BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Ratna (2013: 106) menyatakan bahwa secara garis besar karya sastra dibedakan menjadi sastra lama dan modern, sastra lisan dan tulisan, sastra nasional. Di seluruh penjuru dunia, sastra berkembang dengan ciri khas masing-masing. Sastra yang berkembang di Korea disebut Sastra Korea. Berdasarkan periode kemunculannya, sastra Korea dibagi menjadi dua periode, yaitu periode sastra klasik dan periode sastra modern. Sastra Korea klasik dikembangkan berdasarkan kepercayaan kuno Korea, juga Taoisme, Buddhisme, dan Konfusianisme (Indrastuti, 2013: 1). Selain itu, Indrastuti (2013: 1) juga mengatakan bahwa sastra Korea klasik dapat dibagi lagi menjadi dua jenis sastra, yaitu sastra lisan dan sastra tulis. Sastra lisan Korea klasik terdiri atas lagu daerah, dongeng, mitos, dan lagu shaman, sedangkan sastra tulis terdiri atas buku harian, surat-surat, novel, drama, hyangga, Goryeo gayo, dan sijo. Hyangga merupakan lagu rakyat yang muncul pada masa Tiga Kerajaan (5 SM-668 M) hingga akhir masa Kerajaan Silla Bersatu (668-936 M). Lagu tersebut ditulis oleh orang yang mendapat sedikit pendidikan dan biasanya berisikan kritikan terhadap pemerintah (Focus on Korea: Korean History, 1986: 32). Goryeo Gayo, seperti namanya, karya sastra ini muncul pada masa Kerajaan Goryeo (918-1392) dan merupakan lagu tertua yang ditulis rakyat jelata (Indrastuti, 2013: 1). Sijo adalah lagu yang tercatat pertama kali muncul pada
1
2
masa pemerintahan Raja Yeongjo (1694-1776) dan memiliki aturan terdiri atas 3 kalimat, 6 frasa, dan 45 huruf1. Setelah masa Kerajaan Joseon berakhir, sastra di Korea memasuki babak baru yaitu masa sastra modern. Sastra modern Korea dipengaruhi budaya Barat dengan pemikiran Kristiani dan cenderung mementingkan aspek artistik dan estetik (Indrastuti, 2013: 4). Karya sastra modern Korea terdiri atas fabel, cerpen, novel, dan puisi-puisi baru. Pada mulanya, sastra modern Korea digunakan sebagai salah satu alat perlawanan terhadap penjajahan Jepang, tetapi lambat laun peran utama sastra modern diutamakan sebagai hiburan. Ketertarikan khusus masyarakat Korea terhadap karya sastra merupakan salah satu faktor positif pendorong perkembangan sastra di Korea. Seiring bergantinya zaman, Sastra Korea semakin berkembang. Jenis karya sastra semakin beragam, seperti: manhwa atau komik, poemtoon (puisi kartun), webtoon (komik online), dan lain-lain. Seiring berjalannya waktu, komik yang lebih dulu populer di Jepang dengan sebutan manga, mulai berkembang juga di Korea. Secara umum, manhwa (만화) merupakan bahasa Korea untuk komik. Akan tetapi, secara khusus manhwa berarti komik Korea. Komik Korea yang dimaksud di sini adalah komik yang dibuat oleh komikus Korea dalam bahasa Korea dan lebih menitikberatkan pada cerita-cerita dalam masyarakat Korea. Keberadaan manhwa bukan hal yang benarbenar baru dalam dunia sastra di Korea, tetapi kini manhwa sudah banyak mengalami perkembangan. Perkembangan manhwa sebagai bagian dari sastra Korea melahirkan banyak komikus Korea. 1
국어국문학자료사전 (Gugogukmunhakjaryosajeon)/Kamus Sastra Korea (kata kunci: 시조/sijo): http://terms.naver.com/entry.nhn?docId=695933&cid=41708&categoryId=41711
3
Manhwaga (만화가) merupakan sebutan untuk orang yang membuat komik atau sering disebut komikus dalam bahasa Indonesia. Dari banyak komikus Korea yang ada, nama Sim Seung Hyun (심승현) telah banyak menarik perhatian. Sim Seung Hyun lahir pada tanggal 24 Maret 1971 di Gangneung, Provinsi Gangwon. Selama 5 tahun bekerja di perusahaan animasi, Sim Seung Hyun menggambar tokoh asli Spiderman dan Batman milik Warner Bros. Di Indonesia sendiri, ada beberapa nama komikus Korea yang karyanya lebih banyak dikenal dibanding Sim Seung Hyun, seperti Hwang Mi Ree dan Han Yu Rang. Akan tetapi, komikkomik karya Sim Seung Hyun memiliki keistimewaan sendiri. Komik karya komikus tersebut lebih mengutamakan pelajaran hidup daripada kisah percintaan. Sim Seung Hyun tidak hanya menghasilkan karya berupa komik saja, tetapi juga novel dan kumpulan puisi. Komik seri Papepopo disebut-sebut sebagai karya puncaknya hingga kini. Komik tersebut juga telah dibuat versi animasi dan tayang di SBS, salah satu stasiun televisi Korea, pada akhir tahun 2014. Komik seri Papepopo terdiri atas lima judul, yaitu (1) Papepopo Memorije (파페포포 메모리즈); (2) Papepopo Tugedeo (파페포포 투게더); (3) Papepopo Andante (파페포포 안단테);
(4) Papepopo Reinbou (파페포포 레인보우); dan (5)
Papepopo Gidaryeo (파페포포 기다려). Komik seri Papepopo bisa dikatakan istimewa jika dibandingkan dengan komik-komik lain karena memadukan komik
dengan cerita bergambar.
