BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ‘Masalah Cina’1 di Indonesia kembali menjadi perbincangan hangat setelah terjadinya peristiwa kerusuhan antara tanggal 13 – 15 Mei 1998 di Jakarta, Solo, dan beberapa kota yang lain. 2 Persoalan lama ini muncul kembali karena pada peristiwa tersebut, khususnya di Jakarta, terjadi penyerangan, pembakaran serta penjarahan pada toko-toko dan rumah-rumah milik orang Tionghoa3. Selain itu juga terjadi kekerasan seksual (pelecehan dan pemerkosaan) yang sebagian korbannya adalah perempuan Tionghoa (Pattiradjawane, 2000: 237-238). Menurut I. Wibowo (1999: xxxi), ‘masalah Cina’ tampak sebagai masalah lama tetapi yang selalu baru. Oleh karena itu menurutnya, perlu dilakukan dua hal yaitu retrospeksi dan rekontekstualisasi ‘masalah Cina’. Hal
1
Ada beberapa pendapat yang menjelaskan ‘masalah Cina’ ini, antara lain: terkait dengan dominasi mereka dalam bidang ekonomi (Jan, 1960), terkait dengan warisan kolonial dan kompleksitas internal mereka (Tjeng, 1971), dan terkait dengan hubungan antara mayoritas dan minoritas (Gungwu, 1981). Lihat Catatan Belakang no. 1 dalam Hari Poerwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang, Jakarta: Komunitas Bambu, 2005, hlm. 307 2 Beberapa literatur awal yang membahas ‘masalah cina’ setelah kerusuhan antara lain, Alfian Hamzah (ed), Kapok Jadi Nonpri; Warga Tionghoa Mencari Keadilan, Jakarta: Zaman, 1998. I. Wibowo (ed), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina, Jakarta: Gramedia, 1999. Leo Suryadinata. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: LP3ES, 1999. 3 Istilah Tionghoa merujuk pada orang / masyarakat dan budaya sebagaimana istilah ini digunakan dalam berbagai perayaan publik. Istilah Orang Tionghoa digunakan sebagaimana istilah wong Jowo pada bahasa lokal (Yogyakarta; Jawa). Sedangkan istilah China atau Tiongkok digunakan secara bergantian dengan tetap merujuk pada budaya dan Negara RRC / RRT. Namun dalam praktik komunikasi di lapangan (berbicara, wawancara), istilah Tionghoa, Cina, Cino, dan Tiongkok digunakan secara acak sesuai dengan lawan bicara.
1
2
pertama berupa perenungan dan usaha melihat kembali akar dari ‘masalah Cina’. Kedua adalah mencoba melihat ke depan atau usaha untuk menempatkan ‘masalah Cina’ dalam konteks Indonesia yang wajar. Menurut Suparlan (1999: 149-173), salah satu usaha dari rekontekstualisasi ‘masalah Cina’ adalah meletakkannya dalam kerangka masyarakat majemuk dan dinamika hubungan antar-suku bangsa di Indonesia yang bhinneka tunggal ika. Keadaan orang Tionghoa pada masa reformasi di bawah pimpinan Presiden B.J. Habibie, dianalisis dengan baik oleh Suryadinata (2003: 3-4). Ia menunjukkan bahwa kebijakan asimilasi yang diterapkan pada masa Orde Baru mulai ditinggalkan secara bertahap. Indikatornya adalah bangkitnya tiga pilar budaya orang Tionghoa yaitu, (1) munculnya kembali organisasi sosial politik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat kabar) berbahasa dan beraksara Mandarin dan (3) pengajaran bahasa Mandarin di level sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Kebijakan pertama yang terkait dengan ‘masalah Cina’ di era reformasi adalah Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 yang dikeluarkan oleh Presiden Habibie pada tanggal 16 September 1998. Peraturan ini berisi larangan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam bidang bisnis dan kebijakan resmi pemerintah. Kebijakan ini juga mengatur bahwa peluang yang sama akan diberikan kepada orang Indonesia apapun suku-bangsa, ras dan agamanya. Kemudian pada tanggal 5 Mei 1999, Habibie mengeluarkan
3
kembali Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1999 yang isinya menguatkan Instruksi Presiden No. 56 Tahun 1996 bahwa SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) tidak diperlukan lagi dan kepemilikan KTP (Kartu Tanda Penduduk) cukup menjadi bukti sebagai warganegara Indonesia. Meskipun dalam implementasinya, dua kebijakan tersebut diatas masih kurang efektif (Purdey, 2005: 21-22). Kebijakan yang paling berpengaruh terhadap aspek sosial dan budaya orang Tionghoa pasca Orde Baru adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid ketika menjabat sebagai presiden. Ia mengeluarkan Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 yang intinya adalah orang Tionghoa diperbolehkan kembali menjalankan keyakinannya, yaitu ajaran Khonghucu, ibadah dan tradisi leluhur serta merayakan festival budayanya tanpa memerlukan
ijin
khusus.
