BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mahkamah Agung sebagai organisasi pelayanan publik dalam bidang peradilan bertujuan untuk menegakkan keadilan dalam masyarakat, hal ini diatur berdasarkan Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Sebagai lembaga dengan fungsi strategis dalam bidang kehakiman dan peradilan, membuat Mahkamah Agung mengemban amanah yang besar dalam bidang peradilan. Amanah dari masyarakat tersebut oleh Mahkamah Agung dituangkan ke dalam Cetak Biru Pembaharuan Mahkamah Agung tahun 2003 yang disempurnakan dalam Cetak Biru Pembaharuan Mahkamah Agung tahun 20102035. Di dalam Cetak Biru tersebut terangkum tujuh kerangka pengadilan yang unggul (The framework of courts excellence) yang tujuan akhirnya adalah kepuasan masyarakat pengguna pengadilan. Pengadilan Negeri sebagai organisasi pelayanan publik merupakan satuan kerja di bawah Mahkamah Agung yang menjadi pilot project dalam reformasi birokrasi bersama dengan dua instansi negara lainnya, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan dan Kementerian Keuangan. Salah satu aspek yang menjadi perhatian Mahkamah Agung adalah penguatan sumber daya manusia untuk memperkuat reformasi birokrasi. Program penguatan sumber daya manusia ini menjadi program jangka panjang Mahkamah Agung yang tertuang dalam Cetak Biru tahun 2010-2035. Hal ini dikarenakan salah satu kriteria badan peradilan Indonesia yang agung adalah bila badan peradilan telah mampu mengelola dan membina sumber
daya manusia yang kompeten dengan kriteria objektif, sehingga tercipta hakim dan aparatur peradilan yang berintegritas dan profesional. Di dalam Cetak Biru tersebut, Mahkamah Agung menetapkan kompetensi sebagai elemen kunci dalam manajemen sumber daya manusia (SDM). Kompetensi ini akan dijadikan dasar penentuan berbagai proses sumber daya manusia, mulai dari rekrutmen, promosi, mutasi hingga pemberian tunjangan kinerja/ remunerasi. Mahkamah Agung memandang perlu melakukan penguatan SDM dikarenakan SDM merupakan ujung tombak pelaksanaan layanan terhadap masyarakat. Pengelolaan sumber daya manusia yang baik memiliki muara terciptanya kepuasan masyarakat pengguna layanan organisasi. Berbagai literatur telah mengemukakan tentang pentingnya kepuasan kerja pegawai dikaitkan dengan kepuasan pelanggan atau dalam hal ini masyarakat pengguna layanan organisasi (Jeon & Choi, 2012; Brief & Motowidlo, 1986). Kepuasan kerja yang dirasakan pegawai akan menjadi kunci di dalam produktivitas dan kinerja yang ditampilkan oleh pegawai (Mehboob & Bhutto, 2012). Pegawai yang merasa puas atau bahagia akan cenderung membagi emosi positifnya dengan masyarakat yang dilayaninya (Brief & Motowidlo, 1986). Menurut Mosadeghrad (2003) kepuasan kerja merupakan perbandingan atas hasil aktual dan hasil yang diinginkan. Kepuasan kerja merupakan respon afektif atau emosional terhadap berbagai aspek dari pekerjaan individu (Kreitner & Kinicki, 2011). Jika sebuah organisasi ingin mencapai tujuannya, sebaiknya organisasi meningkatkan kepuasan kerja pegawai dan menciptakan lingkungan kerja di dalam organisasi secara tepat (Alizadeh et al., 2012).
