BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum, sastra merupakan karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan, yang mampu mengungkapkan aspekaspek estetik baik yang didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna. Karya sastra sebagai bentuk dan hasil sebuah pekerjaan kreatif, pada hakikatnya adalah suatu media yang mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan tentang kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sebuah karya sastra pada umumnya berisi tentang permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia. Kemunculan sastra dilatar belakangi adanya dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya. Sastra menurut Jacob Sumardjo (1997:3) adalah, ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, kenyakinan, dalam suatu bentuk gambaran konkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Selain itu, menurut Wellek (dalam Mursini, 2007:22), sastra sebaiknya dibatasi sebagai seni sastra yang imajinatif. Artinya, segenap kejadian atau peristiwa yang dikemukakan dalam sebuah karya sastra bukanlah pengalaman jiwa atau peristiwa yang dibayangkan saja. Walaupun karya sastra bersifat imajinatif, sastra tentunya berangkat dari kenyataan hidup secara objektif. Suatu hasil karya baru dapat dikatakan memiliki nilai sastra apabila di dalamnya terdapat kesepadanan antara bentuk dan isinya. Bentuk bahasanya baik dan indah, dan susunan beserta isinya dapat menimbulkan perasaan haru dan
Universitas Sumatera Utara
kagum di hati pembacanya. Bentuk dan isi sastra harus saling mengisi, yaitu dapat menimbulkan kesan yang mendalam di hati para pembacanya sebagai perwujudan nilai-nilai karya seni. Demikian halnya, menurut Mursini (2007:23), sastra harus mengandung nilai estetik (keindahan seni) sehingga karya sastra memiliki daya pesona tersendiri, dengan kriteria seperti keutuhan (unity), keseimbangan (balance), keselarasan (harmony), dan fokus atau tekanan (righ emphasis). Karya sastra mengandung unsur pendidikan dan pengajaran. Dari segi pendidikan, sastra merupakan wahana untuk meneruskan atau mewariskan budaya bangsa dari generasi ke generasi, berupa gagasan dan pemikiran, bahasa, pengalaman sejarah, nilai-nilai budaya, dan tradisi. Dari segi pengajaran, peminat sastra dapat mengambil manfaat, seperti ajaran moral (Mursini, 2007:26). Karya sastra dibedakan atas puisi, drama, dan prosa. Prosa merupakan sejenis karya sastra yang bersifat paparan, sering juga disebut karangan bebas karena tidak diikat oleh aturan-aturan khusus misalnya ritme, seperti halnya dalam puisi. Ragam prosa terdiri dari 2 (dua) macam, prosa lama dan prosa baru. Prosa lama cenderung bersifat statis, sesuai dengan keadaan masyarakat lama yang mengalami perubahan secara lambat. Sebaliknya, prosa baru bersifat dinamis, yang senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Yang termasuk prosa lama seperti hikayat, dongeng, mite atau mitos, legenda, dan fable. Prosa baru, seperti cerita pendek, roman, dan novel. Dongeng sebagai bagian dari ragam prosa lama dikenal sebagai cerita pelipur lara. Dongeng merupakan suatu kisah yang diangkat dari pemikiran fiktif dan kisah nyata, menjadi suatu alur perjalanan hidup dengan pesan moral yang mengandung makna hidup dan cara berinteraksi dengan makhluk lainnya (http://
Universitas Sumatera Utara