Pada
tahun
berikutnya,
Menteri
Agama
mengeluarkan Surat Keputusan No. 13 Tahun 2001 yang menetapkan bahwa Imlek (Tahun Baru China) dijadikan hari libur fakultatif orang Tionghoa (Lindsey, 2005: 59-60). Kebijakan Gus Dur ini kemudian direspon oleh orang Tionghoa di berbagai kota besar, terutama yang jumlah penduduk Tionghoanya tinggi, dengan menyelenggarakan perayaan Tahun Baru Imlek secara lebih terbuka. Respon paling awal dari orang-orang Tionghoa di Yogyakarta adalah merayakan
Imlek
tahun
2000
di
Klenteng
Poncowinatan
dengan
menampilkan, untuk pertama kalinya setelah 30 tahun, atraksi kesenian liong
4
dan samsi (barongsai)
4
. Kemudian dengan sikap berhati-hati, mereka
mengundang Sultan Yogyakarta untuk merayakan Imlek di sebuah hotel dengan tema Malam Keakraban Bersama Sri Sultan. Tema yang kamuflatif ini dilakukan karena mereka mendapat nasehat dari Sultan dan beberapa tokoh Tionghoa untuk tidak berlebihan dalam menonjolkan identitas ketionghoaan (Susanto, 2008: 164). Bahkan ketika orang Tionghoa muslim di Yogyakarta mengadakan perayaan Imlek di Masjid Syuhada tahun 2003, pun menimbulkan kontroversi baik yang pro dan kontra (lihat Syarif, 2005; Ahimsa-Putra, 2010; Maulana, 2011 dan Chiou, 2013). Menariknya, pada tahun 2006 terselenggara Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) dalam rangka perayaan Tahun Baru Imlek 2557 di Kampung Ketandan. Peristiwa ini menjadi peringatan Imlek pertama di ruang publik Kota Yogyakarta dan terbuka untuk umum. Acara ini tidak hanya dimeriahkan oleh pawai liong dan samsi dari klenteng Fuk Ling Miao (Gondomanan) ke Ketandan, tetapi juga pameran kebaya encim, rumah khas tradisional Tionghoa Ketandan, pertunjukan wayang potehi, pentas karaoke lagu-lagu Mandarin dan ketoprak Sam Pek Ing Tay. Bahkan acara ini dibuka secara resmi dan langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta 5.
4
“Imlek 2551 Dapat Pertanda Bagus” dalam Bernas, 4 Februari 2000. “Pekan Budaya Tionghoa 2006, Layak Jadi Laboratorium Sosial” Kompas, 20 Januari 2006. “Keraton-Pecinan Sudah Lama Kerja Sama” dalam Bernas, 28 Januari 2006. “Menyusuri Rumah Tradisional Cina: Terasa Kentalnya Asimilasi Budaya” dalam Kedaulatan Rakyat, 27 Januari 2006. 5
5
Festival yang pertama kali digelar ini berlangsung selama lima hari berturut – turut dan selalu ramai oleh pengunjung di setiap bagian acaranya. Penulis yang juga hadir beberapa hari berturut – turut, menyempatkan diri melihat pameran rumah arsitektur Tionghoa,
alat musik China, lukisan
Chinese painting (menggunakan cat air), dan ikut salah satu forum diskusinya. Sayang sekali penulis tidak ikut acara penutupannya yang berupa fashion show dan gala dinner di sebuah hotel, karena untuk acara ini terbatas pada undangan dan dikenai beaya sebesar Rp. 150.000,00. Setelah kesuksesan PBTY yang pertama, acara ini kemudian diselenggarakan secara berturut-turut hingga tahun ini (2014). Kemudian komunitas Tionghoa juga melebarkan usahanya dalam perayaan publik peringatan hari besar tradisi China yang lain, seperti Festival Perahu Naga di Bendung Tegal, Bantul dalam rangka peringatan Peh Cun dan Festival Bulan Purnama di Klenteng Tjen Lin Kiong (Poncowinatan) dalam rangka peringatan Tiong Jiu. Bahkan untuk dua festival yang pertama telah menjadi agenda tahunan objek pariwisata Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Saat mengunjungi penyelenggaraan festival publik pertama (PBTY) tahun 2006, di dalam hati penulis membatin bahwa peristiwa ini sangatlah menarik dan membenarkan sebuah headline surat kabar lokal yang menyatakan momentum ini layak menjadi sebuah laboratorium sosial di
“Afif Syakur Pamerkan Busana Bernuansa China di PBTY: Kebaya Ratusan Tahun Tetap Elegan” dalam Radar Jogja, 29 Januari 2006.
6
Yogyakarta. Dan ketika penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi Magister, maka peristiwa tersebut langsung dipilih menjadi subyek penelitian tesis seperti saat ini.
B. Rumusan Masalah Dari uraian mengenai perubahan kekuasaan pemerintahan dan kebijakan yang dikeluarkan menyangkut tradisi orang Tionghoa serta efek yang muncul setelahnya, maka timbul beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk atau performansi dari tiga peringatan hari raya China (Imlek, Peh Cun dan Tiong Jiu) yang digelar secara terbuka tersebut? Siapa yang berpengaruh dalam proses pembentukannya dan dari mana sumber-sumber pengetahuan mengenai tradisi orang Tionghoa yang menjadi rujukan ? 2. Bagaimana
strategi
orang
Tionghoa
dalam
mempersiapkan
dan
menyelenggarakan festival budaya tersebut sehingga menjadi acara tahunan di Yogyakarta? 3. Apa yang ingin dicapai dan apa arti dari penyelenggaraan peringatan hari raya China bagi orang Tionghoa kini? dan pihak lain yang terlibat?
C. Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian Ruang lingkup spasial penelitian ini adalah Kotamadya Yogyakarta yang merupakan salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Daerah Istimewa
7
Yogyakarta. Pemilihan tempat ini mempunyai beberapa argumen dasar. Pertama,
penduduk
kota
kemajemukan masyarakat
Yogyakarta Indonesia,
merupakan
sehingga tepat
representasi
dari
dengan konsep
rekontektualisasi yang diajukan Suparlan (1999) di awal tulisan. Hal ini tercermin dari komposisi penduduknya yang beragam, mulai dari berbagai sukubangsa di Indonesia hingga expatriat dan Warga Negara Asing. 6 Sejak berdiri pada tahun 1755, Kota Yogyakarta pun telah dihuni oleh berbagai suku-bangsa ‘pribumi’ (Jawa, Batak, Minang dan Banjar), Eropa (khususnya Belanda dan Indo Belanda) dan Timur Asing: China, Arab dan India (Kwartanada, 1997: 51). Kedua, Kota Yogyakarta merupakan representasi daerah di Jawa yang mempunyai kompleksitas masalah yang lebih dinamis. Kompleksitas ini diakibatkan karena masih berkembangnya sistem kerajaan yang cukup ‘mapan’ (Poerwanto, 2005: 4), yaitu Kasultanan dan Pakualaman Yogyakarta. Sehingga situasi tersebut secara langsung atau tidak langsung juga telah memberikan dinamika yang khas pada tradisi orang Tionghoa di Yogyakarta. Ketiga, Kota Yogyakarta merupakan kota yang tidak mengalami kerusuhan rasial anti China pada tahun 1998, meskipun di masa itu kota Yogyakarta juga dipenuhi dengan demonstrasi mahasiswa besar-besaran (Susanto, 2008: 146).
6
Jawa (3.331.355), Sunda (23.752), Melayu (15.430), Tionghoa (11.545), Batak (9.858), Minangkabau (5.152), Bali (3.495), Madura (5.289), Bugis (3.335) dan untuk warga negara asing yaitu; (307). BPS Pusat, Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-Hari Penduduk Indonesia: Hasil Sensus 2010, Jakarta: BPS Pusat, 2010
8
Hal ini menarik karena dinamika bentuk hubungan sosial mereka dapat membantu melengkapi analisis fokus permasalahan studi ini. Sementara itu terkait dengan fokus penelitian, karena yang menjadi subyeknya adalah perayaan hari besar yang terselenggara secara terbuka, maka periodenya adalah perayaan yang terselenggara pasca jatuhnya rezim Orde Baru. Oleh karena itu, perayaan Imlek bukan satu-satunya fokus penelitian melainkan juga perayaan Peh Cun (Dragon Boat Festival) dan Tiong Jiu (Moon Cake Festival). Ketiga perayaan tersebut layak dijadikan kajian secara bersama karena merupakan usaha atau praktik yang sama dari orang - orang Tionghoa di Kota Yogyakarta. Meskipun ketiganya digelar di tempat dan waktu yang berbeda: Pertama, perayaan Imlek digelar selama lima hari di kampung Ketandan (Pecinan). Kedua, Peh Cun yang digelar di Bendung Tegal Jetis dan Pantai Parangtritis pada tanggal 5 bulan 5 kalender Imlek. Ketiga, perayaan Tiong Jiu yang digelar di halaman Klenteng Poncowinatan pada tanggal 15 bulan 8 kalender Imlek. Berdasarkan uraian di atas, tujuan dari penelitian ini adalah: pertama, memperlihatkan potret mengenai praktik tradisi orang Tionghoa terutama dalam penyelenggaraan peringatan hari raya dan siapa saja yang berpengaruh didalam perayaan tersebut termasuk sumber - sumber pengetahuan mereka. Kedua, mengetahui strategi politik kebudayaan yang diterapkan orang Tionghoa di masa yang lebih terbuka dan demokratis ini. Ketiga adalah
9
mengetahui harapan mereka, baik material atau non-material, dan arti penting dari peringatan hari raya atau festival budaya tersebut di masa ini. D. Kajian Pustaka Terdapat sedikit kajian tentang hari raya orang Tionghoa di Indonesia yang muncul sebelum masa Orde Baru. Pertama adalah karya Tjoa Tjoe Koan (1887) dengan judul buku Hari Raja Orang Tjina yang terbit di Batavia. Buku ini ditulis dalam bahasa Malayu Tionghoa7 dan dominan menggunakan dialek Hokkian, selain karena penulisnya lebih menguasai dialek tersebut, bahasa Mandarin saat itu pun belum populer di Jawa. 8 Dari segi isi, kajian ini lengkap dalam menguraikan beragam hari raya yang berlaku di negeri China dan diikuti para perantau China serta keturunannya di Jawa masa itu. Buku ini disusun dengan penjelasan yang runtut dan sederhana agar mudah dipahami oleh kaum peranakan Tionghoa dan masyarakat awam. Tapi sayangnya, kajian ini tidak banyak membahas konteks dalam praktik perayaan dan strategi dibelakang penyelenggaraannya di dalam masyarakat.