Percakapan disajikan dalam susunan yang biasa dijumpai pada komik (gambar dengan balon-balon percakapan) dan juga dilengkapi narasi bergambar seperti yang biasa dijumpai pada buku cerita anak-anak. Cerita-cerita yang disajikan
4
dalam seri Papepopo tidak terlalu kekanak-kanakan walaupun mengadopsi cara penyajian yang telah disebut di atas. Walaupun cerita di dalamnya sederhana, tetapi banyak mengandung pesan moral. Selain itu, komik ini juga disebut-sebut sebagai pelopor ‘esai kartun’. Dari rangkaian komik seri Papepopo tersebut, Papepopo Reinbou merupakan seri keempat yang terbit pada tahun 2009. Pada tahun terbitnya, Papepopo Reinbou terpilih sebagai Daehanminguk Manhwadaesang Susangjak (대한민국 만화대상 수상작) atau pemenang penghargaan komik Korea terbaik. Selain itu, seri tersebut telah terjual lebih dari 200.000 eksemplar. Komik seri Papepopo telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, tetapi hanya Papepopo Reinbou yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan terbit pada tahun 2014 lalu. Pemilihan salah satu komik seri Papepopo sebagai objek penelitian skripsi ini berawal dari alasan subjektif penulis. Komik Papepopo Memorije merupakan komik Korea pertama yang dilihat dan diterjemahkan sebagai tugas salah satu mata kuliah oleh penulis. Akan tetapi, alasan subjektif tersebut mendorong penulis untuk mencari tahu lebih lanjut tentang Sim Seung Hyun dan memutuskan untuk mengambil Papepopo Reinbou sebagai objek penelitian karena alasan-alasan yang telah disebutkan di atas. Selain itu, komik Papepopo Reinbou dibagi menjadi 7 bagian. Pada tiap bagian diberi subjudul yang diwakili oleh satu warna dari tujuh warna pelangi yang ada, antara lain: “Blue Dream”, “Red Love”, “Yellow Tears”, “Green Peace”, “Orange Harmony”, “Indigo Passion”, dan “Purple: The Colors of You”. Masing-masing bagian terdiri atas beberapa cerita yang terbagi menjadi 4-6 episode. Oleh karena itu, komik tersebut lebih unggul dari komik lain
5
dalam seri Papepopo sebagai objek penelitian sastra karena mengajukan ide tentang pelangi dan tujuh warna penyusun pelangi. Pelangi dan ketujuh warna penyusun pelangi memiliki makna yang beragam dalam kepercayaan masyarakat dunia. Dalam beberapa kebudayaan, pelangi dipercaya merupakan simbol harapan yang membawa arti bahwa hal buruk akan berlalu 2 . Kepercayaan tersebut muncul karena pelangi pada umumnya muncul setelah hujan deras dan sebelum mentari terbit kembali. Selain pelangi, warnawarna yang menjadi penyusun pelangi juga memiliki makna tersendiri, salah satunya adalah warna merah. Dalam sebuah berita berjudul “Makna Warna Merah dalam Perayaan Imlek” yang dilansir www.republika.com pada 20 Februari 2015 lalu, disebutkan bahwa warna merah melambangkan keberuntungan dan suka cita. Tidak hanya itu, warna merah juga sering disebutkan sebagai lambang api dan masih banyak lagi makna dari warna merah. Keberagaman makna pelangi dan warna pelangi yang dikenal oleh masyarakat umum inilah yang mendorong penulis melakukan penelitian ini untuk mencari makna pelangi dan tujuh warna penyusun pelangi dalam komik Papepopo Reinbou. Faktor pembeda utama sebuah karya sastra dengan tulisan bukan sastra tidak dilihat dari ide cerita, melainkan kemasan yang digunakan dalam menyajikan ide cerita tersebut. Kemasan yang dimaksud di sini adalah penggunaan bahasa. Eagleton mengemukakan bahwa sastra menggunakan bahasa dengan cara yang unik (2007: 2). Dengan demikian, bisa diartikan bahwa unsur penting dalam sebuah karya sastra adalah pemilihan bahasa untuk menuangkan sebuah cerita ke