id.wikipedia.org/ wiki Dongeng). Tidak berbeda jauh dari pengertian di atas, dongeng merupakan cerita yang bersifat khayal, yang didasarkan pada kenyataan hidup sehari-hari, kemudian dipadukan dengan imajinasi pengarang secara berlebihan sehingga cerita itu tidak dapat diterima secara logis (Suroto, 1989:11). Menurut Sutjipto (dalam Mursini, 2007:46), dongeng dalam bahasa Inggris disebut folklore. Dongeng merupakan suatu cerita fantasi dengan kejadiankejadian yang tidak benar terjadi. Sebagai folklore, dongeng merupakan cerita yang hidup di kalangan rakyat, disajikan dengan bertutur lisan oleh tukang cerita, seperti pelipur lara. Munculnya hampir bersamaan dengan adanya kepercayaan dan kebudayaan suatu bangsa. Pada mulanya dongeng berkaitan dengan kepercayaan masyarakat primitif terhadap hal-hal yang supranatural dan manifestasinya dalam alam kehidupan manusia seperti animisme. Menurut Ahmad Badrun (dalam Mursini, 2007:46), dalam dongeng dilukiskan orang merasa bersatu dengan dunia sekitarnya, melihat hidupnya pada binatang, tumbuh-tumbuhan dan barang, ilusinya berubah-ubah disesuaikan dengan waktu dan keadaan. Dunia belum dibatasi dengan akal, tetapi merupakan segala kemungkinan yang tanpa batas, maka terjadilah dongeng-dongeng yang bersumber pada sifat kekanak-kanakan atau sifat bangsa yang masih sederhana. Dari bentuk asal itulah dongeng berkembang ke mana-mana tanpa memperhatikan batas politik, kepercayaan, geografis, dan sebagainya. Bagi manusia, dongeng berfungsi sebagai hiburan, kepercayaan yang bersifat didaktik (pengajaran moral dan nasehat bagi kehidupan), dan sumber pengetahuan. Dengan dongeng, lebih tepat pada masanya pencerita bisa
Universitas Sumatera Utara
menyampaiakan maksudnya (gagasan secara bebas tanpa menyinggung perasaan orang lain atau pihak-pihak lain), misalnya pemerintah. Sastra Jepang juga tentunya mengenal dongeng. Dongeng dalam karya sastra Jepang dikenal dengan sebutan setsuwa. Dongeng mengisahkan cerita fiktif atau cerita imajinasi. Di dalam dongeng juga ada tokoh, alur, latar, dan unsur cerita lainnya. Di dalam dongeng mungkin kita akan menemukan manusia bisa terbang atau binatang bisa bicara. Inilah yang menjadi perbedaan yang mencolok dengan cerita-cerita lainnya, yaitu kefiksiannya. Namun, dari sinilah dongeng memiliki daya tarik tersendiri, khusunya bagi anak. Selain itu, dongeng juga menyimpan nilai moral. Dan ini menjadi daya tarik bagi orang tua dalam pembelajaran kepada anaknya. Biasanya dongeng menitikberatkan tema seperti moral tentang kebaikan yang selalu menang melawan kejahatan, kejadian yang terjadi di masa lampau, di suatu tempat yang jauh sekali, dan sebagainya. Dongeng merupakan cerita tradisional yang tumbuh di masyarakat sejak zaman dahulu, dan berasal dari generasi terdahulu. Danandjaja (dalam Rahmah, 2007:5) menjelaskan bahwa cerita dalam dongeng merupakan cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi yang diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran moral atau bahkan sindiran. Dongeng yang dalam bahasa Jepangnya Setsuwa menunjukkan tokoh yang tidak terbatas pada dewa-dewa atau orang yang tercantum dalam lembaran sejarah saja, tetapi sering juga terdapat tokoh yang namanya tidak dikenal. Kadang menampilkan tokoh binatang atau tumbuhan. Setsuwa memiliki
Universitas Sumatera Utara
sifat kongkrit, peristiwa yang diungkapkan di dalamnya tersusun pendek, dan lebih teratur. Ada yang bersifat kenyataan dan ada juga yang bersifat surealisme. Isinya menceritakan atau mengungkapkan tentang perasaan, harapan dan cara berpikir rakyat. Dalam hal ini, penulis menganalisis cerita rakyat Jepang, Momotaro, karangan Yei Theodora Ozakai. Dikisahkan di zaman dulu kala, hiduplah seorang pak tua dan istrinya yang tidak memiliki anak. Ketika sang istri sedang mencuci di sungai, sebutir buah persik yang besar sekali datang dihanyutkan air dari hulu sungai. Buah persik itu dibawanya pulang ke rumah untuk dimakan bersama suaminya. Ketika dipotongnya buah persik itu, dari dalamnya keluarlah seorang anak laki-laki. Anak itu diberi nama Momotaro, dan dibesarkan pak tua dan istrinya seperti anak sendiri. Momotaro tumbuh sebagai anak yang