7
Bahasa Melayu di kalangan orang Tionghoa dan juga berlaku umum di Jawa masa itu. Merupakan salah satu unsur dalam pembentukan proto bahasa Indonesia. Lihat Claudine Salmon, “Apakah Dari Sudut Linguistik Istilah Bahasa Melayu–Tionghoa Dapat Diterima?” dalam Citra Masyarakat Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan, 1983, hlm. 99-111 8 Menurut Didi Kwartanada, buku ini merupakan yang pertama ditulis menggunakan bahasa Melayu mengenai perayaan China di Indonesia. Bahkan karena menariknya, buku ini diterjemahkan ke bahasa Belanda dan diulas di jurnal Belanda oleh sinolog J. W Young tahun 1889. Lihat selengkapnya artikel Didi Kwartanada di “Tionghoa-Java: A Peranakan Family History from Javanese Principalities” dalam CHC Bulletin No. 4 Desember 2004
10
Kedua adalah kajian tentang hari raya yang ditulis oleh Han Swan Tiem berjudul Hari Raya Tionghoa (1953). Buku yang diberi kata pengantar oleh Tjan Tjoe Siem ini menjelaskan asal usul tahun baru Imlek yang ternyata merupakan dongeng (folklore) yang berkembang di masyarakat China saat itu. Dongeng tersebut bukan berkisah tentang Konfusius, melainkan kisah Giok Hong Siang Tee atau ‘Kaisar Mutiara’ dalam lagenda China kuno yang terkenal welas asih, murah hati dan penolong orang miskin. Untuk menandai kembalinya kaisar ini ke bumi, orang-orang merayakan pesta, yang kini dikenal sebagai pesta tahun baru. Secara umum karya Han Swan Tiem ini juga menjelaskan berbagai hari raya orang Tionghoa yang diperingati tersebut secara deskriptif namun masih cenderung normatif. Literatur lain yang juga mengulas hari raya orang Tionghoa adalah bagian kecil dalam karya Nio Joe Lan (1961) berjudul Peradaban Tionghoa Selajang Pandang. Pembahasan tentang hari raya memang tidak selengkap kajian sebelumnya, karena karya ini lebih mengfokuskan pada hari raya China yang hanya diperingati oleh orang Tionghoa secara umum di Indonesia. Kekurangan lainnya terletak pada minimnya deskripsi mendalam tentang praktik perayaan dan dinamikanya di dalam komunitas orang Tionghoa di Indonesia. Namun yang cukup signifikan dari kajian ini adalah adanya pembagian hari raya China yang terdiri dari (1) hari raya umum yang di patuhi oleh seluruh rakyat, (2) hari raya yang berkaitan dengan peringatan tokoh
11
bersejarah atau pahlawan bangsa China dan (3) hari raya yang berkaitan dengan peringatan dewa-dewa yang dipuja oleh bangsa China. Di masa Orde Baru, jarang ditemukan pustaka yang mengangkat tema perayaan hari raya orang Tionghoa. Selain adanya pembatasan literatur yang berkaitan dengan aksara dan bahasa orang Tionghoa, 9 kekosongan ini juga disebabkan karena pembatasan berbagai bentuk perayaan di ruang publik. 10 Meskipun demikian, terdapat beberapa buku liturgi dan pengenalan ajaran Khonghucu
11
, termasuk hari-hari besarnya, yang diterbitkan oleh
MATAKIN12 dan diedarkan secara terbatas pada umatnya. Format buku yang ukuran saku tersebut tidak banyak menjelaskan perihal hari raya, hanya sekedar informasi nominal peringatan hari besar dalam satu tahun kalender Imlek13. Setelah reformasi terdapat beberapa kajian tentang hari raya China seperti yang ditulis oleh Tedy Jusuf (2000). Buku ini berjudul Sekilas Budaya Tionghoa di Indonesia dan disponsori oleh salah satu organisasi baru orang
9
Pelarangan impor, perdagangan dan distribusi publikasi tentang China berdasarkan kebijakan Menteri Koperasi dan Perdagangan No. 286 Tahun 1978. Tim Lindsey, “Reconstituting the Ethnic Chinese in Post-Soeharto Indonesia: Law, Racial Discrimination and Reform” dalam Chinese Indonesians: Remembering, Distorting, Forgetting, Tim Lindsey, Helen Pausacker (Ed). Singapore: ISEAS. 2005. p. 55. 10 Pembatasan perayaan yang berkaitan dengan ajaran Khonghucu termasuk peringatan hari raya orang Tionghoa berdasarkan Kepres No. 14 Tahun 1967. Tim Lindsey, loc.cit., p. 60. 11 Antara lain berjudul: Pokok-Pokok Keimanan Konfusiani (Agama Khonghucu) (1985) dan Selayang Pandang Sejarah Suci Agama Khonghucu (1985) 12 Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia. Baca tulisan Leo Suryadinata, “Khonghucuisme Di Indonesia: Dahulu dan Sekarang” dalam Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1988. Hlm. 37-73. 13 Panitia Cisingtan 2543, Pokok-Pokok Penting Ajaran & Ibadah Agama Khonghucu, Surakarta: MATAKIN, 1992. Hlm. 34.
12
Tionghoa yaitu PSMTI14 di Jakarta. Kajian ini isinya juga lebih bersifat umum dan populer, sebagaimana tujuan dari penulisnya yang bermaksud menginventarisasi tradisi Tionghoa yang masih hidup dan terpelihara dalam masyarakat Tionghoa agar dapat diwariskan pada generasi muda. Penulis buku ini menambahkan bahwa kajian ini dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari, meskipun dapat dimodifikasi dan disesuaikan dengan kebiasaan dan kondisi masyarakat setempat. Kajian ini sekaligus juga sebagai media pengenalan budaya pada masyarakat yang lebih luas untuk saling mengenal dan menumbuhkan rasa saling menghormati dan menyayangi. Beberapa bulan menjelang penelitian ini, terbit sebuah buku di Yogyakarta yang peluncuran perdananya bersamaan dengan perayaan festival Tiong Jiu dengan judul Berkenalan dengan Adat dan Ajaran Tionghoa. Buku yang disunting oleh Tjan K dan Kwa Tong Hay (2011) ini merupakan penyempurnaan tulisan yang bahan-bahannya telah dikumpulkan oleh tim penelitian dan pengembangan PTITD (Perhimpunan Tempat Ibadah Tri Dharma – San Jiao) Komisariat Daerah Jawa Tengah. Oleh karena sifatnya yang berupa pengenalan umum, deskripsi tentang perayaan juga cenderung formal. Namun menariknya, buku ini memberikan informasi yang lebih lengkap tentang Tri Dharma dengan menggunakan sumber – sumber 14
Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia. Lihat Susan Mary Giblin, Being Chinese and Indonesian: Chinese Organitation in Post Soeharto Indonesia, Ph.D Dissertation, Departement of East Asian, University of Leeds, 2003. Pp. 120-122.