2
http://www.universeofsymbolism.com/rainbow-symbolism.html
6
dalam bentuk tulisan. Hal tersebut dilakukan agar sastra memiliki nilai estetika bahasa. Akan tetapi, pengemasan sebuah ide dengan menggunakan bahasa membuat ide cerita menjadi terselubung. Pembaca hanya bisa meraba-raba pesan yang ingin disampaikan oleh penulis. Dengan kata lain, pengemasan ide cerita dalam sebuah karya sastra memicu terbentuknya simbol-simbol. Ide cerita dalam komik Papepopo Reinbou terkemas dalam pelangi dan ketujuh warna penyusun pelangi. Dalam komik tersebut, pelangi dan ketujuh warna penyusun pelangi merupakan simbol yang perlu diuraikan untuk mengetahui makna yang terkandung di dalamnya. Kajian sastra yang biasa digunakan untuk analisis simbol dalam karya sastra adalah semiotika. Kata semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti tanda (Zoest, 1993: 1). Secara lebih lanjut, semiotika didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda. Ada beberapa ahli semiotika, seperti: Charles Sanders Peirce (1839-1914), Roland Barthes (1915-1980), dan Michael Camille Riffaterre (1924-2006). Dalam penelitian tentang pelangi dan ketujuh warna pelangi, penggunaan semiotika Peirce dirasa lebih cocok dibanding semiotika lain. Peirce disebut sebagai bapak semiotika modern (Zoest, 1996: 1). Peirce merupakan ahli filsafat dan ahli logika. Sebelumnya, ahli filsafat Jerman Lambert pada abad ke-28 telah menggunakan nama semiotika. Akan tetapi, Peirce mengusulkan kata semiotika sebagai sinonim kata logika. Dengan kata lain, semiotika Peirce adalah semiotika yang berhubungan erat dengan logika (Zoest, 1993: 1).
7
1.2 Rumusan Masalah Makna warna dalam Papepopo Reinbou bisa saja merupakan makna buatan pengarang yang benar-benar baru dan tidak berkaitan dengan makna warna yang telah dikenal oleh masyarakat umum, tetapi tidak melepas kemungkinan maknamakna tersebut merupakan pengembangan dari makna yang telah ada. Oleh karena itu, penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apa saja makna warna-warna penyusun pelangi dan makna pelangi yang telah dikenal oleh masyarakat umum? 2. Apa saja makna warna-warna penyusun pelangi dan makna pelangi dalam Papepopo Reinbou karya Sim Seung Hyun?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna pelangi dan warna-warna penyusun pelangi dalam komik Papepopo Reinbou karya Sim Seung Hyun. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui makna pelangi dan warnawarna pelangi yang telah dikenal oleh masyarakat umum.
1.4 Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan penggunaan teori semiotik dalam penelitian sastra. Model triadik Peirce akan digunakan dalam analisis makna-makna pelangi dan tujuh warna pelangi berdasarkan cerita dalam komik Papepopo Reinbou karya Sim Seung Hyun.
8
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat akademis maupun non akademis. Dalam aspek akademis, penelitian ini dapat digunakan sebagai tinjauan untuk melakukan penelitian selanjutnya. Di samping itu, dari segi non akademis, penelitian ini bisa digunakan sebagai sarana untuk lebih memahami perluasan makna pelangi dan warna-warna pelangi bersadarkan cerita yang terdapat pada komik Papepopo Reinbou karya Sim Seung Hyun.
