BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap gejala sejarah yang memanifestasikan kehidupan sosial suatu komunitas atau kelompok, dapat disebutkan sejarah sosial. Adapun manifestasi kehidupan sosial beraneka ragam, seperti kehidupan keluarga beserta pendidikannya, gaya hidup yang meliputi pakaian, perumahan, makanan, perawatan kesehatan, segala macam bentuk rekreasi, seperti permainan, kesenian, olah raga, peralatan, upacara, dan lain sebagainya. Dengan demikian, ruang lingkup sejarah sosial sangat luas oleh karena hampir segala aspek hidup mempunyai dimensi sosialnya. 1 Kajian tentang sejarah sosial seperti dinyatakan oleh Sartono Kartodirdjo tersebut lebih diperjelas lagi oleh Kuntowijoyo dengan menyatakan bahwa sejarah sosial mempunyai bahan garapan yang sangat luas dan beraneka ragam. Kebanyakan sejarah sosial juga mempunyai hubungan yang erat dengan sejarah ekonomi, sehingga menjadi semacam sejarah sosial-ekonomi. Tulisan Marc Bloch berjudul French Rural History, misalnya, bukan semata-mata sejarah dari petani, tetapi juga masyarakat desa dalam arti sosial ekonomi. Tradisi tulisan semacam ini, yang
1
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992, hal. 50.
menjadikan masyarakat secara keseluruhan sebagai bahan garapan, hanyalah salah satu macam saja dari sejarah sosial. 2 Pada hakekatnya, untuk mencapai kesempurnaan dalam masyarakat, manusia mempunyai rasa solidaritas yang sangat tebal. Dalam memenuhi kebutuhankebutuhannya, maka setiap manusia akan selalu membutuhkan manusia lainnya, baik kebutuhan yang bersifat primer yang kemunculannya bersumber pada aspek-aspek kebutuhan biologis, atau organisme tubuh manusia yang mencakup kebutuhankebutuhan akan sandang, pangan dan papan. Di samping keperluan primer, manusia juga membutuhkan kepentingan sekunder, seperti berkomunikasi dengan sesama, kontrol sosial, pendidikan serta keteraturan sosial. Selain itu ada juga kebutuhan tertier yang meliputi kebutuhan akan barang-barang yang bersifat konsumtif. Dengan kata lain manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang bersifat universal serta harus dipenuhinya agar dapat melangsungkan hidup yang lebih baik dan teratur. Umumnya masyarakat, baik yang bermukim di daerah pedesaan maupun perkotaan memiliki kecenderungan untuk tinggal di tempat atau lingkungan yang lebih aman, nyaman dan teratur. Masyarakat membentuk pola pemukiman yang tentunya tidak jauh dari tempat di mana mereka mencari nafkah hidup. Di Indonesia, daerah pedalaman dikaitkan secara negatif dengan keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, kekacauan dan pembangkangan dengan sikap keras kepala untuk hidup sebagai warga yang “normal”. Namun ada juga banyak citra sebaliknya, yaitu yang 2
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1994, hal. 33.
berkaitan dengan kebebasan dan kesatuan antara sesama anggota masyarakat dan dengan lingkungannya. 3 Daerah pedalaman umumnya juga berada di hutan belantara. Sifat hutan belantara yang secara potensial adalah positif ternoda oleh keberadaan penduduk dan kegiatan pertanian. Mariah Dolog merupakan daerah pedalaman yang berada di Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun. Pemukiman di pedalaman Mariah Dolog ini sendiri belum jelas sejak kapan berdirinya, namun di sana pernah ada kehidupan suatu komunitas etnis Simalungun. Jauh sebelumnya, Mariah Dolog yang sesuai arti namanya adalah perbukitan yang ramai 4, merupakan tempat bagi penduduk desa Dolog
Huluan
untuk
menggembalakan
ternak
kerbau.