Apabila pegawai merasakan harapan yang dimiliki sesuai dengan realita yang ada maka akan tercipta kepuasan yang dirasakan oleh pegawai, tetapi sebaliknya apabila harapan tidak sesuai dengan realita yang diterima maka akan terjadi ketidakpuasan. Terjadinya ketidakseimbangan antara harapan dan hasil dalam organisasi mencerminkan terjadinya suatu hal yang tidak seimbang yaitu antara kinerja dengan imbalan yang diterima pegawai. Ketidakpuasan akan berimplikasi pada organisasi misalnya terjadi konflik antar pegawai, konflik dalam organisasi, maupun konflik dalam diri pegawai. Konflik yang terjadi dapat berupa stress, kemangkiran, hingga pengunduran diri dari organisasi (Kreitner & Kinicki, 2011). Sedangkan menurut Henne and Locke (1985) ketidakpuasan karyawan akan menghasilkan perilaku yang tidak produktif, seperti rendahnya kualitas kerja, ketidakhadiran, dan pemisahan. Konflik yang berkepanjangan akan memiliki implikasi pelayanan organisasi terhadap masyarakat menjadi tidak maksimal. Sehingga untuk menanggulangi hal tersebut, maka kepuasan kerja pegawai harus diutamakan. Tetapi fenomena berdasarkan observasi yang terjadi menunjukkan ketidakkonsistenan Cetak Biru yang ada dengan pelaksaannya. Sebagaimana permasalahan yang dimiliki oleh instansi pemerintah lainnya, gaji pokok yang diterima oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) belum terkait langsung dengan kinerjanya. Hal ini dikarenakan pemberian gaji PNS didasarkan pada pangkat dan golongan. Permasalahan akan muncul ketika beban kerja yang diberikan antara PNS satu dan lainnya berbeda, tetapi gaji yang diterimanya sama saja. Untuk mengatasi hal tersebut, beberapa instansi pemerintah telah memberlakukan
pemberian tunjangan kinerja/ remunerasi. Pemberian tunjangan kinerja ini diharapkan menjadi pendapatan tambahan bagi PNS atas kinerja yang telah dilakukannya. Tetapi permasalahan yang muncul di lapangan adalah pemberian tunjangan kinerja didasarkan pada jabatan serta pangkat dan golongan yang dimiliki oleh pegawai serta kedisiplinan di dalam menepati jam kerja yang telah ada. Hal ini dapat dianggap belum menyasar pengukuran kinerja masing-masing individu. Padahal untuk jabatan maupun golongan yang sama, setiap individu tentunya memiliki beban kerja dan pencapaian kinerja yang berbeda. Pertimbangan umum penggunaan golongan dan jabatan terkait besaran remunerasi adalah pangkat dan golongan dapat diasumsikan dengan tanggungjawab yang diemban individu terkait jabatan dan golongannya. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan persepsi PNS mengenai keadilan di dalam organisasi yang mengarah pada ketidakadilan, yaitu khususnya terkait keadilan distributif yang akan bermuara pada kepuasan kerja yang dimilikinya. Sebagai contoh adalah besarnya remunerasi yang diterapkan di Mahkamah Agung, dimana remunerasi antara Pengadilan Negeri kelas Ib dan Kelas II besarannya sama, dimana jika dilihat berdasarkan observasi beban kerja berupa jumlah perkara maka beban kerjanya lebih tinggi Pengadilan Negeri kelas Ib. Fenomena ini juga diikuti dengan adanya persepsi terkait pembagian beban kerja yang kurang merata diantara para pegawai. Permasalahan lain yang ada terkait sumber daya manusia berdasarkan observasi yaitu kurang jelasnya dan kurang seragamnya prosedur promosi untuk jabatan non hakim yang ada di Pengadilan, yaitu ketidakjelasan dalam hal