1.5 Tinjauan Pustaka Penelitian tentang makna warna pernah dilakukan oleh Diah Purbosari dalam skripsi berjudul “Makna Motif dan Warna Hollyebok (혼례복) dalam Pakaian Pernikahan Korea: Kajian Semiotika Peirce” pada tahun 2013. Dalam penelitian tersebut, Purbosari juga menggunakan kajian semiotika Peirce, tetapi fokus penelitian warna yang dilakukan bertujuan untuk mencari makna warna yang terkandung dalam pakaian pernikahan Korea. Ada beberapa penelitian yang telah menggunakan komik sebagai objek material. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Nilasari (2013) dalam skripsi berjudul “Pergeseran Makna dalam Penerjemahan Komik Ilmu Pengetahuan Chodeung-haksaeng Kkok Arayahal Yaejol 50 Gaji ke ’50 Etiquettes’”. Dalam penelitian tersebut, Nilasari meneliti pergeseran makna yang terjadi dalam penerjemahan komik ilmu pengetahuan tersebut dan sebab terjadinya pergeseran makna. Selain itu, Sumaryono (2013) menulis skripsi berjudul “Bentuk Ekuivalensi Leksikal dalam Komik Seuwiteu Resipi ‘Sweet Recipe’”. Skripsi tersebut
9
membahas tentang faktor-faktor yang dapat menentukan ekuivalensi/kesepadanan leksikal dalam teks komik Seuwiteu Resipi (스위트 레시피). Supriadianto (2009) telah meneliti tentang perbandingan onomatope dan makna onomatope bahasa Indonesia dan bahasa Korea dalam komik. Penelitian tersebut kemudian ditulis dalam bentuk skripsi berjudul “Perbandingan Onomatope Bahasa Korea dan Bahasa Indonesia pada Komik 초등 만화 맞충법 (Chodeung Manhwa Matchumbop) Volume 6 dan Komik Crayon Shinchan Volume 7”. Skripsi berjudul “Analisis Penyimpangan Prinsip Kerjasama dan Prinsip Kesopanan dalam Komik 그 놈은 멋있었다 (Geu Nomeun Meosisseotta)” yang ditulis oleh Fathinah (2009) juga menggunakan komik sebagai objek material penelitian. Fathinah meneliti tentang bentuk penyimpangan prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan dalam komik tersebut. Selain itu, Fathinah juga meneliti tentang maksim dari prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan yang sering dilakukan dalam komik tersebut. Selain menggunakan komik sebagai objek material penelitian, juga sudah ada beberapa penelitian menggunakan kajian semiotika Peirce. Salah satunya adalah skripsi yang ditulis oleh Istiyani (2013). Dalam skripsinya yang berjudul “Makna dan Fungsi Emotikon dalam Novel 늑대의 유혹 1 (Neukdaeui Yuhok 1) karya Gwiyoni: Kajian Semiotika Peirce”, Istiyani membahas tentang makna dan fungsi emotikon-emotikon yang terdapat dalam novel tersebut. Ada pula penelitian yang menggunakan kajian semiotika Peirce untuk mendeskripsikan dan menganalisis tanda-tanda yang terdapat dalam upacara
10
pernikahan tradisional kerajaan Korea yang dihadirkan dalam Drama Princess Hours. Penelitian tersebut dilakukan oleh Rini (2012) dalam skripsi berjudul “Makna Perlengkapan Upacara Pernikahan Tradisional Korea dalam Drama “Princess Hours”: Kajian Semiotika Peirce”. Dalam penelitian tersebut, Rini menganalisis tanda-tanda berupa (1) pakaian yang digunakan oleh pengantin, orang tua pengantin, dayang istana, pengawal istana, dan pembawa acara upacara pernikahan; (2) tanda-tanda pada perlengkapan upacara pernikahan; dan (3) tandatanda yang berupa tindakan serta tuturan. Selain skripsi, ada juga tesis yang menggunakan kajian semiotika Peirce. Tesis tersebut ditulis oleh Hasanah (2011) dengan judul “Makna Simbol Stereotipe Gender dalam Sastra Anak Bilingual: Kajian Semiotik terhadap Kumpulan Dongeng Kerajaan Kingdom Tales Collection karya Arleen A”. Dalam tesis tersebut, Hasanah membahas tentang makna simbol stereotipe yang menunjukkan pelanggengan stereotipe gender dan transformasi pengalihbahasaan teks bahasa Inggris dan teks bahasa Indonesia yang berhubungan dengan pelanggengan stereotipe gender tradisional karya bilingual Kingdom Tales Collection. Penelitian tentang warna juga pernah dilakukan oleh Avia Semay Kumalaputri tahun 2012 lalu. Dalam skripsi berjudul “Tipe-tipe Semantik Adjektiva Warna dan Rasa dalam Bahasa Korea” tersebut, Kumalaputri mendeskripsikan tipe-tipe semantik adjektiva warna dan rasa dalam bahasa Korea. Dengan menggunakan teori semantik leksikal, Kumalaputri mencari persamaan dan perbedaan makna kata yang terkolong dalam adjektiva warna dan rasa dalam bahasa Korea.
11
Berbeda dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, peneliti menggunakan komik sebagai objek material dan kajian penelitian menggunakan teori semiotika Peirce dibantu oleh beberapa teori dari pakar sastra lain. Dengan cara tersebut, penulis hendak meneliti tentang makna tujuh warna pelangi berdasarkan cerita dalam komik Papepopo Reinbou karya Sim Seung Hyun.