Mengingat
tempat
menggembalakan ternak itu terlalu jauh dari desa tempat tinggalnya, maka atas inisiatif mereka, dibangunlah di tempat itu rumah-rumah pemukiman layaknya di desa Dolog Huluan, yang pada masa itu bercorak rumah adat. Lambat laun semakin banyak penduduk bermukim di tempat itu. Lingkungan tempat tinggal tersebut kemudian dipimpin oleh Tuan Mariah Dolog bermarga Purba Sidagambir. Keberlangsungan hidup komunitas masyarakat Mariah Dolog sangat ‘asri’ dan rasa solidaritas di antara sesama masyarakat sangat kuat, diperkaya oleh tradisi dan budaya yang merupakan rezim turun-temurun dari nenek moyangnya. Tradisi dan budaya asli Simalungun berlangsung dalam kehidupan masyarakat, baik dalam 3
Tania Murray Li, Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002, hal. 5. 4 Dalam bahasa Simalungun, mariah artinya ramai; dolog artinya bukit atau gunung.
upacara-upacara adat maupun kegiatan lainnya. Di samping berburu, mereka menggantungkan hidup pada kekayaan sumber daya alam dan mengolah lingkungan menjadi tanah pertanian. Hingga periodisasi penulisan ini, kehidupan masyarakat Mariah Dolog masih agak terasing, disebabkan sangat minimnya transportasi dan penerangan listrik. Kegiatan pertanian sebagai sumber kehidupan masyarakat Mariah Dolog nampak kurang memadai untuk bisa memajukan taraf kehidupan perekonomian mereka. Faktor kondisi geografis menyebabkan sulitnya akses tranportasi ke daerah ini, dan menjadi penghambat interaksi dengan masyarakat yang berada di lingkungan lain. Sulitnya transportasi menyebabkan lalu lintas perekonomian menjadi kurang lancar sehingga penduduk umumnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan keberlangsungan hidup sendiri saja. Apabila kita melihat peta, maka akan nampak bahwa tanah Simalungun terhampar luas diapit oleh wilayah Asahan, Deli, Serdang, Karo, Dairi, dan Tapanuli. Pada zaman raja-raja dan kesultanan dahulu kala selalu timbul peperangan untuk saling memperebutkan wilayah yang luas dan subur, sehingga lama kelamaan wilayah Simalungun semakin ciut dan mengecil. 5 Untuk memperoleh penghidupan yang lebih layak adalah merupakan keinginan setiap orang, di mana usaha untuk memperolehnya
5
hal. 13.
diawali
melalui
pendidikan.
Penyuluhan
dalam
hubungan
T.B.A, Purba Tambak, Sejarah Simalungun, Pematang Siantar: tanpa nama penerbit, 1982,
mengembangkan agama Kristen di Simalungun yang dimulai pada tahun 1906 pertama di Kecamatan Bandar, Pematang Siantar, Parapat, Purba Saribu di Kecamatan Purba dan Pematang Raya tidak terlepas membawa kemajuan dalam dunia pendidikan, terlebih-lebih setelah pimpinannya pada tahun 1916 di bawah orang-orang dari suku Simalungun sendiri. 6 Pendidikan merupakan jalan sukses untuk mencapai kemajuan. Setiap keluarga masyarakat Mariah Dolog menyekolahkan anak-anak mereka, meskipun sekolah cukup jauh dari desanya. Keberhasilan yang diraih membuat anak-anak mereka sukses di perantauan dan membuat mereka tidak kembali lagi ke kampung halamannya. Hal itu menimbulkan mobilitas sosial dan berangsur-angsur penduduk meninggalkan Mariah Dolog untuk menetap di daerah lain. Mobilitas penduduk ini mencapai puncaknya sejak tahun 1990-an hingga tahun 2004. 7 Masing-masing keluarga Mariah Dolog di perantauan membawa sanak saudaranya ke daerahnya yang dianggap lebih layak untuk memperoleh kehidupan yang lebih maju, seperti ke Dolog Huluan, Pematang Siantar bahkan Medan. Desa Mariah Dolog kemudian ditinggalkan penduduknya, sehingga tempat pemukiman itu kembali menjadi daerah belantara. Beberapa peninggalan jejak kehidupan masih dapat ditemukan di sana, seperti puing-puing rumah penduduk yang tersisa, serta akses jalan yang pernah digunakan. Stuktur lahan yang sempat dijadikan 6 7
Ibid, hal. 144. Wawancara dengan Bapak Rahman Saragih Sumbayak, Dolog Huluan, 3 Februari 2011.
