sipil dengan orientasi pemberdayaan komunitas anak miskin melalui pendidikan karakter di Kota Yogyakarta, tiga konsep utama dikembangkan sebagai landasan teori bagi penelitian ini: teori masyarakat sipil ala Gramscian dan Tocquevellian, teori pemberdayaan masyarakat, dan teori pendidikan karakter.
1. Masyarakat Sipil Dalam pengertian Gramscian, masyarakat sipil (civil society) dipandang sebagai alat untuk menghadapi hegemoni ideologi negara. Masyarakat sipil adalah adalah suatu arena tempat kalangan intelektual organik dapat menjadi kuat dengan tujuan mendukung upaya melakukan perlawanan pada hegemoni negara. Dalam pendekatan Tocquevellian, penguatan masyarakat sipil lebih menekankan pada penguatan organisasi dan asosiasi independen dalam masyarakat dan melakukan inkubasi atas budaya keadaban (civic culture) untuk membangun jiwa demokrasi. Dalam hal ini, sebagaimana dikemukakan oleh Alfred Stepan (1988), masyarakat sipil adalah arena di mana banyak gerakan sosial, seperti rukun warga, kelompok perempuan, kelompok keagamaan maupun kelompok intelektual, serta organisasi warga dari semua kelas seperti pengacara, jurnalis, serikat dagang, dan pengusaha berusaha membentuk dirinya dalam susunan sedemikian rupa sehingga mereka dapat mengekspresikan diri dan memajukan kepentinagn mereka. Penjelasan ini memperlihatkan bahwa masyarakat sipil bukan sekedar arena di luar negara yang berusaha untuk mengartikulasikan kepentingan mereka, tetapi juga ada kesadaran
6
secara horizontal dari kelompok masyarakat untuk menghimpun dirinya dalam asosiasi dan organisasi sukarela dan bekerja sama dalam bingkai tertentu. Senada dengan pengertian tersebut, Hikam (1996) mengemukakan bahwa masyarakat sipil adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan berciri kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-supporting), kemandirian tinggi dalam berhadapan dengan negara, serta keterikatan tinggi dengan normanorma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya. Dalam konteks ini, istilah masyarakat sipil tidak dipertentangkan dengan militer, karena masyarakat sipil itu tidak dikhotomikan dengan kelompok militer. Masyarakat sipil banyak mengacu pada masyarakat beradab, berbudaya, kewargaan, dan madani. Dalam konteks ini, masyarakat sipil sebagai masyarakat berbudaya mengacu pada masyarakat yang warganya bersikap saling menghargai nilai sosial kemanusiaan, termasuk dalam kehidupan politik. Sebagai masyarakat warga, masyarakat sipil umumnya dikaitkan dengan pengelompokan masyarakat, tepatnya menunjuk pada kelompok-kelompok sosial yang salah satu ciri utamanya adalah sifat otonominy terhadap negara. Masyarakat sipil lebih banyak ditekankan pada konsep masyarakat sipil yang pada dasarnya berkaitan dengan ide demokrasi. Dalam demokrasi, keberadaan masyarakat sipil dianggap sebagai syarat pembangunan demokrasi. Masyarakat sipil secara luas dapat disamakan dengan masyarakat mandiri yang identik dengan demokrasi. Di sini, masyarakat berada di suatu ruang politik, di mana masyarakat sipil menjadi wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terserap di dalam
7
jaring-jaring kelembagaan politik resmi. Masyarakat sipil menyiratkan pengertian pentingnya ruang publik yang bebas, tempat di mana transaksi komunikasi dapat dilakukan oleh warga negara. Dalam masyarakat sipil, terdapat suatu ruang publik yang bebas tanpa ada distorsi komunikasi. Masyarakat sipil memiliki mekanisme internal untuk memberdayakan diri mereka sendiri beserta orang-orang di dalam lingkungan masyarakat sekitarnya.