1.6 Landasan Teori Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek dan Warren, 2014: 3). Faktor pembeda utama sebuah karya sastra dengan tulisan bukan sastra tidak dilihat dari ide cerita, melainkan kemasan yang digunakan dalam menyajikan ide cerita tersebut. Kemasan yang dimaksud di sini adalah penggunaan
bahasa.
Eagleton
(2007:
2)
mengemukakan
bahwa
sastra
menggunakan bahasa dengan cara yang unik. Bahasa sastra bukan sekadar bahasa referential, yang hanya mengacu pada satu hal tertentu. Bahasa sastra juga memiliki segi ekspresif dan pragmatis yang dihindari sejauh mungkin oleh bahasa ilmiah (Wellek dan Warren, 2014: 14-15). Dengan kata lain, bahasa sastra berbeda dengan bahasa ilmiah yang memiliki makna lugas. Jadi bahasa ilmiah cenderung menyerupai sistem tanda matematika atau logika simbolis. Salah satu contoh usaha menciptakan bahasa ilmuah yang sempurna adalah upaya Leibniz menyusun bahasa universal yang dimulai pada akhir abad ke-17. Dibandingkan dengan bahasa ilmiah, dalam beberapa hal bahasa sastra tampak mempunyai kekurangan. Bahasa sastra penuh ambiguitas dan homonim (kata-kata yang sama bunyinya tetapi berbeda artinya), serta memiliki kategori-kategori yang tak beraturan dan tak rasioal seperti gender (jenis kata yang mengacu pada jenis kelamin dalam tata bahasa). (Wellek dan Warren, 2014: 14)
12
Wellek dan Warren (2014: 120) juga menyebutkan bahwa sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Sastra tidak menyampaikan maksud tertentu dengan satu cara tertentu. Teks sastra mempunyai denotatum, yakni dunia yang dibentuk dengan kata-kata; dunia yang secara global disebut fiktif, karena teks sastra telah diberi indikasi fiksional, termasuk di dalamnya yang tidak referensial (Zoest, 1993: 71). Sebuah teks sastra dibuat berdasarkan kejadian nyata sekali pun tetap mendapat sentuhan imajinasi yang membuat sastra tersebut tidak bisa dijadikan pedoman. Jelas, tujuan utama dari sebuah teks sastra bukan untuk menyediakan sumber referensi bagi pembaca. Pengarang karya sastra tidak selalu menyampaikan maksudnya lewat bahasa yang jelas dan langsung dapat dipahami maknanya. Ratna (2013: 171) menyebut bahasa sebagai sistem tanda. Pradopo menjelaskan bahwa karya sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa (2009: 141). Dengan kata lain, karya sastra merupakan kumpulan tanda dalam bentuk bahasa yang harus dibongkar dan dihubungkan untuk bisa merangkai makna yang terkandung di dalamnya. Danesi, seorang ahli semiotika dalam bidang komunikasi, mengatakan bahwa tanda adalah segala sesuatu—warna, isyarat, kedipan mata, objek, rumus matematika, dan lain-lain—yang merepresentasikan sesuatu yang lain selain dirinya (2011: 6). Hampir sama dengan pendapat Danesi, ahli sastra Wellek dan Warren (1990: 219) menyebut simbol muncul dalam konteks yang sangat beragam dan digunakan untuk berbagai tujuan. Dengan begitu, bisa diartikan
13
bahwa tanda juga muncul dalam konteks beragam dan digunakan untuk berbagai tujuan. Salah satunya adalah penggunaan tanda dalam karya sastra. Tiap tanda memiliki makna tersendiri. Akan tetapi, satu tanda bisa mengandung banyak makna. Hal tersebut berlalu pula pada penelitian ini, satu warna tidak harus memiliki satu arti saja melainkan bisa mengandung banyak makna. Tanda sepenuhnya bersifat arbitrary (dipilih secara kebetulan, tanpa aturan tertentu); jadi dapat digantikan oleh tanda lain yang sama artinya (Wellek dan Warren, 2014: 13). Lebih lanjut, Wallek dan Warren (2014: 216) menyebutkan bawa sastra tidak memakai sistem tanda tunggal untuk menyampaikan secara konsisten suatu sistem abstraksi—seperti wacara ilmiah. Sastra menyusun pola kata-kata yang unik dan tak bisa diulangi. Tiap objek dan tanda dalam puisi dipakai dengan cara yang tidak dapat diduga oleh sistem di luar puisi (Wellek dan Warren, 2014: 216). ‘Puisi’ dalam pernyataan tersebut mengarah pada karya sastra. Dengan kata lain, tanda dalam sebuah karya sastra lebih cenderung merujuk pada pemikiran yang terdapat dalam karya sastra tersebut. Bentuk dalam tanda dalam sastra bisa sama dengan tanda yang telah dikenal secara luas tetapi makna yang disampaikan tanda dalam sastra tidak terikat pada aturan tanda yang telah dikenal oleh umum. Segalanya mempunyai kemungkinan untuk dianggap sebagai suatu tanda dalam teks (Zoest, 1996: 11). Selain itu, Zoest (1993: 61) menyebutkan bahwa teks sastra secara keseluruhan merupakan tanda dengan semua ciri-cirinya: bagi pembaca, teks sastra menggantikan sesuatu yang lain, yakni, kenyataan yang dipanggil, yang fiksional. Suatu gejala struktural, baik ia muncul dalam teks pada tingkatan mikrostruktural (dalam kalimat, dalam sekuen)