pemukiman dalam kurun waktu setidaknya empat generasi manusia ini masih dapat menggambarkan corak kehidupan penduduk yang tertumpu pada satu kesatuan pemukiman. Daerah ini kemudian berfungsi sebagai tempat jiarah dan pemakaman bagi keturunan penduduk Mariah Dolog. Selain itu, mengingat adanya perladangan yang tetap dilestarikan di sekitar Mariah Dolog, maka sisa-sisa puing rumah penduduk dijadikan sebagai tempat persinggahan dan istirahat oleh petani. Mengingat hilangnya suatu komunitas masyarakat pedalaman Mariah Dolog tersebut, sebagai manifestasi kehidupan sosial yang pernah ada, oleh penulis menarik untuk mengkajinya dalam konteks sejarah sosial. Agar pembabakan waktu dalam penulisan ini tidak terlalu meluas, maka ditentukan periodisasi yang tepat. Penelitian diawali mulai dari tahun 1960 di mana sejak tahun inilah penduduk mulai menyekolahkan anak-anak mereka untuk mengecap pendidikan dasar yang kemudian menjadi latar belakang lahirnya pencerahan yang membawa kemajuan bagi penduduk. Sementara itu skop temporal penulisan penelitian diakhiri pada tahun 2005 menunjukkan
berakhirnya
proses
mobilitas
penduduk
Mariah
Dolog
dan
ditinggalkannya pemukiman itu.
1.2 Rumusan Masalah Dalam rangka melakukan sebuah penelitian yang menjadi landasan dari penelitian itu sendiri adalah apa yang menjadi akar permasalahannya. Berangkat dari
latar belakang di atas, maka dibuatlah suatu perumusan mengenai masalah yang hendak diteliti sebagai landasan utama dalam penelitian sekaligus menjaga sinkronisasi dalam uraian penelitian. Untuk mempermudah penulisan dalam upaya menghasilkan penelitian yang objektif, maka pembahasannya dirumuskan terhadap masalah-masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana keadaan/kehidupan masyarakat Mariah Dolog sebelum tahun 1960? 2. Bagaimana perkembangan/dinamika apa yang terjadi terhadap masyarakat Mariah Dolog selama periode 1960-2005? 3. Mengapa kemudian banyak masyarakat Mariah Dolog meninggalkan wilayah ini selama periode 1990-an s/d 2004?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan Setelah memperhatikan apa yang menjadi permasalahan yang akan dikaji oleh penulis maka yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah apa yang menjadi tujuan penulis dalam penelitian ini, serta manfaat yang didapatkan dari hasil penulisan. Memang masa lampau manusia tidak dapat ditampilkan dalam konstruksi seutuhnya, namun rekonstruksi manusia perlu dipelajari sehingga diharapkan mampu memberikan pelajaran bagi kehidupan manusia di masa kini dan akan datang. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui latar belakang sejarah terbentuknya pemukiman penduduk Mariah Dolog. 2. Mengetahui situasi lingkungan berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat Mariah Dolog. 3. Menjelaskan perubahan persepsi kehidupan masyarakat pedalaman Mariah Dolog. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah sebagai berikut : 1. Menambah pengetahuan sekaligus memotivasi peneliti dalam menghasilkan karya-karya historiografi serta memberikan referensi literatur yang berguna terhadap dunia akademis, terutama dalam studi ilmu sejarah guna membuka ruang penulisan sejarah yang berikutnya. 2. Menjadi suatu deskripsi yang berguna bagi pemerintah dan masyarakat dalam menyelenggarakan proses pembangunan sarana dan prasarana di bidang sosial ekonomi. 3. Menambah wawasan pembaca mengenai jejak kehidupan suatu masyarakat di pedalaman Mariah Dolog.
1.4 Tinjauan Pustaka Dalam memahami masalah penelitian ini, diperlukan beberapa referensi yang dapat dijadikan panduan penulisan nantinya dalam bentuk tinjauan pustaka.