informasi terkait kriteria promosi, jalur promosi, serta ukuran kompetensi yang digunakan. Dalam hal ini masih terdapat asumsi belum transparannya kriteria yang digunakan sebagai dasar promosi untuk jabatan non hakim yang ada. Demikian pula dengan jalur promosi, masih belum terdapat kejelasan mengenai jalur promosi yaitu sampai sejauh mana jenjang karir yang dapat ditempuh individu. Disamping itu, kompetensi minimum yang harus dimiliki untuk promosi juga belumlah seragam, demikian pula dengan ukuran kompetensi yang dijadikan dasar fit and proper test masih terdapat perbedaan penerapan. Pertimbangan atasan yang dijadikan sebagai bagian pertimbangan promosi, diimbangi dengan kurang transparannya kriteria maupun ukuran kompetensi yang dijadikan dasar fit and proper test, menimbulkan kesan promosi yang ada didasarkan pada like and dislike. Fenomena yang terjadi berdasarkan observasi adalah adanya gejolak setiap ada promosi dan mutasi pegawai non hakim. Permasalahan ini berulang terjadi karena dalam hal penentuan pegawai yang layak promosi atau menduduki jabatan struktural maupun teknis masih terdapat persepsi bahwa promosi dilakukan berdasarkan kedekatan dengan pimpinan, dikarenakan pimpinan yang mampu menilai kompetensi dan kemampuan yang dimiliki. Ketidaktransparanan prosedur yang digunakan menimbulkan persepsi terjadinya ketidakadilan prosedural di dalam organisasi. Terkait dengan teori keadilan organisasi bahwa pegawai mempersepsikan keadilan berdasarkan hasil yang diterimanya (Rastgar & Pourebrahimi, 2013), maka outcome yang didapat didasarkan pada beban kerja yang diampu oleh pegawai. Persepsi karyawan atas keadilan organisasi akan memunculkan kepuasan
kerja yang akan berimplikasi pada kinerja yang lebih baik. Dalam hal ini persepsi pegawai non hakim Pengadilan Negeri se-Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta akan memunculkan kepuasan kerja yang akan berimplikasi pada kinerja yang lebih baik. Dengan kinerja lebih baik maka pelayanan terhadap masyarakat juga akan semakin meningkat. Oleh karenanya menjadi menarik untuk diteliti pengaruh persepsi pegawai atas keadilan organisasi terhadap kepuasan kerja.
1.2. Rumusan Masalah Kepuasan kerja merupakan faktor kunci penting di dalam produktivitas dan kinerja yang ditampilkan oleh pegawai (Mehboob & Bhutto, 2012). Ketika pegawai mempersepsikan terjadi ketidakadilan di dalam organisasi, maka akan berpengaruh pula pada kepuasan kerja yang dirasakan pegawai yang bermuara pada produktivitas dan kinerja pegawai. Kepuasan kerja pegawai dirasakan secara menyeluruh, kepuasan kerja tidak hanya diukur dari imbalan yang diterima tetapi juga proses bagaimana imbalan ditentukan. Dengan kata lain adanya transparansi dan objektifitas dalam penentuan imbalan tersebut harusnya disesuaikan dengan realita yang ada Permasalahan yang terjadi pada beberapa lingkup pengadilan di bawah Mahkamah Agung adalah perbedaan beban kerja yang ada pada pengadilan tidak diimbangi dengan perbedaan tunjangan kinerja yang diperoleh. Sebagai contoh adalah tunjangan remunerasi yang diterima di pengadilan kelas II dan pengadilan kelas Ib bernilai sama, walaupun beban kerja yang dimiliki pengadilan kelas Ib lebih besar. Kelas pada pengadilan menunjukkan besarnya beban perkara yang
ditangani, dalam hal ini beban perkara yang dimiliki pengadilan kelas Ib lebih besar dibanding beban perkara pengadilan kelas II. Beban kerja yang berlebihan akan berakibat pada penurunan performansi kinerja pegawai, hal ini apabila tidak diimbangi dengan pengelolaan beban kerja dikaitkan dengan imbalan yang sesuai akan berakibat pada ketidakpuasan kerja pegawai. Menurut Henne and Locke (1985) ketidakpuasan pegawai akan menghasilkan perilaku yang tidak produktif, seperti rendahnya kualitas kerja, ketidakhadiran, dan keluar dari pekerjaan. Hal ini akan menimbulkan pelayanan kepada masyarakat terganggu sehingga harapan agar masyarakat merasa puas atas pelayanan yang diberikan