2. Pemberdayaan Masyarakat Secara umum, dapat dikatakan bahwa konsep pemberdayaan masyarakat (community empowerment) mengacu pada proses memberikan kemampuan pada individu atau masyarakat agar mereka menjadi lebih bergairah dan berpartisipasi. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya mengembangkan daya masyarakat dengan cara mendorong dan membangkitkan kesadaran mereka akan posisi yang dimilikinya serta berupaya mengembangkannya (Nataniel, 2008). Pemberdayaan masyarakat merefleksikan proses menjadikan masyarakat jauh lebih berdaya atau berkemampuan agar mampu menyelesaikan masalah sendiri dengan memberikan kepercayaan dan kewenangan sehingga menumbuhkan rasa tanggungjawab tinggi. Dalam pemberdayaan tersebut, aktivitas dilakukan masyarakat itu sendiri sehingga mereka dapat mengidentifikasi kebutuhan dan masalah mereka sendiri bersama-sama. Pemberdayaan masyarakat membantu kelompok maupun individu yang kurang beruntung untuk menyelesaikan peningkatan kualitas hidup secara efektif bersama-sama. Pemberdayaan masyarakat ditekankan pada pemberian atau pengalihan kemampuan kepada masyarakat atau individu agar lebih berdaya atau banyak menekankan pada pemberian yang simultan, dorongan atau motivasi agar
8
mereka mempunyai kemampuan menentukan kebutuhan hidupnya sendiri melalui proses dialog. Tujuan utama memberdayakan masyarakat adalah meningkatkan harkat dan martabat masyarakat setempat yang tidak mampu untuk melepaskan dirinya dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Memberdayakan berarti memampukan dan memandirikan masyarakat (Kartasasmita, 1996 dalam Prasojo, 2003:5). Tujuan pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, sehingga pemberdayaan masyarakat harus selalu melibatkan seluruh kelompok sosial itu sendiri, yang sesungguhnya memiliki posisi strategis dalam masyarakat (Adisasmita, 2006:14). Paradigma pemberdayaan masyarakat menekankan pentingnya masyarakat lokal yang mandiri (self-relient communities) sebagai sistem yang mengorganisir diri mereka sendiri (Nataniel, 2008:51-52). Di Indonesia, Muhammad AS Hikam telah menjelaskan dengan baik peran strategis organisasi massa keagamaan sebagai bagian dari masyarakat sipil yang menjadi pendorong demokratisasi di negara ini. Varian yang lain dari organisasi masyarakat sipil di Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mulai berkecambah sejak tahun 1970-an hingga sekarang, ormas kepemudaan dan organisasi intelektual. Cerita-cerita tentang organisasi masyarakat sipil di negara ini sarat dengan cerita-cerita kepahlawanan yang romantis. Mereka tampil sebagai penggerak barisan oposisi dan sponsor kemandirian masyarakat. Pemberdayaan masyarakat yang anti-intervensi politik negara umumnya digerakkan oleh LSM, termasuk dalam pemberdayaan komunitas melalui pendidikan karakter anak yang dilakukan oleh Lembaga Anak Wayang Indonesia. Melalui pemberdayaan, anakanak diharapkan dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak berkarakter.