Buku yang ditulis Tania Murray Li (2002) berjudul Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia menjelaskan tentang perubahan yang berlangsung pada masyarakat pedalaman secara umum di Indonesia. Buku ini membahas sejarah dan ciri-ciri masyarakat daerah pedalaman yang terus berubah, khususnya dalam kaitannya dengan cara mereka mencari nafkah, dan bergesernya hubungan dengan sumber daya alam, dengan pasar, dan dengan negara. Dari buku ini juga dapat dilihat persoalan-persoalan mengenai proses perubahan dalam masyarakat pedalaman serta memiliki kesamaan permasalahan dengan pedalaman yang akan diteliti oleh penulis. Buku yang berjudul Participatory Rural Appraisal: Memahami Desa secara Partisipatif (1996), mengkaji tentang metode penelitian yang mempelajari permasalahan masyarakat pedesaan secara partisipatif. Robert Chambers dalam buku ini memaparkan tentang metode dan pendekatan yang memungkinkan masyarakat secara bersama-sama menganalisis masalah kehidupan dalam rangka merumuskan perencanaan dan kebijakan secara nyata. 8 Buku Seminar Sejarah Lokal: Dinamika Masyarakat Pedesaan menguraikan tentang proses perubahan dan perkembangan sosial ekonomi serta pada masyarakat desa dalam kaitannya dengan mata pencaharian seperti bidang pertanian. Secara umum juga buku ini menggambarkan ciri-ciri dari kehidupan masyarakat Indonesia. Pelukisan-pelukisan dari beberapa desa di Indonesia masing-masing menunjukkan 8
Robert Chambers, PRA Participatory Rural Appraisal: Memahami Desa secara Partisipatif, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996, hlm. 10.
cirinya baik dalam proses adat istiadat, kerukunan, gotong royong dalam bekerja maupun konflik yang terdapat pada masyarakat. Perbandingan yang ditampilkan di antara beberapa desa berbeda di Indonesia. Menurut
Soetomo
dalam
bukunya
Strategi-strategi
Pembangunan
Masyarakat (2008), dalam implementasi beberapa pengaturan tata ruang secara hirarkis melalui kebijakan spasial yang terintegrasi, meski dapat mengurangi pemusatan perkembangan sosial ekonomi di kota-kota besar, disparitas desa-kota dan disparitas antarwilayah, namun demikian tidak jarang dijumpai masih adanya warga masyarakat yang berada dalam kondisi kemiskinan baik di daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan. Warga masyarakat yang hidup dalam kondisi kemiskinan berada pada satu kawasan tertentu yang seolah-olah merupakan kantung atau kluster wilayah kemiskinan. Dilihat dari pendekatan wilayah, kawasan yang merupakan kantung-kantung atau kluster tersebut adalah suatu wilayah yang sudah cukup lama dikembangkan bersama-sama dengan wilayah lain, tetapi karena berbagai sebab kawasan itu tetap belum dapat dikembangkan sebagaimana diharapkan, sehingga kondisi kehidupan sosial ekonomi penduduknya juga masih tetap rendah. Wilayah demikian disebut sebagai kawasan tertinggal. Salah satu faktor penyebab utama mengapa kawasan tersebut masih belum berkembang adalah karena terbatasnya potensi dan sumber daya alam, maka kondisi kemiskinan yang diakibatkan sering disebut sebagai kemiskinan alamiah.
Di antara beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk pengembangan kawasan demikian misalnya dengan mengembangkan kualitas sumber daya manusianya agar dapat bersaing dalam mencari peluang kerja di daerah lain, sehingga dengan demikian wilayah yang bersangkutan lebih difungsikan sebagai tempat tinggal dan bukan tempat berusaha maupun berkerja. 9 Dari keterangan di atas menunjukkan desa Mariah Dolog tergolong desa tertinggal dilihat dari rendahnya kualitas sumber daya dan potensinya, selain isolasi geografisnya. Desa Mariah Dolog tidak hanya kriterianya sebagai desa tertinggal, bahkan ditinggalkan sama sekali oleh penduduknya setelah beberapa di antara warga berhasil dalam kehidupan ekonominya, kemudian perlahan-lahan menarik anggota keluarga lainnya keluar dari Mariah Dolog. Faktor pendidikan telah membuka kemajuan bagi penduduk Mariah Dolog. Di daerah kerajaan Raya sejak tahun 1904 telah berdiri Sekolah Rakyat (Volkschool) 3 tahun, pertama di Raya Tongah, Raya Usang, dan Bulu Raya, kemudian menyusul di kampung-kampung lainnya. Hingga akhir tahun 1933, daerah Kecamatan Raya saja terdaftar 17 Sekolah Rakyat 3 tahun, satu Sekolah Sambungan 5 tahun dan satu Sekolah Sambungan dengan pengantar berbahasa Belanda. 10
9
Soetomo, Strategi-strategi Pembangunan Masyakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hal. 276-279. 10
T.B.A. Purba Tambah, op.cit, hal. 144.