14
maupun pada tingkatan makrostruktural (dalam bagian tek yang agak lebih luas atau dalam teks secara kesuluruhan), selalu dapat dianggap sebagai tanda. Jadi ada tiga unsur yang menentukan tanda: tanda yang dapat ditangkap itu sendiri, yang ditunjuknya, dan tanda baru dalam benak si penerima tanda. Antara tanda dan yang ditunjuknya terdapat relasi: tanda mempunyai sifat representatif. Tanda dan representasi mengarah pada interpretasi; tanda mempunyai sifat interpretatif. Dengan perkataan lain, representasi dan interpretasi merupakan ciri khas tanda. (Zoest, 1993: 14-15) Untuk meneliti tanda dalam karya sastra digunakan kajian semiotika. Kata semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti tanda (Zoest, 1993: 1). Selain itu, Cobley dan Jansz (dalam Kaelan, 2009: 162) menganggap kata semiotika berasal dari kata Yunani seme yang berarti penafsiran tanda. Jadi, semiotika erat hubungannya dengan tanda-tanda. Secara lebih lanjut, semiotika didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda. Ferdinand de Saussure (dalam Danesi, 2011: 5) mengatakan bahwa semiologi akan menunjukkan hal-hal yang membangun tandatanda dan hukum-hukum yang mengaturnya. Semiotika adalah ilmu yang mencoba menjawab pertanyaan berikut: Apa yang dimaksud dengan X? X dapat berupa apa pun, mulai dari sebuah kata atau isyarat hingga keseluruhan komposisi musik atau film. “Jangkauan” X bisa bervariasi, tetapi sifat dasar yang merumuskannya tidak. Jika kita merepresentasikan makna (atau makna-makna) yang dikodifikasi X dengan huruf Y, maka tugas utama analisis semiotika secara esensial dapat direduksi menjadi upaya untuk menentukan sifat relasi X = Y. Sebagai contoh pertama mari kita ambil makna dari red (merah). Dalam kasus ini, X membangun istilah berbahasa Inggris dari warna. Seperti yang nanti terlihat, bukan hanya ada satu jawaban untuk pertanyaan mengenai apa makna kata red tersebut. Pada tingkat dasar, kata tersebut tentu saja merujuk pada warna primer yang terletak di ujung level bawah spektrum yang kasat mata. Tetapi warna tersebut dapat bermakna lain. Berikut di antaranya: Jika ia muncul sebagai sinyal lalu lintas, ia berarti “berhenti” bagi siapa pun yang melihat tanda tersebut di sebuah perempatan.
15
Jikaia warna pita lengan yang dipakai oleh seseorang dalam sebuah pawai politik, maka pemakainya dianggap sebagai individu yang mendukung ideologi politik tertentu, seringkali yang dilabeli sebagai “sayap kiri” atau “radikal”. Jika ia warna bendera yang digunakan seseorang dalam sebuah situs konstruksi, maka ia merupakan sinyal “bahaya”. Jika ia digunakan dalam ekspresi “turning red” (mukanya merah), maka ia merupakan bahasa kiasan yang merujuk pada kondisi emotional tanpa harus menyebutkannya secara gamblang. Pendek kata, red adalah contoh dari tanda. Ia adalah sesuatu, X (sebuah warna), yang merepresentasikan sesuatu yang lain, Y (sinyal lalu lintas, ideologi politik, dan seterusnya). Penggambaran dan penelusuran sifat X = Y, singkatnya menjadi subjek penelitian semiotika. (Danesi, 2011: 5-6) Charles Sanders Peirce (1839-1914) disebut sebagai bapak semiotika modern (Zoest, 1996: 1). Peirce merupakan ahli filsafat dan ahli logika. Sebelumnya, ahli filsafat Jerman Lambert pada abad ke-28 telah menggunakan nama semiotika. Akan tetapi, Peirce mengusulkan kata semiotika sebagai sinonim kata logika. Dengan kata lain, semiotika Peirce adalah semiotika yang berhubungan erat dengan logika. Pada masa hidupnya, Peirce banyak menulis, tetapi tidak ada karyanya yang terbit semasa dia masih hidup. Baru pada tahun 1931, Charles Hartshorn dan Paul Weiss mulai menerbitkan volume pertama pemikiranpemikiran Peirce yang pernah ditulisnya semasa hidup dengan judul Collected Paper of Charles Sanders Peirce. Dengan kata lain, pemikiran-pemikiran Peirce yang terabaikan selama dia masih hidup, baru diterima oleh umum hampir 17 tahun setelah kematiannya. Zoest mengatakan bahwa membaca tulisan Peirce tidak selalu sederhana, walaupun itu merupakan kesenangan intelektual tingkat tinggi karena memahami pemikiran-pemikiran yang disajikan pembaca harus membuat sistem sendiri (1993: 8).