13
berbahasa dan beraksara Mandarin termasuk penggunaannya dalam penyebutan istilah sepanjang tulisan. Studi lain yang bersinggungan dengan rencana penelitian ini adalah tesis yang ditulis oleh Ubed Abdilah Syarif (2005) mengenai perayaan Imlek di Mesjid oleh kalangan Tionghoa Muslim di Yogyakarta. Studi ini cukup membantu dalam memberikan konteks waktu pasca 1998 dan lokalitasnya, tetapi sayangnya kajian ini hanya terbatas pada orang Tionghoa yang beragama Islam saja dan bias asimilasi. Sehingga konsep dan bentuk dari transformasi budaya ketionghoaannya (Chineseness) kurang tampak. Pada saat penulisan tesis ini, muncul tulisan terbaru mengenai kasus yang sama yaitu perayaan Imlek di mesjid yang ditulis oleh Syuan-Yuan Chiou (2013). Penulis tersebut melihat usaha Tionghoa muslim dalam reka cipta tradisi Imlek yang berupa solat Imlek sebagai sebuah kontroversi dan komplikasi dari jejaring antara tradisi Imlek, Khonghucu dan Islam. Dengan kata lain, persoalan asal usul dan keaslian dari tradisi Imlek masih merupakan sebuah kontestasi yang panas antara budaya dan agama. Kemudian ada juga sebuah artikel menarik yang ditulis oleh Margaret Chan (2009) tentang perayaan Imlek pasca Orde Baru, khususnya karnaval Cap Go Meh di Singkawang Kalimantan Barat. Dengan pendekatan dramaturgis dan simbolik, Chan mencoba menganalisis ritual antar etnik (Tionghoa, Dayak dan Melayu) yang tampil dalam karnaval Cap Go Meh. Sebagai sebuah pertunjukan budaya yang penuh dengan praktik ritual dari
14
masing-masing etnis, berubah menjadi medan eksistensi dan kontestasi politik tiga etnis yang berujung pada perebutan posisi walikota dalam Pilkada Kota Singkawang hingga Pilgub Kalimantan Barat. Dari beberapa kajian mengenai hari raya di atas, peneliti menempatkan penelitian ini sebagai salah satu usaha memotret tahapan perkembangan sejarah tradisi orang Tionghoa yang berupa peringatan hari raya. Penelitian ini juga berusaha untuk memperkaya ranah kajian mengenai salah satu praktik tradisi orang Tionghoa di Indonesia (peringatan hari raya). Di samping itu, kajian ini bermaksud untuk mengungkap pemaknaan dari pembentukan kembali tradisi orang Tionghoa yang telah lama, lebih dari 30 tahun, direpresif oleh penguasa Orde Baru.
E. Landasan Teori Pada setiap masyarakat di dunia, hampir semuanya mempunyai waktu khusus yang teratur untuk merayakan sesuatu. Perayaan tersebut menjadi momentum yang terbaik bagi semua anggotannya. Misalnya perayaan hari bersejarah, kelahiran atau kematian pahlawan atau dewa yang dihormati, dan masa transisi peralihan musim. Momentum yang spesial ini dengan perayaan didalamnya, sering dibungkus dalam sebuah kemasan bernama festival (Smith, 1972: 159). Dalam studi ini, perayaan Imlek merupakan peringatan untuk menyambut pergantian musim, dari musim dingin ke musim semi, dimana masyarakat petani di China mulai menggarap ladang. Sedangkan
15
perayaan Peh Cun merupakan momentum untuk menghormati meninggalnya seorang negarawan yang mencintai negerinya. Kemudian pada perayaan Tiong Jiu Pia adalah perayaan pada saat panen dan menyambut musim gugur. Partisipan dari perayaan adalah anggota masyarakat itu sendiri. Namun dalam masyarakat tersebut masih terdapat sub kelompok yang biasanya juga merayakan dalam waktu dan tempat yang berbeda dan terbatas (privat) (Smith, 1972: 164). Dalam konteks tiga perayaan hari besar Tionghoa, ada beberapa kelompok dalam masyarakat Tionghoa yang menggelar perayaan terpisah. Mereka antara lain kelompok terkecil yaitu keluarga inti, kelompok berbasis Marga atau dialek, dan kelompok berbasis institusi atau paguyuban. Biasanya perayaan ini digelar di rumah, di gedung atau di restoran. Sedangkan perayaan yang diikuti oleh seluruh masyarakat Tionghoa dan bersifat publik, bisa juga diikuti oleh kelompok masyarakat lain, biasanya digelar di fasilitas publik seperti jalan raya, lapangan atau pantai. Peringatan hari raya pada kelompok kebudayaan tertentu, pada dasarnya bisa dikategorikan di dalam salah satu bentuk tradisi. Jika mengacu pada pengertian tradisi yang didefinisikan oleh Edward Shils (1981: 12), maka tradisi China yang berkembang sekarang adalah warisan dari leluhur orang China di masa lalu. Dalam konteks ke-Indonesiaan, tradisi orang Tionghoa sekarang merupakan turunan dari tradisi leluhur mereka yang telah bermigrasi beberapa abad yang lalu dan bermukim di berbagai tempat di Indonesia. Dengan kata lain, terdapat perubahan yang signifikan antara tradisi
16