1.5 Metode Penelitian Untuk mendapatkan penulisan sejarah yang deskriptif analitis haruslah melalui tahapan demi tahapan. Tahap pertama heuristik (pengumpulan sumber) yang sesuai dan mendukung sumber objek yang diteliti. Dalam hal ini dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Dalam penelitian kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan beberapa buku, majalah, artikel-artikel, skripsi dan karya tulis yang
pernah ditulis sebelumnya berkaitan
dengan judul yang dikaji. Kemudian penelitian lapangan akan dilakukan dengan menggunakan metode wawancara terhadap informan-informan yang dianggap mampu memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan ini. Tahapan kedua yang dilakukan adalah kritik. Dalam tahapan ini kritik dilakukan terhadap sumber yang telah terkumpul untuk mencari kesahihan sumber tersebut baik dari segi substansial (isi) yakni dengan cara menganalisis sejumlah sumber tertulis misalnya buku-buku atau dokumen yang berkaitan dengan judul yang dikaji. Kritik ini disebut kritik intern. Mengkritik dari segi materialnya untuk mengetahui keaslian atau palsukah sumber tersebut agar diperoleh keautentikannya, kritik ini disebut kritik ekstern. Tahapan ketiga adalah interpretasi, dalam tahapan ini data yang diperoleh dianalisis sehingga melahirkan satu analisis yang baru yang sifatnya lebih objektif dan ilmiah dari objek yang diteliti. Objek kajian yang cukup jauh ke belakang serta
minimnya data dan fakta yang ada membuat interpretasi menjadi sangat vital dan dibutuhkan keakuratan serta analisis yang tajam agar mendapatkan fakta sejarah yang objektif. Tahap terakhir adalah historiografi, yakni penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya tersebut menjadi satu kisah atau kajian yang menarik dan selalu berusaha memperhatikan aspek kronologisnya. Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah deskriptif analitis. Yaitu dengan menganalisis setiap data dan fakta yang ada untuk mendapatkan penulisan sejarah yang kritis dan ilmiah. Dalam fase heuristik, selain mengumpulkan bahan-bahan seperti telah disebutkan di atas, juga digunakan ”ilmu-ilmu bantu” yang relevan dengan fokus penelitian. Ilmu-ilmu bantu yang merupakan pendukung ilmu sejarah disebut auxiliary sciences atau sister disciplines, yang penggunaannya tergantung pada pokok atau periode sejarah yang dikaji. Ilmu bantu mempunyai fungsi-fungsi penting yang digunakan oleh para sejarawan dalam membantu penelitian dan penulisan sejarah, sehingga menjadikan sejarah sebagai suatu karya ilmiah. Ilmu bantu dalam ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, psikologi, antropologi, politikologi, ekonomi, dan lain sebagainya. Konsep-konsep dari ilmu sosial membantu atau menjadi alat (tools) untuk kajian sejarah yang analitis-kritis ilmiah. 11
11
Helius Sjamsuddin, Metologi Sejarah, Yogyakarta: Ombak, 2007, hal. 240-241; 267.
Dalam perkembangan penelitian dan penulisan sejarah terutama abad ke-20 dan ke-21 ini para sejarawan telah membiasakan diri mengenal dan menggunakan sejumlah konsep-konsep, baik yang dikenal dari dalam lingkungan sejarah sendiri maupun yang diangkat dari ilmu-ilmu sosial lain. Ketika menganalisis berbagai peristiwa atau fenomena masa lalu, sejarawan menggunakan konsep-konsep dari berbagai ilmu sosial tertentu yang relevan dengan pokok kajian. Ini dikenal dengan pendekatan interdisiplin atau multidimensional yang memberikan karakteristik “ilmiah” kepada sejarah. Penggunaan berbagai konsep disiplin ilmu sosial lain ini memungkinkan suatu masalah dapat dilihat dari berbagai dimensi sehingga pemahaman tentang masalah itu, baik keluasaan maupun kedalamannya, akan semakin jelas. 12
12
Ibid, hal. 303-304.