16
Eco (1996: 43) mengatakan bahwa tanda menurut Saussure adalah alat komunikasi antara dua orang manusia yang secara disangaja dan bertujuan menyatakan maksud, sedangkan menurut Peirce, tanda adalah segala sesuatu yang ada pada seseorang untuk menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Kedua pendapat tersebut secara sekilas terlihat mirip, tetapi jika dikaji lebih dalam, definisi Peirce lebih unggul. Pandangan Saussure hanya terfokus pada bahasa sebagai tanda, sedangkan Peirce memandang tanda secara lebih luas. Hal serupa juga disampaikan oleh Chandler (dalam Mustansyir, 2012: 16), simbol dalam pemikiran Saussure menacu pada bahasa sebagai sistem tanda, sedangkan simbol dalam pemikiran Peirce adalah sebuah tanda yang menagcu pada objek yang ditunjuk berdasar atas hukum atau aturan yang pada umumnya merupakan suatu asosiasi gagasan utama. Peirce (dalam Mustansyir, 2012: 189-190) membagi tanda menjadi 10 kategori. Sepuluh kategori tanda tersebut, antara lain: 1. Qualisigns adalah hakikat dari suatu penampakkan, ia bukan merupakan sebuah identitas, ia semata-mata merupakan kualitas dari sebuah penampakkan tanda. 2. Iconic sinsigns adalah sebuah objek atau peristiwa individual yang bersifat singular (tunggal). 3. Iconic legisigns adalah sebuah tanda ikonis yang bersifat umum (general), ia merupakan identitas yang terbatas, pengakuan atau suatu jenis penampakan yang besar.
17
4. Rhematic indexical sinsigns dinamakan juga vestiges ialah jejak tanda yang menunjukkan kehadiran suatu tanda. 5. Rhematic indexical legisigns dinamakan juga proper names yaitu suatu tanda yang ditentukan oleh objek dinamis berdasarkan atas relasi yang nyata, seperti halnya nama diri (proper names), misalnya peristiwa yang terkait dengan gejala suatu penyakit, gejalanya itu sendiri merupakan legisign, yakni sebagai tipe umum dari suatu sifat penyakit tertentu. 6. Rhematic symbols ialah suatu tanda yang ditentukan oleh objek dinamisnya semata-mata dalam arti bahwa ia dapat diinterpretasi apabila diletakkan dalam posisi yang tepat bersama dengan lambang atau simbol yang lain. Interpretasi sangat tergantung pada kesepakatan (convention), kebiasaan (habit), atau disposisi alami atau bidang dari interpretannya. 7. Discent sinsigns adalah sebuah tanda yang bersifat tunggal yang dapat ditegaskan. 8. Discent indexical legisigns merupakan tanda umum yang dapat ditegaskan. 9. Discent symbols dinamakan juga propositions adalah sebuah simbol yang keberadaannya dapat ditegaskan. Tindakan penegasan di sini bukan merupakan sebuah tindak pemaknaan, melainkan sebuah pertunjukan fakta yang memperlihatkan bahwa subjek itu sendiri akan dianggap sebagai pendusta jika proposisi yang ditegaskannya itu tidak benar. 10. Arguments merupakan sebuah tanda yang dihairkan dalam interpretan penandanya (its signified), bukan sebagai tanda dari interpretannya.
18
Lebih lanjut, Peirce memperkenalkan sebuah model triadik hubungan antara representamen, objek, dan interpretan untuk memudahkan analisis makna sebuha tanda (Lihat Gambar 1). Peirce menyebut tanda sebagai representamen dan konsep, benda, gagasan, dan seterusnya, yang diacunya sebagai objek. Makna (impresi, kogitasi, perasaan, dan seterusnya) yang diperoleh dari sebuah tanda disebut interpretan (Danesi, 2011: 32-33). Untuk lebih jelas, perhatikan gambar di atas.