kuat, dan suatu hari ia mengutarakan niatnya untuk membasmi benteng pertahanan sekawanan setan yang ada di bawah laut yang sering menyusahkan orang-orang desa. Momotaro berangkat membasmi setan dengan membawa bekal kue kibidango. Di tengah perjalanan menuju pulau di bawah laut, Momotaro secara berturut-turut bertemu dengan anjing, monyet, dan burung pegar. Di pulau itu, Momotaro dengan kegigihannya bertarung melawan setan-setan dengan dibantu anjing, monyet, dan burung pegar. Momotaro menang dan pulang membawa harta yang selama ini telah dirampok oleh sekawanan setan itu. Setelah membaca dongeng ini, penulis menemukan suatu yang menarik untuk dianalisis, karena cerita rakyat Jepang ini memiliki ciri khas tersendiri. Dalam cerita rakyat ini, terkandung pesan moral di zaman dongeng tercipta.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Wahyudi Kumorotomo (dalam Moekijat, 1995: 44), moral adalah hal-hal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan-tindakan yang baik sebagai “kewajiban” atau “norma”. Moral juga dapat diartikan sebagai sarana untuk mengukur benar-tidaknya suatu tindakan manusia. Pesan moral yang terkandung dalam novel itu ada kaitannya juga dengan kebudayaan dan kebiasaan masyarakat Jepang. Menurut Ki Hajar Dewantara (dalam Supartono, 2001:34), kebudayaan berarti buah budi manusia, suatu hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada akhirnya bersifat tertib dan damai. Kebudayaan berperan sebagai pengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, menentukan sikapnya jika berhubungan dengang lingkungannya (Ridwan, 2007:37). Budaya dan kebiasaan yang tercermin pada dongeng ini telah ditunjukkan sebagai moral Jepang, yaitu moral dalam Bushido. Bushido adalah istilah yang dulunya diartikan sebagai sebuah kode etik kesatria golongan samurai dalam feodalisme Jepang. Bushido mengandung arti sikap rela mati kepada negara, kerajaan, dan kaisar. Pengertian lainnya yaitu jalan hidup seorang prajurit atau kesatria yang mempunyai kode etik. Kode etik tersebutlah yang telah dijadikan sebagai dasar moral bagi seluruh masyarakat Jepang. Untuk menganalisis pesan moral dalam cerita rakyat Momotaro ini, penulis menitikberatkan pada analisis tentang nilai-nilai moral Bushido masyarakat Jepang, sebagai pemilik cerita.
Universitas Sumatera Utara
Dengan alasan tersebut di atas, maka penulis merasa tertarik untuk menulis bagaimana pesan moral dalam dongeng Momotaro, yang telah dijadikan sebagai budaya dan kebiasaan oleh masyarakat Jepang. Dengan demikian, penulis dalam skripsi ini membahas tentang pesan moral yang seperti apa yang ada dalam dongeng “Momotaro” dengan judul “Analisis Pesan Moral dalam Dongeng Momotaro Karya Tei Theodora Ozaki”.
1.2 Perumusan Masalah Dongeng Momotaro muncul dalam berbagai bentuk versi cerita. Akan tetapi, dongeng ini menjadi sangat populer pada akhir zaman Edo. Demikian halnya dongeng Momotaro karya Yei Theodora Ozaki ini, dikompilasikan kembali setelah zaman Edo. Momotaro tumbuh sebagai anak yang kuat dan disegani banyak orang. Walaupun Momotaro mengetahui keberadaannya sebagai anak angkat, namun ia sangat menyanyangi dan menaruh hormat pada kedua orang tuanya. Ketika Momotaro melihat keadaan negerinya yang tidak aman, oleh karena sekawanan setan yang sering menyerang negerinya, membunuh dan merampok orang-orang, lalu membawa semua yang bisa mereka temukan, Momotaro dengan segala keberanian dan kejujuran hatinya mengutarakan niat kepada orang tuanya untuk melakukan penyerangan terhadap benteng pertahanan sekawanan setan itu. Dan lagi, oleh karena kekejaman dan sikap membangkang para sekawanan setan terhadap kaisar yang melanggar peraturan-peraturan yang dibuat kaisar semakin membulatkan tekadnya untuk melakukan penyerangan.