China di mainland dengan tradisi China yang berkembang dan dipraktikkan oleh orang – orang Tionghoa di Indonesia. Menurut Shils (1981: 213-258), perubahan tradisi disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar. Faktor dari dalam antara lain; (1) rasionalisasi dan koreksi dari pengikutnya, (2) imajinasi dan (3) godaan untuk menemukan yang baru. Sedangkan faktor dari luar berupa; (1) tekanan dari tradisi asing, (2) sinkretisasi, (3) ekspansi dan perlawanan dalam hubungan pusat – pinggiran tradisi, serta (4) lingkungan tradisi yang berubah. Perbedaan dan keragaman tradisi China di Indonesia bisa terjadi karena orang China yang pertama kali datang dan menetap di Nusantara bukan orang kaya atau pejabat, melainkan orang biasa yang miskin atau pelarian politik. Kebanyakan dari mereka kemudian berprofesi sebagai buruh kontrak, petani, atau pedagang (Poerwanto, 2005: 43-44). Disamping itu, mereka berasal dari daerah yang berbeda dan sering dibedakan dengan dialeknya antara lain, Hokkian, Hakka (Khek), Teociu, Kanton dan lainnya. Meski demikian, sebagian besar imigran China yang ke Indonesia berasal dari Provinsi Fukien (Fujian) dan Kwangtung (Guangdong). Dan mereka selalu membawa serta ciri kultural setempat khas kampung halamannya (Skinner, 1979: 6). Denys
Lombard
(1996:
247)
menegaskan
bahwa
meskipun
perkembangan tradisi orang Tionghoa di Nusantara, Jawa khususnya, mengalami pasang surut karena berbagai pengaruh seperti perkawinan campur
17
dan imigran baru perempuan Tionghoa, kesuksesan finansial atau jatuh miskin, dan gejolak politik di negeri China atau di tanah perantauan, namun setidaknya ada dua hal yang pasti yaitu (1) orang Tionghoa di Jawa merupakan kelompok yang majemuk dan terpecah-pecah serta (2) kelompok yang konsisten terbuka terhadap lingkungan sosial dan budaya setempat. Dalam konteks kekinian, tradisi China pasca Soeharto tampaknya mengalami kebangkitan yang signifikan. Seperti yang dinyatakan oleh Allen (2003: 389), bahwa fenomena yang menghiasi identitas orang Tionghoa pasca Soeharto adalah kebangkitan kembali berbagai bentuk budaya orang Tionghoa yang selama masa Orde Baru dilarang atau dikerdilkan. Ragam budaya tersebut antara lain; barongsai, film roman sejarah China di TV nasional, wayang potehi, sastra Mandarin15 dan peringatan Imlek. Menariknya adalah tradisi yang muncul kembali tersebut sedikit sekali menyerupai tradisi Tionghoa masa kolonial atau pra 1965, bahkan beberapa di antaranya merujuk pada tradisi klasik di China atau malah tradisi baru yang direkonstruksi atau direka cipta kembali (reinventing tradition). Selain itu adalah reka cipta tradisi tersebut bermuara pada proses formalisasi dan ritualisasi yang merujuk pada masa lalu, namun dengan pengulangan – pengulangan yang lebih mengesankan (Hobsbawm, 1989: 1- 4).
15
Beberapa karya yang disebut dengan sastra Mandarin dalam tulisan Pamela Allen (2003) antara lain: Wilson Tjandinegara, Kumpulan Cerpen Mini Yin Hua, Jakarta: Komunitas Sastra Indonesia, 1999. Tan Lioe Ie, Kita Bersaudara, Denpasar: Sanggar Minum Kopi, 1999.
18
Sebagaimana munculnya kembali seni tradisi China liong dan barongsai pasca 1998 (Shahab, 2000), peringatan hari raya juga telah mengalami sebuah reka cipta tradisi dalam rangka mengembalikan fungsinya sebagai identitas budaya orang-orang Tionghoa (Hoon, 2004: 13-14). Menurut Horowitz (1975: 117), untuk memperluas atau memperbanyak keanggotaan sebuah organisasi (penganut atau pengikutnya), dapat diperoleh lewat kelahiran kembali generasinya yaitu anak muda yang mengetahui dan memahami nilai – nilai tradisi. Di sisi lain, Hoon (2009: 1-5) melihat bahwa peringatan hari raya, khususnya Imlek, telah menjadi arena kontestasi politik bagi orang Tionghoa terhadap negara, bahkan juga di antara orang - orang Tionghoa sendiri. Selain itu, salah satu catatan yang juga perlu diperhatikan atas fenomena ini adalah adanya fungsi lain dari peringatan hari raya tersebut yaitu kecenderungan proses detradisionalisasi dalam peringatan hari raya Tionghoa, termasuk kelas menengahnya, dengan ditandai adanya keterlibatan dan persiapan anggota keluarga dalam proses produksi ekonomi (Onghokham, 1999; Hoon, 2009) Jika menurut Swartz (1997: 117), perayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong Jiu tampaknya telah menjadi arena (field) produksi, sirkulasi, dan pemanfaatan barang-barang, pelayanan, pengetahuan atau status dalam kompetisi posisi para aktor untuk mengakumulasi dan memonopoli pelbagai modal (capital). Masih menurut Swartz, arena ini merupakan (1) tempat perjuangan mengkontrol berbagai nilai lebih sumber daya. Sumber daya yang