Gambar 1. Triadik Peirce
Representamen (X)
Objek
Interpretan
(Y)
(X = Y)
1.7 Langkah dan Metode Penelitian Dalam penelitian ini, digunakan dua tahapan langkah penelitian, yaitu tahapan pengumpulan data dan tahapan analisis data. Metode penelitian yang menggunakan Triadik Peirce sebagai acuan akan digunakan dalam tahapan analisis data. Berikut ini uraian tahap-tahap penelitian.
19
Gambar 2. Tahapan Pengumpulan Data
Pemilihan Pengarang
Pemilihan Karya
Pemilihan Bahan Penelitian
Dari banyak komik yang beredar di pasaran, peneliti memilih komik karya Sim Seung Hyun. Selain seorang komikus, Sim Seung Hyun juga seorang penulis puisi. Dalam komik-komiknya, Sim Seung Hyun tidak hanya menyajikan dialog bergambar seperti kebanyakan komik, tetapi juga menambahkan narasi di setiap episode, termasuk prolog di tiap awal bagian dan epilog di akhir buku. Sim Seung Hyun sudah menerbitkan 5 komik seri Papepopo (파페포포). Komik seri Papepopo, terdiri atas: (1) Papepopo Memorije (파페포포 메모리즈); (2) Papepopo Tugedeo (파페포포 투게더); (3) Papepopo Andante (파페포포 안단테); (4) Papepopo Reinbou (파페포포 레인보우); dan (5) Papepopo Gidaryeo (파페포포 기다려). Dari kelima komik seri Papepopo tersebut, peneliti memilih menggunakan komik terakhir berjudul Papepopo Reinbou. Papepopo Reinbou (파페포포 레인보우/Pelangi Papepopo) merupakan seri yang terbit pada 2009 lalu. Bisa dikatakan, seri ini lebih unggul dibandingkan seri-seri sebelumnya karena komik ini terpilih sebagai komik Korea terbaik pada 2009. Selain itu, Papepopo Reinbou hingga tahun 2013 telah terjual lebih dari 200.000 eksemplar. Komik Papepopo Reinbou dipilih juga karena dibandingkan
20
seri lainnya, komik tersebut lebih terstruktur. Tujuh bagian dalam komik Papepopo Reinbou ini masing-masing diwakili oleh satu warna pelangi. Komik Papepopo Reinbou terbagi menjadi tujuh chapter atau bagian, yang secara keseluruhan memuat 35 cerita dalam 35 episode yang berbeda dan dilengkapi dengan prolog di setiap bagian, serta dilengkapi epilog pada bagian penutup buku. Mempertimbangkan bahwa cerita tidak saling berhubungan dan analisis semua episode akan memperluas pengetahuan tentang makna tujuh warna pelangi, maka penelitian ini tidak mengambil sampel melainkan memilih menganalisis seluruh isi buku.
Gambar 3. Tahapan Analisis Data
Pengumpulan Gagasan Cerita
Pengelompokan Gagasan Cerita
Analisis Gagasan Cerita
Tahapan pertama dalam analisis data penelitian ini adalah pengumpulan gagasan cerita. Setelah semua cerita dalam tiap bagian dibaca secara menyeruluh, gagasan-gagasan cerita pada masing-masing episode didata dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Setelah tahapan pengumpulan gagasan cerita selesai, gagasan cerita yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan. Pengelompokan didasarkan pada kemiripan gagasan cerita dari satu episode dengan episode yang lain dalam satu bagian komik yang sama. Tahapan terakhir adalah analisis gagasan cerita.
21
Gagasan cerita yang telah dikompokkan lantas dianalisis dengan bantuan pedoman triadik Peirce.
Gambar 4. Penggunaan Triadik Peirce
Representamen (Warna)
Objek
Interpretan
(Gagasan Cerita)
(Makna Warna)
Penggunaan triadik Peirce ini bertujuan untuk mempermudah penulis dalam menganalisis data sekaligus diharapkan dapat mempermudah pembaca dalam memahami hasil analisis.
1.8 Sistematika Penulisan Secara keseluruhan, penelitian ini disajikan dalam empat bab, yaitu: Bab I Pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.
22
Bab II Makna Pelangi dan Tujuh Warna Pelangi Secara Umum berisi tentang pembahasan makna-makna pelangi dan tujuh warna pelangi yang telah dikenal oleh umum lewat budaya dan kepercayaan di berbagai negara. Bab III Makna Tujuh Warna Pelangi dalam Papepopo Reinbou berisi tentang analisis tujuh warna pelangi dalam komik Papepopo Reinbou dilengkapi juga dengan makna pelangi berdasarkan komik yang sama. Bab IX Penutup berisi simpulan dan saran.