Universitas Sumatera Utara
Dongeng Momotaro ini sarat akan nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral yang ditunjukkan dalam dongeng ini adalah mengenai moral hidup, yaitu moral hidup yang menunjukkan sikap-sikap kepribadian moral yang kuat. Sikap kepribadian moral yang kuat itu seperti halnya moral keberanian, kejujuran moral, kebaikan, keadilan, sikap hormat, kemandirian moral, kerendahan hati, kesediaan untuk bertanggung jawab, realistik dan kritis. Sikap kepribadian moral yang kuat ini juga terdapat dalam prinsip etika moral Bushido seperti halnya, kejujuran, keberaniaa, kemurahan hati, kesopanan, keadilan, kehormatan, dan kesetiaan. Untuk memudahkan arah sasaran yang ingin dikaji, maka masalah penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut ini: 1. Bagaimana pesan-pesan moral yang diungkapkan oleh Yei Theodora Ozaki dalam dongeng “Momotaro” ini, khususnya pesan mengenai etika moral Buhido? 2.
Apa
pesan
yang
disampaikan
pengarang
melalui
dongeng
“Momotaro” ini kepada pembaca?
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan Dalam setiap penelitian, penentuan ruang lingkup adalah salah satu langkah penting yang harus dilakukan. Dengan adanya ruang lingkup pembahasan, maka penelitian itu bisa secara jelas diketahui apa yang menjadi batasan permasalahan yang akan diteliti. Pembahasan masalah mengenai pesan-pesan moral ini, dikaji berdasarkan pada masalah yang berhubungan dengan moral yang tercermin melalui cerita peristiwa baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam karya sastra tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, dalam ruang lingkup pembahasan ini, lebih difokuskan pada analisis pesan moral yang terdapat dalam dongeng Momotaro, yang menunjukkan sikap-sikap kepribadian/ etika moral Bushido seperti halnya kejujuran/ 真/ makoto, keberanian/ 勇/ yu, kebajikan atau kemurahan hati / 仁/ jin, kesopanan atau hormat/ 礼/ rei, keadilan / kesungguhan atau integritas/ 義/ gi, kehormatan atau martabat/ 名誉/ meiyo, dan kesetiaan/ 忠義/ chungi. Sebelum menganalisis pesan moral yang ada dalam dongeng Momotaro, penulis menjelaskan juga mengenai defenisi moral, prinsip-prinsip dasar moral, sikapsikap kepribadian moral, prinsip etika moral Bushido, dongeng klasik Jepang, setting cerita momotaro, serta biografi pengarang.