9
3. Pendidikan Karakter Dalam pemberdayaan, pendidikan karakter (character education) mengacu pada proses penguatan pendidikan moral untuk mengatasi krisis moral di kalangan anak-anak dan remaja agar kenakalan mereka tidak menjadi masalah sosial yang bermuara pada tindakan kriminal. Pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter anak. Usaha ini disengaja untuk membantu anak sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika inti. Menurut Suyanto (2009), karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara. Sementara itu, menurut (2010), karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh individu. Ciri khas ini asli dan mengakar pada kepribadian individu tersebut yang menjadi pendorong bagaimana ia bertindak, bersikap, berucap, dan merespon sesuatu. Jadi, pendidikan karakter mengacu pada proses penguatan kepribadian ditinjau dari dimensi etis atau moral dan berkaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap. Pendidikan karakter berusaha membentuk watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang merupakan hasil dari internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Melalui pemberdayaan, pendidikan karakter bertujuan mengembangkan nilai-nilai yang membentuk dan mengembangkan potensi anak menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik. Pendidikan ini mengembangkan potensi warganegara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan
10
negaranya serta mencintai umat manusia. Pendidikan karakter bermanfaat dalam pengembangan kehidupan yang multikultural, pengembangan peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur, dan mampu berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan umat manusia, pengembangan potensi dasar agar anak menjadi berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik serta memiliki keteladanan yang baik. Dengan pendidikan karakter, anak mampu mengembangkan sikap warga negara yang cinta damai, kreatif, mandiri, dan mampu hidup berdampingan dalam suatu harmoni. Menurut Balitbang Kurikulum Kemendiknas, setidaknya terdapat 18 nilai dalam pendidikan karakter yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja Keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli terhadap lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (Pusat Kurikulum, Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Pedoman Sekolah, 2009:9-10). Pemberdayaan komunitas melalui pendidikan karakter diarahkan pada aspek kemandirian, yang diharapkan nantinya bermuara pada terbentuknya nilainilai kewirausahaan yang mendukung kemandirian individu yang bersangkutan. Nilai-nilai kewirausahaan yang terbentuk dari pemberdayaan tersebut adalah jujur, disiplin, kerja keras, kreatif, inovatif, mandiri, tanggung jawab, orientasi tindakan, kerjasama, kepemimpinan, ulet, berani menanggung risiko, komitmen, realistis, rasa ingin tahu, komunikasi, dan menghargai prestasi. Lewat pendidikan karakter, anak mampu tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan dari mulai masa anakanak, remaja sampai dewasa.
11
Di kalangan anak-anak, pemberdayaan melalui pendidikan karakter ini dilakukan secara aktif dan menyenangkan, dengan prinsip bermain sambil belajar. Tujuan utamanya ialah menanamkan nilai dan sikap, bukan pengajaran, sehingga proses ini memerlukan pola pembelajaran fungsional. Dalam masyarakat, proses penguatan melalui pendidikan karakter ini menuntut pelaksanaan oleh tiga pihak secara sinergis, yaitu: orang tua, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Materi dan pola pembelajaran dalam pendidikan karakter disesuaikan dengan pertumbuhan psikologis peserta didik, didasarkan pada kearifan lokal, dan diintegrasikan dalam materi pembelajaran lain. Pendidikan karakter ini berorientasi pada penumbuhan kesadaran, sikap dan keyakinan pentingnya penghayatan nilai-nilai moral dalam kehidupan sosial serta pengokohan dan pemantapan nilai etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
MASYARAKAT SIPIL ANAK WAYANG INDONESIA
PEMBERDAYAAN KOMUNITAS
PENDIDIKAN KARAKTER
- Anak - Keluarga - Masyarakat
- Pendidikan - Kesehatan - Perdamaian
ANAK MISKIN BERKARAKTER Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian
12
