BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman daya tarik wisata seperti alam, pendidikan, religi dan kuliner. Indonesia memiliki banyak suku dan budaya sehingga mempengaruhi jenis kuliner daerah masing-masing. Wisata kuliner atau digunakan untuk wisatawan dan pengunjung yang merencanakan perjalanan mereka sebagian atau keseluruhan yang dimaksudkan untuk mencoba masakan dari sebuah tempat atau keluar dari rutinitas mereka untuk aktivitas yang berhubungan dengan kuliner (Herrera, 2012). Mencoba masakan dalam arti tidak hanya merasakan rasa dari suatu makanan saja namun ada beberapa hal yang wisatawan dapat ketika melakukan wisata kuliner, seperti yang dikemukakan oleh Virna (2007) bahwa produk kuliner tidak hanya menampilkan makanan khas namun dapat memperluas wawasan wisatawan mengenai cara makan, gaya hidup, tradisi, kebudayaan, kesejarahan, sampai unsur geografis yang ditampilkan melalui penyajian dan cita rasa hidangan tersebut. Bandung merupakan salah satu kota yang berada di Indonesia, tepatnya berada di Provinsi Jawa Barat. Bandung merupakan kota yang memiliki keanekaragaman kuliner. Suku yang tinggal di daerah Jawa Barat sebagian besar adalah Suku Sunda, bahasa daerah yang digunakan yaitu bahasa Sunda, termasuk Bandung pun menggunakan bahasa Sunda. Masyarakat Sunda memiliki keanekaragaman makanan. Kalangan orang Sunda menyebut makan adalah makan
1
nasi beserta deungeun sangu (teman nasi), jenis makanan di luar nasi seperti singkong dan jagung disebut ngaleueut biasanya disertai minum teh atau kopi. Selain itu ada makanan-makanan yang disajikan dalam upacara adat seperti bakakak hayam, bubur beureum, bubur bodas (Adimihardja, 2005). Keragaman kuliner Sunda untuk makanan utama contohnya yaitu sangu timbel (nasi yang dibungkus menggunakan daun pisang), lalab (sayuran pendamping makanan pokok yang dimakan mentah), sambel, angeun haseum, pais oncom, pais hayam. Untuk cemilan yaitu surabi, colenak, comro, awug, peuyeum dan masih terdapat banyak kuliner lokal lainnya. Kota Bandung terkenal sebagai objek wisata belanja dan kuliner (Kardigantara dan Goeltom, 2007). Selain itu pada November 2015, Bandung ditetapkan
sebagai
salah
satu
kota
wisata
kuliner
Indonesia
(www.pikiranrakyat.com). Berdasarkan data dari Bandung Cultural & Tourism Depertement (2014), Kota Bandung memiliki delapan kawasan wisata, yaitu kawasan Jalan Cihampelas, Pasteur, Setiabudi, Sukajadi-Pasirkaliki, Dago (Ir. H. Juanda), Braga, Buah Batu, dan Riau atau L.R.R.E Martadinata. Kedelapan kawasan tersebut memiliki berbagai daya tarik wisata termasuk kuliner. Masingmasing kawasan menawarkan keberagaman kuliner. Pada masa sekarang ini makanan lokal Kota Bandung bukan hanya dinikmati oleh masyarakat setempat namun bisa dinikmati pula oleh wisatawan yang datang ke Kota Bandung. Kuliner yang bisa dinikmati oleh wisatawan terdiri dari kuliner lokal Kota Bandung yaitu berbagai macam makanan Sunda, kuliner luar Kota Bandung namun masih berasal dari daerah yang ada di Indonesia seperti
2
makanan Bali, kemudian kuliner yang berasal dari luar Indonesia seperti makanan Jepang, Italia, Timur Tengah, Korea dan India (Bandung Cultural & Tourism Depertement, 2014). Salah satu kawasan di Kota Bandung yaitu kawasan L.R.R.E Martadinata, yang merupakan tempat wisata kuliner, memiliki banyak rumah makan. Di L.R.R.E Martadinata terdapat kurang lebih 35 tempat makan, namun sebagian besar menawarkan makanan dari luar Kota Bandung seperti Sosis, Burger, Ramen, makanan cepat saji dari Amerika. Hanya ada beberapa yang menawarkan, kuliner lokal seperti nasi timbel, angeun haseum, pais lauk. Kawasan kuliner lainnya adalah Dago. Kawasan ini memiliki karakter