19
terkait dengan hubungan kekuasaan inilah yang disebut dengan modal. Atau dalam bahasa Bourdieu, arena adalah tempat untuk memperebutkan legitimasi. Kemudian arena juga dipahami sebagai (2) ruang yang tersusun dari posisi dominan dan subordinat berbasis pada beberapa tipe modal. Selain itu arena juga (3) ditentukan oleh bentuk perjuangan dari aktor - aktor dan (4) perluasan signifikan dari mekanisme internal dalam pengembangannya (Swartz, 1997: 123-125). Sumber daya atau modal (capital) yang berada di posisi paling tinggi atau dominan adalah modal ekonomi (economic capital) kemudian diikuti atau juga sering diposisikan sebagai oposisinya adalah modal budaya (cultural capital). Secara tidak langsung modal ekonomi dianggap sebagai akar dari modal yang lain seperti modal sosial (social capital) dan modal simbolik (symbolic capital) (Swartz, 1997: 136). Dominannya modal ekonomi dapat terlihat jelas dalam pelaksanaan tiga perayaan Tionghoa di Yogyakarta. Panitia berusaha mengumpulkan dana sebanyak-banyaknya, baik iuran pribadi atau mencari sponsor, agar semua rencana kegiatan dapat terlaksana. Hal ini dilakukan karena pihak pemerintah daerah tidak dapat membantu banyak atau menutup semua anggaran tersebut. Pada perayaan hari besar tradisi China di Yogyakarta, bukan hanya tokoh - tokoh dan warga Tionghoa biasa yang terlibat melainkan juga orang – orang non Tionghoa, baik itu kelompok intelektual, penguasa lokal atau penduduk setempat. Masing – masing pihak membaca sikap pemerintah pasca
20
Orde Baru, yang menjadikan Tahun Baru Imlek sebagai hari Libur Nasional, sebagai sebuah ruang publik baru. Tokoh atau elit menggunakan modal ekonominya untuk mendukung perayaan semeriah mungkin. Intelektual dan institusi akademiknya menjadikan momentum ini untuk berkontribusi sekaligus memediasi. Seniman dan pekerja budaya, baik orang Tionghoa atau bukan, ikut menyumbang keahlian sekaligus kepedulian dan juga eksistensi. Jumlah massa yang banyak juga ikut meramaikan dan sebagai tanda sukses acaranya. Pihak keamanan pun ikut kontribusi menjaga tapi juga menambah uang saku, hingga pihak keamanan swasta pun tertarik terlibat. Melibatkan pemerintah dan pihak lain seperti keamanan dan masyarakat sekitar masih menjadi habitus dari komunitas Tionghoa. Hal ini terjadi karena telah 30 tahun lebih posisi orang Tionghoa menjadi subordinat dan objek dari penguasa, khususnya zaman Orde Baru. Seperti yang dijelaskan oleh Swartz (1997: 100), konsep habitus yang dikenalkan oleh Bourdieu merupakan usaha untuk menjelaskan suatu kondisi yang bertahan lama yang mampu mempengaruhi struktur pikiran dan tindakan. Aksi yang dilakukan oleh para aktor di atas adalah strategi itu sendiri. Seperti yang dijelaskan oleh Swartz (1997: 99), strategi ini merupakan siasat dengan menggunakan waktu dan inilah yang membuat perbedaan masingmasing agen dan membedakan struktur dalam praktik sehari-hari. Siasat lewat waktu ini dapat dipahami dengan melihat kemungkinan timbal balik modal di antara aktor. Dalam konteks perayaan di Yogyakarta, kelompok elit Tionghoa
21
(pengusaha) terlibat sebagai panitia dan bertemu dengan penentu dan pelaku kebijakan publik seperti kepala daerah, mereka melihat bahwa ada potensi di kemudian hari untuk bekerjasama kembali dalam hal perdagangan atau kontak bisnis lain.
F. Metode Pengumpulan dan Analisis Data Paling mendasar dalam mengumpulkan data penelitian ini adalah pengamatan di lapangan (Jorgensen, 1989). Pengamatan dilakukan selama berlangsungnya perayaan, baik perayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong Jiu. Pengamatan hanya ditujukan pada perayaan di ruang publik saja. Karena aksesnya lebih mudah, sedangkan di ruang privat (keluarga atau paguyuban / marga), aksesnya lebih sulit, karena peneliti bukan bagian dari marga / paguyuban tersebut. Cara ini sebenarnya telah dilakukan secara berkelanjutan oleh peneliti sejak delapan tahun yang lalu ketika perayaan Imlek yang pertama di Ketandan tahun 2006. Bahkan di tahun 2007, peneliti pernah terlibat (partisipasi) dalam susunan kepanitiaan salah satu perayaan Imlek di Bantul. Di tahun 2012, peneliti juga pernah ikut sebagai peserta karnaval. Sedangkan pengamatan pada perayaan Peh Cun di Pantai Parangtritis, lebih sering sebagai penonton aktif. Namun untuk peringatan Tiong Jiu di Klenteng Poncowinatan, pengamatan baru dilakukan tiga kali karena perayaan ini baru mulai digelar tiga tahun yang lalu.