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori. 1.4.1 Tinjauan Pustaka Prosa Fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh palaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan, dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita (Aminuddin, 2003:66). Menurut Ahmad (dalam Mursini, 2007:33), fiksi disebut juga cerkan (cerita rekaan), tulisan naratif yang timbul dari imajinasi pengarang dan tidak mementingkan segi fakta sejarah, yang meliputi cerita nasehat dan cerita dongeng tentang dewa-dewi. Sastra dalam arti khusus yang digunakan dalam konteks kebudayaan, adalah ekspresi gagasan dan perasaan manusia. Jadi, pengertian sastra sebagai hasil budaya dapat diartikan sebagai bentuk upaya manusia untuk mengungkapkan
Universitas Sumatera Utara
gagasannya melalui bahasa yang lahir dari perasaan dan pemikirannya (http://www.anneahira.com/pengertian-sastra.htm). Melalui karya sastra, dapat membawa pembaca terhibur dengan berbagai kisahan yang disajikan pengarang mengenai kehidupan yang ditampilkan. Pembaca akan memperoleh pengalaman batin dari berbagai tafsiran terhadap kisah yang disajikan. Defenisi dongeng adalah, suatu kisah yang diangkat dari pemikiran fiktif dan kisah nyata, menjadi suatu alur perjalanan hidup dengan pesan moral yang mengandung makna hidup dan cara berinteraksi dengan mahluk lainnya. Dongeng juga merupakan dunia hayalan dan imajinasi dari pemikiran seseorang yang kemudian diceritakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Terkadang kisah dongeng bisa membuat pendengarnya terhanyut ke dalam dunia fantasi, tergantung cara penyampaian dongeng tersebut dan pesan moral yang disampaikan (http:// defenisi-pengertian.blogspot.com/ 2010/ 12/ pengertian dongeng. html). Salah satu aspek moral karya sastra adalah konsep humanisme, yang merupakan salah satu sarana untuk membantu manusia dalam mencapai harkat yang lebih tinggi dan merupakan pengungkapan tentang masalah-masalah dan perjuangan hidup. Tentunya sastra tercipta adalah untuk kepentingan manusia, dari karya sastra tersebut manusia akan mendapatkan pengajaran atau nilai-nilai moral yang dapat dijadikan sebagai falsafah hidup. Menurut Dagobert D. Runes (dalam Moekijat, 1995:44), Morals: The term is sometimes used as equivalent to “ethics”. More frequently it is used to
Universitas Sumatera Utara
designate the codes, conduct, and costoms of individuals or of group, as when one speaks of the moral of person or of a people. Here it is equivalent to the Greek word ethos and the Latin mores. Moral: Istilah ini kadang-kadang dipergunakan sebagai kata yang sama artinya dengan “etika”. Lebih sering istilah moral dipergunakan untuk menunjukkan kode, tingkah laku, dan adat atau kebiasaan dari individu-individu atau kelompok-kelompok, seperti apabila seseorang berbicara tentang moral orang atau moral orang-orang. Di sini moral sama artinya dengan kata Yunani ethos dan Latin mores. Selain itu, menurut Suseno (1989:19) mengemukakan, bahwa moral adalah hal yang mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia.
1.4.2 Kerangka Teori Teori meringkas hasil penelitian. Dengan adanya teori, generalisasi terhadap hasil penelitian dapat dilakukan dengan mudah. Teori juga dapat memadu generalisasi-generalisasi satu sama lain secara empiris sehingga dapat diperoleh suatu ringkasan akan hubungan antar generalisasi atau pernyataan (Nazir, 2006:20). Dalam penelitian ini, untuk mengungkapkan bagaimana pesan moral yang terdapat dalam dongeng tersebut kepada para pembaca, penulis menggunakan pendekatan moral dan pendekatan semiotik. Karya prosa fiksi merupakan karya yang bersifat imajinatif atau khayalan, yang berisikan berbagai masalah kehidupan manusia, baik masalah manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan lingkungannya. Namun di balik semua itu, baik secara tersurat maupun tersirat
Universitas Sumatera Utara
selalu menunjukkan adanya sebuah nilai-nilai moral yang boleh diteladani oleh pembaca. Pesan moral dalam sebuah karya sastra menunjukkan kepada pembaca akan nilai kebaikan dan kebenaran. Sehingga dalam sebuah karya sastra yang baik, tentunya harus menunjukka penafsiran kehidupan dan mengungkapkan karakter hidup. Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang dapat mengungkapkan
hal-hal
yang
orang
lain
mungkin
tidak
bisa
untuk
mengungkapkannya dan melihatnya (Siswanto, 2008:82). KBBI (dalam Nurgiyantoro 1995:321), secara umum, moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya: ahlak, budi pekerti, susila. Bushido sebagai salah satu moral bangsa Jepang menurut Situmorang (dalam Rahman 2006:8) adalah, semangat kesatria, moralitas bushi, atau jalan hidup bushi. Bushido tidak terlepas dari religi sebagai sumber awal, yang lahir dari sentuhan Shinto, Zen Budhism, dan ajaran Konfisius. Sekte Budha Zen menitik beratkan ajarannya pada cara hidup yang benar atau disiplin dan melatih diri, sekte ini lebih berorientasi ke arah apresiasi dan pemahaman dari pada pemujaan. Ajaran Zen melebihi dogma dari sebuah sekte dan terdapat mengenai pikiran absolute. Melalui ajaran Zen, dapat menghadirkan usaha manusia mencapai arena pemikiran absolut. Metodenya adalah sebuah perenungan (niat) yang merupakan sebuah tujuan yang menyakinkan prinsip yang mendasari semua fenomena. Jika hal itu bisa, maka akan mencapai keabsolutan dan keharmonisan.