yang hampir sama dengan L.R.R.E Martadinata. Dago memiliki banyak tempat makan dan sebagian besar menawarkan menu makanan dari luar Kota Bandung. Kondisi saat ini di Kota Bandung yang menjadi tempat berkembangnya berbagai jenis kuliner baik kuliner lokal maupun kuliner asing, membuat wisatawan yang datang ke Kota Bandung di suguhkan dengan berbagai pilihan makanan ketika berwisata. Apabila pertumbuhan kuliner asing lebih banyak dibanding kuliner lokal bisa terjadi kemungkinan bahwa dimasa yang akan datang kuliner lokal akan semakin sedikit. Kuliner lokal mencerminkan identitas budaya yang dimiliki suatu daerah. Bila lebih banyak kuliner asing yang tumbuh maka identitas atau keunikan suatu daerah terutama dalam makanan menjadi tidak terlihat jelas. Menurut Symons makanan lokal adalah salah satu komponen pokok dari atribut destinasi, menambah pengalaman atraksi dan secara keseluruhan dalam pengalaman
3
wisatawan (Shenoy, 2005). Makanan lokal menurut Amuquandoh dan Adjei (2013), merupakan makanan yang diproduksi atau diolah didaerah tersebut dan bahan-bahannya juga tumbuh di daerah tersebut. Apabila makanan asing yang lebih banyak tumbuh maka komponen yang menambah pengalaman atraksi tersebut menjadi berkurang. Dampak lain yang mungkin bisa muncul dari pertumbuhan kuliner asing yang lebih tinggi adalah, bahan-bahan yang digunakan oleh kuliner asing bisa jadi tidak ada di Bandung atau di Indonesia, sehingga harus didatangkan dari negara asalnya. Hal tersebut tidak menguntungkan secara ekonomi bagi produsen seperti petani lokal di Bandung. Ditengah persaingan yang muncul antara makanan lokal dan asing yang ada di destinasi wisata di Kota Bandung, pemahaman mengenai motivasi wisata kuliner serta mengetahui kategori kesediaan mencoba makanan wisatawan sangat diperlukan. Konsumsi makanan lokal di destinasi wisata menurut Kim dkk (2009) dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu motivasi, demografi dan fisiologis. Motivasi berasal dari kata movere yang berarti menggerakan (Winardi, 2007). Wisatawan
memiliki
kebutuhan
dan
tergerak
untuk
memenuhi
kebutuhannya tersebut. Motivasi wisatawan untuk berwisata kuliner di destinasi wisata bisa jadi untuk mempelajari pengetahuan baru, mengenai makanan lokal dari destinasi yang dikunjungi, bisa pula karena menganggap makanan lokal di destinasi lebih sehat karena berbahan baku segar serta terdapat motivasi-motivasi lainnya. Namun selain motivasi yang merupakan penggerak ada juga faktor lain yang mempengaruhi wisatawan untuk mengkonsumsi makanan lokal di destinasi
4
wisata, yaitu kesediaan wisatawan untuk mengkonsumsi makanan. Wisatawan bisa jadi memiliki kecenderungan bersedia untuk mau mencoba makanan baru yang belum pernah dia temui sebelumnya, namun ada pula wisatawan yang cenderungan tidak mau mencoba makanan baru yang belum pernah dia temui. Kedua faktor tersebut baik motivasi maupun kesediaan wisatawan untuk mengkonsumsi makanan memiliki pengaruh dalam makanan yang mereka pilih ketika berada di destinasi wisata. Sesuai dengan pemaparan permasalahan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Studi Motivasi Wisata Kuliner Lokal di Kota Bandung. 1.2 Rumusan Masalah Kota Bandung merupakan salah satu destinasi wisata yang terkenal dengan keragaman kulinernya. Seiring dengan perkembangan kuliner, banyak pula kuliner-kuliner dari luar yang berkembang di Kota Bandung. Ketika perkembangan kuliner luar tersebut semakin banyak, maka diperlukan upayaupaya untuk mempertahankan dan mengembangkan kuliner lokal. Salah satunya yaitu penelusuran motivasi wisatawan kuliner lokal di Kota Bandung serta mengetahui tingkat kesediaan wisatawan dalam mencoba makanan.