tentunya akan sangat jauh dari harapan. Perbedaan beban kerja maupun pencapaian kinerja yang ada tidak diimbangi dengan perbedaan besaran imbalan berupa remunerasi yang diterima pegawai. Perlakuan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan akan mengakibatkan perasaan ketidakpuasan. Menurut Rastgar and Pourebrahimi, (2013) keadilan distributif adalah perasaan keadilan berdasarkan hasil yang diterima oleh para pegawai. Sehingga perlu dianalisa pengaruh keadilan distributif terhadap kepuasan kerja pegawai dalam organisasi. Menurut Noe et al., (2008) keadilan berfokus pada prosedur yang digunakan untuk menentukan imbalan yang diterima oleh pegawai. Apabila dilihat dari permasalahan yang muncul terutama pada proses promosi di Pengadilan Negeri, proses yang terjadi masih dinilai bersifat subjektif. Hal ini dikarenakan kurang jelasnya dan kurang seragamnya prosedur promosi untuk jabatan non hakim yang ada di Pengadilan, yaitu kurang transparannya kriteria promosi, jalur promosi, serta ukuran kompetensi yang digunakan. Hal ini menjadi polemik antar pegawai
yang berujung penurunan motivasi dalam bekerja sehingga berdampak pada kinerja yang menurun. Oleh karenanya penelitian ini juga perlu menganalisa pengaruh keadilan prosedural terhadap kepuasan kerja untuk memperkuat keadilan dalam organisasi. 1.3. Pertanyaan Penelitian 1. Apakah keadilan distributif berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja pegawai non hakim pada Pengadilan Negeri se-Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta? 2. Apakah keadilan prosedural berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja pegawai non hakim pada Pengadilan Negeri se-Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta? 1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji: 1. Pengaruh positif keadilan distributif pada kepuasan kerja pegawai non hakim pada Pengadilan Negeri se-Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Pengaruh positif keadilan prosedural pada kepuasan kerja pegawai non hakim pada Pengadilan Negeri se-Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. 1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberi manfaat dan kontribusi bagi: 1.
Peneliti, yaitu menjadi tambahan pengetahuan dan pemahaman yang lebih mendalam tentang pengaruh keadilan distributif (distributive
justice), dan keadilan prosedural (procedural justice) terhadap kepuasan kerja (job satisfaction) pegawai. 2. Organisasi, yaitu menjadi masukan bagi implementasi manajemen yang berkeadilan. 3. Akademisi, yaitu menjadi bahan kajian untuk penelitian selanjutnya mengenai keadilan organisasional 1.6. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Penelitian ini bermaksud untuk menganalisa keadilan distributif dan keadilan prosedural yang
mempengaruhi kepuasan kerja di Pengadilan
Negeri se-Wilayah Daerah istimewa Yogyakarta. 1.7. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan tesis adalah sebagai berikut: 1. Pendahuluan Berisi latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup dan batasan penelitian, sistematika penulisan. 2. Landasan Teori Berisi mengenai teori yang menjadi landasan dalam penulisan tesis. framework of analysis. 3. Metode Penelitian
tentang metode penelitian yang digunakan, jumlah sampel yang digunakan, pengembangan instrumen penelitian, dan teknik uji statistik untuk menguji hipotesis. 4. Gambaran Umum Lokasi Penelitian, Analisis Data dan Pembahasan Berisi gambaran umum Pengadilan Negeri se-DIY, seluruh analisis dan temuan yang didapat dari hasil penelitian. 5. Simpulan dan Implikasi Berisi simpulan, keterbatasan penelitian dan implikasi penulisan pada bab-bab sebelumnya.
atas hasil