Universitas Sumatera Utara
Shinto adalah satu nama yang digunakan untuk merangkum satu keberagaman fenomena. Dalam Shinto terdapat banyak nilai moral seperti tanggung jawab terhadap penguasa, cinta pada leluhur, kasih sayang, juga kecintaan terhadap tanah air (patriotism). Ajaran Konfusionis adalah mengenai keutamaan kesetiaan juga secara luas disebarkan dan mempunyai dampak yang cukup penting dalam perkembangan etika kelas samurai (bushido). Sikap ketaatan kepada orang tua akan menghasilkan sikap setia yang akan menjadi kebajikan tertinggi. Seluruh etika yang terdapat dalam Bushido dijadikan standard moral, agar para bushi dapat melihat dan membedakan sikap yang benar dan salah dalam menjalani kehidupannya. Dalam moral Bushido, sangat menjunjung tinggi nilainilai kejujuran, keberanian, kebajikan/ kemurahan hati, kesopanan, kesungguhan, memelihara kehormatan, dan kesetiaan. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangan tentang nilai-nilai kebenaran, dan itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Moral dalam cerita menurut Kenny (dalam Nurgiyantoro 1995:322), biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu, yang bersifat praktis, yang dapat diambil dan ditafsirkan lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Moral merupakan “petunjuk” yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Moral bersifat praktis sebab “petunjuk” itu dapat ditampilkan, atau modelnya ditemukan dalam kehidupan nyata, sebagai model yang ditampilkan dalam cerita itu lewat tokoh-tokohnya.
Universitas Sumatera Utara
Sebuah karya fiksi ditulis oleh pengarang antara lain, untuk menawarkan model kehidupan yang diidealkannya. Fiksi mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku tokoh sesuai dengan pandangannya tentang moral. Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan, yang diamanatkan, Nurgiyantoro (1995:322). Pendekatan moral bertolak dari dasar pemikiran bahwa suatu karya sastra dianggap sebagai suatu medium (arah) yang paling efektif membina orang dan kepribadian suatu kelompok masyarakat. Moral juga diartikan sebagai normanorma sosial atau konsep kehidupan yang disanjung tunggi oleh sebagian besar masyarakat. Pendekatan moral pada sebuah karya sastra dilihat dari etika dan keyakinan, sehingga pendekatan ini cenderung menjerumus kepada segi-segi nilai keagamaan. Berdasarkan pendekatan moral, penulis dapat mengungkapkan amanat atau pesan yang ada dalam cerita dongeng, yang dikaji berdasarkan tindakan/ perilaku positif oleh para tokoh cerita, yang menunjukkan pesan-pesan moral, khususnya etika moral Bushido. Oleh sebab itulah penulis menggunakan pendekatan moral. Pendekatan kedua yang penulis gunakan adalah pendekatan semiotik. Pendekatan semiotik merupakan salah satu kritikan yang penting dan popular dalam bidang bahasa dan kesusasteraan. Pendekatan ini menggunakan prinsipprinsip teori semiotik sebagaimana yang yang dikemukakan oleh beberapa orang tokoh seperti Fredinand de Saussure, Sander Pierce, Micheal Riffaterre, Umbarto
Universitas Sumatera Utara