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif. Menurut Sukmadinata (2005), dasar penelitian kualitatif adalah konstruktivisme yang berasumsi bahwa kenyataan berdimensi jamak, interaktif dan mengandung pertukaran pengalaman sosial yang diinterpretasi setiap individu. Dalam penelitian kualitatif, kebenaran bersifat dinamis dan dapat ditemukan hanya melalui penelaahan atas orang-orang melalui interaksi dengan situasi sosial mereka (Danim, 2002). Dengan metode kualitatif, peneliti mengkaji perspektif partisipan dengan strategi interaktif dan fleksibel. Penelitian kualitatif ini ditujukan untuk memahami fenomena sosial dari sudut pandang partisipan (Sugiyono, 2005). Penelitian kualitatif bersifat induktif, yaitu tidak dimulai dari deduksi teori, melainkan dari lapangan atau fakta empiris. Setelah ke lapangan, peneliti mempelajari proses alamiah, mencatat, menganalisis, menafsirkan, melaporkan dan menarik kesimpulan dari proses tersebut. Temuan penelitian seperti konsep, prinsip, hukum dan teori dibangun dan dikembangkan dari lapangan, bukan dari teori yang sudah ada. Penelitian ini mengedepankan makna yang diungkap dari persepsi informan mengenai suatu peristiwa. Ketepatan informasi partisipan diungkap oleh peneliti agar dapat menginterpretasikan hasil penelitian secara sahih. Dengan demikian, penelitian kualitatif ini tidak dimulai dari teori yang dipersiapkan sebelumnya, melainkan dari lapangan berdasarkan lingkungan alami. Makna dan konsep ditarik dari data dan informasi lapangan, melalui pemaparan deskriptif analitik dan tanpa harus menggunakan angka, karena penelitian ini lebih
13
mengutamakan proses terjadinya peristiwa dalam situasi alamiah. Penelitian ini tidak mencari data untuk membuktikan hipotesis yang disusun sebelum dimulai penelitian, melainkan untuk menyusun abstraksi berdasarkan makna konseptual dari berbagai fakta yang ditemukan di lapangan. Teori pada bagian landasan teori tidak secara tegas mengikat proses penelitian, dan konsep-konsep dalam landasan teori tersebut fleksibel dan hanya bersifat mengarahkan (Sarantakos, 1993: 15).
2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap LSM AWI yang berkantor di Jl. Bintaran Tengah No. 1 Wirogunan, Mergangsan, Yogyakarta, dengan obyek pemberdayaan komunitas anak miskin yang berada di tiga kampung, yaitu: Juminahan, Jagalan, dan Ledok Tukangan, Kota Yogyakarta. Ketiga kampung ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena di ketika kampung itulah LSM AWI melaksanakan program dan kegiatan pemberdayaan komunitas anak miskin melalui pendidikan karakter.
3. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh secara langsung dari informan maupun data sekunder yang diperoleh secara tidak langsung melalui teknik dokumentasi. Data primer diperoleh dengan teknik wawancara mendalam semi-terstruktur, yaitu melakukan wawancara dengan informan dengan beberapa pertanyaan yang sudah dipersiapkan sebelumnya agar proses wawancara dapat berjalan terarah sesuai dengan tujuan penelitian. Wawancara ini dilakukan tentang AWI sebagai elemen masyarakat sipil, strategi pemberdayaan komunitas berbasis pendidikan karakter yang diterapkan oleh AWI, program dan kegiatan-kegiatan
14
AWI dalam melakukan pemberdayaan anak-anak miskin di daerah perkampungan perkotaan yang tersebar pada beberapa tempat di Kota Yogyakarta. Selain data ini peneliti juga memperhatikan sikap, watak, dan perilaku anak sebagai buah dari proses pemberdayaan berbasis pendidikan karakter, serta tanggapan masyarakat di sekitarnya mengenai program dan kegiatan pemberdayaan oleh AWI tersebut. Dalam pengambilan data, pertama-tama peneliti melakukan kontak lisan dengan penggagas dan aktivis AWI untuk memberitahukan niatan peneliti untuk melakukan penelitian di LSM tersebut serta menanyakan prosedur dan tata cara melakukan penelitian yang diperbolehkan oleh AWI. Setelah mendapatkan izin untuk meneliti, peneliti ikut serta sebagai sukarelawan yang membantu melakukan pemberdayaan pendidikan kepada masyarakat dengan cara ikut serta mengajar dan mengamati langsung program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh AWI dengan cara menghadiri acara-acara yang menjadi program pemberdayaan pendidikan AWI. Dengan cara ini, diharapkan peneliti dapat turut serta merasakan suasana dan membaur secara emosional dalam berbagai kondisi pelaksanaan program dan kegiatan kegiatan serta problematika yang dihadapi AWI dalam pemberdayaan komunitas berbasis pendidikan karakter. Dalam upaya mendapatkan data yang tepat dan mendalam tentang proses pemberdayaan komunitas berbasis pendidikan karakter oleh AWI, wawancara ini terutama dilakukan dengan pengurus AWI, para relawan AWI, anak-anak binaan, orangtua anak binaan, warga masyarakat sekitar, dan tokoh masyarakat sekitar, yang banyak terlibat dalam proses pemberdayaan komunitas berbasis pendidikan karakter oleh AWI. Sementara itu, data sekunder diperoleh dari dokumen, artikel
15
maupun jurnal yang berhubungan dengan program dan kegiatan pemberdayaan komunitas, dalam hal ini pemberdayaan berbasis pendidikan karakter oleh AWI di beberapa wilayah perkampungan perkotaan Kota Yogyakarta.