5
1.3 Pertanyaan Penelitian 1.
Apa saja motivasi wisatawan memilih kuliner lokal di Kota Bandung?
2.
Apa motivasi wisatawan yang paling dominan dalam memilih kuliner lokal di Kota Bandung?
3.
Bagaimana tingkat kesediaan wisatawan mencoba kuliner lokal di Kota Bandung?
1.4 Tujuan Penelitian 1.
Menginventaris motivasi wisatawan dalam memilih kuliner lokal di Kota Bandung.
2.
Mengetahui tingkat motivasi wisatawan yang paling dominan dalam memilih kuliner lokal di Kota Bandung.
3.
Mengetahui tingkat kesediaan wisatawan mencoba kuliner lokal di Kota Bandung.
1.5 Manfaat penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1.
Memberikan sumbangan pemikiran mengenai motivasi wisatawan terutama yang berkaitan dengan wisata kuliner lokal serta kesediaan wisatawan untuk mencoba kuliner lokal yang berbeda dengan tempat asalnya.
2.
Kota Bandung memiliki Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) yang salah satu isinya adalah mengembangkan kawasan wisata kuliner. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam mengevaluasi dan merumuskan program-program pengembangan
6
wisata kuliner lokal khususnya di Kota Bandung dan umumnya di Indonesia. 3.
Memberikan sumbangan pemikiran kepada para pelaku usaha kuliner lokal khususnya Sunda, mengenai motivasi dan kesediaan wisatawan dalam berwisata kuliner. Sehingga, ketika mengetahui motivasi dan kesediaan wisatawan
dalam
mencoba
kuliner
bisa
menjadi
acuan
dalam
mengembangkan usaha seperti membuat promosi yang tepat kepada wisatawan. 1.6 Keaslian Penelitian Penelitian yang dilakukan berlokasi di Kota Bandung dengan variabel penelitian yaitu motivasi wisatawan dan kesediaan mencoba makanan. Metode yang digunakan adalah metode campuran kualitatif dan kuantitatif. Perbedaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian terdahulu (lampiran 12), yaitu terletak pada lokasi penelitian. Para peneliti terdahulu melakukan penelitian di luar Kota Bandung namun ada pula yang memiliki kesamaan lokasi. Penelitian Haribudiman (2011) memiliki kesamaan lokasi di Kota bandung, namun penelitiannya mengenai wisata belanja dan tidak berhubungan dengan wisata kuliner. Perbedaan selanjutnyan adalah variabel penelitian yang sama dan ada pula variabel penelitian yang berbeda. Peneliti terdahulu meneliti variabel motivasi namun tidak berhubungan dengan kuliner, seperti Gani (2012) meneliti motivasi kunjungan kembali wisatawan ke Kawasan Tanjung Bira. Grybovych dkk (2013) melakukan penelitian yang berhubungan dengan wisata kuliner yaitu meneliti motivasi wisatawan wine, namun tidak disertai dengan variable kesediaan
7
mencoba makanan. Kemudian perbedaannya terletak pula pada metode penelitian yang digunakan, ada yang menggunakan metode kuantitatif dan ada pula yang menggunakan kualitatif, sedangkan penelitian yang dilakukan menggunakan metode campuran (kuantitatif dan kualitatif).
8