Eco, Jurij Lotman dan lain-lain. Pradopo, dkk (2007:71), menyatakan bahwa semiotik itu adalah ilmu yang mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konveksikonveksi yang memungkinkan tanda-tanda itu memiliki arti. Menurut Hoed (dalam Nurgiyantoro 1995;40), semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Jadi, yang dapat menjadi tanda sebenarnya bukan hanya bahasa saja, melainkan berbagai hal yang melingkupi kehidupan, walaupun harus diakui bahwa bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap dan sempurna. Tandatanda itu dapat berupa gerakan anggota badan, gerakan mata, mulut, bentuk tulisan, warna, bendera, bentuk dan potongan rambut, pakaian, karya seni sastra, patung, dan lain-lain yang berada di sekitar kita. Sastra semiotik memusatkan kajiaannya pada lambang-lambang, sistem lambang, dan proses perlambangan di dalam karya sastra. Pendekatan semiotik beranggapan karya sastra memiliki sistem tanda yang bermakna dengan media bahasa yang estetik. Sistem tanda atau lambang dalam karya sastra ini memiliki banyak interpretasi. Dalam menafsirkan suatu sistem lambang, pembaca mengartikan gejalagejala tertentu (kata-kata, kalimat, gerak-gerik) berdasarkan pada sebuah kaidah atau sejumlah kaidah. Kaidah ini merupakan sebuah kode, yaitu alasan atau dasar mengapa kita mengartikan suatu gejala begini atau begitu, Luxemburg (dalam Mursini 2007:113). Dalam menafsirkan dan memahami karya sastra, kode-kode yang perlu diketahui adalah kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya. Pendekatan semiotik
Universitas Sumatera Utara
analisisnya tidak terbatas pada karya sastra itu sendiri, juga hubungannya dengan hal-hal yang berada di luarnya (antara kode budaya, seperti masalah budaya dan sistem tata nilai yang mewarnai karya sastra). Berdasarkan pendekatan semiotik, penulis dapat menginterpretasikan sikap para tokoh-tokoh ke dalam tanda. Tanda yang ada pada dongeng akan diinterpretasikan dan kemudian akan dipilih bagian mana yang merupakan tindakan para tokoh yang mencerminkan moral. Oleh sebab itulah, penulis memilih menggunakan pendekatan semiotik.
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penulisan skripsi ini, sesuai dengan masalah di atas adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mengungkapkan bagaimana pesan moral yang terdapat dalam cerita rakyat Jepang “Momotaro” terhadap pembaca.
2.
Untuk mengetahui pesan yang disampaikan pengarang dalam cerita rakyat Jepang “Momotaro” kepada pembaca.
1.5.2 Manfaat Penelitian Dengan mengadakan penelitian pada dongeng “Momotaro” karya Yei Theodora Ozaki, diharapkan dapat memberi manfaat yakni: 1.
Menambah wawasan bagi penulis dan pembaca tentang bagaimana nilai pesan moral ditinjau dari dongeng ini.
Universitas Sumatera Utara
2.
Menambah wawasan tentang kebudayaan masyarakat Jepang khususnya bagi mahasiswa sastra Jepang.
1.6 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode induktif. Wibisono (dalam Kaelan, 2005: 95), metode induktif diterapkan manakala peneliti akan melakukan suatu penyimpulan setelah melakukan pengumpulan data dan analisis data. Proses induktif diterapkan berdasar data-data yang telah terkumpul dan dianalisis, yaitu melalui suatu sintesis dan penyimpulan secara induktif aposteriori. Induktif aposteriori artinya pembentukan suatu konstruksi teoritis berdasarkan struktur logika. Selain itu, dalam pengumpulan data penulis juga menggunakan metode pendukung, yakni studi kepustakaan (Library Research), dengan 2 (dua) tehnik pengumpulan data yaitu: Survey Book, menghimpun data dari berbagai macam Literature buku yang berhubungan dengan masalah penelitian. Documentary Research, dilakukan dengan menghimpun data yang bersumber dari internet.
Universitas Sumatera Utara