4. Teknik Analisis Data Langkah dalam menganalisis data penelitian ini adalah membuat transkrip dari setiap wawancara yang dilakukan. Untuk wawancara yang hasilnya tidak bisa direkam, peneliti melakukan perapian catatan-catatan kecil. Transkip wawancara dengan berbagai informan itu dikelompokkan sesuai dengan kategori informan. Setelah terkumpul dalam satu kategori informan, transkip tersebut dibaca kembali dan jawaban informan dipilah-pilah sesuai kategori pertanyaan yang diajukan. Pertanyaan ini dikategorisasi sesuai pertanyaan penelitian dan tujuan penelitian. Jawaban yang beragam tersebut dibaca berulang-ulang dan dicermati, sehingga posisi informan dapat terlihat dalam merespon suatu pertanyaan dan data dalam penelitian ini dapat dianalisis dan diparalelkan dengan teori yang ada. Dari sinilah kesimpulan penelitian akan diambil.
F. Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini disajikan dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut. 1. Bab I Pendahuluan, terdiri dari tiga bagian, yaitu: (a) bagian pendahuluan, yang memuat latar belakang, rumusan masalah, serta tujuan dan manfaat penelitian; (b) bagian landasan teori, yang memuat pemaparan teoretis mengenai masyarakat sipil, pemberdayaan masyarakat, dan pendidikan
16
karakter; dan (c) bagian metodologi penelitian, yang terdiri dari jenis penelitian, sumber dan teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. 2. Bab II AWI sebagai Elemen Masyarakat Sipil, terdiri dari empat bagian, yaitu (a) Bagian mengenai AWI sebagai gerakan sosial dengan prakarsa pemberdayaan komunitas anak di perkotaan; (b) Bagian tentang visi dan misi serta bidang kerja AWI; (c) Bagian tentang pendanaan pelaksanaan program dan kegiatan pemberdayaan komunitas AWI; (d) Bagian tentang program kerja AWI dalam pemberdayaan komunitas, yang meliputi tiga program, yaitu program untuk anak, untuk masyarakat, dan untuk remaja. 3. Bab III Peran AWI dalam Pemberdayaan Masyarakat, terdiri dari dua bagian, yaitu (a) Bagian tentang strategi pemberdayaan yang diterapkan AWI dan (b) Bagian tentang kegiatan pemberdayaan anak dalam bidang sosial-budaya. 4. Bab IV Implikasi Pemberdayaan Melalui Pendidikan Karakter, terdiri dari dua bagian, yaitu: (a) Bagian tentang implikasi terhadap peningkatan nilai moral atau karakter anak; (b) Bagian tentang implikasi terhadap interaksi anak dengan lingkungan sekitarnya. 5. Bab V Penutup, terdiri dari dua bagian, yaitu: (a) Bagian kesimpulan, dan (b) Bagian implikasi teoretis dan praktis penelitian.
17