22
Cara pengumpulan data yang lain adalah adalah wawancara (Koentjaraningrat, 1977). Wawancara yang akan dilakukan tidak dilakukan sekali saja terhadap satu informan, tetapi akan dilakukan beberapa kali. Hal ini dilakukan karena satu informan seringkali merangkap jabatan dan berganti posisi dalam kepanitiaan setiap tahunnya, baik Imlek atau Peh Cun. Pengulangan ini, atau ganti informan, juga disebabkan karena adanya penolakan atau pengalihan dari informan utama, misalnya informan dari pejabat pemerintahan. Mulanya adalah informan yang berkedudukan sebagai kepala dinas (pariwisata), namun karena peneliti hanya seorang mahasiswa master dari perguruan tinggi lokal, akhirnya peneliti hanya diberikan informasi oleh kepala seksi (kasi). Mereka beralasan bahwa kepala dinas hanya layak menemui peneliti yang berstatus mahasiswa doktoral atau peneliti dari luar negeri. Kasus lain adalah terkadang informan dari masyarakat Tionghoa masih ada yang kurang terbuka terhadap peneliti lokal, apalagi yang berasal dari suku lain. Tetapi beberapa informan justru lebih terbuka terhadap peneliti asing.16 Pemilihan informan juga didasarkan pada fungsi dan peran mereka dalam pelaksanaan festival tahunan ini, antara lain: penasehat atau konsultan acara yang biasanya terdiri dari tokoh masyarakat dan tokoh komunitas
16
Peneliti mendapatkan pengalaman ini ketika membandingkan dua kali wawancara dengan partner yang berbeda. Pertama dengan partner lokal, yang kedua bersama partner asing. Terima kasih kepada Evamaria Muller, mahasiswi doktoral dari Universitas Freiburg Jerman yang berbagi pengalaman saat meneliti tentang orang Tionghoa di Yogyakarta pada saat yang hampir bersamaan.
23
Tionghoa (sesepuh Tionghoa), panitia harian dan beberapa koordinator bidang, serta partisipan acara yang biasanya berasal dari paguyuban orang orang Tionghoa di Yogyakarta dan kelompok liong samsi, baik itu pembuat, pemilik dan pemainnya. Selain informan dari kalangan orang Tionghoa, penulis juga akan mewancarai informan yang bukan orang Tionghoa, namun terlibat di dalam susunan kepanitiaan atau sekedar partisipan perayaan tersebut. Hal ini perlu dilakukan oleh peneliti dengan maksud untuk melacak kontribusi dan pengaruhnya dalam pembentukan tradisi perayaan orang Tionghoa di Yogyakarta. Terkait dengan kualitas informan sebagai bagian dari studi kasus, juga untuk menjawab pertanyaan riset terakhir, peneliti membuat klasifikasi awal untuk informan sebagai berikut: Pertama, golongan tua yang kaya raya. Kedua, golongan tua kelas menengah. Ketiga, golongan muda berpendidikan tinggi. Keempat, golongan muda berpendidikan sedang dan kelima, golongan muda (masih) berpendidikan rendah. Berikutnya adalah pengumpulan dokumen baik yang berupa teks atau gambar (video dan potret). Dokumen yang dimaksud tidak hanya yang dimiliki oleh kepanitiaan (resmi), tetapi juga dokumen dari sumber lain seperti berita surat kabar, majalah, artikel ilmiah dan cerita rakyat atau tradisi lisan (Kartodirdjo, 1977). Data – data yang terkumpul di atas akan dianalisis menggunakan beberapa pendekatan. Analisis historis akan diterapkan untuk menganalisa
24
data yang berasal dari teks, pengamatan dan wawancara yang mana terkait dengan gambaran perkembangan dan dinamika masyarakat Tionghoa dan tradisinya pada masa awal mereka menetap di kota praja hingga pasca Orde Baru. Kemudian data yang terkait dengan performa perayaan tiga hari raya akan dianalisa dengan pendekatan fenomenologi. Diharapkan dengan pendekatan ini, fenomena perayaan hari raya Tionghoa yang kembali muncul setelah Orde Baru mundur dapat terjelaskan secara rinci. Untuk yang terakhir, analisa strukturalisme konstruktif, seperti yang diakui sendiri oleh Bourdieu (1989: 14), akan digunakan untuk menganalisis data yang terkait dengan ragam makna atau kepentingan dalam medan produksi sebuah budaya, yakni peringatan hari raya budaya orang Tionghoa.
G. Organisasi Tulisan Secara singkat, tulisan ini diawali dengan eksplorasi dinamika sosial orang Tionghoa Indonesia yang terjadi di masa Orde Baru hingga perkembangan terakhir pasca Orde Baru yang tercermin dalam bab 1. Di samping itu, bagian pertama ini diikuti dengan rumusan masalah dan landasan teori. Untuk melihat kontekstualisasi tulisan ini dibahas juga kajian pustaka yang sudah ada mengenai tradisi orang Tionghoa. Bagian kedua akan menjelaskan kondisi historis orang Tionghoa secara umum di wilayah Kesultanan Yogyakarta hingga menjadi daerah istimewa Yogyakarta. Kemudian penjelasan dilanjutkan dengan menekankan
25
pada perkembangan dan dinamika budaya, khususnya tiga pilarnya yaitu organisasi, pers dan pendidikan, orang Tionghoa yang diwariskan dari generasi ke generasi dan melewati beberapa zaman hingga masa pasca Orde Baru. Di dalam bagian ketiga, penulis akan menguraikan gambaran dari tiga perayaan hari besar orang Tionghoa yang dirayakan secara terbuka di ruang publik Yogyakarta yaitu perayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong Jiu. Selain itu juga akan diuraikan proses produksi dan orang-orang Tionghoa yang terlibat didalamnya, termasuk pihak di luar komunitas mereka. Bagian keempat adalah uraian argumentasi dan praktik dari berbagai pihak yang terlibat dalam perayaan tradisi orang Tionghoa di Yogyakarta. Dengan kata lain, bagian ini berusaha untuk mengungkap makna yang tersembunyi di balik perayaan atau festival yang terselenggara di ruang publik. Bagian kelima adalah bagian akhir dari keseluruhan tulisan yang berusaha untuk menunjukkan benang merah atau ringkasan terkait dan titik simpul dari awal hingga akhir tulisan.